Anda di halaman 1dari 15

Kumpulan Artikel

Kekerasan Seksual
Sebuah Karya Tulis Bahasa Indonesia
Kelompok 3
Anggota Kelompok
1. Alviano Fadel Muhammad Rizqillah (2208010173)

2. Azka Larasati Purnomo Putri (2208010150)

3. Juliana Jasmine (2208010129)

4. Devita Krisna Jati Mulya (2208010132)

5. Astianisa Zahra (2208010178)

6. Salsa Putri (2208010158)

7. Salsabila Jovita Rahmah (2208010179)

8. Safia Mustafa Husein Al-Amrani (2208010183)

9. Hayat Hussein Saleh Aziz (2208010182)


Pengertian Artikel
Artikel merupakan karya tulis yang dibuat berdasarkan fakta, data, maupun opini yang dibuat
untuk dipublikasikan di media cetak maupun media digital. Artikel bertujuan untuk menyampaikan
informasi atau gagasan yang bersifat mendidik, meyakinkan, dan/atau menghibur.
Kesimpulan Sebagian Besar Isi Artikel
Artikel yang kami buat secara garis besar berisikan tentang bagaimana situasi kekerasan
seksual yang terus marak pada zaman sekarang. Banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi
pada lingkungan sekitar yang tidak menutup kemungkinan terjadi dilakukan oleh orang paling
terdekat. Selain itu, artikel yang kami muat juga memuat edukasi-edukasi pencegahan dalam
kekerasan seksual yang kami harap dapat bermanfaat bagi kita semua.
Alasan Memilih Karya Tulis Artikel
Kelompok kami ingin membuat suatu karya tulis dalam bentuk yang berbeda dari kelompok lain, yang di mana
kelompok lain banyak yang memilih karya puisi maupun cerpen. Dengan memilih bentuk karya tulis berupa artikel,
kami harap isi, informasi, dan pesan yang kami bawa dapat tersampaikan dengan jelas untuk semua kalangan. Kami
juga berharap dengan kami menulis artikel, kami dapat melatih kemampuan kami menyampaikan informasi dan
data dengan jelas dan terstruktur untuk menghadapi skripsi di semester akhir nanti.
Kelebihan dan Kekurangan Karya Kami
Kelebihan : Kekurangan :

Informasi dapat tersampaikan


01 ke semua orang dari berbagai 01 Pada umumnya bersifat kurang
menghibur.
kalangan dengan lebih mudah.

Lebih mudah untuk Untuk menyusunnya perlu


02 dipublikasikan di media cetak 02 lebih banyak data dari sumber
maupun media digital. yang terpercaya
Artikel 1 – Kekerasan Seksual dan Aneka Jenisnya
Oleh : Juliana Jasmine (2208010129)

Pelecehan seksual bukan semata tentang seks. Inti dari masalah ini adalah penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas,
meskipun pelaku mungkin mencoba untuk meyakinkan korban dan dirinya sendiri bahwa perilaku pelecehan yang ia lakukan sebenarnya
adalah ketertarikan seksual dan keinginan romantis semata. Kebanyakan pelecehan seksual dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.
Namun, ada juga kasus pelecehan perempuan terhadap lakilaki, dan juga dengan sesama jenis (baik sesama laki-laki maupun
perempuan).
Pada dasarnya kekerasan seksual tidak mengenal usia dan jenis kelamin. Saat ini para pelaku pelecehan seksual sudah tidak
lagi hanya menargetkan perempuan sebagai korban pelecehan, namun laki-laki pun sudah mulai dijadikan sebagai korban pelecehan
seksual.
Lalu, apa saja sih jenis pelecehan seksual?
1. Pelecehan gender: Pernyataan dan perilaku seksis yang menghina atau merendahkan wanita. Contohnya termasuk komentar yang
menghina, gambar atau tulisan yang merendahkan wanita, lelucon cabul atau humor tentang seks atau wanita pada umumnya.
2. Perilaku menggoda: Perilaku seksual yang menyinggung, tidak pantas, dan tidak diinginkan. Contohnya termasuk mengulangi ajakan
seksual yang tidak diinginkan, memaksa untuk makan malam, minum, atau kencan, mengirimkan surat dan panggilan telepon yang
tak henti-henti meski sudah ditolak, serta ajakan lainnya.
3. Penyuapan seksual: Permintaan aktivitas seksual atau perilaku terkait seks lainnya dengan janji imbalan. Rencana mungkin dilakukan
secara terang-terangan atau secara halus.
4. Pemaksaan seksual: Pemaksaan aktivitas seksual atau perilaku terkait seks lainnya dengan ancaman hukuman. Contohnya seperti
evaluasi kerja yang negatif, pencabutan promosi kerja, dan ancaman pembunuhan.
5. Pelanggaran seksual: Pelanggaran seksual berat (seperti menyentuh, merasakan, atau meraih secara paksa) atau penyerangan seksual.
Ada juga pelecehan seksual menurut perilaku yaitu komentar seksual tentang tubuh anda, ajakan seksual, sentuhan seksual, grafiti
seksual, isyarat seksual, lelucon kotor seksual, menyebarkan rumor tentang aktivitas seksual orang lain, menyentuh diri sendiri secara
seksual di depan orang lain, berbicara tentang kegiatan seksual sendiri di depan orang lain, menampilkan gambar, cerita, atau benda
seksual.
Artikel 2 - Kampus, Tempat Belajar Ataukah
Sarang Kekerasan Seksual?!
Oleh : Salsabila Jovita Rahmah (2208010179)

Komnas Perempuan memaparkan bahwa kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan Indonesia
yakni kekerasan seksual 87,91 persen, psikis dan diskriminasi 8,8 persen. Lalu, kekerasan fisik 1,1 persen. Perguruan
tinggi menempati urutan pertama untuk kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan 35 kasus pada tahun
2015 hingga 2021. Berdasarkan data, pelaku kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lembaga pendidikan
bervariasi. Data dari Komnas Perempuan dari tahun 2015-2021 ada 67 pelaku – yaitu guru 28 orang, dosen 15 orang,
peserta didik 10 orang, kepala sekolah 9 orang, pelatih 2 orang, dan lain-lain 3 orang.

Selain itu, berdasarkan survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada tahun
2020, kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan dan 27 persen dari aduan terjadi di universitas. “Pada
tahun 2015 sekitar 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual terjadi di kampus dan 63 persen dari mereka
tidak melaporkan kasus kekerasan seksual ke pihak kampus,” katanya acara Nonton Bersama Virtual dan Webinar
“16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan atau 16 Days of Activism Against Gender Violence”.
Berdasarkan data yang dipaparkan di atas, dapat kita tarik benang merah bahwa kondisi lingkungan pendidikan di Indonesia
terutama dalam lingkup perguruan tinggi sangatlah memprihatinkan. Pantaskah, lingkungan kampus yang seharusnya menjadi tempat
yang nyaman untuk menimba ilmu malah menjadi sarang kekerasan seksual? Tentunya, tidak, bukan. Kita semua tentunya menginginkan
lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman bagi siapapun.

Lantas, bagaimana dengan upaya pemerintah?

Pasal pelecehan seksual pada Pasal 290 KUHP mengancam pelakunya dengan hukuman penjara maksimal selama 7 tahun,
apabila:

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya
belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;

3. Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau
kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Selain itu, dilansir dari laman Kemendikbudristek bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek) telah menerbitkan Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan
Pendidikan Tinggi atau Permen PPKS. Langkah ini merupakan komitmen serius Kemendikbudristek dalam upaya pencegahan dan
penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Indonesia untuk memastikan terpenuhinya hak dasar atas pendidikan bagi
seluruh warga negara.
Namun, apakah semua hukum yang ada dapat ditegakkan sebagaimana mestinya? Tidak ada yang tahu pasti kebenarannya.
Tentunya, para aparat penegak hukum sudah berupaya sebaik mungkin dalam menjalankan tugasnya. Namun, faktanya masih banyak
terdengar kasus-kasus yang tak kunjung mendapatkan keadilan. Tak jarang pula, kita mendapati adaya oknum-oknum penegak hukum
yang tidak bertanggung jawab bekerja sama dengan pelaku untuk menjalankan alibinya. Memutarbalikkan fakta yang ada serta bermain
dengan uang dan kedudukannya, demi mempertahankan keegoisan dan harga dirinya itu yang akhirnya berakhir pada ketidakadilan yang
diperoleh korban.

Bahkan, banyak pula korban yang akhirnya menutupi kasus tersebut dan tidak mau melaporkannya karena merasa takut.
Banyak diantaranya yang merasa takut karena diancam berbagai macam hal oleh si pelaku. Tak jarang pula, korban diancam akan di DO
yang tentunya itu merupakan ketakutan utama para mahasiswa. Namun, beberapa juga sudah merasa kalah sebelum menuntut keadilan
akan kedudukan, status, maupun relasi dari si pelaku yang akhirnya menimbulkan anggapan seperti, “Percuma saja menuntut keadilan
kalau juga nantinya akan kalah dengan mereka yang berkuasa”. Hal-hal inilah, yang membuat kasus-kasus kekerasan seksual di kampus
terkadang hanya terselesaikan secara kekeluargaan atau bahkan terbungkam tanpa mendapatkan keadilan dan akhir dari kasus tersebut.

Lantas, haruskah kita diam saja?

Tentunya tidak. Menyerah begitu saja tentu bukan solusinya. Masih banyak cara yang bisa dicoba untuk memperoleh keadilan.
Lalu, apa yang harus kita lakukan jika mendapati tindak kekerasan seksual dilakukan di lingkungan kampus? “Lapor!” tentunya. Bagi
beberapa korban mungkin hal tersebut sangatlah sulit untuk dilakukan. Namun, rasa takut itu haruslah dilawan karena kita berhak
menuntut keadilan atas hak asasi kita yang dilanggar dan itu juga merupakan langkah pertama yang sangat perlu dilakukan untuk
memperoleh keadilan atas diri kita sendiri.

Lalu, bagimanakah cara kita melapor?


Dikutip dari Kompas.com, Kemendikbudristek menyediakan fasilitas bagi mahasiswa untuk menghubungi Kemendikbud
Ristek melalui beberapa kanal Unit Layanan Terpadu (ULT) untuk melakukan pengaduan, jika mendapati adanya kekerasan seksual di
lingkungan kampus dengan cara sebagai berikut :

1. Mengunjungi Portal Lapor di http://kemdikbud.lapor.go.id


2. Mengirim surel ke pengaduan@kemdikbud.go.id
3. Mengontak Pusat Panggilan di nomor 177
4. Datang langsung ke kantor Kemendikbud Ristek di Gedung C, Lantai Dasar, Jenderal Sudirman,Senayan-Jakarta
Kekerasan seksual haruslah dihentikan. Siapapun pelakunya, apapun jabatannya, kekerasan seksual sangat tidak dapat
dibenarkan dari segi manapun. Sesulit apapun langkahnya, setiap korban berhak atas keadilan dan dukungan. Mewujudkan lingkungan
bebas kekerasan seksual bukan hal yang bisa dicapai dengan sekejap mata namun itu juga bukan hal yang mustahil.
Artikel 3 - Pandemi Covid 19 Meningkatkan
Jumlah Kasus Kekerasan Fisik dan Seksual.
Oleh : Astianisa Zahra (2208010178)

Laporan terbaru WHO menyatakan bahwa hampir 736 juta wanita atau hampir sepertiga wanita di dunia pernah mengalami
kekerasan fisik dan seksual. Satu dari empat wanita berusia antara 15-24 tahun mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangan
mereka. WHO menyatakan bahwa studi kasus ini adalah yang terbesar mengenai kekerasan terhadap wanita. Data analisi WHO menyurvei
dari tahun 2000 hingga tahun 2018 untuk mengemukakan data terbaru. Namun studi ini tidak memasukan data saat pandemi covid 19
terjadi.

Sekitar 641 juta wanita mengaku pernah mengalami kekerasan dalam bentuk pelecehan dari pasangan mereka. Di luar itu, 6%
wanita mengaku pernah diserang orang yang bukan suami atau pasangan mereka.

"Kekerasan terhadap perempuan adalah masalah kesehatan masyarakat global yang berskala pandemi dan kasus ini dimulai
pada usia dini," kata salah satu peneliti riset itu, Claudia Garcia-Moreno.

"Jumlah korbannya bisa jauh lebih besar karena ketakutan terhadap stigma bisa menghalangi banyak perempuan
melaporkan kekerasan seksual," tuturnya.

Laporan WHO menunjukan bahwa negara berpenghasilan rendah lebih beresiko dalam hal kekerasan fisik dan seksual bagi
wanita oleh pasangan mereka."Kekerasan terhadap perempuan mewabah di setiap negara dan budaya, menyebabkan kerugian bagi
jutaan perempuan dan keluarga mereka, dan ini diperburuk oleh pandemi Covid-19," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom
Ghebreyesus."Tapi tidak seperti Covid-19, kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dihentikan dengan vaksin," ucapnya.
Dampak pandemi memperparah kondisi ini. Kekerasan terhadap wanita semakin meningkat di kala semua kegiatan dilakukan
dari rumah. Hal ini menjadi salah satu faktor meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. "Sejak pandemi Covid-19,
data dan laporan yang muncul menunjukkan bahwa semua jenis kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, terutama
kekerasan dalam rumah tangga, meningkat dalam skala yang kami sebut Pandemi Bayangan," ucap Phumzile Mlambo Ngcuka.

WHO meminta kepada negara negara anggota PBB agar lebih aktif dalam bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil
dengan tujuan untuk memastikan ketersediaan layanan perempuan dan pengumpulan data lebih lanjut untuk melakukan studi
program."Kami ingin melihat kemauan dan investasi yang meningkat serta komitmen baru dari negara-negara untuk menghapus
kekerasan terhadap perempuan," kata Claudia Garcia-Moreno."Saya berharap angkaangka ini menjadi peringatan bagi pemerintah,"
lanjutnya.

"Ada pembicaraan lima tahun lalu, tapi sekarang diperlukan lebih banyak tindakan jika kita ingin memenuhi target Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, yaitu menghapus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2030." kata Garcia-Moreno.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai