Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Eksibisionisme merupakan suatu penyakit kelainan jiwa yang ditandai

dengan adanya kecenderungan untuk memperlihatkan hal-hal yang tidak senonoh,

seperti alat kelamin pada lawan jenis. Dalam buku Intruduction to Psychology

karagan Morgan dan Clifford Thomas Eksibisionisme merupakan salah satu

penyakit dalam golongan parafilia. Paraphilia atau fantasi seksual yang

menyimpang merupakan salah satu bentuk sexual disorder atau sexual deviation.1

The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, juga dikenal sebagai

DSM-IV-TR, mengklasifikasikan eksibisionisme di bawah judul "parafilia,"

subkategori gangguan identitas seksual dan gender, yang ditandai dengan obsesi

terhadap praktik seksual yang tidak biasa atau dengan aktivitas seksual yang

dilakukan tanpa persetujuan pasangannya atau dengan tidak pantas (seperti anak-

anak atau hewan)2. Pada umumnya fantasi, dorongan, atau perilaku tersebut

berlangsung setidaknya selama 6 bulan dan menyebabkan distress atau perubahan

perilaku yang signifikan.3

Exhibitionism sexual atau eksibisionisme adalah sebuah istilah pencabulan

1
Made Sisca Anggreni, I Ketut Rai Setia Budhi, Dan Sagung Putri M.E Purwani,
“Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Eksibisionisme Dalam Hukum Pidana
Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum : Kertha Wijaya, Vol. 05 No.1, 2016, hlm. 1-2.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/b0c1fd6835006be87868ce217c17bca8.pdf,
diakses pada 16 Oktober 2021 Pukul 16.15 WIB.
2
Encyclopedia Of Mental Disorders “Exhibitionisme Mental Disorder ” Diakses Dari
Http://Www.Minddisorders.Com/Del-Fi/Exhibitionism.Html, Diakses Pada 16 Oktober 2021
Pukul 16.48 WIB.
3
Gerald C. Davison, John M. Neale, Dan Ann M. Kring, “Psikologi Abnormal” Edisi Ke-
9, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2020, hlm. 621.

1
2

dimana pelaku sengaja memamerkan alat kelamin pada anak4. Tidak

jarang juga pelakunya melakukan kontak fisik pada korban. Hal yang biasanya

mendorong seorang eksibisionisme untuk mendapatkan rangsangan seksualnya

ialah disaat pelaku melihat seorang korban yang dapat membangkitkan hasrat

seksualnya kemudian pelaku membayangkan dirinya memamerkan alat

kelaminnya atau benar-benar melakukannya atau membayangkan sedang

berhubungan seksual, yang kemudian pelaku dapat merasakan stimulasi seksual

pada dirinya. Dalam DSM-IV-TR disebutkan bahwa yang termasuk kedalam

kriteria eksibisionisme adalah:

a. Berulang, intens, dan terjadi selama periode miniml 6 bulan, fantasi


dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang
berkaitan dengan memamerkan alat kelamin kepada orang yang tidak
dikenal yang tidak menduganya.
b. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan doronggan tersebut,
atau dorongan dan fantasi tersebut meyebabkan orang tersebut
mengalami distress atau mengalami masalah interpersonal.5

Para pengidap eksibisionisme memiliki dorongan yang sangat kuat untuk

memenuhi hasratnya, sehingga pada saat melakukan tindakan tersebut mereka

tidak memperdulikan konsekuensi sosial dan hukum dari tindakan mereka. Dari

beberapa pendefenisian tentang eksibisionisme diatas, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa unsur dari eksibisionisme adalah “menunjukkan alat kelamin

pelaku kepada orang lain”, perbuatan amoral tersebut tentunya bertentangan

dengan norma kesusilaan dan hukum positif yang berlaku di masyarakat,

sebagaimana yang telah diatur secara lex generalis dalam KUHP Indonesia yakni:

1. Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Bab XIV, dan


4
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual, Mandar Maju,
Bandung: 2009, hlm. 264.
5
Gerald C. Davison, John M. Neale, Dan Ann M. Kring, Op.Cit., hlm. 627.
3

2. Buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Bab VI.

Perbutan yang dilakukan oleh pengidap eksibisionisme telah tidak sesuai

dengan ketentuan pasal 289 KUHP dan pasal 290 KUHP yang menyatakan

bahwa:

Pasal 289 KUHP:


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam
karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan,
dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun6

Pasal 290 KUHP:


Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum
lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan
belum waktunya untuk dikawin;
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum waktunya
untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.7

Perilaku eksibisionisme ini dapat dijerat pasal tersebut apabila telah

memenuhi unsur melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pengertian cabul ialah perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau

perbuatan yang keji, yang berkaitan dengan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-

ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.8

Artinya, perbuatan pelaku tidak hanya sebatas mempertontonkan alat kelaminnya,

tetapi juga melakukan kontak fisik terhadap korban. Perbuatan tersebut juga dapat

6
R. Sugandhi, Kitab Undang Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya, Usaha
Nasional, Surabaya, 1980, hlm. 305.
7
Ibid, hlm. 306.
8
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991, hlm. 212.
4

dikatakan sebagai bentuk aksi pornografi sebagaimana yang telah diatur secara

Lex Specialis dalam Undang - Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Dalam pasal 1 ayat 1 telah dikatakan bahwa:

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,


gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa eksibisionisme

merupakan salah satu bentuk aksi pornografi karena memuat unsur kecabulan atau

eksploitasi seksual yang melanggar norma dan merupakan bentuk tindak pidana

sebagaimana tercantum dalam pasal 10 Undang - Undang Pornografi bahwa:

“Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan

atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,

persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya”. Dan pada pasal 8

Undang - Undang pornografi secara garis besar juga telah menyatakan bahwa

seseorang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model dari perbuatan

si pelaku yang kemudian mengandung unsur pornografi walaupun atas

persetujuannya.9

Sanksi pidana atas kejahatan eksibisionisme ini bisa dilihat pada Pasal 36

UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Yang menyatakan:

Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam


pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,
eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana

9
Yuni Kartika, Andi Najemi, Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual
(Catcalling) Dalam Perspektif Hukum Pidana, PAMPAS; Journal Of Criminal, Vol. 01, No. 02,
2020. hlm. 9. https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9114/6392, Diakses Pada 18
Oktober 2021, Pukul 15.00 WIB.
5

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling


banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Eksibisionisme juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak mengenai pencabulan apabila yang mejadi korban adalah

anak- anak. hal dinyatakan dalam Pasal 82, yaitu:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman


kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Dari peraturan – peraturan tersebut dapat kita pahami bahwa belum ada

payung hukum yang mengatur secara khu[sus terkait perbuatan aksi pornografi

yang dilakukan oleh pengidap penyakit eksibisonisme. Dikarenakan perbuatan

oleh pengidap eksibisionisme merupakan suatu “kelainan” maka pertanggung

jawaban atas perbuatannya akan berkaitan dengan pasal 44 KUHP Indonesia yang

menyatakan:

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat


dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada
pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena
penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu
dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai
waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.10

10
R. Sugandhi, Op. Cit., hlm.50.
6

Dari frasa “jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena

penyakit” tersebut kemudian perlu ditafsirkan lagi apakah pengidap

eksibisionisme ini termasuk dalam kategori unsur pasal tersebut sehingga dapat

dijadikan sebagai dasar penghapus pidana atas perbuatannya. Sehingga

diperlukan dasar pertimbangan hakim dan bukti bukti yang kuat dalam

menentukan suatu putusan oleh pengadilan.

Aksi pornografi yang dilakukan oleh pengidap penyakit eksibisionisme

merupakan salah satu tindak pidana yang sering terjadi dan harus mendapatkan

perhatian serius dalam hukum pidana Indonesia. Terdapat beberapa kasus aksi

pornografi oleh pengidap eksibisionisme yang telah mendapat putusan oleh

hakim, diantaranya adalah kasus yang dilakukan oleh Ahmad Darobi pada tahun

2011, yang memperlihatkan dan memegangkan tangan korban ke alat kelaminnya

sambil digerakkan ke kanan da kekiri. Atas perbuatannya tersebut Darobi

dilaporkan ke polisi dan didakwa dengan pasal 82 Undang - Undang No. 23

Tahun 2002 atau pasal 290 ke-2 KUHP atau pasal 281 ke-2 KUHP. Pada

Pengadilan Negeri Kebumen Darobi dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan

dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Semarang, namun jaksa tidak puas

sehingga melakukan kasasi dan menghasilkan Putusan Mahkamah Agung Nomor

865 / Pid.K / 2013, Tahun 2013 yang menayatakan Ahmad Darobi dilepaskan

karena mengidap gangguan jiwa atau yang disebut Eksibisionisme.

