Anda di halaman 1dari 6

Maraknya kekerasan seksual di kampus yang

sangat meresahkan .
Ditulis oleh: Ummi zakiyah diyanah

PENDAHULUAN
Kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan institusi pendidikan kian
menjadi perhatian publik. Bak bola salju yang bergelinding dan berkembang
makin besar, satu persatu kasus mulai terungkap dan ternyata menjadi persoalan
serius di dunia pendidikan tanah air.

Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang tidak hanya terjadi di sekolah dan
universitas melainkan juga institusi pendidikan keagamaan, memicu kekhawatiran
lembaga pendidikan tak lagi menjadi tempat yang aman dari aksi kejahatan.

Pelecehan seksual masih sering dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap


perempuan yang perlu mendapat perhatian, meskipun pada kenyataannya
pelecehan seksual dapat berdampak jauh pada kehidupan pribadi perempuan
(korban) baik secara fisik maupun psikologis. Faktor yang menyebabkan adalah
karena kejadian yang disebut “pelecehan seksual”, hal tersebut bervariasi dalam
bentuk dan istansinya. Variasi tindakannya dapat berupa ajakan atau intimidasi
verbal sampai dengan ancaman kekerasan fisik, yang kesemuanya dirasakan
perempuan sebagai sasaran menjurus pada tindak sosial yang dikehendaki sehingga
dianggap kekerasan dalam dirinya.

Variasi tindakan yang disebut sebagai pelecehan seksual menyebabkan pelecehan


seksual sulit didefinisikan secara legal, ilmiah, ataupun secara personal. Bukan lagi
rahasia bahwa tindakan pelecehan seksual dapat terjadi di mana-mana.

Maka dari itu pentingnya bagi kita untung mengetahui perihal tentang pelecahan
seksual yang sedang sangat meresahkan seperti saat ini.

Bandar Lampung, 14-September-2022


PEMBAHASAN
Tindak pelecehan seksual tidak pandang bulu, baik siapa yang berisiko menjadi
korban maupun siapa yang menjadi pelaku. Tindak pelecehan dan kekerasan
seksual yang dikutuk semua pihak ini tidak hanya terjadi di zona-zona rawan,
tetapi juga kerap terjadi di lembaga pendidikan, yang seharusnya sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban. Di institusi pendidikan tinggi, kasus
pelecehan seksual bahkan ada indikasi belakangan ini makin marak.

Dalam rangka menangani makin maraknya kasus pelecehan seksual di lembaga


pendidikan tinggi, belum lama ini telah dikeluarkan Peraturan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021, tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Aturan yang diteken Menteri Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 itu berlaku
mulai tanggal 3 September 2021. Dalam Permendikbudristek No 30/2021 ini,
selain diatur tentang ancaman sanksi bagi pelaku tindak pelecehan seksual, juga
diatur upaya pendampingan, pelindungan, dan pemulihan bagi korban tindak
pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Bagi pelaku tindak pelecehan
seksual di Perguruan Tinggi, mereka tidak hanya terancam dikenai sanksi
administratif, tetapi juga sanksi berupa pemecatan atau pemberhentian tetap.

Salah satu kasus dugaan terjadinya pelecehan sesual terbaru yang kini menjadi
pemberitaan media massa terjadi di Universitas Riau (Unri). Seorang mahasiswi
angkatan 2018 diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosennya yang juga
seorang dekan. Sebelumnya, kasus pelecehan seksual juga terjadi di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Jawa Timur. Kasus pelecehan seksual di
IAIN Kediri diduga dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswinya. Daftar
terjadinya kasus pelecehan seksual di PT dapat terus diperpanjang. Selain kasus di
Unri dan IAIN Kediri, tindak serupa juga pernah terjadi di IAIN Sultan Amai
Gorontalo. Seperti dilaporkan media massa, tindak pelecehan seksual yang terjadi
di Gorontalo ini tercatat minimal dialami empat mahasiswi. Setelah sejumlah
mahasiswa melakukan unjuk rasa, dosen yang menjadi pelaku pelecehan seksual
akhirnya dipecat dengan tidak hormat. Beberapa kasus lain tindak pelecehan
seksual di lingkungan PT dilaporkan terjadi di UIN Maulana Malik Ibrahim,
Malang, Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Palangka Raya (UPR),
Universitas Negeri Jakarta, Universitas Jember. Bahkan, di kampus terkenal
seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sempat pula dilaporkan
terjadinya kasus pelecehan seksual. Sejumlah faktor yang menyebabkan tindak
pelecehan seksual makin marak, yakni pertama, karena relasi korban dan pelaku
yang asimetris. Di lingkungan kampus bukan rahasia lagi bahwa posisi dosen
umumnya sangat superior dan menempatkan posisi mahasiswa dalam relasi yang
subordinat. Bagi mahasiswa yang tidak memiliki posisi bargaining yang setara,
mereka umumnya tidak berdaya dan lemah ketika berhadapan dengan ulah
sebagian oknum dosen yang cabul.
Momen ketika mahasiswa tengah konsultasi, sedang menempuh ujian, dan lain
sebagainya, sering dimanfaatkan para dosen yang nakal untuk melancarkan aksi
jahat dan hasrat syahwatnya yang tidak terkendali. Mahasiswa yang lemah,
mereka biasanya tidak mampu mengelak dan potensial menjadi korban ulah
dosennya yang melewati batas kepantasan dan moralitas. Kedua, berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya power abuse yang dilakukan dosen atau pejabat kampus
karena otoritas yang mereka miliki. Seorang dosen yang berhak dan memiliki
otoritas menentukan kelulusan mahasiswa, menentukan besar nilai ujian
mahasiswa, dan lain sebagainya. Ketika tidak mampu menjaga integritasnya,
bukan tidak mungkin mereka akan memanfaatkan posisinya untuk melakukan
tindakan jahat. Ketiga, berkaitan dengan iming-iming dan posisi pelaku yang
menjanjikan pemberian keuntungan tertentu kepada korban.

Menurut data Komnas Perempuan, yang diekspose pada Oktober 2020, telah
terjadi sekitar 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan
perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020. Sementara itu, survei yang
dilakukan Direktorat Jenderal Kemendikbudristek pada 2020 menemukan sekitar
77% dosen yang disurvei mengakui telah terjadi tindak kekerasan seksual di
kampus mereka. Namun, sebanyak 63% dari dosen yang mengakui terjadinya
tindak kekerasan seksual di kampusnya itu memilih tidak melaporkan kasus yang
terjadi alias mendiamkan saja.

Pelecehan seksual masih sering dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap


perempuan yang perlu mendapat perhatian, meskipun pada kenyataannya
pelecehan seksual dapat berdampak jauh pada kehidupan pribadi perempuan
(korban) baik secara fisik maupun psikologis. Faktor yang menyebabkan adalah
karena kejadian yang disebut “pelecehan seksual”, hal tersebut bervariasi dalam
bentuk dan istansinya. Variasi tindakannya dapat berupa ajakan atau intimidasi
verbal sampai dengan ancaman kekerasan fisik, yang kesemuanya dirasakan
perempuan sebagai sasaran menjurus pada tindak sosial yang dikehendaki
sehingga dianggap kekerasan dalam dirinya.

Sehubungan dampaknya pada kondisi psikologis korban, pelecehan seksual


juga disebut sebagai little rapes meskipun pemerkosaan tidak harus menjadi
bagian dari pelecehan seksual. Sebagaimana yang terjadi pada korban
pemerkosaan, perempuan korban pelecehan seksual juga kehilangan dua
kebutuhan dasarnya yaitu rasa aman dan rasa percaya pada orang lain ataupun
pada dirinya sendiri. (Sadli, 2010).

Dalam jurnal yang berjudul Sexual Harassment: Identifying Risk Factors yang
terbit tahun 1998, OHare dan ODonohue menyorot konsekuensi negatif yang
berhubungan dengan pekerjaan seperti korban terpaksa kehilangan pekerjaan atau
mengundurkan diri, sehingga dimungkinkan akan merusak pengembangan karir
dan masa depan korban karena menghindari lingkungan kerja yang tidak
diinginkan. (Rusyidi, 2019).

Jurnal yang berjudul Everyday Stranger Harassment and Womens Objectification


yang terbit tahun 2008, Fairchild dan Rudman menyatakan bahwa pelecehan
seksual menimbulkan korban merasa tidak nyaman, ketakutan, kecemasan,
terintimidasi, malu, trauma atau menyalahkan diri sendiri. Akibat yang lebih serius
adalah sexual objectification di mana korban mengalami body shame dan secara
kronis sangat berlebihan dalam menilai penampilan fisiknya serta perasaan
ketakutan akan menjadi korban perkosaan, dan pembatasan kebebasan beraktivitas
sehingga dapat menghambat berbagai peran dalam kehidupan sosialnya. (Rusyidi,
2019).
KESIMPULAN

Pelecehan seksual masih sering dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap


perempuan yang perlu mendapat perhatian, meskipun pada kenyataannya
pelecehan seksual dapat berdampak jauh pada kehidupan pribadi perempuan
(korban) baik secara fisik maupun psikologis. Faktor yang menyebabkan adalah
karena kejadian yang disebut “pelecehan seksual”, hal tersebut bervariasi dalam
bentuk dan istansinya. Variasi tindakannya dapat berupa ajakan atau intimidasi
verbal sampai dengan ancaman kekerasan fisik, yang kesemuanya dirasakan
perempuan sebagai sasaran menjurus pada tindak sosial yang dikehendaki sehingga
dianggap kekerasan dalam dirinya.

Pelecehan keksual tidak pandang bulu. Jadi kita sebagai seorang manusia, terlebih
mahasiswa. Harus dapat sama-sama mencegah pelecahan seksual yang dapat terjadi
kapanpun dan dimanapun kita berada.
DAFTAR PUSTAKA

Rusyidi, B. (2019). PENGALAMAN DAN PENGETAHUAN TENTANG


PELECEHAN SEKSUAL: STUDI AWAL DI KALANGAN MAHASISWA
PERGURUAN TINGGI. Social Work Jurnal, 9, NO. 1, 75-85.
doi:10.24198/share.v9i1.21685
Sadli, S. (2010).

Anda mungkin juga menyukai