KEKERASAN SEKSUAL
Kajian Vol 5.
Abstrak
Pelecehan dan kekerasan seksual merupakan dua hal yang berbeda. Meski demikian, keduanya
merupakan permasalahan yang serius dan memerlukan perhatian khusus. Kampus sebagai
lingkungan akademik yang akan mencetak generasi yang unggul dari segi kualitas maupun
karakter seharusnya menjadi ruang yang aman bagi seluruh warganya. Namun, data yang dirilis
dalam skala global, nasional, maupun regional menunjukkan bahwa kampus masih menjadi
lingkungan yang cukup rawan menjadi tempat terjadinya pelecehan dan/atau kekerasan
seksual. Berdasarkan urgensi inilah pemerintah melalui Kemendikbudristek mengeluarkan
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 sebagai payung hukum bagi civitas akademika agar
dapat memperoleh jaminan keamanan saat berada di lingkungan perguruan tinggi. Universitas
Negeri Yogyakarta juga menunjukkan komitmennya dengan menerbitkan Peraturan Rektor
UNY Nomor 6 Tahun 2022 Tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Rektor UNY Nomor 4.1/UN34/VIII/2022 tentang
Satuan Tugas Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Universitas Negeri Yogyakarta Tahun
2022 yang kemudian diperpanjang hingga 2023 melalui SK Rektor UNY Nomor
8.2/UN34/I/2023. Keberadaan payung hukum yang jelas serta pembentukan satgas pada
kenyataannya masih belum menjamin terciptanya iklim yang aman dan nyaman bagi para
penyintas di lingkungan universitas.
Kata kunci: Pelecehan, Kekerasan Seksual, Satuan Tugas, Universitas Negeri Yogyakarta
A. Pendahuluan
Kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan seksual, usaha melakukan
tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak
disengaja ataupun sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan hubungan seksual
dengan paksaan kepada seseorang. (WHO: 2017). Tidak sedikit masyarakat yang masih
menganggap bahwa kekerasan dan pelecehan seksual merupakan hal yang serupa.
Padahal, kekerasan seksual tidaklah sama dengan pelecehan seksual. Pelecehan seksual
adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ
seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud termasuk juga dengan siulan,
main mata, ucapan yang mengandung seksual, mempertunjukan materi pornografi dan
keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isyarat yang
bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa
direndahkan martabatnya, dan berisiko sampai menyebabkan masalah kesehatan serta
keselamatan. Pelecehan seksual sendiri merupakan salah satu jenis dari kekerasan seksual.
Sementara kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan pemaksaan atau
bujukan pada seseorang untuk melakukan segala bentuk sentuhan fisik di area dada,
kelamin, anus, dan anggota tubuh lainnya atau memasukkan, menyentuh alat kelamin
sendiri atau orang lain yang menimbulkan ketidaknyamanan atau rasa sakit.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual menurut Undang-undang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual, antara lain yaitu perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap
anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap anak;
perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi
yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan
eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang
ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana
kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak
pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan. Psikolog Puspaga Kesengsem Kabupaten Sleman mengategorikan bentuk
kekerasan seksual menjadi dua, yaitu nyata dan media online. Bentuk kekerasan seksual
nyata dapat dilakukan secara verbal, seperti dengan berkomentar tentang anggota tubuh
atau menanyakan hal-hal yang membuat orang lain tidak nyaman; serta secara fisik, seperti
meraba bagian sensitif korban atau memaksa untuk memegang area tubuh pelaku.
Sementara bentuk kekerasan seksual dengan media online dapat berupa grooming
(mengajak berteman hingga mengarahkan pada kegiatan seksual), sexting (menerima dan
mengirimkan foto/video seksual), online sexual exploitation (membujuk untuk foto/video
tanpa imbalan), serta revenge porn (menyebarkan foto/video seksual).
