Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TEORI PRAKTEK KONSELING KRISIS

“KRISIS PADA MASA REMAJA: PELECEHAN DAN KEKERASAN SEKSUAL”

Dosen Pengampu:

Dr. Evi Winingsih, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :

Ananda Dwi Shepty M.J 22010014122


Firlila Mustika 22010014150
M. Rafi Amrullah 22010014133

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2023
PENDAHULUAN
Korban kekerasan seksual seringkali memilih untuk tidak melaporkan kejadian
tersebut karena beberapa faktor, seperti ketakutan akan pembalasan, kurangnya kepercayaan
pada penegakan hukum, dan keyakinan bahwa kejahatan tersebut adalah masalah pribadi
yang harus ditangani secara pribadi. Menurut Survei Korban Kejahatan Nasional 2009, 90%
korban pemerkosaan adalah perempuan, dan wanita yang pernah mengalami pemerkosaan
sebelum usia 18 tahun memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk diperkosa ketika dewasa.
Kekerasan seksual dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk kontak fisik dan non-fisik,
seperti pelecehan seksual melalui komentar atau perilaku verbal, ancaman kekerasan seksual,
dan penyebaran materi eksplisit seksual tanpa persetujuan. Media massa dapat memainkan
peran penting dalam memberikan literasi kepada masyarakat tentang kekerasan seksual dan
mengubah pola pikir yang terkait dengan perempuan sebagai korban.
Pelecehan dan kekerasan seksual khususnya pada remaja merupakan masalah serius
yang mempengaruhi individu muda di seluruh dunia. Ini adalah isu yang kompleks dan
memerlukan perhatian serius dari masyarakat, pemerintah, dan lembaga terkait. Pelecehan
dan kekerasan seksual pada remaja adalah isu yang sangat serius dan harus diberantas.
Dibutuhkan upaya bersama dari masyarakat, pemerintah, sekolah, dan keluarga untuk
menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi remaja, serta untuk memberikan
pendidikan yang efektif tentang seksualitas dan persetujuan.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pelecehan dan Kekerasan
Pelecehan adalah tindakan yang merugikan, tidak diinginkan, dan seringkali
merendahkan seseorang atau kelompok orang. Ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk
dan lingkungan, termasuk fisik, verbal, psikologis, atau seksual. Pelecehan seringkali
melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, kontrol, atau tindakan yang mengganggu hak
asasi manusia individu atau kelompok dan seringkali melanggar hukum. Kebanyakan
masyarakat dan hukum mengakui kebutuhan untuk melindungi individu dari pelecehan
dan mengambil tindakan untuk mencegahnya. Banyak negara memiliki undang-undang
dan peraturan yang melindungi individu dari berbagai bentuk pelecehan dan
menyediakan mekanisme hukum untuk menangani kasus-kasus pelecehan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah "pelecehan" berasal dari
kata "Leceh," yang mengandung arti penghinaan atau peremehan. Sementara itu,
"peleceh" merujuk kepada individu yang senang melakukan penghinaan atau
peremehan (W.J.S Poerwadarminta: 2011: 679). Selain itu, kata "seksual" berkaitan
dengan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan (W.J.S Poerwadarminta: 2011:
1055). Dengan demikian, pelecehan seksual, menurut definisi dalam kamus besar
bahasa Indonesia, merupakan penggabungan dua kata yang mengindikasikan tindakan
merendahkan atau menghinakan orang lain. Jika merujuk pada sifat kata pelecehan
seksual, ini mencakup peristiwa yang berkaitan dengan hubungan seksual antara laki-
laki dan perempuan, dengan unsur hasrat atau nafsu seksual.
Kekerasan adalah tindakan atau perilaku yang merugikan, menyakiti, atau
mengancam seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk mendominasi,
mengendalikan, atau menyakiti mereka.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Kekerasan merujuk pada sesuatu yang keras,
tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang mengakibatkan
cedera atau kematian orang lain, atau menyebabkan kerusakan pada tubuh atau properti
orang lain. Dalam konteks hukum, tindak kekerasan, menurut Sue Titus Reid seperti
yang dikutip oleh Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, didefinisikan sebagai suatu
aksi atau perbuatan yang memiliki penjelasan hukum, kecuali jika unsur-unsur yang
diatur oleh hukum kriminal atau hukum pidana telah diajukan dan dibuktikan dengan
keraguan yang beralasan. Ini berarti seseorang tidak dapat dituduh melakukan tindak
kekerasan kecuali telah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh hukum pidana, dengan
adanya pembuktian yang memadai.
Dengan demikian, tindak kekerasan adalah perbuatan yang disengaja atau suatu
bentuk aksi atau kelalaian yang semuanya merupakan pelanggaran hukum kriminal.
Tindakan ini dilakukan tanpa alasan pembelaan atau dasar kebenaran dan diberi sanksi
oleh Negara sebagai suatu tindak pidana berat atau pelanggaran hukum yang lebih
ringan.
Penting untuk menyadari bahwa kekerasan dalam segala bentuknya adalah
perilaku yang tidak dapat diterima dan biasanya melanggar hukum. Pencegahan dan
perlindungan terhadap kekerasan sangat penting untuk melindungi hak asasi manusia
dan kesejahteraan individu.

