PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rasa kebencian dan juga perilaku tidak senang memang pada dasarnya tidak
dapat hilang dari dalam pikiran manusia, hal ini jugalah yang menjadi latar
belakang terjadinya pembunuhan Wayan Mirna Salihin (Alm.) pada tanggal 6
Januari 2016 di Oliver Café, Grand Indonesia. Kasus tersebut berawal karena
percakapan yang terjadi di antara Jessica Kumala Wongso selaku “terpidana”
dengan Wayan Mirna Salihin selaku “korban” ialah percakapan yang membuat
perasaan Jessica menjadi kesal, karena hal tersebut muncullah keingin Jessica
untuk membunuh Mirna karena perkataannya yang membuatnya sakit hati. Dalam
hal ini maka timbullah suatu pertanyaan besar yang ada di kalangan para akademisi,
khususnya bagi mahasiswa fakultas hukum. Pertanyaan yang sering di dengar di
kalangan para akademisi ialah, “apakah gerak-gerik perilaku yang dilakukan oleh
Jessica di tempat kejadian peristiwa tersebut menunjukkan bahwa memang dia
pelakunya ?”, hal inilah yang membuat penulis tertarik dalam proses penulisan
karya ilmiah dan jika pertanyaan tersebut ditindaklanjuti maka akan menjadi suatu
pertanyaan yang dapat dijawab jika hal ini dapat kita pahami dengan menggunakan
konsep psikologi hukum sebagai bahan acuan, karena menurut penulis, psikologi
hukum ini merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang sangat membantu dalam
menangani perkara yang ada di dalam persidangan, khususnya bagi perkara hukum
pidana, sepertihalnya dalam kasus “Kopi Sianida” ini. Oleh karena itu dalam hal
ini penulis ingin membuat karya ilmiah dengan mengkaji kasus “Kopi Sianida”
menggunakan psikologi hukum.
1
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Psikologi
1
Alex Sobur. 2003. Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hlm.7
2
Ibid. hlm.23
3
d. Robert S. Woodworth dan Marquis DG dalam bukunya Psychology:
”Psychology is the scientific studies of indiviual activities relation to the
inveronment ” (Psikologi adalah yang mempelajari tentang aktifitas dan
tingkah laku individu dalam hubungan dengan alam sekitarnya).
3
Yusti Probowati Rahayu. 2008.Peran Psikologi Dalam Investigasi Kasus Tindak Pidana. Jakarta, Hlm.26
4
Sudikno Mertokusomo. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: LibertyHlm.38
4
mengatur hubungan hukum yang terdiri dari ikatan-ikatan prinsip individu dan
masyarakat dan antara individu itu sendiri.
Dari uraian diatas dapat menarik kesimpulan bahwa hukum adalah keseluruhan
kumpulan peraturan atau kaedah baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan sebuah
sanksi.
Psikologi Hukum merupakan bidang yang baru lahir di sekitar tahun 1960-an
sebagai salah satu kajian empiris, yang memandang hukum dalam wujudnya
sebagai “behavior” atau “perilaku” manusia dalam bidang hukum. Ketika manusia
berperilaku, apakah perilakunya itu “benar” atau “salah” menurut standar hukum,
maka di lain pihak, psikologi hukum ingin megklarifikasi perilaku manusia itu
dalam klasifikasinya sendiri. Seperti klarfikasi antara perilaku individu dan
perilaku kelompok, antara perilaku normal dan perilaku abnormal, dan sejumlah
klasifikasi khas psikologi hukum lainnya.5
“Psikologi dan hukum adalah suatu bidang lmu yang relatif mudah.Secara
konseptual memiliki cakupan luas, bidang ini mencakup pendekatan-
pendekatan yang berbeda-beda terhadap psikologi. Setiap subdivisi dari
5
Achmad Ali, Diktat Psikologi Hukum (Bahan Ajar Psikologi Hukum Universitas hasanuddin).
