Anda di halaman 1dari 4

RAHMANIA ADE ARINI

17081759 / R3

REVIEW:
PSIKOLOGI FORENSIK DAN HUKUM DI INDONESIA
OLEH : Drs. ARIF NURCAHYO, MA

 Latar belakang psikologi forensik :


Kriminalitas yang terjadi dengan berbagai persoalan yang ada sangat mengganggu dan
merugikan masyarakat. Memahami dinamika kriminalitas tidak dapat dilandaskan pada satu
disiplin ilmu, diperlukan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, yaitu : antropologi, ekonomi,
hukum, filsafat, sosiologi, kriminologi dan termasuk psikologi (Hollin, 1989). Tatkala kriminal
menyentuh ranah publik, hukum tidak selalu bisa sendiri sehingga butuh peran dan dukungan
ilmu pengetahuan dan profesi lain. Hal tersebut yang melatarbelakangi munculnya Psikologi
Forensik.
 Pengertian psikologi forensik :
Forensik  kajian dan praktik pada resolusi isu sosial dan hukum.
Psikologi/Psikiatri Forensik  berkaitan prinsip perilaku dan aspek hukum.
Sehingga psikologi forensik merupakan representasi dari ilmu psikologi dan sistem hukum
(penelitian, praktik profesional dan integrasi dikeduanya).
The Committee on Ethical Guidelines for Forensic Psychology mendefinisikan psikologi
forensik sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.
 Peran psikologi forensik:
Bagi psikolog  psikologi forensik membantu menyelesaikan permasalahan hukum dengan
menggunakan kemampuan dan pendekatan profesi sebagai psikolog
Bagi ilmuwan  psikologi forensik melakukan kajian penelitian terkait psikologi dengan
permasalahan hukum yang muncul.
 Perbedaan psikolog klinis dengan psikolog forensik menurut Craigh,R.J :
- Interview psikolog klinis menggunakan pendekatan empatik, sedangkan psikolog forensik
dengan pendekatan investigatif.
- Psikolog klinis didatangi klien, sedangkan psikolog forensik datang kepada klien (bukan
atas kemauan klien).
- Tujuan psikolog klinis adalah membantu klien, sedangkan psikolog forensik bertujuan
membantu sistem dan proses.
- Sesi pertemuan psikolog klinis panjang dan berapa kali, sedangkan psikolog forensik lebih
terbatas (1-2 kali pertemuan dan sesuai standar yang dipersyaratkan).
- Psikolog forensik secara etika harus menjelaskan bahwa semua informasi yang didapat bisa
digunakan dalam proses peradilan, sedangkan psikolog klinis tidak perlu.
- Psikolog klinis hanya fokus pada masalah klien, sedangkan psikolog forensik harus
mempertimbangkan aspek hukum dari masalah yang ditanganinya dengan berhadapan
dengan sistem peradilan.
- Hasil pemeriksaan psikolog forensik memiliki risiko dan konsekuensi yang jelas, misalnya
kehilangan hak asuh, bisa masuk penjara, dll.
 Layanan Psikologi pada Proses Hukum
1. Kepolisian (awal penyidikan)
2. Kejaksaan
3. Pengadilan
4. Lembaga Pemasyaratan dan Bapas
 Penyidikan sebagai proses awal oleh Kepolisian
Polisi menghabiskan separuh lebih waktunya untuk proses pembuktian dalam proses
penyidikan, dengan melakukan pemeriksaan, identifikasi korban, pencarian barang bukti
keterangan saksi, serta melakukan penangkapan/penahanan terhadap pelaku. Tugas psikologi
forensik di kepolisian adalah membantu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan
oleh penyidik dalam mengungkap suatu perkara pidana yang ditangani (mediasi,
pendampingan, dsb).
 Tugas dalam penyelidikan antara lain:
Terkait dengan pelaku  Criminal Profiling, memberikan gambaran tentang pelaku kejahatan
(the most probable suspect) yang belum terungkap dan masih dalam penyelidikan sehingga
polisi dapat lebih fokus usaha mencari pelaku
Terkait dengan Korban  Melakukan otopsi psikologi terhadap korban MD. Psikolog
membuat gambaran profil kepribadian dan permasalahan korban sebagai masukan polisi untuk
menentukan korban mati wajar, akibat pembunuhan atau bunuh diri.
 Kompetensi dalam penyelidikan:
1. Membantu pendampingan kepada tersangka, saksi atau korban anak dan remaja pada saat
pembuatan BAP;
2. Melakukan advokasi kepada petugas terkait proses pengambilan BAP pada tersangka
anak/remaja maupun dewasa yang mengalami persoalan psikologis;
3. Asesmen terhadap tersangka, dengan:
a. Mendeteksi ada atau tidaknya keterbatasan intelektual tersangka dalam rangka
memperlancar penyidikan.
b. Asesmen kondisi berisiko dan berbahaya tersangka untuk melihat gambaran
kemungkinan adanya kondisi beresiko/berbahaya selama penyidikan.
c. Asesmen kompetensi mental tersangka (insanity) yang bertujuan untuk mendeteksi
apakah tersangka memiliki kompetensi mental atau sakit jiwa.
d. Mendeteksi kondisi sobriety.
e. Mencari motif yang sesungguhnya.
f. Ada tidaknya malingering.
4. Menyediakan layanan psikologi dan intervensi yang diperlukan bagi saksi korban (terutama
anak);
5. Melakukan pendampingan psikologis (konseling) saat di-BAP dan menjelang sidang
pengadilan.
 Kompetensi penuntutan dalam Kejaksaan:
1. Melakukan layanan psikologi terhadap terdakwa dan saksi korban anak, remaja maupun
dewasa dalam rangka menyusun dakwaan dalam persidangan.
2. Jenis layanan bisa pemeriksaaan awal atau lanjutan disesuaikan (sebagai opini banding
pemeriksaan sebelumnya)
3. Pendampingan psikologis untuk. calon terpidana mati.
 Kompetensi dalam Persidangan:
1. Memberikan keterangan secara lisan sebagai saksi ahli terkait dengan hasil pemeriksaan
yang dilakukan sebelumnya (menjelaskan).
2. Memberikan keterangan secara lisan sebagai saksi ahli atas kompetensi sebagai ahli (dalam
proses hukum kepada subjek terkait tidak ditemukan adanya rekomendasi hasil
pemeriksaan psikologi)
3. Menjadi hakim Ad Hoc (belum pernah).
 Kompetensi Pasca Putusan (Lapas/Bapas):
1. Melakukan asesmen psikologi pertama masuk dan intervensi saat sudah menjadi warga
binaan di lapas.
2. Melakukan asesmen pada saat PB (Pembebasan Bersyarat).
3. Melakukan pendampingan kepada keluarga warga binaan saat menjelang PB.
4. Pendampingan psikologis terhadap terpidana mati
5. Advokasi pada petugas Lapas
 Kompetensi Psikologi pada Peradilan Anak:
1. Melakukan mediasi dan advokasi kepada tersangka dan saksi korban anak/remaja beserta
keluarganya dalam pengambilan keputusan,
2. Melakukan pendampingan psikologis di LPKS,
3. Melakukan asesmen dan intervensi di LPKA,
4. Tim Diversi (restorasi justice system).
 Kompetensi pada Kasus Perdata:
1. Kasus perceraian pada saat hak asuh anak.
2. Kasus perwalian atau adopsi anak.
3. Kasus penelantaran anak.
4. Advokasi pada kasus ibu berperkara mengandung demi perkembangan anak.
 Praktik Psikologi dalam Kepolisian:
1. Criminal Profiling
2. Autopsi Psikologi
3. Analisa Psikologi Sosial
4. Pendampingan Psikologi (trauma healing)
5. Pemeriksaan Tersangka.
6. Pemetaan Kasus (profiling)
 Catatan tentang kejahatan:
1. Kejahatan itu Unik (logika tidak selalu linear tetapi sirklik).
2. Syarat dengan persoalan psiko-sosial sehingga sulit dipetakan (siapa pelaku, siapa korban).
3. Pengulangan pengalaman (pelaku pernah menjadi korban).
4. Berawal dari pelanggaran-pelanggaran kecil.
5. Mengiringi peradaban, perubahan gaya hidup (teknologi, lingkungan, dsb)
 Kompetensi sebagai Psikologi Forensik:
1. Memahami hukum dan mau belajar tentang hukum, terutama terkait dengan hukum pidana
dan hukum perdata yang ditangani;
2. Memiliki kompetensi standart psikolog/ilmuwan forensik dan mampu mempraktikkan
dalam permasalahan hukum;
3. Sanggup memeriksa psikologi di tempat yang terbatas (di tahanan/lapas), TKP atau lokasi
lain, dibawah tekanan (pengacara atau pihak lain) dengan waktu serba terbatas (memiliki
panggilan profesi/passion).
 Kesimpulan:
1. Peran psikologi forensik sangat luas, penting dan menarik sehingga kedepan akan semakin
menantang untuk media eksistensi profesi/ilmuwan psikologi.
2. Trend Kejahatan selalu berkembang membutuhkan inovasi profesi/ilmuwan psikologi
forensik memanfaatkan cabang psikologi lain (klinis, sosial, perkembangan, lingkungan,
dsb).
3. Selalu dibutuhkan tenaga ahli (ilmuwan dan profesi) psikologi forensik dalam menangani
kasus tertentu.
4. Jumlah tenaga ahli masih terbatas, sementara belum ada pendidikan psikologi forensik
secara khusus di Indonesia

Tanggapan :

Setelah dipahami, ada tantangan yang perlu diatasi dalam penerapan psikologi dalam dunia
hukum. Hal ini karena adanya perbedaan paradigma keilmuan. Dalam ilmu hukum, ada pengakuan
keberlakuan yurisprudensi. Artinya, kasus serupa yang terjadi di masa lalu menjadi rujukan dalam
penanganan kasus yang dialami.
Sementara itu, psikologi memandang bahwa setiap perilaku yang terjadi membutuhkan
pendekatan yang berbeda. Dengan demikian, bisa saja kasus yang terjadi terlihat mirip, namun jika
diselidiki ada perbedaan dari psikologis pelaku, saksi, ataupun korbannya. Disinilah tantangannya,
bagaimana hukum dan psikologi memiliki perspektif keilmuan masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai