Anda di halaman 1dari 35

Membangun Kultural

PENCEGAHAN & PENANGANAN

KEKERASAN SEKSUAL

Kajian Vol 5.

Kementerian Analisis Perguruan Tinggi dan Kebijakan Kampus


PERINGATAN!

KAJIAN INI MENGANDUNG ISTILAH-


ISTILAH YANG DAPAT MEMICU
TRAUMATIS BAGI PENYINTAS ATAU
KORBAN. SEGERA AKHIRI
MEMBACA APABILA ANDA MULAI
MERASA KURANG NYAMAN.
KAJIAN MEMBANGUN KULTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
KEKERASAN SEKSUAL DI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
KEMENTERIAN ANALISIS PERGURUAN TINGGI DAN KEBIJAKAN KAMPUS

Abstrak

Pelecehan dan kekerasan seksual merupakan dua hal yang berbeda. Meski demikian, keduanya
merupakan permasalahan yang serius dan memerlukan perhatian khusus. Kampus sebagai
lingkungan akademik yang akan mencetak generasi yang unggul dari segi kualitas maupun
karakter seharusnya menjadi ruang yang aman bagi seluruh warganya. Namun, data yang dirilis
dalam skala global, nasional, maupun regional menunjukkan bahwa kampus masih menjadi
lingkungan yang cukup rawan menjadi tempat terjadinya pelecehan dan/atau kekerasan
seksual. Berdasarkan urgensi inilah pemerintah melalui Kemendikbudristek mengeluarkan
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 sebagai payung hukum bagi civitas akademika agar
dapat memperoleh jaminan keamanan saat berada di lingkungan perguruan tinggi. Universitas
Negeri Yogyakarta juga menunjukkan komitmennya dengan menerbitkan Peraturan Rektor
UNY Nomor 6 Tahun 2022 Tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Rektor UNY Nomor 4.1/UN34/VIII/2022 tentang
Satuan Tugas Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Universitas Negeri Yogyakarta Tahun
2022 yang kemudian diperpanjang hingga 2023 melalui SK Rektor UNY Nomor
8.2/UN34/I/2023. Keberadaan payung hukum yang jelas serta pembentukan satgas pada
kenyataannya masih belum menjamin terciptanya iklim yang aman dan nyaman bagi para
penyintas di lingkungan universitas.

Kata kunci: Pelecehan, Kekerasan Seksual, Satuan Tugas, Universitas Negeri Yogyakarta

A. Pendahuluan
Kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan seksual, usaha melakukan
tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak
disengaja ataupun sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan hubungan seksual
dengan paksaan kepada seseorang. (WHO: 2017). Tidak sedikit masyarakat yang masih
menganggap bahwa kekerasan dan pelecehan seksual merupakan hal yang serupa.
Padahal, kekerasan seksual tidaklah sama dengan pelecehan seksual. Pelecehan seksual
adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ
seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud termasuk juga dengan siulan,
main mata, ucapan yang mengandung seksual, mempertunjukan materi pornografi dan
keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isyarat yang
bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa
direndahkan martabatnya, dan berisiko sampai menyebabkan masalah kesehatan serta
keselamatan. Pelecehan seksual sendiri merupakan salah satu jenis dari kekerasan seksual.
Sementara kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan pemaksaan atau
bujukan pada seseorang untuk melakukan segala bentuk sentuhan fisik di area dada,
kelamin, anus, dan anggota tubuh lainnya atau memasukkan, menyentuh alat kelamin
sendiri atau orang lain yang menimbulkan ketidaknyamanan atau rasa sakit.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual menurut Undang-undang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual, antara lain yaitu perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap
anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap anak;
perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi
yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan
eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang
ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana
kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak
pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan. Psikolog Puspaga Kesengsem Kabupaten Sleman mengategorikan bentuk
kekerasan seksual menjadi dua, yaitu nyata dan media online. Bentuk kekerasan seksual
nyata dapat dilakukan secara verbal, seperti dengan berkomentar tentang anggota tubuh
atau menanyakan hal-hal yang membuat orang lain tidak nyaman; serta secara fisik, seperti
meraba bagian sensitif korban atau memaksa untuk memegang area tubuh pelaku.
Sementara bentuk kekerasan seksual dengan media online dapat berupa grooming
(mengajak berteman hingga mengarahkan pada kegiatan seksual), sexting (menerima dan
mengirimkan foto/video seksual), online sexual exploitation (membujuk untuk foto/video
tanpa imbalan), serta revenge porn (menyebarkan foto/video seksual).
Kekerasan seksual bisa menyebabkan dampak yang besar bagi korban dari
pandangan psikologi yaitu dapat menyebabkan penurunan harga diri, mudah tersinggung,
mimpi buruk, gelisah, konsentrasi menurun, depresi, trauma, disorientasi seksual,
menghilangkan rasa percaya diri, menimbulkan kecemasan, ketakutan terhadap semua hal
yang mengingatkan korban pada peristiwa kekerasan seksual tersebut. Dampak kekerasan
seksual dari segi fisik bisa berupa gangguan pola tidur, gangguan pola makan, imunitas
menurun, ketidaknyamanan serta nyeri pada organ kelamin, kehilangan kebiasaan positif,
kehamilan yang tidak diinginkan yang merupakan efek dari ruda paksa, gangguan
kesehatan reproduksi bisa berupa penyakit menular seksual, serta berupa luka tubuh yang
didapati dari kekerasan yang dilakukan pelaku. Kekerasan seksual juga berdampak
terhadap kehidupan sosial korban ketika berkegiatan dan bersosialisai di lingkungan
sekitar akibat stigmatisasi dan pandangan dari masyarakat yang seharusnya tidak didapati
oleh korban. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan bahkan menyebabkan korban
memiliki kemungkinan untuk dapat menjadi pelaku.

Gambar 1. Dampak Psikososial dan Kesehatan Mental Akibat Kekerasan Seksual


Menurut WHO

World Health Organization juga telah melakukan kategorisasi terhadap dampak


psikososial dan kesehatan mental akibat kekerasan seksual. Dampak pada kesehatan
reproduksi yang ditimbulan antara lain yaitu trauma ginekologis, kehamilan yang tidak
diinginkan, aborsi tidak aman, disfungsi seksual, infeksi menular seksual termasuk HIV,
serta fistulae traumatis. Dampak kesehatan mental yang ditimbulkan dapat berupa depresi,
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), gangguan tidur, keluhan somatik, keinginan dan
percobaan bunuh diri, serta gangguan panik. Selanjutnya, kekerasan seksual juga dapat
berdampak pada perilaku berisiko pada korban, seperti peningkatan potensi melakukan
hubungan seksual yang tidak aman, aktivitas seksual sejak usia terlalu dini, memiliki
banyak pasangan, hingga penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lainnya (NAPZA). Menurut WHO, terdapat risiko tinggi terjadinya keberulangan laki-laki
untuk menjadi pelaku dan perempuan menjadi korban. Dampak fatal yang tidak diinginkan
dari kasus kekerasan seksual adalah kematian karena bunuh diri, kematian karena
komplikasi kehamilan, kematian karena aborsi tidak aman, AIDS, perkosaan yang
berujung pembunuhan, hinga pembunuhan bayi hasil perkosaan.
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan jumlah pengaduan kasus pada tahun
2022 mencapai 457.895 kasus. Data tersebut diambil dari data 137 Lembaga Layanan dan
Direktorat Jendral Bada Peradilan Agama (Badilag). Sementara aduan yang masuk secara
khusus kepada Komnas Perempuan tercatat ada 4.371 kasus. Fenomena kekerasan seksual
dapat terjadi kapan saja dan dimana saja serta bukan lagi permasalahan baru di Indonesia.
Mirisnya salah satu tempat yang kerap kerap menjadi tempat kekerasan seksual namun
jarang diketahui oleh publik adalah lingkungan perguruan tinggi. Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan bahwa tingkat
kekerasan di lingkungan Perguruan Tinggi mencapai 27%. Perguruan tinggi yang
sewajarnya menjadi sarana menuntut ilmu dan memajukan manusia justru bisa menjadi
tempat melanggar martabat manusia. Isu kekerasan seksual di lingkungan kampus kerap
kali terungkap ke ranah publik. Sebagai bentuk komitmen pemerintah terhadap
pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, telah terbit
Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2021. Permen PPKS tersebut merupakann salah satu upaya untuk
memenuhi hak setiap warga negara Indoonesia atas pendidikan tinggi yang aman.
Substansi Permen PPKS memberikan kepastian hukum bagi para pemimpin perguruan
tinggi untuk mengambil langkah tegas.
Gambar 2. Diagram Batang sebaran kasus kekerasan seksual di Indonesia

Mengacu pada gambar di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 6.432 korban
kekerasan seksual memiliki pendidikan terakhir SLTA. Kelompok tersebut menduduki
posisi mayoritas, dan mahasiswa merupakan bagian dari golongan yang masih
berpendidikan terakhir sebagai lulusan SLTA tersebut. Hal ini menunjukkan tingginya
angka kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswa baik itu di dalam maupun luar
kampus.

Gambar 3. Sebaran Kasus Kekerasan Seksual Provinsi Daerah Istimewa


Yogyakarta berdasarkan kabupaten/kota
Jika dilihat dari sebaran kasus kekerasan seksual, jumlah terbanyak berada di
Kabupaten Sleman yang juga merupakan wilayah dengan perguruan tinggi terbanyak di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gambar 4. Kategorisasi Korban Kekerasan di DIY Berdasarkan Profesi

Gambar 5. Kategorisasi Korban Kekerasan di DIY Berdasarkan Lokasi


Gambar 6. Kategorisasi Korban Kekerasan di DIY Berdasarkan Jenis (Kaitannya
dengan Hubungan)

Gambar 7. Kategorisasi Korban Kekerasan di DIY Berdasarkan Jenis

Untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 28
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No 3 Tahun 2012 tentang
Perlindungan Perempuan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, pemerintah perlu
menetapkan Peraturan Gubernur tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pelayanan
Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan “Rekso Dyah Utami”. Fungsinya untuk
menyelenggarakan pelayanan terpadu kepada perempuan dan anak korban kekerasan di
DIY. Kelima gambar di atas menunjukkan kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke
P2TPAKK Rekso Dyah Utami selama tahun 2023. Dari 583 laporan yang masuk, 30 di
antaranya merupakan korban dari unsur mahasiswa. Dari 30 kasus tersebut mayoritas
terjadi di rumah kos dan rumah korban dengan 40% termasuk dalam kategori kekerasan
dalam pacarana, serta 34% merupakan pelecehan seksual.
Pada tahun 2022, Universitas Negeri Yogyakarta sempat dihebohkan dengan aksi
yang dilakukan oleh para mahasiswa sebagai bentuk protes karena adanya terduga pelaku
kekerasan seksual yang diwisuda. Pada tahun yang sama juga pernah terjadi kekerasan
seksual dengan jenis pelecehan di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta atau sekarang Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik. Pelaku
kekerasan seksual tersebut merupakan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan
Mahasiswa Ilmu Sejarah (HMIS). Pelaku yang bernama Adib Naufal Anabil mengakui
perbuatan yang telah dilakukan setelah dimintai keterangan secara langsung oleh ketua
HMIS FIS UNY pada waktu itu.
Tidak sedikit kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang belum
terkuak bahkan tidak terkuak dikarenakan mahasiswa tidak memiliki keberanian dan
pemahaman mahasiswa mengenai proses penanganan kekerasan seksual di kampus, serta
jaminan dalam penyelesaian oleh kampus. Maka sangat penting perguruan tinggi untuk
memiliki aturan yang spesifik mengenai kekerasan seksual, mengingat banyak dan
sulitnya mengungkap kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.

B. Pembahasan

1. Kondisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Universitas Negeri


Yogyakarta

Kekerasan seksual merupakan sebuah masalah sosial yang serius dan


meresahkan di Indonesia, ini adalah tindakan kejam yang melibatkan penyalahgunaan
seksual terhadap indivindu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab tanpa
perseteujuan korban, kekerasan seksual memiliki efek yang sangat mengerikan bukan
hanyak merusak korban secara fisik, namun juga secara emosional dan psikologis.
Mengutip dari Kemdikbud.go.id, kekerasan seksual diartikan sebagai setiap perbuatan
yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau
fungsi reproduksi seseorang. Sementara, menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau
World Health Organization (WHO), kekerasan seksual diartikan sebagai segala
perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seseorang tanpa
persetujuan.
Gambar 8. Bentuk Kekerasan Seksual lainnya