Berikutnya kasus yang dilakukan oleh Otniel Kwolomine Alias Otis yang

meperlihatkan alat kelaminnya di tempat umum hingga merasakan stimulasi

seksual dan mengeluarkan cairan spermanya. Aksinya tersebut ternyata direkam


7

oleh salah satu saksi untuk dijadikan alat bukti dan kemudian dilaporkan kepada

pihak yang berwenang. Atas perbuatannya tersebut ia di dakwa dengan Pasal 36 jo

Pasal 10 Undang – Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi atau Pasal 281

KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP dan dinyatakan dipidana dengan Putusan

Pengadilan Negeri Singkawang Nomor 40/Pid.Sus/2021/ PN.Skw Tahun 2021

karena telah melakukan tindak pidana dengan sengaja mempertontonkan

eksploitasi seksual dan dijatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan.

Perbedaan putusan hakim dalam kasus kasus diatas merupakan contoh

adanya perbedaan penafsiran hakim dalam menentukan apakah seorang

eksibisionisme dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, karena tidak adanya

istilah eksibisionisme dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang

mengakibatkan diperlukannya penafsiran dalam memasukan unsur-unsur

eksibisionisme ke dalam pasal-pasal pada KUHP dan Undang-Undang lainnya

yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku eksibisionisme.

Dalam hukum Acara Pidana, penjatuhan putusan akhir atas suatu perkara

tindak pidana diserahkan kepada hakim dan hakim harus memberikan keadilan

kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum11. Begitu

juga dengan tindak pidana aksi pornografi yang dilakukan oleh pengidap penyakit

eksibisionisme, hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat 12. Suatu

putusan hakim idealnya akan memberikan keadilan untuk semua pihak, serta

memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum. Putusan tersebut ditetapkan


11
Mardani, Etika Profesi Hukum, Rajawali Pers, Depok, 2017, hlm. 117.
12
Bambang Waluyo, Viktimologi (Perlindungan Korban Dan Saksi), Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, hlm. 52.
8

berdasarkan hasil pertimbangan atau pendapat tertulis pada saat sidang

permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia dan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari putusan.13 Dalam pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No 48 tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa dalam

mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim juga wajib

mempertimbangkan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa, dengan harapan

putusan yang dijatuhkan oleh hakim sesuai dan adil dengan kesalahan yang

dilakukannya. Dalam kasus tindak pidana aksi pornografi yang dilakukan oleh

pengidap penyakit eksibisionisme ini tentunya amat diperlukan pertimbangan

hakim terkait dapat atau tidaknya perbuatan tersebut dimasukkan kedalam

kategori pasal 44 KUHP yakni sebagai alasan pemaaf.

Dari latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas, dapat dilihat

bahwa terdapat kekaburan norma terkait pengaturan tentang tindak pidana aksi

pornografi yang dilakukan oleh pengidap penyakit eksibisionisme dan kekaburan

norma dalam pasal 44 KUHP terkait tentang hal-hal yang dapat digolongkan

sebagai alasan pemaaf. Guna terciptanya persamaan keadilan dalam negara

hukum dan memperoleh kepercayaan masyarakat luas terhadap sistem

penyelenggara peradilan, alasan inilah yang mendasari penulis untuk melakukan

penelitian tentang “Dasar Pertimbangan Putusan Hakim Terhadap Tindak

Pidana Aksi Pornografi Yang Dilakukan Oleh Pengidap Penyakit

Eksibisionisme”

13
Ibid, hlm. 53.
9

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana aksi pornografi yang dilakukan

oleh pengidap penyakit eksibisionisme dalam hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

aksi pornografi yang dilakukan oleh oleh penginap penyakit eksibisionisme?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelituan ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui pengaturan terkait aksi pornografi yang dilakukan oleh

pengidap penyakit eksibisionisme.

b. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan

terhadap aksi pornografi yang dilakukan penginap penyakit eksibisionisme.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara praktis

maupun secara teoritis, yaitu:

a. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memperkaya

kajian perpustakaan dan menjadi tambahan wawasan kepada masyarakat,

akademisi dan pihak lain yang membutuhkan dalam menangani aksi

pornografi oleh pengidap eksibisionisme.

b. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk

memperkaya kajian perpustakaan mengenai hukum.


