Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan

atau moral dan melawan hukum. Perbuatan prostitusi merupakan salah satu

bentuk penyimpangan sosial yang sudah dilakukan sejak dahulu kala.

Prostitusi merupakan peristiwa penjualan diri dengan memperjual belikan

badan dan kehormatan kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu

seks dengan suatu imbalan pembayaran.1

Masalah prostitusi adalah masalah yang rumit, oleh karena itu masalah

ini sangat butuh perhatian khusus oleh masyarakat. Prostitusi, bisnis yang

tidak dapat dipisahkan dari dunia gelap adalah salah satu perbuatan yang

menghasilkan uang dengan cepat tidak memerlukan modal banyak, hanya

dengan beberapa tubuh yang bersedia dibisniskan.

Prostitusi tidak hanya berdampak pada yang melakukannya yaitu

pelaku dan pengguna jasa, tetapi juga berdampak pada masyarakat luas.

Prostitusi bahkan berbahaya bagi kehidupan rumah tangga yang terjalin

sehingga dapat berujung pada tindak pidana, kejahatan dan sebagainya.

Agama sebagai salah satu pedoman dalam hidup sama sekali tidak dihiraukan

oleh mereka yang terlibat di dalam praktik prostitusi ini dan benar-benar

merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama.2

1
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1981, hlm. 200-201.
2
Terence H, Hull, Endang Sulistianingsih, Gavin W.Jones, Pelacuran di Indonesia,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hlm. 3.

1
2

Pelacuran bukan hanya gejala individu akan tetapi sudah menjadi

gejala sosial dari penyimpangan seksualitas yang normal dan juga agama.

Prostitusi selalu ada pada semua negara sejak zaman purba sampai sekarang

dan senantiasa menjadi obyek urusan hukum baik hukum positif maupun

hukum agama dan tradisi karena perkembangan teknologi, industri,

kebudayaan manusia turut berkembang pula prostitusi dalam berbagai bentuk

dan tingkatnya.3

Konsep tentang tindak pidana perzinaan menurut hukum islam

berbeda dengan sistem barat. Dalam hukum islam, setiap hubungan seksual

yang dilakukan diluar pernikahan itulah zina, baik yang dilakukan oleh orang

yang telah berkeluarga maupun belum berkeluarga, meskipun dilakukan rela

sama rela tetap dikategorikan tindak pidana.4

Tindakan prostitusi melalui media elektronik atau prostitusi online

sampai saat ini sedang ramai diperbincangkan secara lokal. Praktik prostitusi

berbasis web ini menjadikan seseorang sebagai barang untuk dipertukarkan

melalui media elektronik atau online. Media-media online yang digunakan

dalam praktik prostitusi yaitu Website, MiChat, Twitter, Facebook dll.

Prostitusi online dilakukan karena lebih mudah, praktis, dan lebih aman dari

razia petugas. Maka dari itu praktik prostitusi online saat ini sering terdengar

dan kita lihat di berita-berita. Tindakan penyimpangan seperti ini biasanya di

dorong atau di motivasi oleh dorongan pemenuhan kebutuhan hidup yang

relatif sulit di penuhi.

3
Kartini Kartono, Op. Cit. hlm. 241.
4
Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau
Dari Hukum Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010, hlm. 15.
3

Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) melarang mereka yang

mempunyai profesi sebagai penyedia sarana dan mereka yang mempunyai

profesi sebagai penyedia sarana dan mereka yang mempunyai profesi sebagai

pekerja seks komersial (PSK) serta mucikari atau pelindung PSK (Pasal 296

KUHP). Mereka yang menjual perempuan dan laki-laki dibawah umur untuk

dijadikan pelacur (Pasal 297 KUHP). Barang siapa menarik keuntungan dari

perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur,

diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun (Pasal 506).

Perbuatan mengenai praktik prostitusi diatur oleh pasal 4 ayat 2 huruf d

Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Dan Pornoaksi yang

menyatakan

“Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang

menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung

layanan seksual”.

Kejahatan praktik prostitusi yang dilakukan melalui media elektronik

internet juga di atur oleh pasal 27 angka 1 Undang-undang No. 11 Tahun

2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa

“Setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak mendistribusikan


dan/atau mentransmiskan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 satu milliar rupiah”.
Untuk itulah perlu dilakukan tinjauan terhadap kejahatan prostitusi

melalui media elektronik komunikasi, agar kemudian dapat ditemukan solusi

efektif dalam meminimalisir, menanggulangi dan memberantas tindakan-


4

tindakan negatif atas kejahatan prostitusi. Agar terciptanya kehidupan yang

sebagaimana mestinya, dengan dijamin keamanan, merasa tentram, damai dan

sehat. Dapat menjalankan pekerjaan halal yang memberikan keuntungan bagi

diri sendiri dan orang lain tanpa menimbulkan efek negatif (tidak merugikan

orang lain). Memiliki kualitas pendidikan yang tinggi sehingga dapat

dianggap oleh orang lain, bangsa dan dunia. Masyarakat yang berkepribadian

baik dan berakhlak mulia serta mampu mengharumkan nama baik keluarga,

bangsa dan negara.

Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengkategorikan sebuah substansi sebagai

pornografi berdasarkan adanya pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan

tidak menjabarkannya ke dalam kategori yang lebih rinci. Norma kesusilaan

merupakan aturan yang menjadi acuan penentuan baik buruknya suatu

perbuatan. Norma tersebut berasal dari manusia sendiri, sehingga tidak

terbatas pada sikap lahir namun juga sikap batin manusia, yang kemudian

hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Di dalam pasal 1 angka 1 UU

No. 44 Tahun 2008, suatu perbuatan atau obyek dapat dipandang sebagai

suatu perbuatan pornografi jika melanggar satu ukuran standar, norma

kesusilaan. Norma kesusilaan ini ternyata menjadi batu uji bagi perbuatan

atau segala bentuk obyek yang dianggap memiliki unsur pornografi. Hanya

saja permasalahannya, UU No. 44 Tahun 2008 tidak menjelaskan dengan

jelas dan tegas apakah yang disebut norma kesusilaan itu sendiri dan

bagaimana menentukan ada atau tidaknya perbuatan pornografi terkait

dengan penerapan norma kesusilaan itu sendiri. Pemahaman akan norma

kesusilaan ini begitu penting dan mendesak bagi siapa pun juga mengingat
5

akhir-akhir ini suatu batasan perbuatan itu melanggar norma kesusilaan atau

tidak bagi satu orang dengan orang lain ternyata tidak sama. Pembahasan

akan norma kesusilaan ini harus dilakukan secara komprehensif melalui

pendekatan filosofis-teoritis dengan tidak melupakan sisi histories yaitu

konteks dimana masyarakat itu berada. Pemahaman akan norma kesusilaan

secara tepat akan memberikan satu dasar legalitas yang pasti tentang sejauh

mana norma kesusilaan itu mengatur.5

Jika dianalisa, maka aturan dalam KUHP hanya dapat digunakan

untuk menjerat penyedia tempat untuk pelacuran sedangkan ketentuan yang

dapat digunakan untuk menjerat pelaku (PSK atau pemakai jasa PSK).

Namun demikian, ada yang perlu dicermati di sini bahwa arti prostitusi

adalah pemanfaatan seseorang dalam aktifitas seks untuk suatu imbalan. Dari

uraian itu, maka prostitusi baik yang berbasis online maupun tidak,

bertentang dengan pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP. Jika dilihat tindakan

para mucikari dan mengacu kepada pandangan Wirjono Prodjodikoro, dalam

bukunya yang berjudul “Tindak Pidana Tertentu di Indonesia”, maka

perdagangan perempuan harus diartikan sebagai semua perbuatan yang

langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam keadaan

tergantung dari kemauan orang lain, yang ingin menguasai perempuan itu

untuk disuruh melakukan perbuatan-perbuatan cabul atau prostitusi dengan

orang ketiga.

