sangat meresahkan .
Ditulis oleh: Ummi zakiyah diyanah
PENDAHULUAN
Kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan institusi pendidikan kian
menjadi perhatian publik. Bak bola salju yang bergelinding dan berkembang
makin besar, satu persatu kasus mulai terungkap dan ternyata menjadi persoalan
serius di dunia pendidikan tanah air.
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang tidak hanya terjadi di sekolah dan
universitas melainkan juga institusi pendidikan keagamaan, memicu kekhawatiran
lembaga pendidikan tak lagi menjadi tempat yang aman dari aksi kejahatan.
Maka dari itu pentingnya bagi kita untung mengetahui perihal tentang pelecahan
seksual yang sedang sangat meresahkan seperti saat ini.
Salah satu kasus dugaan terjadinya pelecehan sesual terbaru yang kini menjadi
pemberitaan media massa terjadi di Universitas Riau (Unri). Seorang mahasiswi
angkatan 2018 diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosennya yang juga
seorang dekan. Sebelumnya, kasus pelecehan seksual juga terjadi di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Jawa Timur. Kasus pelecehan seksual di
IAIN Kediri diduga dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswinya. Daftar
terjadinya kasus pelecehan seksual di PT dapat terus diperpanjang. Selain kasus di
Unri dan IAIN Kediri, tindak serupa juga pernah terjadi di IAIN Sultan Amai
Gorontalo. Seperti dilaporkan media massa, tindak pelecehan seksual yang terjadi
di Gorontalo ini tercatat minimal dialami empat mahasiswi. Setelah sejumlah
mahasiswa melakukan unjuk rasa, dosen yang menjadi pelaku pelecehan seksual
akhirnya dipecat dengan tidak hormat. Beberapa kasus lain tindak pelecehan
seksual di lingkungan PT dilaporkan terjadi di UIN Maulana Malik Ibrahim,
Malang, Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Palangka Raya (UPR),
Universitas Negeri Jakarta, Universitas Jember. Bahkan, di kampus terkenal
seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sempat pula dilaporkan
terjadinya kasus pelecehan seksual. Sejumlah faktor yang menyebabkan tindak
pelecehan seksual makin marak, yakni pertama, karena relasi korban dan pelaku
yang asimetris. Di lingkungan kampus bukan rahasia lagi bahwa posisi dosen
umumnya sangat superior dan menempatkan posisi mahasiswa dalam relasi yang
subordinat. Bagi mahasiswa yang tidak memiliki posisi bargaining yang setara,
mereka umumnya tidak berdaya dan lemah ketika berhadapan dengan ulah
sebagian oknum dosen yang cabul.
Momen ketika mahasiswa tengah konsultasi, sedang menempuh ujian, dan lain
sebagainya, sering dimanfaatkan para dosen yang nakal untuk melancarkan aksi
jahat dan hasrat syahwatnya yang tidak terkendali. Mahasiswa yang lemah,
mereka biasanya tidak mampu mengelak dan potensial menjadi korban ulah
dosennya yang melewati batas kepantasan dan moralitas. Kedua, berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya power abuse yang dilakukan dosen atau pejabat kampus
karena otoritas yang mereka miliki. Seorang dosen yang berhak dan memiliki
otoritas menentukan kelulusan mahasiswa, menentukan besar nilai ujian
mahasiswa, dan lain sebagainya. Ketika tidak mampu menjaga integritasnya,
bukan tidak mungkin mereka akan memanfaatkan posisinya untuk melakukan
tindakan jahat. Ketiga, berkaitan dengan iming-iming dan posisi pelaku yang
menjanjikan pemberian keuntungan tertentu kepada korban.
Menurut data Komnas Perempuan, yang diekspose pada Oktober 2020, telah
terjadi sekitar 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan
perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020. Sementara itu, survei yang
dilakukan Direktorat Jenderal Kemendikbudristek pada 2020 menemukan sekitar
77% dosen yang disurvei mengakui telah terjadi tindak kekerasan seksual di
kampus mereka. Namun, sebanyak 63% dari dosen yang mengakui terjadinya
tindak kekerasan seksual di kampusnya itu memilih tidak melaporkan kasus yang
terjadi alias mendiamkan saja.
Dalam jurnal yang berjudul Sexual Harassment: Identifying Risk Factors yang
terbit tahun 1998, OHare dan ODonohue menyorot konsekuensi negatif yang
berhubungan dengan pekerjaan seperti korban terpaksa kehilangan pekerjaan atau
mengundurkan diri, sehingga dimungkinkan akan merusak pengembangan karir
dan masa depan korban karena menghindari lingkungan kerja yang tidak
diinginkan. (Rusyidi, 2019).
Pelecehan keksual tidak pandang bulu. Jadi kita sebagai seorang manusia, terlebih
mahasiswa. Harus dapat sama-sama mencegah pelecahan seksual yang dapat terjadi
kapanpun dan dimanapun kita berada.
DAFTAR PUSTAKA