Anda di halaman 1dari 8

Page 1

HUKUMAN MATI UNTUK SEORANG PSIKOPAT1


Belas kasihanilah terhadap sesama, bersikap keraslah pada diri
sendiri (Enstein)
ADI SULISTIYONO2
Kata psikopat tiba-tiba menjadi akrab ditelinga masyarakat umum, ketika secara
beruntun
media massa, baik telivisi maupun surat kabar, memberitakan pembunuhan berantai
yang
dilakukan oleh Verry Idhan Henryansah (Ryan). Sang ‘jagal’ dari Jombang yang
punya
perilaku sex menyimpang ini telah membantai 11 korban dengan sadis, tanpa
sedikitpun
menunjukkan penyesalan dan rasa bersalah. Banyak pakar memberi komentar di
media
massa terhadap perilaku Ryan tersebut. Hampir semua pakar sepakat perilaku Ryan
telah
memenuhi kriteria psikopat sebagaimana disampaikan Robert D. Hare. Sehingga
cukup
beralasan bila hakim menjatuhkan vonis mati buat Ryan. Namun dari sisi Psikiater,
apakah hukuman mati tepat untuk seorang Psikopat yang melakukan kejahatan secara
kejam, memang masih menimbulkan perdebatan.
Selama ini masyarakat umum mengenal kata ‘psikopat’ dan perilaku psikopat bukan
dari psikolog atau psikiater, tetapi melalui media massa, film, atau novel. Dari
sumber
referensi tersebut masyarakat mengidentikan psikopat dengan pelaku kejahatan yang
melakukan kekerasan seksual atau membunuh banyak korban secara sadis, tanpa
menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan. Padahal sebenarnya tidak semua psikopat
itu
melakukan perbuatan kriminal. Psikopat merupakan perilaku psikologis dimana
pelaku
terus menerus mencari gratifikasi (pembenaran diri) atas tindakan-tindakan keliru
yang
dilakukannya. Seorang psikopat tidak memiliki kemampuan untuk mengenali dan
belajar
dari kesalahan. Namun dia memiliki daya analisis yang tinggi dan seringkali
tergolong
orang yang sangat cerdas. Hal inilah yang menyebabkan bila seorang psikopat
melakukan
kejahatan biasanya baru ditangkap atau diketahui perbuatannya setelah menghabisi
banyak ‘korban’.
Perbuatan kriminal yang dilakukan seorang psikopat dalam masyarakat nampaknya
sulit
diprediksi dan diantisipasi. Dalam arti setiap saat dimungkinkan akan muncul
peristiwa
sejenis yang akan menggoncang masyarakat dengan pola dan motif yang sama
ataupun
berbeda. Pertanyaannya yang bisa diajukan dalam hal ini, usaha apa yang dapat
dilakukan
psikiater dan/atau profesi hukum untuk mencegah dan menanggulangi para psikopat
melakukan kejahatan?
1
Seminar Kesehatan Jiwa, MEMAHAMI DINAMIKA PSIKOPAT, Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta,
Hotel Agas, Tgl. 8 November 2008.
2 Adi Sulistiyono adalah Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo

Page 2
2
Hukum Mengambil Peran
Pada saat sekarang ini, permasalahan yang terjadi di masyarakat berkembang sangat
kompleks dan sulit untuk diramal. Untuk mengimbanginya ilmu hukum telah
bergerak
sangat cepat dan telah menembus (mengintervensi) hampir semua subsistem yang ada
dimasyarakat, dan semua kehidupan manusia. Selaras dengan hal itu, obyek ilmu
hukum
juga telah berkembang menjadi luas dan tidak bertepi, dan multi disiplin. Sehingga
ilmu
hukum juga berinteraksi bidang antropologi, sosiologi, ekonomi, biologi, kedokteran,
ilmu komputer, psikologi, psikiatri, dan bidang lain-lain.
Luasnya obyek ilmu hukum telah membawa implikasi pada melebarnya fungsi
hukum
dimasyarakat yang pada awalnya untuk sarana untuk menciptakan ketertiban dan
menimbulkan rasa aman masyarakat, kontrol sosial, memberi resolusi sengketa, dan
membatasi kekuasaan penguasa. Sekarang telah melebar sebagai sarana rekayasa
sosial,
emansipasi masyarakat, alat membangun kemakmuran bangsa, menjaga peradaban
dan
kebudayaan bangsa, sarana pengawal demokrasi, dan masih banyak lagi fungsi yang
lain.
Dari titik pandang ini, kita semua sepakat bahwa hukum itu tidak sekedar
mempelajari
perundang-undangan, tetapi juga mempelajari bagaimana mengatur dan mengarahkan
perilaku manusia atau badan hukum agar sesuai dengan harapan-harapan yang
dikehendaki masyarakat maupun penguasa.
Untuk memenuhi harapan masyarakat agar hukum mampu menjalankan peran
penggulangan dan pencegahan kriminalitas psikopat. Ada beberapa langkah yang
telah
dilakukan, yaitu melalui prosedur legislasi, dan membawa ke persidangan.
1. Mencegah Psikopat Melalui Legislasi
Di Indonesia sampai sekarang memang belum ada perundang-undangan yang khusus
mengatur psikopat, seperti misalnya di Belanda; Namun demikian, dalam Undang-
undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT), dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (PA)
telah
diupayakan diatur agar berkembangnya kriminalitas psikopat dalam rumah tangga
dan
yang menimpa anak-anak bisa ditekan.
Dalam undang-undang KDRT diatur pelarangan melakukan kekerasan terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya (suami, istri, anak, saudara yang menetap dalam
rumah
tangga, dan pembantu rumah tangga) dengan cara: a) kekerasan fisik; b)
kekerasanpsikis;
c) kekerasan seksual; atau d) penelantaran rumah tangga. Untuk yang melakukan
kekerasan fisik diancam pidana penjara sampai paling lama 5 (lima) tahun atau paling
lama 10 (sepuluh) tahun yang menimbulkan luka berat atau paling 15 tahun kalau
menyebabkan matinya korban atau denda paling banyak Rp.45.000.000 (lima belas
juta
rupiah; untuk kekerasan psikis diancam pidana penjara Rp. 9.000.000 (sembilan juta
rupiah); sedangkan untuk kekerasan seksual diancam pidana penjara paling lama 12
(dua
belas) tahun atau denda paling banyak Rp.36.000.000 (tiga puluh enam juta)
Page 3
3
Dalam undang-undang perlindungan anak disebutkan tujuannya adalah untuk
menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan
perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Berdasarkan hal itu, setiap orang yang
melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan
terhadap
anak dipidana penjara 3 (tiga) tahun; dipidana paling lama 5 (lima) tahun penjara
kalau
menimbulkan luka berat; dipidana paling lama 10 (sepuluh) tahun kalau
menyebabkan
kematian. Pidananya ditambah sepertiga kalau yang melakukan orang tuanya.
Selain dari itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, juga diatur pasal-pasal
yang
dapat digunakan untuk mencegah merebak kriminalitas psikopat. Apabila seorang
psikopat tersebut melakukan perbuatan kejahatan yang menyebabkan hilangnya
nyawa
orang lain. Dalam Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling
lama lima belas tahun.”Selanjutnya Pasal 339 KUHP menyatakan bahwa
“Pembunuhan
yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu delik, yang dilakukan dengan maksud
untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan
diri
sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun
untuk
memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh
tahun.
Sedangkan untuk mengantisipasi perilaku psikopat yang melakukan pembunuhan
secara
sadis, telah juga diatur dalam KUHP.Pasal 340 KUHP menyatakan bahwa “
Barangsiapa
dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam
karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Keberadaan perundang-undangan KDRT dan PA yang digunakan untuk menjerat
para
psikopat yang melakukan kejahatan merupakan langkah antisipasi yang sudah baik.
