Bab II
PENDAHULUAN
Dari beberapa kasus yang sudah peneliti jabarkan diatas, diketahui bahwa pelecehan
seksual dapat terjadi dimana saja dan lebih banyak pelecehan seksual dilakukan oleh orang
orang terdekat. Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif seperti
rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan
sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).
Berdasarkan latar belakang yang sudah peneliti jabarkan diatas, peneliti menemukan
suatu fenomena yang sangat menarik untuk di eksplorasi secara mendalam. Oleh karena itu,
peneliti tergiring untuk melakukan penelitian kualitatif menggunakan pendekatan study kasus
dengan judul “Dampak Pelecehan Seksual yang dilakukan oleh orang terdekat”
Untuk subjek, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan menambah
pemahaman subjek mengenai dampak pelecehan seksual
Untuk masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi
untuk masyarakat lebih mengetahui bahwa pelecehan seksual sangat berdampak besar
pada para korbannya, dan peneliti berharap masyarakat dapat lebih perduli terhadap
lingkungan sekitarnya serta dapat memberikan support kepada para penyintas
pelecehan seksual.
Untuk peneliti, ini merupakan pengalaman berharga bagi peneliti untuk memperluas
pengetahuan peneliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Keperawanan
Istilah keperawanan juga dikenal dengan “virginitas” yang berasal dari bahasa latin
“virgo” atau “gadis”. Istilah ini juga memiliki kaitan erat dengan istilah “virga” yang artinya
baru, ranting muda atau cabang tak berbentuk. Dalam mendefinisikan keperawanan sendiri
saat ini masih sangat bergantung pada konteks budaya dimana masyarakar cenderung menilai
keperawanan berdasarkan pola mindset budaya yang sudah ada. Meskipun demikian, pola
pikir tradisional masyarakat dari berbagai budaya tentang “keperawanan” cenderung
kesamaan, bahwa keperawanan bagi seorang wanita diidentikan sebagai kesucian dirinya.
Kesucian diri yang dimaksud adalah tidak pernah berhubungan seksual dengan lawan jenis.
Sementara dalam dunia medis, tidak ada definisi keperawanan secara khusus. Selaput
dara sering dikaitkan dengan keperawanan dan seringkali muncul anggapan jika selaput dara
telah robek maka menunjukan keperawanan sudah hilang. Padahal, robeknya selaput dara
tidak hanya disebabkan oleh hubungan seksual, tapi bisa juga disebabkan oleh hal lain seperti
cidera atau kecelakaan (dr. Irma Noor, 2021).
BAB III
METODE PENELITIAN
4.1. Hasil
Berdasarkan proses wawancara yang sudah dilakukan dengan narasumber berinisial PH,
peneliti mengetahui bahwa PH yang kini telah berusia 21 tahun pernah mengalami kasus
pelecehan seksual selama 6 tahun yaitu sejak PH berusia 9 tahun hingga usia PH menginjak
15 tahun. Hal ini berarti PH telah mengalami pelecehan seksual dari fase kanak-kanak hingga
memasuki fase remaja pertengahan. PH mengungkapkan bahwa pelaku pelecehan seksual
yang ia alami selama ini merupakan orang terdekatnya dan termasuk keluarga PH, yaitu ayah
tiri dan adik PH yang dahulu tinggal serumah selama kasus pelecehan itu terjadi.
PH menceritakan bahwa ia menerima banyak pelecehan seksual baik secara verbal
maupun nonverbal. Pelecehan verbal yang dilakukan korban terhadap PH antara lain berani
mengucapkan kata-kata atau kalimat kotor kepada PH secara terang-terangan sebagai bahan
candaan maupun obrolan serius, PH menceritakan bahkan ayah PH mencoba mengiring PH
untuk menikmati perlakuan tak pantas dari pelaku karena hal tersebut merupakan satu
‘kenikmatan’ tanpa rasa malu atau bersalah. PH juga menceritakan bahwa ayah tirinya yang
telah melakukan hal-hal tak pantas justru menasehati PH agar berhati-hati dengan lawan jenis
dan berkata bahwa tidak ada laki-laki yang baik, terlihat bahwa pelaku sangat manipulative
terhadap PH. Tidak hanya melalui verbal, namun pelecehan terjadi secara tindakan pula
seperti pelaku memegang seluruh tubuh PH tanpa terkecuali termasuk ke area yang tidak
boleh disentuh orang lain dalam durasi cukup lama sesuai keinginan pelaku. PH
menceritakan bahwa hal ini terjadi dimanapun dan kapanpun saat situasi mendukung,
termasuk saat keluarga sedang berkumpul dalam satu ruangan. Pelaku tetap mencuri
kesempatan untuk melecehkan PH. Meski PH pelaku sadar bahwa PH merasa tidak nyaman,
pelaku seakan tidak peduli dan tetap melanjutkan pelecehan tersebut.