2009.Hlm.2
5
psikologi umum, telah mendukung penelitian tentang berbagai isu hukum,
mencakupi masalah-masalah yang bersifat:6
Definisi psikologi hukum secara lebih singkat dan agak berbeda di kemukakan
dalam oleh Achmad Ali yaitu:7
6
Ibid. hlm.3-4
7
Ibid.
6
Psikologi hukum mencakup kajian-kajian empiris, yakni: penelitian psikologi
terhadap hukum, tentang institusi hukum, dan tentang orang yang berhubungan
dengan hukum. Psikologi hukum secara tipikal sebagai kajian yang merujuk
pada dasar sosial dan teori-teori serta asas-asas yang bersifat kognitif, untuk
menerapkan mereka terhadap isu-isu dalam sistem hukum seperti memori saksi
mata, pengambilan keputusan dewan juri, penyelidikan, dan pewawancaraan.
Istilah “legal psychology” dibedakan dengan istilah “forensic psychology”
dimana gabungan antara keduanya itulah yang dkenal sebagai“psychology and
law”.
Menurut Brian L. Cutler Secara sangat terinci memaparkan ruang lingkup dan
subjek bahasan lengkap dari kajian Psikologi Hukum. Brian L. Cutler membagi 17
pokok bahasan yang menjadi materi kajian Psikologi Hukum menurut versinya, yaitu:9
8
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1980.hlm.18
9
Achmad Ali, Op.Cit., hlm.5-6
7
f. Eyewitness Memory (memori saksi mata);
g. Forensic Assesment in Civil and Criminal Cases (penilaian forensik dalam
kasus pidana dan perdata);
h. Juvenile offenders (pelanggar hukum yang masih anak-anak)
i. Mental Health Law (hukum kesehatan mental);
j. Psychological and Forensic Assessment Instruments (instrument penilaian
psikologis dan forensik);
k. Psychology of criminal Behavior (psikologi tentang perilaku kriminal);
l. Psychology of policing and Investigations (psikologi polisi dan investigasi);
m. Sentencing and Incarceration (pemidanaan dan penahanan/pemenjaraan);
n. Symptoms and Disorders Relevant to forensic Assesment (penilaian forensik
terhadap gejala dan penyakit yang relevan)
o. Trial Processes (proses persidangan pengadilan)
p. Victim Reactions to crime (reaksi korban terhadap kejahatan)
q. Violence Risk Assessment (penilaian risiko kekerasan).
Jadi menurut Blackburn yang dikutip oleh Andreas Kapardis ada beberapa
jenis-jenis pendekatan psikologi hukum itu sendiri diantara:10
10
Ibid. hlm.7
8
Kehandalan saksi mata menjadi salah satu pertanyaan yang penting agar
hakim dapat menentukan dapat meyakini keterangan saksi tersebut atau
tidak. Demikian juga kondisi mental terdakwa di persidangan, merupakan
salah satu objek kajian dari psikologi di dalam hukum. Kita sering
menyaksikan si Terdakwa menjawab tidak ingat dan tidak jarang Majelis
Hakim atau Penuntut Umum seolah tidak menerima mengapa si Terdakwa
tidak ingat lagi, padahal dengan menggunakan pendekatan psikologi di
dalam hukum bukan hal aneh bahwa terdakwa yang karena kondisi
mentalnya menjadi gugup di hadapkan di suatu persidangan yang terbuka.
Sehingga menjadi tidak ingat lagi suatu peristiwa yang dalam kondisi
mental yang normal, seyogyanya diingatnya.
9
II. Ketaatan yang bersifat “identification” yaitu seseorang yang menaati
hukum hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain
menjadi rusak.
III. Ketaatan yang berisfat “internalization” yaitu seseorang yang menaati
hukum benar-benar karena aturan hukum cocok dengan nilai intrinsik
yang dianutnya, sesuai dengan rasa keadilannya, dan dapat memenuhi
kepentingan subjektifnya.
10
BAB III
PEMBAHASAN
Kilas balik kasus Wayan Mirna Salihin yang meninggal dunia usai meneguk es
kopi Vietnam bercampur zat sianida di cafe Oliver, Grand Indonesia Mall, Jakarta
Pusat pada 6 Januari 2016. Saat peristiwa itu terjadi, di meja yang sama mereka tengah
menikmati minuman , Mirna ditemani oleh kedua temannya Jessica Kumala Wongso
dan Hanie Juwita Boon. Mereka adalah teman sekampus lulusan tahun 2008 di Billy
Blue College of Design, Sidney, Australia. Kemudian jika melihat fakta-fakta yang ada
di persidangan dalam keterangan ahli psikologi klinis Antonia Ratih Hanyani, beliau
menerangkan bahwa Jessica memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, hal ini
terlihat dari jawaban yang diberikan Jessica dari setiap pertanyaan-pertanyaan kritis
yang diajukan oleh Beliau. Jessica juga dinilai sebagai sosok yang mampu
memodifikasi perilakunya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang ingin
tingkat intelegensi yang tinggi, “Seseorang dengan kapasitas tertentu memiliki daya
dikondisikannya” ujar beliau. Kemudian, menurut beliau respon Jessica yang kalem
dan tenang pada saat diajukan pertanyaan beliau, menurutnya suatu yang yang luar
11
biasa hingga belaiu mengacungi jempolnya, karena dibawah kondisi stress Jessica
masih tampak sangat tenang. Namun, kecerdasan dan kesempurnaan jawaban Jessica
terhadap tim psikolog, oleh Ratih, justru menjadi sebuah pertanyaan besar. Pasalnya,
jika seseorang yang pada umumnya berada di posisi yang sama dengan Jessica, orang
tersebut sesekalu pasti akan mengeluarkan gerak-gerik atau tutur kata yang
kantor polisi akan ada kegelisahan, tidak tenang. Tapi yang bersangkutan (Jessica)
Ahli Psikologi Klinis Ratih menangkap sikap tidak tenang Jessica Kumala Wongso
selama berada di meja nomor 54, Kafe Olivier. Ketidaktenangan Jessica terlihat saat
tiga minuman yang dipesannya, es kopi Vietnam, Zahserac, Old Fashion, sudah tersaji
di meja. Ada gerakan-gerakan tubuh yang menurut Ratih tidak umum dilakukan
"Pukul 16.30, Jessica menegok ke sisi bawah, terlihat pergerakan tangan Jessica, lalu
badannya mendayung ke depan, lalu Jessica seperti memindahkan sesuatu ke atas meja.
Perilaku itu tidak umum ditampilkan ketika seseorang sedang di kafe, menunggu teman
11
FX Richo Pramono, Silang Pendapat Ahli Psikologi di Sidang Jessica Wongso, dikutip dari
<http://news.liputan6.com/read/2605935/silang-pendapat-ahli-psikologi-di-sidang-jessica-wongso>,
hlm 2., terakhir di akses 20 Mei 2017 pukul 15:40
12
Berdasarkan gelagat Jessica yang terekam CCTV Kafe Olivier pada 6 Januari 2016,
Ratih menyimpulkan ada rasa gelisah di benak putri bungsu dari Imelda dan Gunardi
Wongso itu. Namun kegelisahan Jessica hilang setelah ia bertemu Mirna dan
Hanie.Ratih berujar, perilaku Jessica akan wajar dalam konteks sedang menunggu
teman di kafe jika ia sibuk memainkan ponselnya. Namun hal itu tak tampak di
rekaman CCTV. "Kalau hanya dari observasi, kita bisa menyimpulkan Jessica tidak
wajar. Tapi apa yang bisa membuat dia gelisah, tidak relaks, itu harus digali lagi.
Karena saat Mirna datang, perilakunya kembali biasa," ujar Ratih. "Jessica wajar
tampak gelisah menunggu Mirna kalau konteksnya sudah lama enggak ketemu. Sibuk
menghubungi temannya untuk tanya sudah di mana. Apalagi jika janjiannya waktunya
terbatas. Apalagi kalau yang bersangkutan sudah memesan minuman, pasti dimonitor
kawannya di mana, supaya nanti hidangannya bisa dinikmati bersama. Tapi itu tidak
Kemudian, dalam keterangan Ahli Psikologi Dewi. Analisis awal yang dilakukan
Dewi adalah mengenai perilaku Jessica yang meletakkan tas kertas atau paper bag di
atas meja saat berada di Kafe Olivier, Grand Indonesia, 6 Januari 2016 lalu. Bagi
beberapa ahli yang dihadirkan JPU, perilaku tersebut tidak lazim. Jessica dinilai
menjelaskan, beberapa orang memiliki kebiasaan meletakkan tas atau barangnya di atas
13
meja, sekali pun ada tempat lain. Perilaku itu didasari sejumlah alasan, antara lain, agar
bisa dilihat orang lain alias pamer, takut hilang atau diambil orang, dan sebagainya.12
Kemudian jika kita merujuk pada fakta-fakta persidangan maka akan terlihat ruang
lingkup psikologi dan subjek bahasan psikologi hukum yang di gunakan oleh para ahli
psikologi tersebut, yang mana kasus “kopi sianida” ini termasuk ke dalam Psychology
penulis bahwa dalam kasus ini saat Jessica sudah dianggap sebagai seorang terdakwa
melakukan kejatahan tersebut, walaupun hal ini berlainan dengan asas presumption of
innocence (praduga tak bersalah) karena belum adanya putusan hakim pada saat proes
yang mana dalam hal ini dalam melakukan pemeriksaan psikologi tersebutt karena
seperti apa yang dikatakan oleh ahli psikologi Dewi Taviana, dalam penetuan tempat
pemeriksaan yang tidak netral, hal tersebut menyebabkan hasil observasi yang
dihasilkan tidaklah maksimal, yang akibatnya hasilnya bias dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
12
FX Richo Pramono, Silang Pendapat Ahli Psikologi di Sidang Jessica Wongso, Ibid. hlm 3.
14
Juga, dalam hal jenis pendekatan Psikologi Hukum dalam kasus ini menurut
penulis jika dikaitkan dengan teori yang sudah dipaparkan sebelumnya maka, para Ahli
law), yang mana jika kita merujuk dalam kasus “kopi sianida” dan melihat fakta-fakta
yang ada di persidangan, hal ini merupakan yang paling terlihat dibandingkan dengan
pendekatan yang lainnya. Sebab, dalam pendekatan ini lebih menitikberatkan kondisi
mental terdakwa agar hakim dapat menentukan dapat meyakini keterangan saksi
tersebut atau tidak, Juka kondisi mental Jessica di persidangan, merupakan salah satu
objek kajian dari psikologi di dalam hukum, yang mana pada saat persidangan Jessica
berlangsung reaksi seseorang yang sedang di dalam masalah tersebut bahkan hanya
menampilkan reaksi yang tenang dan seakan-akan tidak bersalah. Juga jika mengacu
Ratih menyatakan bahwa Jessica memiliki gangguan mental, yang mana jika kita
melihat dari teori yang dipaparkan sebelumnya bahwa pendekatan ini bertujuan untuk
dapat memutuskan ada tidaknya unsur yang dapat dipertanggungjawabkan suatu tindak
pindana tertentu, yaitu Pasal 44 ayat (1) KUHP yang pada prinsipnya menyatakan
bahwa salah satu alasan menghilangkan tindak pidana adalah bahwa tidaklah dapat
dipertanggungjawabkan kepada dirinya, oleh karena dia tidak waras. Jadi alasan
ketidakwarasan ini, dari perspektif hukum pidana merupakan alasan yang berasal dari
15
BAB IV
PENUTUP
16
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Diktat Psikologi Hukum (Bahan Ajar Psikologi Hukum Universitas
hasanuddin). 2009.
Alex Sobur. 2003. Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia.
FX Richo Pramono, Silang Pendapat Ahli Psikologi di Sidang Jessica Wongso,
dikutip dari <http://news.liputan6.com/read/2605935/silang-pendapat-ahli-
psikologi-di-sidang-jessica-wongso>.
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1980
Sudikno Mertokusomo. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta:
Liberty.
Yusti Probowati Rahayu. 2008.Peran Psikologi Dalam Investigasi Kasus Tindak
Pidana. Jakarta.
17