Anda di halaman 1dari 13

PSIKOLOGI FORENSIK

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Pengantar Psikologi

Kelompok 12
Anggota kelompok:
Angela (190110140050)
Aldriani Fadila (190110140052)
Sekar Ayu Nugraheni (190110140088)

Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran
Jatinangor
2014
Laporan Hasil Kerja Individual: Angela (190110140050)

I. PENGERTIAN PSIKOLOGI FORENSIK


Psikolog forensik biasanya tidak dipanggil untuk mengumpulkan
spesimen DNA dan menganalisis sampel yang tertinggal di tempat perkara
secara ilmiah. Psikolog forensik bukan ahli biologi atau kimia, bukan peneliti
TKP atau penegak hukum. Psikolog forensik hanya mempelajari perilaku
manusia dan mencoba menerapkan prinsip-prinsip tersebut untuk digunakan
dalam urusan hukum.
Secara garis besar, psikologi forensik mengacu pada penerapan
metode penelitian dan teori psikologi pada suatu kasus yang ditangani hukum.
Lebih spesifiknya, psikologi forensik berfokus pada penerapan psikologi klinis
terhadap sistem hukum (Huss & Gonsalves, 2009). Praktek klinis ini umumnya
berfokus pada penilaian dan pengobatan individu dalam konteks hukum;
melingkupi konsep-konsep seperti psikopati, kegilaan, penilaian risiko, cedera,
dan komitmen sipil (Huss & Gonsalves, 2009).

II. SEJARAH PSIKOLOGI FORENSIK


Dibanding bidang kajian lain dari psikologi, psikologi forensik memiliki
sejarah yang relatif singkat. Dari sisi akademik, Hugo Münsterberg, seorang
profesor dan direktur Laboratorium Psikologi di Harvard pada awal abad ke-20,
dari tahun 1900-1920, dikenal sebagai pelopor psikologi forensik. Pada tahun
1908, beliau menerbitkan bukunya yang berjudul On the Witness Stand yang
isinya menguraikan topik-topik berikut: distorsi memori atau ingatan (memory
distortions), akurasi saksi mata (eyewitness accuracy), pengakuan
(confessions), sugestibilitas (suggestibility), hipnosis (hypnosis), deteksi
kejahatan (crime detection), dan pencegahan kejahatan (the prevention of
crime). Ketujuh topik ini merupakan hal yang dibicarakan dalam psikologi
forensik.
Sedangkan, dari sisi penerapannya, Cesare Lombroso, seorang
kriminolog dari Italia (1836-1909), dikenal sebagai bapak kriminologi modern

1
karena beliau mencari tahu dan memahami sebab-sebab seseorang
melakukan tindakan kriminal dari perspektif biologis. Di Amerika Serikat,
seorang dokter bernama William Healy dan stafnya seorang psikolog yang
bernama Grace M. Fernald, mendirikan Juvenile Psychopathic Institute pada
tahun 1909 yang kemudian menegaskan pentingnya sebab-sebab yang
mendasari kriminalitas. Pada awal tahun 1900-an, Sigmund Freud sedang
mengembangkan teorinya mengenai kepribadian dan tulisan-tulisannya
tentang psikopatologi memengaruhi pemikiran mengenai penyebab perilaku
kriminal.
Kemudian pada tahun 1964, Hans. J. Eysenck, seorang psikolog
kepribadian yang terkemuka, menerbitkan bukunya yang berjudul Crime and
Personality, di mana beliau mengusulkan teori biososial mengenai kejahatan,
yang dipandang sebagai teori teruji pertama tentang perilaku kriminal yang
diusulkan oleh seorang psikolog. Empat tahun kemudian, berdirilah American
Psychology-Law Society (AP-LS), yang disusul penerbitan jurnal AP-LS
yang berjudul Law and Human Behavior. Tahun 1980, terbentuklah divisi baru
American Psychological Associaton (APA), yaitu Divisi 41 yang dikenal
sebagai ‘Psychology and Law’. Akhirnya pada tahun 2001, APA resmi
menetapkan psikologi forensik sebagai suatu disiplin ilmu dalam psikologi.

III. PSIKOLOGI FORENSIK DI INDONESIA


Psikologi forensik di Indonesia mulai tampak penerapannya di
Indonesia pada awal tahun 2000 ketika pada tahun 2003, dalam kasus
Sumanto pemakan mayat asal Purbalingga. Psikolog menyatakan bahwa
Sumanto menderita gangguan jiwa sehingga ditempatkan di bangsal khusus
penderita penyakit jiwa, yaitu Bangsal Sakura Kelas III. Namun demikian, ia
tetap diajukan ke sidang pengadilan dan dinyatakan bersalah.
Pada 3 November 2007, terbentuklah Asosiasi Psikologi Forensik
(APSIFOR) di Jakarta, yang merupakan asosiasi ke-13 di HIMPSI (Himpunan
Psikologi Indonesia). Karena psikologi forensik di Indonesia masih relatif baru,

2
maka sangat diperlukan sosialisasi untuk meningkatkan peran bidang psikologi
ini dalam proses hukum di Indonesia.

IV. PERAN PSIKOLOG FORENSIK


Dalam praktik psikologi forensik dibutuhkan spesialisasi dalam tiga
bidang ilmu, yaitu:
1. Klinis (misalnya: dalam diagnosis, pengobatan, tes psikologi, epidemiologi
kesehatan mental).
2. Forensik (misalnya: gaya respon, etika forensik, alat dan teknik untuk
menilai gejala-gejala yang berhubungan dengan hukum).
3. Hukum (misalnya: pengetahuan tentang hukum dan sistem hukum,
pengetahuan tentang di mana dan bagaimana untuk mendapatkan informasi
hukum yang relevan).
Psikolog forensik mengkaji masalah psikologis dan pertanyaan yang
timbul dalam proses hukum. Masalah hukum ini dapat dibagi menjadi dua
kategori utama, yaitu:
1. Sipil: berkaitan dengan litigasi sipil, misalnya gugatan pribadi antara dua
pihak, kompensasi pekerja, komitmen sipil, penentuan hak asuh anak.
2. Pidana/Kriminal: berkaitan dengan kriminalitas dan kenakalan, misalnya
kewarasan pada saat pelanggaran, kompetensi untuk diadili, pelepasan
tuntutan remaja dalam pengadilan dewasa.
Psikologi forensik berkaitan dengan sub disiplin ilmu psikologi lain,
seperti, psikologi kognitif, psikologi fisiologi, psikologi sosial, dan psikologi
perkembangan. Psikolog forensik dapat bekerja di penjara, pusat rehabilitasi,
departemen kepolisian, gedung pengadilan, firma hukum, instansi pemerintah
atau praktik swasta. Berikut adalah contoh-contoh pekerjaan yang dilakukan
oleh seorang psikolog forensik:
1. Melakukan evaluasi terhadap kesehatan mental terdakwa sehingga dapat
menjelaskan motif dibalik kejahatannya atau apakah terdakwa bersalah
berdasarkan apa yang diketahui tentang sejarah perilakunya, yang
kemudian akan menentukan pemvonisan.

3
2. Melakukan pengobatan terhadap terpidana yang terjerat dalam
penggunaan obatan terlarang dan kasus kecanduan.
3. Membantu anak-anak dalam dugaan kasus pelecehan untuk memroses
dan mengomunikasikan pengalaman mereka dengan jujur dan akurat,
hingga mempersiapkan mereka untuk bersaksi di pengadilan.
4. Mempelajari perilaku kriminal, misalnya dengan mewawancara atau
melakukan tes psikologi pada pelaku kriminal, orang-orang terdekatnya,
dan juga korban-korbannya.
5. Mempelajari TKP dan mengevaluasi bukti tertinggal (atau ketiadaan bukti)
untuk mengembangkan profil penjahat (criminal profiling) tertentu dan
mempersempit daftar tersangka.
6. Menjadi penasihat dalam menyeleksi dewan juri dalam pengadilan beserta
aparat kepolisian.
7. Menjadi saksi ahli (expert witness) dalam kasus pidana.
8. Menasihati legislator tentang kebijakan publik.
9. Melatih hakim dan pengacara mengenai kasus-kasus yang berhubungan
dengan psikologi forensik.
10. Bertindak sebagai konsultan pengadilan (trial consultant).
11. Threat assessment, memprediksi orang yang berpotensi melakukan
tindakan kriminal.
Salah satu contoh penerapan psikologi dalam hukum adalah sebagai
berikut. Evaluasi merupakan tanggung jawab utama bagi psikolog forensik
yang berlatarbelakang psikologi klinis. Misalnya, neuropsikolog memeriksa
apakah ada kerusakan pada hemisfer kanan otak pelaku kriminal, yang sangat
berpengaruh pada judgement dan kontrol impuls. Tujuannya adalah agar para
neuropsikolog dapat bersaksi sebagai expert witness berdasarkan hasil
pemeriksaan mereka (Dywan, Kaplan & Pirozzolo, 1991).
Penilaian atau evaluasi karakteristik non-neuropsikologis juga
merupakan tugas dari psikolog forensik. Sangatlah penting untuk diketahui
sampai tingkat apakah seorang pelaku kriminal dapat digolongkan “psikopatik”,
karena akan berdampak pada pemvonisan; apakah terdakwa dinyatakan tidak

4
kompeten untuk diadili atau menerima keringanan hukuman karena kegilaan
sementara. Adapun ciri-ciri psikopati, yaitu: tindakan impulsif, kurangnya rasa
bersalah dan penyesalan, pembohongan kompulsif dan manipulatif, dan
adanya keinginan yang berkelanjutan untuk melanggar peraturan-peraturan
sosial.

5
Laporan Hasil Kerja Individual: Sekar Ayu N. (190110140088)

Wawancara Psikologi Forensik dengan Dr. Ahmad Gimmy P. Siswadi, M.Si.

Q: Apa itu psikologi forensik?

A: Menurut definisi, penggunaan prinsip-prinsip atau terapan psikologi pada


masalah-masalah yang terkait dengan pengadilan dan hukum. Jadi kita menerapkan
ilmu-ilmu psikologi di bidang hukum.

Q: Bedanya psikologi forensik dengan kriminologi?

A: Psikologi forensik itu lebih ke bidang psikologinya, kalau kriminologi itu


mempelajari faktor-faktor yang berkaitan dengan kriminalitas secara umum yang
dipelajari oleh orang-orang yang mempelajari dasar ilmu sosiologi atau hukum. Jadi
latar belakang ilmunya beda, tetapi tetap ada aspek-aspek bidang yang sama dan
ada juga yang tumpang tindih.

Q: Apakah psikologi forensik merupakan suatu bidang yang berdiri sendiri


atau merupakan anak dari suatu bidang yang lain?

A: Psikologi forensik berkembang dari psikologi klinis. Ketika psikologi dihubungkan


dengan bidang atau masalah hukum, ternyata banyak yang berkaitan dengan bidang
klinis. Contohnya, konsep psikopat yang merupakan orang yang salah satu cirinya
adalah memanipulasi orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri meskipun itu
bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku tapi orang tersebut tetap
melakukannya karena ia berorientasi terhadap keinginannya sendiri. Kita
mempelajari psikopat itu melalui psikologi klinis.

Q: Bagaimana psikologi forensik berkembang dalam lingkungan masyarakat


dan apa terapannya?

A: Di Indonesia sendiri ada Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR). Di sini anda bisa
melihat aktivitas-aktivitas psikolog forensik dan manfaat-manfaat untuk masyarakat

6
terutama kepada masyarakat yang memiliki masalah hukum serta kegiatan-kegiatan
yang sudah mereka selenggarakan untuk masyarakat.

Q: Dalam suatu literatur disebutkan bahwa salah satu peran dari psikolog
forensik adalah researcher dan trial consultant, apa peran trial consultant?

A: Sesuai dengan namanya, apa yang dibutuhkan oleh konsultan bidang hukum itu
dia akan melakukannya. Contoh, untuk melihat apakah orang ini memiliki
kompetensi atau layak untuk bersaksi, karena kita harus melihat dari sisi kecerdasan,
kesehatan mental, kecenderungan-kecenderungannya untuk bisa bersaksi. Kita
sebagai psikolog forensik melakukan hal itu dengan cara memberikan bukti fisik
bahwa dia layak menjadi saksi atau pemberian keterangan-keterangannya dapat kita
percaya.

Q: Mengapa seorang psikolog forensik diperbolehkan menjadi saksi ahli?

A: Di Indonesia sendiri yang lebih diakui adalah psikiater yang memiliki latar
belakang ilmu kedokteran sehingga dianggap lebih scientific, tapi seiring dengan
semakin banyaknya lulusan psikologi yang mengambil jalur hukum sehingga
diperbolehkan untuk membantu dalam penyelesaian suatu kasus

Q: Apakah ada konflik antara psikologi dengan hukum dalam membuat suatu
keputusan dalam penyelidikan?

A: Ada buku yang mengatakan seperti itu karena hukum itu melihat dari sisi bukti,
sementara psikologi forensik melihat dari sisi prosesnya. Ketika hukum bertanya
“Apa yang dia lakukan?”, kita bertanya “Mengapa orang bertindak demikian?”. Jadi
proses itu tidak begitu penting dalam pengadilan karena yang dilihat dalam
pengadilan ini adalah bukti yang secara faktual itu terbukti, karena orang yang
mengaku bersalah belum tentu bersalah, jadi harus ada pembuktian. Kalau psikologi
forensik lebih ke pembuatan profil tersangka dalam berbagai kasus.

Q: Bidang apa saja yang harus mahasiswa kuasai untuk mendalami psikologi
forensik?

7
A: Kalau di S1 lebih ke pengenalan, konsep-konsep, ruang lingkup psikologi forensik
melalui bedah buku. Kalau di S2 ada ilmu atau wawasan terapan psikologi forensik.
Selain bekerja di pengadilan, psikolog forensik juga bekerja dalam seleksi dan
penempatan polisi atau penegak hukum.

Q: Ruang lingkup psikologi forensik itu mencakup apa saja?

A: Dari penerapan-penerapan psikologi yang dipakai dalam bidang hukum. Kalau


tempatnya di pengadilan, kepolisian, serta TKP pembunuhan.

Q: Apakah sudah ada program magister khusus Psikologi Forensik di Fakultas


Psikologi Unpad?

A: Belum ada, psikologi forensik masih masuk ke psikologi klinis dan masih berupa
mata kuliah pilihan di S1 dan mata kuliah minoring di S2. Kalau mahasiswa ingin
mendalaminya, mereka dapat membuat tesis tentang bidang ini saja.

Q: Apakah biasanya seorang psikolog forensik pergi ke TKP pembunuhan


untuk suatu penyelidikan?

A: Harusnya begitu. Ketika seorang dokter forensik menyelesaikan suatu kasus,


biasanya harus bekerja sama dengan seorang psikolog forensik.

Q: Bagaimana caranya kita sebagai mahasiswa yang mendalami ilmu psikologi


forensik membuka mata masyarakat Indonesia bahwa psikologi forensik itu
penting?

A: Kita perlu sosialisasi, kita perlu komunitas seperti APSIFOR. Lalu di Unpad
sendiri anda bisa mengkaji sendiri melalui bantuan BEM Fapsi bagaimana psikologi
forensik di Indonesia, atau membandingkan psikologi forensik di USA dan di UK,
atau membahas suatu kasus. Sebagai pemerhati psikologi forensik, anda juga harus
banyak membaca berbagai bacaan seperti dari situs APA atau berbagai literatur
lainnya.

8
Laporan Hasil Kerja Individual: Aldriani Fadila (190110140052)

Contoh kasus yang berkaitan dengan psikologi forensik: kasus pembunuhan oleh
Mujianto dari Nganjuk.

Kronologis pembunuhan oleh Mujianto


Aksi pembunuhan yang dilakukan oleh Mujianto telah dimulai sejak 2011.
Diketahui bahwa Mujianto adalah seorang penyuka sesama jenis atau gay.
Pembunuhan ini dilakukannya dengan alasan cemburu, karena para korban
pembunuhan adalah orang dekat pasangan sesama jenisnya (gay). Dalam
melakukan aksinya, Mujianto menggunakan racun tikus yang dimasukkan ke
dalam makanan maupun minuman. Bahkan Mujianto juga menyodomi para
korbannya.
Dari 6 korban (Ahyani 46 tahun, Romadhon (55), Sudarno alias Basori
(42) dan seorang lagi belum diketahui identitasnya, pria berusia 32
tahun) yang diracun pada tahun 2012, hanya dua yang masih hidup yakni, M
Faiz dan Sumartono dan keterangan kedua korban itulah kasus pembunuhan
yang dilakukan MJ terkuak.