10

D. Kerangka Konseptual

Untuk memahami maksud judul proposal skripsi ini dan mempermudah

dalam membahas permasalahan sekaligus guna menghindari penafsiran yang

berbeda, maka penulis menjelaskan konsepsi yang berkaitan dengan judul

proposal skripsi ini sebagai berikut:

a. Dasar Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan suatu pembuktian unsur-unsur dari

suatu tindak pidana guna mengetahui apakah perbuatan terdakwa telah

memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut

umum. Dasar pertimbangan berasal dari dua suku kata, yakin dasar dan

timbang, kata “dasar” dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti pokok atau

pangkal. Kata “timbang” berarti tidak berat sebelah, sama berat, dan

pertimbangan artinya pendapat (baik atau buruk).14

b. Pornografi

Pornografi merupakan perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul,

yang dituangkan dalam gambar atau tulisan, yang dalam arti luas termasuk

benda benda atau patung, yang isi atau artinya menunjukkan atau

menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan

masyarakat. Pornografi dan pornoaksi adalah perbuatan yang berdampak

negatif terhadap perilaku generasi muda. Anak-anak dan perempuan banyak

yang telah menjadi korban, baik sebagai korban murni maupun sebagai “pelaku

14
Diska Harsandini,”Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Menjatuhkan Sanksi Dalam
Perkara Kekerasan Terhadap Barang (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1217
K/PID/2014”, Verstek : Jurnal Hukum Acara, Vol.5 No. 2, Universitas Sebelas Maret, 2017, hlm.
240-250. https://jurnal.uns.ac.id/verstek/article/download/33496/22092 Diakses pada 18 Oktober
2021. Pukul. 16.15 WIB.
11

sebagai korban”. Karena itu, pornografi dan pornoaksi dikategorikan sebagai

perbuatan pidana.15

Pornografi berasal dari Bahasa Yunani pornographia, secara harfiah

tulisan tentang atau gambar tentang pelacur, kadang kala juga disingkat

menjadi "porn", "pron" atau "porno" adalah penggambaran tubuh manusia atau

perilaku seksualitas manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan

membangkitkan berahi (gairah seksual).16 Selanjutnya Pasal 1 angka 1 Undang

Undang Pornografi menyebutkan bahwa

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,


gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

c. Eksibisionisme

Dalam kamus hukum Black’s Law Dictionary eksibisionisme diartikan

sebagai The Indecent Display Of One’s Body atau mempertontonkan secara

tidak sopan salah satu bagian tubuhnya.17 Eksibisionisme sendiri berasal dari

kata exhibition yang memiliki arti mununjukan atau memperlihatkan alat

kelaminnya.

15
Neng Jubaedah, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Perspektif
Negara Hukum Berdasarkan Pancasila, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm.3
16
Dadin Eka Saputra, “Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pornografi Melalui Media
Sosial”, Jurnal Al’Adil, Vol. IX No. 2, Agustus 2017. hlm. 274, https://ojs.uniska-
bjm.ac.id/index.php/aldli/article/download/949/800. Diakses pada 18 Oktober 2021, Pukul 16.48
WIB.
17
Muhammad Rafly Raudiatu Zzahra, Eka Juarsa, “Akibat Hukum Perilaku
Eksibisionisme Ditinjau Dari Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi”, Porsiding
Ilmu Hukum, Vol. 07 No. 01, 2021, hlm. 539.
https://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/hukum/article/view/27034/pdf, Diakses pada 18
Oktober 2021, Pukul 17.13 WIB.
12

Dari kerangka konseptual diatas, maka yang akan penulis bahas dalam

penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim yang digunakan

dalam menjatuhkan putusan atau pemidaan terhadap aksi pornografi yang

dilakukan oleh pengidap eksibisionisme.

E. Landasan Teoritis

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori tujuan

pemidanaan, teori pertimbangan hakim, dan teori pembuktian.

1. Teori Tujuan Pemidanaan

Teori Tujuan pemidanaan pada umumnya dapat dikelompokkan ke

dalam tiga golongan besar, yaitu:

1) Teori Absolut Dasar atau Teori Pembalasan. Hakikat dari penjatuhan pidana

pada seseorang yang melakukan kejahatan adalah pembalasan. Maka maka

dari itu ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa

kejahatan) yang dilakukannya.18

Ciri pokok atau karakteristik teori absolut ini menurut Karl O.