Namun demikian, efektifitas keberadaan pasal-pasal tersebut sangat ditentukan pada
keberhasilan sosialisasinya di masyarakat, dan profesionalitas, kreatifitas dan
ketegasan
dari aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim), sehingga tidak terjadi lagi kasus
seperti
Renata Tan yang membunuh 3 (tiga) orang pembantunya; atau kasus Peter W. Smith,
guru bahasa Inggris asal Australia yang melakukan pemerkosaaan (sodomi) pada 50
(lima puluh) anak tahun 2007 di Jakarta. Di samping itu, nampaknya kedepan perlu
juga
diatur larangan penanyangan di telivisi secara vulgar korban-korban kasus
pembunuhan
berantai yang dilakukan seorang psikopat. Karena dikuatirkan hal itu bisa
menginspirasi
atau memtotivasi psikopat-psikopat lainnya untuk menjadi ‘selebritis’ di media
telivisi.
2. Menanggulangi Kriminalitas Psikopat Melalui Peradilan
Penanggulangan kriminalitas psikopat melalui lembaga peradilan, dimulai sejak polisi
melakukan penyidikan setelah diketahui adanya kejahatan penghilangan nyawa yang
dilakukan secara sadis. Pada tahap ini biasanya tim psikiater kepolisian sudah mulai
Page 4
4
melakukan pendampingan. Setelah berkas lengkap kemudian diserahkan pada pihak
kejaksaan untuk diajukan pada pihak pengadilan.
Setelah dilakukan proses persidangan untuk menemukan kebenaran materiil. Majelis
hakim berdasarkan keyakinan yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah
(Lihat
Pasal 183 KUHAP) selanjutnya menjatuhkan sanksi pidana pada terdakwa (pelaku
kejahatan) yang telah terbukti bersalah. Dengan adanya vonis hakim, diharapkan bisa
menimbulkan efek jera dalam arti pihak yang terbukti bersalah bisa menyadari
kesalahannya dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Dengan adanya vonis
hakim
yang dinyatakan terbuka untuk umum, diharapkan juga bisa membuat anggota
masyarakat ‘takut’untuk melakukan perbuatan yang sama dengan yang dilakukan
terpidana.
Di Indonesia kasus-kasus psikopat yang melakukan pembunuhan sebagian besar
berakhir
dengan vonis hukum mati di pengadilan. Pada tahun 1984, Ahmad Suraji alias Datuk
alias Dukun AS, pelaku pembunuhan 42 wanita di Medan antara tahun 1984 sampai
1997, dia membunuh sebagai syarat menuntut ilmu hitam, divonis hukuman mati;
Pada
tahun 1994, Harnoko Dewanto, pelaku pembunuhan 3 orang (Gina, Eri, Suresh) di
Los
Angeles, Amerika Serikat. Harnoko divonis hukuman mati; Pada tahun 1996, Ny.
Astini
pelaku pembunuhan disertai mutilasi terhadap tiga orang tetangganya di Surabaya,
karena
kasus hutang piutang. Ny.Astini divonis hukuman mati; Tahun 1996, Siswanto alias
Robot Gedhek pelaku pembunuhan dan kasus sodomi terhadap 6 anak, divonis
hukuman
mati. Tahun 1999-2004, Gribaldi seorang Polisi, membunuh 7 warga sipil (termasuk
istrinya) dengan pistol dinasnya. Setiap korbannya ditembak dengan 4 kali atau lebih
tembakan di kepala dan dada. Gribaldi divonis hukuman mati. Tahun 2001, Rio Alex
Bulo alias Rio Martil pelaku pembunuhan 4 orang dengan martil di Jabar, Jateng,
Jatim.
Rio divonis hukuman mati. Tahun 2007, Tubagus Maulana alias Dukun Usep, pelaku
pembunuhan 8 orang di lebak berkaitan dengan kasus penggandaan uang. Dukun
Usep
divonis hukuman mati.
Dasar hukum yang digunakan hakim menjatuhkan hukum mati menggunakan
landasan
Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Dalam Pasal 28 ayat (1) disebutkan “Hakim wajib menggali, mengikuti,
dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Selanjutnya dalam ayat (2) “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,
hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”. Dalam kaitannya
dengan kasus pembunuhan berantai, nilai hukum yang digunakan hakim adalah Pasal
340 KUHP, yang menyebutkan “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling
lama dua puluh tahun.” Sedangkan rasa keadilan yang dijadikan pertimbangan hakim
adalah keadilan yang dirasakan keluarga korban dan rasa keadilan masyarakat
terhadap
adanya kejahatan yang dilakukan secara sangat kejam dan merengut banyak nyawa.
Pertanyaan penting yang diajukan berkaitan dengan hal ini, apakah pengenaan vonis
hukuman mati tersebut sudah tepat diberikan pada seorang psikopat? Hal tersebut
perlu
Page 5
5
dianalisis karena dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “ Barangsiapa
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan “Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat
dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau
terganggu
karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan
kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.”
Pasal 44 KUHP ini merupakan ‘pintu’ pertemuan psikiater dengan profesi hukum
untuk
berdiskusi menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana dari pelaku
kejahatan.
Dengan bantuan analisis psikiater melalui visum et repertum psikiatrik kalangan
profesi
hukum baik polisi, jaksa, ataupun hakim, akan bisa secara tepat mengetahui apakah
seorang psikopat masuk dalam kriteria “jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu
karena penyakit” dari tersangka atau terdakwa. Sedangkan pakar hukum selama ini
lebih
mengacu pada penafsiran MvT yang mengkategorikan “jiwanya cacat” adalah: a)
Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan baik
dan
buruk dari perbuatan yang dilakukannya; b) Ia tidak dapat menentukan kehendaknya
terhadap perbuatan yang dilakukannya; c) Ia tidak dapat menginsafi bahwa
perbuatannya
adalah terlarang.
Dalam ilmu hukum pelibatan psikiater dalam membantu hakim untuk menentukan
berat
ringannya hukuman telah mendapatkan pengakuan sejak ratusan tahun yang lalu. Di
Belanda misalnya, pada tahun 1795 telah mulai diterapkan pada kasus Herman
Afkens.
Terdakwa dituduh membunuh kedua anak perempuan yang berumur 2 tahun dan 7
tahun.
Dalam perkara ini dimintakan advis tiga orang dokter, yaitu: A.Bonn, D.van Rhijn,
dan
N.Boudt. Visum psikiatrik mereka menyatakan terdakwa Afkens menderita Raptus
Melancholitus, seseorang yang sering melakukan pembunuhan karena rasa takut yang
hebat, bersamaan dengan perasaan putus asa. Atas dasar penyakit yang demikian
maka
terdakwa dibebaskan dari hukuman mati dan sebagai penggantinya terdakwa
dihukum
kurungan selama 50 tahun (Rasyid Ariman, et.al. Ilmu Kedokteran Kehakiman,
Penerbit
Unsri, Palembang, 2008) Bagaimana dengan Psikopat?
Psikopat atau kadang ada yang menyebut sosiopat (karena melanggar norma sosial,
dan
masyarakatlah yang akhirnya menjadi korban) merupakan suatu gejala yang
menunjukkan bahwa seseorang mengalami ketidak seimbangan atau mengalami
kegagalan dalam menyelaraskan dorongan-dorongan konstruktif dan destruktif dalam
dirinya. Biasanya dipicu oleh tekanan-tekanan dalam kehidupan atau mengalami
trauma
masa kecil yang menyebabkan konflik emosional yang tak menemukan jalan keluar.
Tapi psikopat tak sama dengan schizophrenia, yang merupakan gangguan klinis pada
otak, dimana penderita mengalami sensasi khayal atau delusi sehingga selama
seseorang
mengidap penyakit tersebut, ia berhalusinasi, seolah melihat, merasa atau mendengar
sesuatu yang sebetulnya tidak obyektif atau tidak nyata. Sementara seorang psikopat,
sesungguhnya normal, artinya ia sadar sepenuhnya mengenai semua yang
diperbuatnya.
Hanya saja para psikopat memang cenderung impulsif dan anti sosial. Orang dengan
label psikopat seringkali disebut sebagai "orang gila tanpa gangguan mental".
Psikopat,
uniknya meskipun dianggap sebagai suatu gangguan atau penyimpangan kepribadian,
Page 6
6
justru ternyata tidak tercantum sebagai penyakit dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV, sebuah buku yang memuat daftar
penyakit, gangguan atau kelainan jiwa yang diterbitkan oleh para ahli kedokteran jiwa
di
Amerika Serikat. Mereka mengklasifikasikan
psikopat sebagai gangguan
kepribadian disosial. Psikopat memang sama sekali tidak tampil sebagai orang sakit.
Sebaliknya, mereka biasanya memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Dan kecerdasan
tingkat tingginya ini pulalah yang menyebabkan mereka memiliki kemampuan
untuk menampilkan tampak luar yang tenang, kharismatik dan sangat santun. Namun
dibalik "bungkusan" yang apik dan menarik itu bersembunyi banyak sifat negatif,
seperti pembohong, tidak bertanggung jawab, tanpa rasa kasihan atau rasa bersalah
setelah menyakiti orang lain, tidak memiliki empati, naluri kejinya kuat, dan dapat
bertindak kejam tanpa pandang bulu, serta tidak takut mendapat hukuman. (Kemala
Wairata, “Tidak Semua Psikopat Adalah Kriminal,” www.berbagisehat.com. Lihat
Ewith
Bawar.”Hati-hati, Psikopat Disekitar Anda”. Lihat artikel yang lebih menarik dan
lengkap pada Robert Hercz,”Psychopaths among Us”, www.hare.org.)
Dari peristiwa yang terjadi di Indonesia, khususnya para terdakwa yang telah dijatuhi
vonis hakim dengan hukum mati, dapat diketahui motif seorang psikopat melakukan
pembunuhan ‘berantai’ secara kejam, yaitu: tersinggung karena hinaan atau perlakuan
kasar, cemburu, berusaha menutup aib karena takut perbuatannya disebarkan pada
orang
lain, atau keinginan menguasai harta korban. Berdasarkan uraian diatas, para psikiater
bisa mengambil sikap untuk membenarkan vonis hakim yang telah menjatuhkan
hukuman mati pada para psikopat yang melakukan pembunuhan berantai secara sadis,
atau mengacu pada kasus Herman Afkens, atau punya pendapat yang lain.
Dalam hal ini bila kalangan psikiater tidak setuju dengan hukum mati pada psikopat
yang melakukan pembunuhan berantai, dapat mengusulkan adanya Undang-undang
Anti Psikopat, yang mengatur penangan khusus psikopat kalau melakukan perbuatan
kriminal. Hal ini bisa dilakukan bila kalangan psikiater sudah sepakat memasukan
psikopat dalam kategori penyakit jiwa, dan telah melakukan penelitian tentang
gambaran
jumlah psikopat yang ada di Indonesia, serta meyakinkan pada masyarakat akan
bahaya
laten seorang psikopat ditengah-tengah masyarakat. Di samping itu, perlu juga
dipikirkan pola perawatan atau penyembuhan psikopat bila hakim mengirimnya di
penjara, atau di rumah sakit jiwa karena skor PCL-R nya sampai diatas 30. Mungkin
dengan keberadaan undang-undang khusus tersebut masyarakat akan selalu teringat
saran
dari Dr. Hervey Cleckley dan Dr. Robert D. Hare agar senantiasa waspada adanya
psikopat di sekitar kita, bukan hanya yang bersifat kriminal atau seksual, melainkan
juga
keberadaan psikopat yang non-kriminal (‘subclinical’psychopath).
Page 7
7

Anda mungkin juga menyukai