Terdapat satu lagi pelaku yaitu adik tiri (satu ibu, beda ayah) PH. Pelaku yang merupakan
adik tiri dan berusia lebih muda 3 tahun dari PH ini mengikui tindakan ayahnya sejak PH
berusia sekitar 15 tahun sementara adiknya berusia sekitar 12 tahun yaitu tepat setelah adik
PH telah sunat. Perlakuan pelaku yang merupakan adik PH pernah ketahuan oleh nenek PH.
Nenek PH memergoki pelaku yang merupakan adik PH sedang menggesekan alat kelaminnya
ke PH yang sedang tidur. Saat itu kondisi PH sebenarnya sudah bangun dan sadar sedang
dilecehkan oleh adik tirinya, namun PH pura-pura tetap tertidur. PH tidak bisa bangun karena
denial. PH merasa bingung, sedih dan malu sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan
saat itu. Ketika pelaku yang merupakan adik tiri PH diminta mengakui tindakannya, pelaku
tidak mengakui perbuatannya dan PH pun hanya bisa diam meskipun mengetahui bahwa
pelaku berbohong.
Selama peristiwa pelecehan terjadi, PH menceritakan bahwa PH belum mengetahui
bahwa pelaku bukan ayah kandung PH. PH baru mengetahui bahwa pelaku merupakan ayah
tiri PH setelah pelaku bercerai dengan ibu PH dan pisah rumah dengan PH. Pelaku yang
merupakan adik PH juga ikut meninggalkan rumah yang ditempati PH sehingga PH sudah
tidak bertemu dengan para pelaku dan terbebas dari pelecehan seksual tersebut. Usia PH yang
belum matang, pengetahuan dan pengalaman PH yang masih sangat sedikit serta kondisi
pelaku yang merupakan keluarga korban dimana keluarga biasanya merupakan tempat
teraman membuat PH merasa denial mengenai apa yang ia alami. PH tidak melakukan
pemberontakan karena ia memang tidak mengerti apa yang ia alami merupakan suatu tindak
kriminal yang ia terima dari pelaku.
Meskipun kejadian tersebut sudah berlalu sekitar 6 tahun, namun PH yang sudah semakin
dewasa dan mendapat banyak pengalaman justru semakin menyadari perlakuan-perlakuan
yang dahulu ia terima merupakan perlakuan yang tidak pantas. PH mengaku bahwa semua
kejadian masih tergambar jelas dan semakin jelas setelah ia memahami mengenai pelecehan
seksual. PH menceritakan detail peristiwa pelecehan yang ia alami cukup emosional, namun
PH sendiri lebih sering membuat kalimat yang menyiratkan perasaan rendah diri. PH secara
tak sadar sering berpikir seolah PH merupakan orang lain sedang memberi kritik terhadap PH
sendiri. PH berulang menekankan bahwa mungkin dirinya terlihat bodoh di mata orang lain
karena tidak dapat membela diri, namun di sisi lain PH juga menegaskan kembali alasannya
mengapa tidak dapat membela diri. Bahkan pada pertengahan wawancara, PH
mengungkapkan bahwa dirinya merasa sudah tidak perawan karena seluruh tubuhnya sudah
disentuh.
Kemudian PH juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap ibunya. PH merasa bahwa
ibunya tidak dapat mengerti dirinya dan tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun PH
memaklumi dan mencoba memahami ibunya, namun PH tetap merasa kecewa karena
ternyata ibunya hanya diam saja setelah mengetahui kejadian yang menimpa PH. PH
mengaku sangat menyayangi ibunya, meskipun ia merasa marah dan seringkali merasa tidak
dipedulikan. PH berkata bahwa ia mengerti bahwa ibunya pun mungkin hancur sehingga PH
memilih untuk pasrah terhadap sikap ibunya. Perasaan ini juga PH rasakan terhadap pelaku
yang merupakan adik tiri PH. Meskipun adik tiri PH telah berbuat salah, namun PH tetap
menyayangi dan memaafkan perilaku adik tirinya. PH berkata bahwa sesulit apapun yang PH
rasakan, selalu terasa lebih ringan jika ia bersama dengan saudaranya, setidaknya PH tidak
merasa sendiri dan sepi ketika bersama adik tirinya.
PH tetap berusaha menghubungi pelaku yang merupakan adik tiri PH, PH cenderung
ingin membiarkan kejadian di masa lalu dan memperbaiki ‘keluarga’ yang selama ini berarti
untuknya. Meskipun terdapat sikap-sikap lain dari adik tiri PH yang tidak membuat PH
semakin marah, namun ia tetap menerima adik tirinya kembali. Sementara untuk pelaku yang
merupakan ayah tirinya, PH mengaku tidak bisa dan tidak akan memaafkan. PH merasa sakit
hati dan tidak mau berurusan dengan ayah tirinya lagi.
Selama wawancara berlangsung, PH yang awalnya kesulitan memilah kalimat yang tepat
dan merasa canggung atau bingung harus memulai bercerita darimana akhirnya bisa lebih
terbuka dan lancar menceritakan rangkaian kisah masa lalunya satu persatu. Emosi PH
terlihat naik turun, PH memberi ekspresi tertawa palsu menyiratkan bahwa ia sudah pasrah
dan hanya bisa meledek masa lalunya terutama karena pelakunya merupakan orang
terdekatnya. PH juga memberi penekanan dan nada meninggi saat membahas pelaku yang
merupakan ayah tirinya, terutama saat PH menceritakan bagian nasehat dari pelaku. PH juga
menunjukan kebingungan sekaligus kesedihan saat menceritakan sikap ibunya yang tak
peduli dan saat PH mengatakan ingin memperbaiki hubungan dengan adik tirinya.
Saat ditanya mengenai hubungannya dengan lawan jenis, PH mengaku tak memiliki
kendala dengan lawan jenis. Ia dapat berinteraksi normal dan tidak ada rasa trauma dengan
lawan jenis. Namun dampak yang ia rasakan lebih ke kondisi pribadinya sendiri, ia seringkali
teringan masa lalunya dan merasa campur aduk seperti marah, sedah dan kecewa. PH sering
merasa rendah diri, lebih pendiam dan kesulitan memulai mengekspresikan diri.
4.2. Pembahasan
Pelecehan seksual merupakan kejadian traumatis yang sangat menyiksa korban secara
mental. Dampak pelecehan seksual tidak bisa disepelekan. Seringkali korban tidak dapat
membela diri karena takut, bingung dan malu. Lalu stereotip masyarakat yang juga sering
menyalahkan korban membuat korban semakin tidak dapat berbuat apa-apa karena pola
pikirnya justru ikut menyalahkan diri yang tidak bisa melawan meskipun korban sendiri tidak
mau mengalami peristiwa tersebut. Tidak hanya stereotip masyarakat, namun juga tindakan
masyarakat yang seakan tidak peduli dengan membiarkan kejadian pelecehan seksual berlalu
begitu saja seringkali terjadi. Mungkin masyarakat sama bingungnya dengan korban tentang
apa yang harus dilakukan atau merasa tidak perlu ikut campur karena tidak mengalami
langsung atau merasa tidak ingin rumit dan hanya merasa bertindak untuk hal yang sudah
terjadi tak akan berguna pula.
Utamanya jika kasus pelecehan terjadi dilakukan oleh keluarga korban pada saat korban
masih dibawah umur. Anak sebagai korban belum menyadari bahwa apa yang dialami adalah
tindak kekerasan sehingga mereka menutup diri tidak menceritakan pada oranglain. Secara
spesifik menurut Faulkner (2003) (dalam Zahra, 2007) menjelaskan bahwa kendala yang
menghambat seseorang dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah anak-anak korban
kekerasan seksual. Anak sebagai korban tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban dan
sulit untuk mempercayai orang lain, sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksual.
Anak sebagai korban cenderung takut melapor karena mereka merasa jiwanya terancam, akan
mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor. Bahkan anak sebagai korban merasa
malu menceritakan peristiwa kekerasan, korban beranggapan bahwa kekerasan seksual yang
terjadi karena kesalahan dirinya.Peristiwa kekerasan seksual membuat korban merasa dirinya
akan mempermalukan nama keluarga. Oleh karena itu beberapa kasus kekerasan seksual
sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa kekerasan seksual (Zahra,
2007).
Menurut Tategi Yoga (2017) Sikap ketidakberdayaan perempuan menghadapi kekerasan
inses yang dilakukan ayah, disebabkan karena dua hal, 1) pertimbangan untuk meminimalisir
kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh kekerasan tersebut; 2) karena korban
dihadapkan pada situasi dilema yaitu ketika korban tidak mampu untuk menolak atau
melawan. Ketikdakmampuan karena korban takut, malu sekaligus percaya akan janji-janji
pelaku/ayah korban. Korban berada dalam kondisi powerless, pada saat korban mengalami
ketakutan untuk melakukan perlawanan. Kondisi ini disebabkan faktor psikologis dan
emosional, karena ketergantungan korban yang begitu tinggi terhadap pelaku yang
merupakan ayah korban.
Dalam penelitian ini bahkan dapat diketahui bahwa korban cenderung fokus terhadap
kesalahan dan kekurangan dirinya dibandingkan dengan menyalahkan perbuatan pelaku.
Bahkan orang terdekat korban yang merupakan ibu korban merasa tidak mampu dan tidak
berbuat apapun yang membuat korban semakin ikut pasrah dengan keadaannya. Korban
hanya menjadikan kisahnya sebagai pelajaran dan hanya bisa menerima serta berdamai
dengan keadaannya saat ini.
Daftar Pustaka
Bahri, S. (2015). Suatu kajian awal terhadap tingkat pelecehan seksual di aceh. Jurnal
pencerahan, 9(1).
Hutasoit, Lia. (2021, Desember 26). Kaleidoskop 2021: Daftar Kasus Pelecehan Seksual di
Perguruan Tinggi.
IDNTIMES.https://www.idntimes.com/news/indonesia/lia-hutasoit-1/kaleidoskop-2021-
daftar-kasus-pelecehan-seksual-di-perguruan-tinggi/3.
Ginting, M. N. K., & Psi, S. (2019). PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK: DITINJAU DARI
SEGI DAMPAK DAN PECEGAHANNYA. JURNAL PIONIR, 5(3).