Anda di halaman 1dari 11

Kekerasan Seksual

Kejahatan kesusilaan atau moral offences dan pelecehan seksual atau sexual harassment
merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum
nasional suatu negara melainkan sudah merupakan masalah hukum semua negara di dunia atau
merupakan masalah global. Pelaku kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual bukan dominasi
mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah atau rendah apalagi kurang atau tidak
berpendidikan sama sekali, melainkan pelakunya sudah menembus semua strata sosial dari strata

terendah sampai tertinggi.

Di antara manusia Indonesia yang rawan menjadi korban kejahatan kekerasan adalah
kaum perempuan. Beragam persoalan sensitif menimpa kehidupan kaum perempuan, antaranya
kejahatan kekerasan seksual (sexual violence) dan pelecehan seksual (sexual harassment). Begitu
banyak kejahatan kekerasan yang terjadi dan menimpa kaum perempuan, baik dalam soal
pembunuhan, perkosaan, penganiayaan selain apa yang sudah disebutkan di atas. Perempuan
sangat rentan menjadi korban kejahatan (victim of crime) di bidang kesusilaan.

Pelecehan seksual pada dasarnya Merupakan kenyataan yang ada dalam masyarakat
dewasa ini bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan banyak dan seringkali terjadi di mana-
mana, demikian juga dengan kekerasan/pelecehan seksual terlebih perkosaan. Kekerasan
terhadap perempuan adalah merupakan suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, padahal
perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan asasi di segala bidang.

Kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem


tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah
dibandingkan laki-laki; perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan
marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki dan juga karena
perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.

Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami peningkatan, korbannya


bukan hanya dari kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke remaja, anak-anak bahkan
balita. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak semakin sering terjadi dan menjadi global
hampir di berbagai negara.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat dari waktu ke waktu.
Peningkatan tersebut tidak hanya dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga
dari kualitas. Dan yang lebih tragis lagi pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga
atau lingkungan sekitar anak itu berada, antara lain di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga
pendidikan, dan lingkungan sosial anak.

Kejahatan Seksual Kajian Kriminologi atau Hukum

Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu. Mengapa
kejahatan terjadi dan bagaimana memberantasnya, merupakan persoalan yang tiada hentinya
diperdebatkan. Menurut Gerson W. Bawengan, ada tiga pengertian kejahatan menurut
penggunaannya masing-masing yaitu (Wahid & Irfan, 2001, hal: 26):

1. Pengertian secara praktis

Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yang merupakan pelanggaran
atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat-istiadat
yang mendapat reaksi baik berupa hukuman maupun pengecualian.

2. Pengertian secara religious

Kejahatan dalam arti religius ini mengidentikan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap
dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.

3. Pengertian secara yuridis

Kejahatan dalam arti yuridis di sini, maka kita dapat melihat misalnya di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal
dari buku kedua, itulah yang disebut kejahatan. Selian KUHP, kita dapat pula menjumpai hukum
pidana khusus, atau pada ketentuan lain yang menyebutkan suatu perbuatan sebagai kejahatan.

Bagaimana dengan kejahatan seksual dimata hukum, berdasarkan Kamus Hukum, “sex dalam
bahasa inggris diartikan dengan jenis kelamin”. Jenis kelamin disini lebih dipahami sebagai
persoalan hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan. Pada pasal 1 Deklarasi
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan disebut bahwa, yang dimaksud dengan kekerasan
terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat
atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau
psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, baik yang terjadi di depan umum maupun
dalam kehidupan pribadi (Wahid & Irfan, 2001, hal: 32).

Faktor-Faktor Pencetus Kejahatan Seksual

Secara umum faktor-faktor pencetus kejahatan seksual terbagi menjadi dua yakni faktor
eksternal atau sosial dan faktor internal atau individual, adapun kedua faktor tersebut dijelaskan
sebagai berikut:

1. Faktor-faktor sosial meliputi faktor-faktor budaya (termasuk pelatihan peran seksual),


terapan tayangan film kekerasan seksual dari media massa, dan jaringan sosial teman-teman
sebaya yang mendukung agresi seksual, sikap-sikap dari lingkungan sosial yang mendukung
kekerasan

2. Faktor-faktor individual meliputi sikap dan nilai-nilai tertentu yang dimiliki individu,
motif dominan (power), arousal seksual pada agresi, permusuhan terhadap wanita dan
pengalaman-pengalaman individu (mislanya, lingkungan rumah, kejadian traumatik) yang
selanjutnya akan mempengaruhi kemungkinan seseorang akan memiliki orientasi antiwanita.
Sehingga faktor-faktor ini akan menentukan kemungkinan seseorang laki-laki akan berperilaku
antisosial terhadap wanita, baik dalam wujud tindakan kekerasan (perkosaan) atau tindakan yang
bukan kekerasan (sexism, diskriminasi, merendahkan derajat secara verbal).

