Anda di halaman 1dari 23

TUTORIAL KASUS HIDUP

“Kekerasan Seksual, Pemerkosaan, dan


Pelecehan Seksual”

Disusun Oleh:
Timotius Cahya Gemilang 42190381
I Nyoman Eluzai Goldy Dirga Y. 42190382
Steffano Alexandra Kevin H. 42190383
Audita Cindy Prawika 42190384
Lidya Widhiari 42190385

Pembimbing:
dr. Lipur Riyantiningtyas B.S, S.H., Sp.F

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
PERIODE 16 NOVEMBER 2020 – 12 DESEMBER 2020
I . SKENARIO
Saudari R adalah seorang siswi berusia 13 tahun. 2 hari sebelum diperiksa di rumah sakit,
Rachel mengalami hilang kesadaran setelah diberi minum oleh pacarnya. Saat bangun, sdr. R
mengalami nyeri di perut bagian bawah terutama saat berkemih. Setelah kejadian itu, dia
pulang ke rumah dan mengurung diri sampai akhirnya mau bercerita ke kakaknya. Rachel
memeriksakan diri bersama sang kakak setelah melapor ke polisi setempat.
Pemeriksaan : Tanda vital dalam batas normal.
KEPALA, LEHER, DADA, PERUT, KAKI, DAN TANGAN TIDAK TERDAPAT LUKA.

II. DEFINE THE PROBLEM


1. Apa Definisi dari kekerasan seksual dan jenis-jenisnya?
2. Temuan yang didapatkan pada kasus tersebut?
3. Temuan-temuan apa saja yang pada pemeriksaan forensik bisa membuktikan kasus
kekerasan seksual?
4. Aspek medikolegal dan hukum pada skenario?
5. Apa saja Aspek-aspek hukum yang menjelaskan terkait kasus kekerasan seksual,
pelecehan seksual, dan pemerkosaan?
6. Perawatan after care pada korban kekerasan seksual apa saja?

III. BRAINSTORMING

1) Apa Definisi dari kekerasan seksual dan jenis-jenisnya?


Definisi
Kekerasan seksual menurut WHO 2017 didefenisikan sebagai setiap tindakan seksual,
usaha melakukan tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku
seksual yang tidak disengaja ataupun sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan
hubungan seksual dengan paksaan kepada seseorang.
Kekerasan seksual menurut UNICEF 2014 adalah segala kegiatan yang terdiri dari
aktivitas seksual yang dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh
anak kepada anak lainnya. Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau pelibatan
anak secara komersial dalam kegiatan seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap
anak untuk terlibat dalam kegiatan seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan
pelacuraran anak.

Kekerasan seksual menurut RUU PKS, adalah setiap perbuatan merendahkan,


menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual
seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak
seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam
keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat
atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian
secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Kekerasan seksual  Tindakan ataupun ucapan yang memanipulasi seseorang dalam


kegaitan seksual. Idmana adanya pemaksaan korban dalam kegiatan seksual (anak-anak,
retardasi mental/intelegensi, orang yang lebih lemah dari segikekuatan, perempuan)

Perbedaan kekerasan dan pelecehan seksual by KOMNASHAM


Pelecehan seksual  tindakan seksual lebih kepada kontak fisik atau non-kontak dengan
sasaran organ seksual dimana korban atau pihak lain yang terkait merasa bahwa hal
tersebut merendahkan harkat martabatnya
Seperti : Siulan, materi pronografi, colekan, yang dimana korban merasakan harkat dan
martabatnya direndahkan

Bentuk-bentuk kekerasan seksual (macam-macamnya)


Kekerasan, Eksploitasi, Pemaksaan aborsi, Pemaksaan kontrasepsi, Perbudakan seksual,
Pemaksaan perkawinan, Pemaksaan pelacuran

Dari komnas HAM dan perempuan


1. perkosaan 2. Intimidasi seksual, 3. Pelecehan seksual, 4. Eksploitasi seksual, 5.
Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, 6. Prostitusi paksa, 7. Perbudakan seksual,
8. Pemaksaan perkawinan, 9. Pemaksaan kehamilan, 10. Pemaksaan aborsi, 11.
Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, 12. Penyiksaan seksual, 13. Penghukuman tidak
manusiawi dan bernuansa seksual, 14. Praktek tradisi bernuansa seksual yang
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan 15. Kontrol seksual.

