Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KEKERASAN SEKSUAL DI PERGURUAN TINGGI

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu: Dr. wawan hermawan, M. Ag.

Disusun oleh:

Ilham Ramadhan (2104330)

M. Aldan Nadika (2104345)

Fauzan Muhammad Fathir (2104377)

Sariya Dewi Saraswati (2104366)

Devi Nurlita (2104329)

Arya Chandra Pangestu (2104369)

PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI

FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Kekerasan Seksual Di
Perguruan Tinggi" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama
Islam. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan terkait materi ekonimi dari
sudut pandang islam bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr, Wawan Hermawan, M. Ag.
Selaku Dosen pengampu mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 11 September 2023


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kekerasan seksual berpotensi terjadi sangat besar pada saat ini, dapat terjadi
dimana dan kapan saja, baik di ruang privat atau publik termasuk di perguruan tinggi,
yang membuat mahasiswa merasa tidak nyaman berada dikampus (Suryawirawan.
2019: 179).
Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja jika dilihat dari sudut pandang
pelakunya, termasuk mereka yang berpenampilan agamis, santun, dan cerdas, dosen
senior, pengurus kampus, dan dosen tokoh masyarakat yang aktif di berbagai
organisasi keagamaan. Senior dan bahkan teman sekelas telah diketahui terlibat dalam
kekerasan seksual.
Kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi merupakan sebuah peristiwa
yang sangat memprihatinkan (Rusyidi et al., 2019). Perguruan tinggi sejatinya menjadi
lembaga pendidikan yang menanggung mandat untuk tidak hanya menjalankan
transformasi pengetahuan tapi juga menjunjung tinggi etika dan moral, serta aman dan
bebas dari yang namanya kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan telah menjadi persoalan serius
danmulai muncul kepermukaan dan mulai menjadi sorotan, Permasalahan pelecehan
seksual merupakan hal yang tidak mudah diungkap namun banyak yang mengalami,
tidak terkecuali dalam lingkungan kampus (Adiyanto, 2020).
Perbuatan kekerasan seksual dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap
seseorang, seperti depresi, gejala PTSD, penurunan kesehatan mental, perasaan isolasi
dan ketidakberdayaan, rasa bersalah dan malu atas diri sendiri, sehingga insomnia.
Dalam sisi pendidikan, banyak para pelajar yang mengalami efek buruk dari sisi
akademik sebagai akibat dari pelecehan seksual seperti berkurangnya kepuasan
akademik, persepsi fakultas sehingga berkurangnya performa dalam belajar (Ishak &
Seksual, 2020)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian kekerasan seksual?
2. Bagaimana terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi?
3. Apa pencegahan terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud kekerasan seksual
2. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi?
3. Untuk mengetahui apa pencegahan terjadinya kekerasan seksual di perguruan
tinggi?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pelecehan Seksual
1. Pengertian Pelecehan Seksual

Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk


perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak
dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol,
isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang berkonotasi
seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai
berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku,
kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku,kejadian tidak diinginkan korban, dan
mengakibatkan penderitaan pada korban.

Menurut Collier (1998), pengertian pelecehan seksual disini merupakan


segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang
mendapat perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau
dialami oleh semua perempuan. Sedangkan menurut Rubenstein (dalam
Collier,1998) pelecehan seksual sebagai sifat perilaku seksual yang tidak
diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung
penerima.

Dari beberapa definisi pelecehan seksual diatas dapat disimpulkan bahwa


pelecehan seksual adalah perilaku atau tindakan yang mengganggu,
menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain dalam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan
secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya.

1) Bentuk-bentuk Pelecehan Seksual Secara umum, pelecehan seksual


ada 5 bentuk, yaitu :
a. Pelecehan fisik, yaitu :

Sentuhan yang tidak diinginkan mengarah keperbuatan seksual seperti mencium,


menepuk, memeluk, mencubit, mengelus, memijat tengkuk, menempelkan tubuh
atau sentuhan fisik lainnya.
b. Pelecehan lisan, yaitu :

Ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau


bagian tubuh atau penampilan seseorang, termasuk lelucon dan komentar
bermuatan seksual.
c. Pelecehan non-verbal/isyarat, yaitu :

Bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan
berulang-ulang, menatap tubuh penuh nafsu, isyarat dengan jari tangan, menjilat
bibir, atau lainnya.

d. Pelecehan visual, yaitu :

Memperlihatkan materi pornografi berupa foto, poster, gambar kartun,


screensaver atau lainnya, atau pelecehan melalui e-mail, SMS dan media
lainnya.
e. Pelecehan psikologis/emosional, yaitu :

Permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak


diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang
bersifat seksual.
Pelecehan seksual yang dihadapi laki-laki maupun perempuan dalam berbagai
bentuknya, mulai dari komentar yang berkonotasi seksual dan kontak fisik
secara tersembunyi (memegang, sentuhan ke bagian tubuh tertentu) hingga
ajakan yang dilakukan secara terang-terangan dan serangan seksual (Santrock,
2007).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk pelecehan
seksual adalah pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan non-verbal/isyarat,
pelecehan visual, dan pelecehan psikologis/emosional.

