PENDAHULUAN
seperti alat kelamin pada lawan jenis. Dalam buku Intruduction to Psychology
menyimpang merupakan salah satu bentuk sexual disorder atau sexual deviation.1
The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, juga dikenal sebagai
subkategori gangguan identitas seksual dan gender, yang ditandai dengan obsesi
terhadap praktik seksual yang tidak biasa atau dengan aktivitas seksual yang
dilakukan tanpa persetujuan pasangannya atau dengan tidak pantas (seperti anak-
anak atau hewan)2. Pada umumnya fantasi, dorongan, atau perilaku tersebut
1
Made Sisca Anggreni, I Ketut Rai Setia Budhi, Dan Sagung Putri M.E Purwani,
“Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Eksibisionisme Dalam Hukum Pidana
Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum : Kertha Wijaya, Vol. 05 No.1, 2016, hlm. 1-2.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/b0c1fd6835006be87868ce217c17bca8.pdf,
diakses pada 16 Oktober 2021 Pukul 16.15 WIB.
2
Encyclopedia Of Mental Disorders “Exhibitionisme Mental Disorder ” Diakses Dari
Http://Www.Minddisorders.Com/Del-Fi/Exhibitionism.Html, Diakses Pada 16 Oktober 2021
Pukul 16.48 WIB.
3
Gerald C. Davison, John M. Neale, Dan Ann M. Kring, “Psikologi Abnormal” Edisi Ke-
9, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2020, hlm. 621.
1
2
jarang juga pelakunya melakukan kontak fisik pada korban. Hal yang biasanya
ialah disaat pelaku melihat seorang korban yang dapat membangkitkan hasrat
tidak memperdulikan konsekuensi sosial dan hukum dari tindakan mereka. Dari
sebagaimana yang telah diatur secara lex generalis dalam KUHP Indonesia yakni:
dengan ketentuan pasal 289 KUHP dan pasal 290 KUHP yang menyatakan
bahwa:
perbuatan yang keji, yang berkaitan dengan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-
tetapi juga melakukan kontak fisik terhadap korban. Perbuatan tersebut juga dapat
6
R. Sugandhi, Kitab Undang Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya, Usaha
Nasional, Surabaya, 1980, hlm. 305.
7
Ibid, hlm. 306.
8
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991, hlm. 212.
4
dikatakan sebagai bentuk aksi pornografi sebagaimana yang telah diatur secara
Lex Specialis dalam Undang - Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
merupakan salah satu bentuk aksi pornografi karena memuat unsur kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma dan merupakan bentuk tindak pidana
“Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan
Undang - Undang pornografi secara garis besar juga telah menyatakan bahwa
seseorang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model dari perbuatan
persetujuannya.9
Sanksi pidana atas kejahatan eksibisionisme ini bisa dilihat pada Pasal 36
9
Yuni Kartika, Andi Najemi, Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual
(Catcalling) Dalam Perspektif Hukum Pidana, PAMPAS; Journal Of Criminal, Vol. 01, No. 02,
2020. hlm. 9. https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9114/6392, Diakses Pada 18
Oktober 2021, Pukul 15.00 WIB.
5
Dari peraturan – peraturan tersebut dapat kita pahami bahwa belum ada
payung hukum yang mengatur secara khu[sus terkait perbuatan aksi pornografi
jawaban atas perbuatannya akan berkaitan dengan pasal 44 KUHP Indonesia yang
menyatakan:
10
R. Sugandhi, Op. Cit., hlm.50.
6
eksibisionisme ini termasuk dalam kategori unsur pasal tersebut sehingga dapat
diperlukan dasar pertimbangan hakim dan bukti bukti yang kuat dalam
merupakan salah satu tindak pidana yang sering terjadi dan harus mendapatkan
perhatian serius dalam hukum pidana Indonesia. Terdapat beberapa kasus aksi
hakim, diantaranya adalah kasus yang dilakukan oleh Ahmad Darobi pada tahun
Tahun 2002 atau pasal 290 ke-2 KUHP atau pasal 281 ke-2 KUHP. Pada
dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Semarang, namun jaksa tidak puas
865 / Pid.K / 2013, Tahun 2013 yang menayatakan Ahmad Darobi dilepaskan
Berikutnya kasus yang dilakukan oleh Otniel Kwolomine Alias Otis yang
oleh salah satu saksi untuk dijadikan alat bukti dan kemudian dilaporkan kepada
Pasal 10 Undang – Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi atau Pasal 281
KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP dan dinyatakan dipidana dengan Putusan
Dalam hukum Acara Pidana, penjatuhan putusan akhir atas suatu perkara
tindak pidana diserahkan kepada hakim dan hakim harus memberikan keadilan
kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum11. Begitu
juga dengan tindak pidana aksi pornografi yang dilakukan oleh pengidap penyakit
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat 12. Suatu
putusan hakim idealnya akan memberikan keadilan untuk semua pihak, serta
permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia dan menjadi bagian yang tidak
mempertimbangkan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa, dengan harapan
putusan yang dijatuhkan oleh hakim sesuai dan adil dengan kesalahan yang
dilakukannya. Dalam kasus tindak pidana aksi pornografi yang dilakukan oleh
Dari latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas, dapat dilihat
bahwa terdapat kekaburan norma terkait pengaturan tentang tindak pidana aksi
norma dalam pasal 44 KUHP terkait tentang hal-hal yang dapat digolongkan
Eksibisionisme”
13
Ibid, hlm. 53.
9
B. Rumusan Masalah
1. Tujuan Penelitian
2. Manfaat Penelitian
D. Kerangka Konseptual
memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut
umum. Dasar pertimbangan berasal dari dua suku kata, yakin dasar dan
timbang, kata “dasar” dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti pokok atau
pangkal. Kata “timbang” berarti tidak berat sebelah, sama berat, dan
b. Pornografi
yang dituangkan dalam gambar atau tulisan, yang dalam arti luas termasuk
benda benda atau patung, yang isi atau artinya menunjukkan atau
yang telah menjadi korban, baik sebagai korban murni maupun sebagai “pelaku
14
Diska Harsandini,”Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Menjatuhkan Sanksi Dalam
Perkara Kekerasan Terhadap Barang (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1217
K/PID/2014”, Verstek : Jurnal Hukum Acara, Vol.5 No. 2, Universitas Sebelas Maret, 2017, hlm.
240-250. https://jurnal.uns.ac.id/verstek/article/download/33496/22092 Diakses pada 18 Oktober
2021. Pukul. 16.15 WIB.
11
perbuatan pidana.15
tulisan tentang atau gambar tentang pelacur, kadang kala juga disingkat
menjadi "porn", "pron" atau "porno" adalah penggambaran tubuh manusia atau
c. Eksibisionisme
tidak sopan salah satu bagian tubuhnya.17 Eksibisionisme sendiri berasal dari
kelaminnya.
15
Neng Jubaedah, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Perspektif
Negara Hukum Berdasarkan Pancasila, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm.3
16
Dadin Eka Saputra, “Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pornografi Melalui Media
Sosial”, Jurnal Al’Adil, Vol. IX No. 2, Agustus 2017. hlm. 274, https://ojs.uniska-
bjm.ac.id/index.php/aldli/article/download/949/800. Diakses pada 18 Oktober 2021, Pukul 16.48
WIB.
17
Muhammad Rafly Raudiatu Zzahra, Eka Juarsa, “Akibat Hukum Perilaku
Eksibisionisme Ditinjau Dari Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi”, Porsiding
Ilmu Hukum, Vol. 07 No. 01, 2021, hlm. 539.
https://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/hukum/article/view/27034/pdf, Diakses pada 18
Oktober 2021, Pukul 17.13 WIB.
12
Dari kerangka konseptual diatas, maka yang akan penulis bahas dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim yang digunakan
E. Landasan Teoritis
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori tujuan
1) Teori Absolut Dasar atau Teori Pembalasan. Hakikat dari penjatuhan pidana
dari itu ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa
Christiansen adalah:
18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 153.
19
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 2010, hlm. 10.
13
arah, yaitu:
pembalasan);
2) Teori Relatif
Teori Relatif atau Teori Tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa
pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib
20
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 154.
21
Ibid, hlm. 157.
22
Ibid, hlm. 158.
14
Christiansen adalah:
3) Teori Gabungan
23
A.Z. Abidin, Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, PT.Yarsif Watampone, Jakarta,
2016, hlm. 41.
24
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 10.
25
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 162.
15
yaitu:
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik dan cermat. Apabila
pertimbangan hakim tidak dilakukan secara teliti, baik, dan cermat, sehingga
Tinggi/Mahkamah Agung.
26
Ibid.
16
1. Yuridis
Aspek ini merupakan aspek yang pertama dan utama dengan
berpatokan kepada Undang-Undang yang berlaku. Dalam hal ini
hakim haruslah memahami Undang-Undang dengan cara mencari
Undang-Undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang diadili.
Hakim harus menilai apakah Undang-Undang tersebut adil, ada
kemanfaatannya, atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan,
sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan
keadilan.
2. Filosofis
Aspek ini berdasarkan kepada kebenaran dan keadilan.
3. Sosiologis
Aspek ini berdasarkan kepada pertimbangan tata nilai budaya yang
hidup dalam masyarakat.28
27
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet.
2, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 96.
28
Ibid., hlm. 126.
17
menyesuaikan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak
pidana, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara. Sehingga dalam
penjatuhan putusan lebih ditentukan oleh instink atau instuisi dari pada
5. Teori Ratio Decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang
kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan
bangsanya.29
yang terlarang. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan
dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan yakni tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi
29
Ahmad Rifai, Op. Cit. hlm. 102.
30
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cita, Jakarta, 2008, Hal. 165
19
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
31
Ibid. hlm. 171-174.
32
Ibid. hlm. 177.
33
Admaja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Koorporasi Di Indonesia, Cv. Utomo, Bandung, 2004, hlm. 15.
34
Ibid. hlm. 178-179.
20
pengadilan, teori hukum, pendapat ahli, serta nilai-nilai hukum yang hidup
diteliti. Pada penelitian ini permasalahan atau isu hukum yang akan dibahas
belum diatur secara spesifik dan berkaitan dengan adanya alasan pemaaf yang
2. Pendekatan Penelitian
35
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2021, hlm. 133-135.
21
Dilihat dari kajian hukum yang diangkat dari penelitian ini, yaitu dasar
Undang Hukum Pidana dan Undang - Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang
PN.Skw dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 865 / Pid.K / 2013, serta
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat. Antara lain Kitab
bahan hukum primer antara lain berupa makalah, jurnal, pendapat pakar,
22
skripsi ini.
umum, kamus hukum, serta bahan-bahan di luar bidang yang relevan dan
skripsi ini.
sebagai berikut:
Seksual, Eksibisionisme.
G. Sistematik Penulisan
ada yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Untuk lebih terarah penulisan skripsi
23
ini. Maka penulis menyusunnya kedalam empat bab, tiap-tiap bab diperincikan
BAB III Pembahasan. Pada bab ini merupakan bab pembahasan sesuai
BAB IV Penutup. Bab ini merupakan penutup yang memuat kesimpulan dari
apa yang telah diuraikan penulis dalam bab sebelumnya dan juga