Anda di halaman 1dari 6

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Gender

Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari
segi nilai dan tingkah laku (Webster‘s New World Dictionary). Definisi gender juga diartikan
sebagai konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karateristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat (Women‘s Studies Encyclopedia). Gender adalah suatu konsep yang
digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
pengaruh social budaya.

2.2 Masalah Pelecehan dan Gender

Gender merupakan prilaku yang terbentuk dari proses social yang berkaitan dengan peran,
perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Dalam hal
ini, pihak perempuan selalu kalah dengan laki-laki, seperti masalah pekerjaan, pedidikan,
kewajiban, hak dan hal-hal lain yang menyangkut antara laki-laki dan perempuan. Inilah yang
menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

Dengan adanya pelabelan semacam itu menjadikan kaum laki-laki menjadi sombong dan
sesukanya mempermainkan kaum perempuan yang dimata mereka menganggap kaum yang
lemah dan tak berdaya. Ketidakadilan semacam ini bisa berwujud marginalization
(peminggiran ekonomi/pemiskinan), subordination (penomorduaan/anggapan tidak penting),
stereotype (pelabelan negatif), dan violence (kekerasan terhadap perempuan).

1. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi
sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif: rasa malu, marah, tersinggung dan
sebagainya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan. Pelecehan seksual terjadi
ketika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban. Kekuasaan dapat
berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi, "kekuasaan" jenis
kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang lebih
banyak, dsb.
Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, meliputi: main mata, siulan nakal,
komentar yang berkonotasi seks, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau
sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual,
ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan
seksual sampai perkosaan. Pelecehan juga dapat berupa komentar/perlakuan negatif
yang berdasar pada gender, sebab pada dasarnya pelecehan seksual merupakan
pelecehan gender, yaitu pelecehan yang didasarkan atas gender seseorang, dalam hal
ini karena seseorang tersebut adalah perempuan.
Pelecehan seksual sendiri adalah segala bentuk perilaku bersifat seksual yang
tidak diinginkan oleh seseorang yang mendapat perlakuan tersebut, dan pelecehan
seksual yang sering terjadi dialami oleh semua perempuan. Faktor internal dari pelaku
yang menyebabkan perilaku pelecehan adalah adanya dorongan seksual yang tidak
dapat dikontrol oleh pelaku. Faktor eksternalnya adalah seringnya pelaku menonton
video porno, membaca majalah porno dan cerita-cerita porno.

2.3 Dampak Pelecehan Seksual

Dampak Sosial

1. Menurunnya prestasi sekolah,


2. Lebih sering absen,
3. Tidak mengambil mata kuliah yang diajarkan dosen tertentu,
4. Nilai menurun,
5. Kehilangan kehidupan pribadi karena menjadi “yang bersalah”,
6. Menjadi objek pembicaraan,
7. Kehancuran karakter/reputasi,
8. Kehilangan rasa percaya pada orang dengan tipe/posisi yang serupa pelaku,
9. Kehilangan rasa percaya pada lingkungan yang serupa,
10. Mengalami stress luar biasa dalam berelasi dengan partner.
Dampak psikologis/fisiologis
1. depresi,
2. serangan panik,
3. Kecemasan,
4. Gangguan tidur,
5. Penyalahan diri,
6. Kesulitan konsentrasi,
7. Kehilangan motivasi,
8. Kemarahan dan violent pada pelaku,
9. Ada pikiran bunuh diri.

2.3 Superiority Complex

Dalam Holland (2019), dijelaskan kalau superiority complex sendiri adalah sebuah perilaku


dimana seseorang mempercayai kalau ia lebih baik dibandingkan orang lain. Seseorang
dengan perilaku ini cenderung memiliki opini yang berlebihan mengenai diri mereka sendiri
dan percaya kalau kemampuan dan kesuksesan yang dimiliki melebihi orang lain. (Narasati,
2019), menyatakan kalau kata superior biasanya diasosiasikan dengan laki-laki. Hal ini
dikarenakan laki-laki selalu memiliki cara untuk dapat terlihat lebih hebat dengan kekuasaan.
Kekuasaan yang dimaksud adalah bagaimana konstruksi sosial membuat peran laki-laki
dianggap lebih sulit dan kompleks jika dibandingkan oleh peran perempuan.
Perasaan superiority yang dimiliki oleh laki-laki juga bisa saja muncul dari adanya toxic
masculinity dalam diri laki-laki.

2.4 Toxic Masculinity

Toxic masculinity dapat didefinisikan sebagai perilaku sempit terkait peran gender dan sifat
laki-laki. Dalam toxic masculinity, definisi maskulinitas yang lekat sebagai sifat pria identik
dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi. Definisi
senada dipaparkan dalam sebuah studi yang dimuat dalam Journal of Psychology. Studi ini
mengartikan toxic masculinity sebagai kumpulan sifat maskulin dalam konstruksi sosial yang
difungsikan untuk mendorong dominasi, kekerasan, homofobia, dan perendahan terhadap
perempuan.

Dari definisi di atas, maskulinitas yang berlebihan dapat ditunjukkan dengan agresivitas
terhadap orang lain, mengagungkan kekerasan, merendahkan perempuan dan orang non-
heteroseksual, serta “larangan” untuk memperlihatkan kesedihan. Toxic masculinity
berbahaya terutama untuk kaum wanita, yang juga menjadi korban perilaku maskulinitas
yang beracun di atas. Misalnya, beberapa pria menganggap dirinya superior dan lebih baik
dibandingkan perempuan. Sebagian pria juga “diajarkan” untuk melakukan pelecehan dan
kekerasan seksual. Anggapan-anggapan di atas tak dipungkiri memicu kekerasan dalam
rumah tangga hingga pelecehan seksual dan pemerkosaan.
2.5 Intervensi

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem


Makarim, akhirnya mengeluarkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkup Perguruan Tinggi (Permen PPKS).

1. Mengenal konsep relasi kuasa dan gender dalam mendefinisikan kekerasan


seksual (Bab I Ketentuan Umum), hal ini membantu perguruan tinggi untuk secara
tegas melihat definisi dan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering kali tidak
diakui terjadi di kampus. Dalam banyak kasus pelaporan kekerasan seksual, acapkali
korban kembali menjadi korban karena disudutkan dengan pertanyaan terkait dengan
penampilan, ekspresi, hubungan dengan pelaku, dsb. Pemahaman ini akan mencegah
keberulangan atau reviktimisasi pada korban.

2. Mekanisme pencegahan yang komprehensif dan melibatkan setiap unsur sivitas


akademika melalui penguatan tata kelola seperti pembentukan satuan tugas,
penyusunan pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, penyediaan
layanan pelaporan kasus, sosialisasi, pemasangan tanda informasi serta jaminan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas (BAB II Pencegahan). Dengan demikian
tidak perlu lagi ada kekhawatiran bahwa aturan ini hanya mengakomodasi kelompok
tertentu dan meninggalkan kelompok rentan lainnya.

3. Menjamin pemulihan korban (Bab Penanganan Bagian Kelima) dengan intervensi


yang sesuai dengan apa yang diperlukan dan disetujui oleh korban. Orientasi dari
aturan ini bukan hanya penghukuman terhadap pelaku namun juga memperhatikan
pemulihan yang korban perlukan baik akibat dari kekerasan seksual yang dialaminya
atau pun yang diakibatkan dari proses investigasi.

4. Mencegah kriminalisasi korban dan pembela dalam penanganan kasus yang


sedang berlangsung (Bab Penanganan Bagian Ketiga). Sebagai bagian dari
pelindungan korban dan pembela, Permen PPKS ini menjamin keberlanjutan hak serta
perlindungan dari ancaman fisik, non-fisik hingga kriminalisasi, bagi korban dan saksi
yang melaporkan peristiwa kekerasan seksual.

5. Sanksi yang tegas dalam penanganan kekerasan seksual di kampus (Bab


Penanganan Bagian Keempat). Sanksi yang diatur terbagi menjadi tiga bagian yaitu
ringan, sedang dan berat. Sanksi ringan mewajibkan pelaku untuk menyatakan
permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media
massa. Selain itu, pelaku yang mendapatkan sanksi ringan dan sedang juga
diwajibkan untuk mengikuti pembinaan konseling untuk memberikan efek jera
sehingga tidak terjadi keberulangan.

6. Menjamin ruang partisipasi warga kampus untuk mendukung korban melalui


pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual (Bab IV Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual).
Partisipasi dari setiap unsur sivitas akademika yang berpihak pada korban seperti
mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan lainnya adalah kunci dalam implementasi
Permen PPKS ini.

7. Memberikan perlindungan hak korban dan saksi (BAB III Penanganan Bagian


Ketiga Perlindungan). Aturan ini memberikan jaminan perlindungan bukan hanya
kepada korban, melainkan juga kepada saksi. Perlindungan tersebut di antaranya
adalah perlindungan akademis dan/atau pekerjaan sebagai pendidik maupun tenaga
pendidik, perlindungan dari ancaman fisik maupun non-fisik, perlindungan akan
kerahasiaan identitas, perlindungan dari ancaman pidana atau perdata hingga
penyediaan rumah aman bila korban dan saksi memerlukan.

8. Memastikan tanggung jawab perguruan tinggi dalam meningkatkan keamanan


kampusnya dari kekerasan seksual. Permen PPKS ini mewajibkan kampus menjadi
salah satu kunci yang mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Apabila
perguruan tinggi tidak melaksanakannya, maka akan berakibat pada pengurangan-
pengurangan hak yang dimiliki perguruan tinggi tersebut.

9. Mengakomodasi kebutuhan disabilitas dalam tiap proses pencegahan dan


penanganan kekerasan seksual. Hal ini merupakan bentuk perlindungan Permen PPKS
terhadap hak-hak disabilitas yang sering kali diabaikan. Selain itu, pengakomodasian
kebutuhan disabilitas juga menunjukkan inklusivitas Permen PPKS terhadap ragam
kerentanan korban kekerasan seksual.

10. Mengakomodasi keragaman kondisi kampus di Indonesia sehingga Pemimpin


Perguruan Tinggi diberi wewenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang belum
diatur di Permen PPKS (Pasal 50) dan kepastian hukum untuk meminta bantuan dari
Mendikbud Ristek dalam penanganan kasus-kasus yang berat (Pasal 56).

Daftar Pustaka
Mufti, S. K. (2021). Upaya Melawan Kekerasan Seksual di Kampus. Identitas.

Narasati, R. (2019). The Causes And Effects Of Women’s Superiority Towards Men As Seen In
Aristhophanes’ Lysistrata. KREDO.

Sovitriana, R. P. (2020). Kajian Gender Dalam Tinjauan Psikologi. Sidoarjo: Uwais Inspirasi Indonesia.

Triwijati, E. (2014). Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis. Journal Unair.

Wisnibrata. (2020). Toxic Masculinity dan Dampaknya bagi Kesehatan Mental Laki-laki. KOMPAS.

Anda mungkin juga menyukai