Perguruan Tinggi sebagai Lembaga yang diharapkan dapat melahirkan para


penerus masa depan bangsa yang bukan hanya berintelektual namun juga menjadi
cendekiawan yang berbudi luhur nyatanya juga belum bisa menjamin bersih dari kasus
kekerasan seksual, masih banyak terdengar kasus kekerasan seksual dari perguruan
tinggi baik negeri maupun swasta, maka perlu segera dicari Tindakan baik preventif
maupun represif sehingga perguruan tinggi dapat menjadi tempat yang nyaman bagi
mahasiswa untuk menjalani proses perkuliahan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 langkah-langkah pencegahan guna
mengurangi kerugian akibat kasus kekerasan seksual yang dapat dilakukan oleh
institusi meluputi:
a. Pembelajaran
Dalam hal ini, institusi (perguruan tinggi) dapat mewajibkan mahasiswa, pendidik,
dan tenaga kependidikan, serta seluruh warga kampus untuk mempelajari modul
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
b. Penguatan tata kelola
Perguruan tinggi sebagai institusi dapat merumuskan kebijakan, membentuk satuan
tugas, menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual, dan sebagainya.
c. Penguatan budaya komunitas, mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan
Perguruan tinggi dapat mengadakan komunikasi, informasi, dan edukasi di
kegiatan pengenalan kehidupan kampus, organisasi kemahasiswaan, dan.atau
jaringan komunikasi informasi di lingkungan kampus.
Selain dilakukan oleh institusi, langkah-langkah pencegahan guna mengurangi
kerugian akibat kasus kekerasan seksual juga dapat dilakukan oleh individu sebagai
agen, meliputi:
a. Pembatasan pertemuan individual (one-on-one)
Setiap warga kampus, baik itu mahasiswa, dosen, maupun tenaga kependidikan
disarankan untuk membatasi pertemuan di luar wilayah, jam operasional, dan/atau
kepentingan kampus.
b. Permohonan tertulis untuk mendapat persetujuan kaprodi/jurusan
Apabila terdapat keadaan yang mengharuskan adanya pertemuan sebagaimana
disebutkan dalam poin a di atas, maka disarankan untuk mengajukan permohonan
tertulis guna mendapat persetujuan dari kaprodi/jurusan, sehingga dapat
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada Bab 2 Pasal 6 Ayat 3, disebutkan bahwa salah satu cara penanggulan
kekerasan seksual di lingkungan kampus adalah membentuk satuan tugas pencegahan
dan penanganan kekerasn seksual (satgas PPKS). Satgas PPKS merupakan bagian dari
perguruan tinggi yang berfungsi sebagai pusat pencegahan dan penanganan kekerasan
seksual di perguruan tinggi. Menurut Permnendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021
Bab 2 Pasal 34 Ayat 1, tugas satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
antara lain membantu pimpinan perguruan tinggi Menyusun pedoman pencegahan dan
penangan kekerasan seksual di perguruan tinggi, melakukan survei, sosialisasi
kesetaraan gender, dan juga menindaklanjuti kekerasan seksual berdasarkan laporan
di ranah perguruan tinggi. Satgas juga berwenang melakukan berbagai tindakan baik
dengan pihak internal maupun eksternal kampus untuk melakukan penanganan yang
baik. Dalam menjalankan tugasnya, satgas wajib mematuhi kode etik dalam menjamin
kerahasiaan identitas pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan laporan dan
menjaga independensinya. Selain itu, satgas juga wajib memahami batasan dan
apabila ada dugaan penyalahgunaan wewenang, dapat dilaporkan ke
Kemendikbudristek melalui Pusat Penguatan Karakter.
Gambar 9. Pasal 6 ayat 3 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021

Universitas Negeri Yogyakarta telah membentuk tim Satuan Tugas


Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual (Satgas PTKS) sejak dikeluarkannya Surat
Keputusan Rektor tentang Satgas Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Nomor
4.1/UN34/VIII/2022 dengan beranggotakan 9 orang dengan Anang Priyanto, SH.,
M.Hum. sebagai ketuanya. Kemudian, pada tanggal 02 Januari 2023, Rektor UNY
menetapkan Keputusan Rektor Nomor 8.2/UN34/I/2023 tentang Satuan Tugas
Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Universitas Negeri Yogyakarta Tahun 2023.
Tidak ada perubahan terkait susunan pengurus maupun anggota Satuan Tugas (Satgas)
dari yang sebelumnya telah ditetapkan pada 01 Agustus dan berlaku hingga 31
Desember 2022. Rincian mengenai ketentuan seleksi, keanggotaan, tugas, dan
wewenang Satgas telah diatur dalam Bagian Ketiga Paragraf 3 Peraturan Rektor UNY
Nomor 6 Tahun 2022. Pertanyaannya, apakah ketentuan-ketentuan tersebut benar-
benar telah diimplementasikan? Hingga September 2023, layanan pengaduan kepada
Satgas masih dilaksnakan melalui personal chat atau datang langsung ke kantor.
Kurangnya sosialisasi menyebabkan belum semua warga UNY mengetahui perihal
mekanisme ini.

Gambar 10. Potongan Surat Keputusan Rektor Nomor 8.2/UN34/1/2023


tentang Satuan Tugas PTKS UNY 2023

Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual hakikatnya


memegang peranan penting terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
di ranah perguruan tinggi, namun saat ini kehadiran pihak satgas Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Universitas Negeri Yogyakarta mendapat sorotan,
Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UNY dinilai masih kurang
aktif dan belum terlihat memberikan kontribusi terhadap penanganan kekerasan
seksual di Universitas Negeri Yogyakarta. Hal ini tentu saja sangat disayangkan.
Kekerasan Seksual menjadi isu yang tak henti hentinya menjadi bahan diskusi
di lingkungan akademik terutama kalangan mahsiswa. Hal tersebut bukan tanpa
sebab, melainkan terjadi karena pelaksanaan dalam pencegahan dan penanganan
kasus kekerasan seksual yang awur-awuran pada perguruan tinggi. Di Universitas
Negeri Yogyakarta sendiri telah dibentuk tim satuan tugas Pencegahan Kekerasan
Seksual terbaru dengan terbitnya Surat Keputusan Rektor Universitas Negeri
Yogyakarta Nomor 8.2/UN34/1/2023. Hal tersebut harusnya memberikan kabar baik
dalam pencegahan dan penangan kasus kekerasan di Universitas Negeri Yogyakarta.
Berdasarkan nomenklatur “Satuan Tugas Pencegahan Tindak Kekerasan
Seksual” terdapat hal yang janggal dimana tidak terdapat diksi “penanganan”, hal
tersebut tentu perlu diklarifikasi sebab pada Peraturan Rektor Universitas Negeri
Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2022 tentang penanggulangan kekerasan seksual di
Universitas Negeri Yogyakarta dinyatakan bahwa satuan tugas yang dibuat bernama
Satuan Tugas Pencegahan dan penanganan Kasus kekerasan seksual. Perbedaan
nomenklatur tentu dapat berpengaruh terhadap tugas pokok dan fungsi suatu badan
atau lembaga. Oleh karena itu nomenklatur ini tentu perlu dikritisi agar tidak terjadi
Upaya “cuci tangan” bila terjadi kasus dan tidak terdapat penanganan yang baik dari
satgas yang telah dibentuk.