5
https://www.researchgate.net/publication/
292610641_Norma_Kesusilaan_sebagai_Batasan_Pornografi_menurut_UU_No_44_Tahun_2008 ,
diakes tanggal 6 Juli 2022
6

Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa melakukan perbuatan-

perbuatan cabul atau prostitusi dan memudahkan perbuatan tersebut terjadi

sangat bertentangan dengan pasal-pasal dalam KUHP. Kenyataan ini semakin

menjadi lebih kuat lagi apabila dilihat dari penempatan pasal-pasal tersebut

pada buku ke dua KUHP tentang Kejahatan yang menegaskan maksimal

sanksi pidananya.6

Sebuah kasus seperti prostitusi melalui media elektronik merupakan

suatu permasalahan dalam sosiologis masyarakat yang bertentangan dengan

Pancasila yang sangat menjunjung tinggi norma serta nilai adat istiadat. Maka

jika perbuatan prostitusi itu menjalar dan merugikan masyarakat dalam hal ini

negara baik secara materil atas perbuatan itu memberikan sanksi hukum,

tetapi pengaturan hukum terhadap pelaku prostitusi melalui media elektronik

tidak jelas.7

Dalam hal ini masyarakat dituntut untuk lebih menghormati norma

dan nilai yang terdapat di kehidupan masyarakat karena masalah prostitusi

melalui media elektronik ini dapat menghancurkan masa depan bangsa seperti

adanya kasus yang ditemukan dengan pelaku penyedia jasa prostitusi melalui

media elektronik yang masih remaja dan kurang tegasnya peraturan

perundang-undangan yang dipergunakan untuk menjerat pelaku penyedia jasa

prostitusi melalui media elektronik.

Dalam konstitusi, Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara

hukum, Indonesia wajib melindungi setiap warga negaranya dari setiap

6
Oksidelfa Yanto, “Prostitusi Sebagai Kejahatan Terhadap Eksploitasi Anak Yang
Bersifat Ilegal Dan Melawan Hak Asasi Manusia”, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang,
2015, hlm. 14 https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/420/300
7
Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, 2007, hlm. 3.
7

perbuatan yang dapat merugikan apalagi perbuatan tersebut dapat merusak

tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya kejahatan yang

terjadi di media internet atau biasa disebut dengan cybercrime.8

Mengenai penyidikan dalam KUHAP, pengertian penyidikan adalah

sebagai rangkaian tindakan penyidik menurut dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti yang

dengannya alat bukti itu menerangkan tentang tindak pidana yang terjadi dan

dalam perintah untuk menemukan tersangka. Sebagaimana telah dijelaskan

dalam pembahasan ketentuan umum, Pasal 1 angka 1 dan 2 merumuskan

pengertian penyidikan yang menyatakan bahwa penyidik adalah polisi atau

pegawai negeri “tertentu” yang diberi wewenang khusus oleh undang-

undang.9

Mengenai pengaturan tentang penyidikan perkara pidana informasi

Pasal 42 Undang-Undang ITE memberikan penegasan bahwa tata cara

penyidikan yang berlaku dalam Undang-Undang ITE adalah penyidikan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981, selanjutnya disebut KUHAP) ditambah

dengan ketentuan lain yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ITE.

Pengaturan ini pada dasarnya menunjukkan bahwa KUHAP masih menjadi

dasar penanganan perkara pidana informasi dan transaksi elektronik

sepanjang tidak merumuskan adanya pengaturan khusus. Berdasarkan hal

8
Dheny Wahyudi, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Cyber Crime Di
Indonesia,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol 4 No. 1, 2013, hlm. 99,
https://media.neliti.com/media/publications/43295-ID-perlindungan-hukum-terhadap-korban-
kejahatan-cyber-crime-di-indonesia.pdf
9
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyelidikan
dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 109.
8

tersebut maka penyidikan tetap didasarkan pada Pasal 1 angka 2 KUHAP

yang menyatakan bahwa, "Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya".

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik yang menegaskan kembali ketentuan keberadaan Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5,

menambah ketentuan kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan

Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara intersepsi ke

dalam undang-undang, menambah peran Pemerintah dalam melakukan

pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dalam Pasal 40,

mengubah beberapa ketentuan mengenai penyidikan yang terkait dengan

dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi

Elektronik dalam Pasal 43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat

(3), dan ayat (4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil

yang diatur di Indonesia.

