Anda di halaman 1dari 4

PSIKOLOGI FORENSIK

Kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin menggelisahkan. Di Indonesia saja, peristiwa
gadis yang digagahi orangtuanya sendiri atau diperkosa massal oleh anak-anak seumur jagung,
seperti sudah menjadi berita harian yang dapat disimak melalui media massa. Akan tetapi, tingginya
pemberitaan tentang malapetaka itu tidak banyak berpengaruh terhadap tingkat kewaspadaan
masyarakat tentang bahaya yang ditebar para pelaku. Padahal, the real terrorist itu, hidup di tengah-
tengah masyarakat.

1. Permasalahan Psikologi Forensik di Indonesia

Berbagai permasalahan terkait dengan proses peradilan pidana semakin banyak terjadi di Indonesia.
Permasalahan tersebut sering hanya diperhitungkan sebagai permasalahan hukum. Berikut
beberapa permasalahan hukum yang sangat akrab dengan kita sehari-hari.

a. Berbagai kasus kriminal

(1) Berita ibu yang membunuh anaknya, terjadi di Malang, Bandung, dan Pekalongan.32 Pada kasus
di Malang, si ibu akhirnya mengakhiri hidup bersama keempat orang anaknya (berita Metro TV, 23
Maret 2008 pukul 12:00.

(2) Seorang perempuan bernama "N" terpaksa membunuh mantan ke kasihnya yang melakukan
kekerasan selama 6 tahun (Jawa Post, 1 Desember 2007).

(3) Di Kediri, seorang anak berusia 14 tahun membunuh teman mainnya yang berumur 5 tahun gara-
gara berebut buah chery. Korban dibunuh dengan cara ditenggelamkan dan disilet-silet.

b. Permasalahan terkait dengan pengadilan

Istilah sehat mental yang digunakan dalam pengadilan antarhakim (Probowati, 2001), antara
psikolog/psikiater (ahli kesehatan mental) dan hakim tampak tidak selaras (Pariaman, 1983).

c. Permasalahan penanganan lembaga pemasyarakatan

Rehabilitasi kriminalitas dari aspek psikologis di lapas-lapas Indonesia hampir dikatakan minim dan
nyaris belum ada. Semakin banyak permasalahan di masyarakat yang menuntut psikologi forensik
untuk memberikan sum bangan penyelesaian, tetapi pengembangan psikologi forensik di tanah air
masih lamban.

2. Definisi Psikologi Forensik

The Committee on Ethical Guidelines for Forensik Psychology mendefi nisikan psikologi forensik
sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum. Luasnya bidang psikologi
forensik dan peng gunaan istilah yang beragam sering membuat masyarakat menjadi bingung
tentang tugas psikolog forensik serta istilah yang paling tepat digunakan. Ada yang menggunakan
istilah psychology and criminology, psychology of court room, atau investigative psychology.
Menurut Meliala (2008), psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi luasnya
cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di Indonesia juga menyepakati
istilah psikologi forensik dengan mem bentuk komunitas minat di bawah HIMPSI, dengan nama
Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR).
3. Psikologi Forensik: Ilmuwan dan Praktisi

Individu yang berkecimpung pada psikologi forensik dapat dibedakan sebagai berikut:

a. ilmuwan psikologi forensik. Tugasnya melakukan kajian/penelitian yang terkait dengan aspek-
aspek perilaku manusia dalam proses hukum;

b. praktisi psikolog forensik. Tugasnya memberikan bantuan profesional berkaitan dengan


permasalahan hukum. Berikut akan dipaparkan praktisi psikolog forensik karena asosiasi psikologi
forensik lebih banyak bergerak di praktisi, walaupun tidak melupakan pengembangan keilmuannya.

a.Praktisi psikolog forensik

Psikolog forensik adalah psikolog yang mengaplikasikan ilmunya untuk membantu penyelesaian
masalah hukum. Di Indonesia, profesi ini kurang dikenal, baik di kalangan psikolog maupun aparat
hukum. Tugas psikolog forensik pada proses peradilan pidana adalah membantu pemeriksaan di
kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun ketika terpidana berada di lembaga pemasyarakatan.
Gerak psikolog dalam peradilan terbatas dibandingkan ahli hukum. Psikolog dapat masuk dalam
peradilan sebagai saksi ahli (UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP). Oleh karena itu, diperlukan
promosi pada bidang hukum akan pentingnya psikologi dalam permasalahan hukum sehingga dalam
kasus-kasus pidana, ahli hukum mengundang psikologi. Tanpa undangan aparat hukum, psikologi
akan tetap berada di luar sistem dan kebanyakan menjadi ilmuwan, bukan sebagai praktisi psikolog
forensik.

Inti kompetensi psikolog adalah asesmen, intervensi, dan prevensi. Perbedaan psikolog forensik
dengan psikolog lainnya adalah konteks tempat ia bekerja. Psikolog forensik menerapkan
kompetensi asesmen, intervensi, dan prevensinya dalam konteks permasalahan

b. Tugas psikolog forensik

Berikut ini merupakan beberapa tugas psikolog forensik di setiap tahap proses peradilan pidana,
antara lain sebagai berikut.

(1) Berhubungan dengan pelaku

Salah satu tugas kepolisian kepada pelaku adalah interogasi. Interogasi bertujuan agar pelaku
mengakui kesalahannya. Teknik lama yang digunakan polisi adalah melakukan kekerasan fisik. Teknik
ini banyak mendapatkan
Sistem Kepenjaraan (1945-1964) Sejak Indonesia merdeka, sebelum sistem pemasyarakatan muncul,

diberlakukan sistem kepenjaraan yang berasal dari Eropa. Sistem ini dibawa Belanda ke Indonesia
dan diterapkan dengan memberlakukan Gestichten Reglement (Reglemen Penjara) stbl 1917 No.
708. Dalam sistem kepenjaraan, tujuan pemidanaan adalah penjeraan, yaitu untuk membuat jera
dan tidak lagi melakukan tindak pidana. Untuk itu, peraturan kepenjaraan dibuat keras, bahkan
sering tidak manusiawi. Pada sistem pemasyarakatan (1964 1995) diberlakukan 10 prinsip
pemasyarakatan dengan tujuan pemidanaan, yaitu pembinaan pembimbingan dengan tahapan
orientasi, pembinaan, dan asimilasi.

Tahap orientasi dimaksudkan agar narapidana mengenal cara hidup, peraturan, dan tujuan
pembinaan atas dirinya. Tahap pembinaan dimaksud kan agar narapidana dibina dan dibimbing agar
tidak melakukan lagi tindak pidana pada kemudian hari, apabila keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan. Narapidana diberikan pendidikan agama, keterampilan, dan berbagai ke giatan
pembinaan lainnya. Adapun tahap asimilasi dimaksudkan sebagai upaya penyesuaian diri agar
narapidana tidak menjadi canggung apabila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, apabila telah
habis masa pidananya atau apabila mendapat pelepasan bersyarat, cuti menjelang lepas, atau
pembinaan karena mendapat remisi.

2.

Sistem Pemasyarakatan Baru (1995-Sekarang)

Walaupun sejak tahun 1964, Indonesia telah menganut sistem pemasyarakatan, belum ada dasar
hukum yang berlaku. Dasar hukum dengan beberapa perubahan sejak tahun 1917 adalah Reglemen
Penjara, yaitu suatu undang-undang yang tidak layak digunakan karena masih bersumber dan
Hukum Kolonial. Tentu saja, hal ini tidak dapat dipertahankan. Pada tahun 1995 diberlakukanlah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang merupakan penyempurnaan
dari sistem pemasyarakatan yang masih berbau kolonial. Tujuan sistem Pemasyarakatan (baru)
adalah meningkatkan kesadaran (counsciousness) narapidana akan eksistensinya sebagai manusia.
Pencapaian kesadaran dilakukan melalui tahap introspeksi, motivasi, dan pengembangan diri (self
development). Tahap introspeksi dimaksudkan agar narapidana mengenal diri sendiri. Tahap
motivasi diberikan teknik memotivasi diri sendiri, bahkan sesama teman lainnya. "Sistem
pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar
menjadi manusia seutuh nya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, aktif berperan dalam
pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab" (Pasal
2 UU No. 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan).

Dari uraian di atas, tampak adanya pergeseran sistem pemidanaan dari sistem kepenjaraan ke
sistem pemasyarakatan, kemudian berkembang ke sistem pemasyarakatan (baru). Konsekuensi dari
pergeseran-pergeseran adalah proses pemasyarakatan juga disesuaikan dengan pola pembinaan
berdasarkan tujuan pemasyarakatan yang dianut.
3. Hakikat dan Prinsip-prinsip Dasar Pembinaan

Secara umum, warga binaan adalah manusia biasa. Ada spesifikasi tertentu yang menyebabkan
seseorang menjadi penghuni lapas, dalam pembinaan, mereka harus menerapkan prinsip-prinsip
dasar pembinaan Prinsip-prinsip dasar tersebut terdiri atas empat komponen pembina (Harsono,
1995: 51), yaitu:

a diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri, b. keluarga adalah anggota keluarga inti atau keluarga
dekat;

C.

masyarakat, yaitu orang-orang yang berada di sekeliling narapidana pada saat masih di luar Lembaga
Pemasyarakatan/Rutan dapat masyarakat biasa, pemuka masyarakat atau pejabat setempat;

d. petugas, yaitu petugas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan, petugas sosial, petugas Lapas,
Rutan, Balai Bispa, Hakim, Wasmat dan sebagainya. Keempat komponen "Pembina" tersebut harus
memahami secara benar yang menjadi tujuan dari pembinaan pemasyarakatan.

4. Tujuan Pembinaan

Ketiga sistem pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas, sebenarnya sama-sama bertujuan
agar terpidana tidak lagi mengulangi perbuatannya setelah menjalani pemidanaan yang sekaligus
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan melanggar hukum yang mungkin diulangi lagi. Tujuan
"sistem pemasyarakatan baru" yang berlaku saat ini adalah meningkatkan kesadaran (consciousness)
dengan tahap interospeksi, motivasi, dan self development (pengembangan SDM) dengan orientasi
pembinaan bottom up approach.33

Persoalannya sekarang adalah, apakah ada teknik modifikasi perilaku lain untuk narapidana atau
Anda setuju dengan kekerasan sesuai dengan sistem penjara terdahulu? Atau Anda setuju dengan
sistem pemasyarakatan sekarang yang terkadang tidak membuat jera.

Anda mungkin juga menyukai