Christiansen adalah:

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;


b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak
mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk
kesejahteraan masyarakat;
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni
dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau
memasyarakatkan kembali si pelanggar.19

18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 153.
19
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 2010, hlm. 10.
13

Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua

arah, yaitu:

a. Ditujukan kepada pelaku atau penjahatnya (sudut subyektif dari

pembalasan);

b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan

masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan)20

2) Teori Relatif

Teori Relatif atau Teori Tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa

pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.

Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib

itu diperlukan pidana.21

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana

mempunyai tiga macam sifat, yaitu bersifat menakut-nakuti (afschrikking),

bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering), bersifat membinasakan

(onschadelijk maken).22 Kemudian dalam teori yang sama Andi Hamzah

Menjelaskan bahwa sidat pencegahan pidana dibagi menjadi pencegahan

umum dan pencegahan khusus.

a. Pencegahan umum dilakukan dengan menakuti orang-orang dengan


jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan. Pelaksanaan pidana
dengan cara ini diharapkan agar masyarakat lainnya tidak
melakukan perbuatan yang sama.
b. Pencegahan khusus dilakukan dengan cara memperbaiki yaitu
dengan menjatuhkan pidana akan mempengaruhi dan mendidik

20
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 154.
21
Ibid, hlm. 157.
22
Ibid, hlm. 158.
14

para pelaku tindak pidana sehingga tidak akan melakukan tindak


pidana lagi dan menjadi orang yang baik23

Adapun ciri pokok atau karakteristi teori relatif menurut Karl O.

Christiansen adalah:

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);


a. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat;
b. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang
memenuhi syaratuntuk adanya pidana;
c. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
d. Pidana melihat ke muka (bersifak prospektif), pidana dapat
mengandung unsur pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak
dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan
untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.24

3) Teori Gabungan

Teori gabungan merupakan kombinasi dari teori absolut dan teori

relatif yang menggabungkan asas pembalasan dan asas pertahanan tata

tertib masyarakat menjadi dasar dari penjatuhan pidana.25 Dengan kata

lain, Menurut teori ini pemidanaan merupakan pembalasan terhadap

dilanggarnya suatu norma, akan tetapi disamping itu juga bertujuan

untuk melakukan pembinaan bagi narapidana, agar dapat menjadi orang

yang berguna di masyarakat dan tidak mengulangi kejahatan di masa

yang akan datang.

23
A.Z. Abidin, Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, PT.Yarsif Watampone, Jakarta,
2016, hlm. 41.
24
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 10.
25
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 162.
15

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar,

yaitu:

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi


pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang
perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib
masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak
boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan
terpidana.26

2. Teori Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan unsur terpenting dalam menetapkan

suatu putusan agar mengandung keadilan, kepastian hukum, dan juga

mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga

pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik dan cermat. Apabila

pertimbangan hakim tidak dilakukan secara teliti, baik, dan cermat, sehingga

menimbulkan rasa ketidakadilan maka atas putusan hakim tersebut dapat

diajukan banding/kasasi dan dapat dibatalkan oleh Pengadilan

Tinggi/Mahkamah Agung.

Hakim dalam memutus suatu perkara haruslah memahami tahapan atau

proses penjatuhan perkara pidana, menurut Moeljatno dalam Ahmad Rifai

tahapan itu dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu :

1. Tahap menganalisis perbuatan pidana


Pada tahap ini hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan
perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi
masyarakat. Ditinjau dari segi ini, tampak sebagai perbuatan yang
merugikan atau yang tidak patut dilakukan atau tidak.
2. Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana

26
Ibid.
16

Pada tahap ini, jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan


perbuatan tindak pidana melanggar pasal tertentu, hakim melakukan
analisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas
perbuatan pidana yang dilakukannya. Dapat dipidananya seseorang
harus memenuhi dua syarat, pertama yaitu perbuatan yang bersifat
melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan yang kedua
perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai
suatu kesalahan (asas geen straf zonder schuld).
3. Tahap Penentuan Pemidanaan. Pada tahapan ini hakim menjatuhkan
pidana apabila unsur-unsur telah terpenuhi dengan melihat Pasal
Undang-Undang yang dilanggar oleh Pelaku.27

Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menentukan bahwa putusan

hakim haruslah mempertimbangkan segala aspek selain tahapan atau proses

penjatuhan putusan, aspek tersebut yaitu:

1. Yuridis
Aspek ini merupakan aspek yang pertama dan utama dengan
berpatokan kepada Undang-Undang yang berlaku. Dalam hal ini
hakim haruslah memahami Undang-Undang dengan cara mencari
Undang-Undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang diadili.
Hakim harus menilai apakah Undang-Undang tersebut adil, ada
kemanfaatannya, atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan,
sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan
keadilan.
2. Filosofis
Aspek ini berdasarkan kepada kebenaran dan keadilan.
3. Sosiologis
Aspek ini berdasarkan kepada pertimbangan tata nilai budaya yang
hidup dalam masyarakat.28

Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat di

pergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam

suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

27
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cet.
2, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 96.
28
Ibid., hlm. 126.
17

1. Teori Keseimbangan. Yaitu keseimbangan antara syarat-syarat yang

ditentukan oleh Undang Undang dan kepentingan pihak-pihak yang

tersangkut atau berkaitan dengan perkara.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi. Penjatuhan putusan oleh hakim

merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Hakim akan

menyesuaikan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak

pidana, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara. Sehingga dalam

penjatuhan putusan lebih ditentukan oleh instink atau instuisi dari pada

pengetahuan dari Hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuan. Dalam teori pendekatan keilmuan intinya

adalah bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik

dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-

putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.

4. Teori Pendekatan Pengalaman. Dalam teori ini apabila perkara yang

diselesaikan mempunyai kesamaan atau kemiripan unsur maka hakim dapat

menjatuhkan suatu putusan menggunakan pengalamannya. Pengalaman dari

seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi

perkara-perkara yang di hadapinya sehari-hari.

5. Teori Ratio Decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang

mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan

pokok perkara yang di sengketakan kemudian mencari peraturan perundang-

undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai

dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus


18

didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan

memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6. Teori Kebijaksanaan. Aspek dari teori ini adalah menekankan bahwa

pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab

untuk membimbing, mendidik, membina dan melindungi terdakwa, agar

kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan

bangsanya.29

3. Teori Pertanggungjawaban Pidana.

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan hukuman terhadap

pembuat atas perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan

yang terlarang. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan

dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan yakni tidak dipidana

jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi

mens sir rea)30.

Simons berpendapat bahwa terdapat dua unsur untuk menentukan

adanya kesalahan yakni:.

1. Adanya keadaan psikis (batin) tertentu, keadaan batin orang yang


melakukan suatu perbuatan merupakan dasar yang penting untuk
menetukan adanya kesalahan, karena hal tersebut berkaitan dengan
kemampuan bertanggung jawab. Apabila keadaan jiwanya tidak
normal, maka akan sulit baginya untuk menerima dan menerapkan
norma – norma yang berlaku di masyarakat. Maka bagi mereka tidak
dapat dipertanggungjawabkan, hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 44 KUHP : “Barang siapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkankarena
jiwanya cacat dalam tumbuhnya, atau terganggu karena penyakit,
tidak dipidana”.

29
Ahmad Rifai, Op. Cit. hlm. 102.
30
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cita, Jakarta, 2008, Hal. 165
19

2. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tertentu dengan


perbuatan yang dilakukannya, hingga menimbulkan celaan. Untuk
adanya kesalahan, hubugan antara keadaan batin dengan
perbuatannya harus berupa kesengajaan dan kealpaan.31

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk membuktikan adanya

kesalahan harus memenuhi unsur: (1) Melakukan perbuatan pidana, (2)

Mampu bertanggung jawab, (3) Mempunyai kesalahan yang berupa

kesengajaan atau kealpaan, dan (4) Tidak adanya alasan pemaaf.32

Van Hamel mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah suatu

keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam

kemampuan untuk: (a) Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri;

(b)Menyadari bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh

masyarakat, dan (c) Menentukan kemampuan terhadap perbuatan.33

Menurut pendapat Simons, untuk dapat dikatakan mampu bertanggung

jawab, maka harus memenuhi unsur:

a. Mampu untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan


yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
b. Mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang
perbuatan baik dan buruk.”34

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan

menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif, dengan menganalisis

31
Ibid. hlm. 171-174.
32
Ibid. hlm. 177.
33
Admaja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Koorporasi Di Indonesia, Cv. Utomo, Bandung, 2004, hlm. 15.
34
Ibid. hlm. 178-179.
20

permasalahan melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-

norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, keputusan

pengadilan, teori hukum, pendapat ahli, serta nilai-nilai hukum yang hidup

dalam masyarakat dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti. Pada penelitian ini permasalahan atau isu hukum yang akan dibahas

adalah adanya kekaburan norma dalam pemidanaan terhadap pelaku aksi

pornografi oleh pengidap penyakit eksibisionisme. Dimana perbuatan tersebut

belum diatur secara spesifik dan berkaitan dengan adanya alasan pemaaf yang

batasannya juga belum diatur secara tegas dalam undang-undang.

2. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang dapat

digunakan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu

yang sedang dibahas. Peter Mahmud Marzuki menyatakan ada 5 (lima)

pendekatan dalam penelitian hukum, yaitu:

a. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach) Dilakukan dengan


menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach) Dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan yang tetap.
c. Pendekatan Historis (Historical Approach) Dilakukan dengan
menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan
pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
d. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach) Dilakukan dengan
membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang
dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama.
e. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum.”35

35
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2021, hlm. 133-135.
21

Dilihat dari kajian hukum yang diangkat dari penelitian ini, yaitu dasar

pertimbangan putusan hakim terhadap tindak pidana aksi pornografi yang

dilakukan oleh pengidap penyakit eksibisionisme , maka pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dengan

melakukan kajian terhadap perumusan sanksi pidana dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana dan Undang - Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang

Pornografi. Untuk lebih mendalami permasalahan yang diteliti, dalam

penelitian ini juga digunakan Pendekatan Kasus (Case Approach) dengan

menelaah kasus aksi pornografi oleh pengidap eksibisionime sebagaimana

dalam putusan Pengadilan Negeri Singkawang Nomor 40/Pid.Sus/2021/

PN.Skw dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 865 / Pid.K / 2013, serta

menggunakan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) dengan

menggunakan pandangan atau doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Adapun sumber hukum Adapun sumber bahan hukum yang digunakan

oleh penulis dalam menyusun proposal skripsi ini adalah:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat. Antara lain Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang – Undang No. 44 Tahun

2008 Tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang

bahan hukum primer antara lain berupa makalah, jurnal, pendapat pakar,
22

artikel maupun tulisan pakar hukum yang berkaitan dengan penulisan

skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus

umum, kamus hukum, serta bahan-bahan di luar bidang yang relevan dan

dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan

skripsi ini.

4. Analisis Bahan Hukum

Dalam melakukan analisis bahan hukum diterapkan teknik-teknik

sebagai berikut:

a. Teknik inventarisir berupa pengumpulan bahan-bahan hukum, norma

hukum dengan melihat isi dari berbagai macam peraturan perundang-

undangan terkait dengan Tindak pidana aksi pornografi, Penyimpangan

Seksual, Eksibisionisme.

b. Teknik sistematisasi yang merupakan upaya mencari hubungan suatu

norma hukum aturan peraturan perundang-undangan yang sederajat

maupun tidak sederajat.

c. Teknik interpretasi ditetapkan terhadap norma-norma hukum masih kabur,

selanjutnya ditafsirkan sehingga tidak menimbulkan kontroversi.

G. Sistematik Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini didasarkan pada sistematika penulisan

sederhana, yang bertujuan untuk memperjelas permasalahan-permasalahan yang

ada yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Untuk lebih terarah penulisan skripsi
23

ini. Maka penulis menyusunnya kedalam empat bab, tiap-tiap bab diperincikan

kebagian-bagian terkecil sesuai dengan keperluan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini menggambarkan permasalahan yang

melatar belakangi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka konseptual, landasan teoretis, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka. Pada bab ini merupakan Tinjauan Umum

Tentang Dasar Pertimbangan Hakim, Tindak Pidana Aksi

Pornografi, dan Eksibisionisme.

BAB III Pembahasan. Pada bab ini merupakan bab pembahasan sesuai

dengan perumusan masalah yaitu mengenai dasar pertimbangan

putusan hakim terhadap aksi pornografi yang dilakukan oleh

pengidap penyakit eksibisionisme.

BAB IV Penutup. Bab ini merupakan penutup yang memuat kesimpulan dari

apa yang telah diuraikan penulis dalam bab sebelumnya dan juga

berisikan saran mengenai permasalahan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai