Anda di halaman 1dari 36

Rika Saraswati

Mata Kuliah Psikologi Hukum


 Komnas Perempuan, Kekerasan
Seksual:Kenali & Tangani;
 Mark Constanzo, Aplikasi Psikologi dalam
Sistem Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cetakan I: 2008;
 Sri Wahyuni, Perilaku Pelecehan Seksual Dan
Pencegahan Secara Dini Terhadap Anak,
RAUDHAH: Vol. IV, No. 2: Juli – Desember
2016, ISSN: 2338 – 2163
 pelecehan seksual adalah segala macam bentuk
perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada
hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran
sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti
malu,marah, benci, tersinggung.
 Rentang pelecehan seksual ini sangat luas karena
meliputi main mata, siulan nakal, cubitan, colekan,
tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu,
gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual,
ajakan berkencan dengan iming-iming atau
ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual
hingga perkosaan.
1. Perkosaan;
2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau
Percobaan Perkosaan;
3. Pelecehan Seksual;
4. Eksploitasi Seksual;
5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;
6. Prostitusi Paksa;
7. Perbudakan Seksual;
8. Pemaksaan perkawinan, termasukcerai gantung;
9. Pemaksaan Kehamilan;
10. Pemaksaan Aborsi;
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
12. Penyiksaan Seksual;
13. Penghukuman tidak manusiawi dan
bernuansa seksual;
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang
membahayakan/mendiskriminasi perempuan;
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan
diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
 Pada umumnya korban pelecehan seksual adalah
kaum wanita, namun tidak berarti kaum pria
kebal atau tidak pernah mengalaminya.
 Pelecehan seksual ini pun bisa terjadi di mana saja
dan kapan saja.
 Dalam banyak kasus, banyak korban yang
memilih diam dan menganggap biasa perlakuan
yang diterima dari atasan ataupun rekan kerja.
Misalnya rekan kerja atau atasan yang
menyampaikan lelucon porno atau komentar
negatif tentang gender maka banyak perempuan
yang memilih diam atau bahkan berpura-pura
menyenangi lelucon tersebut meskipun tidak
sesuai dengan hati nurani.
 Pelecehan seksual jarang dipermasalahkan
karena dianggap sebagai hal yang biasa dan
selesai dengan sendirinya tanpa penyelesaian
hukum, maka hal ini seringkali oleh pelaku
dianggap sebagai suatu persetujuan karena
tidak ada keberatan sehingga ia pun akan
mengulanginya lagi di kemudian hari.
 Perilaku tersebut mungkin merupakan
cerminan ketidakpahaman masyarakat
terhadap pelecehan seksual itu sendiri, serta
akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya.
Ketidakpahaman masyarakat juga dipengaruhi
adanya mitos tentang pelecehan seksual yang
seringkali tidak benar dengan kenyataannya.
 Pelecehan seksual  Pelecehan seksual
bukan masalah besar adalah masalah besar
karena merupakan karena dapat
cara yang alami menimbulkan
mengungkapkan rasa berbagai dampak bagi
sayang antara laki- individu seperti malu,
laki dengan tidak nyaman, tidak
perempuan demikian aman, terancam dan
sebaliknya. tidak tenang dalam
bekerja/kuliah/sekol
ah.
 Pelecehan seksual  Pelecehan seksual tidak
akan berhenti jika si akan berhenti jika si
korban tidak korban tidak
menghiraukannya. menyatakan dengan
tegas
ketidaksukaannya atau
keberatan.
 Pelecehan seksual
hanya dialami oleh
 Korban pelecehan
wanita bukan hanya wanita
tetapi bisa juga pria
 Kebanyakan orang  Jika tidak dilakukan
menyukai bentuk tindakan hukum
perhatian seksual di terhadap pelaku
tempat kerja. Godaan pelecehan seksual maka
dan rayuan membuat perilaku tersebut dapat
bekerja menjadi merusak suasana kerja
menyenangkan. dan merusak image
perusahan.
 Orang baik-baik tidak  Pelecehan seksual dapat
mungkin akan menjadi terjadi pada siapa saja,
korban pelecehan kapan saja dan
seksual dilakukan oleh siapa
saja
 Wanita yang  Pelecehan seksual
berpakaian minim selalu terjadi dengan
atau mengundang cara-cara yang tidak
perhatian pasti tidak diinginkan oleh si
akan bermasalah jika korban, terlepas
menjadi sasaran korban berpakaian
pelecehan seksual minim atau tidak
 Kebijakan atau aturan  Kebijakan atau aturan
yang berlaku dalam yang berlaku dalam
perusahaan untuk perusahaan untuk
membatasi terjadinya membatasi terjadinya
pelecehan seksual pelecehan seksual dapat
hanya akan membantu korban yang
memberikan pengaruh menjadi sasaran untuk
negatip bagi hubungan mengatasi pelecehan
persahabatan. seksual, juga untuk
mencegah pelaku
melakukan pelecehan
seksual.
 Pada tahun 1979, seorang profesor ilmu hukum
Yale, Chatarine MacKinnon, menerbitkan buku
yang berpengaruh, sexual harassement of working
women (pelecehan seksual pada wanita
pekerja). Argumentasinya yang pada waktu itu
dianggap radikal adalah bahwa pelecehan
seksual adalah salah satu bentuk diskriminasi.
 Ia mendefinisikan dua macam pelecehan seksual,
yaitu “quid pro quo” dan hostile environment
(lingkungan yang bermusuhan).
 Pelecehan quid pro quo melibatkan proses
pertukaran yang sedikit banyak menghendaki si
wanita harus menuruti kemauan seksual si pelaku
atau ia harus mengorbankan keuntungan yang ia
peroleh dari pekerjaannya. Misalnya: seorang
wanita mungkin diberitahu bahwa bila ia tidak
mau menuruti permintaan seksual atasannya, ia
tidak akan mendapatkan pekerjaan yang
didambakannya atau tidak akan mendapatkan
promosi.
 Bentuk pelecehan kedua, lingkungan yang
bermusuhan, menggambarkan suatu situsi di
mana kehidupan dibuat terasa sangat bagi korban
hingga yang bersangkutan tidak mampu
memenuhi tanggungjawab yang terkait dengan
pekerjaannya.
 MacKinnon menjelaskannya dengan cara sebagai
berikut: ‘Situasi di mana pelecehan seksual itu
terjadi tidak begitu jelas tetapi lebih pervasif
(merembes ke mana-mana) sehingga membuat
lingkungan kerja benar-benar tak tertahankan”.
 Angka pelecehan di berbagai tempat kerja
sangat bervariasi.
 Sebagian tempat kerja relatif bebas dari
perilaku pelecehan, sementara yang lainya
penuh dengan pelecehan.
 Beberapa pola yang jelas muncul :
Pertama, hampir semua studi menemukan
bahwa perempuan lebih banyak menjadi
korban pelecehan seksual dibandingkan laki-
laki.
 Kedua, temuan yang menarik terkait dengan
rasio pria dan wanita di tempat kerja.
 Wanita yang bekerja di pekerjaan yang
didominasi pria (misalnya, pekerjaan teknis,
mengemudi truk, operasi di rumah sakit,
konstruksi) lebih cenderung mengalami
pelecehan seksual.
 Tempat kerja dimana wanita menjadi minoritas
cenderung lebih terseksualisasi di banding
tempat kerja di mana jumlah pegawai wanita
dan pria kurang berimbang.
 Budaya tempat kerja yang terseksualisasi
karena jumlah pria jauh melampaui wanita
kadang-kadang dimanifestasikan dalam
bentuk poster atau kalender bergambar wanita
dengan pakaian atau pose yang sugestif,
guyonan seksual, istilah dan perumpamaan
seksual dan bahasa cabul
 Ketiga, bila laki-laki menjadi korban pelecehan,
pelecehan itu cenderung sedikit lebih banyak
dilakukan oleh sesama pria daripada oleh wanita.
 Artinya separuh lebih pria dilecehkan oleh pria
lain daripada oleh wanita. Pria pelaku pelecehan
cenderung melecehkan pria lain dengan
menggunakan komentar kotor arau cabul dan
dengan “pemaksaan peran gender laki-laki”, yaitu
dengan mengatakan bahwa pria yang lain telah
melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak jantan
atau bertingkah laku seperti wanita.
 Perilaku yang secara seksual melecehkan bisa
muncul dari berbagai motif yang berbeda,
misalnya:
 1. Dimotivasi oleh ketertarikan romantik murni
pria terhadap rekan sekerja wanitanya. Karena
tidak dapat menerima ketidaktertarikan si wanita,
pria yang frustasi itu kemudian menaikkan iming-
imingnya atau menyulut sikap bermusuhan.
 2. Motif permusuhan sehingga pelecehan
termanifestasi dalam bentuk mengintimidasi,
mendominasi atau mempermalukan. (Pryor dan
Whalen, 1997).
 Selanjutnya, Susan Fiske dan Peter Glick (1995)
menyatakan bahwa motif mungkin
berinteraksi dengan tipe pekerjaan dalam
menentukan tipe pelecehan seksualnya.
 Pekerjaan “kerah merah jambu” tradisional
perempuan, seperti pelayan restoran,
sekretaris, guru sekolah mungkin mendorong
bentuk-bentuk pelecehan yang berakar pada
keinginan murni pria untuk menjalin
hubungan intim dengan wanita.
 Apabila perempuan meraih kesuksesan di bidang-
bidang yang secara tradisional merupakan bidang
pekerjaan pria maka hal tersebut juga akan
mengancam harga diri sebagian pria , misalnya
pekerjaan kerah biru (montir, buruh, pekerja
galangan kapal, buruh bangunan) yang
menekankan sifat-sifat maskulin tradisional seperti
kekuatan dan kekerasan, maka perempuan yang
bekerja di tempat ini akan cenderung menghadapi
bentuk-bentuk pelecehan kompetitif dan
bermusuhan.
 Mereka akan berusaha mendominasi wanita dan
ingin menunjukkan bahwa wanita tidak cocok
bekerja di tempat itu
 Kemudian, pekerjaan-pekerjaan kerah putih
seperti dokter, pengacara, dosen atau eksekutif
perusahaan cenderung didominasi oleh pria
dan mungkin dianggap menjunjung tinggi
seperti kecerdasan dan ambisi. Wanita di
peran-peran pekerjaan semacam ini lebih
sering mengalami pelecehan yang bermusuhan
yang dilakukan dalam usaha mendudukkan
kaum wanita di tempat seharusnya (Fiske dan
Glick, 1995)
 Di dalam sebuah studi mengenai ciri-ciri kasus seperti apa yang
membuat gugatan pelecehan seksual meraih sukses di
persidangan, David Terpstra dan Douglas Baker (1992),
 Kasus-kasus yang menang memiliki 5 karateristik:
(1) pelecehan itu sangat berat;
(2) ada saksi-saksi yang menguatkan tuntutan penggugat;
(3) ada dokumen-dokumen yang mendukung klaim pelecehan
itu;
(4) sebelum mengajukan gugatan, korban telah memeberitahu
manajemen soal pelecehan yang dialaminya; dan
(5) perusahaan tidak mengambil tindakan terhadap si pelaku
pelecehan.
 kasus Harris v.Forklift System,Inc. Theresa Harris adalah
manajer penyewaan di Forklift System di Nashville,
Tennessee.
 Direktur perusahaannya beberapa kali mengeluarkan
pernyataan yang sugestif dan merendahkan secara seksual
terhadapnya selama kurun waktu dua tahun, dengan cara
bertanya kepadanya di depan umum apakah ia
berhubungan seks dengan klien-kliennya untuk
mendapatkan uang dari mereka).
 Pada awalnya ia berusaha mengabaikan semua itu, namun
akhirnya ia sengaja menghadapinya dan pria tiu berjanji
untuk menghentikan perbuatannya.
 Namun ternyata pria tersebut tidak juga menghentikan
mengluarkan komentar-komentar sugestif-seksualnya
sehingga ia kemudian memutuskan keluar dan membawa
kasusnya hingga ke tingkat Mahkamah Agung.
 Mahkamah Agung menanggapi kasusnya karena
pengadilan yang lebih rendah menggunakan
standar yang berbeda, misalnya mensyaratkan
korban harus mengalami cedera psikologis,
pelecehan harus mengganggu kinerja korban.
 Dalam keputusan yang diambil dengan suara
bulat, Mahkamah Agung mengeluarkan
keputusan yang memenangkan Theresa Harris
berdasarkan pertimbangan bahwa penggugat
tidak perlu memperlihatkan adanya cedera
psikologis dan bahwa standar orang yang dapat
berpikir dengan baiklah yang seharusnya
diterapkan
 Sebagai contoh kasus Frida Widuratmi dan kawan-
kawan. Kasus pelecehan yang dialami Frida dan
teman-temannya berlangsung tahun 2001-2004.
 Pelaku pelecehan adalah Yosep Daud Folla, direktur
mereka. Pelecehan yang terjadi tidak hanya dalam
bentuk perkataan melainkan juga tindakan fisik
dengan menyentuh bagian-bagian tubuh.
 Frida dan teman-temannya tidak berani menegur
karena posisi pelaku sebagai atasan. Mereka hanya
menjaga jarak dengan pelaku.
 Salah seorang korban pernah menyatakan
keberatannya, tetapi menurut Frida yang ditegur justru
mengatakan, “ya karena tidak disekolahkan tangannya
jadi begini”.
 Semua korban merasa malu bercerita, namun setelah
orang tersebut dipecat dan ada pengakuan dari teman
yang dilecehkan barulah mereka berani bercerita, dan
ternyata hampir semua karyawan perempuan di
kantor pernah dilecehkan.
 Atas dasar temuan tersebut, mereka kemudian berpikir
untuk menyelesaikan secara hukum. Keraguan yang
muncul apakah kasus ini dapat dikategorikan sebagai
kasus hukum apalagi tidak ada bukti fisiknya.
Keyakinan baru diperoleh setelah mereka
berkonsultasi dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan dan LBH APIK, setelah itu
membuat pengaduan ke Ruang Pelayanan Khusus di
Polda Metro Jaya.
 Terhadap perbuatannya itu, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menjatuhi hukuman delapan
bulan dengan masa percobaan satu tahun
kepada pelaku karena pelaku telah terbukti
melanggaar Pasal 281 KUHP tentang
kesusilaan.
 Hukuman ini lebih berat daripada tuntutan
jaksa yang hanya menuntut enam bulan
penjara dengan masa percobaan satu tahun.
 Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan ini terdiri
dari hal yang memberatkan dan meringankan.
 Hal yang meringankan ketika Hakim membuat putusan
karena terdakwa telah diberhentikan dari perusahaannya,
mempunyai tanggungan keluarga, telah berusia lanjut dan
belum pernah dihukum.
 Hal yang memberatkan terdakwa karena melakukan
pelecehan seksual kepada saksi korban yang merupakan
bawahannya yang seharusnya dilindunginya. Perbuatan
tersebut telah merugikan saksi korban dan sama sekali tidak
menghargai harkat dan martabat kaum perempuan.
 Terhadap semua dakwaan tadi, terdakwa tidak mengakui
perbuatannya, ia jusstru beralasan bahwa perbuatannya
merupakan bentuk kasih sayang atasan terhadap bawahan.
Akan tetapi, bentuk kasih sayang ini hanya ditujukan
kepada bawahan perempuan saja.
