Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Istilah pelecehan jalanan di Indonesia tidak memiliki padanan yang tepat.

Namun jika diartikan secara linguistik, “pelecehan jalanan” dapat dipadankan

dengan pelecehan seksual di tempat umum. Pelecehan jalanan menggambarkan

interaksi yang tidak diinginkan di tempat umum yang muncul dari orientasi seksual,

ekspresi seksual, atau ekspresi gender seseorang. Hal ini sering membuat korban

kesal, marah, terhina atau ketakutan. Pelecehan seksual verbal sering terjadi di

tempat umum seperti taman, sekolah, dan transportasi umum1. Pelecehan seksual ini

dapat berkisar dari pemanggilan nama hingga flashing, menguntit, meraba-raba, dan

pemerkosaan. Pelecehan jalanan berbeda dengan isu-isu seperti pelecehan seksual di

sekolah dan tempat kerja atau kencan atau kekerasan dalam rumah tangga karena

terjadi di antara orang asing di tempat umum2.

Pelecehan seksual adalah bentuk aktivitas seksual yang tidak diinginkan oleh

subjek, meminta aktivitas seksual, baik secara verbal, atau fisik yang tempat

kejadiannya bisa di ruang publik. Perbuatan dalam bentuk verbal maupun fisik kini

sering terjadi di kalangan masyarakat khususnya bagi perempuan. Hal tersebut

membuat perempuan tidak merasa aman, damai dan tentram. Apalagi perbuatan

pelecehan seksual dilakukan di ruang publik akan lebih membuat korban merasa tidak

aman dan nyaman saat berada di luar rumah. Padahal setiap orang berhak atas rasa

1
Farida Hanum Wiwik Liyani, “Street Harassment: Catcalling Sebagai Salah Satu Bentuk
Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Di Yogyakarta,” Jurnal Pendidikan Sosiologi (2019): 2–27,
https://journal.student.uny.ac.id/index.php/societas/article/download/17117/16526.

2
Ibid..

1
2

aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan, hal ini diatur

dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia3.

Pelecehan seksual sangat luas dan memiliki banyak bentuk, verbal dan

tertulis, fisik dan non-fisik, mulai dari verbal (komentar tidak senonoh, lelucon

berbau seksual, dll.) hingga fisik (mencolek, meraba-raba, mencium, memeluk,

dll.)., menampilkan gambar-gambar porno/cabul, ciuman tidak senonoh dan paksa,

berpelukan, mengancam akan mempersulit perempuan untuk menolak layanan

seksual, pemerkosaan dan pemaksaan lainnya. Situasi ini terjadi dari waktu ke

waktu, bahkan terjadi peningkatan pelecehan seksual secara visual, dan lemahnya

penegakan HAM dapat dengan mudah melahirkan kejahatan. Misalnya, kekerasan

seksual di tempat umum sulit dihukum karena tidak ada aturan yang tegas untuk

mengaturnya4.

Salah satu perilaku yang sering terjadi namun tidak diatur dengan tindak

lanjut atau aturan yang ketat adalah catcalling. Dipergunakan istilah catcalling

dalam tulisan ini karena istilah catcalling dipergunakan secara global diberbagai

negara. Catcalling atau yang dapat diartikan sebagai pelecehan verbal merupakan

Melakukan hal-hal seperti melontarkan kata-kata porno/seksual kepada orang lain

atau menggoda, bergurau atau menggoda, yang menyebabkan ketidaknyamanan dan

dikenal dalam bentuk bersiul "hai cantik, sini aku pangku", cantik, ayo chek in,

berapa tarifnya semalam, dan", "Mau kemana, goda kami, kesini kakak Antarin",

komentar yang tidak disukai dari orang asing, seperti "cantik sekali, nona, badannya

seksi", "Jangan jahat jahat nanti cium lo! ”, orang asing yang mengamati tubuhnya
3
Yuni Kartika and Andi Najemi, “Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual
(Catcalling) Dalam Perspektif Hukum Pidana,” PAMPAS: Journal of Criminal Law 1, no. 2 (2021): 1–
21.
4
Ibid..
3

sedemikian rupa sehingga melakukan tindakan yang menimbulkan bentuk meraba-

raba yang tidak diinginkan yang menimbulkan rasa tidak aman diklasifikasikan

sebagai pelecehan di jalan. Dengan Kekerasan seksual ringan dalam bentuk perilaku

seksual verbal, seperti komentar verbal, lelucon, siulan ejekan, dan bentuk non-

verbal seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau perilaku lain yang menuntut

perhatian seksual yang tidak diinginkan dari korban adalah pelecehan / penghinaan5.

Perlindungan hukum korban tindak pidana catcalling sama seperti

perlindungan korban tindak pidana lainya. Korban catcalling di Indonesia yang

memperoleh stigmatisasi masyarakat bukan pelakunya. Warga terbiasa menuduh

korban karena menggunakan baju terbuka yang memancing aksi catcalling maupun

cara tingkah laku korban yang memancing perbuatan catcalling6. Dampaknya

berakibat pada mental korban ialah rasa malu sehingga korban kehilangan keberanian

buat menceritakan Mengenai yang dialaminya. Sesungguhnya gimana seseorang

berpakaian dan bertingkah laku tidak jadi jaminan hendak aman dari sesuatu

perbuatan pidana. Mengenai tersebut harusnya ada sesuatu aksi pemerintah untuk

memberikan perlindungan terhadap korban catcalling yang dapat menghapus rasa

malu akibat stigmatisasi masyarakat, memulihkan psikis korban dan butuh

terdapatnya bimbingan pemerintah dalam masyarakat supaya tidak lagi menormalisasi

& menstigmatisasi korban perbuatan catcalling7.

5
Ibid..
6
Angeline Hidayat and Yugih Setyanto, “Fenomena Catcalling Sebagai Bentuk Pelecehan
Seksual Secara Verbal Terhadap Perempuan Di Jakarta,” Koneksi 3, no. 2 (2020): 485.
7
Dinda Anjani Yudha and Dadi Mulyadi Nugraha, “Dampak Dan Peran Hukum Fenomena
Catcalling Di Indonesia,” Dinamika Sosial Budaya 23, no. 2 (2021): 324–332,
http://journals.usm.ac.id/index.php/jdsb.
4

Catcalling secara harfiah dipahami sebagai desisan, namun pada

kenyataannya, catcalling terjadi dalam bentuk ujaran atau ucapan. Catcalling sendiri

yang selama ini belum ada padanannya di Indonesia, atau paling dekat dengan

pelecehan verbal adalah tindakan seperti melontarkan kata-kata cabul atau berbau

seksual atau perilaku genit atau genit pada orang lain, mengganggu orang. Seringkali,

hal ini dapat diwujudkan dengan bersiul, berteriak, atau membuat komentar eksplisit

secara seksual kepada orang yang lewat di tempat umum. Para korban di sini tidak

mendapatkan rasa hormat dari para pelakunya, para pelaku melakukannya untuk

mendapatkan kekuatan dan kontrol psikologis dan emosional dari para korban.

Ada beberapa jenis pesan verbal yang diberikan pelaku kepada korbannya,

antara lain; dalam bentuk nada, seperti suara ciuman, desahan atau peluit. Yang kedua

adalah komentar, biasanya komentar tentang bentuk tubuh, atau dalam pernyataan

yang tidak menyinggung tetapi diucapkan untuk tujuan pelecehan, sapaan, misalnya.

Ada juga orang yang terang-terangan mengatakan bahwa hal-hal vulgar terjadi pada

korban. Tak hanya itu, tatapan mata yang berlebihan ini juga termasuk pelecehan

karena membuat orang yang dipandang tidak nyaman. Misalnya, seseorang

memandang orang lain dari ujung kepala sampai ujung kaki. Deskripsi catcalling di

masyarakat masih sangat lemah karena akal sehat. Catcalling selalu dianggap sebagai

bentuk olok-olok dan pujian akan meningkatkannya. Itu terus terjadi lagi dan lagi.

Panggilan menggoda dengan kata "neng" juga dapat diucapkan sebagai panggilan

telepon atau dapat diklasifikasikan sebagai pelecehan verbal8.

8
- Inayah Rohmaniyah, “GENDER DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN DALAM
PERTARUNGAN WACANA TAFSIR” (2020).
5

Terdapatnya kekosongan norma atas fenomena catcalling dalam Indonesia

dianggap keliru sebab perbuatan catcalling terus terdapat apalagi terus bertambah.

Perihal ini sanggup diperhatikan dari pandangan hukum pidana yang menggabungkan

sebagian pasal yang masih terdapat pada buku undang-undang ketentuan pidana&

undang- undang pornografi untuk menuntaskan fenomena catcalling.

Penegakan hak asasi manusia yang tidak tegas menyebabkan mudah

munculnya perbuatan pidana di masyarakat. Kekosongan norma yang mengatur

perbuatan yang sejatinya melanggar hukum menyebabkan mudah terjadinya

perbuatan tersebut di masyarakat. Salah satu akibat dari kekosongan norma hukum

adalah catcalling. Catcalling sebagai salah satu tindakan atau perbuatan yang

bertentangan dengan kesusilaan seringkali tidak terperhatikan, hal ini dikarenakan

tindakan atau perbuatan tersebut dilakukan secara spontan. Banyak kalangan

masyarakat di Indonesia yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban atau

bahkan pelaku perbuatan catcalling itu sendiri. Satu hal terpenting yang membedakan

suatu hal itu termasuk pelecehan atau bukan adalah soal consent atau persetujuan.

Jika dilihat dari prespektif hukum pidana bahwa pelecehan seksual verbal

(catcalling) adanya penggabungan terhadap aturan yang mengatur perbuatan tersebut.

Seperti yang diatur dalam Pasal 281 Ayat (2), Pasal 282 KUHP, Pasal 289, Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34, Pasal 35 Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi digunakan untuk penyelesaian perbuatan

catcalling pelecehan seksual verbal) terhadap perempuan di Indonesia yang

selanjutnya dikutip sebagai berikut9:

9
Kartika and Najemi, “Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) Dalam
Perspektif Hukum Pidana.”
6

1. Pasal 281 Ayat (2)

“Barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ

bertentangan dengan kehendaknya melanggar kesusilaan” .

2. Pasal 282 KUHP

“Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan,

atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau

ditempelkan di muka umumdiancam dengan pidana penjara paling lama satu

tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

3. Pasal 289

“Barang siapa dengan kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan

yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama

sembilan tahun”.

4. Pasal 8

“Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek

atau model yang mengandung muatan pornografi”

5. Pasal 9

“Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang

mengandung muatan pornografi.”

6. Pasal 34

“Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek

atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam


7

Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau

pidana denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

7. Pasal 35

“Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang

mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,00 (lima ratus

juta rupiah) dan paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”

Dalam penegakkan hukumnya juga belum terdapat kejelasan menimpa dasar

hukum selaku penaganan yang tegas dalam penyelesaian permasalahan. Penafsiran

melanggar kesusilaan yang masih terdapat pada pasal diatas menitikberatkan pada

pelanggaran terhadap kesopanaan dibidang intim, dimana perbuatan ataupun aksi tadi

dalam biasanya hendak menimbulkan perasaan malu, marah, resah ataupun apalagi

terangsangnya hawa nafsu intim seorang. sesuatu perbuatan melanggar kesusilaan

ataupun tidak hingga butuh mencermati sudut norma setempat, perihal ini disebabkan

metode pandang antara satu tempat memakai tempat yang lain yang dapat berbeda-

beda10.

Penjelasan pasal di atas sudah jelas bahwa perbuatan catcalling merupakan

suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaturan khusus mengenai catcalling.

Dan juga belum ada penelitian yang secara spesifik mengungkap perbuatan catcalling

ini sebagai seuatu perbuatan pidana, bahkan ada yang berpendapat perbuatan ini

10
Abdurrakhman Alhakim, “ANALISIS HUKUM CATCALLING DAN PEMENUHAN
ASAS BHINNEKA TUNGGAL IKA TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATAM
DALAM MENCEGAH PELECEHAN SEKSUAL VERBAL,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan
Undiksha 9, no. 3 (October 11, 2021): 945–958, accessed January 9, 2023,
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP/article/view/40171.
8

adalah bentuk hal yang wajar. Kemudian perbuatan catcalling dikategorikan sebagai

perbuatan yang melanggar kesusilaan serta mengakibatkan dampak yang besar bagi

korban. Pelaku dari perbuatan catcalling (pelecehan seksual verbal) disebut sebagai

catcaller yang harus dipidana karena telah melanggar hak asasi seseorang serta

perbuatannya tidak dikehendaki oleh yang menjadi korban.

Berdasarkan latar belakang di atas, fenomena catcalling masih belum disadari

sebagai pelecehan seksual dan masih dianggap hal yang lumrah oleh sebagian orang.

Selanjutnya, untuk perlu di teleti bentuk-bentuk pelecehan seksual secara

verbal/catcalling yang terjadi di salah satu UNIVERSITAS BHAYANGKRA

SURABAYA.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, rumusan masalah

yang akan menjadi obyek pembahasan adalah sebagai berikut

1. Bagaimana bentuk-bentuk pelecehan seksual verbal (catcalling) di lingkungan

UBHARA dalam perspektif korban ?

2. Bagaimana pengaturan hukum dalam memberikan perlindungan hukum bagi

korban ?

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Adapun tujuan umum dalam penelitian dan penulisan skripsi ini yang

dimaksudkan oleh penulis. Sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang telah


9

dirumuskan seperti tersebut diatas, maka apa yang dituangkan di sini diarahkan untuk

mencapai 2 (dua) tujuan penelitian, sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana perspektif hukum pidana terhadap

perilaku tindak pidana pelecehan seksual verbal (catcalling)di Indonesia

b. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap korban pelecehan seksual

verbal (catcalling) di Indonesia

2. Tujuan khusus

Dan selain dari tujuan umum yang terlah disampaikan di atas, adapun juga

tujuan khusus penulis dalam penelitian ini, yakni tujuan khusus tersebut sebagai salah

satu persyaratan akademik di Universitas Bhayangkara Surabaya. Penelitian ini pun

juga ditujukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat - syarat untuk mencapai

gelar Sarjana Hukum dari Universitas Bhayangkara Surabaya.

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan dalam

mengkaji, menyusun dan menyepurnakan peraturan yang menjamin perlindungan

terhadap korban pelecehan secara verbal (catcalling) sehingga mencapai persamaan

keadilan dan kepastian hukum.

2. Manfaat praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi berupa

informasi dan menambah wawasan bagi penulis sendiri maupun terhadap orang lain

serta khususnya terhadap korban pelecehan secara verbal (catcalling).


10

E. Kajian pustaka

1. Pengertian Konsep Catcalling Menurut KUHP dan Para Ahlih

catcalling diartikan sebagai siulan, panggilan, dan komentar yang bersifat

seksual. Terkadang di ikuti pula dengan tatapan yang bersifat melecehkan yang

membuat perempuan menjadi tidak nyaman11.

Istilah kebijakan kriminal merupakan terjemahan dari penal policy (Inggris).

Black Law Dictionary edisi kedelapan oleh Bryan A.Garner, mengartikan kebijakan

kriminal sebagai cabang dari hukum pidana yang menaruh perhatian berkaitan dengan

perlindungan (masyarakat) terhadap kejahatan (the branch of criminal science

concerned with protecting against crime). Kebijakan kriminal dalam arti luas, lazim

disebut dengan kebijakan hukum pidana (criminal law policy) yang terkadang juga

disebut dengan pembaharuan hukum pidana atau politik hukum pidana.

Pandangan Soedarto tersebut dipengaruhi oleh Marc Ancel, yang

mendefinisikan kebijakan kriminal sebagai suatu usaha yang rasional oleh masyarakat

dalam menanggulangi kejahatan.Kebijakan kriminal tidak membicarakan hukum

secara hitam putih (tekstual) tetapi lebih bersifat kontekstual. Artinya seberapa

jauhkah hukum melindungi kepentingan-kepentingan hukum, apakah tujuan

ditegakkannya hukum untuk mencapai kepastian hukum atau guna mewujudkan

keadilan, harus dijawab secara tegas12.

11
Wiwik Liyani, “Street Harassment: Catcalling Sebagai Salah Satu Bentuk Pelecehan
Seksual Terhadap Perempuan Di Yogyakarta.”
12
Ramadani Saputra Halawa, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Hukum
Terhadap Korban Pelecehan Seksual Secara Verbal,” JOM Fakultas Hukum Universitas Riau 7, no. 1
(2020): 4.
11

Masih ada beberapa pasal tentang fenomena menarik ini, antara lain Pasal 281

ayat (2), pasal 8,pasal 9,pasal 34 KUHP dan Pasal 35 UU Pornografi No 44 Tahun

2008. Pasal 281 (2) KUHP menyatakan bahwa Jika seseorang dengan sengaja

menggunakannya untuk digunakan untuk kepentingan orang lain di depan yang hadir,

tanpa orang tersebut siap untuk melakukan tindakan asusila, dia akan dihukum (Anda

dapat memperhatikan pasal 281 ayat 1). Kesusilaan dalam pasal ini sama artinya

dengan perbuatan di tempat umum. Edisi kali ini mengangkat gagasan bahwa masih

ada perlindungan bagi orang-orang yang membutuhkan perlindungan terhadap

perbuatan maksiat, misalnya terhadap kata-kata yang bersifat maksiat. Pasal 8 UU

Pornografi secara umum menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menjadikan orang

lain sebagai sasaran atau model kegiatan pelaku yang mengandung unsur pornografi

(mengikuti Pasal 8 UU No. 44 Tahun 2008). Selain penerapan Pasal 9 UU Pornografi,

ada faktor-faktor tanpa persetujuan subjek (lihat uraian Pasal 9) terkait dengan

penerapan Pasal 35, yang menyatakan bahwa:

“Barang siapa menyuruh orang lain memproduksi barang atau model yang

mengandung unsur pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara sangat lama 12 (21)

tahun atau pidana denda paling sedikit. sebesar Rp500.000.000,00 (500 juta rupiah)

dan banyak Rp6.000.000. 000,00 (Rp 6 miliar)". Pasal ini bisa dijadikan dasar untuk

pelecehan seksual verbal (catcalling)13.

Dalam kamus oxford catcalling diterjemahkan sebagai peluit, panggilan dan

komentar yang bersifat seksual. kadang berendam juga dengan tatapan melecehkan

13
Anjani Yudha and Mulyadi Nugraha, “Dampak Dan Peran Hukum Fenomena Catcalling Di
Indonesia.”
12

yang membuat Wanita menjadi kesal. Definisi ini sama dengan Chun berkata:

“menangkap seperti" penggunaan bahan baku ekspresi bahasa, verbal dan nonverbal

tempat umum seperti jalan, trotoar, halte bus. Lisan Ekspresi panggilan kucing

cenderung melibatkan siulan atau ucapan itu mengevaluasi penampilan fisik

wanita”14.

2. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum pidana ialah menegakkan aturan-aturan yang terkandung

dalam undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang memuat sanksi

pidana. Berkaitan dengan moral hukum, maka negara menentukan kebijakan atau

usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan. Berbagai bentuk reaksi

kejahatan atau respon sosial dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, antara

lain dengan menggunakan hukum pidana. Dengan demikian penegakan hukum pidana

merupakan bagian dari politik kriminal.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan

hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap

tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,

memelihara, dan mempertahankan kedamaian15.

3. Teori Perlindungan Hukum

Aristolteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon. Oleh

karenanya tiap anggota masyarakat mempunyai hubungan antara satu dengan yang

14
Colleen O’leary, “Catcalling as a ‘Double Edged Sword’: Midwestern Women, Their
Experiences, and the Implications of Men’s Catcalling Behaviors” (2016), accessed January 9, 2023,
https://ir.library.illinoisstate.edu/etd/535.
15
“Kebijakan Kriminal / Ali Zaidan | Perpustakaan UIN Sultan Syarif Kasim Riau,” accessed
January 21, Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 5.
13

lain. Tiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-

masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-

beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan

konflik maka tampil hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang

dinamakan perlindungan hukum.

Istilah perlindungan hukum apabila diartikan kedalam bahasa inggris adalah

legal protection, tetapi istilah legal protection di dalam Black’s Law Dictionary itu

sendiri tidak ditemukan. Akan tetapi, dalam Black’s Law Dictionary ada pengertian

perlindungan hukum dalam skala yang lebih sempit dengan istilah protection order.

Protection order is order issued by court in domestic violence or abuse case to, yang

artinya bahwa perintah perlindungan adalah perintah yang diberikan oleh pengadilan

dalam kasus-kasus kekerasan atau pelanggaran hukum domestic16.

Perilaku catcalling merupakan perilaku yang sudah ada dimasyarakat Indonesia

sejak dahulu, dan sudah dianggap hal biasa namun faktanya perilaku ini merugikan

korbannya.35 Dalam sebuah penelitian di Manilla menyebut bahwa catcalling memiliki

pengaruh buruk pada penurunan tingkat atau harga diri. Wanita dapat merasa tidak

percaya diri lagi, dapat merasa dirinya tidak terlalu bernilai dimata orang lain dan

kemungkinan memikirkan hal tersebut secara berlebih atau overthinking. Tingkat

keparahan pada penurunan self-esteem dapat berujung pada depresi, karena rasa

kurang percaya diri dapat membatasi ruang untuk berekspresi

Bentuk respon perempuan terhadap catcalling yang dialaminya dapat berbeda

antara satu individu dengan individu lainnya. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh
16
Ramadani Saputra Halawa, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Hukum
Terhadap Korban Pelecehan Seksual Secara Verbal.”
14

beragam kondisi yang melingkupi konteks terjadinya catcalling dan pemahaman

mengenai catcalling yang dialami oleh perempuan. Dampak-dampak yang diterima

korban adalah :

a) Dampak Pada Kesehatan Psikis

Dampak pelecehan seksual terhadap perempuan bervariasi dan sangat

tergantung pada bentuk kasusnya. Dampak psikis terbagi menjadi dua yakni dampak

jangka pendek dan dampak jangka panjang. Dampak yang terjadi pada jangka pendek,

misalnya dialami sesaat atau beberapa hari setelah kejadian. Korban biasanya marah,

jengkel, terhina, dan merasa malu. Hal ini di antaranya ditandai dengan gejala sulit

tidur (insomnia) dan berkurangnya selera makan (lost of appetite).

b) Dampak Pada Pemenuhan Hak Asasi Manusia Perempuan dan Relasi Sosial

Tindak pelecehan baik dalam bentuk fisik maupun non fisik, mengakibatkan

perempuan menderita. Dampak yang dialami korban sering diperparah oleh reaksi

masyarakat ketika seorang perempuan menjadi korban. Mereka dipurukkan ke dalam

kondisi yang serba menyulitkan bagi mereka untuk mampu menjalankan peranan

sosialnya, yang dapat berakibat lebih lanjut pada eksistensinya dalam relasi sosial di

masyarakat.

c) Dampak Secara Ekonomis

Bila korban bermaksud memperkarakan tindak pelecehan yang dialaminya

melalui jalur hukum, fakta lapangan menunjukan korban perlu mengeluarkan biaya

besar untuk itu, setidaknya untuk biaya operasional selama proses penyidikan sampai

di pengadilan. Ini sangat menyulitkan perempuan miskin dan bahkan dapat juga

menimpa perempuan yang mandiri secara ekonomi, bahkan menjadi tulang punggung
15

keluarga atau pencari nafkah untuk keluarga dan akan membuat keuangan keluarga

terganggu17.

Selama proses awal peradilan sampai dengan selesai, korban mendapat

perlindungan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi Korban) sesuai dengan yang

diatur dalam Pasal 8 angka (1), LPSK membantu pemberian hak-hak dan bantuan

hukum yang harus diterima oleh korban. Korban yang merupakan perempuan juga

dapat meminta perlindungan dan bantuan dari Komisi Nasional Antikekerasan

Terhadap Perempuan. Hal ini termuat dalam Standart Operation Procedure Sistem

Penerimaan Pengaduan Komnas Perempuan. Penanganan kasus kekerasan terhadap

perempuan dapat berupa : Litigasi, Non Litigasi, Arbitrasi, Mediasi, Negosiasi,

Advokasi, Pemulihan, Layanan Psikologis, Layanan Medik, dan Layanan Terpadu.

Dengan demikian analisa penulis terhadap perlindungan hukum bagi korban

pelecehan seksual secara verbal jika dikaitkan dengan teori perlindungan hukum,

maka korban sebagai pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya suatu kejahatan,

seyogyanya harus mendapat perhatian dan pelayanan dalam rangka memberikan

perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingannya.Hak-hak korban tersebut diatur

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban 18. Dalam

pengaplikasian undang-undang tersebut terdapat Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban (LPSK) yang dapat membantu korban dalam hal pemberian hak-hak serta

bantuan hukum. Korban catcalling yang didominasi oleh perempuan juga dapat

meminta bantuan perlindungan dari Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

17
Ibid.
18
Natazha Rifka Ramadhani Putri, “Perspektif Hukum Pidana Terhadap Perilaku Pelecehan
Secara Verbal (Catcalling) Di Indonesia.” (2021): 1–94,
16

Catcalling merupakan suatu pelecehan seksual di ruang public berupa siulan,

menggoda dengan “panggilan manja” atau berkomentar terhadap bentuk tubuh wanita

yang yang tidak dikenal dan mengarah pada orientasi seksual dan rangsangan seksual

secara visual. Panggilan manja catcalling seperti “cantik”, “sayang”, “seksi”,

“sendirian ya? Mau ditemenin ?” dan sejenisnya.

Definisi Chhun menjelaskan hal itu sama dengan bullying seperti

menggunakan bahasa vulgar, ekspresi verbal atau nonverbal terjadi di tempat umum,

seperti jalan, trotoar, atau transportasi umum. Ungkapan verbal yang menarik

perhatian mengacu pada komentar yang merujuk pada penampilan fisik wanita.

Bentuk nonverbal regular meliputi pembelajaran serta gerakan fisik yang berfungsi

sebagai alat untuk menilai penampilan wanita19.

Rata-rata korban catcalling akan merasa tidak nyaman, terganggu, malu,

bahkan takut. Menurut sebuah survey psikologis yang berbasis di Nex Jersey,

catcalling dapat menyebabkan korbannya tanpa sadar melakukan penilaian atas diri

sendiri seperti layaknya menilai benda.

a. Bentuk-bentuk catcalling

Menurut N.K. Endah Trwjati (fakultas psikologi Universitas Surabaya, Savy

Amira Women’s Crisis Center) dari sisi tinjauan psikologis, wujud pelecehan seksual

secara verbal (catcalling) lebih dilakukan dengan wujud ucapan/perkataan yang

dilakukan pada orang lain namun mengarah pada sesuatu yang berkaitan dengan

seksual yang biasanya sering disebut perilaku catcalling, pelecehan ini dapat

berwujud seperti:
19
O’leary, “Catcalling as a ‘Double Edged Sword’: Midwestern Women, Their Experiences,
and the Implications of Men’s Catcalling Behaviors.”.
17

1) Bercandaan, menggoda lawan jenis atau sejenis, ataupun mengajukan

pertanyaan seputar seksual didalam diskusi atau obrolan yang tidak

dikhususkan membahas seputar seksual.

2) Bersiul-siul bertujuan untuk melecehkan.

3) Menyampaikan pada orang lain tentang keinginan secara seksual ataupun

kegiatan seksual yang pernah dilakukan oleh orang tersebut, yang membuat

orang tidak nyaman.

4) Mengkritik atau mengomentari bentuk fisik yang mengarah pada bagian-

bagian seksualitas, misalnya bentuk pantat ataupun ukuran kelamin seseorang.

b. Dampak catcalling terhadap korban

Bentuk respon perempuan terhadap catcalling yang dialaminya dapat berbeda

antara satu individu dengan individu lainnya. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh

beragam kondisi yang melingkupi konteks terjadinya catcalling dan pemahaman

mengenai catcalling yang dialami oleh perempuan20.

1) Dampak Kesehatan mental

Dampak pelecehan seksual terhadap perempuan bervariasi dan sangat

tergantung pada bentuk kasusnya. Dampak mental terbagi menjadi dua yakni dampak

jangka pendek dan dampak jangka panjang. Dampak yang terjadi pada jangka pendek,

misalnya dialami sesaat atau beberapa hari setelah kejadian. Hal ini di antaranya

ditandai dengan gejala sulit tidur (insomnia) dan berkurangnya selera makan (lost of

appetite). Dampak panjangnya adalah sikap atau persepsi negatif terhadap laki-laki

20
17102153027 YUROSA NUR HAYATI PUSPITASARI, “CATCALLING DALAM
PERSPEKTIF GENDER, MAQASID SYARIAH DAN HUKUM PIDANA(Studi Pada Mahasiswi
Fakultas Syariah Dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung)” (April 5, 2019).
18

karena trauma. Trauma adalah luka jiwa yang dirasakan korban usai mengalami hal-

hal yang dirasakannya diluar batas wajar dan abnormal. Jika ini berlangsung lebih

dari 30 hari, maka korban mungkin mengalami kekacauan tekanan jiwa pascatrauma

(posttraumatic stress disorder). Ada 3 dampak gejala tekanan jiwa yang paling umum

pascatrauma21:

a) Hyper arousal: Gejala ini dipengaruhi oleh kerja hormon tubuh yang ikut

berubah seiring dengan berubahnya kondisi psikis. Gejala paling sering adalah

agresi, insomnia, dan reaksi emosional yang intens seperti depresi.

b) Numbing: Mati rasa. Gejala ini wajar, namun tidak wajar jika berlangsung

terus-menerus hingga korban menjadi indifferent (dingin dan acuh tak acuh)

dan akhirnya detached (memanggil dan terpencil dari interaksi sosial).

c) Intrution: Pada diri korban terjadi constant reviling of the traumatic even

(korban tidak mampu lagi menghentikan munculnya ingatan-ingatan akan

peristiwa mengerikan yang dialami) dan flashback ingatan-ingatan yang terus

berulang.

4. Perlindungan Hukum Korban Pelecehan Seksual Verbal

Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita secara fisik dan

mental akibat tindakan orang lain yang berusaha untuk memperjuangkan

kepentingannya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan

hak asasi korban. Pasal 1(5) UU No. 31 Tahun 2014 Republik Indonesia tentang

Perubahan UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 Tahun 2006 menyebutkan

bahwa korban adalah orang yang menderita kerugian fisik, mental, dan/atau finansial.

21
Kartika and Najemi, “Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) Dalam
Perspektif Hukum Pidana.”
19

tindak pidana Perlindungan hukum pada hakekatnya adalah perlindungan hak asasi

manusia22.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum

dalam rangka memenuhi hak-hak korban kejahatan, sebagai berikut:

a. Pre-emtif, Upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah

terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan

kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang

baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang.

Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran/kejahatan tapi tidak

ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan23.

b. Preventif, Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran

serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu

kewajiban24.

c. Represif, Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa

sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila

sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

d. Rehabilitatif, adalah kegiatan dan/ atau serangkaian kegiatan untuk

mengembalikan korban dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi

22
“Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) /Arif Gosita | OPAC Perpustakaan
Nasional RI.,” accessed January 21, 2023, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=227119.
23
“Kebijakan Kriminal / Ali Zaidan | Perpustakaan UIN Sultan Syarif Kasim Riau.”
24
Ibid..
20

sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat

semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.

Menurut Maya Indah S, perlindungan korban dalam konsep luas meliputi dua hal,

yaitu:

a. Bentuk perlindungan korban secara tidak langsung, yaitu untuk memperoleh

hak hidup, keamanan, dan kesejahteraan. Melalui keterpaduan kebijakan

kriminal dengan kebijakan sosial, maka perlindungan terhadap korban

mengindikasikan bahwa setiap perumusan kebijakan pembangunan harus

mencakup upaya terhadap perlindungan masyarakat.

b. Bentuk perlindungan korban secara langsung, yaitu hak korban untuk

memperoleh santunan dan hak korban untuk “acces to justice and fair

treatment, compensation, restitution, and assistance” merupakan reaksi

terhadap fokus perhatian hukum pidana yang menempatkan korban sebagai

“forgotten person25”

Bentuk perlindungan hukum korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai

cara tergantung kerugian korbannya. Menurut Dikdik M. Arief bentuk perlindungan

hukum terhadap korban yang seharusnya diberikan kepada korban sebagai berikut26:

a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi

Kompensasi lebih bersifat keperdataan yang timbul dari permintaan korban, dan

dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat

atau negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana,

25
“Perlindungan Korban : Suatu Perspektif Viktimologi Dan Kriminologi / C. Maya Indah S. |
Perpustakaan UIN Sultan Syarif Kasim Riau,” accessed January 21, 2023, https://inlislite.uin-
suska.ac.id/opac/detail-opac?id=19299.
26
Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma Dan
Realita (RajaGrafindo Persada, 2007).
21

yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau

merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (the responsibility of the offender)

b. Konseling

Perlindungan hukum ini diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak

negatif dari segi psikologi akibat suatu tindak pidana atau kejahatan. Pemberian

bantuan dalam bentuk konseling diberikan kepada korban-korban kekerasan seksual

atau lainnya untuk mengurangi atau menghilangkan terauma yang dialami akibat

suatu kejahatan.

c. Bantuan Medis

Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana.

Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan

tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang

sama dengan alat bukti).

d. Bantuan Hukum

Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan.

Apabila korban tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat berakibat pada

semakin terpuruknya kondisi korban.

e. Pemberian Informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses

penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban.

5. Victimology Korban Pelecehan Seksual Verbal

a. Pengertian Victimology

Viktimologi, berasal dari bahasa latin “victima” yang berarti korban dan

“logos”yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi adalah ilmu yang


22

mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat yang arus

diterima korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyatan sosial27.

Istilah viktimologi pertama kali digunakan dalam artikel Benjamin

Mandelsohn tahun 1947 "Cakrawala biologis-psikologis-sosial baru: Korban Belajar".

Sebelumnya pada tahun 1941 von Hentig menulis artikel "Catatan Interaksi

Narapidana dan Korban", kemudian pada tahun 1948 menerbitkan buku "Penangkap"

penjahat dan korban ini." Dalam bukunya, von Hentig menegaskan bahwa korban

sedang bermain. Peran dalam tahap awal kejahatan28.

Victimology melewati tiga tahap perkembangan. Awalnya, studi korban

memeriksa korban kejahatan atau dapat dianggap sebagai "kriminal atau korban

khusus". Pada tahap kedua, viktimologi juga mempelajari korban kecelakaan atau bisa

disebut dengan “general victimology”. Pada tahap ketiga, korban belajar untuk

merenungkan masalah korban yang timbul dari penyalahgunaan kekuasaan dan hak

asasi manusia, yang dapat disebut “riset korban baru29”.

A. Karmen dalam M. Mustofa juga mendefinisikan victimology sebagai kajian

ilmiah tentang viktimisasi dalam kaitannya dengan hubungan dan interaksi korban

dengan kejahatan dan sistem peradilan. Dari berbagai pengertian diatas dapat

disimpulkan bahwa viktimologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari sebab-sebab

27
A. P. (ARIO) WIGUNO, “Kajian Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak
Pidana Kesusilaan,” Legal Opinion 1, no. 1 (2013): 149884, accessed January 21, 2023,
https://www.neliti.com/id/publications/149884/.
28
Ibid..
29
Penanggung Jawab, J Tjiptabudy, and Sh M Hum, “VIKTIMISASI DALAM PROSES
PERADILAN PIDANA (STUDI KASUS PERKOSAAN),” SASI 21, no. 2 (December 20, 2015): 10–
16, accessed January 21, 2023, https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/182.
23

kejahatan dari sisi korban atau ilmu yang mempelajari peranan korban terhadap

terjadinya peristiwa kejahatan30.

6. Ruang Lingkup Victimology

Separovic dalam DM Arief berpendapat bahwa karena tidak berada di bawah

kendali manusia, korban belajar memeriksa korban kejahatan dan penyalahgunaan

kekuasaan daripada korban kecelakaan dan bencana alam. Tidak seperti Separovic

J.E. Sahetapy, suatu bidang antropologi yang diartikan sebagai antropologi atau

kekorbanan, dimana permasalahan korban tidak selalu berkaitan dengan unsur pidana,

dalam hal ini korban yang dikaji adalah korban kejahatan, korban bencana alam,

korban. Kecelakaan dan korban penyalahgunaan kekuasaan. Korban didefinisikan

sebagai tindakan yang dapat menyebabkan beberapa penderitaan, termasuk

penderitaan psikologis, fisik, sosial dan ekonomi, untuk diri sendiri atau orang lain.

Penegakan hak asasi manusia yang tidak tegas menyebabkan mudah

munculnya perbuatan pidana di masyarakat. Kekosongan norma yang mengatur

perbuatan yang sejatinya melanggar hukum menyebabkan mudah terjadinya

perbuatan tersebut di masyarakat. Salah satu akibat dari kekosongan norma hukum

adalah catcalling. Berbeda dengan dua pendapat diatas menurut Maya Indah,

viktimologi mengkaji korban untuk memberikan orientasi bagi kesejahteraan

masyarakat, memberikan perlindungan terhadap korban dan upaya agar masyarakat

tidak menjadi korban kejahatan. Mengambil beberapa pandangan di atas sebagai titik

30
M. Mustofa, “Viktimologi Posmodern,” Indonesian Journal of Criminology 13, no. 2
(2017): 229092, viktimologi Post modern.
24

tolak, maka tujuan ilmu viktimologi adalah mempelajari korban kejahatan guna

melindungi korban dan mencegah kejahatan serupa31.

Penjelasan pasal di atas sudah jelas bahwa perbuatan catcalling merupakan

suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaturan khusus mengenai catcalling.

Dan juga belum ada penelitian yang secara spesifik mengungkap perbuatan catcalling

ini sebagai seuatu perbuatan pidana, bahkan ada yang berpendapat perbuatan ini

adalah bentuk hal yang wajar.

Kemudian perbuatan catcalling dikategorikan sebagai perbuatan yang

melanggar kesusilaan serta mengakibatkan dampak yang besar bagi korban. Pelaku

dari perbuatan catcalling (pelecehan seksual verbal) disebut sebagai catcaller yang

harus dipidana karena telah melanggar hak asasi seseorang serta perbuatannya tidak

dikehendaki oleh yang menjadi korban.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga

merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum

pidana). Oleh karena itu, seiring pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum

pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement

policy).

Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-

undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila

kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan

politik sosial (social policy).

31
Ibid.
25

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini, peneliti memilih jenis penelitian yuridis

empiris/sosiologis. Ronny Hanitijio Soemitro mengemukakan penelitian hukum

sosiologis yaitu penelitian hukum yang mempeoleh datanya dari data primer atau data

yang di peroleh langsung dari masyarakat32. Alasan peneliti memilih penelitian yuridis

empiris karena data-data bersumber langsung dari korban Pelecehan Seksual Secara

Verbal (Catcalling) dalam rangka untuk mengetahui dan mengkaji bentuk-bentuk,

faktor dan perlindungan hukum yang mana korbannya adalah Mahasiswi di

lingkungan Universitas Bhayangkara Surabaya.

2. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

A. Pendekatan sosiologis (sosial approach)

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologis untuk

memperoleh data dalam lapangan dan mengkaji permasalahan hukum dalam

kehidupan masyarakat yang akan dikaitkan dengan peraturan-peraturan hukum yang

berlaku yang akan di teliti oleh penulis. Penelitian ini mengkaji peraturan perundang-

undangan terkait setelah itu mengaitkan dengan dinamika sosial yang terdapat di

masyarakat.

32
“Dualisme Penelitian Hukum : Normatif & Empiris / Mukti Fajar, Yulianto Achmad |
OPAC Perpustakaan Nasional RI.,” accessed January 21, 2023,
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=717229.
26

B. Pendekatan Perundang-undangan (Statude Approach)

Pendekatan perundang-undangan adalah metode pemeriksaan dasar hukum

dan dokumen normatif, buku teks dan sumber resmi yang berkaitan dengan

penelitian33.

3. Sumber Bahan Hukum dan/ atau Data

a. Data Primer

Data Primer adalah sumber pertama dimana sebuah data dihasilkan. Data

primer diambil dari sumber data pertama di lapangan. Data ini tidak tersedia dalam

bentuk terkompilasi ataupun dalam bentuk file-file. Data ini harus dicari melalui

narasumber atau dalam istilah teknisnya responden34. Adapun yang menjadi data

primer adalah korban pelecehan seksual secara verbal/catcalling yang berjumlah dua

orang yang merupakan mahasiswa di salah satu Universitas Bhayangkara Surabaya

b. Data Skunder

Data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil

penelitian berwujud laporan, buku harian dan seterusnya yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti.

c. Data Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum

primer dan sekunder dengan memberikan wawasan dan pemahaman terhadap bahan

33
“Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif / Jonathan Sarwono | OPAC Perpustakaan
Nasional RI.,” accessed January 21, 2023, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=707703.
34
Ibid..
27

hukum lainnya. Bahan hukum yang digunakan penulis adalah Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KKBI) dan Kamus Hukum.

4. Prosedur pengumpulan bahan hukum/ data

Dalam rangka memenuhi kebutuhan data untuk menunjang analisa peneliti

dalam penelitian hukum ini, pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara :

b. Observasi

Metode observasi ini dilakukan dengan cara mengamati setiap ruang, tempat

atau setiap kegiatan yang dilakukan dan kemudian peneliti melakukan pencatatan,

atau menggambar dari setiap tingkah laku pelaku yang akan diteliti tersebut. Bahkan

jika memungkinkan, dapat pula dibuatkan kronologi dari setiap kegiatan untuk

mempermudah melakukan pengamatan selanjutnya.Metode observasi dapat diartikan

sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenomena-fenomena yang akan

diteliti35. Dari hasil observasi diperoleh gambaran-gambaran bagaimana kronologi

kejadian dalam fenomena pelecehan seksual secara verbal/catcalling.

c. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik pokok dalam penelitian kualitatif.

Wawancara tidaklah bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh kreativitas individu

dalam merespon realitas dan situasi ketika berlangsungnya wawancara. Dalam

wawancara, peneliti harus membuat rumusan-rumusan pertanyaan, meskipun tidak

tertulis, namun selalu didasarkan pada tujuan penelitian, menggunakan konsep-konsep

baku, sehingga bersifat ilmiah. Dalam penelitian ini, informan yang akan

35
“Metodologi Penelitian Kualitatif / M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur ; Editor, Rina
Tyas Sari | OPAC Perpustakaan Nasional RI.,” accessed January 21, 2023,
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=853632.
28

diwawancarai yakni mahasiswi yang pernah mengalami pelecehan seksual secara

verbal/catcalling di salah satu Universitas Bhayangkara Surabaya dengan responden

yang berjumlah dua dan gambaran wawancara dengan responden yaitu seputar

kronologi kejadian yang dialami responden tentang pelecehan secara

verbal/catcalling.

d. Studi Kepustakaan

Dilakukan dengan cara mencari, mengumpulkan, mempelajari, dan mengutip

bahan-bahan yang berupa buku-buku, jurnal, makalah, peraturan perundang-undangan

yang berlaku serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti.

5. Pengolahan Data dan Analisis Sumber Bahan Hukum

Data yang diperoleh, baik primer maupun sekunder, dianalisis dengan

menggunakan penalaran logis (silogisme), yaitu. analisis diarahkan terhadap data

yang berbasis teori untuk secara efektif memahami baik sifat positif maupun normatif

dari fakta atau gejala yang menjadi dasar pengolahan data hasil studi lapangan yang

kemudian digabungkan dengan informasi dari studi literatur untuk kemudian

memberikan informasi yang akurat untuk menerima. kemudian disajikan deskriptif,

yaitu. mendeskripsikan, mendeskripsikan dan menjelaskan, sesuai dengan

permasalahan yang berkaitan erat dengan penelitian ini.


29

G. Sistematika Penelitian

Untuk mempermudah penyusunan, penulis membagi proposal ini menjadi

beberapa bab dan setiap bab terdiri dari sub bab yang masing-masing memuat sistem

pembahasan yang berbeda namun tetap dalam satu kesatuan tak terpisah.

Bab I: Bab ini sebagai pengantar dan pendahuluan yang menjelaskan penulis

mengangkat permaslahan mengenai pelecehan seksual verbal (catcalling), dan bab ini

berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kerangka teori, metode penelitian, serta yang terakhir adalah sistematika

penulisan.

Bab II: Dalam bab ini berisi tentang Tinjauan Umum bagaimana bentuk-

bentuk pelecehan seksual verbal di lingkungan UBHARA, Tinjauan Tentang

bagaimana perlindungan korban pelecehan seksual verbal di Indonesia.

Bab III: Memuat uraian mengenai metode penelitian yang meliputi jenis

penelitian, subyek dan obyek penelitian, sumber data, metode pengumpulan data dan

teknik analisis data.

Bab IV: Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan

yang telah ditentukan sebelumnya. Pertama, perpsektif pelecehan seksual verbal

menurut hukum pidana. Kedua, bagaimana perlindungan korban terhadap pelecehan

seksual verbal di Indonesia.

Bab V: Memuat kesimpulan yang berisi jawaban terhadap pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah dan saran-saran yang dimaksudkan

sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut.


30

BAB II

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran umum lokasi penelitian / profil subjek penelitian

Penelitian ini di lakukan di Kota Surabaya tepatnya di lingkungan Universitas

Bhayangkara Surabaya, dengan objek penelitian mahasiswa-mahasiswa di Universitas

Bhayangkara Surabaya. Universitas Bhayangkara Surabaya merupakan salah satu

universitas yang di kota Surabaya, Universitas ini memiliki tujuan yakni

menghasilkan ilmuan yang professional, cerdas, empati, bersusila, cakap, amanah,

dan bertanggung jawab untuk menyejaterahkan masyarakat dalam mengembangkan

pengetahuan. Kota Surabaya menjadi tempat berkumpulnya macam-macam

kebudayaan juga berdampak pada kehidupan di lingkungan kampus, yakni dengan

keragaman suku dan budaya mahasiswa Universitas Bhayangkara Surabaya. Lokasi

dilakukannya wawancara Bersama informan disepakati terlebih dahulu Bersama

informan, baik di dalam ataupun diluar kampus namun tetap dilakukan terhadap

mahasiswa Universitas Bhayangkara Surabaya sebagaimana telah dicantumkan.

1. Profil Subyek Penelitian

a. Subjek NS

NS adalah seorang perempuan berusia 22, berasal dari krian. Merupakan anak

pertama dari 2 bersaudara, lahir pada tanggal 9 oktober 2000. NS berkuliah di

Universitas Bhayangkara Surabaya dengan jurusan management. Secara fisik NS

memiliki postur tubuh yang ideal dengan kulit putih, serta paras wajah yang menarik.

NS memiliki penampilan yang tertutup hijab dan sopan.


31

Dalam kasus ini, peneliti melihat bahwa kasus yang di alami cukup parah

dimana bukan hanya sebatas catcalling melainkan sudah kea rah pelecehan fisik dari

pelakunya yang tidak lain adalah teman kelasnya sendiri. Meskipun bukan merupakan

Tindakan pelecehan yang besar, tetapi hal tersebut tetap memiliki dampak terhadap

psikis korban.

b. Subjek RM

RM adalah mahasiswa asal Surabaya, merupakan mahasiswa asal Universitas

Bhayangkara Surabaya. RM di tahun pertama memang memiliki tubuh yang berisi

dan berkulit putih karena itu RM kerap mendapatkan perilaku pelecehan seksual

verbal (catcalling) Ketika di lingkungan Universitas Bhayangkara Surabaya. RM

mengaku sempat mengalami masalah mental sebab pengalaman tak mengenakkan

saat berkuliah dan membuat RM merasakan rendah diri yang menyebabkan ia merasa

tidak nyaman saat berhadapan di banyak orang dengan kondisi postur tubuhnya.

Pada korban satu ini peneliti melihat dampak yang cukup parah diakibatkan

oleh perilaku catcalling di tengah masyarakat. Banyak kasus dimana korban banyak

mengalami kesahatan mental, kasus ini mendukung pernyataan puspitasari yang

menyebutkan dampak jangka pendek yang dialami sesaat setelah kejadian. Korban

biasanya merasakan jengkel, marah, rendah diri, dan merasa malu.

c. Subyek SP

SP merupakan putri pertama dari dua bersaudara, berusia 23 tahun yang

berasal dari kota Gresik. SP mengaku pernah mengalami catcalling yang dilakukan

oleh teman temannya sendiri, ia bahkan sering mendapat Tindakan catcalling dan

komentar-komentar sekaligus Tindakan body shaming.


32

Di dalam tongkrongannya SP biasanya dikelilingi oleh banyak teman laki-laki

bukan tanpa alas an, hal itu dapat terjadi karena dia memang berada dilingkungan

yang didominasi oleh laki-laki yakni fakultas Teknik. SP pernah mengalami tindakan

yang mengarah ke perbuatan catcalling ketika berada dalam tongkrongannya Bersama

teman temannya. Tindakan yang dilakukan seperti siulan atau panggilan panggilan

yang kurang menyenangkan saat berada di area kampus. SP mengatakan bahwa orang

yang sama akan melakukan tindakan catcalling ketika berada dalam kelompok.

Ketika bertemu sendiri ia terlihat seperti orang biasa biasa saja.

d. Subyek HI

HI adalah seorang perempuan berusia 23 tahun yang berasal dari kota Gresik

merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. HI berkuliah di UBHARA dengan

jurusan management. Secara fisik HI memiliki postur tubuh yang ideal, dengan kulit

putih dan memiliki wajah yang menarik. Dengan latar belakang non muslim yang

tetap menggunakan pakaian sopan karena berada di area kampus.

B. Hasil penelitian

Pada tahap ini peneliti akan memaparkan hasil penelitian yang dilakukan

mengenai catcalling. Berdasarkan wawancara yang mendalam Bersama para

informan, maka didapatkan hasil penelitihan yang di butuhkan sesuai dengan tujuan

penelitian catcalling yang terjadi di Universitas Bhayangkara Surabaya. Lokasi

dilakukannya wawancara Bersama informan disepakati terlebih dahulu Bersama

informan, baik di dalam ataupun diluar kampus namun tetap dilakukan terhadap

mahasiswa Universitas Bhayangkara Surabaya sebagaimana telah dicantumkan.


33

1. Bentuk – Bentuk Tindakan Catcalling Yang di Alami Informan

Berdasarkan pernyataan ke empat informan yang berstatus sebagai korban

yakni NS, RM, SP, HI mereka pernah mengalami tindakan catcalling di area kampus

UBHARA seperti ren yang mengalami tindakan pelecehan seksual verbal (catcalling)

“Biasanya sih sering di siulin sama kaya di panggil hey cewek, mau di

temenin gk, kamu siapa namanya, sini abang anter pulang, banyak lagi kak. Udah

segitu aja deh kak.”

Peneliti beranggapan bahwa NS sempat mengalami konflik dalam dirinya

karena akibat seringnya mengalami pelecehan seksual verbal (catcalling) terutama

dulu ketika masih berstatus masiswa baru dan kegiatan kuliah masih tatap muka,

anggapan tersebut berasal dari pernyataan yang mengatakan ia sempat bertanya

kepada temannya, untuk mendapatkan solusi / jawaban. Yang artinya bahwa NS

butuh tempat untuk menceritkan masalah/konflik dalam dirinya. Bahkan ia sempat

berpikir untuk berhenti kuliah saat itu karena rasa takut dan terganggu.

“ saya pernah bercerita kepada teman saya terkait mengapa saya kerap

mendapat perlakuan tersebut. dia juga bingung karena saya juga sudah mengenakan

pakaian yang sopan menurutnya36”

Pernyataan RM membuktikan argumen menurut Macmillan Et Al dalam

Elaine (2018) yang mengatakan bahwa catcalling menimbulkan rasa takut pada para

korban yang membuat mereka merasa bahwa mereka harus waspada saat berada

diluar dan sekitarnya. Mengatakan bahwa catcalling membuat korban merasa takut

dan mendominasi korban.


36
Nadila Safira (Mahasiswa UBHARA) , Wawancara, 11 Maret 2023.
34

Kisah rumit juga dimiliki oleh RM. Ia sempat merasa rendah diri karena

bentuk dari tubuhnya, karena godaan godaan yang diberikan kepadanya.

“dulu aku sempat malu kak kalau ketemu orang. Karena takut orang-orang

lain mandang aku kaya begitu”

“mereka kaya neriakin aku dari jauh “ndut yang baju..” gitu-gitu kak atau

pernah juga aku denger “putih banget, tapi sayangnya gendut”. Aku sempet kaya

ngerasa rendah, kaya mau marah gitu kak37”

Pada korban yang kali ini peneliti melihat dampak yang cukup parah

diakibatkan oleh perilaku catcalling yang dilakukan di tengah masyarkat. Banyak

kasus dimana korban akan mengalami Kesehatan mental, kasus ini mendukung

pernyataan puspitasari yang menyebut dampak jangka pendek yang dialami sesaat

setelah kejadian. Korban biasanya merasa marah, jengkel, terhina dan merasa malu.

Korban ketika SP, mendapat tindakan catcalling dari lingkungan yang

didominasi oleh laki-laki. SP yang merupakan mahasiswa fakultas Teknik ini merasa

tidak nyaman di area kampus karna kerap diteriakin dari kejahuan oleh laki-laki yang

berkumpul atau lirik lirikan di area sensual miliknya.

“seperti ketika saya berjalan di koridor, banyak tuh anak laki-laki berkumpul

nah itu manggil manggil kayak “adek sini atau di siul in kak” atau kayak ngeliatin kita

dari ujung ke ujung, malu banget kak38”.

Pada korban ketiga ini dia hanya merasa terganggu atas tindakan tersebut yang

membuatnya tidak nyaman saat berjalan di area kampus atau di sekitar banyak orang.

37
Rossa Mustica (Mahasiswa UBHARA), Wawancara, 13 Maret 2023.
38
Setya Putri (Mahasiswa UBHARA), Wawancara, 27 Februari 2023.
35

Korban terakhir, yakni HI, dengan latar belakang seorang non muslim kerap

keluar tanpa kerudung seperti teman-temanya lain.

“ Tapi ya kak, sebenarnya disini agak aneh kalo di kota saya agak aneh, kami

disana gak pakai jilbab ya gak ada yang goda Cuma itu alasannya39”.

Melihat fenomena ini peneliti melihat pengaruh lain yakni perilaku dan

kebiasaan suatu kelompok dan hubungannya dengan kebudayaan. Omrod menyatakan

bahwa sebuah kelompok budaya bekerja keras membantu anak yang sedang tumbuh

untuk mengadopsi berbagai perilaku dan keyakinan yang di pegang teguh oleh

kelompok itu.

Tindakan informan korban

NS RM SP HI

verbal

Gesture √ √ √ √

Melirik √ √ √ √

Bersiul √ √ √ √

Memanggil √ √ √ √

Menyentuh

Table 1.1 Rekap tindakan yang di terima oleh informan

C. Pembahasan Penelitian

Dalam kamus Oxford, catcalling diterjemahkan sebagai siulan,

panggilan, dan komentar yang bersifat sexual, terkadang dibarengi pula dengan
39
Hani Irawati (Mahasiswa UBHARA), Wawancara, 13 Maret 2023
36

tatapan yang bersifat melecehkan yang membuat perempuan menjadi tidak

nyaman. perilaku yang khas dari perilaku catcalling yaitu: mengomentari

penampilan seorang wanita. Pelaku terbiasa untuk melakukan catcalling dengan cara

spontan (secara langsung) dan menganggapnya sebagai hal yang biasa untuk

dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dari perempuan yang menjadi

korban40. Catcalling sendiri terdiri dari banyak tindakan, seperti bersiul, melirik,

memanggil dengan suara keras atau nada-nada yang mengarah pada aspek sensual

lainnya. Peneliti membuat rekap data ke dalam Tabel 1.1 tujuannya agar mudah

memudahkan dalam menganalisis hasil percobaannya. Berdasarkan data tersebut

dapat dilihat bahwa tindakan catcalling yang paling kerap dilakukan ialah melirik,

gesture, memanggil, dan bersiul.

Informan korban
Tindakan
NS RM SP HI

Mengetahui tentang
√ √ √ √
Catcalling

Tidak mengetahui tentang

Catcalling

Table 1.2 pengetahuan informan terhadap fenomena catcalling

Hasil analisa dari kedua sudut pandang ini menghasilkan pembahasan yang

secara singkat dapat diketahui bahwa aktivitas catcalling dilingkungan kampus

Ubhara adalah benar adanya dan dilakukan secara sadar oleh pelaku. Dan menurut

salah satu korban pada salah satu kasus catcalling berhasil membuka celah/jalan

Alhakim, “ANALISIS HUKUM CATCALLING DAN PEMENUHAN ASAS


40

BHINNEKA TUNGGAL IKA TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATAM DALAM


MENCEGAH PELECEHAN SEKSUAL VERBAL.”
37

untuk terjadinya pelecehan lebih jauh seperti pada korban NS dengan Pelaku. Metode

fenomenologi yang dilakukan pada penelititan inimenemukan bahwa pemahaman di

tengah masyarakat terhadap fenomena catcalling sebenarnya telah ada, dilihat dari

jawaban yang peneliti dapatkan melalui wawancara mendalam yang kesimpulannya

dapat dilihat pada Tabel 1.2 Namun, catcalling cenderung diabaikan karena

pewajaran yang timbul ditengah masyarakat, seperti yang telah penulis temukan dari

hasil wawancara. Mayoritas korban, meski mengetahui tentang catcalling yang

mereka terima, mereka cenderung menerima atau memilih untuk mendiamkannya

guna menghindari konflik lanjutan dari hal tersebut.

Sementara itu dari sudut pandang pelaku, mereka yang mayoritas memahami

pun juga terus melakukannya demi mempertahankan maskulinitas mereka. Budaya

patriarki yang sudah lama ada, dan meninggalkan stereotip gender antara pria dan

wanita, dimana dominansinya dimiliki oleh pria. Selain itu latar belakang terjadinya

tindakan catcalling adalah keisengan dan rasa bosan yang dimiliki oleh pelaku, dan

bahkan dari pernyataan seorang informan mengatakan bahwa catcalling juga sebagai

ajang unjuk keberanian seorang laki-laki.

1. Bentuk bentuk catcalling

a. Ekspresi Verbal

Catcalling verbal menurut Nina Tursinah dalam Harendza bahwa pelecehan

seksual secara lisan atau verbal merupakan siulan, komentar, atau bahkan pujian yang

tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi. Menurut penuturan dari beberapa

informan korban, pada bentuk ekspresi verbal, penulis mendapati bahwa memuji

adalah bentukcatcalling yang paling banyak terjadi dan dialami oleh setiap informan.

Ini dikarenakan pujian dapat menjadi alibi bagi para pelakucatcalling dalam
38

melakukan aksinya, hal ini sesuai dengan penelititan Coleen O’Leary yang berjudul

“Catcalling as a “Double Edge Sword”: Midwestern Women, Their Experinces, and

the Implications of Mens’s Catcalling Behasviours” ia mengatakan bahwa perempuan

ini merasa bahwa pengalaman dan persepsi mereka mengenai catcalling diabaikan

oleh laki-laki dan masyarakat karenacatcalling masih dianggap sebagai suatu pujian41.

Dari penggalan wawancara tersebut diperlihatkan bahwa RM yang menerima

pujian sekaligus ejekan di ruang publik sebagai salah satu dati ekspresi verbal

catcalling, dapat dilihat bahwa pujian atau komentar dihadapan umum seperti yang

di alami RM mempengaruhi mental korbannya

b. Ekspresi Non-verbal

Non-verbal yang berarti komunikasi tanpa ucapan melainkan

menggunakanbhasa tubuh, baik itu kontak mata, gestur dan yang lainnya

sebagaimana yang disebutkan oleh Chhun dalam Angeline ekspresi non-verbal juga

termasuk lirikan atau gestur fisik yang bertindak untuk memberikan penilaian

terhadap penampilan seorang wanita.

Ekspresi non-verbal sendiri merupakan bentuk tindakan catcalling yang

paling mudah dan minim resiko bagi pelaku sebab bisa diberikan alibi apabila

tindakan nya ketahuan. Oleh sebab itu ekspresi non-verbal ini kerap disepelekan,

sehingga praktiknya masih sangat banyak terjadi dibuktikan dari hampir setiap

informan (korban) yang pernah mendapatkan perlakuannya, dan hampir setiap

Informan (pelaku) pernah melakukannya42.

41
O’leary, “Catcalling as a ‘Double Edged Sword’: Midwestern Women, Their Experiences,
and the Implications of Men’s Catcalling Behaviors.”
42
Natazha Rifka Ramadhani Putri, “Perspektif Hukum Pidana Terhadap Perilaku Pelecehan
Secara Verbal (Catcalling) Di Indonesia.” (2021): 1–94.
39

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN CATCALLING

1. Teori Perlindungan Hukum

Aristolteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon. Oleh

karenanya tiap anggota masyarakat mempunyai hubungan antara satu dengan yang

lain. Tiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-

masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-

beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan

konflik maka tampil hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang

dinamakan perlindungan hukum43.

Istilah perlindungan hukum apabila diartikan kedalam bahasa inggris adalah

legal protection, tetapi istilah legal protection di dalam Black’s Law Dictionary itu

sendiri tidak ditemukan. Akan tetapi, dalam Black’s Law Dictionary ada pengertian

perlindungan hukum dalam skala yang lebih sempit dengan istilah protection order.

Protection order is order issued by court in domestic violence or abuse case to, yang

artinya bahwa perintah perlindungan adalah perintah yang diberikan oleh pengadilan

dalam kasuskasus kekerasan atau pelanggaran hukum domestic44.

Menurut Arif Gosita Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan

rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan

diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang

43
Ramadani Saputra Halawa, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Hukum
Terhadap Korban Pelecehan Seksual Secara Verbal.”
44
Ibid.
40

menderita45. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban menyatakan Korban adalah orang yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan

oleh suatu tindak pidana46.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual Secara Verbal

(Catcalling)

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa korban ialah pihak

yang paling dirugikan dalam suatu kejahatan karena menderita secara fisik, psikologi

dan ekonomi, maka sudah seharusnya korban mendapatkan suatu perlindungan

hukum. Perlindungan Hukum pada hakikatnya merupakan suatu perlindungan

terhadap hak asasi manusia. Hak-hak korban kejahatan yang harus dipenuhi untuk

mewujudkan suatu kepastian hukum menurut Arif Gosita korban sebagai berikut :

a) Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan

kemampuan memberi kompensasi pembuat korban dan taraf

keterlibatan/partisipasi/peranan korban dalam terjadinya kejahatan, delinkuensi

dan penyimpangan tersebut;

b) Korban berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak

mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya);

c) Korban berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban

meninggal dunia karena tindakan tersebut;

45
Arief Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan. Akademika
Presindo. Jakarta. Hal 41
46
I Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
41

d) Korban berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi;

e) Korban berhak mendapat kembali hak miliknya;

f) Korban berhak menolak menjadi saksi apabila membahayakan dirinya;

g) Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban

bila melapor dan membuat saksi;

h) Korban berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum;

i) Korban berhak mempergunakan upaya hukum (rechtsmiddelen)47.

Perilaku catcalling merupakan perilaku yang sudah ada dimasyarakat

Indonesia sejak dahulu, dan sudah dianggap hal biasa namun faktanya perilaku ini

merugikan korbannya. Dalam sebuah penelitian di Manilla menyebut bahwa

catcalling memiliki pengaruh buruk pada penurunan tingkat atau harga diri. Wanita

dapat merasa tidak percaya diri lagi, dapat merasa dirinya tidak terlalu bernilai dimata

orang lain dan kemungkinan memikirkan hal tersebut secara berlebih atau

overthinking. Tingkat keparahan pada penurunan self-esteem dapat berujung pada

depresi, karena rasa kurang percaya diri dapat membatasi ruang untuk berekspresi48.

Bentuk respon perempuan terhadap catcalling yang dialaminya dapat berbeda

antara satu individu dengan individu lainnya. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh

beragam kondisi yang melingkupi konteks terjadinya catcalling dan pemahaman

mengenai catcalling yang dialami oleh perempuan. Dampak-dampak yang diterima

korban adalah :

47
Arief Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan. Akademika
Presindo. Jakarta. Hal 53
48
Alhakim, “ANALISIS HUKUM CATCALLING DAN PEMENUHAN ASAS
BHINNEKA TUNGGAL IKA TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATAM DALAM
MENCEGAH PELECEHAN SEKSUAL VERBAL.”
42

b. Dampak Pada Kesehatan Psikis

Dampak pelecehan seksual terhadap perempuan bervariasi dan sangat tergantung

pada bentuk kasusnya. Dampak psikis terbagi menjadi dua yakni dampak jangka

pendek dan dampak jangka panjang. Dampak yang terjadi pada jangka pendek,

misalnya dialami sesaat atau beberapa hari setelah kejadian. Korban biasanya

marah, jengkel, terhina, dan merasa malu. Hal ini di antaranya ditandai dengan

gejala sulit tidur (insomnia) dan berkurangnya selera makan (lost of appetite).

c. Dampak Pada Pemenuhan Hak Asasi Manusia Perempuan dan Relasi Sosial

Tindak pelecehan baik dalam bentuk fisik maupun non fisik, mengakibatkan

perempuan menderita. Dampak yang dialami korban sering diperparah oleh reaksi

masyarakat ketika seorang perempuan menjadi korban. Mereka dipurukkan ke

dalam kondisi yang serba menyulitkan bagi mereka untuk mampu menjalankan

peranan sosialnya, yang dapat berakibat lebih lanjut pada eksistensinya dalam

relasi sosial di masyarakat.

d. Dampak Secara Ekonomis

Bila korban bermaksud memperkarakan tindak pelecehan yang dialaminya

melalui jalur hukum, fakta lapangan menunjukan korban perlu mengeluarkan

biaya besar untuk itu, setidaknya untuk biaya operasional selama proses

penyidikan sampai di pengadilan. Ini sangat menyulitkan perempuan miskin dan

bahkan dapat juga menimpa perempuan yang mandiri secara ekonomi,

Selama proses awal peradilan sampai dengan selesai, korban mendapat

perlindungan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi Korban) sesuai dengan yang

diatur dalam Pasal 8 angka (1), LPSK membantu pemberian hak-hak dan bantuan

hukum yang harus diterima oleh korban. Korban yang merupakan perempuan juga
43

dapat meminta perlindungan dan bantuan dari Komisi Nasional Antikekerasan

Terhadap Perempuan49. Hal ini termuat dalam Standart Operation Procedure Sistem

Penerimaan Pengaduan Komnas Perempuan. Penanganan kasus kekerasan terhadap

perempuan dapat berupa : Litigasi, Non Litigasi, Arbitrasi, Mediasi, Negosiasi,

Advokasi, Pemulihan, Layanan Psikologis, Layanan Medik, dan Layanan Terpadu.

Dengan demikian analisa penulis terhadap perlindungan hukum bagi korban

pelecehan seksual secara verbal jika dikaitkan dengan teori perlindungan hukum,

maka korban sebagai pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya suatu kejahatan,

semestinya harus mendapat perhatian dan pelayanan dalam rangka memberikan

perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingannya.Hak-hak korban tersebut diatur

dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana

Kekerasan Seksual. Dalam pengaplikasian undang-undang tersebut terdapat Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dapat membantu korban dalam hal

pemberian hak-hak serta bantuan hukum50.

Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa catcaling adalah suatu perbuatan

pelecehan secara verbal yang dimana tindakan tersebut tidak sopan dan lebih

mengarah kepada pelecehan seksual secara verbal51. Lontaran-lontaran ucapan yang

disuarakan oleh pelaku yang bersifat “cabul” dapat dikategorikan sebagai pelecehan

seksual. Bagi pelaku seringkali tindakannya tersebut hanya dianggap sebagai candaan.

49
Wiwik Liyani, “Street Harassment: Catcalling Sebagai Salah Satu Bentuk Pelecehan
Seksual Terhadap Perempuan Di Yogyakarta.”
50
Ramadani Saputra Halawa, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Hukum
Terhadap Korban Pelecehan Seksual Secara Verbal.”
51
Alhakim, “ANALISIS HUKUM CATCALLING DAN PEMENUHAN ASAS
BHINNEKA TUNGGAL IKA TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATAM DALAM
MENCEGAH PELECEHAN SEKSUAL VERBAL.”
44

Akan tetapi kalau memposisikan diri sebagai korban atau sasaran catcalling, tentu

merasa tidak nyaman dan merasa terganggu.

B. perspektif hukum pidana terhadap perilaku tindak pidana pelecehan seksual

verbal (catcalling) di lingkungan UBHARA

Perbuatan catcalling merupakan suatu perbuatan pidana yang termasuk ke

dalam pelecehan seksual. Perbuatan pidana merupakan suatu proses perbuatan yang

dilarang karena melanggar aturan hukum dan memiliki ancaman sanksi terhadap

orang yang melanggar aturan tersebut, larangan ditunjukan kepada perbuatannya dan

sanksi ditunjukan kepada orang yang menimbulkan perbuatan52.

Menurut teori moralitas, dasar dari suatu kriminalitas adalah perbuatan

immoral yang diancam dengan pidana, moralitas mencakup pengertian tentang baik,

buruknya perbuatan manusia . Namun tidak semua kejahatan bersumber dari

perbuatan immoral, melainkan kerugian yang timbul di dalam masyarakat.

Sebenarnya immoral dan kerugian yang di timbulkan saling berhubungan. Kerugian

ditimbulkan dari perbuatan immoral. Sama seperti perbuatan catcalling, perilaku ini

menimbulkan kerugian psiksi dan mental bagi korban53. Persepsi mengenai nilai

bersifat relatif dan cenderung berbedabeda, dalam satu kolektif yang sama bisa

berbeda dalam satu kategori masalah yang melibatkan pelaku dan korban. Bagi pelaku

catcalling perbuatan tersebut merupakan bentuk candaan, tetapi belum tentu bagi

korban catcalling, yang beranggapan bahwa catcalling merupakan hal yang harus

52
Didik Purwadi, Amiruddin, and Rina Khairani Pancaningrum, Hukum Pidana (Hukum
Pidana), Jurnal Ketha Semaya, vol. 10, 2022.
53
Asas Asas hukum Pidana, no. 1 (1959): 104–116.
45

ditindak lanjuti karena perbuatan catcalling mengganggu kenyamanan individual

korban.

Data hasil survey kekerasan seksual di indonesia dipublikasikan oleh change.org

Dari hasil survey diatas, terdapat adanya urgensi undang-undang terhadap

perilaku pelecehan verbal sangatlah tinggi, seiring dengan bertambahnya jumlah

kasus yang terjadi. Perilaku catcalling merupakan suatu perbuatan pidana karena telah

memenuhi unsur -unsur suatu tindak pidana. Unsur - unsur tindak pidana menurut

Prof. Simons adalah adanya suatu perbuatan manusia, diancam dengan pidana,

melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan oleh orang yang mampu

bertanggung jawab. Unsurunsur tindak pidana catcalling sebagai berikut:

1. Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia

Catcalling memenuhi unsur perbuatan manusia. Perbuatan tersebut berupa

melontarkan komentar berbau porno atau perilaku yang dapat memberikan rasa risih

terhadap orang lain;

2. Diancam pidana

Catcalling merupakan perbuatan yang termasuk pelecehan bersifat verbal dapat

diancam dengan pidana tentang kejahatan terhadap kesusilaan;


46

3. Melawan Hukum

Catcalling dapat dikatakan melawan hukum karena telah mengganggu dan

mengurangi hak asasi manusia lain, yaitu hak untuk memperoleh rasa aman;

4. Dilakukan dengan kesalahan

Unsur-unsur kesalahan diantaranya adalah kapasitas dari diri pelaku kejahatan

tersebut untuk mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya,

hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang dapat berupa

kesengajaan atau kealpaan dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan yang berupa

alasan pemaaf54.

5. Orang yang mampu bertanggungjawab

Seorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila tidak ada alasan pembenar

dan alasan pemaaf atas perbuatan yang dilakukannya. Sejauh perkembangan hukum

di Indonesia, penegakan hukum perbuatan catcalling belum memiliki kejelasan dasar

hukum serta penanganan yang tegas dalam penyelesaian perkaranya. Jika dilihat dari

perspektif hukum pidana bahwa pelecehan seksual verbal (catcalling) belum memiliki

pengaturan perundang-undangan secara khusus. KUHP kita hanya mengatur

pelecehan seksual atau istilah perbuatan cabul.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban dapat juga menjadi salah satu dasar hukum dari perbuatan catcalling 55. Pasal 1

angka 2 menyatakan secara garis besar korban adalah seseorang yang mengalami

penderitaan baik fisik, mental dan/atau kerugiaan ekonomi akibat suatu tindak pidana.

54
Purwadi, Amiruddin, and Pancaningrum, Hukum Pidana (Hukum Pidana), vol. 10.
55
Ibid.hal.14
47

Korban catcalling adalah seseorang yang mengalami kerugian secara mental dan

psikisnya karena perbuatan catcalling menyebabkan rasa malu, jijik, terganggu dan

ketakutan. Korbannya termasuk ke dalam korban langsung. Dimana korban langsung

memiliki karakteristik: korban ialah setiap orang, individu maupun kolektif,

menderita suatu kerugian baik fisik/mental/emosional, kehilangan pendapatan,

penindasan terhadap hak asasi manusia, disebabkan oleh adanya perbuatan atau

kelalaian yang dianggap suatu tindak pidana dalam hukum pidana dan disebabkan

oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan56.

Perundang-undangan di Indonesia, khususnya hukum pidana belum secara

jelas mengatur perbuatan pelecehan secara verbal, Dengan demikian, penyelesaian

perbuatan catcalling untuk sementara ini dapat menggunakan beberapa Pasal

gabungan, Seperti yang diatur dalam Pasal 281 Ayat (2) Pasal 289, Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Pasal 9, dan Pasal 35 ,Undang-Undang No 12 tahun 2022 dan

UndangUndang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, sebagai berikut: Pasal

281 Ayat (2) “Barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ

bertentangan dengan kehendaknya melanggar kesusilaan”57.

Agar dapat dihukum menurut Pasal ini, R Soesilo mengatakan bahwa orang itu

harus :

a. sengaja merusak kesopanan di muka umum, artinya perbuatan merusak kesopanan

itu harus sengaja dilakukan di tempat yang dapat dilihat atau didatangi orang

Sahat Maruli T. Situmaeng, Buku Ajar Kriminologi, Rajawali Buana Pusaka, 2021.
56

WIGUNO, “Kajian Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana


57

Kesusilaan.”
48

banyak, misalnya di pinggir jalan, di gedung bioskop, di pasar, dan sebagainya,

atau

b. sengaja merusak kesopanan di muka orang lain (seorang sudah cukup) yang hadir

di situ tidak dengan kemauannya sendiri, maksudnya tidak perlu di muka umum,

di muka seorang lain sudah cukup, asal orang ini tidak menghendaki perbuatan

itu.

Kata melanggar kesusilaan dalam penjelasan di atas berarti bahwa setiap

perbuatan yang melanggar kesusilaan yang dilakukan di muka umum merupakan

perbuatan yang merusak kesopanan, kesusilaan dan merupakan perbuatan yang tidak

menyenangkan.

Pengertian tersebut berarti bahwa segala perbuatan apabila itu telah dianggap

melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.

Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada gangguan di jalan (sexual

harassment) yang dapat diartikan sebagai unwelcome attention atau perbuatan yang

tidak diinginkan, sementara itu catcalling merupakan perilaku yang tergolong ke

dalam street harassment atau sexual harassment yang berarti bahwa perbuatan

catcalling tersebut dilakukan di tempat umum dan melanggar kesusilaan atau

kesopanan di tempat umum serta tindakan pelecehan seksual secara verbal (catcalling)

termasuk kategori pelecehan seksual nonfisik yang terjadi kepada seseorang tanpa

kesukarelaan orang tersebut.

Pasal 5 Undang-Undang No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

“ Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan

terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud

merendahkan harkat dan martabat seseorzrng berdasarkan seksualitas dan/atau


49

kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara

paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak

Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”

Korban tindak pidana catcalling sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban, secara hukum dapat dan berhak

untuk mendapatkan perlindungan dalam bidang keamanan, serta dibebaskan juga

untuk memilih jenis perlindungan apa yang akan diberikan kepada korban,

dibebaskan dari segala tekanan untuk memberikan keterangan, terlindungi dari segala

jenis pertanyaan yang bersifat menjerat, diberikan mengenai perkembangan informasi

mengenai kasus yang sedang berlangsung, mendapatkan informasi perihal putusan

pengadilan pelaku, diberitahu apabila terpidana bebas dari segala tuntutan,

memperoleh identitas baru, diberikan kediaman baru, serta mendapat jaminan

penggantian biaya ganti rugi perihal transportasi, diberikan nasihat hukum dan juga

mendapatkan biaya bantuan untuk menyokong kehidupan sementara58.

Dari penjelasan beberapa Pasal-pasal di atas masih belum dapat menjamin

kepastian hukum perilaku catcalling, dikarenakan di Indonesia sendiri belum ada

pengaturan perundang-undangan secara khusus yang jelas dan tegas mengenai

perbuatan catcalling itu sendiri, dan belum adanya pengesahan dan diterapkannya

RUU PKS yang memperluas dan dapat menjadi perlindungan terhadap korban

catcalling. Berbeda dengan negara lain, Di beberapa negara, tindakan catcalling sudah

termasuk perbuatan yang melanggar hukum. Para pelakunya dapat dijatuhi hukuman,

mulai denda yang cukup tinggi hingga ancaman kurungan. Contohnya baru-baru ini

58
Natazha Rifka Ramadhani Putri, “Perspektif Hukum Pidana Terhadap Perilaku Pelecehan
Secara Verbal (Catcalling) Di Indonesia.” (2021): 1–94.
50

Manila baru saja membuat peraturan yang mengecam perilaku catcalling, peraturan

menghukum semua bentuk pelecehan seksual di ruang publik, seperti catcalling, wolf-

whistling, kerlingan, tindakan meraba dan masih banyak lagi, Sanksi yang dijatuhkan

mulai hukuman kurungan penjara selama satu sampai 15 hari, dan atau denda mulai

200 Peso sampai 1.000 Peso, atau keduanya. Selain catcalling, tindakan yang

termasuk ke dalam peraturan tersebut adalah bersiul untuk memanggil, memainkan

mata, memaksa untuk memberikan nama dan data pribadi sekalipun sudah ditolak,

meledek, serta terus menerus menceritakan lelucon berbau seksual.59.

C. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Perilaku Pelecehan Secara Verbal

(catcalling) di Masa yang akan datang

Perbuatan catcalling merupakan suatu perbuatan pidana yang termasuk ke

dalam pelecehan seksual. Perbuatan pidana merupakan suatu proses perbuatan yang

dilarang karena melanggar aturan hukum dan memiliki ancaman sanksi terhadap

orang yang melanggar aturan tersebut, larangan ditunjukan kepada perbuatannya dan

sanksi ditunjukan kepada orang yang menimbulkan perbuatan60.

Perlindungan korban tindak pidana catcalling sama seperti perlindungan

korban tindak pidana lainnya. Korban dari tindakan catcalling di Indonesia yang

mendapatkan stigmatisasi masyarakat bukan pelakunya. Masyarakat terbiasa

menuduh korban karena menggunakan pakaian yang memancing tindakan catcalling

atau beranggapan tingkah laku korban yang memancing perbuatan catcalling61.

Menurut teori moralitas, dasar dari suatu kriminalitas adalah perbuatan


59
Ika Ardina, Manila Resmi Melarang Catcalling, di akses pada tanggal 18 Oktober 2020,
pukul 21.00.
60
Moeljatno, “Asas-Asas Hukum Pidana”,Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm.59.
61
Myrtati D.Artaria , “Efek Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus : Studi
Parliminier”, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2002, Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik Universitas
Airlangga, hlm. 56.
51

Masalah penanggulangan kejahatan di masyarakat, tentunya tidak dapat

dipisahkan dari konteks pembicaraan mengenai kebijakan penal. Kebijakan penal

(penal policy) dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk menanggulangi

kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana. Istilah kebijakan penal

mempunyai pengertian yang sama dengan istilah kebijakan hukum pidana (criminal

law policy) dan politik hukum pidana (strafrechtspolitiek). Oleh karena itu,

penggunaan ketiga istilah tersebut dalam bidang pemikiran mengandung arti yang

sama62.

Menurut teori moralitas, dasar dari suatu kriminalitas adalah perbuatan

immoral yang diancam dengan pidana, moralitas mencakup pengertian tentang baik,

buruknya perbuatan manusia. Namun tidak semua kejahatan bersumber dari perbuatan

immoral, melainkan kerugian yang timbul di dalam masyarakat. Sebenarnya immoral

dan kerugian yang di timbulkan saling berhubungan. Kerugian ditimbulkan dari

perbuatan immoral. Sama seperti perbuatan catcalling, perilaku ini menimbulkan

kerugian psiksi dan mental bagi korban. Persepsi mengenai nilai bersifat relatif dan

cenderung berbedabeda, dalam satu kolektif yang sama bisa berbeda dalam satu

kategori masalah yang melibatkan pelaku dan korban.

Perbuatan catcalling berpotensi sebagai perbuatan yang dapat dikriminal.

Dilihat dari syarat-syarat kriminalisasi yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,

perbuatan catcalling perlu aturan untuk mendapat kepastian hukum. Adapun syarat-

syarat kriminalisasi sebagai berikut:

62
Danang Enggartyasto and Irwan Hafid, “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Upaya Pemberantasan
Terorisme Siber Di Indonesia,” Jurnal Lex Renaissance 7, no. 1 (2022): 84–99.
52

1. Perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat, karena merugikan, atau

dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban. Suatu

perbuatan yang tidak disukai dan mengganggu kenyamanan orang yang telah

menjadi objek dari suatu perbuatan tersebut. Akibat dari perbuatan tersebut

menimbulkan suatu akibat dan kerugian bagi korban. Seperti perbuatan catcalling

merupakan perbuatan yang meresahkan objek terutama perempuan, sudah menjadi

masalah sosial di lingkungan masyakat. Dengan komentar-komentar seksual yang

terlalu berlebihan serta didukung dengan tindakan seksual, gerak-gerik seksual

akibat dari catcalling yang berlebihan ini berdampak pada terganggunya psikologi

dan mental korban serta hak asasi manusia seperti tertera dalam Pasal 30 Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Asasi Mannusia. Sudah seharusnya

2. Biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya

cost pembuatan undang-undang, pengawasan, penegakan hukum, serta beban

yang dipikul oleh korban, pelaku harus seimbang dengan situasi tertib hukum

yang akan dicapai sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Biaya mengkriminalisasi

sebagai sanksi berupa denda harus sesuai dengan beban yang dipikul Negara.

3. Hal tersebut apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang

tidak seimbang, atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang

dimilikinya. Perbuatan catcalling berpotensi tindak pidana tidak akan menjadi

beban bagai aparat penegak hukum, akan tetapi jika hal ini tidak diatur dan tidak

adanya kepastian hukum maka akan menambah beban bagi masyarakat yang

terkena catcalling63.

63
Kartika and Najemi, “Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) Dalam
Perspektif Hukum Pidana.”
53

4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau mengahalangi cita-cita bangsa,

sehingga bahaya bagi keseluruhan masyarakat. Perbuatan catcalling ada dan tidak

akan menjadi masalah sosial apabila tidak meresahkan masyarakat terutama

perempuan. Namun nyatanya perbuatan tersebut sudah berdampak buruk bagi

korban, penelitian dari berbagai lembaga pun telah membuktikan sekitar 99%

perbuatan ini dialami oleh perempuan dan sudah selayaknya dikriminalisasi.

Saat inilah perlunya kebijakan hukum terhadap perbuatan catcalling secara

khusus di masa yang akan datang untuk mencapai kepastian hukum dalam menangani

kasus tersebut. Untuk mencapai suatu kebijakan hukum pidana, perlu adanya

perumusan moral, nilai asas serta teori yang berhubungan dengan kebijakan hukum

pidana. Kebijakan hukum dilakukan harus memandang nilai-nilai yang terkandung di

dalam masyarakat.

Kebijakan kriminalisasi adalah kebijakan yang menetapkan suatu perbuatan

atau perilaku yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak

pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi hakikatnya kebijakan kriminalisasi

adalah bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan

saranahukum pidana (penal) sehingga termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana

(penal policy)64.

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah

64
Ramadani Saputra Halawa, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Hukum
Terhadap Korban Pelecehan Seksual Secara Verbal.”
54

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu saat65.

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan

peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk apa yang dicita-

citakan66.

Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)

pidana juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social

welfare). Oleh karena itu,dapat dikatakan kebijakan atau politik hukum pidana

merupakan bagian integral dari kebijakan politik sosial (social policy). Kebijakan

sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan

masyarakat. Dalam pengertian “social policy”, tercakup di dalamnya “social welfare

policy” dan “social defence policy”. Dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat

mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang

hukum pidana formil dan di bidang hukum pelaksanaan pidana67.

Kebijakan hukum pidana atau kebijakan penal merupakan suatu upaya dalam

penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam kebijakan penal mengandung

pengertian:

65
Marwin, “Penanggulangan Cyber Crime Melalui Penal Policy,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 5,
no. 1 (2013): 31–40.
66
Ibid.
67
Enggartyasto and Hafid, “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Upaya Pemberantasan
Terorisme Siber Di Indonesia.”
55

1. Kebijakan penal diartikan sebagai upaya penanggulang suatu kejahatan dengan

menggunakan sarana hukum pidana.

2. Kebijakan penal ditinjau dari politik hukum pidana adanya suatu tujuan yang ingin

dicapai, yakni suatu perundang-undangan dalam menanggulangi kejahatan.

3. Kebijakan penal mewujudkan suatu perundang-undangan sesuai keadaan dan masa

yang akan datang68.

Sifat melawan hukum dan kesalahan,di dalam hukum pidana atau KUHP

menganut teori monitis yang menyatakan sifat melawan hukum (wederrectelijkheid)

dan kesalahan (schuld) merupakan unsur dari tindak pidana (strafbaarfeit) 69 di dalam

RUU PKS terdapat suatu pasal mengatur perbuatan catcalling yang merupakan bentuk

dari kekerasan seksual dalam ruang lingkup publik terdapat pada Pasal 11 Ayat (1)

setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual. Pelecehan seksual yang dimaksud

pada Pasal 11 Ayat (1) huruf a yang dijelaskan pada Pasal 12 Ayat (1) RUU PKS,

kategori pelecehan sesksual adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk

fisik, non-fisik, berhubungan dengan tubuh, hasrat yang mengandung unsur seksual,

sehingga menimbulkan dampak bagi korban yang merasa terintimidasi, terhina,

direndahkan bahkan, dipermalukan70.

Berdasarkan Pasal di atas, dapat menjadi kebijakan hukum pidana di Indonesia

bahwasanya perbuatan catcalling bukanlah merupakan perbuatan yang biasa saja

tetapi merupakan perbuatan tindak pidana.

68
Situmaeng, Buku Ajar Kriminologi.
69
Putri, “Perspektif Hukum Pidana Terhadap Perilaku Pelecehan Secara Verbal (Catcalling)
Di Indonesia.”
70
Ibid.hlm.5
56

Pasal-pasal di atas masih belum dapat menjamin kepastian hukum perilaku

catcalling, dikarenakan di Indonesia sendiri belum ada pengaturan perundang-

undangan secara khusus yang jelas dan tegas mengenai perbuatan catcalling itu

sendiri, dan belum adanya pengesahan dan diterapkannya RUU PKS yang

memperluas dan dapat menjadi perlindungan terhadap korban catcalling. Berbeda

dengan negara lain, Di beberapa negara, tindakan catcalling sudah termasuk

perbuatan yang melanggar hukum.

Para pelakunya dapat dijatuhi hukuman, mulai denda yang cukup tinggi

hingga ancaman kurungan. Contohnya baru-baru ini Manila baru saja membuat

peraturan yang mengecam perilaku catcalling, peraturan menghukum semua bentuk

pelecehan seksual di ruang publik, seperti catcalling, wolf-whistling, kerlingan,

tindakan meraba dan masih banyak lagi, Sanksi yang dijatuhkan mulai hukuman

kurungan penjara selama satu sampai 15 hari, dan atau denda mulai 200 Peso sampai

1.000 Peso, atau keduanya. Selain catcalling, tindakan yang termasuk ke dalam

peraturan tersebut adalah bersiul untuk memanggil, memainkan mata, memaksa untuk

memberikan nama dan data pribadi sekalipun sudah ditolak71.

Menurut teori moralitas, dasar dari suatu kriminalitas adalah perbuatan immoral

yang diancam dengan pidana. Namun tidak semua kejahatan bersumber dari

perbuatan immoral, melainkan kerugian yang timbul di dalam masyarakat.

Sebenarnya immoral dan kerugian yang di timbulkan saling berhubungan. Kerugian

ditimbulkan dari perbuatan immoral. Seperti perbuatan catcalling yang termasuk

perbuatan immoral, mengakibatkan kerugian terhadap orang lain yang menjadi

korban dari segi psikis dan mental. Catcalling yang termasuk kejahatan kesusilaan,
71
Ika Ardina, Manila Resmi Melarang Catcalling, di akses manila-resmi-melarang-catcalling,
pada tanggal 18 Oktober 2020, pukul 21.00. https://beritagar.id/artikel/gayahidup/
57

menjadi suatu problema dalam penegakan hukumnya.

Berbagai problema dalam penegakan hukum dibidang kesusilaan masih sering

terjadi. Hal ini timbul karena adanya suatu penafsiran yang berbeda antara satu

dengan lain. Faktanya adalah norma-norma yang hidup dimasyarakat sering kali

bergeser dari segi pemahamannya bahkan ada yang berpandangan dari aspek

sosiologis. Kemudian adanya pengaruh globalisasi, sehingga membuat masyarakat

selalu membandinngkan dengan nilai yang hidup di luar.

Perwujudan dari suatu kebijakan hukum terhadap perbuatan pelecehan seksual

verbal (catcalling) tidaklah mudah, harus berdasarkan pertimbangan nilai-nilai

tertentu. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada

umumnya terwujud kepentingan-kepentingan yang hidup di dalam masyarakat,

mempunyai kepentingan sosial serta adanya kepentingan sosial tersebut terdapat nilai-

nilai yang harus dilindungi. Adapun kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut

Bassiouni yaitu:

1. Memelihara ketertiban dalam masyarakat yang meliputi keamanan dan

kenyamanan bagi masyarakat sekitar;

2. Adanya bentuk perlindungan bagi warga masyarakat dari kejahatan yang ada,

kerugian, serta menjadi masalah sosial maupun bahaya-bahaya yang tidak bisa

dibiarkan lagi;

3. Para pelanggar hukum harus di resosialisasikan kembali;

4. Memelihara atau mempertahankan integritas mengenai dasar tertentu terkait

keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu


58

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada delapan orang

informan yakni : NS, RM, SP, HI dapat disimpulkan bahwa fenomena catcalling

memang terjadi di kampus Universitas Bhayangkara Surabaya. Melalui data yang

peneliti temukan pada Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik dan hasil penelitian

yang telah peneliti lakukan menunjukkan bahwa hasil penelitian informan

memperkuat asumsi yang telah ditentukan sebelum proses penelitian. Beberapa

kesimpulan akan diuraikan sebagai berikut:

1. Perspektif hukum pidana terhadap perilaku perbuatan catcalling di Indonesia saat

ini belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur

untuk penyelesaian perbuatan pelecehan secara verbal (catcalling) yang

menyebabkan tidak adanya kepastian hukum. Penyelesaian catcalling sementara

ini dapat menggunakan penggabungan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Perlindungan saksi dan korban, Pasal 281 Ayat (2),Pasal 289 KUHP, Pasal 9,

Undang-Undang TPKS nomor 12 tahun 2022 dapat digunakan untuk penyelesaian

perbuatan catcalling di Indonesia.

2. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Perilaku Pelecehan Secara Verbal/catcalling

di Masa yang akan datang adalah Sanksi pidana yang dijatuhkan diusahakan

merupakan ultimum remedium dan ada upaya awal, upaya tersebut adalah upaya

preventif dengan penyantunan dan pendidikan sosial dan moral, Serta memperluas

pengertian pada Pasal 281 KUHP.


59

3. Terjadinya tindakan catcalling disebabkan karena adanya penyalahgunaan

hubungan interaksi antara laki-laki dan perempuan yang merugikan salah satu

pihak karena dilecehkan atau direndahkan melalui interaksi yang meliputi objek

sosial, symbol, bahasa dan pandangan. Fenomena catcalling di kalangan

mahasiswa di Universitas Bhayangkara Surabaya cukup masif terjadi.

4. Terjadinya tindakan catcalling adalah keisengan dan rasa bosan yang dimiliki oleh

pelaku, dan bahkan dari pernyataan seorang informan mengatakan bahwa

catcalling juga sebagai ajang unjuk keberanian seoranglaki-laki.

B. SARAN

Berdasarkan hasil yang didapatkan, peneliti ingin memberikan sedikit saran

kepada pihak - pihak yang sekiranya ingin melanjutkan penelitian ini agar dapat

memberikan perkembangan yang lebih baik agar dapat berperan sebagai referensi dan

mampu menyumbang pada perubahan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dan

dengan adanya penelitian ini peneliti berharap kepada para pembaca mengambil sisi

positif dari makalah ini. Sebab fenomena catcalling ini sudah seharusnya dihentikan,

karena kebiasaan tersebut hanya merugikan anak bangsa ke depannya, yang harus

merasakan perasaan rendah diri setelah mengalami perbuatan catcalling oleh orang-

orang tidak bertanggung jawab.

1. Seharusnya aparatur penegak hukum dapat lebih progresif dalam menerapkan

ketentuan pidana dari beberapa aturan atau Pasal terkait catcalling dalam

memberantas perbuatan catcalling di Indonesia. Kekosongan hukum mengenai

catcalling harus segera dibentuk agar mengurangi terjadinya perbuatan catcalling

di masyarakat.
60

2. Seharusnya lembaga terkait lebih pro aktif dalam melakukan edukasi

ataupun sosialisasi terkait perbuatan catcalling kepada masyarakat, hal

ini berdampak luas dalam mengikis makna sosial terkait budaya

patriarki di Indonesia.

3. Penegakan hukum terhadap pelecehan seksual secara verbal harusnya

dapat dijalankan dengan tegas guna memberikan kepastian hukum serta

perlindungan terhadap korban agar penimbulan korban ganda dalam

proses sistem peradilan pidana tidak terjadi lagi.

Anda mungkin juga menyukai