2) Temuan yang didapatkan pada kasus tersebut?


1. adanya air mani yang keluar dari vagina
2. Selaput dara tidak utuh
3. Tidak ditemukan adanya tanda-tanda erosi ataupun abrasi
4. Adanya trauma secara psikis dari penjelasan secara kronologi
 perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut secara psikologis
korban
3) Temuan-temuan apa saja yang pada pemeriksaan forensik bisa membuktikan
kasus kekerasan seksual?
a. Dilihat himen, intak/tidak, ada robekan?
b. Ada luka lecet Kelenjar bartoloni tidak aktif menghasilkan cairan pervagina
yang menyebabkan lecet
c. Adanya air mani di liang pervagina

d. Periksa luka-luka sekitar vulva, perineum, paha


e. c. Lakukan pemeriksaan alat kemaluan berturut-turut mulai dari labia

mayora, minora, vestibulum, selaput dara, vagina, leher rahim, dan besar
uterus.

f. d. Pemeriksaan selaput dara meliputi :


a. besarnya orifisium
b. ada tidaknya robekan.
c. bila ada tentukan apakah robekan baru atau lama
d. apakah robekan sampai dasar lianga vagina atau tidak sampai
dasar
e. lokasi robekan, gunakan arah jam sebagai petunjuk lokasi
robekan.

e. Pengambilan sampel harus dilakukan apabila kejadian kurang dari 72 jam.


Pengambilan sampel dapat berupa :
a. jika ada bercak, kerok dengan scapel dan masukkan ke dalam
amplop.
b. lakukan swab dengan lidi kapas steril pada daerah vestibulum,
forniks posterior (jika memungkinkan) dan buat sediaan apus.
c. darah dan urin jika ada riwayat kehilangan kesadaran.
d. urin untuk mengetahui tanda kehamilan

f. Pada persetubuhan dubur, periksa colok dubur dan lakukan swab, bila
perlu proktoskopi
4) Aspek medikolegal dan hukum pada skenario?
285 KUHP,
berbunyi : "Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa
orang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun..

Menurut peraturan 23 english dan walles


Kategori pemerkosaan :
A. Pemerkosaan
B. Serangan melalui penetrasi
C. Serangan seksual

5) Apa saja Aspek-aspek hukum yang menjelaskan terkait kasus kekerasan


seksual, pelecehan seksual, dan pemerkosaan?
1. Adanya himen yang tidak intak
2. Air mani laki-laki di lubang senggama perempuan
3. Perlukaan dalam lubang senggama perempuan

6) Perawatan after care pada korban kekerasan seksual apa saja?


A. Tidak boleh menyalahkan diri sendiri
B. Jangan langsung membersihkan anggota badan  bisa menghilangkan alat bukti
C. Mengumpulkan barang-barang untuk alat bukti
D. Mencari dukungan
E. Melakukan laporan kepada pihak berwajib
Bila kita menjadi teman dari korban,
F. Jangan diabaikan
G. Jangan memberi stigma buruk kepada korban
H. Jangan tinggal diam, bantu korban untuk melapor
III. Analyze the problem

1. Jenis-jenis dan bentuk-bentuk kekerasan seksual

Menurut Sexual Offenses Act 2003 (Inggris dan Wales)


Bagian 1: definisi tindakan 'pemerkosaan' Seseorang (A) melakukan pelanggaran [pemerkosaan]
jika:
● ia dengan sengaja menembus vagina, anus atau mulut orang lain (B) dengan penisnya,
● B tidak menyetujui penetrasi, dan
● A tidak cukup mengerti consent B

Seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan pemerkosaan menurut bagian ini dapat dikenakan
hukuman penjara seumur hidup, dengan tuduhan atas dakwaan.

Bagian 2: definisi pelanggaran 'serangan melalui penetrasi' Seseorang (A) melakukan pelanggaran
jika:
● dia dengan sengaja menembus vagina atau anus orang lain (B) dengan bagian tubuhnya
atau apapun,
● penetrasi bersifat seksual,
● B tidak menyetujui penetrasi, dan
● A tidak cukup megerti consent B.

Seseorang yang bersalah melakukan pelanggaran menurut bagian ini dapat dikenakan hukuman
penjara seumur hidup.

Bagian 3: definisi 'serangan seksual' Seseorang (A) melakukan pelanggaran jika:


● dia sengaja menyentuh orang lain (B),
● sentuhan itu seksual,
● (B) tidak menyetujui sentuhan, dan
● (A) tidak cukup percaya bahwa (B) setuju.

Seseorang yang bersalah melakukan pelanggaran menurut bagian ini bertanggung jawab:
A. dengan hukuman singkat, hukuman penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari 6 bulan
atau denda tidak melebihi maksimum undang-undang, atau keduanya;
B. atas hukuman atau dakwaan, hukuman penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari 10
tahun.

Sumber : 15 Bentuk Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan, komnas perempuan


15 Bentuk Kekerasan Seksual
1. Perkosaan
 Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke
arah vagina, anus atau mulut korban.
 Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya.
 Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan
psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari
lingkungan yang penuh paksaan.
 Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum
Indonesia.
 Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan di luar pemaksaan penetrasi
penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang yang belum
mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau
seseorang di bawah 18 tahun.
2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan
 Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau
penderitaan psikis pada perempuan korban.
 Intimidasi seksual bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung
melalui surat, sms, email, dan lain-lain.
 Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.
3. Pelecehan seksual
 Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ
seksual atau seksualitas korban.
 Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual,
mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan
di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga
mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya,
dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
4. Eksploitasi Seksual
 Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan
kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh
keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya.
 Praktik eksploitasi seksual yang kerap ditemui adalah menggunakan kemiskinan
perempuan sehingga ia masuk dalam prostitusi atau pornografi.
 Praktik lainnya adalah tindakan mengimingimingi perkawinan untuk memperoleh
layanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarkankan.
 Situasi ini kerap disebut juga sebagai kasus “ingkar janji”.
 Imingiming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat, yang mengaitkan
posisi perempuan dengan status perkawinannya.
 Perempuan menjadi merasa tak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti
kehendak pelaku, agar ia dinikahi.
5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual
 Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau
menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas
posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap
korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan
prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya.
 Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam negara maupun antar negara.
6. Prostitusi Paksa
 Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan
untuk menjadi pekerja seks.
 Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat
perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi,
misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan.
 Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan
perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.
7. Perbudakan Seksual
 Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga
berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual.
 Perbudakan ini mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anak-anak
dipaksa menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta
berhubungan seksual dengan penyekapnya.
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
 Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena
pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan
yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut.
 Ada beberapa praktik di mana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya
sendiri.
o Pertama, ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain
kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar dia menikah,
sekalipun bukan dengan orang yang dia inginkan atau bahkan dengan
orang yang tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa.
o Kedua, praktik memaksa korban perkosaan menikahi pelaku.
Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat perkosaan yang terjadi.
o Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk
terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai.
o Namun, gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai
alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya.
o Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu memaksakan perempuan
untuk menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk
dengan mantan suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya
dalam hukum Islam).
 Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai
daerah.
9. Pemaksaan Kehamilan
 Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan,
untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki.
 Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak
diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya.
 Juga, ketika suami menghalangi istrinya untuk menggunakan kontrasepsi
sehingga perempuan itu tidak dapat mengatur jarak kehamilannya.
 Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam
konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu situasi
pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil
secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi
atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya
10. Pemaksaan Aborsi
 Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman,
maupun paksaan dari pihak lain.
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
 Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan
sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat
informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat
memberikan persetujuan.
 Pada masa Orde Baru, tindakan ini dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk, sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan.
 Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan kontrasepsi/ sterilisasi biasa terjadi pada
perempuan dengan HIV/AIDS dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan
HIV/AIDS.
 Pemaksaan ini juga dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya tuna
grahita, yang dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri,
rentan perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk mengurus
kehamilannya.
12. Penyiksaan Seksual
 Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan
dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik
jasmani, rohani maupun seksual.
 Ini dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari
orang ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau
diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga.
 Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan untuk mengancam atau memaksanya,
atau orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun.
 Termasuk bentuk ini apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh
hasutan, persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik atau aparat penegak
hukum.
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
 Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa
malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan.
 Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan
atau untuk merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-
norma kesusilaan.
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi
perempuan
 Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya,
yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis
maupun seksual pada perempuan.
 Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan
dalam perspektif yang merendahkan perempuan. Sunat perempuan adalah salah
satu contohnya.
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan
agama
 Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol
moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan perempuan
“nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi
landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan.
 Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman
kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau
memaksakan perempuan untuk menginternalisasi simbolsimbol tertentu yang
dianggap pantas bagi “perempuan baik-baik’.
 Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling sering
ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat kewajiban
busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam tertentu,
larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau
perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada
persoalan moralitas daripada kekerasan seksual.
 Aturan yang diskriminatif ini ada di tingkat nasional maupun daerah dan
dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama.
 Pelanggar aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda, penjara
maupun hukuman badan lainnya

2. Temuan klinis dan penilaian luka pada skenario yang bisa membuktikan kasus
pemerkosaan
Anak-anak
Lubang selaput dara diukur pada arah horizontal pada saat labia ditarik ke
samping (lateral traction), nilai normal adalah sebagai berikut :
a. sampai usia 5 tahun berukuran atau sama dengan 5 mm.
b. sampai usia 5-9 tahun bertambah ukurannya 1 mm tiap tahunnya.
c. usia 9 tahun hingga pubertas berukuran 9 mm.
d. bila ditemukan ukuran yang lebih besar dari angka-angka di atas,
kemungkinan besar telah terjadi penetrasi

Dewasa
Lakukan pemeriksaan dengan memasukkan jari telunjuk dan nilailah
apakah tidak dapat dilalui satu jari, atau dapat dilalui satu jari longgar, atau dapat
dilalui dua jari longgar.
Pada perempuan yang sudah pernah melahirkan dilakukan pemeriksaan
dengan menggunakan spekulum untuk melihat kondisi liang senggama dan
mulut rahim, serta melakukan pemeriksaan colok vagina (vaginal touche). Pada
perempuan yang belum pernah bersetubuh sebelumnya atau masih belum
dewasa, kedua pemeriksaan tersebut tidak dilakukan
Contoh :
Alat kelamin luar : pada bibir kecil kemaluan sebelah kiri bagian dalam
pada arah pukul 3, terdapat memar warna kemerahan berukuran 0,4 cm x
0,3 cm
Selaput dara : pada selaput dara, terdapat robekan baru sampai dasar,
masih berdarah, pada arah pukul 4, 7, dan 11 dengan garis tengah liang
senggama 0,5 cm
Liang senggama : tidak diperiksa
Mulut rahim : tidak diperiksa
Rahim : tidak diperiksa
pada lubang dubur, pada arah pukul 7 dan 3, terdapat luka lecet dengan
ukuran masing-masing 0,4 cm x 0,2 cm. Lipatan kulit disekitar lubang
dubur pada arah pukul 6 tampak rata. Kekuatan kontraksi otot disekitar
lubang dubur kurang

Pertanyaan khusus juga ditanyakan tentang peristiwa setelah penyerangan karena


hal ini dapat memengaruhi temuan berikutnya atau pemulihan bukti. Pertanyaan
seperti itu termasuk 'Sejak serangan itu, apakah Anda ... mencatat rasa sakit ...
mencatat pendarahan ... gigi disikat ... buang air kecil ... buang air besar ... disiram?'
Pemeriksaan pelapor wanita (sebagian bergantung pada riwayat) akan mencatat
adanya kelainan atau tidak adanya temuan apa pun di situs anatomi berikut: paha,
bokong, dan perineum; daerah kemaluan; rambut kemaluan; labia majora; labia
minora; kelentit; fourchette posterior; fossa navicularis; ruang depan; selaput dara;
pembukaan uretra; vagina dan serviks.
Untuk laki-laki (tersangka atau pelapor) bokong, paha, perineum, anus, area
perianal, testis, skrotum dan penis (termasuk batang, glans dan sulkus koronal) akan
diperiksa.
Secara umum, cairan biologis asing (misalnya air mani) dapat dideteksi di dalam
mulut hingga sekitar 48 jam setelah kontak, di dalam anus atau rektum hingga
sekitar 3 hari dan di dalam vagina atau endoserviks hingga sekitar 7 hari.

3. Menjelaskan aspek Medikolegal dan hukum terkait kekerasan seksual ataupun


pemerkosaan pada kasus in.
Usia anak (korban) 13 tahun
Hukum pencabulan terhadap anak-anak diatur dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 81, 82, 88
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
Pasal 88
“Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).”

Hukum english and walles 3 kategori :


Dengan sengaja melakukan penetrasi seksual secara paksa atau tanpa persetujuan
korban

4. Perawatan after care pada korban kekerasan seksual apa saja?


Dokter professional yang memeriksakan
 Kehamilannya
 Hiv
 Keadaan genitourin
 Konseling dan bimbingan psikis
 Mengkaji kemungkinan PTSD yang diderita korban
 Mengkaji lingkungan dan sekitar korban

IV. Mind Mapping

medikolegal dan
hukum terkait temuan-temuan yang
bisa didapatkan

tindakan perawatan kekerasa pemeriksaan fisik


pasca kejadian pada korban
(aftercare) pada korban n seksual kekerasan seksuak

temuan yang
menjadi alat bukti
bentuk bentuk secara hukum
kekerasan seksual
V. Learning Objective
1. alur penanganan atau pelaporan atau pegaduan pada korban kekerasan seksual (alur bisa
dilihat pada buku dep kes)
Jawaban :

1. datang, rujukan atau penjangkauan


2. penanganan pengaduan
3. pengarahan menuju rehabilitasi sosial atau puskesmas atau penegakan hukum
4. pemulangan
5. reintegrasi sosial
6. pencatatan dan pelaporan

Dari koman perlindungan anak dan perempuan

1. segera melakukan visum sebagai bukti terjadinya pelecehan atau pemerekosaaan


2. melapor ke polisi terdekat
3. laporkan kepada ombudsman bila laporan diabaikan oleh pihak kepolisian
4. melapor melalui platform center
pelaporan dimasa pandemi :
A. melapor melalui online sesuai janji atau penjadwalan
B. status hukum harus dilakukan dengan segera (pemeriksaan VeR dan status
psikologisnya)
C. kondisi psikis client berupa melukai diri sendiri, tidak tidur 2 hari,
D. kebutuhan rujukan kearah rumah rehabilitasi atau rumah aman bila dibutuhkan dan
merasa tidak aman dirumahnya di atur pada UU no 13 th 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban

Tahapan pembuatan VeR:


1. Penerimaan korban yang diterima oleh penyidik
2. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli )VeR)
3. Pemeriksaan korban secara medis
4. Pengetikan surat keterangan ahli (VeR)
5. Penandatanganan surat keterangan ahli (VeR)
6. Penyerahan benda bukti yang telah diperiksa
7. Penyerahan surat keterangan ahli (VeR).

Tatacara permintaan VeR:


1. Permintaan harus secara tertulis
2. Tidak boleh meminta VeR untuk kejadian yang telah lampau
3. Pada pemeriksaan harus ditulis alasan vsum , untuk memudahkan pemeriksaan.
4. Dalam permintaan harus ditulis identitas korban dan identitas peminta VeR
5. Harus dicantumkan tanggal surat permintaan dan tanggal diterima oleh doker.

Surat harus di TTD oleh penyidik yang meminta visum.

Kekerasan Pada Perempuan & Anak


Ada 4 formulir yg diisi: I, II, III, IV
 Formulir I: Formulir Register
 Formulir II: Laporan Semester Unit Pelayanan
 Formulir III: Laporan Semester Kab/Kota
 Formulir IV: Laporan Semester Provinsi
2. kenapa banyak kasus pemerkosaan, pelecahan seksual, kekerasan seksual pelaku bisa lepas
dari jerat hukum?
Jawaban :
Salah satu faktor yang menyebabkan ialah karena pihak dari korbannya sendiri dimana
mengalami trauma berat, rasa malu yang luarbiasa, sehingga korban tidak mau melaporkan
kepada pihak kepolisian akibat dari stigma dari masyarakat soal kesucian dan keperawanan

Masalah penegakan hokum terhadap kekerasan berbasis gender


1. Imunitas terhadap bentuk-bentuk penyiksaan berbasis jendergender: perkosaan dan
pelecehan seksual.
2. Hukum pidana Indonesia menerapkan sebuah definisi perkosaan yang sudah usang
dan tidak lagi memenuhi standar internasional. Perkosaan didefinisikan secara sempit
dan eksklusif dalam bentuk penetrasi paksa organ-0rgan seksual. Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP), penanganan kasus
perkosaan menuntut adanya bukti air mani yang dikuatkan oleh catatan medis (visum
et repertum) dan pernyataan dari dua sumber, termasuk seorang saksi.
3. UU Indonesia No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM menerapkan definsi peka
jendergender dari Statuta Roma atas kejahatan HAM yang mengakui kekerasan
berbasis genjer dan perbudakan seksual. Namun, karena Indonesia belum meratifikasi
dan mengintegrasikan Statuta Roma secara keseluruhan, termasuk prosedur dan
aturan pembuktiannya, maka pihak perempuan yang telah mengalami kekerasan
seksual dalam konteks serangan luas dan sistematik atas populasi sipil masih belum
juga mendapat akses pada keadilan. Pada saat ini, UU Pengadilan HAM hanya dapat
diterapkan dengan menggunakan KUHP dan KUHAP yang tidak kondusif untuk
keadilan bagi perempuan.
4. Indonesia tidak memiliki peraturan hukum yang memidanakan pelecehan seksual.

3. pemeriksaan LAB dan pemeriksaan lanjutan lainnya pada kasuss kekerasan seksual
terutama pada korban anak dan perempuan, laki-laki juga bisa (pada korban KDRT)
Jawaban :
Pemeriksaan LAB :
Cairan mani:
- reaksi asam fosfatase
- reaksi berberio : menentukan adanya spermin dalam semen.
Spermin yang terkandung pada cairan mani akan beraksi dengan larutan
asam pikrat jenuh membentuk kristal spermin pikrat.Bercak diekstraksi
dengan sedikit aquades. Ekstrak diletakkan pada kaca objek, biarkan
mengering, tutup dengan kaca penutup.Reagen diteteskan dengan pipet
di bawah kaca penutup.
Interpretasi : hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat
yang kekuning-kuningan atau coklat berbentuk jarum dengan ujung
tumpul.
- Reaksi Florence
Dasar reaksi adalah untuk menemukan adanya kholin. Bila terdapat
bercak mani, tampak kristal kholin-peryodida berwarna coklat, berbentuk
jarum dengan ujung terbelah.

Pemeriksaan spermatozoa
- Tanpa pewarnaan / pemeriksaan langsung
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah terdapat spermatozoa
yang bergerak.Pemeriksaan motilitas spermatozoa ini paling bermakna
untuk memperkirakan saat terjadinya persetubuhan.

- Dengan pewarnaan (pulasan Malachite green 1 %)


Interpretasi : pada pengamatan di bawah mikroskop akan terlihat
gambaran sperma dengan kepala sperma tampak berwarna ungu
menyala dan lehernya merah muda, sedangkan ekornya berwarna hijau.
- Pewarnaan Baecchi
Prinsip kerja nya yaitu asam fukhsin dan metilen biru merupakan zat
warna dasar dengan kromogen bermuatan positif. Asam nukleat pada
kepala spermatozoa dan komponen sel tertentu pada ekor membawa
muatan negatif, maka akan berikatan secara kuat dengan kromogen
kationik tadi. Sehingga terjadi pewarnaan pada kepala spermatozoa.
Interpretasi : Kepala spermatozoa berwarna merah, ekor merah muda,
menempel pada serabut benang.