 Di tingkat Pengadilan Negeri (PN) Amlapura,
Kabupaten Karangasem, majelis hakim
pimpinan Nyoman Somanada membebaskan I
Gede Sumantara dari dakwaan kasus
persetubuhan dengan korban WS, siswi SMA I
Amlapura. Alasan pembebasan karena saksi
korban tidak bisa dihadirkan sehingga berkas
terdakwa dikembalikan. Hakim juga
membebaskan empat orang lainnya yang
didakwa memperdagangkan dan ikut terlibat
dalam kasus tersebut yang dua diantaranya
adalah oknum polisi dan satpol PP.
 Kasus ini berawal pada bulan Januari 2006, saat WS
mengikuti kejuaraan daerah lembaga karate Indonesia
diKabupaten Singaraja. Oleh Ni Made Budiasri,
pelatihnya yang juga oknum Satpol PP, gadis 16 tahun
ini menurut saja saat dipisahkan dengan
rombongannya dan disuruh tidur di rumah terdakwa.
 Terdakwa merayu korban untuk berhubungan intim
dengan imbalan sejumlah uang, dan peristiwa itu
terjadi selama tiga malam berturut-turut. Sebulan
kemudian aib itu terbongkar dan Sumantara resmi
ditahan Bulan September 2006. Setelah ditetapkan
menjadi tersangka dan ditahan di Polda Bali,
Sumantara langsung dicopot sebagai Ketua DPC PDIP
Karangasem oleh DPP PDIP Bali.
 Salah satu hakim, FX Jiwo Santoso, merasa aneh
dengan ketidakhadiran saksi korban, karena pada
umumnya justru saksi korban minta sidang cepat
diputus dan terdakwa diminta dihukum seberat-
beratnya.
 Bahkan sebelumnya saksi korban pernah
mengadakan jumpa pers bahwa ia tidak
mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh
Sumantara. Namun pernyataan ini bisa jadi karena
adanya tekanan dari pihak luar, mengingat
terdakwa merupakan orang yang cukup
berpengaruh dan mempunyai pendukung dari
partai. Ketidakhadiran saksi korban bisa jadi
adanya tekanan seperti itu.
 Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum, Made Subawa,
menyayangkan sikap majelis hakim yang tidak
mengabulkan permintaannya memeriksa saksi-saksi
lain Dia menilai putusan majelis hakim tidak disertai
pertimbangan mendalam karena sebenarnya
keterangan saksi korban bisa dibacakan jika yang
bersangkutan tidak bisa hadir. Dalam berita acara
pemeriksaan, Sumantara dan kawan-kawan diancam
pidana 15 tahun penjara berdasar Pasal 81 ayat 2 UU
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
 Psikiater Prof Dr dr LK Suryani SpKJ juga mengaku
kecewa berat atas putusan tersebut karena hakim tidak
memutus berdasarkan kepentingan terbaik anak dan
tidak melihat kondisi anak yang jelas mengalami
trauma
 Kasus ini kemudian sampai ke Mahkamah Agung, dan oleh
Mahkamah Agung terdakwa pelecehan seksual terhadap anak, I
Gede Sumantara, divonis enam tahun penjara. Mahkamah Agung
menyatakan bahwa terdakwa telah melanggar Pasal 81 UU No.23
tahun 2002 tentang perlindungan anak, yaitu melakukan
pelecehan seksual terhadap korban. MA juga menjatuhkan
putusan empat tahun pejara kepada teman-teman terdakwa yang
turut memperdagangkan dan melakukan pelecehan seksual
terhadap korban.
 Dari beberapa contoh tersebut di atas, maka terlihat bahwa
putusan hakim dapat dipengaruhi oleh hal-hal yang berada di
luar dirinya, seperti pengaruh status terdakwa, kekuatan politik
yang dimiliki terdakwa. Kesulitan mengungkap kasus pelecehan
seksual karena korban yang trauma, tertekan secara psikologis,
malu terhadap lingkungan, takut dengan ancaman pelaku.

Anda mungkin juga menyukai