Anda di halaman 1dari 5

KETIDAKADILAN KORBAN

KEKERASAN SEKSUAL PEREMPUAN

DI RANAH PUBLIK

Anggota Kelompok:

Gilbert Donovan W 175120407111025

Raisya Norafifa 175120400111046

Etha Cahya Safiera 175120401111006

Dara Fortuna 175120401111004

1. MASALAH SPESIFIK

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas


Perempuan) mencatat kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan pada
2018 mencapai 406.178 kasus, meningkat 16,6% dibandingkan 2017 yang
sebanyak 348.446 kasus.

Kekerasan Seksual menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani


dibanding kekerasan terhadap perempuan lainnya karena sering dikaitkan
dengan konsep moralitas masyarakat. Korban juga sering disalahkan sebagai
penyebab terjadinya kekerasan seksual. Ini membuat perempuan korban
seringkali bungkam. Di dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019,
terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan
ditangani selama tahun 2018 (naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466)
dan ranah publik/komunitas 3.915 kasus (28%). Tiga Jenis kekerasan yang
paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah pencabulan
(1.136 kasus), perkosaan (762 kasus), dan pelecehan seksual (394 kasus).

Korban - korban kekerasan seksual di ruang publik seringkali dianggap


memicu terjadinya aksi pelecehan tersebut karena mereka mengenakan baju
terbuka. Namun, pengakuan korban yang dikuatkan hasil survei terbaru
mematahkan anggapan itu. Dalam temuan survei, mayoritas korban
pelecehan seksual di ruang publik tidak mengenakan baju terbuka, melainkan
memakai celana atau rok panjang (18%), hijab (17%) dan baju lengan
panjang (16%).

2. LOKASI

Tempat Umum, khususnya konser music dan Tempat Perbelanjaan.


Belum lama ini telah terjadi pelecehan seksual yang terjadi di acara konser
musik di salah satu mall di kawasan Bekasi pada hari Sabtu 19 Oktober 2019.
Kondisi yang terjadi pada konser music memang terkadang tidak kondusif
dikarenakan banyaknya penonton yang menikmati music sambil menari dan
berlompat-lompatan. Dengan adanya kondisi yang tidak kondusif ini,
membuka kesempatan bagi para pelaku pelecehan seksual beraksi. Tak hanya
konser music, banyak pula kejadian-kejadian pelecehan seksual yang terjadi
di tempat umum lainnya, salah satunya ada tempat perbelanjaan. Hal ini
sering terjadi seiring banyaknya oknum yang tidak memandang pakaian
wanita. Maksudnya, para pelaku pelecehan seksual tidak hanya melecehkan
wanita dengan pakaian yang terbuka, namun juga wanita dengan pakaian
yang tertutup bahkan berhijab.

Sumber: https://radarmalang.id/malang-darurat-pelecehan-curanmor/

3. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MASALAH

Faktor terjadinya pelecehan seksual sebagian kecilnya yaitu karena masih


adanya ketidaktahuan dari para pelaku bahwa apa yang ia perbuat termasuk
tindak kejahatan, karena yang dilakukan adalah hal sepele, seperti bersiul,
ungkapan sexist, ajakan untuk berbuat seksual dan hal-hal yang bersifat verbal
lainnya. Faktor lainnya karena pelaku tidak bisa mengontrol hawa nafsu mereka,
sehingga pelaku kerap melakukannya di tempat umum seperti angkutan kota,
tempat sarana pendidikan (perguruan tinggi), kamar kost, dan di tempat kerja. 2.
Selain itu, ada juga faktor lain yang ditemukan dimana sebagian besar perempuan
yang menjadi korban cenderung diam dan tidak melaporkan kejahatan pelecehan
seksual, hal itulah yang membuat kejahatan pelecehan seksual masih sering
terjadi karena pelaku tidak di proses secara hukum sehingga tidak jera untuk
melakukannya kembali.

Farley (1978) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang


tidak dikehendaki penerimanya, di mana rayuan tersebut muncul dalam beragam
bentuk baik yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah.
Bentuk umum dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara fisik
(Zastrow dan Ashman, 1989; Kremer dan Marks, 1992), di mana pelecehan
secara verbal lebih banyak daripada secara fisik. Para ahli tersebut menyebutkan
pelecehan seksual dalam bentuk verbal adalah bujukan seksual yang tidak
diharapkan, gurauan atau pesan seksual yang terus menerus, mengajak kencan
terus menerus walaupun telah ditolak, pesan yang menghina atau merendahkan,
komentar yang sugestif atau cabul, ungkapan sexist mengenai pakaian, tubuh,
pakaian atau aktivitas seksual perempuan, permintaan pelayanan seksual yang
dinyatakan dengan ancaman tidak langsung maupun terbuka. Pelecehan seksual
dalam bentuk godaan fisik di antaranya adalah tatapan yang sugestif terhadap
bagianbagian tubuh (menatap payudara, pinggul atau bagian tubuh yang lain),
lirikan yang menggoda dan mengejap-ngejapkan mata, rabaan; mencakup
cubitan, remasan, menggelitik, mendekap, dan mencium, gangguan seksual
seperti rabaan atau ciuman yang terjadi karena situasi yang sangat mendukung
misalnya di lift, koridor dan ruang lain yang sepi setelah jam kerja, tawaran
kencan dengan imbalan promosi atau memojokkan perempuan untuk dicium,
proposisi seksual, tekanan yang halus untuk aktivitas seksual, usaha perkosaan
dan perkosaan itu sendiri.1

4. POTENSI SOLUSI

1
Sri Kurnianingsih, “Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Di Tempat Kerja”, Buletin Psikologi,
Vol.11, No.2, 2003, Yogyakarta, Hlm.117
“To create a world free from sexual violence, we need to work toward a future where
every

individual can move freely in public spaces without fear of harassment or harm.
Taking a stand

against street harassment means playing an active role as bystanders and building an

environment of respect for all.”2

— The National Sexual Violence Resources Center

Fenomena pelecehan di tempat umum khususnya di Indonesia telah di


anggap sebagai sesuatu yang sepele dan dapat diselesaikan dengan jalur
“kekeluargaan”.3 Payung hukum pidana di Indonesia sendiri tidak mengenali
istilah ‘pelecehan seksual’, namun terdapat butir-butir dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), disebutkan istilah ‘perbuatan cabul’ yang
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki definisi orang
yang suka merendahkan atau meremehkan orang lain, berkenaan dengan seks
(jenis kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki
dan perempuan. Perbuatan cabul dalam KUHP diperinci lagi melalui butir-
butir sebagai berikut4:

 Pasal 284 yang mengatur perbuatan cabul yang dilakukan laki-laki atau
perempuan yang telah kawin.

 Pasal 285 yang mengatur tentang pemerkosaan.

 Pasal 290 yang mengatur tentang (1) perbuatan cabul terhadap orang yang
tidak berdaya; (2) perbuatan cabul terhadap orang di bawah umur (15 tahun ke
bawah); (3) perbuatan cabul membujuk orang di bawah umur untuk
melakukan hal-hal tidak senonoh.

2
Kearl, Holly. (2014, Maret). Wawancara dengan The National Sexual Violence Resources Center untuk
Report “Stop Street Harassment”. Virginia: Stop Street Harassment. Diakses dari
https://www.stopstreetharassment.org/wp-content/uploads/2012/08/2014-National-SSH-Street-
Harassment-Report.pdf
3
Nikijuluw, Astrid. (2018, 31 Mei). Indonesia: Street Harassment: Prilaku “sehari-hari” yang tidak
dapat ditoleransi”. Stop Street Harassment Indonesia. Diakses dari
http://www.stopstreetharassment.org/2017/05/indonesia-2/

4
Baskoro, Lestantya. (2018, 29 Januari). Pelecehan Seksual dalam Hukum Kita. Tempo.co. Diakses dari
https://hukum.tempo.co/read/1055000/pelecehan-seksual-dalam-hukum-kita/full&view=ok
 Pasal 293 yang mengatur tentang perbuatan cabul berupa berbuat cabul orang
yang masih belum dewasa.

Peraturan di atas menurut kelompok kami masih memiiki ruang tafsir yang
terlalu luas dan belum mencakup segala perbuatan pelecehan yang menimbulkan
trauma psikologis bagi korban. Selain itu, pelecehan di tempat umum seringkali
sulit dibuktikan akibat banyaknya saksi yang lebih memilih untuk bungkam dan
tidak ikut campur. Atas realita tersebut, kelompok kami merasa bahwa dibutuhkan
kesadaran dan tindakan nyata yang massif yang dapat dijadikan sebagai suatu
potensi solusi untuk menciptakan ranah public yang aman dan nyaman bagi semua
kalangan, umur dan gender. Potensi solusi tersebut dapat digali melalui beberapa
langkah berikut:

 program edukasi bagi masyarakat untuk mensosialisasikan tindakan preventif,


represif, yudikatif serta kontributif

 kampanye sosial dan virtual untuk memperluas substansi edukasi

 program terapi bagi korban pelecehan seksual

 sosialisasi mengenai advokasi korban dan metode pelaporan dan penindakan

 kampanye revisi regulasi

Kelompok kami berharap, bahwa framework di atas dapat didukung dan


mendukung seluruh lapisan masyarakat dalam memerangi segala tindakan
pelecehan di ranah public.

Anda mungkin juga menyukai