Anda di halaman 1dari 9

TINDAK PIDANA TERKAIT PELECEHAN SEKSUAL (CATCALLING) DI

INDONESIA

Raury Syahfitri

Universitas Muhammadiyah Pontianak


201710033@unmuhpnk.ac.id

ABSTRAK
Catcalling secara sederhana diartikan sebagai godaan,siulan,teriakan,komentar,bahkan
tatapan mata yang bersifat seksual yang biasanya dialami oleh perempuan dan dilakukan oleh
laki-laki yang lewat di jalan atau biasa disebut street harassment. Tindakan ini merupakan
bagian dari pelecehan seksual verbal, dan pelaku yang melakukan catcalling atau biasa
disebut catcaller biasanya melakukan hal tersebut agar mendapatkan perhatian dan berharap
perempuan akan merespon. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aturan hukum
yang berlaku di Indonesia mengenai kasus catcalling. Hal ini penting diketahui oleh
masyarakat supaya kasus ini tidak makin bertambah dan tidak dianggap remeh lagi.
Kebanyakan masyarakat menganggap catcalling adalah hal yang lumrah terjadi, padahal
dampak buruk yang dialami korban sangat bermacam-macam,satu diantaranya adalah
merasakan depresi,trauma,cemas dan lain-lain. Hasil penelitian ini adalah perbuatan
catcalling berpotensi adanya tindak pidana yang telah memenuhi unsur-unsur dari tindak
pidana, perbuatan ini dikategorikan sebagai perbuatan pelecehan seksual verbal dan dapat
dikaji dari beberapa pasal di dalam KUHP, Undang-Undang tentang pornografi serta
diperlukannya suatu kebijakan hukum terkait aturan khusus perbuatan catcalling untuk
mencapai suatu kepastian hukum dan juga terpenuhinya suatu syarat-syarat kriminalisasi
sehingga perbuatan catcalling bisa dibuat aturan secara khusus. Untuk mencapai suatu
kepastian hukum perlunya kebijakan hukum mengenai aturan secara khusus terkait perbuatan
catcalling serta adanya sanksi sosial bagi pelaku catcalling.
Kata Kunci : Catcalling,pelecehan seksual,masyarakat

PENDAHULUAN
Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan manusia agar tercipta ketertiban dan
diharapkan mampu mencegah terjadinya gangguan kepentingan yang berpotensi
menimbulkan konflik. Oleh sebab itu, sebagai warga negara Indonesia harusnya patuh
terhadap hukum yang berlaku. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari,banyak warga
negara yang masih melanggar hukum.
Kasus kriminalitas di berbagai negara mengalami peningkatan tiap tahun, salah satu
tindak kejahatan yang sering didengar adalah pelecehan seksual. Seiring berkembangnya
zaman, pelecehan seksual menjadi hal yang tidak tabu lagi dikalangan masyarakat karena
pergeseran moral masyarakat.
Satu diantara pelecehan seksual yaitu Catcalling. Catcalling secara sederhana
diartikan sebagai godaan,siulan,teriakan,komentar,bahkan tatapan mata yang bersifat
seksual yang biasanya dialami oleh perempuan dan dilakukan oleh laki-laki yang lewat di
jalan atau biasa disebut street harassment. Tindakan ini merupakan bagian dari pelecehan
seksual verbal, dan pelaku yang melakukan catcalling atau biasa
disebut catcaller biasanya melakukan hal tersebut agar mendapatkan perhatian dan
berharap perempuan akan merespon.
Banyak yang beranggapan bahwa catcalling adalah suatu perbuatan yang lumrah dan
merupakan hal yang wajar dilakukan, bahkan faktanya banyak yang menganggap
catcalling sebagai suatu pujian atau candaan yang disampaikan seseorang di tempat-
tempat umum. Para perempuan yang pernah mengalami tindak pelecehan seksual secara
verbal ini tidak bertindak apa-apa karena para korban ini tidak mengetahui ada undang-
undang yang melindungi para perempuan dari tindak Catcalling atau pelecehan seksual
secara verbal. (Kinasih, 2007).
Rata-rata korban catcalling akan merasa tidak nyaman, terganggu, malu, bahkan takut.
Menurut sebuah survey psikologis yang berbasis di Nex Jersey, catcalling dapat
menyebabkan korbannya tanpa sadar melakukan penilaian atas diri sendiri seperti
layaknya menilai benda (self-objectification).
Hal seperti ini terjadi karena ketimpangan gender yang diakibatkan oleh kuatnya garis
patriarki di dalam masyarakat. Perempuan seperti diperlakukan sebagai objek. Perempuan
juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kebebasan
berekspresi dalam kehidupan kesehariannya. Termasuk dalam hal berpakaian. Sangat
kurang tepat bila mengaitkan peristiwa catcalling dengan menyalahkan pakaian yang
dikenakan perempuan karena mau berpakaian seperti apapun, perempuan tetap akan
rentan menjadi korban catcalling dari lingkungan di sekitarnya. Apapun motivasi pelaku
terhadap korban, perbuatan catcalling tetap harus diminimalisir agar perempuan dapat
memiliki rasa aman dalam menunjukan kebebasan berekspresi dan juga tidak menjadi
rentang terhadap street harassment lainnya.
Tindakan catcalling terjadi di hampir seluruh negara dan menjadi suatu permasalahan
sosial yang serius karena berdampak besar pada kehidupan sosial manusia. Beberapa
negara membentuk aturan untuk memberantas catcalling dengan menjadikannya sebagai
bentuk tindak pidana, seperti Belgia, Portugal, Argentina, Kanada, New Zealand dan
Amerika Serikat (King, 2016).
Aturan yang diterapkan ini, bukan hanya berbentuk pada tindakan pidana melainkan
dalam bentuk denda seperti di Prancis yang melarang laki-laki untuk
melakukan catcalling dan mendorong wanita untuk melaporkan apabila merasa dipanggil
atau digoda oleh orang asing. Tidak hanya dalam bentuk aturan, beberapa negara juga
memiliki komunitas atau organisasi yang mendukung adanya gerakan untuk
membrantas catcalling, seperti organisasi Stop Street Harrasment (SSH) dan Stop Telling
Women To Smile (STWTS).
Di Indonesia, kasus catcalling hampir setiap saat dirasakan oleh para pengguna
tempat umum seperti transportasi publik, jalan raya ataupun lingkungan kerja. Terutama
untuk transportasi umum, pada tahun 2014 Jakarta ditempatkan sebagai urutan kelima
yang memiliki transportasi umum paling berbahaya dari 15 kota besar di dunia (Thomson
Reuters Foundation, 2014). Kasus catcalling di Indonesia ini masih belum dianggap
menjadi hal yang serius, melainkan menjadi risiko untuk wanita yang harus diambil
ketika memutuskan untuk berpergian sendiri.
Upaya untuk mengurangi tindakan tersebut atau menghukum catcaller masih
dikatakan minim, mengingat belum adanya hukum atau aturan yang spesifik untuk
menjadi dasar dari tindakan ini. Hukum yang mengatur tindakan pelecehan seksual secara
verbal ini diperlukan mengingat akan banyak dampak dari catcalling bagi wanita,
diantaranya adalah terus meningkatnya korban, kesehatan mental terganggu dan rasa
takut terhadap lingkungan sosial.
Kebiasaan masyarakat yang menormalisasi catcalling karena kurang cakapnya
pemberlakuan hukum dalam menyelesaikan perkara catcalling serta kurang beraninya
korban untuk melaporkan bahwa telah terjadi perbuatan catcalling haruslah berubah.
Catcalling sudah tidak boleh dianggap suatu hal wajar di masyarakat. Walaupun hal ini
sulit untuk dirubah mengingat catcalling sejak jaman dulu dinormalisasi oleh masyarakat,
tetapi dengan melibatkan semua elemen masyarakat serta aparat penegak hukum
perbuatan catcalling pasti dapat dihilangkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Effendy, dalam Ilmu Komunikasi, Teori & Praktik Komunikasi, komunikasi
adalah proses yang dilakukan individu untuk menyampaikan pesan terhadap individu
lainnya. Hal ini dilakukan karena individu tersebut memiliki tujuan untuk memberikan
informasi, mengubah sikap, pendapat atau perilaku dari individu tersebut. Adapun
penyampaian pesan tersebut dapat dilakukan secara lisan (secara langsung) maupun
melalui media (secara tidak langsung) (Effendy, 2017).
Dalam Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, ada tiga jenis
pesan verbal yaitu: verbal vokal, verbal visual, verbal vocal-visual. Pada vokal adalah
ketika pesan verbal disampaikan menggunakan suara (secara vokal). Pada visual adalah
ketika mengucapkan serangkaian pesan verbal tidak hanya menggunakan sebatas ucapan
tetapi juga menggunakan visualisasi agar visual tersebut juga dapat dilihat atau bahkan
didengar menggunakan telinga oleh penerimanya. Pada vokalvisual adalah pengucapan
kata-kata atau rangkaiannya menggunakan vokal dan dibantu lagi dengan adanya
visualisasi (Liliweri, 2009). Dalam Komunikasi Manusia: Teori dan Praktek dalam
Penyampaian Gagasan oleh Dr. Eko Harry Susanto, terdapat beberapa aksioma
komunikasi yang berkembang dalam penelitian salah satunya adalah komunikasi adalah
perilaku individu. Dalam aksioma komunikasi tersebut, komunikasi merupakan rangkaian
dorongan verbal maupun non-verbal, yang menghasilkan tanggapan secara paralel.
Komunikasi mencerminkan tingkah laku individu yang didorong oleh rangsangan-
rangsangan yang dapat menimbulkan hubungan perilaku reaktif berdasarkan karakter
mekanistis. Tanggapan terhadap rangsangan, diperkuat dengan feedback yang positif
maupun negatif terhadap perilaku kondisi yang sesungguhnya diharapkan (Susanto,
2018).
Menurut Harold Lasswell (1948) dalam buku Suciati Teori Komunikasi dalam Multi
Perspektif, mengusulkan model komunikasi yang terdiri dari lima unsur. Unsurunsur
tersebut adalah: Who (sumber : siapa), Says what (pesan : mengatakan apa), In which
channel (saluran komunikasi : pada saluran yang mana, To whom (penerima : kepada
siapa), With what effect (pengaruh : dengan dampak apa). Kelima unsur tersebut berperan
dalam menciptakan sebuah bentuk komunikasi (Suciati, 2017).
Kaum feminis radikal memiliki sebuah kecurigaan bahwa karena pemisahan ranah
publik dan juga ranah privat ini menyebabkan adanya ketertindasan terhadap perempuan.
Pada pemisahan ini terdapat pengertian bahwa ranah privat berada pada tingkatan yang
lebih rendah di bawah ranah publik. Oleh karena itu, tumbuhlah sistem KONEKSI yaitu
sistem patriarki. Kalangan feminis radikal meyakini ada penyebab dasar dari
ketertindasan perempuan yaitu seksualitas dan sistem gender (Arivia, 2018).
Menurut Bhasin (2000) dalam bukunya Memahami Gender, relasi gender menjadi
tidak seimbang dikarenakan patriarki. Secara umum, patriarki diartikan dominasi yang
dilakukan oleh laki-laki; kata “patriarki” didefinisikan sebagai kuasa yang dimiliki oleh
ayah atau “patriarch” (kepala keluarga), dan sejak awal mula telah digunakan untuk
mendeskripsikan secara spesifik sebagai “keluarga yang didominasi oleh laki-laki --
keluarga tersebut, yang beranggotakan perempuan, laki-laki yang berusia lebih muda,
anak-anak, budak dan pembantu rumah tangga, berada dalam kuasa yang dimiliki oleh
laki-laki pemimpin keluarga ini. Saat ini, istilah itu digunakan untuk merujuk kepada
kekuasaan laki-laki, kepada relasi kuasa, dalam keadaan lakilaki berada di tingkatan yang
lebih tinggi dari perempuan, dan menjadi ciri dari sistem di mana perempuan terus
direndahkan menggunakan banyak cara (Bhasin, 2003).
Adapun dirangkum oleh Taylor dan Moghaddam (1994), berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh sejumlah pakar, bahwa stereotip itu merupakan kesan bersifat kaku yang
tidak sesuai dengan kenyataan, keyakinan berlebihan yang sebenarnya tidak akurat dan
bersifat rasional. Kemudian adanya sifat penting yang lainnya menurut Hogg dan
Abraham (1988) bahwa stereotip merupakan keyakinan yang dimiliki bersama, artinya
bagian terbesar dari masyarakat akan setuju dengan isi stereotip kelompok tertentu.
Sebagai contoh, di kalangan masyarakat barat ada konsensus yang diterima secara meluas
bahwa orang Irlandia itu bodoh, orang kulit hitam tidak bertanggung-jawab, wanita
adalah makhluk emosional, dan lain sebagainya. Keyakinan itu diterima dengan
mengabaikan sejumlah pengecualian, misalnya bahwa ada wanita yang tidak emosional
(Susetyo, 2010).
Secara umum, Taylor dan Porter (1994) mengategorikan stereotip tersebut terhadap
dalam beberapa jenis. Jenis-jenis tersebut adalah stereotip rasial-etnis, stereotip kultural,
dan stereotip gender. Menurut Fakih (1996), stereotip gender merupakan pemberian label
terhadap jenis kelamin tertentu. Dalam hal ini, lebih banyak menyasar terhadap
perempuan, contohnya adalah stereotip tentang perempuan berdandan dengan tujuan
untuk membuat lawan jenisnya yaitu laki-laki merasa tertarik terhadapnya. Oleh karena
itu, pada kasus kekerasan dan pelecehan seksual sering disangkutpautkan dengan
stereotip ini. Tidak jarang, perempuan objek kekerasan dan pelecehan seksual tersebut
seringkali menjadi pihak yang justru disalahkan (Susetyo, 2010).
Chhun (2011) mengidentifikasikan catcalling sebagai: penggunaan kata-kata yang
tidak senonoh, ekspresi secara verbal dan juga ekspresi non-verbal yang kejadiannya
terjadi di tempat publik, contohnya: di jalan raya, di trotoar, dan perhentian bus. Secara
verbal, catcalling biasanya dilakukan melalui siulan atau komentar mengenai penampilan
dari seorang wanita. Ekspresi nonverbal juga termasuk lirikan atau gestur fisik yang
bertindak untuk memberikan penilaian terhadap penampilan seorang wanita (Chhun,
2011).
Macmillan et al (2000) memberikan argumen bahwa salah satu dari efek yang terjadi
akibat catcalling termasuk dengan membatasi kebebasan seseorang untuk bergerak.
Catcalling menimbulkan rasa takut pada para korban dan membuat mereka merasa bahwa
mereka harus waspada ketika mereka sedang berada di luar dan sekitarnya. Melsen
(2004) mengatakan bahwa catcalling dilakukan untuk menyebabkan rasa takut dan
mendominasi korbannya (Ellaine, 2018).
MacMillan et al. (2000) membuktikan bahwa tempat-tempat umum merupakan
tempat dimana pelecehan oleh orang asing sering terjadi. Karena pelecehan yang
dilakukan oleh orang asing, tempat-tempat seperti taman dan angkutan umum dirasakan
kurang aman bagi wanita yang sering mengalami catcalls (Eastwood, 2015).

METODOLOGI PENELITIAN
Artikel ini menggunakan metode yuridis normative, dimana penelitian ini berangkat
dari adanya isu hukum yang dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, atau
konsep baru sebagai preskripsi dalam menghadapi masalah yang dihadapi dan diperoleh
dari studi kepustakaan, dengan menganalisis suatu permasalahan hukum melalui
peratuaran perundang-undangan, literatur-literatur, dan bahan-bahan referensi lainnya.
Mengkaji perbuatan catcalling dari perspektif hukum pidana yaitu Pasal 281 Ayat (2)
Pasal 289, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34, Pasal 35
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Kemudian dalam segi
pembaharuan hukum harus mengkaji dari segi kebijakan hukum yang memperhatikan
moral, nilai, asas serta syarat-syarat kriminalisasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perbuatan catcalling merupakan suatu perbuatan pidana yang termasuk ke dalam
pelecehan seksual. Perbuatan catcalling ini tidak hanya sebatas suatu panggilan atau
siulan. Namun adanya batasan perbuatan catcalling yang benar-benar berpotensi sebagai
tindak pidana dan perlu pengaturan khusus seperti komentar-komentar seksual,
mengomentari bentuk tubuh, berusaha menggoda perempuan dengan perkataan manis
sampai kepada seksual serta melihatkan alat vital yang dilakukan secara berkelanjutan.
Hal ini merupakan kejahatan kesusilaan yang memang mengganggu hak asasi
seseorang dan selalu dianggap biasa bagi kalangan masyarakat. Padahal akibat dari
perbuatan catcalling yaitu dapat membuat seseorang merasa takut untuk keluar rumah,
tidak merasakan aman, nyaman dan tentram yang sangat berpengaruh bagi seseorang dari
segi psikologis, mental, dan pemenuhan hak asasi manusia.
Realisasi sosial perlu adanya tindak lanjut dengan aturan khusus. Namun sejatinya
ketika hal tersebut terjadi, hanya sedikit yang menanggapi dan bahkan tidak ditanggapi
oleh para penegak hukum. Ketika dilaporkan, sudah jelas itu merupakan kejahatan
kesusilaan. Faktanya yang menjadi korban dari pelecehan verbal (catcalling) takut untuk
melapor karena kurangnya respon dari masyarakat bahkan penegak hukum serta belum
ada suatu kepastian hukum. Biasanya yang menjadi korban dalam perbuatan catcalling ini
adalah perempuan, namun bisa juga kaum laki-laki, serta kaum Gay yang memang
menjadi objek catcalling itu sendiri.
Pemahaman mengenai catcalling di masyarakat masih sangat rendah karena adanya
pewajaran. Masih adanya anggapan bahwa catcalling adalah hal yang biasa atau
merupakan bentuk dari candaan dan pujian menyebabkan hal ini terus terjadi berulang-
ulang.
Menurut Budi Wahyuni perilaku ini bisa menjadi langgeng dan terus menerus terjadi
juga dikarenakan oleh adanya peran budaya patriarki. Beliau memberikan pendapatnya
mengenai hal ini dalam wawancara dengan mengatakan:
“Iya. Pewajaran dan pelanggengan budaya patriarki tadi. Budaya patriarki itu kan
ingin memposisikan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Ini kan sudah menciptakan
relasi kuasa yang satu tinggi, yang satu rendah. Nah, salah satu akar dari kekerasan
termasuk kekerasan seksual. Pelecehan seksual bagian dari kekerasan seksual adalah
relasi kuasa yang timpang. Jadi, relasi kuasa yang timpang akan melahirkan itu,
melecehkan, merendahkan, menyerang atribut seksual tertentu, menyerang harkat
martabat perempuan gitu loh.”
Menurut Bhasin (2000) dalam bukunya Memahami Gender, relasi gender menjadi
tidak seimbang dikarenakan oleh patriarki. Secara umum, patriarki memiliki pengertian
sebagai dominasi yang dilakukan oleh laki-laki; kata “patriarki” didefinisikan sebagai
kuasa yang dimiliki oleh ayah atau “patriarch” (kepala keluarga), dan sejak awal mula
telah digunakan untuk mendeskripsikan secara spesifik sebagai “keluarga yang
didominasi oleh laki-laki”—keluarga tersebut, yang beranggotakan perempuan, laki-laki
yang berusia lebih muda, anak-anak, budak dan pembantu rumah tangga, berada dalam
kuasa yang dimiliki oleh laki-laki pemimpin keluarga ini. Saat ini, istilah itu digunakan
untuk merujuk kepada kekuasaan laki-laki, kepada relasi kuasa, dalam keadaan laki-laki
berada di tingkatan yang lebih tinggi dari perempuan, dan menjadi ciri dari sistem di
mana perempuan terus direndahkan menggunakan banyak cara (Bhasin, 2003).
Catcalling merupakan salah satu produk dari budaya patriarki. Penempatan laki-laki
di atas perempuan menyebabkan terjadinya relasi kuasa sehingga tidak tercapai
kesetaraan gender. Budaya patriarki ini bukan hanya dilanggengkan oleh lakilaki namun
juga ada peran perempuan yang turut serta di dalamnya. Perempuan dalam budaya
patriarki sudah terbiasa didominasi oleh laki-laki. Karena perbedaan kedudukan itu,
perempuan dianggap sebagai objek.
Menurut Fakih (1996), stereotip gender merupakan pemberian label terhadap jenis
kelamin tertentu. Dalam hal ini, lebih banyak menyasar terhadap perempuan, contohnya
adalah stereotip tentang perempuan berdandan dengan tujuan untuk membuat lawan
jenisnya yaitu laki-laki merasa tertarik terhadapnya. Oleh karena itu, pada kasus
kekerasan dan pelecehan seksual sering disangkutpautkan dengan stereotip ini. Tidak
jarang, perempuan objek kekerasan dan pelecehan seksual tersebut seringkali menjadi
pihak yang justru disalahkan (Susetyo, 2010:26). Selain itu, budaya patriarki juga
memberikan tekanan pada laki-laki. Budaya ini menciptakan keadaan di mana laki-laki
dianggap jantan apabila sudah melakukan catcalling. Tekanan tersebut yang
menyebabkan laki-laki akhirnya melakukan hal itu karena adanya paksaan dari luar.
Kedua hal ini dalam patriarki menyebabkan perilaku ini terus menerus terjadi dan belum
bisa diakhiri.
Catcalling merupakan sebuah bentuk dari pelecehan yang ringan dan terdapat dalam
layer kedua piramida rape culture. Pada layer pertama terdapat perilaku seksis dan rape
jokes yang terjadi akibat adanya mindset. Catcalling berada pada layer kedua yaitu pelaku
sudah melakukan aksi. Perilaku ini tidak boleh diwajarkan dan dianggap normal. Apabila
tidak ada batasan terhadap perilaku dan sanksi yang jelas, maka kemungkinan besar
pelaku akan berproses ke tingkat selanjutnya yaitu kekerasan yang lebih berbahaya.
Sayangnya, sampai saat ini di Indonesia belum ada dasar hukum secara jelas
menyebutkan kalau catcalling bisa kena hukum. Oleh karena itu pelecehan verbal saat ini,
menggunkan gabungan beberapa pasal pada KUHP dan UU nomor 44 tahun 2008 tentang
Pornografi untuk menyelesaikan kasus catcalling.
Dalam KUHP, pasal yang bisa digunakan untuk penyelesaian perkara catcalling,
yaitu:

Pasal 281 KUHP


Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan
dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Menurut Pasal 281 ayat (2) ini, jika seseorang yang melakukan suatu perbuatan
asusila tanpa persetujuan dari orang tersebut di depan orang lain, maka pelaku dapat
dipenjara atau dikenakan denda.

Pasal 289 KUHP


“Barang siapa dengan kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang
menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun”.
Selain itu, dalam UU No. 4 Tahun 2008 tentang Pornografi ada beberapa pasal yang
bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam kasus catcalling, yaitu:
Pasal 1 angka 1
“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.”
Berdasarkan penjelasan di atas, catcalling bisa dianggap sebagai pornografi karena
memenuhi unsur yang disebutkan di atas, yaitu bunyi, gerak tubuh, suara, dan pesan
yang memuat kecabulan.

Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2008


“Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek
atau model yang mengandung muatan pornografi”.
Pernyataan Pasal 8 ini berkaitan dengan pernyataan Pasal 34 yang menentukan sanksi
pidana yang didapatkan oleh seseorang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan
pada Pasal 8.

Pasal 9 UU No. 4 Tahun 2008


“Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi.”
Dalam pasal 9 dalam UU 4 2008 tertulis jelas bahwa setiap orang dilarang
menjadikan orang lain objek atau model pornografi. Jadi, catcalling bisa dianggap
melanggar UU karena catcalling menjadikan orang lain sebagai objek bagi pelakunya.

Pasal 34 UU No. 4 Tahun 2008


“Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau
model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Pasal 35 UU No. 4 Tahun 2008


“Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”
Pasal 35 dalam UU No.4 tahun 2008 menjabarkan hukuman bagi mereka yang
melanggar aturan yang tertulis dalam Pasal 9 UU No.4.
Mereka yang menjadikan orang lain sebagai objek pornografi dapat dikenakan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda
sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai Rp. 6.000.000.000,- (enam
miliar rupiah).

SIMPULAN
Catcalling secara sederhana diartikan sebagai godaan,siulan,teriakan,komentar,bahkan
tatapan mata yang bersifat seksual yang biasanya dialami oleh perempuan dan dilakukan
oleh laki-laki yang lewat di jalan atau biasa disebut street harassment. Tindakan ini
merupakan bagian dari pelecehan seksual verbal, dan pelaku yang
melakukan catcalling atau biasa disebut catcaller biasanya melakukan hal tersebut agar
mendapatkan perhatian dan berharap perempuan akan merespon.
Perbuatan pidana catcalling di Indonesia belum memiliki dasar hukum yang pasti.
Penyelesaian perkara tindak pidana catcalling saat ini di Indonesia menggunakan dasar
hukum gabungan pasal pada KUHP dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi. Dalam KUHP Pasal 281 dan Pasal 315 serta pada Undang-Undang Pornografi
menggunakan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34 dan Pasal 35. Walaupun penggunaan pasal
tersebut dapat dijadikan dasar hukum perbuatan catcalling tetapi belum mampu menjamin
kepastian hukum secara maksimal.
Dari pemaparan yang sudah dijelaskan dapat ditarik kesimpulan bahwa catcalling
adalah masalah yang sudah lama terjadi di Indonesia khususnya. Catcalling yang
dikategorikan sebagai street harassment memiliki dampak yang sangat negatif bagi si
korban. Dampak negatif tersebut yaitu korban merasa risih, takut, marah, dan ketika
korban mengalami catcalling berkali-kali akan mengalami trauma.

DAFTAR PUSAKA
Dewi, I. A. A. (2019). Catcalling: Candaan, Pujian atau Pelecehan Seksual. Acta Comitas:
Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2), 198-212.
Akklasia, L. (2019). KRIMINALISASI PELECAHAN SEKSUAL VERBAL
(CATCALLING) DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA. Kumpulan Jurnal Mahasiswa
Fakultas Hukum.
Putri, L. J., & Suardita, I. K. (2019). Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Catcalling
(Pelecehan Verbal) Di Indonesia. Kertha Wicara.
Tauratiya, T. (2020). Perbuatan catcalling dalam perspektif hukum positif. Ekspose: Jurnal
Penelitian Hukum dan Pendidikan, 19(1), 1019-1025.
Putri, J. N. Catcalling: Mimpi Buruk untuk Perempuan.
Kartika, Y., & Najemi, A. (2020). Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual
(Catcalling) dalam Perspektif Hukum Pidana. PAMPAS: Journal of Criminal Law, 1(2), 1-21

Anda mungkin juga menyukai