Anda di halaman 1dari 5

Nama: Raihan Maulana Fajri

NPM: 2006580133

PERLINGDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELECEHAN


SEKSUAL DALAM TEMPAT KERJA

I. PENDAHULUAN

Merupakan sebuah fakta bahwasannya di era modern ini, kesetaraan gender telah
dikembangkan sehingga perempuan dapat mengakses banyak fasilitas seperti hak politik,
pendidikan, hingga pekerjaan. Hal tersebut cukup kontras dibandingkan di masa lampau
yang mana mereka dipandang sebagai bawahan dari laki-laki yang dituntut untuk
mengurus kebutuhan “dapur, sumur, kasur” saja. Meskipun zaman sudah berbeda, pada
kenyataannya masih terjadi berbagai bentuk perendahan terhadap martabat perempuan,
terutama di tempat bekerja baik berupa cacian, unsur-unsur diksriminatif, hingga pelecehan
seksual.

Pelecehan seksual merupakan segala bentuk perbuatan seksual yang dilakukan


secara verbal ataupun fisik oleh suatu individu terhadap individu lainnya tanpa persetujuan
sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman.1 Sering kali terdapat kekeliruan mengenai
perkataan macam apa yang tergolong sebagai pelecehan seksual verbal lantaran perbedaan
penafsiran antara korban dengan pelaku. Dalam hal ini, pelaku menganggap ucapannya
hanyalah sebuah pujian belaka terhadap korban, sedangkan korban merasa dilecehkan oleh
“pujian” tersebut.2 Seseorang yang mengalami tindak pelecehan seksual digolongkan
sebagai korban karena rasa malu, takut, ataupun efek negatif lain yang dialaminya sebagai
akibat dari perlakuan tersebut.

Pelecehan seksual dalam tempat kerja dapat menimpa siapa saja baik pegawai
perempuan maupun laki-laki dengan mayoritas 81% kasus menimpa pada perempuan
dilansir dari laporan Healthcareers.co. Survei dari tahun 1979 menunjukkan bahwa 59%
pegawai negeri perempuan di Illinois, Amerika Serikat pernah mengalami tindakan
pelecehan seksual oleh rekan kerjanya.3 Data tersebut membuktikan bahwa pelecehan

1
William L. Woerner dan Sharon L. Oswald, “Sexual Harassment in the Workplace: A View Through the
Eyes of the Courts,” Labor Law Journal, Vol. 41 (November, 1990) hlm. 786
2
Patricia Linenberger, “What constitutes sexual harassment?”, Labor Law Journal, Vol. 34 (April
1983), hlm. 238
3
Ruth Ann Strickland, "Sexual Harassment: A Legal Perspective for Public Administrators," Public
Personnel Management, Vol. 24 (1995), hlm. 493-513.
seksual bukanlah suatu hal yang baru terjadi belakangan ini, melainkan telah
tercatat dari tahun 70-an dan tidak menutup kemungkinan telah terjadi bertahun-tahun
sebelumnya.

Tulisan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan tindakan pelecehan


seksual di tempat kerja yang sering kali dianggap masyarakat sebagai hal yang tabu untuk
dibahas. Padahal sejatinya penting untuk dibahas agar korban berani untuk melaporkan
pelaku guna mencegah terjadinya tindakan-tindakan serupa di masa yang akan datang.
Hendaknya pembaca dapat memahami bahwa korban pelecehan seksual perlu bantuan
untuk dapat pulih dari trauma tersebut, bukan dijauhi atau dianggap kotor. Bahwasannya
tindakan pelecehan seksual sangatlah tercela dan dapat menyebabkan trauma yang
mendalam bagi korban kedepannya.

Setelah pendahuluan, Bagian 1 akan membahas mengenai berbagai bentuk


pelecehan seksual yang sering terjadi di tempat kerja beserta dampaknya terhadap korban.
Diharapkan pembaca dapat mengetahui parameter terjadinya suatu tindak pelecehan
seksual dan juga seberapa parah sejatinya tindakan tersebut sehingga menimbulkan
dampak berarti terhadap korban. Dilanjutkan dengan bagian 2 yang membahas mengenai
kaidah hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap korban. Pembaca akan
dapat memahami undang-undang baik di Indonesia maupun luar negeri yang mengatur
mengenai tindak pidana terhadap pelaku kekerasan seksual. Dilanjutkan dengan bagian 3
yang memaparkan efek terjadinya berbagai kasus pelecehan tersebut pada gerakan
feminisme. Perlu diketahui bahwa maraknya kejadian pelecehan tersebut justru
menyatukan para perempuan untuk bersatu melaporkan dan menuntut keadilan kesetaraan
gender terutama di tempat kerja di mana tindakan pelecehan seksual kerap terjadi. Bagian
4 akan menjelaskan upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi terjadinya
pelecehan seksual. Tulisan akan diakhiri dengan penutup dari penulis.

II. TINJAUAN PUSTAKA


I. Masalah yang teridentifikasi
a. Apa yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual
William Woerner dan Sharon Oswald dalam tulisannya yang
berjudul “Sexual Harassment in the Workplace: a View Through the Eyes of
the Courts” menyatakan definisi pelecehan seksual di tempat kerja sebagai
tindakan bersifat seksual yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh seseorang
dalam tempat kerja.4 Mereka pun menyetujui bahwasannya pelecehan seksual
merupakan suatu fenomena yang abstrak lantaran sulit untuk dibuktikan secara
nyata, tetapi tiap individu tentunya memiliki pendapat masing-masing akan
tindakan tersebut.5
Pernyataan serupa pun disampaikan oleh Siti Awaliyah bahwasannya
pelecehan seksual merupakan suatu perilaku yang menjurus pada hal-hal yang
bersifat seksual (verbal: bicara atau humor porno, memperlihatkan gambar
porno ataupun fisik misalnya menyentuh bagian tubuh) yang tidak disetujui
oleh korban.6 Adapun EEOC (Equal Employment Opportunity
Commission) mendefinisikan pelecehan seksual secara hukum sebagai
tindakan bersifat seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk memenuhi
hasrat seksual, dan perlakuan lainnya secara fisik ataupun verbal yang bersifat
seksual sehingga mengganggu kenyamanan seseorang dan berpengaruh
terhadap kinerja, produktivitas, dan membuat lingkungan yang tidak nyaman. 7
Sering kali parameter terjadinya pelecehan seksual dipertanyakan, apakah
melakukan hal sebatas bersiul atau menggoda termasuk pelecehan seksual?
Atau harus ada kontak fisik terlebih dahulu antara pelaku dan korban untuk
dapat dikatakan pelecehan? Dari definisi para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa segala aktivitas berbau seksual yang dilakukan tanpa melalui
persetujuan terlebih dahulu baik secara verbal maupun fisik, merupakan bentuk
tindakan pelecehan seksual. Adapun masing-masing penulis menyetujui
bahwasannya pelecehan seksual merupakan bentuk tindakan perendahan
derajat terhadap seseorang melalui perlakuan yang bersifat seksual tanpa
persetujuan sehingga mengakibatkan dampak negatif yang berarti pada korban.

b. Peraturan Hukum mengenai tindakan pelecehan seksual


James Campbell Quick dan M. Ann McFadyen berpendapat bahwa
segala bentuk tindakan pelecehan seksual di masa kini sedang dalam proses
penghapusan melalui berbagai penerapan kebijakan institusi tempat bekerja
tersebut, dan ditegaskannya hukum seperti Title VII of the Civil Rights Act of
4
Woerner dan Oswald, “Sexual Harassment in the Workplace,” hlm. 786.
5
Ibid, hlm. 786.
6
Siti Awaliyah, “Aspek Hukum dalam Pelecehan Seksual di Tempat Kerja,” Jurnal Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (Februari, 2014), hlm. 43.
7
Equal Employment Opportunity Commission, “Fact Sheet: Sexual Harassment Discrimination,”
https://www.eeoc.gov/publications/facts-about-sexual-harassment, diakses 23 November 2020.
1964 yang bertujuan untuk membentuk lingkungan pekerjaan yang bersifat
inklusif bagi segala gender, dengan menyinggung pelecehan seksual sebagai
salah satu dari sekian banyak tindakan terlarang. 8 Mereka menegaskan bahwa
pelatihan dan edukasi mengenai pelecehan seksual sangat dibutuhkan bagi para
karyawan guna mencegah terjadinya tindakan pelecehan seksual di tempat
kerja. Ruth Ann Strickland dalam jurnalnya “Sexual Harassment: A Legal
Perspective for Public Administrators” memaparkan bahwasannya telah
terdapat 33 negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan hukum
mengenai larangan tindak pelecehan seksual.9 Adapun hukum yang mengatur
mengenai pelecehan seksual tersebut seperti Civil Rights Act of 1964, Equal
Employment Opportunity Act 1972, Civil Service Reform 1978, Directive
Defining 1978, dan Civil Rights Act 1991, dan lainnya.10 Setiap negara dan
negara bagian telah sepakat bahwasannya tindakan pelecehan seksual
merupakan tindakan pelanggaran hukum sehingga pelakunya wajib untuk
dikenakan sanksi. Akan tetapi, hambatan terletak pada ketakutan para korban
untuk melaporkan karena kebanyakan pelaku merupakan atasan sehingga dapat
mengancam korban dengan pemecatan jika berani melapor.
II. Kesimpulan
Pelecehan seksual merupakaan bentuk perendahan martabat terhadap
seseorang baik laki-laki maupun perempuan dan sudah sepatutnya dihilangkan.
Meskipun telah banyak hukum yang mengatur mengenai larangan terhadap
tindakan kekerasan seksual, dalam kenyataannya tindakan bejat tersebut masih
sering terjadi di tempat kerja. Oleh karena itu, sudah saatnya intansi tempat kerja
menerapkan berbagai sosialisasi dan edukasi mengenai pencegahan terhadap
tindakan pelecehan seksual guna mencegah terjadinya tindakan bejat tersebut
sembari membentuk lingkungan kerja yang sehat untuk para pekerjanya.

8
James Cambell Quick dan M. Ann McFayden, “Sexual Harassment: Have We Made Any Progress?”
Journal of Occupational Health Psychology (2017) hlm. 293.
9
Strickland, "Sexual Harassment: A Legal Perspective for Public Administrators," Public Personnel
Management, Vol. 24 (1995) hlm. 493.
10
Ibid, hlm. 493-513.

Anda mungkin juga menyukai