Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai
perihal atau sifat keras; paksaan; perbuatan seseorang atau sekelompok orang, yang
menyebabkan cidera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau
barang orang lain. Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan diartikan sebagai
penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda.

Dalam tahun 2015 saja, menurut Komisi Nasional Perempuan, terjadi sedikitnya
321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan, atau rata-rata 881 kasus setiap hari.
Dibanding tahun sebelumnya, angka ini meningkat 9%. Sedangkan dalam catatan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pada tahun yang sama, terdapat 1.698 pengaduan
kekerasan terhadap anak, 53% di antaranya ialah kasus kekerasan seksual. Sisanya,
yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi seksual, dan
berbagai bentuk kekerasan lainnya

Di sisi lain, Komnas Perempuan juga mencatat pada 2014 terdapat 4.475 kasus
kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, 2015 sebanyak 6.499
kasus, 2016 sebanyak 5.785 kasus dan pada 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan
seksual di ranah KDRT atau relasi personal serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik
atau komunitas. Temuan kasus kekerasan pun terjadi dalam beragam ranah mulai dari
pekerja rumah tangga (PRT) dan pekerja migran perempuan. Pada 2017, laporan yang
masuk ke Komnas Perempuan mencatat sebanyak 10 kasus kekerasan terharap PRT
maupun pekerja migran. Sedangkan data Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memperlihatkan pada 2015 terdapat
18 kasus pelecehan seksual pada pekerja migran. 

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud Kekerasan Terhadap Perempuan & Anak
1.2.2 Bagaimana cara Pandangan Islam Memuliakan Perempuan
1.2.3 Asuhan keperawatan dengan Kekerasan Terhadap Perempuan
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulis untuk membuat makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami
konsep dari kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan untuk membantu mahasiswa
lebih paham lagi tentang pentingnya kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat pembuatan makalah ini adalah dapat digunakan sebagai bahan materi di
bidang pelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kekerasan Terhadap Perempuan & Anak


Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai perihal
atau sifat keras; paksaan; perbuatan seseorang atau sekelompok orang, yang
menyebabkan cidera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau
barang orang lain.
Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik
secara paksa terhadap orang atau benda.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kekerasan adalah penggunaan kekuatan
fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perseorangan atau
sekelompok orang yang kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma atau
perampasan hak (1999). Sedangkan menurut Undang-undang Penghapusan KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 1, kekerasan
adalah perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau pentelantaran rumah tangga, termasuk
ancaman untuka melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara hukum dalam lingkungan rumah tangga.
2.1.1 Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dan anak terus membayangi kehidupan sosial
masyarakat Indonesia. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan, setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan
seksual di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya 35 perempuan yang
menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya (Komnas Perempuan, “Lembar
Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016 Komas Perempuan,”)
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Ansk, Yohana
Yembise, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak telah mencapai tahap
darurat. Jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (selanjutnya KTP) yang
ditemukan oleh Komite Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) pada tahun 2015 sebesar 321.752 bersumber pada data kasus/perkara
yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-
BADILAG) sejumlah 305.535 kasus, dan dari lembaga layanan mitra Komnas
Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Pada tahun 2014 KTP di ranah personal
mencapai 8.626 kasus, dengan 3 kasus terbanyak meliputi kekerasan terhadap
isteri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan dalam pacaran (1.748 kasus atau 21%),
kekerasan terhadap anak perempuan (843 kasus atau 10%).
Komnas Perempuan mengidentifikasi KTP dan Anak yang terjadi di Indonesia,
yaitu: perkosaan; intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan;
pelecehan seksual; eksploitasi seksual; perdagangan perempuan untuk tujuan
seksual; prostitusi paksa; perbudakan seksual; pemaksaan perkawinan, termasuk
cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi
dan sterilisasi, penyiksaan seksual; penghukuman tidak manusiawi bernuansa
seksual/diskriminatif; praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasi perempuan; dan kontrol seksual, termasuk lewat aturan
diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Komnas Perempuan, menyebutkan kekerasan seksual dan pelecehan seksual
sebagai bentuk kekerasan yang paling menonjol, sehingga sejumlah kalangan
menilai Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual(BBC
Indonesia, “Kasus kekerasan seksual masih bermunculan,,”. Pada umumnya
korban kekerasan seksual mengalami kesulitan melaporkan kasus yang terjadi
kepada mereka, dan masih banyak korban yang tidak tahu harus melapor ke mana
dan menerima intimidasi dari pelaku.
Menurut Direktur Rifka Annisa (sebuah organisasi Pembela Hak-hak Perempuan
di Yogyakarta), Nur Hasyim,
“Angka kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia sebenarnya sangat
tinggi. Kasus-kasus ini cenderung disimpan atau ditutup oleh korbannya karena
dianggap sebagai aib. Selain terkait persoalan tabu, juga karena dukungan
social yang tidak tersedia bagi korban di masyarakat, karena budaya perkosaan
atau rape culture, yang kuat di dalam masyarakat kita, yang tendensinya adalah
menyalahkan korban atau blaming the victim.”
Dalam banyak kasus, kata Nur Hasyim, rape culture atau budaya perkosaan masih
melekat, di mana para pria meyakini bahwa mereka boleh melecehkan dan
bahkan memperkosa perempuan. Budaya ini juga menjadikan kebanyakan korban
perkosaan disalahkan kembali oleh masyarakat, karena dianggap perempuanlah
penyebab terjadinya pelecehan atau perkosaan.” (Voa Indonesia, “Indonesia
Darurat Kekerasan terhadap Perempuan,”.
Perempuan masih sering ditempatkan pada posisi yang “terpinggirkan” atau
dirugikan, yang mengakibatkan status perempuan dianggap lebih rendah daripada
laki-laki. Kedudukan perempuan yang subordinatif dan tergantung baik secara
ekonomi mau pun sosial, menjadikan perempuan dalam posisi rentan terhadap
kekerasan, termasuk dalam menjalankan fungsi reproduksinya. Hak reproduksi
perempuan kurang dihargai, dalam menentukan kapan ia berkeinginan untuk
hamil, jumlah anak yang diinginkan, keikutsertaan dalam Keluarga Berencana
dan jenis alat kontrasepsi yang dipilih. Banyak kasus KTP yang tidak dilaporkan
karena ketidakberdayaan perempuan seperti rendahnya tingkat pendidikan,
kemiskinan atau hambatan sosial budaya. Pada kasus kekerasan seksual seringkali
pembuktian dan penanganan kasus membutuhkan proses dan waktu yang lama,
karena masyarakat masih menganggap tabu untuk mengungkapkan kasus
kekerasan yang terjadi, apalagi jika terjadi di area domestik (rumah tangga).
2.1.2 Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Kekerasan Terhadap Anak (selanjutnya KTA), merupakan fenomena
gunung es, karena begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga,
lingkungan mau pun masyarakat, yang sebagian besar permasalahannya
tersembunyi (under reported). Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau
perlakuan salah. Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perseorangan atau
sekelompok orang atau masyarakat, yang mengakibatkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak (Mother and Baby Indonesia, “Kekerasan
Pada Anak, Bahaya Dampak Kekerasan Terhadap Anak,”.
Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau
anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak
yang tidak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orang tua atau
pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian. Indikator
KTA adalah terdapatnya tanda atau luka akibat penganiayaan fisik, tindakan
kasar yang mencelakakan anak (baik fisik maupun psikis). Ironisnya, pelaku KTA
biasanya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan anak, seperti
ayah, ibu, guru maupun teman di sekolah.
Di Indonesia, beragam kasus kekerasan terhadap anak terjadi. Tidak hanya di
desa, tetapi juga di kota besar seperti DKI Jakarta Raya.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait
mengatakan, sejak tahun 2010 hingga 2015, lebih dari 10 juta anak menjadi
korban kekerasan. 58% di antaranya menjadi korban kekerasan seksual.
Kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan dalam bentuk tindakan
menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan
terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin
pada anak dan sebagainya. Undang-Undang Perlindungan Anak memberi batasan
bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Siapa
pun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, karena tidak adanya
karakteristik khusus. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak mungkin dekat
dengan anak, yang dapat berasal dari berbagai kalangan. Pelaku kekerasan
seksual terhadap anak juga cenderung memodifikasi target yang beragam, dan
siapa pun bisa menjadi target kekerasan seksual, bahkan anak ataupun saudaranya
sendiri, sebab itu pelaku kekerasan terhadap anak harus diwaspadai.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab Kekerasan Terhadap Anak-anak,
antara lain:
2.1.2.1 Lemahnya pengawasan orangtua terhadap anak dalam bermain, nonton
TV/Handphone
2.1.2.2 Cacat tubuh (disabled) atau gangguan tingkah laku (autisme) pada
anak
2.1.2.3 Kemiskinan keluarga, kondisi perumahan yang buruk, dan orangtua
yang bertindak keras kepada anak-anaknya
2.1.2.4 Keluarga pecah (broken home), anak yang tidak diinginkan atau anak
yang lahir di luar nikah
2.1.2.5 Kondisi lingkungan yang buruk dan kesibukan orangtua
2.1.2.6 Pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of
violence). Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya
dan ketika tumbuh menjadi dewasa, mereka melakukan tindak
kekerasan kepada anaknya.
2.1.2.7 Stress yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial (pengangguran,
kematian, penyakit, isolasi sosial dll) memicu KTA
Kekerasan dalam bentuk apa pun yang dialami anak akan membawa dampak.
Selain stress dan depresi, KTA juga dapat menganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak, baik secara fisik maupun psikis. Dra. Mayke Tedjasaputra
M.Psi, Ahli Psikologi Anak dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
mengatakan, anak yang memiliki pengalaman buruk dengan perlakukan kasar dan
kejam dari orangtuanya, berpotensi sangat agresif (meninju, memukul,
menendang, mendorong, menampar, membakar, menarik rambut/telinga,
menusuk, membakar) dan marah kepada lingkungannya.
Selain menjadi agresif, anak yang mengalami kekerasan seringkali menjadi orang
yang mudah takut, sangat cemas, lemah, sulit bergaul, tidak percaya diri, merasa
tidak aman hingga depresi. Pada dampak kekerasan fisik, KTA akan
meninggalkan bekas lebam, kerusakan fisik, kecacatan hingga kematian.
Sedangkan pada kekerasan seksual, akan menimbulkan trauma sangat mendalam
yang mempengaruhi masa depannya (seperti takut menikah, penyimpangan
orientasi seksual dll), karena perkembangan kepribadian dan karakter anak
terbentuk dari kehidupan yang ia jalani di rumah.

2.2 Pandangan Islam Memuliakan Perempuan


Keadaan Wanita sebelum datangnya Islam dalam masyarakat jahiliyah mengalami
masa hidup yang sangat menyedihkan, mereka tidak dihargai, dicaci maki dan sangat
dibenci. Masyarakat pada zaman jahiliyah sangatlah benci dengan kelahiran seorang
wanita. Wanita dianggap sebagai aib dalam masyarakat jahiliyah,bahkan diantara
mereka ada yang mengubur anak wanita secara hidup-hidup,hanya karena takut akan
dihina, ada pula yang membiarkan wanita hidup dalam dunia kehinaan dan kenistaan.
Hal ini seperti yang disebutkan Allah subhanahu wa ta’aladalam surat An-Nahl ayat
58-59.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya:
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan(kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanyadan dia sangat marah. Ia menyembunyikan
dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya.
Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa
yang mereka tetapkan itu.(QS. Al-Nahl: 58-59).
Allah juga menyebutkan bagaimana keadaan kaum wanita di dalam surat At-Takwir
ayat 8-9.
Allah subhanahu wa ta’alaberfirman:
Artinya:
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah
dia dibunuh”,(QS. At-Takwir; 8-9)
Kedua ayat tersebut menggambarkan betapa mengerikanya kehidupan wanita di
masa jahiliyah. Wanita pada zaman jahiliyah sama sekali tidak berhak mendapat
warisan, meskipun wanita tersebut hidup dalam kemiskinan, sebab warisan tersebut
hanya berlaku bagi kaum pria saja. Bahkan wanita pada zaman jahiliyah tersebut bisa
diwariskan setelah suaminya meninggal, sebagaimana harta diwariskan.Wanita tidak
dianggap keberadaanya dalam suatu keluarga.
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Umar RA bahwa beliau
berkata, “Demi Allah! Pada masa jahiliyah wanita tidak kami anggap apapun,
sehingga Allah menurunkan bagi mereka tuntunan yang menjelaskan kemaslahatan
bagi mereka dan Allah memberikan bagian harta tertentu dalam perkara pewarisan”
Setelah diturunkanya Islam melalui Rasulullah SAW, segala bentuk kezaliman terhadap
wanita telah dihapuskan dari mereka, dan Islam mengembalikan kedudukan wanita
dalam masyarakat, dan menjadikan mereka sebagai mitra lelaki yang berkedudukan
sejajar dalam urusan pahala, siksa dan semua hak, kecuali perkara yang memang
dikhususkan untuk wanita. Hal ini seuai dengan Al Qur’an surat An-Nahl ayat 97 dan
surat Ali Imran Ayat 195.
Artinya:
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-lakimaupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnyaakan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka denganpahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Nahl: 97)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman),
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amalorang-orang yang beramal di antara
kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain".(QS. Ali Imron: 195).
Kedudukan wanita dan pria dalam islam juga sejajar baik dalam hal amalan serta dalam
hal kebaikan. Hal ini seperti firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 35.
Allah SWT berfirman:
Artinya:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan
yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan
yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki
dan perempuan yangbanyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untukmereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab: 35).

