Anda di halaman 1dari 17

BATTERED WOMAN SYNDROME

DAN SISTEM HUKUM


 
RIKA SARASWATI
PENGANTAR

• Hingga pertengahan abad kesembilan belas, penanganan


penganiayaan terhadap istri kurang serius dilakukan dibandingkan
bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
• Sebelumnya, hukum yang mengatur tentang Kekerasan Dalam Ruang
Tangga sangat dipengaruhi oleh konsep-konsep properti dan privasi.
• Istri dan anak dianggap properti sehingga laki-laki jika merasa perlu
mendisiplinkan istri atau anaknya dilakukan dengan cara
penganiayaan tingkat sedang . Hal ini dianggap sebagai masalah
pribadi dan hukum tidak mau ikut campur.
• Ada ungkapan “rule of thumb” yang diambil dari hukum yang ada
di koloni-koloni Amerika yang melarang pemukulan terhadap istri.
• Hukum itu menyebutkan bahwa seorang laki-laki boleh memukul
istrinya, tetapi hanya boleh dengan tongkat atau senjata yang
tebalnya tidak melebihi jempolnya
• Di luar itu ada batasan-batasan besar lainnya, pemukulan yang
mengakibatkan cacat atau kematian biasanya akan dtuntut di
pengadilan.
Sumber:Koss dan House-Higgins, 2000.
BWS

• Penganiayaan fisik antara suami-istri atau pasangan-


pasangan lainnya biasanya terjadi di ruang pribadi dan
biasanya dirahasiakan, sehingga sulit untuk diketahui.
• Lenore Walker pada tahun 1979. Ia berpendapat bahwa
hubungan yang melibatkan penganiayaan biasanya
berlangsung melalui siklus tiga fase berulang , yaitu:
tension, battering dan contrition
• Pada fase pertama, terjadi akumulasi ketegangan emosional dan insiden
penganiayaan ‘ringan’. Insiden-insiden kecil ini kemudian dapat meledak
dalam bentuk penyiksaan serius.
• fase kedua atau fase penganiayaan akut, dan kemudian pada fase ketiga,
penganiaya merasakan penyesalan yang mendalam.
• Pelaku penganiaya memperlakukan korbannya dengan baik,
mengekspresikan penyesalan dan berjanji untuk tidak menyakiti lagi. Akan
tetapi, siklus ini pada akhirnya akan terulang kembali dengan tingkat
kekerasan yang semakin berat dan sering
BWS

• Menurut Walker, perempuan yang terjebak di dalam hubungan semacam ini


biasanya mengalami “learned helplessness (belajar menerima
ketidakberdayaannya) dan menjadi penurut, artinya dari waktu ke waktu,
wanita yang mampu bertahan menghadapi penganiayaan jangka panjang
menyerah pada penderitaannya dan tidak mampu menolak atau
meninggalkan penganiayanya.
BWS

• Walker juga mengidentifikasi sejumlah sifat yang menurutnya ada pada


wanita-wanita yang dianiaya.
• Sifat-sifat itu antara lain adalah: memiliki sikap peran seks tradisional (seperti
: perempuan seharusnya bersikap penurut terhadap suaminya), citra diri yang
buruk, dan kecenderungan untuk merasa bertanggungjawab atas
penganiayaan yang menimpanya.
BWS

• Jika wanita harus diadili karena pembunuhan, pengacaranya


biasanya akan menggunakan salah satu di antara dua strategi,
yaitu membela diri atau gila.
• Membuktikan pembelaan diri dalam kasus semacam itu sulit
dilakukan karena tindakan membela diri membenarkan seseorang
untuk membunuh orang lain hanya jika si pembunuh cukup yakin
bahwa membunuh adalah respon yang dibutuhkan dalam serangan
yang berkemungkinan menyebabkan dirinya mengalami cedera
serius atau terbunuh sehingga pembelaan diri dapat dibenarkan.
BWS

• Strategi kedua adalah menggunakan alasan gila.


• Untuk membuktikan kegilaannya, seorang wanita yang dianiaya perlu
membuktikan bahwa ia tidak mampu membedakan antara yang benar
dan salah pada saat melakukan pembunuhan.
• Pembelaan khusus tersebut dengan menekankan pada hubungan yang
penuh penganiayaan ditambah cedera kepala akibat penganiayaan yang
dialami korban, dan hal ini secara mental mengakibatkannya tidak
mampu memahami bahwa tindakan membunuh yang dilakukannya itu
adalah tindakan yang salah (Kasian, Spanos, Terrance dan Peebles,
1993).
BWS

• Dalam kasus-kasus di mana seorang wanita yang dianiaya


membunuh penganiayanya diajukan ke pengadilan, para juri
mempertanyakan “mengapa ia tidak meninggalkan laki-laki
itu?”, sebagai bagian strategi membela diri atau kegilaan,
pembela biasanya berusaha melibatkan kesaksian ahli
BWS.
BWS

• Dalam kasus-kasus di mana seorang wanita yang dianiaya membunuh


penganiayanya diajukan ke pengadilan, para juri mempertanyakan
“Mengapa ia tidak meninggalkan laki-laki itu?
• Sebagai bagian strategi membela diri atau kegilaan, pembela biasanya
berusaha melibatkan kesaksian ahli BWS.
• Kesaksian BWS dimaksudkan untuk memberikan kerangka kerja pada juri
untuk memahami perilaku wanita itu (Monahan dan Walker, 1998). Dengan
menjelaskan persepsi wanita terhadap situasinya, ketidakmampuan
meninggalkan pria yang menganiayanya menjadi lebih mudah dimengerti.
KESAKSIAN BWS

Kesaksian BWS pada umumnya dipresentasikan di


persidangan untuk menjelaskan dua faktor yang cenderung
membingungkan juri, yaitu:
1) bahwa seorang wanita yang mengalami penganiayaan
jangka panjang dari suami atau pasangannya tidak mampu
meninggalkan penganiayanya,
2) bahwa seorang wanita mungkin membunuh penganiayanya
pada saat penganiaya dalam keadaan tidak membahayakan.
MANFAAT KONSEP BWS

• konsep BWS telah memberikan dampak penting pada sistem


hukum.
• David Faigman, seorang profesor ilmu hukum yang bersikap kritis
terhadap validitas ilmiah BWS, mengatakan bahwa penggunaan
BWS memiliki beberapa efek positif. Hal itu meningkatkan
kesadaran mengenai tingginya kasus KDRT, mendorong
dilakukannya penelitian-penelitian mengenai dinamika antarpribadi
dari kekerasan di dalam hubungan-hubungan intim, dan bersifat
instrumental dalam menunjukkan keterbatasan doktrin hukum
tradisional mengenai pembelaan diri tradisional yang seksis.
MANFAAT KONSEP BWS

• Menurut Faigman (1999), hukum mengenai pembelaan tradisional


sangat didorong oleh konsepsi laki-laki mengenai kekerasan.
• Oleh karena itu, di kebanyakan yurisdiksi, terdakwa harus
menunjukkan bahwa ia menggunakan kekuatan yang proporsional dan
hanya dilakukannya untuk merespon cedera yang siap menimpanya. Ini
versi ideal dari perlawanan yang biasa ditunjukkan oleh laki-laki, tetapi
seorang wanita yang secara fisik lebih kecil dibanding laki-laki harus
mempertahankan dirinya dengan cara yang berbeda. Betapapun
validnya batasan perlawanan yang wajar untuk pria, hal itu tidak dapat
dijadikan sebagai model kewajarannya untuk wanita.
KRITIK TERHADAP BWS

• Mary Ann Dutton berpendapat bahwa BWS tidak menangkap


dengan akurat dan lengkap pengalaman wanita yang mengalami
penganiayaan kasar. Dutton (2000) mengemukakan tentang
beberapa keterbatasan konsep ini.
• Pertama, ada variabilitas yang cukup besar pada gejala-gejala
psikologis dan perilaku yang ditunjukkan wanita yang dianiaya.
Reaksi mereka cenderung bergantung pada usianya, sumber daya
yang dimiliki, pengalamannya, sifat dan frekuensi penganiayaan yag
dialami, serta adakah anak-anak yang tinggal di rumah yang sama.
• Kedua, konsep BWS tidak jelas karena tidak ada ukuran yang pasti untuk
menyimpulkan bahwa seorang wanita seharusnya didiagnosis BWS atau
tidak. Memberi label menderita BWS pada seorang wanita bukan cara yang
terbaik untuk membantu hakim dan juri dalam memahami apa yang terjadi.
Bahkan fokus pada BWS justru dapat membatasi analisis dan
mengesampingkan pertimbangan mengenai masalah-maslah penting
lainnya.
• Ketiga, konsep ini cenderung menjadikannya sebagai penyakit pada diri
atau pada pikiran wanita, dan tidak mengarah pada laki-laki yang
menganiaya sehinggaa dapat membuat sistem hukum gagal menangani
kekerasan dalam rumah tangga secara efektif.
• Dutton berpendapat bahwa lebih penting untuk memahami
dinamika kekerasan, apa yang dilakukan wanita untuk menolak,
menghindari, meninggalkan atau menghentikan kekerasan itu
dan efek upaya yang dilakukan wanita itu dari waktu ke waktu.
• Sejumlah faktor situasional juga perlu diperhatikan-
ketergantungan wanita secara ekonomik pada penganiayanya,
pengalaman penganiayaan yang pernah dialami sebelumnya,
serta besarnya dukungan sosial yang diterimanya dari teman,
keluarga, polisis, dan profesional medik.

Anda mungkin juga menyukai