Gambar 11. Peraturan Rektor UNY Nomor 6 Tahun 2022 Pasal 1 Ayat 8

Jika melihat pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari keberadaaan Satgas
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UNY terdapat hal-hal yang perlu
dikritisi. Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan
tridharma perguruan tinggi. Dalam proses persiapan hingga pemberangkatan tentu
seharusnya segala hal-hal yang diperlukan benar benar dipersiapkan sehingga
mahasiswa dalam hal ini dapat terbekali dan mempersiapkan diri dengan baik. Namun
pada nyatanya, pada pelepasan mahasiswa KKN-PK yang seharusnya diisi dengan
edukasi dan pembekalan terkait KKN-PK, malah diisi dengan hal-hal yang tidak perlu.
Salah satu yang terlewati adalah sosialisasi Kekerasan Seksual. Kekerasan Seksual
pada mahasiswa yang menjalani KKN-PK rasanya bukan permasalahan yang baru.
Sebab tiap tahunnya selalu terdapat kasus kekerasan seksual yang terjadi, baik
pelakunya sesama mahasiswa hingga Masyarakat desa setempat. Hal tersebut
tentunya menjadi hal yang perlu dikritisi sebab kampus seolah acuh terhadap kasus
kekerasan seksual yang terjadi pada mahasiswa yang menjalani KKN-PK. Selain itu
juga nyatanya di dalam ruang akademis seperti kelas beberapa kali terjadi Upaya-
upaya pelecehan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik dan/atau dosen. Upaya
yang dilakukan bisa dalam bentuk ucapan atau verbal hingga melakukan sentuhan
fisik. Tentu hal tersebut menjadi hal yang ditakuti ditambah dengan kurangnya
pengawasan yang dilakukan oleh birokrasi Universitas Negeri Yogyakarta.
Selain pada pembekalan KKN-PK, tidak adanya sosialisasi kekerasan seksual
juga terjadi pada pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru
(PKKMB) tahun 2023. Gerbang pertama bagi para mahasiswa baru untuk memasuki
kehidupan kampus tersebut tentunya menjadi sarana yang harus dimanfaatkan untuk
membangun kultural yang baik terkait pencegahan dan penanganan kekerasan
seksual. Hal tersebut tentu merupakan hal yang cukup serius sebab mahasiswa baru
dengan segala keterbatasan pengetahuan dan keluguannya menjadi salah satu sasaran
empuk bagi predator seksual. Tentu pengenalan serta pembekalan mengenai
pemahaman kekerasan seksual menjadi penting untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan akademik kampus.
Jika melihat beberapa dari contoh tersebut dapat di ambil benang merah
bahwasannya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi satuan tugas pencegahan
kekerasan seksual di Universitas Negeri Yogyakarta masih belum sesuai dengan yang
seharusnya. Hal tersebut terjadi karena kurang tertatanya program sosialisasi hingga
alur penanganan yang kurang jelas sehingga menyebabkan kurang cepatnya
penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Negeri Yogyakarta.
Selain Satgas, layanan pengaduan terkait kasus kekerasan seksual juga
disediakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan BEM KM UNY 2023 yang
dapat diakses melalui tautan https://beacons.ai/rumahaduanuny. Berdasarkan
transparansi yang diberikan, akumulasi pelaporan kekerasan seksual yang diterima per
17 Juli 2023 berjumlah 5 kasus (3 kasus turunan dan 2 kasus baru). Jumlah yang tidak
sedikit tersebut masih begitu kecil jika dibandingkan dengan banyaknya korban yang
masih ragu, malu, takut, enggan, atau tidak mengetahui bagaimana prosedur yang
harus ditempuh untuk membuat pelaporan. Pada akhirnya, tidak ada ruang yang
sepenuhnya aman bagi para korban jika hanya segelintir pihak yang mengupayakan.
Perlu sinergitas bersama agar perilaku antikekerasan seksual tidak hanya sampai pada
pencerdasan saja, tetapi hingga tahap membudaya.
2. Hasil Survei Pemahaman Mahasiswa Terkait Upaya Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta

Kementerian Analisis Perguruan Tinggi dan Kebijakan Kampus Badan


Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta telah
melaksanakan survei melalui kuesioner yang disebarluaskan kepada mahasiswa UNY
pada tanggal 11 s.d. 21 September 2023. Kuesioner tersebut ditujukan untuk
mengetahui pemahaman mahasiswa terkait upaya pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual di lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta. Berikut merupakan
hasil analisis data yang diperoleh dari kuesioner tersebut:
a. Pemahaman mahasiswa terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
secara umum

Pemahaman Mahasiswa terkait PPKS

Sangat Paham Paham Cukup Paham


Kurang Paham Tidak Paham Sangat Tidak Paham

Diagram 1. Pemahaman Mahasiswa terkait PPKS

Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa mayoritas responden


mahasiswa telah memiliki pemahaman yang baik terkait pencegahan dan
penanganan kekerasan seksual. Pemahaman yang baik tersebut dapat didukung
oleh beberapa faktor, seperti kesadaran diri awareness mahasiswa terhadap isu ini
yang semakin meningkat, maraknya campaign di sosial media oleh para influencer,
gencarnya program edukasi melalui berbagai platform yang diselenggarakan oleh
pemerintah, kepastian hukum melalui regulasi yang ada, serta faktor-faktor
pendukung lainnya. Meskipun pemahaman mahasiswa terkait isu ini tergolong
baik, tidak lantas menghapuskan atau mengurangi kewajiban kampus untuk
memberikan pencerdasan.

Kemampuan Mahasiswa Mengidentifikasi


Perbedaan Pelecehan dan Kekerasan Seksual

Sangat Mampu Mampu Cukup Mampu


Kurang Mampu Tidak Mampu Sangat Tidak Mampu

Diagram 2. Kemampuan Mahasiswa Mengidentifikasi Perbedaan Pelecehan


dan Kekerasan Seksual

Sebagaimana telah dijabarkan dalam bagian pendahuluan kajian ini,


pelecehan dan kekerasan seksual merupakan dua hal yang berbeda. Pelecehan
belum tentu dapat dikategorikan sebagai kekerasan, namun kekerasan dapat
dipastikan juga merupakan pelecehan. Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa
sebagian besar mahasiswa telah mampu mengidentifikasi perbedaan antara
pelecehan dan kekerasan seksual dengan baik. Meski demikian, masih terdapat
sebagian pula yang mengaku belum mampu membedakan keduanya. Hal inilah
yang perlu untuk diedukasikan lebih lanjut kepada para mahasiswa karena
meskipun terlihat sederhana, prosedur penanganannya akan berbeda.
Pemahaman Mahasiswa Pemahaman Mahasiswa
Terkait Peraturan Menteri Terkait Peraturan Rektor
Pendidikan, Kebudayaan, Nomor 6 Tahun 2022
Riset, dan Teknologi
Nomor 30 Tahun 2021

Sangat Paham Paham Sangat Paham Paham


Cukup Paham Kurang Paham Cukup Paham Kurang Paham
Tidak Paham Sangat Tidak Paham Tidak Paham Sangat Tidak Paham

Diagram 3 & 4. Pemahaman Mahasiswa terkait Payung Hukum Pencegahan


dan Penanganan Kekerasan Seksual

Berdasarkan data pada diagram di atas dapat diketahui bahwa tingkat


pemahaman mahasiswa terkait payung hukum pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual cenderung beragam. Meskipun telah menunjukkan
kecenderungan positif, masih terdapat sebagian mahasiswa yang belum memahami
regulasi yang dapat menjadi pelindung bagi mereka dengan baik.
Persepsi Mahasiswa bahwa dalam Kasus
Pelecehan dan/atau Kekerasan Seksual, Prioritas
Utama adalah Kepentingan Terbaik bagi Korban

Sangat Setuju Setuju Cukup Setuju


Kurang Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju

Diagram 5. Persepsi Mahasiswa tentang Prioritas Kepentingan Korban

Dalam kasus pencegahan dan/atau kekerasan seksual, tidak semua prosedur


penanganan harus dilaksanakan, melainkan harus disesuaikan pada keinginan dan
kebutuhan korban. Tidak semua perlakuan terhadap korban juga harus disamakan,
seluruh tindakan harus didasarkan persetujuan korban. Apabila korban tidak
menginginkan agar kasus yang dialami dilaporkan, maka saksi atau orang yang
sebatas mengetahui tidak boleh membuat pelaporan meskipun memiliki bukti yang
dapat disertakan. Begitu pula dengan proses pendampingan, apabila korban hanya
menginginkan pemulihan secara fisik & psikologis tanpa perlu sampai ke ranah
hukum, maka hal itulah yang perlu dilakukan. Dari diagram di atas dapat diketahui
bahwa mayoritas responden telah sepakat bila tidak ada prioritas yang lebih penting
daripada kepentingan terbaik bagi korban.
Persepsi Mahasiswa bahwa Gaya Berpakaian
Dapat Memicu Terjadinya Pelecehan dan/atau
Kekerasan Seksual

Sangat Setuju Setuju Cukup Setuju


Kurang Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju

Diagram 6. Persepsi Mahasiswa terkait Korelasi Pakaian dengan Potensi


Pelecehan dan/atau Kekerasan Sekual

Gaya berpakaian seringkali menjadi hal yang diperdebatkan dalam kasus


pelecehan dan/atau kekerasan seksual, terutama di Indonesia. Pendapat masyarakat
umum terkait hal ini pun sangat beragam, begitu pula mahasiswa. Dari diagram di
atas dapat diketahui bahwa responden mahasiswa mempunyai pandangan yang
berbeda-beda terkait korelasi pakaian dengan potensi pelecehan dan/atau kekerasan
sekual. Sebagian merasa sangat setuju bahwa pakaian yang tertutup akan lebih
membuat mahasiswa terlindungi dan pakaian terbuka akan meningkatkan risiko &
peluang mengalami pelecehan dan/atau kekerasan seksual. Perspektif mayoritas
yang merasa kurang setuju dan tidak setuju mungkin telah mencoba memandang
dari sudut yang lain, seperti budaya asing. Di negara-negara bagian Barat,
kebanyakan masyarakat memang berpakaian terbuka dengan gaya pergaulan yang
juga lebih bebas. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat negara-negara tersebut
memiliki angka pelecehan dan/atau kekerasan seksual yang tinggi. Sementara di
Indonesia pun demikian, lebih dari 50% penyintas yang mengalami pelecehan
dan/atau kekerasan seksual mengenakan pakaian yang tertutup, bahkan berhijab.
Paradigma inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa pelecehan dan/atau
kekerasan seksual tidak memiliki korelasi dengan pakaian seperti apa yang
dikenakan.
Persepsi Mahasiswa bahwa Beraktivitas hingga
Larut Malam dapat Meningkatkan Risiko Menjadi
Korban Pelecehan dan/atau Kekerasan Seksual

Sangat Setuju Setuju Cukup Setuju


Kurang Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju

Diagram 7. Persepsi Mahasiswa terkait Korelasi Jam Malam Kegiatan


dengan Potensi Pelecehan dan/atau Kekerasan Seksual

Sama halnya dengan gaya berpakaian, jam malam kegiatan juga seringkali
menjadi hal yang diperdebatkan dalam kasus pelecehan dan/atau kekerasan
seksual. Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa responden mahasiswa
mempunyai pandangan yang berbeda-beda terkait korelasi jam malam kegiatan
dengan potensi pelecehan dan/atau kekerasan sekual. Sebagian besar merasa sangat
setuju, setuju, dan cukup setuju bahwa berkegiatan hingga larut malam akan
meningkatkan risiko & peluang mengalami pelecehan dan/atau kekerasan seksual.
Perspektif yang merasa kurang setuju dan tidak setuju mungkin didasarkan pada
testimoni beberapa aktivis perempuan di lingkungan kampus yang terbukti tetap
aman, nyaman, dan terlindungi meskipun berkegiatan hingga larut malam di
organisasi. Tidak ada kebenaran mutlak terkait hal ini dan setiap orang bebas untuk
memberikan persepsi. Semua kembali pada sejauh mana kemampuan diri dalam
memahami situasi, menggambar batasan dalam diri, serta menciptakan sebaik-baik
perlindungan dan proteksi.
Persepsi Mahasiswa bahwa Pelecehan dan/atau
Kekerasan Seksual Tidak Hanya Dapat Terjadi
pada Perempuan

Sangat Setuju Setuju Cukup Setuju


Kurang Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju

Diagram 8. Persepsi Mahasiswa terkait Potensi Pelecehan dan/atau


Kekerasan Seksual Tidak Hanya pada Perempuan

Pelecehan dan/atau kekerasan seksual memang sering dipahami sebagai


fenomena yang banyak terjadi pada perempuan. Data-data yang dirilis secara
global, nasional, maupun regional pun menunjukkan fakta yang demikian.
Perempuan sebagai salah satu golongan yang cukup rentan memang memiliki
potensi yang lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan. Akan tetapi, dalam
kasus pelecehan dan/atau kekerasan seksual, tidak menutup kemungkinan bahwa
laki-laki juga dapat menjadi korban. Pelecehan dan/atau kekerasan seksual yang
terjadi pada laki-laki dapat dilakukan oleh lawan jenis maupun sesama jenis
(biasanya terjadi dalam hubungan gay, biseksual, atau transgender). Salah satu
laporan yang diterima oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan BEM KM
UNY 2023 juga merupakan korban laki-laki.
Pemahaman Mahasiswa Keberanian Mahasiswa
terkait Langkah yang dalam Melaporkan
Harus Ditempuh Apabila Pelecehan maupun
Menyaksikan dan/atau Kekerasan Seksual yang
Menjadi Korban Dialami/Disaksikan

Sangat Paham Paham Sangat Berani Berani


Cukup Paham Kurang Paham Cukup Berani Kurang Berani
Tidak Paham Sangat Tidak Paham Tidak Berani Sangat Tidak Berani

Diagram 9 & 10. Pemahaman Mahasiswa terkait Langkah Reaktif terhadap


Kasus Pelecehan dan/atau Kekerasan Seksual

Kedua diagram di atas telah menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa


mempunyai pemahaman yang baik terkait langkah yang harus ditempuh apabila
menjadi saksi maupun korban pelecehan dan/atau kekerasan seksual. Mayoritas
juga mempunyai keberanian yang cukup untuk melaporkan apabila mengalami
atau menyaksikan pelecehan dan/atau kekerasan seksual. Meski demikian, masih
terdapat sebagian kecil yang perlu untuk diberikan edukasi dan terus didorong
untuk berani melapor. Dalam hal ini, kampus mempunyai peranan yang begitu
penting untuk mengedukasi dan menjamin efektivitas sinergitas layanan pelaporan
tanpa melanggar hak privasi korban agar tetap terlindungi. Selain kampus,
kesadaran kolektif untuk membangun kultural yang tanggap akan kekerasan
seksual juga dapat dilakukan melalui berbagai organisasi maupun unit kegiatan
kemahasiswaan di Universitas Neegri Yogyakarta.
b. Persepsi mahasiswa terkait keandalan UNY dalam mencegah dan menangani
kekerasan seksual

Pengetahuan Mahasiswa terkait Keberadaan


Satuan Tugas (Satgas) PTKS UNY

Sangat Tahu Tahu Cukup Tahu Kurang Tahu Tidak Tahu Sangat Tidak Tahu

Diagram 11. Pengetahuan Mahasiswa terkait Keberadaan Satgas PTKS


UNY

Sebagai bentuk komitmen kampus dalam mengawal kasus kekerasan


seksual, pada tanggal 02 Januari 2023, Rektor UNY kembali menetapkan
Keputusan Rektor Nomor 8.2/UN34/I/2023 tentang Satuan Tugas Pencegahan
Tindak Kekerasan Seksual Universitas Negeri Yogyakarta Tahun 2023 untuk
memperpanjang masa jabatan satgas 2022. Sayangnya, keberadaan satgas yang
sudah hampir 2 tahun menjabat ini belum diketahui oleh mahasiswa. Sebagaimana
data yang ditampilkan pada diagram di atas, masih terdapat sekitar 40% mahasiswa
yang merasa kurang tahu hingga sangat tidak tahu terkait keberadaan satgas
Penanggulangan Tindak Kekerasan Seksual (PTKS) di UNY. Kurangnya
sosialisasi dan publikasi kegiatan satgas mungkin menjadi salah satu penyebab
ketidaktahuan mahasiswa terkait keberadaan mereka.
Penilaian Mahasiswa terhadap Kinerja Satuan
Tugas PTKS UNY

Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik Sangat Tidak Baik

Diagram 12. Penilaian Mahasiswa terhadap Kinerja Satgas PTKS UNY

Ketidaktahuan mahasiswa mengenai keberadaan satgas PTKS di UNY


juga berimplikasi pada penilaian negatif terhadap kinerja mereka. Lebih dari 50%
yang berarti mayoritas responden mahasiswa menilai bahwa kinerja satgas masih
kurang baik, tidak baik, bahkan sangat tidak baik. Jika dilihat dari keanggotaan
satgas dari unsur mahasiswa, pada tahun 2023 sebagian tengah menjalankan KKN-
PK atau PPK Ormawa. Sementara sebagian lainnya tengah menempuh tugas akhir
bahkan ada yang telah lulus dan diwisuda. Dilihat dari background dan track
record-nya, tidak semua satgas juga telah memiliki bekal pengetahuan dan
pengalaman yang cukup dalam menangani kasus kekerasan seksual. Apabila dari
unsur yang paling dekat dengan mahasiswa saja telah memiliki berbagai tanggung
jawab dan kesibukan lainnya, maka bukanlah hal yang mengherankan apabila
kinerja satgas menjadi kurang optimal. Hingga saat ini, layanan pengaduan
kekerasan seksual yang diberikan oleh satgas masih dilakukan secara tatap muka
atau via WhatsApp saja dan belum semua warga UNY mengetahuinya. Tidak ada
call center maupun hotline yang dipublikasikan, begitu pula sistem terintegrasi
yang disosialisasikan. Hal inilah yang menjadi perlu untuk diperhatikan oleh
kampus agar menjadi bahan evaluasi dan kemudian ditindaklanjuti. Penting bagi
kampus untuk memastikan bahwa satgas yang terbentuk bukan hanya sebatas
formalitas, namun benar-benar membantu para penyintas.
Intensitas Mahasiswa Mendapatkan Sosialisasi
dan/atau Pencerdasan Terkait Kekerasan Seksual
di UNY

Selalu Sering Kadang-kadang Jarang Pernah Tidak Pernah

Diagram 13. Intensitas Sosialisasi PPKS di UNY

Mendapatkan sosialisasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan


seksual merupakan hak seluruh warga UNY. Bahkan, di dalam dalam Pedoman
Penyelenggaraan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru yang
diterbitkan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan
Teknologi Kemendikbudristek telah tertera pembobotan materi yang 10-20% di
antaranya memuat tentang pengembangan karakter mahasiswa agar mempunyai
sikap sebagai intelektual, antikekerasan seksual, antiperundungan, antinarkoba,
antikorupsi, dan kampus sehat. Selain itu, sosialisasi tentang pelecehan dan/atau
kekerasan seksual juga telah diamanatkan secara jelas pada Pasal 8 huruf i
Peraturan Rektor UNY Nomor 6 Tahun 2022. Namun, fakta sesungguhnya dapat
diketahui dari diagram di atas yang menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa
jarang memperoleh sosialisasi terkait PPKS di lingkungan UNY dan bahkan
sebagian di antaranya sampai mengaku tidak pernah.
Pemahaman Mahasiswa terkait Prosedur,
Mekanisme, dan Alur Pelaporan Kasus Pelecehan
dan/atau Kekerasan Seksual di UNY

Sangat Paham Paham Cukup Paham


Kurang Paham Tidak Paham Sangat Tidak Paham

Diagram 14. Pemahaman Mahasiswa terkait Prosedur, Mekanisme, & Alur


Pelaporan Kasus Pelecehan dan/atau Kekerasan Seksual di UNY

Kurangnya sosialisasi yang diberikan mengenai pencegahan dan


penanganan kekerasan seksual di UNY juga berimplikasi pada pemahaman
mahasiswa terkait prosedur, mekanisme, dan alur pelaporan terkait kasus tersebut.
Masih terdapat sekitar 33% responden mahasiswa yang mengaku bahwa kurang
bahkan sangat tidak memahami prosedur, mekanisme, maupun alur pelaporan
apabila sampai menjadi saksi dan/atau korban kasus ini.
Penilaian Mahasiswa terhadap Iklim Pencegahan
dan Penanganan Pelecehan dan/atau Kekerasan
Seksual di UNY

Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik Sangat Tidak Baik

Diagram 15. Penilaian Mahasiswa terhadap Iklim PPKS di UNY

Isu pelecehan dan/atau kekerasan seksual merupakan permasalahan serius


yang memerlukan perhatian khusus. Komitmen kampus seharusnya tidak hanya
diwujudkan dalam bentuk regulasi, tetapi juga pada implementasi. Mulai dari
efektivitas kinerja satgas; pencerdasan & sosialisasi pencegahan; publikasi dan
penyebarluasan informasi terkait prosedur, mekanisme, dan alur pelaporan;
maupun transparansi & sinergitas penanganan merupakan hal-hal yang masih
menjadi PR bagi kampus untuk terus diperbaiki dan ditingkatkan. Mengacu pada
diagram di atas, terdapat sekitar 34% responden mahasiswa yang menganggap
bahwa iklim pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di UNY masih belum
cukup baik. Kampus yang seharusnya menjadi lingkungan akademik yang aman
dan nyaman bagi seluruh warganya masih dinilai belum optimal dalam
memberikan perlindungan dari pelecehan dan/atau kekerasan seksual.

c. Temuan kasus pelecehan dan/atau kekerasan seksual


Selain data-data kuantitatif pada poin a dan b, dari hasil survei juga
diperoleh informasi bahwa sebanyak 8 (delapan) responden mengaku pernah
mendengar/ mengetahui/mendapatkan laporan/menyaksikan/menjadi korban
pelecehan dan/atau kekerasan seksual. Terhitung 62,5% dari responden yang
memberikan pengakuan tersebut sekadar mengetahui/mendengar terjadinya kasus,
sementara 37,5% lainnya mendapatkan laporan. Sejumlah 6 dari 8 korban diketahui
merupakan warga UNY. Hubungan pelaku dengan korban cukup beragam, mulai
dari mahasiswa dengan sesama mahasiswa, dosen/tendik/karyawan kepada
mahasiswa, orang tidak dikenal kepada mahasiswa, serta guru sekolah kepada
mahasiswa (kemungkinan terjadi pada saat pelaksanaan kegiatan Praktik
Kependidikan). Mayoritas kekerasan/pelecehan seksual dilaksanakan secara
verbal, namun tetap ada yang berjenis fisik maupun cyber (berbasis online). Kasus-
kasus tersebut terjadi di dalam kampus, di tempat umum, di tempat tinggal/indekos,
di sekolah (tempat Praktik Kependidikan), serta secara daring. Tahun kejadian
berkisar antara 2022-2023 & kebanyakan responden yang mengetahui hal tersebut
belum melakukan pelaporan.
Dihimpun secara kualitatif, responden mahasiswa memberikan harapan
mereka terhadap pencegahan dan penanganan pelecehan dan/atau kekerasan
seksual di Universitas Negeri Yogyakarta. Mereka menyadari bahwa pilihan gaya
berpakaian merupakan preferensi dan hak setiap orang, hawa nafsu manusialah
yang seharusnya dikendalikan. Kebanyakan masyarakat masih menganggap bahwa
korban dirasa pantas mendapat perlakuan buruk karena pakaian yang
dikenakannya, padahal di zaman yang modern, fashion sudah menjadi trend utama
di seluruh dunia. Kurangnya edukasi terhadap masyarakat mengakibatkan mindset
ini masih bekum dipahami oleh masyarakat luas. Para mahasiswa juga
mengutarakan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia sudah sangat
marak terjadi. Hal inilah yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
pemerintah atau instansi-instansi terkait agar memiliki trobosan untuk menangani
kasus ini. Para responden mahasiswa menilai perlunya pengomunikasian batasan
dengan jelas dan menghindari tempat yang berbahaya. sosialisasi tentang
kekerasan seksual mereka anggap penting untuk dilakukan. Besar harapan para
mahasiswa agar pencegahan dan penanganan dilakukan secara responsif, adaptif,
efektif, cepat, tepat, tuntas dan tetap memihak pada korban apapun status gender-
nya. Sinergitas dan kolaborasi antara mahasiswa dengan birokrasi dalam
mencegah, menanggulangi, dan menangani kasus pelecehan dan/atau kekerasan
seksual dirasa perlu untuk terus dibangun dan dioptimalkan.
3. Tindakan Reaktif terhadap Kasus Kekerasan Seksual

Pada kasus kekerasan seksual, siapa pun bisa menjadi korban, tidak
memandang laki-laki atau perempuan, tidak ada korelasi dengan pakaian apa yang
dikenakan. Penting bagi setiap elemen untuk membangun sinergitas keberanian dalam
menyuarakan, menyatakan penolakan, memberikan perlawanan, dan membuat
pelaporan. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian
Penduduk melalui materi yang disampaikan pada Diskusi Mimbar Biru yang
diselenggarakan Kementerian APTKK & PP BEM KM UNY tanggal 16 September
2023 dengan tajuk “Membangun Kultural Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual” menyampaikan beberapa langkah dan tindakan reaktif yang dapat ditempuh
oleh mahasiswa dan masyarakat umum, sebagai berikut:
a. Apabila melihat/menyaksikan/mendengar orang menjadi korban kekerasan
seksual, langkah yang dapat ditempuh sebagai berikut:
- Jangan mengabaikan, berikan/mintalah orang lain untuk membantu
menghentikan.
- Apabila memungkinkan, rekam/ambil gambar sebagai bukti kejadian secara
diam-diam dengan tidak mengesampingkan privasi korban.
- Penting untuk berbicara dengan korban secara lembut, memberikan dukungan
agar lebih tenang, aman, dan tidak merasa sendirian.
- Jangan pernah memberikan justifikasi yang justru menyudutkan korban,
tawarkan layanan pelaporan dan pengaduan dengan persetujuan.
b. Apabila menjadi korban/penyintas kekerasan seksual, langkah yang dapat
ditempuh sebagai berikut:
- Segera pergi ke tempat yang aman dan hubungi orang yang dapat membantu,
seperti keluarga, teman, atau pihak berwenang.
- Jangan mandi atau mencuci pakaian yang dikenakan karena bukti dapat
dihilangkan. Sebaiknya tetap mengenakan pakaian yang sama dan tidak
menyentuh atau mengubah apapun di sekitar tempat kejadian.
- Jangan merasa bersalah atau malu. Kekerasan seksual adalah kejahatan dan
bukan kesalahan korban.
- Segera temui tenaga medis atau psikologis untuk mendapatkan perawatan yang
diperlukan.
Gambar 12. Hotline Layanan Pengaduan Kekerasan Seksual yang Dapat
Diakses di Daerah Istimewa Yogyakarta

Dalam menangani kekerasan seksual juga terdapat beberapa prinsip yang


harus diperhatikan, yaitu keamanan, non-diskriminasi, non-judgmental, kerahasiaan,
kesetaraan, self-determination, pemberdayaan, kepekaan terhadap situasi krisis, adil
gender, serta inklusif. Tujuan pemberian dukungan kesehatan jiwa dan psikososial
pada penyintas kekerasan seksual terutama ketika situasi krisis kesehatan adalah
memberi pengertian bahwa reaksi-reaksi atas stress yang dialami penyintas adalah
wajar dan normal, meningkatkan faktor pelindung dan resiliensi pada penyintas serta
rasa aman, mengurangi faktor risiko, mendukung cara coping atau penyelesaian
masalah yang lebih konstruktif, mengembalikan fungsi seseorang secara lebih optimal
dalam kehidupan sehari-hari, serta melakukan rujukan layanan lebih lengkap yang
dibutuhkan jika tersedia. Pemberian dukungan kesehatan jiwa dan psikososial yang
dapat dilakukan pada penyintas kekerasan seksual dalam situasi krisis kesehatan
adalah:
a. Psychological First Aid (PFA)
Menurut University of Rochester (2007), PFA merupakan suatu cara untuk
memberikan dukungan emosional dan membantu orang dari berbagai latar
belakang (usia, budaya, etnik, sosial, ekonomi) segera setelah terjadinya bencana.
Sementara menurut Everly, Philips, Kane, & Feldman (2006), PFA merupakan
serangkaian keterampilan yang bertujuan untuk mengurangi distress dan mencegah
munculnya perilaku tampilan kondisi kesehatan mental negative yang disebabkan
oleh bencana atau situasi krisis yang dihadapi individu. Sphere (2004)
mendefinisikan PFA sebagai perawatan dasar yang bersifat praktis dan non-
intrusive, fokus pada mendengarkan namun tidak memaksa, mengenali dan
memenuhi kebutuhan dasar, mendorong pendampingan tanpa paksaan dari orang-
orang yang signifikan di sekitar penyintas, dan melindungi dari dampak negatif
lebih lanjut.
b. Psikoedukasi
Siapapun yang mengalami kekerasan seksual, utamanya perkosaan akan sangat
mungkin mengalami reaksi seperti cemas, takut, stress, depresi, atau yang lainnya.
Depresi, cemas, stress, atau gangguan mental lainnya adalah suatu masalah yang
dapat terjadi pada siapa saja dan merupakan reaksi wajar terhadap peristiwa yang
memang traumatis. Terapi efektif dalam hal ini dapat dilakukan, diperlukan
sekurangnya beberapa minggu agar dapat mengurangi gejala, dan kepatuhan
terhadap obat yang diberikan memegang peranan penting. Hal yang dapat
ditekankan dalam psikoedukasi antara lain:
- Pentingnya melanjutkan aktivitas yang menarik atau memberikan kesenangan;
- Pentingnya mempertahankan siklus tidur yang teratur;
- Pemanfaatan aktivitas fisik secara teratur;
- Pemanfaatan aktivitas sosial secara teratur;
- Mengenali pikiran untuk menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri agar segera
dapat mencari pertolongan bila hal tersebut terjadi.
c. Konseling Psikososial
Konseling sebaiknya dilakukan sejak kontak pertama dengan penyintas. Bila
penyintas datang ke tempat layanan dan menceritakan tentang pengalaman yang
dialaminya, artinya ia memberikan kepercayaan sehingga penting untuk
memberikan kepedulian dan efek yang positif bagi penyintas. Tawarkan kepada
penyintas untuk bercerita, sebaiknya di ruangan privat yang tertutup, identifikasi
bila terdapat stressor psikososial yang dihadapi dan sebisa mungkin berikan
alternatif penyelesaian bila perlu dengan bantuan layanan dari para pakar.
d. Konseling Lanjutan Terspesialisasi
Konseling lanjutan terspesialisasi dilaksanakan sesuai kebutuhan korban ke ranah
yang lebih jauh berdasarkan evaluasi tahapan sebelumnya, seperti bantuan hukum,
medis, rohani, rehabilitasi mental maupun sosial, dan sebagainya.
C. Kesimpulan

Kekerasan seksual didefinisikan sebagi setiap tindakan seksual, usaha melakukan


tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak
disengaja ataupun sebaliknya. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (PPPA) melaporkan bahwa tingkat kekerasan di lingkungan Perguruan Tinggi
mencapai 27%. Perguruan tinggi yang sewajarnya menjadi sarana menuntut ilmu dan
memajukan manusia justru bisa menjadi tempat melanggar martabat manusia. Meskipun
telah mempunyai berbagai payung hukum yang dapat digunakan sebagai jaminan
perlindungan bagi korban, kesadaran kolektif dalam pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual merupakan suatu hal yang masih perlu dibudayakan.
Membangun kultural dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual tidak
akan dapat dilakukan apabila tanpa disertai sinergitas dan kolaborasi dari berbagai unsur,
komponen, elemen, dan kalangan. Pemerintah, masyarakat, mahasiswa, dosen, tenaga
pendidik dan kependidikan, serta karyawan sama-sama mempunyai peranan sentral dan
esensial sesuai dengan porsi dan kapasitas masing-masing. Menciptakan kampus sebagai
lingkungan yang aman, nyaman, serta terlindung dari pelecehan dan/atau kekerasan
seksual merupakan tanggung jawab bersama bagi seluruh warganya. Nama baik kampus
bukan ditentukan oleh seberapa kecil angka kekerasan seksual yang terjadi untuk
kemudian ditutupi, melainkan oleh seberapa banyak kasus yang berhasil tuntas ditangani.
D. Daftar Pustaka

BEM KM UNY (2023). “Kuesioner Pemahaman Mahasiswa Terkait Pencegahan dan


Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta”.
Diakses melalui https://docs.google.com/forms/d/1l3OkGKtnHFAK5dB4H1bd-
Kn3xpyiCjdSrtAhGpDsqw4/edit#responses

Peraturan Menteri Pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi republik Indonesia nomor
30 tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di
Lingkungan Perguruan Tinggi. Diakses melalui
https://peraturan.bpk.go.id/Details/188450/permendikbud-no-30-tahun-2021

Peraturan Rektor UNY Nomor 6 Tahun 2022 Tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual
di Universitas Negeri Yogyakarta.

Surat Keputusan Rektor tentang Satgas PTKS Nomor 4.1/UN34/VIII/2022 tentang Satuan
Tugas Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Universitas Negeri Yogyakarta.

Surat Keputusan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Nomor 8.2/UN34/1/2023 tentang


Satuan Tugas Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Universitas Negeri
Yogyakarta Tahun 2023.

WHO, O. (2017). One health. World Health Organization, 736.

Anda mungkin juga menyukai