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad “Dari
Aisyah RA berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya wanita
adalah saudara sekandung kaum pria”.
Dalam hadis tersebut juga disebutkan bahwa Islam sangatlah menghormati kedudukan
wanita hingga Nabi besar Muhammad SAW mengatakan bahwa wanita/istri adalah
saudara bagi suaminya.
Dan Islam sangatlah melarang menjadikan wanita sebagai warisan bagi kaum lelaki,
sebagaimana yang terjadi pada masyarakat jahiliyah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakaiwanita dengan
jalan paksa”. (QS. Al-Nisa’: 19).”

Islam juga menjamin kemerdekaan pribadi setiap wanita, menjadikannya pewaris dan
bukanlah bukan barang yang diwariskan, Islam juga memberikan bagian harta warisan
dari harta kerabatnya. Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 7.
Allah swt. berfirman:
Artinya:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapakdan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dariharta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit ataubanyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.(QS. Al-Nisa’: 7)”

Syariat Islam yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya


Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa wanita adalah insan yang
mukallaf sebagaimana lelaki. Wanita wajib bersaksi tidak adanya sesembahan yang
berhak diibadahi kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia harus
menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan berhaji bila ada
kemampuan. Ia wajib beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, beriman akan datangnya hari akhir dan beriman
dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang baik ataupun yang buruk semuanya
ditetapkan oleh-Nya. Wajib pula bagi wanita untuk beribadah kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala seakan-akan ia melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila tidak bisa
menghadirkan yang seperti ini, maka ia harus yakin Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu
melihatnya dalam seluruh keadaannya, ketika sendiri ataupun bersama orang banyak.
Wanita juga harus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar semampunya,
melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Ia pun
diperintah untuk berhias dengan akhlak mulia seperti jujur, amanah, dan adab-adab
Islam lainnya.
Pembebanan syariat atas wanita sebagaimana kepada lelaki ini tidak lain bertujuan
untuk memuliakan wanita dan mengantarkannya kepada derajat keimanan yang lebih
tinggi. Karena, pemberian beban syariat kepada seorang hamba hakikatnya adalah
pemuliaan bagi si hamba, bila ia melaksanakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah di balik beban syariat itu ada pahala yang
dijanjikan dan kenikmatan abadi yang menanti.
Perlu diketahui, sekalipun wanita memiliki kedudukan yang sama dengan lelaki dalam
hukum syariat, namun ada beberapa kekhususan hukum yang diberikan kepada wanita.
Di antaranya:
1. Wanita tidak diwajibkan mencari nafkah untuk keluarganya.
2. Dalam warisan, wanita memperoleh setengah dari bagian lelaki,
3. Wanita tidak boleh memimpin laki-laki,

2.3 Asuhan Keperawatan dengan Kekerasan Terhadap Perempuan


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Islam adalah agama yang sangat memuliakan kedudukan wanita, Islam
sangatlah menjunjung tinggi kedudukan wanita. Islam juga tidak menyia-nyiakan
seoraang wanita yang menjaga kehormatanya. Allah juga menjanjikan surge bagi
wanita sholehah yang senantiasa menjaga amal kebaikanya serta menjauhi segala
larangan Allah swt.

3.2 Saran
Penulis membuat makalah ini untuk  pembelajaran bersama. Apabila pembaca
menemukan kesalahan dan kekurangan, maka kami sarankan untuk mencari referensi
yang lebih baik. Apabila pembaca merasa ada kekurangan dapat membaca buku yang
menjadi referensi secara lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Ilham, Fuad. 2015. Kedudukan Wanita dalam Islam, Bab: Akhlak. Fakultas Teknologi
Industri. Universitas Islam Sultan Agung. Semarang.

Anda mungkin juga menyukai