2. Aspek-aspek Pelecehan Seksual


Mayer dkk. (1987) menyatakan secara umum dua aspek penting dalam
pelecehan seksual, yaitu aspek perilaku dan aspek situasional.
a. Aspek Perilaku

Pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki


penerimanya, dimana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik yang

halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah. Bentuk umum

dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara fisik dimana pelecehan

secara verbal lebih banyak daripada secara fisik. Para ahli tersebut menyebutkan

pelecehan dalam bentuk verbal adalah bujukan seksual yang tidak diharapkan,

gurauan atau pesan seksual yang terus-menerus, mengajak kencan terus menerus

walaupun telah ditolak, pesan yang menghina atau merendahkan, komentar yang

sugestif atau cabul, ungkapan sexist mengenai pakaian, tubuh, pakaian atau

aktivitas seksual perempuan, permintaan pelayanan seksual yang dinyatakan

dengan ancaman tidak langsung maupun terbuka.

b. Aspek situasional

pelecehan seksual dapat dilakukan dimana saja dan dengan kondisi tertentu.

Perempuan korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap ras, umur,

karakteristik, status perkawinan, kelas sosial, pendidikan, pekerjaan, tempat

kerja, dan pendapatan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek pelecehan

seksual adalah aspek perilaku dan aspek situasional.

B. Kontrol Diri

1. Pengertian Kontrol Diri

Calhoun dan Acocella, (1990). Mengatakan kontrol diri sebagai pengaturan

proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan arti lain

serangkaian proses yang membentuk kemampuan individu untuk menyusun,


membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa

individu kearah konsekuensi positif.

Menurut Chaplin, (1997). Menjelaskan bahwa self control atau kontrol diri

adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk

menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Thompson

mengartikan kontrol diri sebagai suatu keyakinan bahwa seseorang dapat

mencapai hasil-hasil yang diinginkan lewat tindakan diri sendiri. Karena itulah

menurutnya, perasaan dan kontrol dapat dipengaruhi oleh keadaan situasi, tetapi

persepsi kontrol diri terletak pada pribadi orang tersebut, bukan pada situasi.

Lazarus (1976) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu proses yang

didasarkan pada aspek kognitif yang menjadikan individu sebagai agen utama

dalam menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku

yang dapat membawa individu pada konsekuensi positif.

Menurut Goldfiled dan Merbaum (Muharsih, 2008), kontrol diri diartikan

sebagai kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan

mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi

positif. Kontrol diri juga dapat diartikan sebagai perasaan bahwa seseorang dapat

membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk menghasilkan

akibat yang diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan.

Menurut Ghufron (dalam Widyari,R.2008) kontrol diri merupakan suatu

kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya,

selain itu juga kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor


perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam

melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan

menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain,

selalu konform dengan orang lain, dan menutupi perasaannya.

Hurlock (dalam Ghufron,2010) menyatakan bahwa kontrol diri berkaitan

dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam

dirinya. Pada remaja kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan

kematangan emosi. Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila

tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat yang

tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat

diterima.

Menurut Hurlock (1994) kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk

membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui

pertimbangan kognitif sehingga dapat membawa ke arah konsekuensi positif.

Kemampuan mengontrol diri berkaitan dengan bagaimana seseorang

mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya.

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan

bahwa kontrol diri adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk selalu

mengarahkan, mengendalikan, mengatur, dan mengubah perilakunya ke arah yang

lebih positif.
2. Aspek-aspek Kontrol Diri

Berdasarkan konsep Averill (Ghufron, 2010) terdapat tiga aspek kontrol diri,

yaitu :

a. Kontrol perilaku (behavior control)

Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat

secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak

menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua

komponen, yaitu :

1) mengatur pelaksanaan (regulated administration), yaitu kemampuan

individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan,

apakah dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan

kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan

sumber eksternal.

2) Kemampuan mengontrol stimulus (stimulus modifiability), merupakan

kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang

tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu

mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara

rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus

sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya.

b. Kontrol kognitif (cognitive control)

Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah

informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai atau


menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi

psikologis atau mengurangi tekanan. Kemampuan ini terperinci atas dua

komponen, yaitu :

1) Kemampuan memperoleh informasi (information gain), dengan informasi

yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak

menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan

berbagai pertimbangan.

2) Kemampuan melakukan penilaian (appraisal), yaitu melakukan penilaian

berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau

peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

c. Kemampuan mengontrol keputusan (decisional control)

Kemampuan mengontrol keputusan adalah kemampuan seseorang untuk

memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau

disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi, baik

dengan adanya suatu kesempatan , kebebasan, atau kemungkinan pada diri

individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kontrol

diri adalah kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive

control), dan kemampuan mengontrol keputusan (decisional control).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Hurlock (dalam Arlyanti, 2012) mengemukakan faktor yang mempengaruhi

kontrol diri terdiri dari dua faktor, yaitu :


a. Faktor internal

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu seperti

kepribadian , kecerdasan emosi, minat, motif, pengetahuan, dan usia. Faktor

internal yang ikut andil dalam kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah usia

seseorang maka semakin baik kemapuan mengontrol diri seseorang.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal diantaranya adalah lingkungan keluarga, terutama orang tua

menentukan bagaimana kemampuan kontrol diri seseorang.

Masih banyaknya kasus kekerasan seksual di kampus hingga saat ini salah satunya
dapat dianalisis melalui pendekatan sosial budaya. Rata-rata kasus kekerasan seksual di
kampus umumnya terjadi karena memanfaatkan relasi kuasa antara pihak pelaku yang
merasa memiliki kekuasaan superior dengan korban yang diposisikan sebagai pihak yang
inferior.
Dosen yang dianggap memiliki kekuasaan dalam pemberian nilai perkuliahan atau
bimbingan skripsi dengan mahasiswa yang menjadi peserta mata kuliah atau
bimbingannya. Bisa juga antara dosen yang memiliki jabatan struktural dengan korban
yang diposisikan bergantung atas kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku.
Dalam kasus relasi kuasa dosen dan mahasiswa, yang dibungkus dalam budaya
patriarki dan feodalisme situasi ini dapat dikatakan rentan dimanfaatkan pelaku tindak
kekerasan seksual. Modus pembimbingan skripsi dan penelitian mahasiswa dapat
dijadikan alasan untuk menciptakan situasi yang rawan terhadap tindak kekerasan
seksual.
Mengajak korban untuk melakukan bimbingan ke luar kampus, ke luar kota, atau di
tempat-tempat privat di luar kampus dapat menjadi modus pelaku. Bahkan relasi kuasa
antara dosen dan mahasiswa yang dimanfaatkan untuk melakukan pelecehan seksual, baik
verbal maupun nonverbal, bisa juga terjadi di ruang-ruang tertutup di dalam kampus.
Selain potensi kekerasan yang melibatkan dosen-mahasiswi serta pejabat kampus dan
non pejabat, kekerasan seksual di perguruan tinggi juga berpotensi dilakukan dalam
kerangka relasi kuasa antara senior-junior di kalangan mahasiswa. Baik dalam organisasi
intra maupun ekstra kampus.
Oleh sebab itu, perlu upaya serius dari kampus untuk membatasi pemanfaatan relasi
kuasa yang dapat menimbulkan potensi kekerasan seksual di kampus ini melalui aturan
dan kebijakan soal relasi antar civitas akademika yang lebih setara. Termasuk juga aturan
yang soal tempat bimbingan atau proses pembelajaran akademik yang lebih aman dan
transparan.
Misalnya, pemberlakuan kebijakan untuk pelayanan kemahasiswaan harus dilakukan
di kampus dan tidak diperbolehkan di luar kampus. Termasuk waktu layanan
kemahasiswaan yang ditentukan dengan tegas.
Hal demikian sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek 30 Tahun 2021, pada
pasal 7 soal upaya pencegahan kekerasan seksual yang berpotensi dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Di sini diatur pembatasan pertemuan
dengan mahasiswa secara individu di luar area kampus, di luar jam operasional kampus;
dan/atau untuk kepentingan lain selain proses pembelajaran, tanpa persetujuan
kepala/ketua program studi atau ketua jurusan, atau atasan yang bersangkutan. Hal ini
dilakukan sebagai upaya pencegahan potensi tindakan kekerasan seksual di lingkungan
perguruan tinggi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mekanisme pencegahan dan mitigasi kekerasan seksual di institusi pendidikan
tinggi sudah ada, namun perlu didukung dengan birokrasi yang efektif dan sumber
daya manusia yang memadai. Sumber daya manusia memainkan peran penting
dalam menciptakan lingkungan kampus yang ramah gender dan bebas dari
kekerasan seksual.

3.2 Saran
Demikianlah pokok bahasan makalah ini yang dapat kami paparkan. Besar
harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk banyak pembaca. Karena
keterbatasan pengetahuan da referensi, penulis sangat menyadari makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
akan sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi
dimasa yang akan datang, maka dari itu kami sangat berharap agar Dosen
pengampu mengoreksi dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai