Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KESEHATAN REPRODUKSI

“ Peran Bidan Dalam Penanganan Kekerasan Perkosaan Dan


Pelecehan Seksual“

Dosen pengampu : Endah Kusuma Wardani, S.ST.Keb,


M.K.M

1. Amilatus sundus (202007T015)


2. Kamia permatasari (202007T019)
3. Titin Rustiningsih ( 202007T032)

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada TUHAN YME yang telah memberikan kesempatan kepada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Peran Bidan Dalam
Penanganan Kekerasan Perkosaan Dan Pelecehan Seksual . Adapun tujuan dari penulisan dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah kesehatan reproduksi. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang kesehatan reproduksi bagi para
pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Endah Kusuma Wardani,
S.ST.Keb, M.K.M , selaku dosen kesehatan reproduksi yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Banyuwangi, 24 maret 2020

Kelompok 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman


atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang (masyarakat) yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian,
kerugian psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan hak. Dalam RUU KUHP
tindak pidana yang sedang disusun sejak tahun 1980-an, perkosaan didefinisikan sebagai
"persetubuhan yang dilakukan di luar kehendak salah satu pihak". Tidak perlu adanya
ancaman kekerasan atau kekerasan, tetapi cukup bahwa persetujuan tidak disetujui oleh salah
satu pihak (secara psikis). Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala
macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak
dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan
tindakan yang berkonotasi seksual.
Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar
299.911 kasus, terdiri dari kasus yang ditangani oleh: [1] Pengadilan Negeri/Pengadilan
Agama sejumlah 291.677 kasus. [2] Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah
8.234 kasus. [3] Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389
kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di
antaranya adalah kasus tidak berbasis gender
Kasus yang paling menonjol adalah di Ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP
(Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya
terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%),
disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi
ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah
kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
 Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya,
bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) menempati
peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792
(28%), dan ekonomi 680 kasus (10%). KtP berikutnya adalah di Ranah Publik atau
Komunitas sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan
seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari kekerasan seksual lain (atau tidak
disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan
166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah
percobaan perkosaan 10 kasus. Istilah pencabulan dan persetubuhan masih digunakan oleh
Kepolisian dan Pengadilan karena merupakan dasar hukum pasal-pasal dalam KUHP untuk
menjerat pelaku.
Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan
strategis. Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan paripurna,
berfokus pada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan
masyarakat. Bidan memiliki peran penting dalam pelayanan kesehatan perempuan yang
mampu mengidentifikasi dan membantu mengatasi masalah kekerasan terhadap istri. 
Berdasarkan fakta fakta tersebut diatas kami merasa perlu untuk membahas materi
tentang Peran Bidan Dalam Penanganan Kekerasan Perkosaan Dan Pelecehan Seksual supaya
peran bidan dapat lebih dimaksimalkan dalam asuhan terhadap kasus kasus kekerasan
seksual.

1.2 Rumusan Masalah


Apa peran bidan dalam penanganan kekerasan?
Apa peran bidan dalam penanganan perkosaaan?
Apa peran bidan dalam penanganan pelecehan seksual?
1.3 Tujuan
Mengetahui peran bidan dalam penanganan kekerasan
Mengetahui peran bidan dalam penanganan perkosaan
Mengetahui peran bidan dalam penanganan pelecehan seksual
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kesehatan Wanita


Kondisi kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang lengkap dan bukan sekadar tidak
adanya penyakit atau kelemahan yang dimilki oleh wanita.

2.2 Pengertian Kekerasan


Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman
atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang (masyarakat) yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian,
kerugian psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan hak.
Kekerasan sering dipandang sebagai fenomena sosial yang berada di luar dirinya,
bukan menjadi masalah yang serius karena korban adalah perempuan yang memang lemah.
Masyarakat lebih terbiasa dengan tradisi mentolerir kekerasan terhadap perempuan dan
menganggapnya biasa-biasa saja karena belum sepenuhnya sensitif dalam mengenal masalah
ini bahwa telah terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak, sementara dampak
negatifnya tidak pernah dijelaskan lebih mendalam dan diserap masyarakat lebih dini
(Mufidah, 2008: 273).
Istilah “kekerasan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan: “perbuatan
seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan terhadap perempuan
mencakup semua tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat, atau
mungkin berakibat, kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemrdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan
pribadi.
2.3 Pengertian Perkosaan dan pelecehan seksual
Dalam RUU KUHP tindak pidana yang sedang disusun sejak tahun 1980
an, perkosaan didefinisikan sebagai "persetubuhan yang dilakukan di luar kehendak salah
satu pihak". Tidak perlu adanya ancaman kekerasan atau kekerasan, tetapi cukup bahwa
persetujuan tidak disetujui oleh salah satu pihak (secara psikis). Menurut Winarsunu
(2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi  seksual 
yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat
berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual.
2.4 Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Kekerasan Seksual (perkosaan )
Menurut Made Darma Weda, 1996,
 Kemajuan ilmu dan teknologi
 perkembangan kependudukan
 struktur masyarakat
 perubahan nilai-nilai sosial dan budaya

Menurut Abdulsyani (1987)


 faktor intern
sakit jiwa, daya emosional, rendahnya mental, anomi, umur, sex, kedudukan individu
dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah hiburan individu
 faktor ekstern
yaitu bersumber dari luar diri individu seperti faktor ekonomi, agama, bacaan dan
film
Menurut Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, 1995
 situasi dan kondisi lingkungan serta posisi korban berada,
 memanfaatkan hubungan antara pelaku dan korban
 keadaan kejiwaan pelaku
 pengaruh lingkungan di sekitar pelaku
2.5 Upaya Penanggulangan kejahatan SEKSUAL
Tindakan Preventif meliputi:
Pembinaan,pendidikan dan penyadaran terhadap masyarakat umum sebelum terjadi gejolak
perbuatan kejahatan dalam lingkungan masyarakat, dapat diupayakan upaya penanggulangan

melalui pendidikan hukum (law education) yang dapat diajarkan sejak dini. Manusia dididik
untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi sesamanya, dengan cara mencegah diri dan
perbuatannya yang cenderung dapat merugikan, merampas, dan memperkosa hakhak manusia
lainnya

Tindakan represif:
usaha yang menunjukkan upaya pemberantasan terhadap tindakan kejahatan yang sedang
terjadi
2.6 Peran Bidan Dalam Penanganan Kekerasan, Perkosaan Dan Pelecehan Seksual
A.Penanganan kepada korban kekerasan seksual, secara umum yaitu:
1. Penanganan sosial berupa pengembalian nama baik korban, yaitu pernyataan bahwa
mereka tidak bersalah, dengan memperlakukan mereka secara wajar.
2. Penanganan kesehatan, berkaitan dengan reproduksinya maupun psikisnya, seperti
korban mengalami depresi, trauma dan tekanan psikologis lainnya.
3. Memberikan penanganan ekonomi, berupa ganti kerugian akibat KTP (kekerasan
terhadap perempuan).
4. Penanganan hukum, agar korban dapat keadilan, pelaku mendapatkan sanksi serta
menghindari jatuh korban berikutnya. Tidak sedikit dari korban-korban KTP yang
mengalami kesulitan untuk melakukan interaksi sosial dengan baik. Yang paling
umum adalah kegelisahan yang berlebih, ketakutan, mimpiburuk, gangguan mental,
perilaku sosial yang menyimpang. Kondisi itu menuntut semua pihak untuk memberi
penanganan terhadap korban. Sangat disayangkan, para aparatur dan penegak
keadilan, sering bertindak menyudutkan korban. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang
justru cenderung mempermalukan korban. Perilaku demikian menambah beban
trauma semakin berat dan berkepanjangan.
5. Disamping penanganan, korban juga mengharapkan nasehat yang mampu
memberikan dorongan kepada korban yakni dengan pemberian keadilan untuk
korban, bantuan moril dan materil kepada korban KTP dan minimalisasi trauma
korban, agar jiwanya tenang, dengan mengatakan pada mereka bahwa kasus yang
terjadi merupakan ketentuan Tuhan, tidak selayaknya putusasa, melainkan
menghadapinya dengan bersabar, bertawakkal dan senantiasa mensyukuri nikmatnya
(Affandi, 2010: 167).
B.Peran Tenaga Kesehatan (bidan ) dalam penanganan kasus kekerasan seksual
adalah:
Penelitian yang melibatkan 10 negara menunjukkan bahwa sektor kesehatan memegang peranan
penting dalam:
 Mencegah kekerasan pada perempuan
 Membantu identifikasi adanya kekerasan sedini mungkin
 Menyediakan layanan kesehatan bagi korban
 Merujuk ke tempat layanan sesuai kebutuhan
Syarat Tempat layanan kesehatan yang memberikan layanan terhadap korban kekerasan seksual :
 Nyaman dan aman bagi korban
 memperhatikan kebutuhan & kondisi psikologis
 Respek terhadap korban, empatik
 Tidak ada stigma
 Dukungan yang berkualitas dengan informasi yang jelas
Hambatan dalam penanganan korban kekerasan seksual adalah :
• Stigma dan ketakutan yang membuat korban menutup diri
• Kesadaran nakes dan pelatihan nakes ↓ – mengindentifikasi korban kekerasan sebagai
penyebab masalah kesehatan yang membuat korban datang ke faskes – terutama di
faskes yang tidak menyediakan layanan tindak lanjut dan proteksi terhadap korban
Perencanaan dalam penanganan korban kekerasan seksual :
 Mengumpulkan data dan informasi
 Melakukan analisa dan pemetaan sesuai hasil pengumpulan data dan informasi
 Menyusun rencana kerja
 Melaksanakan sosialisasi
 Menyiapkan Tenaga Pelaksana.
 Menyiapkan petugas konseling dan wawancara
 Menyiapkan Prasarana dan Sarana
Pelaksanaan
 Pemeriksaan Kesehatan
 Tindakan Medis
 Wawancara dan konseling
 Penyuluhan
 Kunjungan Rumah
 Pencatatan
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kekerasan seksual pada perempuan bisa dalam bentuk perkosaan dan pelecehan seksual
dimana keduanya dilakukan pada perempuan tanpa adanya persetujuan dari fihak perempuan.
Kekerasan seksual dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu factor internal dan factor eksternal
dan factor factor itu saling terkait.untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual perlu
kerjasama dari bargagai pihak yaitu masyarakat dan pihak pihak pemangku jabatan yang ada
di masyarakat
Untuk korban kekerasan seksual memerlukan penanganan yang komprehensif agar korban
dapat pulih dan tidak terjadi trauma yang mendalam akibat kekerasan seksual yang
didapatkan.

Anda mungkin juga menyukai