Anda di halaman 1dari 13

Dampak Pelecehan Seksual yang di lakukan Orang Terdekat

Bab II
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Indonesia setiap tahunnya mengalami pengingkatan mengenai laporan pelecehan seksual
dan kejahatan seksual, diketahui dari Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota
Bekasi terhituang mulai pada tanggal 1 januari 2021 sampai dengan 25 oktober 2021 terdapat
26 laporan mengenai pelecehan seksual yang sudah dialami. Pada masa ini, banyaknya para
penyintas pelecehan seksual berani berbicara tentang apa yang mereka alami, melalui sosial
media yang mereka miliki. Seperti di Twitter, Instagram, Youtube. Pada tahun 2021 hingga
2022 maraknya kasus pelecehan seksual yang diungkap melalui sosial media hingga
munculnya karya seni dalam bentuk novel hingga film yang membahas mengenai pelecehan
seksual. Keberanian para korban pelecehan seksual mengungkapkan apa yang terjadi pada
mereka di sosial media, memberikan dampak untuk para korban korban pelecehan seksual
lainnya untuk lebih berani berbicara tentang apa yang mereka alami.
Baru – baru ini melalui akun Youtube milik Denny Sumargo dengan judul “GW
DIPERKOSA BERTAHUN TAHUN …BEGINI KONDISI AMING SEKARANG” Publik
Figure yang dikenal dengan nama Aming menceritakan tentang apa yang terjadi padanya, ia
mengatakan
“..ketika gua dilecehakan pertama kali oleh salah satu orang tedekat, gua tidak bisa
menyebutkan itu siapa lebih spesifik lagi apakah itu dari kerabat atau apa yang penting dari
salah satu orang terdekat. disitu gua masih kecil ga tau apa itu seksualitas…”

Sebelum Aming menceritakan apa yang dialaminya, ramai mengenai pelecehan


seksual yang terjadi di Bangka Belitung, dilansir dari Tribunnews yang ditulis oleh Fahdi
Fahlevi dengan Judul “Kementerian PPPA Sesalkan Kasus Kekerasan Seksual Anak oleh
Pengasuh Panti Asuhan di Sulut”, diketahui Seorang pengasuh Panti Asuhan inisial SM (63)
menyodomi anak asuhnya laki-laki inisial NF (12). Selanjutnya IDNTIMES merangkum
beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di area kampus sepanjang tahun 2021, pertama
kasus pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Negri Jakarta, pelaku merupakan dosen
pembimbing mahasiswi yang ingin skripsi, lalu pelecehan terjadi kepada anggota Organisasi
Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (Lamri), kemudian pelecehan terjadi pada mahasiswi
Universitas Riau yang sedang melakukan tugas akhir , mahasiswi tersebut dilecehkan oleh
dosennya berinisial SH, selanjutnya ada mahasiswa Universitas Gajah Mada yang dilecehkan
saat KKN di Pulau Seram, Maluku oleh dosennya, ada juga mahasiswi IAIN yang dilecehkan
oleh dosennya.

Dari beberapa kasus yang sudah peneliti jabarkan diatas, diketahui bahwa pelecehan
seksual dapat terjadi dimana saja dan lebih banyak pelecehan seksual dilakukan oleh orang
orang terdekat. Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif seperti
rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan
sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).

Berdasarkan latar belakang yang sudah peneliti jabarkan diatas, peneliti menemukan
suatu fenomena yang sangat menarik untuk di eksplorasi secara mendalam. Oleh karena itu,
peneliti tergiring untuk melakukan penelitian kualitatif menggunakan pendekatan study kasus
dengan judul “Dampak Pelecehan Seksual yang dilakukan oleh orang terdekat”

2.2. Rumusan Masalah


Bertolak ukur dari latar belakang penelitian di atas maka peneliti ingin mengetahui secara
mendalam mengenai :
a. Apa emosi dominan yang dirasakan korban saat kasus pelecehan terjadi?
b. Bagaimana dampak yang terjadi setelah korban mengalami pelecehan seksual ?

2.2. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam dampak yang dialami
para korban pelecehan seksual

2.2. Manfaat Penelitian


2.11. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu psikologi,
khususnya psikologi klinis dan psikologi Perkembangan yang berfokus pada kajian penelitian
terhadap dampak yang timbul karena pelecehan seksual. Serta diharapkan penelitian ini
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu Psikologi Kepolisian yang berfokus pada
dampak psikologis pada para korban pelecehan seksual.

2.12. Manfaat Paktis

 Untuk subjek, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan menambah
pemahaman subjek mengenai dampak pelecehan seksual

 Untuk masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi
untuk masyarakat lebih mengetahui bahwa pelecehan seksual sangat berdampak besar
pada para korbannya, dan peneliti berharap masyarakat dapat lebih perduli terhadap
lingkungan sekitarnya serta dapat memberikan support kepada para penyintas
pelecehan seksual.

 Untuk peneliti, ini merupakan pengalaman berharga bagi peneliti untuk memperluas
pengetahuan peneliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pelecehan Seksual


2.11. Pelecehan Seksual
Menurut Collier (1992) pelecehan seksual secara Etiologi dapat diartikan sebagai segala
macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran,dan penolakan atau penerimaan korban atas
perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun
eksplisit. Pelecehan seksual sebenarnya adalah suatu istilah yang diciptakan sebagai padanan
apa yang didalam Bahasa Inggris disebut dengan Sexual Harassement. Menurut Collier
(1992) di dalam Kamus Bahasa Indonesia, pelecehan berasal dari kata “Leceh” yang artinya
adalah suatu penghinaan atau peremehan. Dihubungkan dengan kata seksual, maka perbuatan
“Harassing” atau pelecehan itu berkaitan dengan perilaku atau pola perilaku (normatif atau
tak normatif) yang berkaitan dengan jenis kelamin. Karena kata “Harass” atau pelecehan itu
dikonotasikan dengan perilaku seksual yang dinilai negatif dan menyalahi standar.
Maka seks itu boleh dimaknakan sebagai obyek instrumental guna pemuas nafsu seksual
itu. Pelecehan seksual secara umum menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001)
adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau yang mengarah kepada hal-hal
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi
sasaran, sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung,dan
sebagainya pada diri individuyang menjadi korban pelecehan tersebut. Sedangkan secara
operasional,pelecehan seksual di definisikan berdasarkan hukum sebagai adanya bentuk dari
diskriminasi seksual (Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadhi, 2001). Menurut Collier
(1992) pengertian pelecehan seksual disini merupakan segala bentuk perilaku bersifat seksual
yang tidak diinginkan oleh yang mendapat perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang
dapat terjadi atau dialami oleh semua perempuan.
Sedangkan menurut Rubenstein (dalamcollier, 1992) pelecehan seksual sebagai sifat
perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang
menyinggung penerima. Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang melecehkan
atau merendahkan yang berhubungan dengan dorongan seksual, yang merugikan atau
membuat tidak senang pada orang yang dikenai perlakuan itu. Pada dasarnya perbuatan itu
dipahami sebagai merendahkan dan menghinakan pihak yang dilecehkan sebagai manusia
(Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadhi, 2001). Dari beberapa definisi pelecehan seksual
diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian pelecehan seksual itu sendiri merupakan perilaku
atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan
seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang berkaitan langsung dengan jenis
kelamin pihak yang diganggunya dan dirasakan menurunkan martabat dan harkat diri orang
yang diganggunya.
Pelecehan seksual itu sendiri bertindak sebagai tindakan yang bersifat seksual atau
kecenderungan bertindak seksual yang terimtimidasi non fisik (kata-kata, bahasa, gambar)
atau fisik (gerakan kasat matadengan memegang, menyentuh, meraba atau mencium) yang
dilakukan seoranglaki-laki terhadap perempuan.
2.12. Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual
Terdapat berbagai bentuk Tindakan yang dianggap sebagai pelecehan seksual (Collier,
1992) antara lain adalah sebagai berikut :
 Menceritakan lelucon jorok atau kotor kepada seseorang yang merasakannya sebagai
merendahkan martabat.
 Mempertunjukan gambar-gambar porno berupa kalender, majalah, atau buku bergambar
porno kepada orang yang tidak menyukainya.
 Memberikan komentar yang tidak senonoh kepada penampilan, pakaian, atau gaya
seseorang.
 Menyentuh, menyubit, menepuk tanpa dikehendaki, mencium dan memeluk seseorang
yang tidak menyukai pelukan tersebut.
 Perbuatan memamerkan tubuh atau alat kelamin kepada orang yang terhina karenanya.

2.2. Keperawanan
Istilah keperawanan juga dikenal dengan “virginitas” yang berasal dari bahasa latin
“virgo” atau “gadis”. Istilah ini juga memiliki kaitan erat dengan istilah “virga” yang artinya
baru, ranting muda atau cabang tak berbentuk. Dalam mendefinisikan keperawanan sendiri
saat ini masih sangat bergantung pada konteks budaya dimana masyarakar cenderung menilai
keperawanan berdasarkan pola mindset budaya yang sudah ada. Meskipun demikian, pola
pikir tradisional masyarakat dari berbagai budaya tentang “keperawanan” cenderung
kesamaan, bahwa keperawanan bagi seorang wanita diidentikan sebagai kesucian dirinya.
Kesucian diri yang dimaksud adalah tidak pernah berhubungan seksual dengan lawan jenis.
Sementara dalam dunia medis, tidak ada definisi keperawanan secara khusus. Selaput
dara sering dikaitkan dengan keperawanan dan seringkali muncul anggapan jika selaput dara
telah robek maka menunjukan keperawanan sudah hilang. Padahal, robeknya selaput dara
tidak hanya disebabkan oleh hubungan seksual, tapi bisa juga disebabkan oleh hal lain seperti
cidera atau kecelakaan (dr. Irma Noor, 2021).
BAB III
METODE PENELITIAN

4.1. Metode Penelitian


Mini riset ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2011),
metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai
lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel
sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan
triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
Jenis pendekatan yang diambil dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus
merupakan jenis metode penelitian kualitatif yang meneliti suatu kasus atau fenomena
tertentu secara spesifik yang ada di dalam masyarakat secara mendalam untuk mempelajari
latar belakang, keadaan, dan interaksi yang terjadi. Dalam penelitian ini kasus yang diambil
merupakan suatu kasus pelecehan seksual selama 6 tahun oleh orang terdekat (keluarga) yang
dialami seorang perempuan muda berusia 21 tahun berinisial PH.
Studi kasus akan berfokus pada kasus2 ekstrim/extraordinary. Unit analisisnya adalah
kasus itu sendiri. Dapat berupa 1 individu, maupun beberapa individu yang memiliki kasus
yang serupa. Intrinsik case study ditempuh oleh peneliti yang ingin lebih memahami sebuah
kasus tertentu. Kasus ini menarik minat peneliti sehingga diperlukan penggalian data untuk
memahaminya secara detail. Tujuannya bukan untuk memahami konstruk abstrak atau
fenomena umum tertentu, bukan untuk merumuskan suatu teori.
4.1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipilih adalah teknik wawancara semi terstruktur. Teknik
pencatatan dilakukan dengan rekaman visual-audio dan dicatat menggunakan catatan kecil
kemudian dibuat dalinan verbatim wawancara lengkap. Wawancara dilakukan secara online
melalui zoom dikarenakan narasumber atau korban tidak memungkinkan untuk bertemu
secara langsung dalam waktu dekat. Menurut Esterberg dalam Sugiyono
(2015:72) wawancara adalah pertemuan yang dilakukan oleh dua orang untuk bertukar
informasi mupun suatu ide dengan cara tanya jawab, sehingga dapat dikerucutkan menjadi
sebuah kesimpulan atau makna dalam topik tertentu.
Peneliti memberikan sejumlah pertanyaan berkaitan dengan kasus yang dialami korban
kemudian mencatat detail jawaban korban dan mengamati atau mengobservasi perilaku
korban selama wawancara berlangsung, peneliti mengajukan pertanyaan penegasan pada
bagian yang dirasa masih kurang detail atau ambigu dan menggunakan teknik repeation
sentence atau pengulangan kalimat agar narasumber mengetahui bahwa keseluruhan cerita
yang dismpaikan telah tersampaikan dan didengar dengan baik sekaligus sebagai penegasan
cerita agar tidak ada kesalahpahaman anatara peneliti dan narasumber. Peneliti juga
mempertimbangkan ekspresi, intonasi dan gestur dari narasumber sebagai observasi
tambahan untuk mempertegas proses analisa mengenai bagaimana kondisi korban saat ini.
Peneliti berusaha semaksimal mungkin untuk bersahabat namun tetap berada di posisi netral
dan tidak terbawa suasana dalam pencatatan dan proses analisa kasus yang diceritakan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Berdasarkan proses wawancara yang sudah dilakukan dengan narasumber berinisial PH,
peneliti mengetahui bahwa PH yang kini telah berusia 21 tahun pernah mengalami kasus
pelecehan seksual selama 6 tahun yaitu sejak PH berusia 9 tahun hingga usia PH menginjak
15 tahun. Hal ini berarti PH telah mengalami pelecehan seksual dari fase kanak-kanak hingga
memasuki fase remaja pertengahan. PH mengungkapkan bahwa pelaku pelecehan seksual
yang ia alami selama ini merupakan orang terdekatnya dan termasuk keluarga PH, yaitu ayah
tiri dan adik PH yang dahulu tinggal serumah selama kasus pelecehan itu terjadi.
PH menceritakan bahwa ia menerima banyak pelecehan seksual baik secara verbal
maupun nonverbal. Pelecehan verbal yang dilakukan korban terhadap PH antara lain berani
mengucapkan kata-kata atau kalimat kotor kepada PH secara terang-terangan sebagai bahan
candaan maupun obrolan serius, PH menceritakan bahkan ayah PH mencoba mengiring PH
untuk menikmati perlakuan tak pantas dari pelaku karena hal tersebut merupakan satu
‘kenikmatan’ tanpa rasa malu atau bersalah. PH juga menceritakan bahwa ayah tirinya yang
telah melakukan hal-hal tak pantas justru menasehati PH agar berhati-hati dengan lawan jenis
dan berkata bahwa tidak ada laki-laki yang baik, terlihat bahwa pelaku sangat manipulative
terhadap PH. Tidak hanya melalui verbal, namun pelecehan terjadi secara tindakan pula
seperti pelaku memegang seluruh tubuh PH tanpa terkecuali termasuk ke area yang tidak
boleh disentuh orang lain dalam durasi cukup lama sesuai keinginan pelaku. PH
menceritakan bahwa hal ini terjadi dimanapun dan kapanpun saat situasi mendukung,
termasuk saat keluarga sedang berkumpul dalam satu ruangan. Pelaku tetap mencuri
kesempatan untuk melecehkan PH. Meski PH pelaku sadar bahwa PH merasa tidak nyaman,
pelaku seakan tidak peduli dan tetap melanjutkan pelecehan tersebut.
Terdapat satu lagi pelaku yaitu adik tiri (satu ibu, beda ayah) PH. Pelaku yang merupakan
adik tiri dan berusia lebih muda 3 tahun dari PH ini mengikui tindakan ayahnya sejak PH
berusia sekitar 15 tahun sementara adiknya berusia sekitar 12 tahun yaitu tepat setelah adik
PH telah sunat. Perlakuan pelaku yang merupakan adik PH pernah ketahuan oleh nenek PH.
Nenek PH memergoki pelaku yang merupakan adik PH sedang menggesekan alat kelaminnya
ke PH yang sedang tidur. Saat itu kondisi PH sebenarnya sudah bangun dan sadar sedang
dilecehkan oleh adik tirinya, namun PH pura-pura tetap tertidur. PH tidak bisa bangun karena
denial. PH merasa bingung, sedih dan malu sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan
saat itu. Ketika pelaku yang merupakan adik tiri PH diminta mengakui tindakannya, pelaku
tidak mengakui perbuatannya dan PH pun hanya bisa diam meskipun mengetahui bahwa
pelaku berbohong.
Selama peristiwa pelecehan terjadi, PH menceritakan bahwa PH belum mengetahui
bahwa pelaku bukan ayah kandung PH. PH baru mengetahui bahwa pelaku merupakan ayah
tiri PH setelah pelaku bercerai dengan ibu PH dan pisah rumah dengan PH. Pelaku yang
merupakan adik PH juga ikut meninggalkan rumah yang ditempati PH sehingga PH sudah
tidak bertemu dengan para pelaku dan terbebas dari pelecehan seksual tersebut. Usia PH yang
belum matang, pengetahuan dan pengalaman PH yang masih sangat sedikit serta kondisi
pelaku yang merupakan keluarga korban dimana keluarga biasanya merupakan tempat
teraman membuat PH merasa denial mengenai apa yang ia alami. PH tidak melakukan
pemberontakan karena ia memang tidak mengerti apa yang ia alami merupakan suatu tindak
kriminal yang ia terima dari pelaku.
Meskipun kejadian tersebut sudah berlalu sekitar 6 tahun, namun PH yang sudah semakin
dewasa dan mendapat banyak pengalaman justru semakin menyadari perlakuan-perlakuan
yang dahulu ia terima merupakan perlakuan yang tidak pantas. PH mengaku bahwa semua
kejadian masih tergambar jelas dan semakin jelas setelah ia memahami mengenai pelecehan
seksual. PH menceritakan detail peristiwa pelecehan yang ia alami cukup emosional, namun
PH sendiri lebih sering membuat kalimat yang menyiratkan perasaan rendah diri. PH secara
tak sadar sering berpikir seolah PH merupakan orang lain sedang memberi kritik terhadap PH
sendiri. PH berulang menekankan bahwa mungkin dirinya terlihat bodoh di mata orang lain
karena tidak dapat membela diri, namun di sisi lain PH juga menegaskan kembali alasannya
mengapa tidak dapat membela diri. Bahkan pada pertengahan wawancara, PH
mengungkapkan bahwa dirinya merasa sudah tidak perawan karena seluruh tubuhnya sudah
disentuh.
Kemudian PH juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap ibunya. PH merasa bahwa
ibunya tidak dapat mengerti dirinya dan tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun PH
memaklumi dan mencoba memahami ibunya, namun PH tetap merasa kecewa karena
ternyata ibunya hanya diam saja setelah mengetahui kejadian yang menimpa PH. PH
mengaku sangat menyayangi ibunya, meskipun ia merasa marah dan seringkali merasa tidak
dipedulikan. PH berkata bahwa ia mengerti bahwa ibunya pun mungkin hancur sehingga PH
memilih untuk pasrah terhadap sikap ibunya. Perasaan ini juga PH rasakan terhadap pelaku
yang merupakan adik tiri PH. Meskipun adik tiri PH telah berbuat salah, namun PH tetap
menyayangi dan memaafkan perilaku adik tirinya. PH berkata bahwa sesulit apapun yang PH
rasakan, selalu terasa lebih ringan jika ia bersama dengan saudaranya, setidaknya PH tidak
merasa sendiri dan sepi ketika bersama adik tirinya.
PH tetap berusaha menghubungi pelaku yang merupakan adik tiri PH, PH cenderung
ingin membiarkan kejadian di masa lalu dan memperbaiki ‘keluarga’ yang selama ini berarti
untuknya. Meskipun terdapat sikap-sikap lain dari adik tiri PH yang tidak membuat PH
semakin marah, namun ia tetap menerima adik tirinya kembali. Sementara untuk pelaku yang
merupakan ayah tirinya, PH mengaku tidak bisa dan tidak akan memaafkan. PH merasa sakit
hati dan tidak mau berurusan dengan ayah tirinya lagi.
Selama wawancara berlangsung, PH yang awalnya kesulitan memilah kalimat yang tepat
dan merasa canggung atau bingung harus memulai bercerita darimana akhirnya bisa lebih
terbuka dan lancar menceritakan rangkaian kisah masa lalunya satu persatu. Emosi PH
terlihat naik turun, PH memberi ekspresi tertawa palsu menyiratkan bahwa ia sudah pasrah
dan hanya bisa meledek masa lalunya terutama karena pelakunya merupakan orang
terdekatnya. PH juga memberi penekanan dan nada meninggi saat membahas pelaku yang
merupakan ayah tirinya, terutama saat PH menceritakan bagian nasehat dari pelaku. PH juga
menunjukan kebingungan sekaligus kesedihan saat menceritakan sikap ibunya yang tak
peduli dan saat PH mengatakan ingin memperbaiki hubungan dengan adik tirinya.
Saat ditanya mengenai hubungannya dengan lawan jenis, PH mengaku tak memiliki
kendala dengan lawan jenis. Ia dapat berinteraksi normal dan tidak ada rasa trauma dengan
lawan jenis. Namun dampak yang ia rasakan lebih ke kondisi pribadinya sendiri, ia seringkali
teringan masa lalunya dan merasa campur aduk seperti marah, sedah dan kecewa. PH sering
merasa rendah diri, lebih pendiam dan kesulitan memulai mengekspresikan diri.

4.2. Pembahasan
Pelecehan seksual merupakan kejadian traumatis yang sangat menyiksa korban secara
mental. Dampak pelecehan seksual tidak bisa disepelekan. Seringkali korban tidak dapat
membela diri karena takut, bingung dan malu. Lalu stereotip masyarakat yang juga sering
menyalahkan korban membuat korban semakin tidak dapat berbuat apa-apa karena pola
pikirnya justru ikut menyalahkan diri yang tidak bisa melawan meskipun korban sendiri tidak
mau mengalami peristiwa tersebut. Tidak hanya stereotip masyarakat, namun juga tindakan
masyarakat yang seakan tidak peduli dengan membiarkan kejadian pelecehan seksual berlalu
begitu saja seringkali terjadi. Mungkin masyarakat sama bingungnya dengan korban tentang
apa yang harus dilakukan atau merasa tidak perlu ikut campur karena tidak mengalami
langsung atau merasa tidak ingin rumit dan hanya merasa bertindak untuk hal yang sudah
terjadi tak akan berguna pula.
Utamanya jika kasus pelecehan terjadi dilakukan oleh keluarga korban pada saat korban
masih dibawah umur. Anak sebagai korban belum menyadari bahwa apa yang dialami adalah
tindak kekerasan sehingga mereka menutup diri tidak menceritakan pada oranglain. Secara
spesifik menurut Faulkner (2003) (dalam Zahra, 2007) menjelaskan bahwa kendala yang
menghambat seseorang dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah anak-anak korban
kekerasan seksual. Anak sebagai korban tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban dan
sulit untuk mempercayai orang lain, sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksual.
Anak sebagai korban cenderung takut melapor karena mereka merasa jiwanya terancam, akan
mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor. Bahkan anak sebagai korban merasa
malu menceritakan peristiwa kekerasan, korban beranggapan bahwa kekerasan seksual yang
terjadi karena kesalahan dirinya.Peristiwa kekerasan seksual membuat korban merasa dirinya
akan mempermalukan nama keluarga. Oleh karena itu beberapa kasus kekerasan seksual
sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa kekerasan seksual (Zahra,
2007).
Menurut Tategi Yoga (2017) Sikap ketidakberdayaan perempuan menghadapi kekerasan
inses yang dilakukan ayah, disebabkan karena dua hal, 1) pertimbangan untuk meminimalisir
kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh kekerasan tersebut; 2) karena korban
dihadapkan pada situasi dilema yaitu ketika korban tidak mampu untuk menolak atau
melawan. Ketikdakmampuan karena korban takut, malu sekaligus percaya akan janji-janji
pelaku/ayah korban. Korban berada dalam kondisi powerless, pada saat korban mengalami
ketakutan untuk melakukan perlawanan. Kondisi ini disebabkan faktor psikologis dan
emosional, karena ketergantungan korban yang begitu tinggi terhadap pelaku yang
merupakan ayah korban.
Dalam penelitian ini bahkan dapat diketahui bahwa korban cenderung fokus terhadap
kesalahan dan kekurangan dirinya dibandingkan dengan menyalahkan perbuatan pelaku.
Bahkan orang terdekat korban yang merupakan ibu korban merasa tidak mampu dan tidak
berbuat apapun yang membuat korban semakin ikut pasrah dengan keadaannya. Korban
hanya menjadikan kisahnya sebagai pelajaran dan hanya bisa menerima serta berdamai
dengan keadaannya saat ini.
Daftar Pustaka

Bahri, S. (2015). Suatu kajian awal terhadap tingkat pelecehan seksual di aceh. Jurnal
pencerahan, 9(1).

Hutasoit, Lia. (2021, Desember 26). Kaleidoskop 2021: Daftar Kasus Pelecehan Seksual di
Perguruan Tinggi.
IDNTIMES.https://www.idntimes.com/news/indonesia/lia-hutasoit-1/kaleidoskop-2021-
daftar-kasus-pelecehan-seksual-di-perguruan-tinggi/3.

Ginting, M. N. K., & Psi, S. (2019). PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK: DITINJAU DARI
SEGI DAMPAK DAN PECEGAHANNYA. JURNAL PIONIR, 5(3).

Sastrawaty, Nila. (2012). HUKUM SEBAGAI SISTEM INTEGRASI Pertimbangan Nilai


“Keperawanan” dalam Kasus Perkosaan. AlDaulah, (1)1, 76-104.
Raharja.ac.id (2020, 29 Oktober). Penelitian Kualitatif. Diakses pada 14 Juni 2022, dari
https://raharja.ac.id/2020/10/29/penelitian-kualitatif/#:~:text=Penelitian%20kualitatif%20adalah
%20jenis%20penelitian,tertentu%20menurut%20perspektif%20peneliti%20sendiri.
Tursilarini, Tateki Yoga. (2017). DAMPAK KEKERASAN SEKSUAL DI RANAH DOMESTIK
TERHADAP KEBERLANGSUNGAN HIDUP ANAK. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan
Sosial, (4)1, 77-91.

Anda mungkin juga menyukai