Beberapa pandangan terkait kasus Mujianto


Widodo Budidarmo (Ketua Arus Pelangi yang mewadahi kaum gay dan
lesbian) menjelaskan kasus pembunuhan yang dilakukan Mujianto bukan
akibat rasa cemburu yang berlebihan dari kaum gay, melainkan lebih karena
kriminal murni. Selain itu dari hasil pemeriksaan sementara, ternyata tidak ada
yang aneh dari perilaku tersangka saat pemeriksaan, kecuali perubahan
perilaku.
Sementara psikolog forensik A. Kasandra menilai aksi pembunuhan
berantai yang dilakukan Mujianto tidak terkait dengan orientasi seksualnya
yang menyukai sesama jenis. Kesadisan Mujianto dalam membunuh
korbannya, menurut Kasandra, justru timbul dari kesalahan pola asuh sejak
kecil yang akhirnya mencetak kepribadian seseorang.

9
Menurut ahli psikologi forensik Universitas Surabaya, Yusti Probowati,
berdasarkan teori psikologi, Mujianto disebut memiliki kecenderungan psikopat
dan antisosial sehingga sikapnya cenderung tidak mengikuti aturan-aturan
yang ada. Seseorang yang masuk dalam ketegori psikopat cenderung tidak
mengikuti aturan yang ada dan memiliki egosenteris yang sangat tinggi. "Pasti
ada yang salah dari masa kecil dia sehingga aturan itu tidak dipahami secara
baik" kata Yusti. Sifat egosentris yang dimiliki oleh Mujianto membuat dirinya
sering merasa tergangggu dengan kondisi yang tidak cocok dengan dirinya,
termasuk dengan rasa cemburu yang besar. "Egosentrisnya tinggi yang
menyebabkan dia melakukan hal yang di luar batas. Itu yang terjadi”. Sebagai
seorang psikopat, Mujianto dinilai tidak mempunyai rasa empati. Yusti
menyebut masalah yang dihadapi oleh Mujianto berada pada dirinya sendiri,
bukan dari lingkungannya. "Yang intinya dia sendiri agak sulit menerima yang
melukai dirinya".

Hukuman yang divoniskan kepada Mujianto


Kini Mujianto dijerat dengan pasal 338, 340, 378, 372 KUHP tentang
pembunuhan berencana dengan hukuman sebelas tahun penjara.

10
DAFTAR PUSTAKA

Fulero, Solomon M. & Wrightsman, Lawrence S. (2009). Forensic Psychology, Third


Edition. Amerika Serikat: Wadsworth, Cengage Learning.

Huss, Matthew T. (2014). Forensic Psychology: Research, Clinical Practice, and


Applications, 2nd Edition. Amerika Serikat: John Wiley & Sons, Inc.

Wrightsman, Lawrence S. (2001). Forensic Psychology. Amerika Serikat: Wadsworth,


Cengage Learning.

Bares, Ludfi & Tekun Saragih. (2011). Pengertian Psikologi Forensik. Diakses pada
11 November 2014, dari
http://www.leutikaprio.com/main/media/sample/psikologo%20F_SAMPLE.pdf

Pearson: Higher Education. An Introduction to Forensic Psychology. Diakses pada 1


November 2014, dari
http://www.pearsonhighered.com/assets/hip/us/hip_us_pearsonhighered/samplecha
pter/0205949932.pdf

American Psychological Association. Public Description of Forensic Psychology.


Diakses pada 11 November 2014, dari
http://www.apa.org/ed/graduate/specialize/forensic.aspx

American Psychological Association. A Career in Forensic and Public Service


Psychology. Diakses pada 11 November 2014, dari
http://www.apa.org/action/science/forensic/education-training.aspx

American Psychological Association. Postgrad growth area: Forensic psychology.


Diakses pada 11 November 2014, dari
http://www.apa.org/gradpsych/2009/11/postgrad.aspx

11
Detiknews. Mujianto Punya Kecenderungan Psikopat & Antisosial. Diakses pada 16
November 2014, dari
http://news.detik.com/read/2012/02/16/091055/1843730/10/mujianto-punya-
kecenderungan-psikopat--antisosial

12

Anda mungkin juga menyukai