Kekerasan seksual bisa menyebabkan dampak yang besar bagi korban dari
pandangan psikologi yaitu dapat menyebabkan penurunan harga diri, mudah tersinggung,
mimpi buruk, gelisah, konsentrasi menurun, depresi, trauma, disorientasi seksual,
menghilangkan rasa percaya diri, menimbulkan kecemasan, ketakutan terhadap semua hal
yang mengingatkan korban pada peristiwa kekerasan seksual tersebut. Dampak kekerasan
seksual dari segi fisik bisa berupa gangguan pola tidur, gangguan pola makan, imunitas
menurun, ketidaknyamanan serta nyeri pada organ kelamin, kehilangan kebiasaan positif,
kehamilan yang tidak diinginkan yang merupakan efek dari ruda paksa, gangguan
kesehatan reproduksi bisa berupa penyakit menular seksual, serta berupa luka tubuh yang
didapati dari kekerasan yang dilakukan pelaku. Kekerasan seksual juga berdampak
terhadap kehidupan sosial korban ketika berkegiatan dan bersosialisai di lingkungan
sekitar akibat stigmatisasi dan pandangan dari masyarakat yang seharusnya tidak didapati
oleh korban. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan bahkan menyebabkan korban
memiliki kemungkinan untuk dapat menjadi pelaku.
Mengacu pada gambar di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 6.432 korban
kekerasan seksual memiliki pendidikan terakhir SLTA. Kelompok tersebut menduduki
posisi mayoritas, dan mahasiswa merupakan bagian dari golongan yang masih
berpendidikan terakhir sebagai lulusan SLTA tersebut. Hal ini menunjukkan tingginya
angka kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswa baik itu di dalam maupun luar
kampus.
Untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 28
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No 3 Tahun 2012 tentang
Perlindungan Perempuan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, pemerintah perlu
menetapkan Peraturan Gubernur tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pelayanan
Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan “Rekso Dyah Utami”. Fungsinya untuk
menyelenggarakan pelayanan terpadu kepada perempuan dan anak korban kekerasan di
DIY. Kelima gambar di atas menunjukkan kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke
P2TPAKK Rekso Dyah Utami selama tahun 2023. Dari 583 laporan yang masuk, 30 di
antaranya merupakan korban dari unsur mahasiswa. Dari 30 kasus tersebut mayoritas
terjadi di rumah kos dan rumah korban dengan 40% termasuk dalam kategori kekerasan
dalam pacarana, serta 34% merupakan pelecehan seksual.
Pada tahun 2022, Universitas Negeri Yogyakarta sempat dihebohkan dengan aksi
yang dilakukan oleh para mahasiswa sebagai bentuk protes karena adanya terduga pelaku
kekerasan seksual yang diwisuda. Pada tahun yang sama juga pernah terjadi kekerasan
seksual dengan jenis pelecehan di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta atau sekarang Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik. Pelaku
kekerasan seksual tersebut merupakan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan
Mahasiswa Ilmu Sejarah (HMIS). Pelaku yang bernama Adib Naufal Anabil mengakui
perbuatan yang telah dilakukan setelah dimintai keterangan secara langsung oleh ketua
HMIS FIS UNY pada waktu itu.
Tidak sedikit kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang belum
terkuak bahkan tidak terkuak dikarenakan mahasiswa tidak memiliki keberanian dan
pemahaman mahasiswa mengenai proses penanganan kekerasan seksual di kampus, serta
jaminan dalam penyelesaian oleh kampus. Maka sangat penting perguruan tinggi untuk
memiliki aturan yang spesifik mengenai kekerasan seksual, mengingat banyak dan
sulitnya mengungkap kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
B. Pembahasan
Gambar 11. Peraturan Rektor UNY Nomor 6 Tahun 2022 Pasal 1 Ayat 8
Jika melihat pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari keberadaaan Satgas
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UNY terdapat hal-hal yang perlu
dikritisi. Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan
tridharma perguruan tinggi. Dalam proses persiapan hingga pemberangkatan tentu
seharusnya segala hal-hal yang diperlukan benar benar dipersiapkan sehingga
mahasiswa dalam hal ini dapat terbekali dan mempersiapkan diri dengan baik. Namun
pada nyatanya, pada pelepasan mahasiswa KKN-PK yang seharusnya diisi dengan
edukasi dan pembekalan terkait KKN-PK, malah diisi dengan hal-hal yang tidak perlu.
Salah satu yang terlewati adalah sosialisasi Kekerasan Seksual. Kekerasan Seksual
pada mahasiswa yang menjalani KKN-PK rasanya bukan permasalahan yang baru.
Sebab tiap tahunnya selalu terdapat kasus kekerasan seksual yang terjadi, baik
pelakunya sesama mahasiswa hingga Masyarakat desa setempat. Hal tersebut
tentunya menjadi hal yang perlu dikritisi sebab kampus seolah acuh terhadap kasus
kekerasan seksual yang terjadi pada mahasiswa yang menjalani KKN-PK. Selain itu
juga nyatanya di dalam ruang akademis seperti kelas beberapa kali terjadi Upaya-
upaya pelecehan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik dan/atau dosen. Upaya
yang dilakukan bisa dalam bentuk ucapan atau verbal hingga melakukan sentuhan
fisik. Tentu hal tersebut menjadi hal yang ditakuti ditambah dengan kurangnya
pengawasan yang dilakukan oleh birokrasi Universitas Negeri Yogyakarta.
Selain pada pembekalan KKN-PK, tidak adanya sosialisasi kekerasan seksual
juga terjadi pada pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru
(PKKMB) tahun 2023. Gerbang pertama bagi para mahasiswa baru untuk memasuki
kehidupan kampus tersebut tentunya menjadi sarana yang harus dimanfaatkan untuk
membangun kultural yang baik terkait pencegahan dan penanganan kekerasan
seksual. Hal tersebut tentu merupakan hal yang cukup serius sebab mahasiswa baru
dengan segala keterbatasan pengetahuan dan keluguannya menjadi salah satu sasaran
empuk bagi predator seksual. Tentu pengenalan serta pembekalan mengenai
pemahaman kekerasan seksual menjadi penting untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan akademik kampus.
Jika melihat beberapa dari contoh tersebut dapat di ambil benang merah
bahwasannya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi satuan tugas pencegahan
kekerasan seksual di Universitas Negeri Yogyakarta masih belum sesuai dengan yang
seharusnya. Hal tersebut terjadi karena kurang tertatanya program sosialisasi hingga
alur penanganan yang kurang jelas sehingga menyebabkan kurang cepatnya
penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Negeri Yogyakarta.
Selain Satgas, layanan pengaduan terkait kasus kekerasan seksual juga
disediakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan BEM KM UNY 2023 yang
dapat diakses melalui tautan https://beacons.ai/rumahaduanuny. Berdasarkan
transparansi yang diberikan, akumulasi pelaporan kekerasan seksual yang diterima per
17 Juli 2023 berjumlah 5 kasus (3 kasus turunan dan 2 kasus baru). Jumlah yang tidak
sedikit tersebut masih begitu kecil jika dibandingkan dengan banyaknya korban yang
masih ragu, malu, takut, enggan, atau tidak mengetahui bagaimana prosedur yang
harus ditempuh untuk membuat pelaporan. Pada akhirnya, tidak ada ruang yang
sepenuhnya aman bagi para korban jika hanya segelintir pihak yang mengupayakan.
Perlu sinergitas bersama agar perilaku antikekerasan seksual tidak hanya sampai pada
pencerdasan saja, tetapi hingga tahap membudaya.
2. Hasil Survei Pemahaman Mahasiswa Terkait Upaya Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta
Sama halnya dengan gaya berpakaian, jam malam kegiatan juga seringkali
menjadi hal yang diperdebatkan dalam kasus pelecehan dan/atau kekerasan
seksual. Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa responden mahasiswa
mempunyai pandangan yang berbeda-beda terkait korelasi jam malam kegiatan
dengan potensi pelecehan dan/atau kekerasan sekual. Sebagian besar merasa sangat
setuju, setuju, dan cukup setuju bahwa berkegiatan hingga larut malam akan
meningkatkan risiko & peluang mengalami pelecehan dan/atau kekerasan seksual.
Perspektif yang merasa kurang setuju dan tidak setuju mungkin didasarkan pada
testimoni beberapa aktivis perempuan di lingkungan kampus yang terbukti tetap
aman, nyaman, dan terlindungi meskipun berkegiatan hingga larut malam di
organisasi. Tidak ada kebenaran mutlak terkait hal ini dan setiap orang bebas untuk
memberikan persepsi. Semua kembali pada sejauh mana kemampuan diri dalam
memahami situasi, menggambar batasan dalam diri, serta menciptakan sebaik-baik
perlindungan dan proteksi.
Persepsi Mahasiswa bahwa Pelecehan dan/atau
Kekerasan Seksual Tidak Hanya Dapat Terjadi
pada Perempuan
Sangat Tahu Tahu Cukup Tahu Kurang Tahu Tidak Tahu Sangat Tidak Tahu
Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik Sangat Tidak Baik
Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik Sangat Tidak Baik
Pada kasus kekerasan seksual, siapa pun bisa menjadi korban, tidak
memandang laki-laki atau perempuan, tidak ada korelasi dengan pakaian apa yang
dikenakan. Penting bagi setiap elemen untuk membangun sinergitas keberanian dalam
menyuarakan, menyatakan penolakan, memberikan perlawanan, dan membuat
pelaporan. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian
Penduduk melalui materi yang disampaikan pada Diskusi Mimbar Biru yang
diselenggarakan Kementerian APTKK & PP BEM KM UNY tanggal 16 September
2023 dengan tajuk “Membangun Kultural Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual” menyampaikan beberapa langkah dan tindakan reaktif yang dapat ditempuh
oleh mahasiswa dan masyarakat umum, sebagai berikut:
a. Apabila melihat/menyaksikan/mendengar orang menjadi korban kekerasan
seksual, langkah yang dapat ditempuh sebagai berikut:
- Jangan mengabaikan, berikan/mintalah orang lain untuk membantu
menghentikan.
- Apabila memungkinkan, rekam/ambil gambar sebagai bukti kejadian secara
diam-diam dengan tidak mengesampingkan privasi korban.
- Penting untuk berbicara dengan korban secara lembut, memberikan dukungan
agar lebih tenang, aman, dan tidak merasa sendirian.
- Jangan pernah memberikan justifikasi yang justru menyudutkan korban,
tawarkan layanan pelaporan dan pengaduan dengan persetujuan.
b. Apabila menjadi korban/penyintas kekerasan seksual, langkah yang dapat
ditempuh sebagai berikut:
- Segera pergi ke tempat yang aman dan hubungi orang yang dapat membantu,
seperti keluarga, teman, atau pihak berwenang.
- Jangan mandi atau mencuci pakaian yang dikenakan karena bukti dapat
dihilangkan. Sebaiknya tetap mengenakan pakaian yang sama dan tidak
menyentuh atau mengubah apapun di sekitar tempat kejadian.
- Jangan merasa bersalah atau malu. Kekerasan seksual adalah kejahatan dan
bukan kesalahan korban.
- Segera temui tenaga medis atau psikologis untuk mendapatkan perawatan yang
diperlukan.
Gambar 12. Hotline Layanan Pengaduan Kekerasan Seksual yang Dapat
Diakses di Daerah Istimewa Yogyakarta
Peraturan Menteri Pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi republik Indonesia nomor
30 tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di
Lingkungan Perguruan Tinggi. Diakses melalui
https://peraturan.bpk.go.id/Details/188450/permendikbud-no-30-tahun-2021
Peraturan Rektor UNY Nomor 6 Tahun 2022 Tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual
di Universitas Negeri Yogyakarta.
Surat Keputusan Rektor tentang Satgas PTKS Nomor 4.1/UN34/VIII/2022 tentang Satuan
Tugas Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Universitas Negeri Yogyakarta.