B. Pelecehan dan Kekerasan Seksual


Menurut National Child Traumatic Stress Network, pelecehan seksual terhadap
anak (CSA) didefinisikan sebagai "segala bentuk interaksi antara seorang anak dan
orang dewasa (atau anak lain) yang melibatkan penggunaan anak tersebut untuk
kepuasan seksual pelaku atau pengamat. CSA bisa melibatkan tindakan fisik yang
melibatkan kontak tubuh maupun perilaku non-fisik." Definisi tersebut
menggambarkan dampak yang sangat tidak berperikemanusiaan dari pelanggaran-
pelanggaran tersebut.
Farley, seperti yang dikutip dalam Wigati (2003), mengungkapkan bahwa
Pelecehan Seksual adalah perilaku pria yang tidak bersifat saling memberi dan
menerima, di mana mereka mengejar peran jenis wanita di luar fungsi mereka sebagai
wanita yang bekerja. Jenis perilaku ini dapat mencakup rayuan, komentar seksual yang
tidak senonoh, sentuhan pada tubuh, permintaan layanan seksual, ajakan kencan yang
bersifat memaksa, tuntutan untuk hubungan seksual, dan upaya perkosaan. Greene,
seperti yang disebutkan dalam penelitian oleh Wigati (2003), menyatakan bahwa
pelecehan seksual adalah suatu bentuk perhatian yang tidak diinginkan oleh wanita
(sebagai korban), yang berasal dari atasan, manajer, klien, atau rekan kerja. Bentuk-
bentuk pelecehan ini dapat berupa pandangan mata, lirikan, sentuhan, cubitan, pelukan,
ciuman, komentar yang tidak senonoh, usulan seksual, dan upaya perkosaan.
Menurut Ardian, sebagaimana dijelaskan dalam penelitian oleh Ellyawati
(2000), pelecehan seksual atau pelecehan seksual didefinisikan sebagai pemberian
perhatian seksual melalui kata-kata, tulisan, atau kontak fisik kepada wanita, meskipun
hal tersebut tidak diinginkan oleh wanita tersebut. Wanita diharapkan menerima
perhatian tersebut seolah-olah itu adalah sesuatu yang 'wajar'. Pendapat Pangkahila
(1996) menyebutkan bahwa pelecehan seksual adalah jenis perilaku yang berfokus pada
unsur seksual, ditujukan kepada orang lain, dan dapat menimbulkan perasaan tidak
nyaman dan merugikan. Perasaan tidak nyaman ini melibatkan emosi seperti marah,
jengkel, risih, malu, takut, tekanan, bahkan depresi.
Kekerasan seksual menurut WHO (World Health Organization) dalam (Widias
Putri et al., 2016) merupakan keterlibatan korban atau anak dalam kegiatan seksual
yang masih belum dapat dipahaminya. Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan yang
tidak senonoh dari orang lain, kegiatan yang mengarah pada pornografi, perkataan-
perkataan secara verbal, dan melibatkan anak dalam sebuah bisnis prostitusi, Kekerasan
seksual terhadap anak menurut ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism)
Internasional yaitu hubungan atau interaksi antara seorang korban atau anak dengan
seseorang yang lebih tua atau anak yang sudah memiliki pemikiran dewasa, bahkan
bisa dengan orang dewasa yang tidak dikenal, kemudian bisa juga dengan saudara
sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai pemuas
kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini biasanya dilakukan dengan paksaan, ancaman,
penyuapan, tipuan, dan tekanan. Kegiatan tersebut tidak harus melibatkan kontak badan
antara pelaku dengan korban atau anak tersebut. Namun, bentuk-bentuk kekerasan
seksual sendiri bisa berarti melakukan tindak pemerkosaan ataupun pencabulan. (Sari,
E. et al., 2018).
Kekerasan seksual adalah perilaku yang meliputi tindakan seksual yang
dilakukan atau dicoba oleh orang lain tanpa persetujuan bebas dari korban atau
seseorang yang tidak dapat menyetujui atau menolak. Ini mencakup berbagai bentuk,
seperti penetrasi paksa, tindakan yang difasilitasi oleh alkohol atau obat terlarang,
kontak seksual yang tidak diinginkan, dan pengalaman seksual tanpa kontak fisik.
Contoh-contoh dari pengalaman seksual yang tidak diinginkan termasuk dipaksa ke
dalam situasi seksual, pelecehan seksual melalui komentar atau perilaku verbal,
ancaman kekerasan seksual, dan merekam, mengambil, atau menyebarluaskan materi
eksplisit seksual tanpa persetujuan. Kekerasan seksual tidak selalu melibatkan kontak
fisik, dan dapat terjadi tanpa sepengetahuan korban.
Dalam konteks kekerasan seksual, penting untuk memahami bahwa kontak
fisik tidak selalu menjadi bagian dari pengalaman tersebut. Beberapa bentuk
kekerasan seksual dapat terjadi tanpa sepengetahuan korban, seperti pelecehan seksual
melalui komentar atau perilaku verbal, ancaman kekerasan seksual, dan penyebaran
materi eksplisit seksual tanpa persetujuan.
C. Macam - macam Pelecehan dan Kekerasan
a. Berikut adalah beberapa bentuk pelecehan yang umum:
1. Pelecehan Fisik: Ini melibatkan penggunaan kekuatan fisik untuk menyakiti
atau merugikan seseorang, seperti pukulan, tendangan, atau tindakan fisik lainnya.
2. Pelecehan Verbal: Pelecehan verbal terjadi ketika kata-kata kasar, ejekan,
ancaman, atau komentar merendahkan digunakan untuk merugikan atau melukai
seseorang secara lisan.
3. Pelecehan Psikologis: Pelecehan psikologis melibatkan tindakan yang
merugikan secara emosional atau mental, seperti penghinaan, mengisolasi individu,
atau pengendalian psikologis.
4. Pelecehan Seksual: Ini melibatkan perilaku seksual yang tidak diinginkan
atau merugikan terhadap seseorang, seperti pelecehan fisik atau verbal, pemerkosaan,
atau eksploitasi seksual. Pelecehan seksual di Amerika Serikat didefinisikan oleh Equal
Employment Opportunity Commission (EEOC, 2016) sebagai "tindakan seksual yang
tidak diinginkan, permintaan bantuan seksual, dan perilaku lisan atau fisik lainnya yang
bersifat seksual" yang "secara jelas atau tidak jelas berdampak pada pekerjaan
seseorang, mengganggu pekerjaan individu secara tidak wajar, atau menciptakan
lingkungan kerja yang intimidatif, tidak ramah, atau menyinggung"
b. Ada berbagai macam kekerasan, yaitu:
1. Kekerasan Fisik: Ini melibatkan penggunaan kekuatan fisik untuk menyakiti
atau melukai seseorang. Contohnya adalah pukulan, tendangan, pemukulan, atau
penggunaan senjata.
2. Kekerasan Psikologis: Kekerasan ini melibatkan tindakan yang merugikan
secara emosional atau mental tanpa melibatkan tindakan fisik langsung. Ini bisa
termasuk ancaman, pelecehan verbal, penipuan, atau pengendalian psikologis.
3. Kekerasan Verbal: Ini terjadi ketika kata-kata kasar, ancaman, atau ejekan
digunakan untuk merendahkan atau menyakiti seseorang secara verbal.
4. Kekerasan Seksual: Ini melibatkan tindakan seksual yang tidak diinginkan
atau merugikan terhadap seseorang, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, atau
eksploitasi seksual.
5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Ini terjadi dalam konteks hubungan
pasangan atau keluarga. Kekerasan ini bisa fisik, psikologis, atau seksual, dan
seringkali melibatkan kekuatan dan kontrol yang salah dari salah satu pasangan.
6. Kekerasan Cyber: Kekerasan ini melibatkan penggunaan teknologi dan
internet untuk melecehkan, mengintimidasi, atau mengeksploitasi seseorang secara
online, misalnya perundungan daring (cyberbullying) atau penyebaran gambar tanpa
izin (revenge porn).

D. Jenis Lain dari Kekerasan


1. Menguntit
Menurut Biro Statistik Keadilan (2012), tindakan menguntit dapat
didefinisikan sebagai "perbuatan yang ditujukan pada seseorang yang mampu
menciptakan rasa takut pada orang yang rasional" (hal. 1). Contoh konkret dari
perilaku penguntit mencakup (1) melakukan panggilan telepon yang tidak
diinginkan; (2) mengirim surat atau email yang tidak diinginkan atau tidak
diinginkan; (3) mengikuti atau memata-matai korban; (4) muncul di tempat-
tempat tanpa alasan yang sah; (5) menunggu di tempat korban; (6)
meninggalkan barang yang tidak diinginkan, hadiah, atau bunga, dan (7)
memposting informasi atau menyebarkan desas-desus tentang korban di
Internet, di tempat umum, atau melalui mulut ke mulut.
2. Perdagangan Seks: “Perbudakan Hari Modern”
Undang-undang Perlindungan Korban Trafiking (T VPA), yang disahkan pada
tahun 2000, mengartikan anak di bawah usia 18 tahun yang terlibat dalam
"aksi seks komersial" sebagai korban (Reid 8: Jones, 2011, hlm. 207). Banyak
bukti menunjukkan bahwa anak-anak yang terjerat dalam industri perdagangan
seks tidak memiliki kemampuan untuk membuat keputusan dan
mempertahankan kendali, sehingga diklasifikasikan sebagai korban yang
sejati, bukan pelaku kejahatan.
3. Kekerasan Seksual dan Konseling Sekolah
Bekerja dengan populasi remaja, para konselor sekolah profesional mungkin
menghadapi situasi di mana siswa telah mengalami kekerasan seksual. Situasi
persetujuan bisa menjadi masalah ketika berurusan dengan pertemuan remaja
yang bersifat seksual. Mengingat definisi yang luas tentang kekerasan seksual
(seperti kekerasan seksual, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan penguntit),
penting bagi konselor sekolah untuk memahami definisi kekerasan seksual dan
peraturan yang mengatur langkah-langkah yang harus diambil. Panduan dari
OCR (2011) menyarankan agar konselor sekolah:
a. Menetapkan seseorang dari pusat konseling sekolah yang "siap dipanggil"
untuk memberikan bantuan kepada korban pelecehan atau kekerasan seksual
kapan pun dibutuhkan.

b. Menawarkan layanan konseling, kesehatan, kesehatan mental, atau layanan


holistik dan komprehensif lainnya kepada semua siswa yang terdampak oleh
pelecehan seksual atau kekerasan seksual.
E. Penyerangan dan Pemerkosaan Seksual
Korban kekerasan seksual seringkali memilih untuk tidak melaporkan kejadian
tersebut karena beberapa faktor, seperti ketakutan akan pembalasan, kurangnya
kepercayaan pada penegakan hukum, dan keyakinan bahwa kejahatan tersebut adalah
masalah pribadi yang harus ditangani secara pribadi. Menurut Survei Korban
Kejahatan Nasional 2009, 90% korban pemerkosaan adalah perempuan, dan wanita
yang pernah mengalami pemerkosaan sebelum usia 18 tahun memiliki risiko dua kali
lebih tinggi untuk diperkosa ketika dewasa. Kekerasan seksual dapat terjadi dalam
berbagai bentuk, termasuk kontak fisik dan non-fisik, seperti pelecehan seksual
melalui komentar atau perilaku verbal, ancaman kekerasan seksual, dan penyebaran
materi eksplisit seksual tanpa persetujuan. Media massa dapat memainkan peran
penting dalam memberikan literasi kepada masyarakat tentang kekerasan seksual dan
mengubah pola pikir yang terkait dengan perempuan sebagai korban.
1. Serangan seksual merupakan tindakan kejahatan seksual yang melibatkan
kontak seksual yang tidak diinginkan antara korban dan pelaku, sering kali
berupa pemaksaan atau percobaan pemaksaan. Cara hukum mengkategorikan
tingkat kekerasan seksual bisa berbeda-beda di berbagai negara, oleh karena
itu penting bagi konselor krisis untuk memahami hukum yang berlaku di
wilayah mereka. Kekerasan seksual sering kali dianggap sebagai isu seksual,
namun terdiri dari beberapa bentuk, termasuk pemerkosaan (penetrasi tubuh),
percobaan pemerkosaan, paksaan untuk melakukan tindakan seksual tertentu
seperti seks oral atau penetrasi tubuh pelaku, serta sentuhan atau cumbuan
seksual yang tidak dikehendaki (RAINN, 2015).
2. Pemerkosaan, menurut Biro Statistik Keadilan (2016b), merupakan tindakan
hubungan seksual yang dilakukan secara paksa, baik melalui paksaan
psikologis maupun kekuatan fisik. Beberapa poin penting perlu diperhatikan
dalam konteks pemerkosaan. Pertama, pemerkosaan hanya merupakan satu
dari berbagai bentuk serangan seksual. Kedua, kekuatan fisik bukanlah satu-
satunya cara dalam pemerkosaan; pelaku dapat menggunakan tekanan
emosional, psikologis, atau taktik manipulasi (RAINN, 2015). Ketiga, ada
beberapa jenis pemerkosaan, termasuk pemerkosaan yang melibatkan orang
yang dikenal, kekerasan seksual dalam hubungan intim, dan pemerkosaan
menurut hukum.
3. Perkosaan Kenalan, Istilah "Perkosaan Kenalan" telah mengalami evolusi dari
apa yang sebelumnya disebut sebagai "pemerkosaan saat berkencan" selama
beberapa dekade terakhir. Perkosaan kenalan terjadi di kalangan umum dan
sering terjadi di lingkungan kampus. Terdapat tiga faktor utama yang muncul
yang meningkatkan risiko bagi wanita yang berpendidikan tinggi menjadi
korban kekerasan seksual atau perkosaan: (1) paparan yang sering terjadi
hingga titik inkubasi, (2) status keadaan tidak memiliki pasangan, dan (3)
pengalaman menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya.

F. Faktor Pelecehan dan Kekerasan


Kasus kekerasan seksual kepada konseli atau anak dipengaruhi oleh berbagai
faktor, diantaranya bisa dari keluarga, teman sebaya, paparan pornografi maupun
pengalaman dan historis dari korban kekerasan seksual John A. Hunter (2016). Dalam
situasi seperti ini, maka posisi konseli atau anak menjadi pihak yang lemah dan tidak
berdaya, moralitas masyarakat terutama pelaku kekerasan seksual yang rendah, kontrol
dan kesadaran dari orang tua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak,
kurangnya edukasi dari pihak pemerintah yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat,
dan masih banyak lagi faktor-faktor lain. (Sri Hertinjung, 2009)
1. Status Ekonomi Keluarga.
Status sosial pada ekonomi keluarga ini pada setiap lingkungan masyarakat
dengan sengaja atau tidak sengaja terbentuk dengan sendirinya dalam konteks
ini Soekanto mengutip keterangan Aristoteles : “Bahwa di dalam tiap-tiap
negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang
melarat dan mereka yang ada di tengah tengahnya”. Kondisi ekonomi dalam
masyarakat pada umumnya dijadikan sebagai patokan atau acuan dalam
pemberian status pada setiap anggota masyarakat (Abdulsyani, 2007: 92)
dalam (Dwi Cahyani & sunarko, 2015).
2. Tingkat Ekonomi.
Kondisi ekonomi setiap keluarga tentu berbeda-beda. Menurut BPS (Badan
Pusat Statistik) terdapat 2 kategori yakni ekonomi keluarga mampu dan
ekonomi keluarga tidak mampu (miskin).
3. Pendidikan Orangtua.
Orang tua pada masa sekarang ketika memberikan pendidikan mengenai
kesehatan masih dipengaruhi oleh emosi daripada logika mereka. Orang tua
merasa malu, tidak percaya diri dengan kemampuan mereka, takut akan
pengetahuan adalah pengetahuan yang salah. Selain itu, orang tua juga merasa
bahwa pendidikan seksual adalah hal yang tabu dan tidak layak diberikan
kepada anak-anak di usia dini seperti ketika seorang anak duduk di sekolah
dasar (Nyarko, 2014; Nagpal & Fernandes, 2015; Laura Widman, et., al.
2014). Orang tua harus mempunyai kesadaran bahwa anak memiliki hak untuk
mendapatkan akses informasi yang benar tentang seksualitas sesuai dengan
kebutuhan dan tahap perkembangan usianya dengan menggunakan bahasa dan
metodologi yang tepat untuk anak usia dini. Anak juga berhak untuk
dilindungi dari resiko pelecehan dan kekerasan seksual. (Kulsum, 2013).
4. Tingkat Pendidikan.
Pada masing-masing jenjang pendidikan, pemberian pemahaman tentang
seksual sangat dibutuhkan. Masyarakat harus dibekali pengetahuan apa saja
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual terhadap anak.
Orang tua dan guru juga harus mengajarkan tindakan-tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan anak untuk menghindari pelecehan seksual. (Anhusadar
& Rusni, 2016).
5. Tipe Asuh Orangtua.
Titis Pravitasari (2012) mengungkapkan pola asuh yang diterapkan oleh orang
tua dapat berperan aktif dalam pemberian pengetahuan seksual terhadap anak-
anak sehingga mereka memiliki kemampuan untuk mengurus diri sendiri.
Anak yang berpikir positif pada cara asuh orang tua akan lebih patuh pada
aturan dan lebih berhati-hati dalam bertindak. Anak akan berpikir bahwa
orang tua akan menegur atau memberikan hukuman apabila perilaku mereka
menyimpang. Sebaliknya apabila persepsi anak negatif terhadap pola asuh
orang tua, maka anak akan bertindak semaunya. Mereka berperilaku seperti
karena konseli berpikir bahwa apapun yang mereka lakukan, kemungkinan
orang tua tidak akan memperdulikannya.
6. Teman Sebaya.
Teman sebaya termasuk faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
pada anak remaja dan masyarakat modern seperti sekarang ini. Remaja
menghabiskan sebagian besar waktunya bersama teman sebaya. Pada masa
remaja, hubungan dengan teman sebaya meningkat secara drastis, dan saat
bersamaan hubungan dengan orang tua akan menurun. Peran teman sebaya
berkaitan erat dengan sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku.
Pengaruh negatif interaksi sosial dalam persahabatan yaitu sangat erat sekali
dan akan menimbulkan perilaku menyimpang. ( Sigalingging, G & Sianturi,
I.A. 2019)
G. Dampak Trauma Akibat Pelecehan Seksual
Finkelhor dan Browne (Tower, 2002) mengkategorikan beberapa jenis mengenai
dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh individu atau anak,
diantaranya :
1. Pengkhianatan (Betrayal)
Kepercayaan merupakan hal utama bagi korban yang mengalami kekerasan
seksual. Sebagai seorang anak, tentu mempunyai kepercayaan kepada orangtua,
dimana kepercayaan itu dimengerti dan mudah untuk dipahami. Namun,
kepercayaan yang dimiliki anak dan otoritas dari orang tuanya menjadi sesuatu
yang mengancam terhadap anak.
2. Trauma Seksual (Traumatic sexualization)
Menurut Russel (Tower, 2002) untuk menemukan bahwa perempuan yang
mengalami kekerasan seksual lebih cenderung untuk menolak hubungan
seksual, dan sebagai konsekuensi untuk menjadi korban kekerasan seksual
dalam rumah tangga.
Sedangkan menurut Finkelhor (Tower, 2002) mencatat bahwa korban dari
kekerasan seksual lebih memilih pasangan yang sesama jenis, karena mereka
menganggap bahwa laki-laki sudah tidak dapat dipercaya.
3. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness)
Adanya rasa takut yang menembus dalam kehidupan korban yang membuat
korban tersebut mengalami mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh
korban disertai dengan rasa sakit. Kemudian perasaan yang tidak berdaya
mengakibatkan individu atau korban merasa lemah. Korban merasa bahwa
dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam melakukan aktivitasnya.
Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Begitu sebaliknya, pada
korban lain cenderung memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam
dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).
4. Stigmatisasi (Stigmatization)
Korban yang mengalami kekerasan seksual biasanya merasa bersalah, malu, dan
memiliki gambaran diri yang buruk atas apa yang telah mereka alami. Rasa
bersalah dan rasa malu tersebut terbentuk akibat ketidakberdayaan dan perasaan
yang mereka rasakan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol
diri mereka sendiri. Kemudian anak sebagai korban akan sering merasa bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban akan memarahi dirinya
atau marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami, ia akan merasa
menyesal mengapa ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Korban lainnya
biasanya akan menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk
menghukum tubuhnya, lalu menumpulkan inderanya untuk berusaha
menghindari memori dari kejadian yang terjadi tersebut (Gelinas, Kinzl dan
Biebl dalam Tower, 2002).
Secara fisik mungkin memang tidak ada sesuatu yang harus dipermasalahkan pada
individu atau anak yang menjadi korban kekerasan seksual, tetapi secara psikis
mereka kemungkinan dapat menimbulkan ketagihan, rasa trauma, pelampiasan
dendam dan lain sebagainya. Sesuatu yang telah menimpa mereka akan
mempengaruhi kematangan dan kemandirian hidup anak atau korban di masa
depan, cara mereka melihat dunia dan masa depannya secara umum.
Krisis dapat memiliki dampak yang signifikan pada remaja, baik dalam aspek fisik,
emosional, sosial, maupun psikologis. Krisis dapat merujuk pada berbagai situasi
sulit atau tantangan yang dihadapi oleh individu, dan pengaruhnya tergantung pada
jenis krisis dan bagaimana remaja mengatasi atau menanggapinya. Beberapa
pengaruh umum dari krisis pada remaja melibatkan:
1. Stres Emosional:
- Krisis dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi pada remaja. Mereka
mungkin mengalami kecemasan, depresi, atau gejala-gejala lain dari tekanan
emosional.
2. Perubahan Perilaku:
- Beberapa remaja mungkin menunjukkan perubahan dalam perilaku mereka. Ini
bisa mencakup penarikan diri, meningkatnya agresivitas, atau pencarian pelarian
dalam perilaku berisiko.
3. Pengaruh Kesehatan Mental:
- Krisis dapat berkontribusi pada perkembangan masalah kesehatan mental pada
remaja. Mereka mungkin mengalami peningkatan risiko gangguan makan,
gangguan tidur, atau masalah psikologis lainnya.
4. Pengaruh Akademis:
- Krisis dapat mengganggu konsentrasi dan fokus belajar remaja. Hal ini bisa
berdampak negatif pada prestasi akademis mereka.
5. Perubahan Hubungan Sosial:
- Remaja mungkin mengalami perubahan dalam hubungan sosial mereka. Beberapa
mungkin mengalami isolasi sosial, sementara yang lain mungkin mencari
dukungan dari teman sebaya.
6. Pertimbangan Identitas:
- Krisis dapat memicu pertimbangan dan pertanyaan mengenai identitas remaja.
Mereka mungkin mencari pemahaman tentang siapa mereka, tujuan hidup, dan
bagaimana mengatasi tantangan tersebut.
7. Pengaruh Keluarga:
- Krisis dalam keluarga, seperti perceraian atau kehilangan anggota keluarga, dapat
memberikan dampak yang signifikan pada remaja. Hal ini dapat memengaruhi
dinamika keluarga dan hubungan dengan orang tua.
8. Risiko Perilaku Berbahaya:
- Beberapa remaja mungkin merespon krisis dengan perilaku berbahaya, seperti
penyalahgunaan zat, seks bebas, atau keterlibatan dalam perilaku berisiko lainnya.
9. Pengaruh Jangka Panjang:
- Krisis dapat memiliki dampak jangka panjang pada perkembangan remaja,
memengaruhi keputusan hidup, hubungan interpersonal, dan kesejahteraan umum.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua remaja akan merespons krisis dengan cara
yang sama. Faktor-faktor seperti dukungan sosial, koping, dan resiliensi juga dapat
memoderasi pengaruh krisis pada remaja. Penting bagi orang tua, pendidik, dan
pemangku kepentingan lainnya untuk memberikan dukungan dan sumber daya yang
dibutuhkan untuk membantu remaja mengatasi krisis dengan cara yang sehat.
H. Data
Menurut data terbaru Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, pada periode data kasus tahun 2023 (1 januari 2023 - saat ini )
terdapat 21.005 kasus kekerasan. Dengan penjabaran persentase korban anak-anak
dengan umur dibawah 6 tahun mencapai 7.3% , umur 6-12 tahun 18.0% , anak remaja
hingga dewasa awal dengan umur 13-24 tahun 43.7% kasus. Dengan persentase
menurut jenis kelamin korban ialah 80.0% untuk perempuan dan 20.0% untuk laki-
laki.
Data laporan Komnas Perempuan untuk tahun 2022 menunjukkan bahwa
kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan yang paling umum terhadap perempuan
dengan jumlah kasus sebanyak 2.228 (38.21% dari total laporan), diikuti oleh
kekerasan psikis sebanyak 2.083 kasus (35.72%). Di sisi lain, data dari lembaga
layanan menunjukkan bahwa jenis kekerasan fisik mendominasi dengan 6.001 kasus
(38.8%), sementara kekerasan seksual mencakup 4.102 kasus (26.52%).
Jika melihat lebih rinci pada data pengaduan kepada Komnas Perempuan di
ranah publik, kekerasan seksual selalu menduduki peringkat tertinggi dengan 1.127
kasus, sedangkan di ranah personal, jenis kekerasan psikis paling banyak tercatat
sebanyak 1.494 kasus. Namun, berbeda dengan data dari lembaga layanan, di mana
data tahun 2022 menunjukkan bahwa jenis kekerasan fisik mendominasi baik di ranah
publik maupun personal.
I. Peraturan Status
Usia minimum korban, perbedaan usia, dan batasan usia yang dapat dituntut
seringkali menjadi faktor penentu dalam menetapkan tindak pidana perkosaan sesuai
dengan hukum negara. Ketentuan usia persetujuan dalam peraturan-peraturan tersebut
bervariasi, berkisar antara 16 hingga 18 tahun. Adapun usia minimum korban,
rentangnya mencakup kisaran usia 12 hingga 18 tahun. Sejarah menunjukkan bahwa
regulasi-regulasi ini dibuat dengan tujuan melindungi anak di bawah umur yang
belum memiliki kapasitas memberikan persetujuan karena keterbatasan kedewasaan.
Sebagian besar ketentuan ini sering difokuskan pada perlindungan terhadap
perempuan, dengan harapan dapat mencegah mereka menjadi korban kekerasan
seksual yang dilakukan oleh pria yang lebih tua (James, 2009).
J. Contoh Kasus dan Aplikasi
a. Contoh Kasus Pelecehan Seksual
Para korban kekerasan seksual dapat memilih untuk tidak melaporkan karena
beberapa faktor termasuk ketakutan pembalasan, kurangnya kepercayaan
bahwa penegakan hukum akan membantu, dan keyakinan bahwa kejahatan
adalah masalah pribadi dan harus ditangani secara pribadi. Menurut Survei
Korban Kejahatan Nasional 2009 (Departemen Kehakiman AS, 2012), 90%
korban pemerkosaan adalah perempuan. Selain itu, wanita dengan riwayat
pemerkosaan sebelum usia 18 tahun dua kali lebih mungkin diperkosa ketika
mereka dewasa.
b. Pengaplikasian atau Penanganan dari Pelecehan Seksual
1. Konseling
Beragam pendekatan konseling digunakan dalam mengatasi pelanggar seks.
Konseling individu, konseling kelompok, konseling keluarga, dan konseling
pernikahan semuanya diterapkan untuk membantu klien memahami
perilaku dan pilihan mereka yang tidak pantas, yang umumnya berakar pada
konflik internal dan emosional (Troth, 2001). Meskipun konseling
seringkali menjadi pendekatan pengobatan yang umum untuk pelanggar
seks, tetapi memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, tidak ada bukti yang
jelas bahwa jenis perawatan ini efektif, terutama jika diterapkan secara
terpisah. Kedua, fungsi intelektual klien dapat mempengaruhi kemampuan
mereka dalam mengembangkan pemahaman terhadap perilaku mereka;
selain itu, kemampuan mereka dalam berpikir secara abstrak, bersama
dengan tingkat kesadaran diri, memiliki peran penting dalam kesuksesan
konseling. Ketiga, pentingnya kemampuan untuk membangun hubungan
konseling yang efektif dengan klien tidak bisa diabaikan.
Konseling individu maupun konseling kelompok, kedua konseling tersebut
digunakan untuk mampu membantu konseli dalam mengembangkan
wawasan mengenai perilaku dan pilihan yang mereka ambil dan dirasa
tidak pantas, biasanya dianggap berdasarkan konflik internal maupun
emosional. Meskipun konseling kemungkinan merupakan penanganan yang
paling umum untuk pelaku seksual, dimana memiliki beberapa
keterbatasan, yang pertama yaitu tidak adanya bukti yang jelas bahwa jenis
penanganan ini dapat bekerja atau tidak, terutama ketika isolasi. Kedua
yaitu pada fungsi intelektual konseli dapat mempengaruhi kemampuan
mereka dalam mengembangkan wawasan yang terkait dengan perilaku
mereka sendiri. Selain itu, kemampuan mereka untuk dapat berpikir secara
abstrak dan tingkat kesadaran dirinya sangat penting untuk keberhasilan
proses konseling. Kemudian yang ketiga yaitu kemampuan dalam
mengembangkan hubungan konselor dengan konseli juga sangat penting.
2. Modifikasi Behavior dan Pendekatan Kognitif Behavior
Salah satu metode modifikasi perilaku melibatkan instruksi kepada pelaku
untuk melakukan ejakulasi sambil membayangkan pasangan dan situasi
seksual yang pantas; setelah itu, setelah orgasme, pelaku diarahkan untuk
terus melakukan masturbasi selama satu jam tambahan dengan melibatkan
fantasi yang melibatkan pasangan atau situasi yang diinginkannya (Miller-
Perrin & Perrin, 2007). Dalam kedua bentuk pengobatan ini, kunci
keberhasilan adalah mengulangi teknik sampai perilaku tersebut terhenti.
Jennings dan Deming (2013) menyatakan bahwa teknik perilaku kognitif
harus efektif menangani aspek "perilaku."
- Langkah Awal Sebelum Menangani Pelaku Seksual
Sebelum mempersiapkan rencana untuk penanganan konseling, penting
dan konselor perlu menilai apakah masalah perilaku seksual tersebut
merupakan trauma atau justru gangguan diagnostik. Jika ternyata perilaku
seksual merupakan pelecehan, maka penanganannya akan difokuskan
pada perilaku sebagai gejalanya.
- Penanganan dan Perawatan Kepada Pelaku Seksual
Tujuan dari perawatan ini yaitu untuk mengurangi perilaku seksual yang
bermasalah dan mengurangi tingkat residivisme pada konseli atau pelaku.
Ketika perilaku masalah seksual diidentifikasi sejak awal dan pengobatan
sudah diperkenalkan, kemungkinan hasilnya bisa sangat efektif. dan dalam
penanganan ini, konselor mendidik kepada konseli dengan memberikan
pengawasan dan mampu menciptakan lingkungan yang non seksual.
Dalam konteks anak-anak dan remaja sebagai pelaku seksual, sebelum
merencanakan perawatan, konselor perlu mengevaluasi apakah perilaku
seksual berasal dari trauma atau gangguan diagnostik. Jika perilaku
seksual bersifat sekunder dari pelecehan, fokus perawatan akan
difokuskan pada perilaku sebagai gejala. Awalnya, sistem peradilan anak-
anak bertujuan untuk membuat keputusan terbaik bagi anak dan
membimbing "remaja pelaku menuju kehidupan sebagai orang dewasa
yang bertanggung jawab dan patuh hukum." Dua faktor yang menentukan
apakah seseorang akan diadili di pengadilan sebagai orang dewasa adalah
usia pelaku saat melakukan pelanggaran dan jenis hukuman remaja yang
diterapkan.

Sasaran terapi untuk Pelaku Seks Remaja (JSO) adalah mengurangi


perilaku seksual yang bermasalah dan tingkat kambuh. Ketika perilaku
seksual bermasalah diidentifikasi secara dini dan perawatan dimulai,
hasilnya bisa sangat efektif. Konselor memberikan pendidikan kepada
pengasuh tentang pentingnya pengawasan dan menciptakan lingkungan
yang nonseksual, seperti mengganti pakaian dengan pintu tertutup dan
memantau konten televisi. "Peningkatan keterampilan manajemen
perilaku pada orang tua mungkin jauh lebih krusial dalam pengobatan
perilaku kekerasan seksual pada anak-anak daripada pendekatan klinis
tradisional" (Departemen Kehakiman AS, 2014b, hal. 249).

3. Terapi Multisystemic (MST)


Pendekatan MST ini merupakan salah satu pendekatan komprehensif secara
bersamaan yang melibatkan support dari keluarga, teman sebaya, pihak
sekolah, dan masyarakat. Pengobatan MST yang diberikan kepada konseli
secara signifikan dapat mengurangi tingkat seksual maupun non-seksual.
4. Terapi Kognitif Behavior
Dengan menggunakan pendekatan CBT atau Kognitif Behavior ini,
konselor harus berfokus pada restrukturisasi dan berhati-hati dengan pola
pemikiran konseli setelah terlibat dengan perilaku seksual, karena
dikhawatirkan dapat menyinggung perasaan konseli tersebut. Penanganan
ini harus dapat mengubah pola pikir yang dimiliki konseli setelah bertindak
atas perilaku yang dilakukan tersebut.
5. Terapi Rasional Emotif Behavior (REBT)
REBT juga merupakan cara yang efektif untuk menangani dan mengobati
konseli karena dalam terapi ini akan memasukkan aspek emosional sebagai
tambahan pada kognitif dan perilaku yang dapat membantu konseli dalam
melawan emosi, mengatur emosi, dan mengubah perilakunya.

Sebagai konselor ketika menyampaikan mengenai edukasi seputar seks


kepada individu atau anak dibutuhkan metode penyampaian yang baik agar
apa yang disampaikan konselor dapat diterima dan mudah dipahami oleh
individu tersebut. Menurut metode konseling pada anak atau individu dapat
dilakukan melalui 3 aspek, yang pertama yaitu eliminasi bahasa, yang
merupakan cara penyampaian informasi dengan menggunakan kata
secukupnya dan tepat pada sasaran. Dalam hal ini konselor tentu harus pandai
dan cermat dalam memilih dan menggunakan kata, agar setiap hal yang
disampaikan dapat didengar dan dipahami oleh anak atau individu. Kemudian
kedua yaitu toleransi dalam seks, dimana seorang konselor tentu harus bisa
menjadikan edukasi seks sebagai sebuah pandangan tentang gaya pendidikan.
Toleransi dalam edukasi seks juga harus mengajarkan untuk saling menghargai
perbedaan antara gender individu. Untuk laki-laki boleh mempelajari
mengenai sistem seks perempuan, dan begitu juga sebaliknya, karena cara ini
dapat mengurangi rasa penasaran dari individu dan mereka akhirnya sudah
mengetahui seperti apa bentuknya. Dengan begitu, hal tersebut akan
menjadikan seks sebagai edukasi yang penting dan tidak menjadi suatu hal
yang tabu apabila anak atau individu mampu melakukan toleransi seks. dan
yang ketiga yaitu penumbuhan pengetahuan tentang edukasi seks, dimana
seorang konselor harus bisa menguasai materi tentang seks sebelum
mengajarkan dan memberikan materi kepada individu. Jika konselor telah
menguasai materi mengenai seks, maka individu akan merasa nyaman dan
yakin dengan apa yang disampaikan oleh konselor. Edukasi seks ini sangatlah
penting bagi individu, tetapi juga bisa membahayakan apabila individu
terjerumus pada hal yang negatif. Namun, mengenai kemana arah edukasi seks
sendiri tergantung pada pribadi masing-masing dan peran dari seorang
konselor dalam membimbing pada hal-hal yang positif.

K. Perawatan Pada Korban Seksual


Meskipun konselor lebih sering untuk tidak menjadi bagian dari pemulihan
jangka panjang bagi konseli (Terutama anak dan remaja), konselor harus tetap
berhati-hati terhadap konselor profesional yang memiliki keahlian dalam merawat
penyintas CSA (Child Sexual Abuse) dan pilihan terkait perawatan yang tersedia.
Kemudian, sejumlah kesulitan dalam merawat penyintas CSA kemungkinan akan
dipengaruhi oleh berbagai hambatan dan tantangan yang diungkapkan oleh konseli
secara lisan, tantangan mental yang akan dihadapi konselor, dan ketergantungan
pada laporan orang tua maupun guru yang berbeda dengan pengalamannya.
Meskipun pelecehan seringkali memerlukan penggabungan antara konseling
individu dan konseling kelompok, jenis pendekatan yang ditawarkan tentu
bervariasi. CBT terus menjadi pendekatan yang paling sering digunakan dalam
pengobatan seksual terhadap konseli yang mengalami gejala pasca trauma. Oleh
sebab itu, strategi ini kemungkinan merupakan pendekatan yang paling umum
digunakan. Banyak CBT yang melibatkan psikoedukasi, manajemen stres, dan
proses kognitif. Setiap bentuk maupun jenis perawatan juga mengintegrasikan terapi
desensitisasi sistematis atau rekonstruksi kognitif dengan bercerita kepada konseli
yang dapat mempengaruhi kesaksian ketika di pengadilan atau investigasi CPS, serta
dapat mencegah potensi traumatis kembali dari pelecehan seksual yang dialami.

L. Gambaran Umum Unsur-Unsur Intervensi Krisis Terkait Dengan Kekerasan


Seksual
Dalam menghadapi krisis yang terkait dengan kekerasan seksual, penting
untuk diingat bahwa reaksi korban akan beragam dan tidak ada reaksi tunggal yang
menunjukkan patologi. Para korban kekerasan seksual mungkin menunjukkan
berbagai reaksi yang berbeda dalam menghadapi trauma mereka. Meskipun begitu,
penting untuk tetap mengamati gejala-gejala gangguan umum yang mungkin muncul
sebagai dampak dari kekerasan seksual. Konselor juga dapat memerhatikan gejala
sindrom trauma pemerkosaan.

Intervensi yang diterapkan selama situasi krisis melibatkan berbagai teori dan
teknik, serta rentang waktu dari tindakan pencegahan jangka pendek hingga tindakan
pengobatan jangka panjang. Konselor perlu menyadari bahwa saat bekerja dengan
krisis dan korban trauma, mereka mungkin rentan terhadap kelelahan atau bahkan
trauma yang dialami oleh orang lain. Selain itu, konselor harus memantau reaksi
mereka sendiri dan mengenali sejarah peristiwa traumatis, serta mengamalkan
perawatan diri yang konsisten untuk menghindari pembakaran dalam membantu
populasi ini.

PENUTUP
KESIMPULAN
Pelecehan seksual merupakan tindakan yang dapat merugikan satu, dua, atau
bahkan lebih pihak dan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk fisik, verbal,
psikologis. Untuk itu pencegahan mengenai pelecehan seksual harus terus di
edukasikan kepada anak-anak maupun remaja agar mereka mampu berpikir
mengenai dampak dari perbuatan tersebut.dan penanganan konseling krisis harus
ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA

Thelma Duffey, 2020. Introduction to Crisis and Trauma Counseling. American Counseling
Association
Fauziah Mufied, 2023. Buku Ajar Konseling Krisis. E-print : Universitas Ahmad Dahlan
Data terbaru jumlah kasus, 2023. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak. https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
Komnas Perempuan, 2023. Lembar fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023
Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara : Minimnya
Perlindungan dan Pemulihan.
Cherry, Lisa R. Jackson., and Bradley T. Erford. 2018. Crisis Assessment, Intervention, and
Prevention. USA: Pearson Education.
Yuniyanti, E. R. N. Y. (2020). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kekerasan
Seksual terhadap Anak di Pusat Pelayanan Terpadu kota Semarang. Semarang:
Program Studi Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, ‘Kriminologi”, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003.Hal. 21

Anda mungkin juga menyukai