Pemeriksaan lanjutan lainnya :


1. darah : melihat adanya obat-obatan dan alkohol
2. rambut : melihat adanya cairan biologis
3. oral swap (diambil daerah bucal) : mengidentifikasi adanya semen
4. vulva swap : adanya cairan biologis ataupun material asing
5. vaginal swap (low or high)  mengidentifikasi cairan tubuh dan material asing
6. endocervical swap
7. anal swap
8. finger nail swap (dibawah kuku), pencocokan patahan kuku  bisa ditemukan kulit
9. swap payudara

4. pemeriksaan fisik lebih lanjut pada korban kekerasan seksual meliputi : oral, genital, anal,
ataupun fisik lainnya
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi
KU  psikis keadaan umum, tubuh secara umum : bisa ditemukan luka luka pada tubuh
korban (harus di dokumentasikan) yang menandakan adanya kekerasan yang paling sering
luka memar akibat pukulan atau tendangan, temuan pteki pada palatum akibat oral sex, bekas
gigitan (diambil sampel air liurnya), memar pada bibir, luka pada punggung akibat
pemerkosaan dengan alas tanah
Pemeriksaan genital dan anorectal  kadang bisa tidak ditemukan perlukaan pada aera
genital (sehingga menyulitkan pemeriksaan apakah ada pemaksaan atau ada persetujuan),
posterior vorcet, vulva, himen
Colposcopy  melihat adanya kulit kelamin pada serviks
Toluidin blue  sebuah teknik pewarnaan untuk mendekteksi adanya perlukaan yang tidak
terlihat oleh kasat mata
Perlukaan akibat tidak adanya proses yang manusiawi dimana adanya kekuatan penetrasi
yang kuat, tidak adanya lubrikasi, dan tidak adanya relaksasi
DAFTAR PUSTAKA

Afandi. (2017). Visum et Repertum: Tatalaksana dan Teknik Pembuatan, Edisi Kedua. Riau:
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Riau.
Alfanie. 2017. Ilmu kedokteran forensic dan medikolegal. Jakarta: Rajawali press.
Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia. (2019). Modul Kedokteran
Forensik. Jakarta: Badan Diklat Kejaksaan RI.
Budiyanto dkk. Ilmu kedokteran forensic edisi 1. Jakarta: FKUI.
Health care for female trauma survivors (with posttraumatic stress disorder or similarly
severe symptoms) oleh Nina M. Carroll, diperoleh dari UpToDate.com)
International Labour Organization.
KMK No 1226 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Korban
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Sakit
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menter Kesehatan No 1226 Tahun 2009
tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan No 68 Tahun 2013
tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan untuk Memberikan Informasi Atas
Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan No 77 tahun 2015
tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 05 Tahun 2010
tentang Panduan Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu. Jakarta:
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Ohoiwutun. (2016). Ilmu Kedokteran Forensik(Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu
Kedokteran). Yogyakarta: Pohon Cahaya
Pedoman Sistem Pencatatan dan Pelaporan Data Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak,
KEMENTRIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN
ANAK REPUBLIK INDONESIA
Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 4 tahun 2006
tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah
Tangga. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang Hukum Pidana Serta Komentarnya Lengkap Pasal demi
Pasal. Jakarta: Politea.
Rekonstruksi Pasal 44 KUHP dan VeRP dalam SIstem Peradilan Pidana o/Dyah Irawati dari
http://trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id
Susanti. (2013). Peran Dokter Sebagai Saksi Ahli di Persidangan. Jurnal Kesehatan Andalas;
2(2) halaman 101-104.
Susanti. (2012). Paradigma Baru Peran Dokter dalam Pelayanan Kedokteran.
Majalah Kedokteran Andalas No. 2. Vol.36. Juli-Desember 2012.
Venita, Oktavinda S. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi VI. Jilid II. Jakarta: FKUI.
Hal: 869-901.

Anda mungkin juga menyukai