Penyidik sebagaimana kewajibannya mempunyai wewenang dalam

Pasal 7 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya


tindak pidana,
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
9

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda


pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Penegak hukum yang bertugas dalam tahap penyidikan ini terdiri dari

pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu

yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan

penyidikan. Terkait dengan penyidik dalam perkara pidana informasi dan

transaksi elektronik ini Pasal 43 angka 1 Undang-Undang ITE memberikan

penegasan bahwa pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang dimaksudkan

adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu dilingkungan

Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik yang diberi wewenang melakukan

penyidikan. PPNS Pemerintah di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi

Elektronik yang berwenang melakukan penyidikan dalam hal perbuatan

pidana informasi dan transaksi elektronik berada pada kewenangan

Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan Unit Kerja Inspektorat

Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika.10

Setelah penulis melakukan penelitian di Polda Jambi terdapat proses

penyidikan khususnya tindak pidana prostitusi melalui media elektronik,

ternyata ada kendala dalam proses penyidikan. Hal ini dapat dibuktikan dalam
10
Ibid, hlm. 120.
10

2 (dua) tahun belakangan ini saja, tindak pidana prostitusi melalui media

elektronik yang masuk ke Polda Jambi adalah sebagaimana terlihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel
Pengungkapan Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media
Elektronik di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Kota Jambi Tahun
2021-2022
Tahun Jumlah Kasus Penyelesaian Kasus

2021 2 1

2022 3 2

Jumlah 5 3

Sumber: Kepolisan Negara Republik Indonesia Daerah Kota Jambi (Polda


Jambi)
Berdasarkan dari tabel di atas kasus tindak pidana prostitusi melalui

media elektronik pada tahun 2021 terdapat 2 (dua) kasus dan terdapat 1 (satu)

kasus terselesaikan serta 1 (satu) kasus tidak terselesaikan, kemudian pada

tahun 2022 terdapat 3 (tiga) kasus dan yang terselesaikan hanya 2 (kasus)

serta 1 (satu) kasus tidak terselesaikan.

Kasus tindak pidana prostitusi melalui media elektronik bahwa

terdapat kendala di proses penyidikan, salah satu kendalanya ialah kurangnya

Alat atau teknologi yang memadai. Dari tahun 2021 sampai 2022 terdapat

Jumlah Tindak Pidana 5 (lima) kasus tetapi penyidik di dalam melakukan

penyidikannya yang bisa dilanjutkan proses selanjutnya hanya 3 (tiga) kasus

terselesaikan, disini penulis tertarik melakukan penelitian karena kendala apa

yang dihadapi penyidik dalam proses penyidikannya.


11

Dalam sebuah kasus tindak pidana prostitusi perlu adanya penyidikan

ketika tindak pidana tersebut terjadi, dalam melakukan proses penyidikan

jangka waktu penahanan sangat penting karena dapat membuat tersangka

bebas dari hukum yang dijelaskan pada Pasal 109 Ayat (2) KUHAP.

Penyidikan merupakan peran penting dalam mengumpulkan alat bukti yang

terjadi untuk menemukan tersangkanya. Apabila hasil penyidikan tidak cukup

ditemukan sekurang kurangnya dua alat bukti yang ditentukan undang-

undang maka kesalahan didakwakan kepada tersangka dibebaskan dari

hukuman. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan

alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan

bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena pertimbangan

bahwa hukum dapat memberikan pidana kepada seseorang, maka hukum

harus digunakan secara berhati-hati, cermat, menilai dan mempertimbangkan

nilai pembuktian.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, penulis tertarik

untuk mengangkat masalah ini dengan menuangkan ke dalam bentuk

penulisan dengan mengambil judul “Penyidikan Tindak Pidana Prostitusi

Melalui Media Elektronik”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang

permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang

akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana proses penyidikan tindak pidana prostitusi melalui media

elektronik?
12

2. Apa kendala yang dihadapi dalam proses penyidikan tindak pidana

prostitusi melalui media elektronik?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Berlandaskan perumusan masalah di atas, tujuan penilitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses penyidikan tindak pidana prostitusi melalui

media elektronik di Wilayah Hukum Polda Jambi.

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam proses penyidikan

tindak pidana prostitusi melalui media elektronik.

b. Manfaat Penelitian

Sedangkan dari tujuan penelitian diharapkan dapat memberikan

manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat menambah wawasan

dan ilmu pengetahuan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya

dan pada khususnya di bidang hukum pidana mengenai proses

penyidikan tindak pidana prostitusi melalui media elektronik. Selain itu

penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi atau bahan

pustaka menyangkut hal tersebut.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis diharapkan penelitian ini membantu mengembangkan

penalaran dan pengetahuan penulis menjadi bentuk sumbangan

pemikiran penulis di bidang hukum bagi para ahli, praktisi hukum dan

masyarakat dalam rangka pengembangan dan penerapan hukum pidana.


13

D. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari adanya salah penafsiran terhadap para pembaca,

harus diketahui terlebih dahulu pengertian dari judul tersebut terutama kata-

kata yang masih kabur pengertiannya untuk mengetahui kata yang ada dalam

judul tersebut maka penulis menjelaskan beberapa konsepsi yang berkaitan

dengan penulisan ini yaitu sebagai berikut :

1. Penyidikan

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana memberi defenisi penyidikan adalah

"Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya."

Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de Pinto,

menyidik (opsporing) berarti "pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat

yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan

jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi

sesuatu pelanggaran hukum."11

2. Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana atau yang biasa dikenal sebagai

"strafbaarfeit" yang artinya suatu kenyataan yang dapat di hukum, yang


11
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2016, hlm. 120.
14

sudah barang tentu tidak tepat, karena kelak akan kita ketahui bahwa yang

dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan

kenyataan, perbuatan atau tindakan.12

3. Prostitusi

Prostitusi (pelacuran) secara umum adalah praktik hubungan seksual

sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja. untuk imbalan berupa

uang. Tiga unsur utama dalam praktik pelacuran adalah pembayaran,

promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional.13 Pelacuran atau prostitusi adalah

penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks, untuk uang.

Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut

dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Di Indonesia pelacur sebagai

pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan

bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi

musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak

ketertiban, mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama

dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan

melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini

terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa.

Resiko yang dipaparkan pelacuran antara lain adalah keresahan masyarakat

dan penyebaran penyakit menularseksual, seperti AIDS yang merupakan

resiko umum seks bebas tanpa pengaman seperti kondom.14

12
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013, hlm. 181.
13
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010,
hlm. 159.
14
https://id.wikipedia.org/wiki/Pelacuran , diakses tanggal 16 Februari 2022.
15

Menurut Purnomo dan Siregar: Prostitusi, pelacuran atau persundalan

adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada banyak lelaki dengan

imbalan pembayaran guna disetubuhi dan pemuas nafsu seks si pembayar,

yang ia lakukan diluar pernikahan.15

4. Melalui

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti

kata melalui adalah melewati. Arti lainnya dari melalui adalah menempuh

(jalan, ujian, percobaan, dan sebagainya).16

5. Media Elektronik

Media elektronik terdiri dari dua kata yaitu “media” dan “elektronik”

yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, media berarti sarana atau alat

berupa sarana komunikasi bagi masyarakat berupa koran, majalah, televisi,

siaran radio, telepon, internet dan sebagainya yang terletak diantara kedua

pihak sebagai perantara dan penghubung.17

Media elektronik berkembang seiring perkembangan dan teknologi

dan informasi Penyebarluasan informasi melalui media elektronik telah

mengalami perkembangan, hal tersebut didukung pula dengan perangkat dan

media elektronik itu sendiri dengan munculnya radio, televisi dan internet.

Perkembangan teknologi yang menghasilkan berbagai macam media

elektronik yang semakin tinggi dan memberikan kemudahan bagi masyarakat

15
Bagong Suyanto, Op. Cit, hlm. 159-160.
16
https://kbbi.lektur.id/melalui#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa
%20Indonesia,%2C%20percobaan%2C%20dan%20sebagainya) , diakses tanggal 16 Februari
2022
17
Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Agung media Mulia, 2009, hlm. 400.
16

untuk mendapatkan informasi. Perkembangannya melalu media online

internet.18

Dari pengertian konsep-konsep tersebut diatas maka dapat

disimpulkan bahwa penyidikan pengungkapan kasus tindak pidana prostitusi

melalui media elektronik di wilayah hukum polda jambi.

E. Landasan Teoretis

Penyidikan dalam Pasal 1 angka 2 kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.19

Tindakan penyidikan merupakan cara untuk mengumpulkan bukti-bukti awal

untuk mencari tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dan saksi-

saksi yang mengetahui tentang tindak pidana tersebut.

Jika dalam tindakan Penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan

mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga

sebagai tindak pidana, maka pada tindakan Penyidikan titik beratnya

diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak

pidana yan ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat ditemukan

pelakunya.

1. Teori Pembuktian

18
http://elib.unikom.ac.id/ruang-lingkup-dan-penyelenggaraan-pers-di-indonesia, diakses
tanggal 16 Februari 2022.
19
Mukhlis R, “Pergeseran Kedudukan dan Tugas Penyidik POLRI dengan Perkembangan
Delik-Delik di Luar KUHP”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 3 No. 1, 2019, hlm. 57,
https://jih.ejournal.unri.ac.id/index.php/JIH/article/view/1040/1033
17

Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di

sidang pengadilan, karena melalui proses pembuktian dapat ditentukan nasib

terdakwa apakah kesalahan terdakwa patut dihukum atau sebaliknya. Salah

satu cara membuktikan terdakwa bersalah atau tidak bersalah yakni dengan

menghadirkan saksi, dan keterangan yang diberikan saksi merupakan salah

satu alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.20

Sebelum disahkannya Undang-Undang tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, salah satu hal yang menjadi kendala dalam penanganan

praktik tindak pidana dunia maya ini adalah bahwa bukti-bukti berupa

software, data elektronik, atau data dalam bentuk elektronis (elektronik

evidence) lainnya yang belum dapat diterima sebagai alat bukti dalam hukum

Indonesia.

Sementara berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa

hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, maka hakim wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan

yang hidup dalam masyarakat, dalam hal ini menyangkut hal-hal yang

berkaitan dengan eksistensi alat bukti elektronik dalam menangani praktik

tindak pidana dunia maya terhadap transaksi elektronik. Sehingga jelas bahwa

alat bukti elektronik harus diakui keberadaannya dan kekuatan hukumnya.

Pengaturan mengenai eksistensi dan kekuatan hukum alat bukti elektronik

20
Haryadi, Dessy Rakhmawati, Nadia Febriani, “Penanganan Saksi Mahkota (Kroo
ngetuige) dalam Pembuktian di Persidangan Terhadap Tindak Pidana Narkotika,” PAMPAS:
Journal Of Criminal, Vol 1 No. 2, 2020, hlm. 46,
https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9614/6398
18

harus dituangkan dalam peraturan yang setingkat dengan undang-undang.

Dalam hal ini adalah Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, tentu saja dengan harapan peraturan ini dapat memberikan

kepastian hukum bagi masyarakat.21

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam

perkara perdata. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana)

adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati

atau yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam perkara perdata

(hukum acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran formil,

artinya hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para

pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari kebenaran formal cukup

membuktikan dengan "preponderance of evidence", sedangkan hakim pidana

dalam mencari kebenaran materiil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond

reasonable doubt).22

Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa pembuktian adalah usaha dari

yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-

hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat

dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti

perkara tersebut. Sedangkan menurut Darwan, bahwa pembuktian adalah

pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah

21
Sahuri Lasmadi, “Pengaturan Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Dunia Maya”, Journal
Fakultas Hukum, 2014, hlm. 2, https://www.neliti.com/publications/43274/pengaturan-alat-bukti-
dalam-tindak-pidana-dunia-maya
22
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Rangkang Education, Yogyakarta
2013, hlm. 241.
19

yang bersalah melakaukannya, sehingga harus mempertanggungjawab

kannya.23

Perbuatan melawan hukum di dunia maya (cyber crime) merupakan

fenomena yang sangat mengkhawatirkan, mengingat tindakan carding,

hacking, penipuan, terorisme, dan penyebaran informasi destruktif telah

menjadi bagian dari aktivitas pelaku kejahatan di dunia maya.24

2. Teori Penegakan Hukum

Menurut Wayne LaFavre yang dikutip dari buku Soerjono Soekanto

yang berjudul factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, bahwa

penegakan hukum sebagai suatu proses merupakan “penerapan diskresi yang

menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah

hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi atau diskresi yang

berada diantara hukum dan moral”.25 Gangguan terhadap penegakan hukum

mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai-nilai yang

berpasangan, menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan

pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Wayne

LaFavre, sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)


b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum,
c. Faktor saran atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum,
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan,
23
Ibid, hlm. 247.
24
Kabib Nawawi, Sahuri Lasmadi, Ardi Saputra Gulo, “Cyber Crime Dalam Bentuk Phising
Berdasarkan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik”, PAMPAS: Journal Of
Criminal, Vol 1 No. 2, 2020, hlm. 70, https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9574
25
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mmpengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, 1983, hlm. 4.
20

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan, oleh karena merupakan esensi

dari penegakan hukum serta merupakan tolak ukur dari pada efektifitas

penegakan hukum.

Penegakan hukum di lapangan oleh Polri terdapat dua pilihan, yaitu

pilihan pertama, tindakan upaya paksa yang telah diatur secara rinci pasal

demi pasal sampai pelimpahan berkas perkara beserta tersangka dan barang

bukti kepada penuntut umum sesuai proses hukum dalam Undang-undang

Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pilihan kedua, adalah

tindakan atas dasar pertimbangan atau keyakinan yang ditekankan pada moral

pribadinya dan kewajiban daripada hukum dan sesuai dengan tujuan bukum.

Kadang-kadang tindakan tersebut bertentangan dengan prosedur yang telah

ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, tapi dilindungi oleh peraturan perundang-undangan lain yang

mengatur tugas dan wewenang Polri untuk mengadakan tindakan tersebut

dalam memelihara ketertiban masyarakat, bangsa dan negara Republik

Indonesia.

Menurut Goodhart, Penegakan Hukum (Law Enforcement) merupakan

penegakan sistem nilai (jiwa) yang ada di belakang norma secara menyeluruh.

Diskresi dalam penegakan hukum yang aktual akan berdampak negatif

apabila tidak dipantau dengan baik den dijadiken masukan dalam pembaruan

hukum (law reform). Ketentuan hukum tidak hanya merupakan perangkat


21

norma, tetapi merupakan instrumen keadilan yang sarat dengan nilai-nilai

hak-hak asasi manusia.

Di lain pihak, menurut Soerjono Soekanto. Secara konsepsional,

penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai

yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah

dan sikap lindak sebaga, rangkaian penjabaran milai tahap akhir, untik

menciptakan memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan

lebih lanjut sehingga akan tampak lebih konkrit.26

F. Metode Penelitian

Untuk mengetahui dan memahami secara terperinci metode penelitian

yang digunakan dalam penelitian skripsi ini, berikut penulis uraikan tentang

metode dalam penelitian skripsi ini :

1. Lokasi penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi penelitian di wilayah

hukum Polda Jambi.

2. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian

yang dilakukan terhadap fakta hukum yang ada dengan melakukan

penelitian secara langsung ke lapangan untuk mengetahui pelaksanaan dan

masalah-masalah yang timbul.27

26
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum, Jakarta, Makalah Pada
Seminar Hukum Nasional ke-IV, 1979.
27
Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 141.
22

Menurut Bahder Johan Nasution, pengertian empiris yaitu bahwa di

dalam mengadakan pendekatan dilakukan dengan melihat kenyataan yang

ada dalam praktik. Penelitian ini berarti mengetahui sejauh mana hukum

itu bekerja dalam masyarakat.28

3. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang akan diteliti maka spesifikasi

penelitian ini adalah deskriptif analitis yakni dengan menggambarkan dan

menguraikan secara detail fakta-fakta dalam tinjauan kejahatan prostitusi

melalui media elektronik di polda jambi.

Berdasarkan sifat dan tujuan penelitian, penulisan skripsi ini

menggunakan penelitian hukum deskriptif yaitu berupa pemaparan yang

bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap tentang keadaan hukum

yang berlaku atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.

4. Populasi dan sampel penelitian

a) Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau

subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari kesimpulannya.

Adapun populasi dalam penelitian ini yaitu aparat kepolisian selaku

penyidik.

b) Sampel
28
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2008, hlm. 126.
23

Adapun sampel dalam penelitian ini diambil dari jumlah popolasi

dengan menggunakan teknik penarikan sampel Proposive Sampel.

Sebagaimana dikatakan oleh Bahder Johan Nasution:

Proposive sample artinya memilih sampel berdasarkan penilaian


tertentu karena unsur-unsur atau unit-unit yang dipilih dianggap
mewakili populasi. Pemilihan terhadap unsur-unsur atau unit-unit
yang dijadikan sampel harus berdasarkan pada alasan yang logis
artinya dalam pengambilan sampel tersebut benar-benar
mencerminkan ciri-ciri populasi yang ditentukan. Ciri atau karakter
tersebut diperoleh berdasarkan pengetahuan atau informasi yang
telah dicermati sebelumnya. Ciri-ciri ini dapat berupa pengetahuan,
pengalaman, pekerjaan, dan atau jabatan yang sama.29

Berdasarkan pendapat diatas sampel dalam penelitian ini yaitu:

1) 2 (dua) orang penyidik Ditreskrimsus Polda Jambi

5. Teknik Pengumpulan data

Suatu penelitian membutuhkan data yang lengkap. Hal ini dimaksud

agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validitas dan

realibitas yang cukup tinggi. Teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini dengan teknik sebagai berikut:

a. Studi Lapangan

Pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke lapangan pada

obyek penelitian untuk mengadakan penelitian secara langsung. Hal ini

dimaksud untuk mendapatkan data yang valid dengan pengamatan

langsung dan wawancara. Dalam penelitian hukum ini penulis

menggunakan metode wawancara. Wawancara dilakukan terhadap

Penyidik Polda Jambi. Dalam pelaksanaan wawancara sebelumnya

29
Ibid, hlm. 159.
24

dibuat pedoman dan daftar pertanyaan lebih dahulu, sehingga hasil

wawancara relevan dengan masalah yang diteliti.

b. Studi Kepustakaan

Pengumpulan data dengan menghimpun informasi yang relevan,

teori-teori yang mendasar dengan masalah yang sedang diteliti yang

diperoleh dari buku buku ilmiah, laporan peneltian, peraturan-

peraturan.

6. Sumber Data

a. Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung melalui

penelitian di lapangan, berupa sejumlah informasi keterangan serta hal

yang berhubungan dengan obyek penelitian. Sumber data adalah tempat

ditemukan data. Sumber data primer adalah penulis akan melakukan

wawancara langsung dengan penyidik kepolisian.

b. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber bahan

kepustakaan yakni melalui literatur/buku-buku, dokumen-dokumen

serta peraturan-peraturan yang ada relevansinya dengan materi yang

dibahas.

c. Data Tersier merupakan sumber hukum yang memberikan penjelasan

terhadap sumber data primer dan data sekunder, yaitu berupa Kamus

Hukum ( Law Dictionary).

7. Analisis Data

Setelah data terkumpul secara lengkap, maka tahap selanjutnya adalah

analisis data. Seluruh data yang terkumpul diolah sedemikian rupa

sehingga tercapai suatu kesimpulan. Mengingat data yang ada sifatnya


25

beragam, maka teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis

data kualitatif. Analisis data kualitatif ini dapat dilakukan dengan

mengumpulkan data-data yang telah diperoleh, kemudian dihubungkan

dengan literatur-literatur yang ada atau teori yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti. Kemudian dicari pemecahannya dengan cara

menganalisa, yang pada akhirnya akan dicapai kesimpulan untuk

menentukan hasilnya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah merupakan uraian

tentang keterkaitan bab demi bab, yaitu :

BAB I Pendahuluan Pada bab ini isinya atas latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual,

landasan teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini

menjadi panduan untuk bab selanjutnya.

BAB II Tinjauan Pustaka Pada bab ini akan menguraikan tentang

pengertian kejahatan prostitusi melalui media elektronik. Bab ini merupakan

kerangka teori bagi bab selanjutnya.

Bab III Pembahasan Pada bab ini berisikan tentang pembahasan

proses penyidikan tindak pidana prostitusi melalui media elektronik di

Wilayah Hukum Polda Jambi, kendala dalam proses penyidikan tindak pidana

prostitusi melalui media elektronik di Wilayah Hukum Polda Jambi. Bab ini

merupakan jawaban atas permasalahan yang timbul dalam bab pendahuluan.

BAB IV Kesimpulan Pada bab ini menguraikan tentang kesimpulan

dari bab pembahasan dan sekaligus memberikan saran yang berkenaan


26

dengan permasalahan yang dihadapi dalam penulisan skripsi ini. Kesimpulan

menguraikan pokok-pokok pembahasan dari skripsi yang ditulis sekaligus

jawaban tentang permasalahan yang diajukan dalam proposal skripsi ini serta

kritik dan saran yang diperlukan berkitan dengan skripsi ini


27

Anda mungkin juga menyukai