e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada Vol 7, No: 1 Hal: 208 - 217 April 2020
p ISSN : 2442-448X
Masyarakat
ABSTRAK
Kekerasan seksual terhadap perempuan dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan.
Kekerasan tersebut dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan kepada siapa saja. Beberapa kasus kekerasan
seksual yang kurang mendapatkan perhatian adalah kekerasan seksual yang terjadi dalam situasi bencana.
Korban dari kekerasan seksual tersebut sebenarnya dapat terjadi pada siapasaja, hanya dalam kontek ini yang
dibahas adalah korban bencana yang menjadi korban kekerasan seksual. Dalam situasi pasca bencana
biasanya seseorang memiliki tekanan yang lebih besar, sehingga memerlukan suatu pelampiasan emosi
maupun seksual. Sedangkan korban dari kekerasan seksual tersebut biasanya akan merasakan ketidakadilan,
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis kepada korban. Hal tersebut menyebabkan
kecenderungan korban untuk menarik diri dari lingkungan sosialnya, yang kemudian membuat korban sulit
untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dan/atau menjalankan kembali keberfungsian sosialnya. Untuk itu
pekerja sosial perlu menjalankan perannya sebagai advokat Advokasi dilakukan sebagai upaya dari pemulihan
dengan cara membantu klien agar mampu menjangkau sumber atau pelayanan sosial yang telah menjadi
haknya. Artikel ini ditulis berdasarkan studi literatur dari jurnal , buku, maupun dokumen terkait dengan issue
advokasi terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dalam situasi bencana. bertujuan untuk mengetahui
bagaimana peran pekerja sosial dalam memberikan advokasi kepada perempuan korban kekerasan seksual
dalam situasi bencana, sesuai dengan nilai, prinsip serta kode etik pekerja sosial. Serta untuk mengetahui
bagaimana dinamika advokasi yang dilakukan oleh pekerja sosial.
Kata kunci: Penangangan kekerasan seksual, bencana, advokasi pekerja sosial
ABSTRACT
Sexual violence against women in recent years has increased. The violence can occur anywhere, anytime and
to anyone. Some cases of sexual violence that do not get the attention are sexual violence that occurs in
disaster situations. Victims of sexual violence can actually happen to anyone, only in this context is the disaster
victims who are victims of sexual violence. In post-disaster situations usually a person has greater pressure,
so that requires an emotional and sexual outlet. While victims of sexual violence will usually feel injustice,
misery or suffering physically, sexually, psychologically to the victim. This causes the victim's tendency to
withdraw from her social environment, which then makes it difficult for victims to fulfill their personal needs
and / or re-establish their social functioning. For this reason, social workers need to carry out their role as
advocates Advocacy is carried out as an effort of recovery by helping clients to be able to reach the social
resources or services that have become their rights. This article was written based on literature studies from
journals, books and documents related to the issue of advocacy for victims of violence against women in
disaster situations. aims to find out how the role of social workers in providing advocacy to women victims of
sexual violence in disaster situations, in accordance with the values, principles and ethical codes of social
workers. And to find out how the dynamics of advocacy carried out by social workers.
Keywords: Prohibition of sexual violence, disaster, advocacy of social workers
seseorang terutama perempuan, yang berakibat
PENDAHULUAN
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
2004, Kekerasan terhadap perempuan rumah tangga termasuk ancaman untuk
didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
208
Prosiding Penelitian &
e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada Vol 7, No: 1 Hal: 208 - 217 April 2020
p ISSN : 2442-448X
Masyarakat
209
Prosiding Penelitian &
e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada Vol 7, No: 1 Hal: 208 - 217 April 2020
p ISSN : 2442-448X
Masyarakat
210
Prosiding Penelitian &
e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada Vol 7, No: 1 Hal: 208 - 217 April 2020
p ISSN : 2442-448X
Masyarakat
pada bagian dasarnya, untuk mendapatkan angka yang terjadi padanya. Beberapa di antaranya
yang pasti sangatlah sulit. adalah karena kekhawatiran karena tidak
dipercaya, ketakutan akan penyerang
Berdasarkan data dari Komnas
membalasnya, malu, takut disalahkan, tekanan
Perempuan, data Sistem Indormasi Online
dari orang lain untuk tidak memberi tahu,
Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) dari
ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum,
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
percaya bahwa tidak ada cukup bukti, keinginan
Perlindungan Anak (KEMENPPPA) hingga bulan Mei
untuk melindungi penyerang, dan/atau peristiwa
2019 tercatat 2336 perempuan telah mejadi
tersebut dianggap sebagai aib.
korban kekerasan di Indonesia. Ironisnya tindak
kekerasan terhadap perempuan ini menunjukkan Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa
pelaku tindak kekerasan terbanyak adalah orang- saja tanpa memandang usia, gender, atau
orang terdekat dari korban, seperti orang tua, hubungan antara korban dan pelaku. Kekerasan
suami, teman, dan pacar. Bentuk kekerasan seksual juga dapat terjadi dimana saja, dan dalam
terhadap perempuan tidak hanya secara fisik tetapi situasi apa saja termasuk dalam situasi bencana.
juga kekerasan psikis, seksual, penelantaran, Dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2007
trafficking, eksploitasi. tentang penanggulangan bencana. Dijelaskan
bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian
Kekerasan terhadap perempuan dalam
peristiwa yang mengancam dan mengganggu
beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan,
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non
Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
alam maupun faktor manusia, sehingga
Perempuan) mencatat bahwa pada tahun 2017
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dilaporkan meningkat 74% dari tahun 2016. Jenis
dampak psikologis (Bakornas Penanggulangan
kekerasan terhadap perempuan yang paling
Bencana, 2007)
menonjol adalah kekerasan seksual (ranah pribadi)
yaitu sekitar 2979 (31%) kasus. (Komnas Masyarakat sebagai individu memiliki
Perempuan, 2018) pengalaman yang berbeda-beda ketika
menghadapi bencana. Setiap individu memiliki
Kekerasan seksual adalah segala tindakan
drajat kerentanan sosial dan penanggulangan yang
paksaan atau mengancam seseorang untuk
berbeda pasca bencana terjadi. Kerentanan sosial
melakukan hubungan seksual (sexual intercouse),
adalah sebuah konsep yang menggambarkan
dengan melakukan penyiksaan atau tindakan sadis
kondisi seseorang dalam mengakses sumber daya
serta meninggalkan seseorang, termasuk mereka
untuk bertahan hidup atau memulihkan diri.
yang masih berusia anak-anak, setelah melakukan
Enarson mengatakan bahwa kelompok yang
hubungan seksual. (Suyanto, 2010)
memiliki drajat kerentanan yang tinggi dalam
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun kondisi bencana adalah perempuan. Lebih lanjut
2004 Pasal 8 menjelaskan bentuk kekerasan dikatakan bahwa gender yang membentuk peran
seksual meliputi; a. pemaksaan hubungan seksual sosial perempuan, membuat mereka jadi lebih
yang dilakukan terhadap orang yang menetap rentan terhadap bencana. Peran perempuan
dalam lingkungan rumah tangga tersebut, dan b. memiliki lebih sedikit akses terhadap berbagai
pemaksaan hubungan seksual terhadap seorang sumberdaya, seperti jaringan sosial, transportasi,
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain keterampulan, mobilitas, jaminan tempat tinggal
untuk tujuan komersial dan /atau tujuan tertentu. dan pekerjaan, dan pengambilan keputusan.
Sedangkan menurut Huraerah, kekerasan seksual Perbedaan akses dan kontrol ini yang kemudian
dibedakan menjadi; pemerkosaan, pemaksaan akan mempengaruhi perempuan menjadi lebih
seksual, pelecehan seksual dan insect. (Huraerah, sulit untuk bertahan hidup atau memulihkan diri
2012) pasca bencana. (Enarson, 2002).
Namun, data kekerasan yang terjadi dalam Salah satu bukti yang memperkuat
situasi bencana hanyalah sebagian dari fenomena pendapat tersebut adalah ketika bencana gempa
gunung es karena masih banyak yang tidak mau bumi lombok yang terjadi pada tahun 2018 silam.
melaporkan atau memilih untuk menyimpannya Badan nasional penanggulangan bencana (bnpb)
sendiri. Ada banyak alasan mengapa para korban merilis data jumlah korban jiwa yaitu 569 korban
dapat memilih tidak melaporkan kepada penegak jiwa, total yang telah teridentifikasi, sejumlah 496
hukum atau memberi tahu siapa pun tentang apa jiwa. Dengan rincian korban laki-laki 176 dan
211
Prosiding Penelitian &
e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada Vol 7, No: 1 Hal: 208 - 217 April 2020
p ISSN : 2442-448X
Masyarakat
korban perempuan sebanyak 286 jiwa. Dan dapat kembali menjalankan keberfungsian
rentang usia korban jiwa adalah anak-anak di sosialnya.
bawah 15 tahun adalah 89, dewasa 16 - 60 tahun
Yang terpenting dalam kasus kekerasan
228, dan lansia dengan umur lebih dari 60 tahun
adalah bagaimana pemulihan perempuan sebagai
adalah 104 jiwa. Dapat terlihat bahwa perempuan
korban dari tindak kekerasan. Untuk memulikan
memang lebih banyak menjadi korban dalam suatu
diri pasca terjadinya kasus terhadap perempuan
bencana. (Rakha, 2018)
dalam situasi bencana perlu untuk memenuhi tiga
Terjadinya bencana mengakibatkan para kebutuhannya yaitu; (1) Kebutuhan Akan Layanan
korban selamat diharuskan untuk mengungsi Medis, (2) Kebutuhan Akan Layanan Hukum Dan
karena kehilangan tempat tinggal, dan harta benda (3) Kebutuhan Akan Layanan Psikososial.
lainya. Mereka terpaksa tinggal di posko-posko
1. Advokasi Pekerja Sosial
pengungsian hingga dirasa telah dapat memenuhi
kebutuhan mereka sendiri atau hingga kondisi Perlu ada perlindungan dan penanganan
aman. Kondisi pengungsian yang tidak baik khusus bagi korban yang dapat dilakukan oleh
akhirnya memberikan dampak yang berbeda pekerja sosial, lembaga-lembaga pelayanan sosial,
antara laki-laki dan perempuan. Penanganan maupun pihak-pihak yang ahli dalam bidang
terhadap korban bencana di pengungsian tersebut. Zulyadi berpendapat bahwa pekerja
seharusnya dilakukan dengan cara yang efektif, sosial sebagai salah satu pihak yang ahli, perlu
komprehensif dan mengedepankan kepekaan menyadari dan berkomitmen terhadap upaya
terhadap pengungsi perempuan, sebab walaupun meminimalisir aspek-aspek yang bersifat menindas
dalam kondisi pasca bencana perempuan tidak atau membatasi keberfungsian sosial, sebaliknya
hanya membutuhkan bantuan dan layanan pokok, pekerja sosial perlu memaksimalkan upaya untuk
tetapi juga membutuhkan bantuan yang lebih memastikan setiap orang mendapatkan hak-
spesifik karena pada dasarnya perempuan memiliki haknya. Dalam konteks ini pekerja sosial dapat
empat kodrat yaitu, menstruasi, megandung, melakukan advokasi sosial sebagai usaha
melahirkan dan menyusui. sistematik dan terorganisir untuk mendesakkan
perubahan, dengan cara memberikan dukungan
Ketiadaan assessment secara tepat dalam
dan pembelaan terhadap kaum lemah atau
design program bantuan, mungkin akan berakibat
terhadap mereka. (Zulyadi, 2014)
fasilitas yang “sama rata” untuk perempuan dan
laki-laki, atau antara yang dewasa dan anak-anak. Schneider (2001) mendefinisikan advokasi
Hal ini kemudian menjadi tidak adil bagi para pekerjaan sosial sebagai suatu perwakilan eksklusif
perempuan sebab dari kondisi pengungsian dan bersama-sama dengan korban kekerasan atau
dengan toilet yang terbuka tanpa penutup, toilet dalam suatu forum, berusaha secara sistematis
yang tidak terpisah untuk laki-laki dan perempuan, mempengaruhi pembuatan keputusan dalam
tidak adanya ruang menyusui, penerangan yang ketidakadilan atau sistem yang tidak memberikan
minim dan kurangnya pelayanan kesehatan reaksi. Advokasi pekerja sosial bertujuan untuk
reproduksi pada masa darurat. membantu perempuan korban kekerasan agar
mampu mengakses sumber atau pelayanan sosial
Dapat dikatakan bahwa perempuan tidak
yang merupakan haknya. Sehingga perempuan
mendapatkan perlindungan yang seharusnya
korban kekerasan dapat memenuhi kebutuhannya
mereka dapatkan, padahal kondisi pengungsian
sendiri dan menjalankan kembali keberfungsian
tersebut dapat membuka peluang terjadinya
sosialnya.
kekerasan seksual terhadap perempuan. Beberapa
lembaga dan instansi pemerintahan seperti PKBI, Brammer (2016) mengatakan dimensi
KEMEN PPPA, KEMENKES, dan P2TP2A telah kunci advokasi dari analisis lebih dari 90 definisi
menyoroti isu kekerasan seksual terhadap yang ditemukan dalam literatur penelitian,
perempuan dalam situasi bencana, namun sejauh beberapa diantaranya mengartikan advokasi
ini belum ada data resmi mengenai jumlah korban sebagai Memohon atau berbicara atas nama;
kekerasan seksual pada situasi bencana. Artinya ini Mewakili yang lain; Mengambil tindakan;
menjadi suatu isu yang sudah seharusnya lebih Mempromosikan perubahan; Mengakses hak dan
diperhatikan. Pekerja sosial sudah seharusnya manfaat; Melayani sebagai pendukung;
membantu masyarakat memperbaiki akses, Menunjukkan pengaruh dan keterampilan politik;
membagi peran yang peka terhadap gender Menjamin keadilan sosial; Memberdayakan
maupun memenuhi hak-hak yang terabaikan, agar perempuan korban kekerasan; Identifikasi dengan
klien; dan Menggunakan dasar hukum.
212
Prosiding Penelitian &
e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada Vol 7, No: 1 Hal: 208 - 217 April 2020
p ISSN : 2442-448X
Masyarakat
213
Prosiding Penelitian &
e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada Vol 7, No: 1 Hal: 208 - 217 April 2020
p ISSN : 2442-448X
Masyarakat
hukum Romawi untuk menunjuk seorang Penyebab bantuan; 2) Penyebab protes; dan 3)
profesional yang membela minat seseorang di Penyebab revolusioner.
pengadilan. Untuk itu advokat harus mengunakan 16) Forum
dasar hukum dalam upaya melindungi hak-hak
substantif klien. Dua fitur yang biasanya hadir adalah
seperangkat prosedur khusus untuk memandu
Pekerja sosial memiliki kewajiban untuk pelaksanaan para peserta dan mekanisme
melakukan advokasi karena misi pekerja sosial pengambilan keputusan
menggabungkan perhatian untuk individu dan
17) Secara sistematis
lingkungan sosial yang mengelilingi individu.
Litzelfelner dan Petr (1997) menyatakan dengan Advokasi sistematis adalah aplikasi
tegas bahwa profesi pekerjaan sosial menganggap pengetahuan dan keterampilan dengan cara yang
advokasi klien sebagai tanggung jawab etis dan terencana dan teratur.
fungsi utama dari praktik kerja sosial dan sedikit 18) Pengaruhnya
dalam profesi pekerjaan sosial mempertanyakan
Adalah aktivitas nyata yang dapat
peran mereka sebagai advokat klien.
diidentifikasi secara spesifik meskipun memiliki
Dalam advokasi pekerja sosial terdapat banyak ekspresi berbeda. Pengaruh seorang
beberapa komponen penting, yaitu; advokat bervariasi dan biasanya dipilih
sehubungan dengan keadaan atau masalah terkini
11) Eksklusif
dari situasi tersebut.
Berarti bahwa kebutuhan klien adalah
19) Pengambilan keputusan
prioritas utama untuk advokat, dan semua
kegiatan, strategi, dan taktik dirancang khusus Advokat ingin mengubah atau mengubah
untuk mengatasi masalah klien. kesimpulan atau penilaian dari mereka yang
berwenang untuk mengizinkan alokasi sumber
12) Hubungan timbal balik
daya, definisi manfaat, penentuan kelayakan,
Berarti bahwa advokat tidak mendominasi banding, dan pembuatan kebijakan untuk negara
atau menetapkan agenda untuk klien karena bagian atau lembaga.
kebutuhan klien adalah fokus eksklusif. Pengacara
20) Tidak adil
berkolaborasi dengan klien, dan bersama-sama,
mereka melanjutkan ke arah yang disepakati. Menunjukkan bahwa keadilan, kesetaraan,
Pemberdayaan berarti tidak hanya memungkinkan keabsahan, keadilan, dan kebenaran tidak ada
untuk melakukan suatu kegiatan, tetapi juga sampai batas tertentu.
memotivasi mereka dan keterampilan mengajar 21) Tidak responsif
yang diperlukan untuk berinteraksi dengan
Istilah ini biasanya diterapkan pada orang
lingkungan mereka.
atau lembaga yang gagal untuk menjawab,
13) Representasi mengakui, berkorespondensi, atau menjawab
Istilah ini berorientasi pada tindakan dan pertanyaan.
menggambarkan aktivitas advokat sebagai orang 22) Sistem
yang berbicara, menulis, atau bertindak atas nama
Mengacu pada lembaga terorganisir yang
orang lain. Seorang advokat yang benar-benar
telah dirancang dan disahkan untuk memberikan
mewakili klien harus mengambil tindakan yang
layanan kepada orang yang memenuhi syarat,
dapat diidentifikasi yang mengungkapkan
mendistribusikan sumber daya, menegakkan
kekhawatiran seseorang.
hukum dan penilaian, dan bertanggung jawab atas
14) Klien bidang utama interaksi dan sumber daya
Klien dapat menjadi orang perorangan, masyarakat.
kelompok kecil atau besar yang merupakan 2. Untuk Siapa Advokasi Dilakukan
asosiasi komunitas, populasi etis, individu dengan
keprihatinan atau karakteristik yang sama, atau Aspek terpenting dalam proses advokasi
organisasi dengan ikatan longgar atau erat lainnya. adalah keberadaan korban. Korban menjadi
indikator utama penentu advokasi berhasil
15) Penyebab memberdayakan atau justru semakin membuat
Penyebab biasanya adalah satu masalah, korban mengalami kekerasan untuk kedua kalinya.
kondisi, atau masalah yang diminati dan didukung Untuk itu dalam proses advokasi, keterlibatan
oleh sejumlah orang. 3 jenis penyebab yaitu: 1) korban sangatlah penting. Korban tidak dapat
214
Prosiding Penelitian &
e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada Vol 7, No: 1 Hal: 208 - 217 April 2020
p ISSN : 2442-448X
Masyarakat
menjadi pihak yang pasif, seperti hanya mengikuti dengan komunitas sasaran. Konsep tentang
langkah-langkah pemulihan baik secara huum, kepekaan budaya dalam menentukan kebijakan
medis, maupun psikososial tanpa mengetahui atau tindakan dirasakan penting terutama bila
pentingnya upaya-upaya tersebut. Advokasi harus interaksi yang terjadi melibatkan kebudayaan yang
menjadikan korban sebagai pihak yang mempunyai berbeda agar dapat sesuai dengan kebutuhan,
kesadaran akan segala upaya pemulihan medis, kebiasaan dan keinginan masyarakat sehingga
psikososial maupun penuntutan hukum. kebijakan pelayanan sosial dapat berjalan dengan
lancar dan mencapai tujuannya.
3. Kekhasan Advokasi untuk
perempuan korban kekerasan 4. Prinsip-Prinsip dan Nilai-nilai
Advokasi Pekerja Sosial
Advokasi sosial untuk perempuan korban
kekerasan harus memahami prinsip-prinsip yang Menurut Edi Suharto, terdapat beberapa
kebih spesifik terkait persoalan yang terjadi oleh prinsip yang menjadi pedoman dalam merancang
perempuan. Seperti aspek pelaku, dalam kasus dan menjalankan advokasi yang baik. Prinsip
kekerasan, biasanya pelaku memiliki hubungan tersebut yang pertama adalah Realistis, artinya
yang dekat dengan korban. Seperti ayah, ibu, advokasi bersandar kepada isu dan agenda yang
suami, istri, anak, saudara dll. Untuk itu, pelaku spesifik, jelas dan terukur. Kedua, sistematis
tidak cukup menjadi tanggungjawab negara saja, artinya advokasi dijalankan dengan perencanaan
melainkan juga perlu tanggungjawab masyarakat yang tepat dan akurat. Ketiga, taktis artinya
dan institusi-istitusi yang ada dalam masyarakat advokat membangun koalisi dan bersekutu dengan
seperti intitusi adat, agama dsb. pihak lain. keempat, strategis artinya advokasi
melibatkan kekuasaan dalam menjalankannya.
Selain aspek pelaku, advokasi sosial untuk
Kelima, berani artinya advokasi menyentuh
perempuan korban kekerasan, juga harus
perbahan dan rekayasa sosial secara bertahap.
memperhatikan konsekuensi dari hubungan antara
korban dan pelaku adalah bagaimana menciptakan Nilai-nilai advokasi pekerja sosial dalam
kebijakan yang dapat masuk dalam hal yang privat, buku Social Work Advocacy adalah sebagai berikut:
namun tetap menghargai privacy.
1) Martabat dan hak-hak individu yang
Adapun yang menjadi akar dari tersirat dalam nilai kerja sosial dasar dari
permasalahan yaitu diskriminasi. Dalam isu penghormatan tanpa batas untuk setiap
kekerasan terhadap perempuan, advokasi tidak orang berdasarkan sifat manusia.
dapat hanya diarahkan pada institusi struktural 2) Memberikan suara kepada yang tak
formal tetapi juga harus mengarah pada institusi berdaya. Pekerja sosial tradisional telah
kultural. kekerasan terhadap perempuan tidak berupaya mengatasi ketidakadilan,
terlepas dari proses internalisasi nilai-nilai sosial penyalahgunaan kekuasaan, dan
dalam masyarakat yang terbangun dalam pengabaian hak-hak hukum atau moral
kebijakan negara, budaya maupun agama. Seperti dengan menyuarakan keprihatinan atas
adanya budaya patriarkis yang ditandai dengan nama mereka yang tidak dapat atau tidak
pembagian kekuasaan yang sangat jelas dimana berbicara.
laki-laki mendominasi perempuan. Budaya ini
memandang perempuan sebagai orang yang 3) Penentuan nasib sendiri. Nilai dari
memiliki posisi yang lebih rendah daripada laki- penentuan nasib sendiri berarti bahwa
lakiakan mendorong asertivitas dan agresivitas klien harus memahami kebutuhan mereka
laki-laki yang menyulitkan untuk dijatuhi tindakan sendiri dan menentukan tindakan apa yang
hukum terhadap pelaku kekerasan. ingin mereka ambil untuk memenuhinya.
4) Belas kasih dan kelegaan penderitaan yang
Berkaitan dengan itu, struktur budaya
menghilangkan kesusahan dan
adalah suatu kenyataan yang harus dihadapi oleh
penderitaan individu dan kelompok
pekerja sosial. Pekerja sosial dalam memberikan
tertentu telah menjadi nilai konstan dalam
pelayanan sosial akan bertemu dengan berbagai
pekerjaan sosial.
kelompok manusia yang dalam realitasnya berasal
dari budaya yang berbeda. Untuk itu dalam 5) Perspektif pemberdayaan dan kekuatan
menentukan kebijakan advokasi sosial bagi pemberdayaan berarti bahwa proses
masyarakat perlu memerhatikan nilai-nilai yang advokasi melibatkan tindakan langsung
ada dalam masyarakat agar tidak terjadi benturan oleh klien untuk menyelesaikan masalah
yang menghambat relasi antara agen perubah
215
Prosiding Penelitian &
e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada Vol 7, No: 1 Hal: 208 - 217 April 2020
p ISSN : 2442-448X
Masyarakat
mereka atau untuk memenuhi keinginan mereka berharap untuk mencapai status
mereka. yang lebih bersatu dan kuat.
5. Dinamika Proses Advokasi 4) Melaksanakan kebijakan
Proses advokasi yang dapat dilakukan Jika masalahnya telah dikenal pasti,
adalah sebagai berikut: solusipun telah dirumuskan dan adanya
kemauan politik untuk bertindak maka
1) Mengidentifikasi masalah peluang atau kesempatan ini dapat
Identifikasi masalah klien adalah langkah dijadikan titik masuk pekerja sosial untuk
pertama dalam advokasi pekerja sosial. bertindak melaksanakan kebijakan.
Pada tingkat intervensi layanan langsung, 5) Evaluasi
masalah klien selalu menjadi sumber rasa
sakit baik fisik, emosional, perilaku, sosial, Kegiatan advokasi yang baik harus menilai
psikolohis, kesulitan individu dan keluarga. efektifitas advokasi yang telah dilakukan.
Masalah berikut mencakup: kesehatan Selain itu, evaluasi juga dapat dilakukan
fisik, pendidikan, keamanan dan keadilan, terhadap usaha yang telah berjalan dan
finansial, legalitas, status hidup, menentukan sasaran baru berdasarkan
pekerjaan, kesehatan mental, rekreasi, pengalaman mereka. Bebagai pihak
kebudayaan, transportasi, planning temasuk lembaga yang menerima
keluarga, kekerasan, penelantaran, dan perubahan kebijakan perlu menilai
eksploitasi. efektifitas perubahan tersebut secara
periodik.
2) Merumuskan tujuan
Pekerja sosial yang berperan sebagai SIMPULAN DAN SARAN
advokat harus merumuskan tujuan
Simpulan
mengenai masalah yang telah diidentifikasi
dan memilih salah satu yang paling Advokasi anti kekerasan seksual terhadap
feasible ditangani secara politis, ekonomis perempuan dalam situasi bencana sebenarnya
dan sosial. tujuan adalah hasil yang ingin menunjukkan bahwa advokasi tidak hanya
diinginkan untuk mengurangi representasi menekankan advokasi sebatas proses formal
masalah. Perumusan tujuan harus (sebatas formalitas) yang tidak dapat menjangkau
dilakukan menggunakan plan strategi dan persoalan yang lebih mendasar dalam konteks
taktik, sebuah strategi merencanakan kekerasan terhadap perempuan, dan juga tidak
recana yang cocok untuk mencapai member kontribusi yang berarti bagi korban,
advokasi sementara taktik adalah tindakan karena korban tidak pernah terbangun
yang dirancang untuk menjalankan kapasitasnya.
strategi.
Advokasi anti kekerasan seksual terhadap
3) Membangun kesadaran dan kemauan perempuan memerlukan pemaknaan yang lebih
politik luas yaitu advokasi yang tidak saja dapat
Tindakan pada tahap ini antara lain menjangkau persoalan mendasar tetapi juga dapat
membentuk koalisi atau kolaborasi, menjadi bagian dari proses pemulihan. Titik tekan
menemui para pembuat keputusan, dari advokasi ini terletak pada perempuan sebagai
membangun kesadaran dan korban kekerasan dalam situasi bencana sebagai
menyampaikan pesan secara efektif. subjek. Korban tidak hanya menjadi subjek yag
membangun koalisi mengacu pada salah pasif, tetapi harus berpartisipasi aktif dan sadar
satu prinsip dasar buku Social Work atas segala upaya pemulihan maupun penuntutan
Advocacy, yaitu "memperluas basis hukum yang ia jalankan. Sehingga dalam proses
dukungan." Hampir mustahil bagi advokasi diperlukan perencanaan dan pelaksanaan
kelompok yang berpikiran tunggal untuk yang tepat dari pekerja sosial.
menjadi cukup kuat untuk mencapai Saran
tujuannya dengan sendirinya. Banyak
kelompok membentuk koalisi dengan yang Berdasarkan hasil penemuan dan analisis
lain yang memiliki nilai dan tujuan yang yang telah dirumuskan maka penulis mengajukan
sama, dan melalui kombinasi sumber daya, beberapa saran yang dapat diterapkan untuk
216
Prosiding Penelitian &
e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada Vol 7, No: 1 Hal: 208 - 217 April 2020
p ISSN : 2442-448X
Masyarakat
mengurangi kasus kekerasan seksual terhadap Komnas Perempuan. (2018). Catatan Kekerasan
perempuan dalam situasi bencana: Terhadap Perempuan Tahun 2017.
Tergerusnya Ruang Aman Perempuan
1) Menghilangkan budaya patriarki dalam
Dalam Pusaran Politik Populisme.
segala bentuk aspek kehidupan, termasuk
dalam penanggulangan bencana Maarif, S., Kinseng, R. A., & Pramono, R. (2016,
2) Berani menyuarakan atau melaporkan bila October). Dimensi Sosial Dalam
terjadi kekerasan dalam bentuk apapun, Penanganan Bencana. Social Dimension In
dimanapun dan oleh siapapun. Disaster Management, Hal. 95-105.
3) Tidak mengjudge negatif korban National Sexual Violence Resource Center. (2010).
kekerasan seksual. What is sexual violence.
4) Para stakeholder yang terlibat dalam Rakha, H. (2018, September 14). Dampak Gempa
penanggulangan bencana perlu turut andil Bumi Lombok Terhadap Kerentanan
dalam menemukan dan melindungi korban Korban Berbasis Gender. Dipetik April 28,
kekerasan seksual. 2019, Dari Lombok Research Center:
Https://Lrc.Or.Id/Dampak-Gempa-Bumi-
DAFTAR PUSTAKA Lombok-Terhadap-Kerentanan-Korban-
Berbasis-Gender/
Asian Disaster Reduction Center. (t.thn.). Glossary
on Natural Disasters 2003. Diambil kembali Republika. (2018, August 24). Perempuan Rawan
dari adrc. Alami Kekerasan Saat Bencana. Dipetik
April 28, 2019, dari Republika.co.id:
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2007).
https://www.republika.co.id/berita/nasion
Pengetahuan Kebencanaan. Dipetik
al/umum/18/08/24/pdyspk382-
MARCH 5, 2019, dari BNPN:
perempuan-rawan-alami-kekerasan-saat-
https://www.bnpb.go.id/home/definisi
bencana
Bakornas Penanggulangan Bencana. (2007).
Republika. (2019, april 9). Korban Banjir Baleendah
Pengenalan Karakteristik Bencana dan
Masih Bertahan di Pengungsian. Dipetik
Upaya Mitigasinya di Indonesia. Jakarta:
april 28, 2019, dari Republika.co.id:
Direktorat Mitigasi Lahar BAKORNAS PB.
https://www.republika.co.id/berita/nasion
Brammer, A. (2006). Social Work Law. Pearson al/daerah/ppoug5328/korban-banjir-
Education Limited. baleendah-masih-bertahan-di-
pengungsian
Enarson, E. (2002). Gender Equality, Work, and
Disaster Reduction. Making the Suharto, E. (2009). Pekerjaan Sosial di Dunia
Connection. Industri, Memperkuat CSR. Bandung: CV.
Alfabeta.
Huraerah, A. (2012). Kekerasan Terhadap Anak.
Bandung: Nuansa. Suharto, Edi., dan Anton Freddy Susanto. (2012).
Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Nusa
Komnas Perempuan. (2006). Advokasi Anti
Cendekia
Kekerasan Terhadap Perempuan;
Pengalaman Forum Belajar Bersama Suyanto, B. (2010). Masalah Sosial Anak. Jakarta:
Komnas Perempuan. Jakarta: Komnas Kencana.
Perempuan.
WHO (World Health Organization). (2012).
Komnas Perempuan. (2018). Catatan Kekerasan Understanding and addressing violence
Terhadap Perempuan Tahun 2017. against women. Sexual Violence.
Tergerusnya Ruang Aman Perempuan
Wijayanto, K. (2012). Recognize : Pencegahan dan
Dalam Pusaran Politik Populisme.
Manajemen Bencana.
Komnas Perempuan. (2007). Pelapor Khusus
Zulyadi, T. (2014). ADVOKASI SOSIAL. Jurnal Al-
Komnas Perempuan: Pengalaman
Bayan, Vol. 21 No.30, 63-76.
Perempuan Aceh Mencari dan Meniti
Keadilan Dari Masa ke Masa. Jakarta:
Publikasi Komnas Perempuan.
217