Faktor-faktor diatas banyak dialami oleh orang dewasa, sedangkan anak-anak faktor-
faktor pemicu kejahatan seksual yakni: Faktor dalam diri yang meliputi rasa tidak aman,
keterampilan sosial yang buruk, konsentrasi yang buruk dan gelisah, dan implusif.

Faktor kedua yakni faktor berbasis keluarga juga memicu kejahatan seksual oleh anak
yang meliputi: orang tua yang menggunakan penyalahgunaan zat, kriminalitas orang tua, ibu
yang masih remaja atau muda, adanya perselisihan perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga,
penelantaran, dan kekerasan, orang tua yang tidak pantas, dan kurangnya pengawasan orang tua
atau keterlibatan orang tua (Dennison & Leclerc, 2011, hal: 1090).

Faktor keluarga bukan satu-satunya faktor eksternal yang memicu kejahatan seksual
anak, kondisi sosial dilingkup pergaulan teman sebaya, sekolah, dan masyarakat yang tidak
sehat. Adapun Faktor-faktor sekolah termasuk kegagalan akademis, putus sekolah, membolos,
lampiran miskin untuk sekolah, dan manajemen perilaku yang tidak memadai dan faktor
lingkungan dan masyarakat, yakni seperti kerugian sosial ekonomi, kekerasan dan kejahatan
lingkungan, dan norma budaya terkait agresi dan kekerasan (Dennison & Leclerc, 2011, hal:
1091).

Data

Di Mana Kekerasan terhadap Perempuan Kerap Terjadi? Kekerasan terhadap Perempuan di


Ranah Publik Berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan 2019 (Sumber : Komnas Perempuan,
15 Mei 2019)

1. Tempat Tinggal

2. Tempat Kerja

3. Tempat Umum

4. Tempat Pendidikan
Catatan Tahunan 2019 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) menunjukkan, kekerasan terhadap perempuan di ranah publik paling banyak terjadi
di wilayah tempat tinggal, yaitu sebanyak 66 kasus. Komnas Perempuan juga menyebutkan
pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh teman dan tetangga di mana kasus kekerasan seksual
mendominasi. Kekerasan kedua terjadi di tempat kerja, yaitu sebanyak 41 kasus dengan pelaku
atasan atau sesama rekan kerja. Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di tempat umum
sebanyak 39 kasus, institusi pendidikan sebanyak 14 kasus, institusi kesehatan sebanyak 11
kasus, dan kekerasan terhadap pekerja migran sebanyak 6 kasus. Komnas Perempuan juga
memberi catatan terhadap kejahatan dunia maya (cyber crime) yang terjadi dalam dua tahun
terakhir. Kekerasan di dunia maya kerap beririsan dengan kekerasan yang terjadi di tempat
tinggal, institusi kesehatan, pendidikan, hingga tempat umum.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat


kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan pada 2018 mencapai 406.178 kasus, meningkat
16,6% dibandingkan 2017 yang sebanyak 348.446 kasus. Data tersebut berasal dari Catahu yang
dikompilasi berdasarkan data perkara yang ditangani Pengadilan Agama sebanyak 96% (392.610
kasus) dan 209 lembaga mitra pengada layanan sebanyak 3% (13.568 kasus).

Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah pelaporan dari kekerasan terhadap perempuan
cenderung meningkat. Hanya pada 2010 dan 2016 angka pelaporan menurun. Pada 2010, laporan
menurun 26,8% dari 143.586 kasus menjadi 105.103 kasus. Sementara itu, pada 2016 jumlah
laporan menurun 19,5% dari 321.752 menjadi 259.150 kasus.

RUU PKS

Apa sebenarnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?

RUU PKS lahir akibat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang kian hari kian
menigkat. Gagasan ini juga datang karena banyaknya pengaduan kekerasan seksual yang tidak
tertangani dengan baik dikarenakan tidak adanya payung hukum yang dapat memahami dan
memiliki substansi yang tepat terkait kekerasan seksual.

Tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dalam beberapa tahun
terakhir seperti fenomena puncak gunung es. Berdasarkan data Komnas Perempuan, dalam kurun
waktu 10 tahuan (2001 - 2011) sedikitnya terdapat 35 perempuan dan anak perempuan yang
menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Melihat angka kekerasan yang semakin
mengkhawatirkan, kalangan masyarakat, penyintas kekerasan seksual dan Komnas Perempuan
menggagas RUU ini yang telah dihimpun berdasarkan pengaduan dan data tahunan yang dimiliki
Komnas Perempuan miliki.

Dimulai pada tahun 2012 setelah melalui berbagai proses, RUU PKS berhasil masuk
sebagai salah satu program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR pada tahun 2016.
Namun sayangnya hingga tahun ini RUU PKS masih mangkrak dan belum benar-benar disahkan
oleh DPR. Namun RUU ini sebenarnya sudah kembali mendapat respon positif dari DPR setelah
masyarakat dari berbagai aliansi melakukan aksi damai menuntut disahkannya RUU ini pada
Sabtu (8/12/2018) lalu. Ada ribuan orang turut ke jalan saat itu yang membuahkan janji dari
pihak DPR untuk mengesahkannya setelah pemilu 2019 nanti.

Lantas apa saja isi pokok dari RUU PKS?

Mengutip dari situs resmi DPR beberapa isi pokok dari RUU PKS ini terdiri dari:

- Definisi kekerasan seksual yang diatur secara jelas dalam Pasal 1 RUU PKS

- Mengenai tujuan penghapusan kekerasan seksual yaitu untuk mencegah segala bentuk
kekerasan seksual; menangani, melindungi dan memulihkan korban; menindak pelaku; dan
menjamin terlaksananya kewajiban negara dan peran dan tanggung jawab keluarga, masyarakat
dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual

- Cakupan tindak pidana kekerasan seksual. Kekerasan seksual di sini termasuk tindak pelecehan
seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan,
pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Tindakan kekerasan seksual termasuk yang terjadi dalam lingkup relasi personal, rumah tangga,
relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam dan situasi khusus
lainnya.
- Ketentuan mengenai hak korban keluarga korban, dan saksi kekerasan seksual juga dijelaskan
secara gamblang pada pasal 21 hingga 39.

Tujuan RUU PKS

Jika menilik tujuan RUU PKS sendiri, undang-undang ini menjadi sebuah upaya
mendekatkan akses keadilan bagi korban, melalui suatu paradigma baru yang menjamin
masyarakat bebas dari kekerasan seksual dan menciptakan proses hukum yang lebih merangkul
korban dan memperhatikan haknya.

Fakta-fakta yang dialami korban kekerasan seksual, terutama dalam kasus perkosaan:

Ada empat faktor bagaimana perempuan korban perkosaan terhambat dalam mengakses keadilan
dan pemulihan, yaitu a) faktor personal, b) sosial budaya, c) hukum dan d) politik. Keempatnya
saling terkait menentukan tingkat kepercayaan korban untuk mengadu atau melaporkan
kasusnya, mendapat keadilan, dan memulihkan dirinya.

Faktor Personal

Perempuan korban perkosaan akan mengalami beberapa hal dalam dirinya yaitu a)
kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya, b) kehilangan kemampuan bahasa, c)
gangguan kejiwaan, d) rasa takut yang luar biasa, e) keinginan untuk melupakan dengan tidak
membicarakan peristiwa yang melukainya itu. Kelima hal tersebut membuat korban tidak
mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.

Faktor Sosial-Budaya

Masyarakat yang menempatkan seksualitas sebagai yang tabu dan aib, dan cenderung
menyalahkan korban, bahkan meragukan kesaksian korban, dianggap sial dan karma, membuat
korban menjadi semakin bungkam. Tidak sedikit korban dikucilkan, bahkan diusir dari
lingkungannya, atau dikawinkan paksa dengan pelakunya.

Faktor Hukum
Terdapat 3 aspek dalam faktor hukum yaitu a) substansi, b) struktur dan c) budaya
hukum. Dalam aspek substansi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum
Indonesia, bahkan belum ada pengakuan secara utuh tentang tindak kekerasan seksual. Hukum
Indonesia hanya mengakomodasi tindak pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi
penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi.

Selain itu tidak ada perlindungan saksi dan korban sehingga korban seringkali khawatir
pelaku akan balas dendam. Perempuan korban kehilangan kepercayaan pada proses hukum yang
adil, bisa dipercaya, dan melindunginya.

