Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Melihat kondisi anak-anak yang sangat memprihatinkan dan permasalahan anak yang sangat dramatis dan memilukan, karena dialami oleh manusia yang kemampuan fisik, mental dan sosialnya masih terbatas untuk merespon berbagai resiko dan bahaya yang dihadapinya. Dalam klaster anak membutuhkan perlindungan khusus, sepanjang tahun 2011, KomNas Anak telah mencatat 2.508 kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2010 yakni 2.413 kasus. 1.020 atau setara 62,7 persen dari jumlah angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan serta incest, dan selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis (www.komnaspa.or.id). Tingginya angka pengaduan kekerasan terhadap anak tersebut, menunjukkan tanda bahwa lingkungan anak yang seharusnya menjadi benteng perlindungan anak, saat ini justru menjadi pelaku utamanya. Keluarga atau orang tua yang oleh UU Perlindungan Anak adalah salah satu pilar penanggung jawab perlindungan anak ternyata telah gagal bahkan menjadi pihak yang menakutkan bagi anak. Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak tersebut terjadi justru di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang yang seharusnya melindungi anak, seperti orang tua, paman, guru, bapak/ibu angkat, maupun ayah/ibu tiri.

Menurut

keterangan

Seto

Mulyadi

selaku

Ketua

Komisi

Perlindungan Anak, kekerasan seksual pada anak seringkali meninggalkan bekas traumatis yang sulit dihilangkan. Data dan informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang menyebutkan bahwa sebanyak 69 persen dari kasus kekerasan seksual anak dilakukan oleh orang yang dikenal baik oleh korban. Sebanyak 17,2 persen diantara kasus yang terjadi dilakukan oleh orang tua korban (incest). Pada tahun 1999, misalnya, tercatat 289 kasus kekerasan seksual terhadap anak, 129 kasus dilakukan oleh ayah korban dan 160 kasus dilakukan oleh guru si anak. Perkosaan juga bisa terjadi antar keluarga, dalam bentuk incest. Itu bisa terjadi, mungkin oleh ayah, saudara sepupu atau paman, mungkin juga kakek, atau orang-orang terdekat seperti tetangga. Karena peluangnya sangat tinggi (Seto Mulyadi, Kekerasan diakses, Seksual tanggal Pada 4 Juli Anak, 2009,jam http:///www.sinarharapan.co.id, 21.00WIB). Standar internasional juga mendenisikan sexual abuse sebagai suatu bentuk kekerasan. Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (The Declaration on the Elimination of Violence against Women (1993) misalnya, mende nisikan kekerasan terhadap perempuan meliputi, namun tidak terbatas pada kekerasan sik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, [dan] penyalahgunaan anak perempuan dalam rumah tangga. Walaupun data mengenai sexual abuse sexual abuse anak sering tidak tersedia atau sulit didapatkan, WHO anak sering tidak tersedia atau sulit didapatkan, WHO menaksir bahwa 20 persen dari perempuan dan 5-10 persen laki-laki mengalami kekerasan seksual ketika masih berusia anakanak (World Health Organization, World report on violence and health, op.cit., p. 64). Di Amerika Serikat, sekitar 44% korban perkosaan berusia di bawah 18 tahun, dan sekitar 15 persen berusia di bawah 12 tahun. Dalam 93 persen dari kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan,
2

pelakunya kenal dengan korban: 34 persen adalah anggota keluarga dan 59 persen adalah teman (Rape, Incest & Abuse National Network citing Sexual Assault of Young Children as Reported to Law Enforcement. Bureau of Justice Statistics, U.S. Department of Justice, 2000). Kekerasan seksual (sexual abuse) terhadap anak laki-laki satu dari sedikit jenis kekerasan terhadap anak yang lebih besar kemungkinannya terjadi di luar rumah di banding dengan di dalam rumah. Di Indonesia belum tersedia data kekerasan terhadap anak secara uptodate, data yang digunakan saat ini masih data Susenas 2006, data tersebut menunjukkan bahwa secara nasional selama tahun 2006 telah terjadi sekitar 2,81 juta tindak kekerasan dan sekitar 2,29 juta anak pernah menjadi korbannya. Jumlah tersebut apabila dibandingkan dengan jumlah anak menunjukkan besarnya angka korban kekerasan terhadap anak pada tahun 2006 mencapai 3 persen, yang berarti setiap 1000 anak terdapat sekitar 30 anak berpeluang menjadi korban tindak kekerasan. Di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan yakni 3,2 berbanding 2,8 persen. Di kalangan anak-anak, angka korban kekerasan lebih tinggi pada anak lakilaki dibandingkan perempuan, yaitu 3,1 berbanding 2,9 persen. Hal ini kemungkinan terkait dengan perilaku bandel yang pada umumnya lebih tinggi di kalangan anak laki-laki daripada perempuan.

Angka Korban Kekerasan Terhadap Anak [%]

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total

Perkotaan 3.01 2.60 2.81

Perdesaan 3.24 3.08 3.16

Total 3.14 2.88 3.02

Jenis kekerasan yang dialami anak memiliki pola yang sama, baik diperkotaan maupun perdesaan. Jenis tindak kekerasan paling tinggi adalah penganiayaan, diikuti penghinaan (kekerasan psikis), kemudian jenis kekerasan lainnya, penelantaran, dan pelecehan seksual. Data tentang jenis kekerasan terhadap anak tergambar dalam tabel berikut.

Anak Korban Kekerasan Menurut Jenis Kekerasan Jenis Kekerasan Penganiayaan Penghinaan Pelecehan Seksual Penelantaraan Lainnya Perkotaan 48,0 38,7 4,4 11,0 18,4 Perdesaan 57,3 35,5 3,6 9,9 13,1

Dari tabel di atas dapat pula dikatakan bahwa sekitar satu dari lima anak korban kekerasan pernah mengalami kekerasan penganiayaan. Kekerasan penganiayaan lebih tinggi di pedesaan daripada di perkotaan, yaitu 57,3 persen berbanding 48,0 persen. Sedangkan tindak kekerasan penghinaan, Sebaliknya jenis tindak pelecehan seksual dan kekerasan katagori lainnya lebih tinggi di perkotaan dibanding perdesaan. penelantaran relatif sama antara daerah perkotaan dengan perdesaan. Sedangkan data tentang pelaku tindak kekerasan dapat tergambar dalam tabel berikut.

Tindak Kekerasan terhadap Anak menurut Pelaku [%]

Pelaku Orang tua Famili Tetangga Atasan/majikan Rekan kerja Guru Lainnya sumber : Komnas PA

Perkotaan 56.5 4.1 8.0 0.8 0.9 2.8 26.8

Perdesaan 64.6 3.6 5.8 0.1 0.7 3.1 21.9

Total 61.4 3.8 6.7 0.4 0.8 3.0 23.9

Dari data di atas telrihat bahwa pelaku tindak kekerasan terhadap anak paling banyak adalah orang tua (61,4%). Di wilayah perdesaan angka ini mencapai 64,6 persen. Ini artinya dan hampir dua dan tiga kasus tindak kekerasan terhadap anak di perdesaan dilakukan oleh orang tua. Pelaku terbanyak berikutnya adalah pelaku lainnya yaitu mencapai 23,9 persen, kemudian diikuti tetangga (6,7 persen), (www.komnaspa.or.id). Berdasarkan catatan pendampingan yang dilakukan WCC Cahaya Perempuan, sepanjang tahun 2009 hingga Juni 2010 tercatat 41 kasus, diantaranya: Incest (baca: hubungan seksual sedarah), perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual terhadap anak perempuan. Sementara data yang terekspose di media dalam kurun waktu tersebut terdapat 155 kasus. Artinya, hanya 21% korban yang didampingi oleh WCC CP. Dan yang lebih memprihatin adalah korban incest, dimana ada keluarga yang terpecah karena kasus tersebut bahkan beberapa koban dijauhkan dari keluarga. Data Kekerasan Seksual Anak berdasarkan Jenis kasus dan Usia korban Jan-Des 2009 dan Jan-Juni 2010 Tahun/Sumber Data WCC CP Media 2009 2010 2009 2010 2 5 4 10

Jenis Kasus Incest

Jumlah 21
5

Perkosaan Pencabulan Pelecehan seksual Jumlah

17 4 1 24

9 2 1 17

47 43 0 94

32 18 1 61

105 67 3 196

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut : Bagaimana Upaya dan Peran Bidan dalam menangani kasus Incest? C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dalam melakukan penulisan ini adalah: Untuk mengetahui Upaya Pemerintah dan peran bidan dalam menghadapi tindak pidana incest.

BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Incest Incest berasal dari kata bahasa latin Cestus Yang berarti murni. Jadi incestus berarti tidak murni. Incest adalah hubungan badan atau hubungan seksual yang terjadi antara dua orang yang mempunyai ikatan pertalian darah atau istilah genetinya In Breeding. Incest menunjukkan pada
7

hubungan seksual antara pria dan wanita yang masih bersaudara atau berkerabatan, antara ayah dan putrinya, antara kakek dan cucunya, antara ibu dengan anak lelakinya. Dalam hal ini hubungan seksual sendiri ada yang bersifat sukarela dan ada yang bersifat paksaan. Istilah incest juga dianggap suatu hubungan melalui jalur pernikahan antara sesama anggota keluarga/pernikahan sedarah dimana secara hokum atau adat istiadat itu dilarang. Incest sejak dulu memang di anggap suatu hal yang tidak patut untuk dilakukan dalam kehidupan masyarakat dunia pada umumnya. Bahkan di berbagai Negara, larangan incest sudah ditetapkan secara hukum tertulis. Incest juga dapat terjadi dalam hubungan seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali, namun larangan tersebut disebabkan oleh adanya hubungan perkawinan yang mengikat antara sepasang suami istri. Ikatan perkawinan itulah yang menjadikan hubungan antara keluarga masing-masing pasangan menjadi hubungan keluarga seperti pada hubungan darah keluarga kandung. Seorang kakek tidak dapat melakukan hubungan seksual dengan cucu tirinya, seorang ayah tidak dapat melakukan hubungan seksual dengan anak tirinya, seorang ibu tidak dapat melakukan hubungan seksual dengan anak tirinya, demikian juga antara saudara tiri. (Suryati Romauli, S.ST, dkk dalam Kesehatan Reproduksi buat Mahasiswi Kebidanan, 2011:03) Incest atau inses dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah hubungan seksual antar orang-orang yang bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hokum dan agama. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Sedangkan incest menurut Kartini Kartono adalah hubungan seks di antara pria dan wanita di dalam atau luar ikatan perkawinan, dimana mereka terkait dalam hubungan kekerabatan atau keturunan yang sangat dekat sekali. Incest banyakterjadi di kalangan rakyat dari tingkat social-ekonomi
8

yang sangat rendah.(Kartini Kartono dalam Psikologi abnormal dan Abnormalitas Seksualitas, 1989)

B. Jenis-jenis Incest Incest terbagi menjadi dua jenis (Zaenul, M.A dalam Penikahan Sedarah, 2010:04), yaitu: 1. Incest yang bersifat sukarela (tanpa paksaan) Hubungan seksual yang dilakukan terjadi karena unsur suka sama suka. 2. Incest yang bersifat paksaan Hubungan seksual dilakukan karena unsur keterpaksaan, misalkan pada anak perempuan diancam akan dibunuh oleh ayahnya karena tidak mau melayani nafsu seksual. Incest seperti ini pada masyarakat lebih dikenal dengan perkosaan Incest.

C. Faktor-Faktor Penyebab Incest

Penyebab terjadinya incest (Suryati Romauli, S.ST, dkk dalam Kesehatan Reproduksi buat Mahasiswi Kebidanan, 2011:03), yaitu : 1. Faktor Internal, yang terdiri dari : a. Biologis : dorongan seksual yang terlalu besar dan ketidak mampuan pelaku mengendalikan nafsu seksnya. b. Psikologis : Pelaku memiliki kepribadian menyimpang, seperti minder, tidak percaya diri, kurang pergaulan atau cenderung

menutup diri dari pergaulan, menarik diri dari pergaulan social dengan masyarakat dan sebagainya. 2. Faktor External, yang terdiri dari :
a. Ekonomi keluarga : masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah atau

mempunyai

keterbatasan

pendapatan

untuk

bermain

diluar

lingkungan mereka sehingga mempengaruhi cara pandang dan mempersempit lingkup pergaulan mereka. b. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah sehingga pola pikir juga terbatas.
c. Tingkat pemahaman agama serta penetapan akidah serta norma

agama yang tidak mereka ketahui atau tidak dipahami. Selain faktor-faktor yang tersebut di atas, terdapat juga : a. Faktor Usia : pikiran anak-anak terbatas dan memiliki ketakutan b. Jenis Kelamin : perempuan dan laki-laki kedudukannya tidak setara, laki-laki lebih berkuasa. c. bermain lama-lama dalam satu kamar sehingga lama kelamaan napsu biologis mereka akan terangsang. d. kurangnya pengetahuan tentang seks.
e. Budaya patriarkhi, maksudnya laki-laki memiliki rasa kepemilikan

terhadap anak dan keluarganya hingga dia berhak melakukan apapun, apalagi misalnya dia merasa sebagai satu-satunya pencari nafkah keluarga,tentu saja ini bias gender dan masuk dalam akar budaya patriarkhi.

D. Pelaku dan Korban

10

Pelaku dan korban dalam incest (Dwi Maryanti, S.SiT, dkk dalam Kesehatan Reproduksi Teori dan Praktikum, 2009:12), yaitu : 1. Orang yang lebih berkuasa 2. Orang-orang yang lebih lemah

E. Dampak yang Terjadi

Beberapa dampak yang terjadi yang disebabkan oleh incest (Suryati Romauli, S.ST, dkk dalam Kesehatan Reproduksi buat Mahasiswi Kebidanan, 2011:03), yaitu : 1. Dampak Psikologis Incest dapat menimbulkan tekanan psikologis.
a. Masalah konstruksi social tentang keluarga, misalnya masyarakat

mengenal ayah dan anak sebagai satu kesatuan keluarga. Tetapi jika terjadi kasus incest dimana ayah telah menghamili anak perempuannya, maka bila lahir anak dari anak perempuan tersebut maka status ayahnya itu menjadi ganda, ayah sekaligus kakek.
b. Kasus pemerkosaan incest, misalnya perkosaan ayah terhadap anak

perempuannya, anak laki-laki kepada ibunya. Dalam hal ini mungkin terjadi didasarkan kelainan anak yang terlalu mencintai ibunya, dalam ilmu psikologis disebut dengan istilah Oedipas Compleks, yaitu anak sangat memuji ibunya sehingga anak menganggap ibu sebagai perempuan yang lain dan bukan sebagai ibunya. 2. Dampak Terhadap Fisik
11

Dari segi medis tidak setiap pernikahan incest akan melahirkan keturunan yang memiliki kelainan atau gangguan kesehatan. Apabila terjadi kelahiran, anak perempuan lebih rentan dan berpeluang besar terhadap penyakit genetic yang diturunkan oleh orang tuanya. Incest memiliki alasan besar yang patut dipertimbangkan dari kesehatan medis. Banyak penyakit genetic yang berpeluang muncul lebih besar . Contoh: a) Skizoprenia: Kromosom yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. b) Leukodistrophine atau kelainan pada bagian syaraf yang disebut milin,ada bagian dari jaringan penunjang pada otak yang mengalami gangguan yang menyebabkan terganggu. c) Idiot: keterlambatan mental serta perkembangan otak yang lemah. d) Kecatatan kelahiran dapat muncul akibat ketegangan saat ibu mengandung dan adanya rasa penolakan secara emosional dari ibu, e) Hemofilia: penyakit sel darah merah yang pecah yang mengakibatkan anak harus terus menerus mendapatkan transfuse. proses pembentukan enzim

F. Upaya Penanggulangan Masalah 1. Pencegahan Ada beberapa factor yang dapat mencegah terjadinya incest (Suryati Romauli, S.ST, dkk dalam Kesehatan Reproduksi buat Mahasiswi Kebidanan, 2011:03), yaitu : a) Ikut sertakan instansi resmi yang menangani masalah

perlindungan terhadap anak sedini mungkin untuk menangkal tekanan yang dialami sang korban.
12

b)

Evaluasi anggota keluarga itu untuk penyakit psikiatrik

primer yang memerlukan terapi .evaluasi juga pada saudara kandung untuk memungkinkan perlakuan salah atau penganiayaan. c) d) Terapi keluarga juga dapat digunakan untuk menyusun Ajarkan sang anak dengan jelas dan mudah bahwa alat kembali keluarga yang pecah. kelamin mereka adalah milik mereka sendiri dan tidak boleh disentuh orang lain termaksud anggota keluarganya. e) Memberikan seks sejak dini.

Kita harus memberi tahu masalah ini dengan lebih professional dan tidak bias tiba-tiba kita memberitahukan kelainan-kelainan tersebut sebab kita seharusnya juga bias menerangkan hal yang lain,karena itu adalah bagian lain dari penerangan kesehatan reproduksi dimana hak semua orang untuk mendapat informasi seluas-luasnya dan benar. f) g) Memberikan pendidikan dan pengetahuan tentang agama. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat.

2. Penanggulangan Masalah Ada beberapa cara menanggulangi masalah incest yang dilakukan oleh bidan (Suryati Romauli, S.ST, dkk dalam Kesehatan Reproduksi buat Mahasiswi Kebidanan, 2011:03), yaitu :
a) periksalah pasien untuk luka lecet dan trauma lain dan periksa juga

penyakit kelamin. b) Psikoterapi individual untuk menghadapi sang korban, upaya ini dapat juga sebagai alur untuk ventilasi amarahnya. c) Terapi kelompok untuk mebantu korban yang telah melepaskan diri dari prilaku incest dan dapat membahas masalah itu secara terbuka dalam kelompok.
13

BAB III PEMBAHASAN Upaya Pemerintah dan Peran Bidan dalam Kasus Incest terhadap Anak
14

Bidan menurut IBI adalah seorang perempuan yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan yang telah diakui pemerintah, dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku dan diberi izin secara sah untuk melaksanakan praktik. Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dan kebidanan di masyarakat, bidan diberi wewenang oleh pemerintah sesuai dengan wilayah pelayanan yang diberikan. Wewenang tersebut berdasarkan keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 900/menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktik bidan. Peranan bidan dalam masyarakat sebagai tenaga terlatih pada Sistem Kesehatan Nasional adalah memberi pelayanan sebagai tenaga terlatih, meningkatkan pengetahuan kesehatan masyarakat, meningkatkan penerimaan gerakan keluarga berencana, memberi pendidikan dukun beranak, dan meningkatkan system rujukan. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan seksual sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana Hukum, tetapi dapat juga menggunakan sarana yang non hokum.
1. Upaya Hukum/ Upaya Penal

Penanggulangan secara penal yaitu penanggulangan setelah terjadinya kejahatan atau menjelang terjadinya kejahatan, dengan tujuan agar kejahatan itu tidak terulang kembali. Penanggulangan secara penal dalam suatu kebijakan kriminal merupakan penanggulangan kejahatan dengan memberikan sanksi pidana bagi para pelakunya sehingga menjadi contoh agar orang lain tidak melakukan kejahatan. (Nawawi, 1980).
2. Upaya non Penal

Penanggulangan secara non penal maksudnya adalah penanggulangan dengan tidak menggunakan sanksi hukum, yang berarti bahwa penanggulangan ini adalah penanggulangan kejahatan yang lebih bersifat preventif. Usaha-usaha non penal bisa berupa penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya, peningkatan usaha dan kesejahteraan anak
15

remaja, kegiatan patroli dan pengawasan 3. Upaya Preventif

lainnya secara kontinyu oleh

polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya. Penanggulangan kejahatan perkosaan terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan cara yang bersifat preventif maksudnya adalah upaya penanggulangan yang lebih dititikberatkan pada pencegahan kejahatan yang bertujuan agar kejahatan itu tidak sampai terjadi. Kejahatan dapat dikurangi dengan melenyapkan faktor-faktor penyebab kejahatan itu sebab bagaimanapun kejahatan tidak akan pernah habis. Dalam hal ini usaha pencegahan kejahatan tersebut lebih diutamakan, karena biar bagaimanapun usaha pencegahan jelas lebih baik dan lebih ekonomis daripada tindakan represif. Disamping itu usaha pencegahan dapat mempererat kerukunan dan meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesama anggota masyarakat. Dalam usaha pencegahan kriminalitas, kata pencegahan dapat berarti antara lain mengadakan usaha perubahan yang positif, dalam hal perkosaan khususnya perkosaan terhadap anak dibawah umur, seperti memberikan perlindungan terhadap anak karena anak merupakan orang yang paling mudah dibujuk dan selain itu anak belum dapat memberontak seperti yang dilakukan oleh orang-orang dewasa. Penanggulangan secara non penal kejahatan perkosaan terhadap anak di bawah umur adalah dengan meningkatkan kesadaran hukum bagi anggota keluarga untuk lebih memahami kepentingan anak di masa depan. 4. Upaya Reformatif Upaya reformatif adalah segala cara pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang yang telah melakukan perbuatan jahat yang melanggar undang-undang. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah residivis atau kejahatan ulangan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yang kesemuanya adalah menuju kepada kesembuhan, sehingga si pelaku kejahatan dapat menjadi manusia yang baik kembali. Upaya reformatif ini dilakukan setelah adanya upaya-upaya yang lain serta upaya ini bertujuan mengembalikan atau memperbaiki jiwa si penjahat kembali, yang mana
16

untuk kejahatan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan metode reformatif dinamik (dalam hal ini metode klasik dan metode moralisasi) serta metode profesional service. Melalui metode reformatif dinamik, metode yang memperlihatkan cara bagaimana mengubah penjahat dari kelakuannya yang tidak baik, terdapat metode klasik dengan jalan memberikan hukuman yang berat. Selain usaha pemerintah di atas dalam mencegah dan menanulangi masalah incest di Indonesia. Bidan juga dapat berperan aktif untuk mencegah dan menanggulangi masalah incest tersebut, adapun peran bidan yaitu : 1. Bidan bekerjasama dengan instansi pemerintah dengan memberi pendidikan, adapun bentuk pendidikan tersebut yaitu:
a. perkembangan manusia (anatomi dan fisiologi system reproduksi) b. hubungan antara manusia (baik dengan keluarga, teman sejawat,

pacaran dengan pernikahan)


c. kemampuan personal (nilai, pengambilan keputusan, komunikasi

dan negosiasi)
d. perilaku seksual (kontrasepsi, IMS, dan pencegahan HIV/AIDS serta

aborsi maupun kejahatan atau pelecehan seksual)


e. budaya dan social (peran gender, agama dan seksualitas). 2. Bidan dapat mengadakan kegiatan positif untuk masyarakat (diberi

kesibukan), dimana bidan bekerjasama dengan masyarakat dalam meningkatkan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan sehingga dapat menghindari terjainya tindakan incest, karena dengan adanya kegiatan maka pikiran negatif dapat dihindari. 3. Memaksimalkan majelis taqlim. 4. Bidan memberikan pengarahan kepada keluarga agar diperlukannya komunikasi antar keluarga dan anak-anak mereka agar adanya keterbukaan antar anak dan orang tua(keluarga) sehingga dapat menhindari terjadinya incest

17

5. Bidan dapat mensosialisasikan kepada masyarakat tentan dampakdampak akibat incest atau dapat mensosialisasikan tentang pendidikan kesehatan reproduksi. 6. Bidan dan masyarakat harus bersama-sama meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Salah satu praktek kekerasan seksual anak terhadap anak di bawah umur yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual. Jelas praktek tersebut bertentangan dengan nilai-nilai agama serta melanggar
18

hukum yang berlaku dan membuat masyarakat termotivasi untuk membasmi praktek seks yang kini telah banyak dilakukan di kota-kota maupun di desa. Disini sangat penting peran aktif masyarakat, individu, dan pemerintah untuk menanggulangi praktek kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dan penjualan anak serta untuk tujuan prostitusi dan pornografi. Sebenarnya ditinjau dari faktor penyebab terjadinya praktek kekerasan seksusal adalah faktor kejiwaan pada pelaku. Hal-hal yang demikian perlu dicermati dan diwaspadai terhadap pelaku kejahatan.

DAFTAR PUSTAKA Arrasyid, Chainur. 1980. Psykologi Kriminil. Medan: FH USU. Bawengan, Gerson W. 1977. Pengantar Psychologi Kriminil. Jakarta: Pradnya Paramita. Kartono, Kartini. 1981. Psychologi Wanita, gadis Remaja, dan Wanita Dewasa. Bandung: Alumni.

19

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998. Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005. Saherodji, H. Hari. 1980. Pokok- Pokok Kriminologi. Jakarta: Aksara Baru. Romauli, Suryati dkk. 2011. Kesehatan Reprduksi untuk Mahasiswi Kebidanan. Yogjakarta:Nuha Medika. Pusmaika, Ranha dkk. 2010. Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta:Trans Info Media http://www.lbh-apik.or.od/, diakses tanggal 7 Januari 2008. http://www.tempointeraktif.com/, diakses tanggal 7 Januari 2008. http://www.komnaspa.or.id

20

Anda mungkin juga menyukai