Faktor Politik

Dalam konteks situasi konflik yang pernah terjadi di Indonesia, kasus kekerasan seksual
termasuk perkosaan di antaranya juga terjadi. Di sini penyelenggara negara sangat ditentukan
oleh itikad baik politik mereka terutama apabila melibatkan aparatur negara sebagai pelaku
seperti yang terjadi pada Mei 1998, konflik di Aceh, Jugun Ianfu, tragedi 1965, Timor Leste dsb.
Dalam setiap konflik politik di wilayah, perempuan banyak yang menjadi korban kekerasan
seksual dan seringkali tidak terungkap dan tidak dianggap serius.

Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

1. Semangat yang diusung dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terkesan


diskriminatif karena lebih dominan melindungi perempuan dari kekerasan seksual,
padahal salah satu asas pengaturannya adalah nondiskriminasi. RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual mengutamakan perempuan dan mengabaikan laki-laki, dan
pendampingan korban diutamakan oleh perempuan, adalah tidak gender equality dan
menganggap laki-laki sebagai pelaku.

Adanya pengarus utamaan gender dimaksudkan untuk memudahkan negara melakukan


analisis gender termasuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan adalah
wilayah khusus yang dampaknya hanya dialami perempuan, karena kondisi kodratnya yang
sering tidak terwakili dan tidak tersuarakan, terutama dalam hal seksualitas, reproduksi biologis,
sosial, dan budaya.
Dalam hal kekerasan seksual, UU yang berlaku belum menjawab persoalan dan hambatan
akses keadilan yang dialami oleh perempuan, seperti yang ditemukan dan dilaporkan oleh
Komnas Perempuan. Merujuk pada prinsip nondiskriminasi tersebut, perempuan adalah warga
negara Indonesia yang berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan atas kehidupannya di
masyarakat yang lebih rentan mengalami kekerasan.

Temuan Komnas Perempuan menunjukkan satu dari 3 perempuan mengalami kekerasan


seksual, dan pelakunya rata-rata adalah laki-laki baik dari unsur keluarga dan orang terdekat
maupun umum. Siapapun dapat menjadi pelaku atau korban, tidak membedakan status sosial
ekonomi, kekuasaan, atau pendidikan.

Korban perempuan yang mengalami kekerasan seksual biasanya tidak berani untuk
mengadu, melaporkan, ataupun membela diri, karena takut mengalami stigma dan prasangka
yang buruk terhadap dirinya, dalam 355.062 kekerasan seksual ditangani Komnas Perempuan
ditahun 2017, 50% berakhir dengan jalur non hukum termasuk mengawinkan korban dengan
pelaku. Tidak sedikit dari korban yang lalu memutuskan untuk bunuh diri, atau dibunuh.

Hal ini bukan bertujuan untuk menyalahkan laki-laki, melainkan menunjukkan bahwa
kerentanan perempuan haruslah diperhatikan, dikedepankan, tidak lagi diabaikan, dan memberi
imbauan kepada negara dan masyarakat termasuk laki-laki (ayah, paman, saudara, rekan kerja,
pejabat publik, seluruh profesi yang biasanya dipegang laki-laki) untuk bersama-sama
melakukan perlindungan, pencegahan, dan untuk tidak menjadi pelaku.

2. RUU PKS diangggap pro terhadap LGBT

Faktanya tidak diaturnya LBGT dalam RUU PKS bukan berarti RUU PKS
mendukungnya. LGBT tidak masuk ranah kekerasan seksual, sehingga tidak tepat diatur RUU
PKS. Dalam konteks “kekerasan” adanya unsur pemaksaan, jebakan, eksploitasi,
penyalahgunaan kekuasaan, dan/atau situasi yang tidak memungkinkan seseorang untuk
menolak.

3. RUU PKS Memperbolehkan Zina


Tindak pidana zina sudah diatur di KUHP Pasal 284 dan hanya untuk yang sudah
menikah karena ada dasar hukumnya yakni UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

4. RUU PKS Mendorong Sex bebas dikalangan remaja


Tidak! RUU ini justru mempidana mereka yang menggunakan bujuk rayu dan ancaman
untuk bisa melakukan hubungan seksual dengan orang lain (Pasal 12 sampai pasal 18).
5. RUU PKS mempidana orang tentang cara berpakaian

Tidak, karena cara berpakaian adalah norma pribadi yang diajarkan orangtua kepada
anaknya.

6. Orangtua yang memaksa anak perempuannya berhijab bisa dipidana dengan UU ini
Tidak, karena tidak ada dasar hukumnya.

Anda mungkin juga menyukai