Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rasa kebencian dan juga perilaku tidak senang memang pada dasarnya tidak
dapat hilang dari dalam pikiran manusia, hal ini jugalah yang menjadi latar
belakang terjadinya pembunuhan Wayan Mirna Salihin (Alm.) pada tanggal 6
Januari 2016 di Oliver Café, Grand Indonesia. Kasus tersebut berawal karena
percakapan yang terjadi di antara Jessica Kumala Wongso selaku “terpidana”
dengan Wayan Mirna Salihin selaku “korban” ialah percakapan yang membuat
perasaan Jessica menjadi kesal, karena hal tersebut muncullah keingin Jessica
untuk membunuh Mirna karena perkataannya yang membuatnya sakit hati. Dalam
hal ini maka timbullah suatu pertanyaan besar yang ada di kalangan para akademisi,
khususnya bagi mahasiswa fakultas hukum. Pertanyaan yang sering di dengar di
kalangan para akademisi ialah, “apakah gerak-gerik perilaku yang dilakukan oleh
Jessica di tempat kejadian peristiwa tersebut menunjukkan bahwa memang dia
pelakunya ?”, hal inilah yang membuat penulis tertarik dalam proses penulisan
karya ilmiah dan jika pertanyaan tersebut ditindaklanjuti maka akan menjadi suatu
pertanyaan yang dapat dijawab jika hal ini dapat kita pahami dengan menggunakan
konsep psikologi hukum sebagai bahan acuan, karena menurut penulis, psikologi
hukum ini merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang sangat membantu dalam
menangani perkara yang ada di dalam persidangan, khususnya bagi perkara hukum
pidana, sepertihalnya dalam kasus “Kopi Sianida” ini. Oleh karena itu dalam hal
ini penulis ingin membuat karya ilmiah dengan mengkaji kasus “Kopi Sianida”
menggunakan psikologi hukum.

1
B. Identifikasi Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Psikologi Hukum ?


2. Bagaimankah peran Psikologi Hukum terhadap kasus “Kopi Sianida” ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Psikologi Hukum.


2. Untuk mengetahui peran Psikologi Hukum terhadap kasus “Kopi Sianida”.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Psikologi

Sebagaimana halnya istilah-istilah ilmiah dan kefilsafatan, istilah psikologi pun


diperoleh dari Yunani. Yang secara etimologis, terdiri dari kata psyche yang berarti
”jiwa”, dan logos yang berarti “ilmu”. Jadi secara harfiah, psikologi berarti ilmu
jiwa.1

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia psikologi berarti ilmu pengetahuan


yang menyelidiki gejala-gejala jiwa, sedangkan psikologis berarti kejiwaan. Untuk
lebih mengetahui mengenai pengertian psikologi berikut adalah berbagai pendapat
para ahli mengenai pengertian psikologi :2

a. Ernest Higert dalam bukunya Introduction to Psychology: “Psychology may


be defined is the science that studies the behavior of man and other animal”
(Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku tingkah laku manusia
dan hewan lainnya).
b. Geoge A. Miller dalam bukunya Psychology and Communication:
“Psichology is the science that attamp to discribe, predict, and control
mental and behavior events” (Psikologi adalah ilmu yang mencoba
menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol mental dan tingkah laku).
c. Clifford T. Morgan dalam bukunya Introduction to Psychology:
”Psychology is the science of human and animal behavior” (Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia dan hewan).

1
Alex Sobur. 2003. Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hlm.7
2
Ibid. hlm.23

3
d. Robert S. Woodworth dan Marquis DG dalam bukunya Psychology:
”Psychology is the scientific studies of indiviual activities relation to the
inveronment ” (Psikologi adalah yang mempelajari tentang aktifitas dan
tingkah laku individu dalam hubungan dengan alam sekitarnya).

Mengenai pengertian psikologi Yusti Probowati .R juga berpendapat bahwa


Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam
setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah
yang dihadapi.Tak terkecuali dalam permasalahan hukum.3 Di indonesia psikologi
kemudian membagi bidangnya menjadi enam yaitu: psikologi klinis,
perkembangan,psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi
pendidikan, psikologi industri dan organisasi.

B. Pengertian Psikologi Hukum

Setelah mengetahui pengertian mengenai istilah psikologi selanjutnya penulis


akan melanjutkan dengan pengertian psikologi hukum. Namun sebelumnya akan
lebih baik jika terlebih dahulu menjelaskan sedikit mengenai pengetian hukum itu
sendiri.

Menurut Sudikno Mertokusomo jika berbicara mengenai hukum pada


umumnya yang dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan–peraturan
atau kaedahkaedah dalam kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang
tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi.4 Dapat dikatakan bahwa umum nya setiap
sarjana hukum melihat hukum sebagai kumpulan peraturanperaturan.Hukum

3
Yusti Probowati Rahayu. 2008.Peran Psikologi Dalam Investigasi Kasus Tindak Pidana. Jakarta, Hlm.26
4
Sudikno Mertokusomo. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: LibertyHlm.38

4
mengatur hubungan hukum yang terdiri dari ikatan-ikatan prinsip individu dan
masyarakat dan antara individu itu sendiri.

Dari uraian diatas dapat menarik kesimpulan bahwa hukum adalah keseluruhan
kumpulan peraturan atau kaedah baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan sebuah
sanksi.

Psikologi Hukum merupakan bidang yang baru lahir di sekitar tahun 1960-an
sebagai salah satu kajian empiris, yang memandang hukum dalam wujudnya
sebagai “behavior” atau “perilaku” manusia dalam bidang hukum. Ketika manusia
berperilaku, apakah perilakunya itu “benar” atau “salah” menurut standar hukum,
maka di lain pihak, psikologi hukum ingin megklarifikasi perilaku manusia itu
dalam klasifikasinya sendiri. Seperti klarfikasi antara perilaku individu dan
perilaku kelompok, antara perilaku normal dan perilaku abnormal, dan sejumlah
klasifikasi khas psikologi hukum lainnya.5

Apakah yang dimaksud dengan Legal Psychologi atau yang di indonesia


diterjemahkan sebagai Psikologi Hukum atau sama dengan pengertian hukum dan
definisi hukum dan hal-hal yang berhubungan dengan hukumnya, yang sulit untuk
di definisikan sebagai suatu definisi saja, maka demikian juga kajian psikologi
hukum, terdapat banyak definisi dari berbagai pakar. Demikian juga ruang lingkup
kajiannya terdapat banyak pendapat. Setiap pakar psikologi hukum, membuat
ruang lingkup materi kajian psikologi hukum sendiri.

“Psikologi dan hukum adalah suatu bidang lmu yang relatif mudah.Secara
konseptual memiliki cakupan luas, bidang ini mencakup pendekatan-
pendekatan yang berbeda-beda terhadap psikologi. Setiap subdivisi dari

5
Achmad Ali, Diktat Psikologi Hukum (Bahan Ajar Psikologi Hukum Universitas hasanuddin).
2009.Hlm.2

5
psikologi umum, telah mendukung penelitian tentang berbagai isu hukum,
mencakupi masalah-masalah yang bersifat:6

a. Kognitif (contohnya: kesaksian saksi mata),


b. Pengembangan (contohnya: kesaksian anak-anak),
c. Sosial (contohnya: perilaku dewan juri),
d. Klinis (contohnya: penilaian tentang kompetensi seseorang)
e. Biologi (contohnya: polygraph), dan
f. Psikologi pengorganisasian industrial (contohnya: godaan seksual dalam
tempat kerja).

Para ilmuan dari universitas, institusi peneltian, dan berbagai lembaga


pemerintah dalam beberapa benua, pada hakikatnya telah turut mendorong
pertumbuhan pengetahuan empiris tentang isu-isu psikologi hukum. Meskipun
usianya masih muda, tetapi psikologi hukum telah menunjukkan tandatanda
kedewasaanya. Psikologi dan hukum adalah juga suatu ilmu praktis, Psikologi
Klinis yang dipraktikkan di ajang forensik, menyediakan pengkajian dan layanan
penanganan dalam berbagai macam kasus pidana serta berbagai macam kasus
perdata serta dalam penegakan hukum.Psikologi sosial menerapkan pengetahuan
psikologi dan hukum mereka dalam profesi mereka sebagai konsultan persidangan
pengadilan, membantu penuntut umum dalam rekrutmen penyeleksian dewan juri
dan persiapan persidangan/pengadilan.Psikologi kilinis dan eksperimental
bertindak sebagai ”expertise” di dalam kasus pidana maupun kasus perdata.

Definisi psikologi hukum secara lebih singkat dan agak berbeda di kemukakan
dalam oleh Achmad Ali yaitu:7

6
Ibid. hlm.3-4
7
Ibid.

6
Psikologi hukum mencakup kajian-kajian empiris, yakni: penelitian psikologi
terhadap hukum, tentang institusi hukum, dan tentang orang yang berhubungan
dengan hukum. Psikologi hukum secara tipikal sebagai kajian yang merujuk
pada dasar sosial dan teori-teori serta asas-asas yang bersifat kognitif, untuk
menerapkan mereka terhadap isu-isu dalam sistem hukum seperti memori saksi
mata, pengambilan keputusan dewan juri, penyelidikan, dan pewawancaraan.
Istilah “legal psychology” dibedakan dengan istilah “forensic psychology”
dimana gabungan antara keduanya itulah yang dkenal sebagai“psychology and
law”.

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa:8

“Psikologi hukum di satu pihak, yaitu menelaah faktorfaktor psikologis yang


mendorong orang untuk mematuhi hukum, dilain pihak juga meneliti faktor-
faktor yang mungkin mendorong orang untuk melanggar hukum”.

C. Ruang Lingkup dan Subjek Bahasan Psikologi Hukum

Menurut Brian L. Cutler Secara sangat terinci memaparkan ruang lingkup dan
subjek bahasan lengkap dari kajian Psikologi Hukum. Brian L. Cutler membagi 17
pokok bahasan yang menjadi materi kajian Psikologi Hukum menurut versinya, yaitu:9

a. Criminal Competencies (kompetensi criminal);


b. Criminal Responsibility (pertanggungjawaban pidana);
c. Death Penalty (pidana mati)
d. Divorce and Chalid Custody (perceraian dan pemeliharaan anak);
e. Education and Professional Development (pendidikan dan perkembangan
professional)

8
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1980.hlm.18
9
Achmad Ali, Op.Cit., hlm.5-6

7
f. Eyewitness Memory (memori saksi mata);
g. Forensic Assesment in Civil and Criminal Cases (penilaian forensik dalam
kasus pidana dan perdata);
h. Juvenile offenders (pelanggar hukum yang masih anak-anak)
i. Mental Health Law (hukum kesehatan mental);
j. Psychological and Forensic Assessment Instruments (instrument penilaian
psikologis dan forensik);
k. Psychology of criminal Behavior (psikologi tentang perilaku kriminal);
l. Psychology of policing and Investigations (psikologi polisi dan investigasi);
m. Sentencing and Incarceration (pemidanaan dan penahanan/pemenjaraan);
n. Symptoms and Disorders Relevant to forensic Assesment (penilaian forensik
terhadap gejala dan penyakit yang relevan)
o. Trial Processes (proses persidangan pengadilan)
p. Victim Reactions to crime (reaksi korban terhadap kejahatan)
q. Violence Risk Assessment (penilaian risiko kekerasan).

D. Jenis-Jenis Pendekatan Psikologi Hukum

Jadi menurut Blackburn yang dikutip oleh Andreas Kapardis ada beberapa
jenis-jenis pendekatan psikologi hukum itu sendiri diantara:10

a. Psikologi Di Dalam Hukum (psychology in law)

Menurut Blackburn psikologi di dalam hukum mengacu pada penerapan-


penerapan spesifik psikologi di dalam hukum. Seperti persoalan kehandalan
kesaksian mata, kondisi mental terdakwa dan orang tua mana yang cocok,
ibu atau ayah untuk diterapkan sebagai wali pemeliharaan anak dalam kasus
perceraian.

10
Ibid. hlm.7

8
Kehandalan saksi mata menjadi salah satu pertanyaan yang penting agar
hakim dapat menentukan dapat meyakini keterangan saksi tersebut atau
tidak. Demikian juga kondisi mental terdakwa di persidangan, merupakan
salah satu objek kajian dari psikologi di dalam hukum. Kita sering
menyaksikan si Terdakwa menjawab tidak ingat dan tidak jarang Majelis
Hakim atau Penuntut Umum seolah tidak menerima mengapa si Terdakwa
tidak ingat lagi, padahal dengan menggunakan pendekatan psikologi di
dalam hukum bukan hal aneh bahwa terdakwa yang karena kondisi
mentalnya menjadi gugup di hadapkan di suatu persidangan yang terbuka.
Sehingga menjadi tidak ingat lagi suatu peristiwa yang dalam kondisi
mental yang normal, seyogyanya diingatnya.

b. Psikologi dan Hukum (psychology and law)

Psikologi dan hukum mencakup contohnya riset psikologi hukum tentang


para pelanggar hukum juga riset-riset psikologi hukum terhadap perilaku
polisi, advokat (pengacara), jaksa, dan hakim (atau juga juri, dalam suatu
peradilan yang menggunakan sistem juri)

c. Psikologi Tentang Hukum (psychology of law)

Psikologi tentang hukum digunakan untuk mengacu pada riset psikologi


tentang isu-isu seperti: mengapa orang menaati hukum, riset tentang
perlembagaan moral dari komunitas tertentu, riset tentang persepsi dan
sikap politik terhadap berbagai sanksi pidana. Kaitan dengan mengapa
orang menaati hukum, maka teori yang terkenal adalah teori tiga jenis
ketaatan hukum dari H.C.Kelman yaitu;

I. Ketaatan yang bersifat “compliance” yaitu seseorang yang menaati


hukum hanya karena takut akan sanksi.

9
II. Ketaatan yang bersifat “identification” yaitu seseorang yang menaati
hukum hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain
menjadi rusak.
III. Ketaatan yang berisfat “internalization” yaitu seseorang yang menaati
hukum benar-benar karena aturan hukum cocok dengan nilai intrinsik
yang dianutnya, sesuai dengan rasa keadilannya, dan dapat memenuhi
kepentingan subjektifnya.

d. Psikologi Forensik (forensic psychology)

Adapun psikologi forensic menunjukkan “penyediaan langsung informasi


psikologi untuk pengadilan-pengadilan”, sehingga dinamakan juga
“psychology in the courts”. Salah satu contohya, jika majelis hakim
meminta agar terdakwa diperiksa kewarasannya oleh tim psikiater, untuk
dapat memutuskan ada tidaknya unsur dapat di pertanggungjawabkan suatu
tindak pidana tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam hukum
pidana, yaitu Pasal 44 ayat (1) KUHP, pada prinsipnya ditentukan bahwa
salah satu alasan menghilangkan tindak pidana adalah bahwa tidaklah dapat
dipidana seseorang yang melakukan suatu perbuatan, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada dirinya, oleh karena dia tidak waras, yaitu
daya berpikirnya kurang berkembang atau pikirannya terganggu oleh suatu
penyakit (gebrekkige ontwikkeling of ziekelijke storing zijner verstandelijke
vermogens). Jadi alasan ketidakwarasan ini, dari perspektif hukum pidana
merupakan alasan yang berasal dari dalam diri si pelaku dan khusus kondisi
psikologinya.

10
BAB III

PEMBAHASAN

Kilas balik kasus Wayan Mirna Salihin yang meninggal dunia usai meneguk es

kopi Vietnam bercampur zat sianida di cafe Oliver, Grand Indonesia Mall, Jakarta

Pusat pada 6 Januari 2016. Saat peristiwa itu terjadi, di meja yang sama mereka tengah

menikmati minuman , Mirna ditemani oleh kedua temannya Jessica Kumala Wongso

dan Hanie Juwita Boon. Mereka adalah teman sekampus lulusan tahun 2008 di Billy

Blue College of Design, Sidney, Australia. Kemudian jika melihat fakta-fakta yang ada

di persidangan dalam keterangan ahli psikologi klinis Antonia Ratih Hanyani, beliau

menerangkan bahwa Jessica memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, hal ini

terlihat dari jawaban yang diberikan Jessica dari setiap pertanyaan-pertanyaan kritis

yang diajukan oleh Beliau. Jessica juga dinilai sebagai sosok yang mampu

memodifikasi perilakunya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang ingin

dibangunnya. Untuk dapat mewujudkan perilaku ini, menurut beliau, dibutuhkan

tingkat intelegensi yang tinggi, “Seseorang dengan kapasitas tertentu memiliki daya

untuk memodifikasi perilaku dan membangun kondisi-kondisi yang ingin

dikondisikan. Butuh kapasitas yang dibutuhkan, salah satunya inteligensi.

Ketajaman untuk beranalisis dan memprediksi dari perilaku-perilaku yang

dikondisikannya” ujar beliau. Kemudian, menurut beliau respon Jessica yang kalem

dan tenang pada saat diajukan pertanyaan beliau, menurutnya suatu yang yang luar

11
biasa hingga belaiu mengacungi jempolnya, karena dibawah kondisi stress Jessica

masih tampak sangat tenang. Namun, kecerdasan dan kesempurnaan jawaban Jessica

terhadap tim psikolog, oleh Ratih, justru menjadi sebuah pertanyaan besar. Pasalnya,

jika seseorang yang pada umumnya berada di posisi yang sama dengan Jessica, orang

tersebut sesekalu pasti akan mengeluarkan gerak-gerik atau tutur kata yang

mendeskripsikan kegelisahannya, “Biasanya orang di bawah tekanan besar dan di

kantor polisi akan ada kegelisahan, tidak tenang. Tapi yang bersangkutan (Jessica)

sangat tenang. Ini menjadi tidak biasa," tegas Ratih.11

Ahli Psikologi Klinis Ratih menangkap sikap tidak tenang Jessica Kumala Wongso

selama berada di meja nomor 54, Kafe Olivier. Ketidaktenangan Jessica terlihat saat

tiga minuman yang dipesannya, es kopi Vietnam, Zahserac, Old Fashion, sudah tersaji

di meja. Ada gerakan-gerakan tubuh yang menurut Ratih tidak umum dilakukan

seseorang ketika sedang menunggu kedatangan temannya di sebuah tempat makan.

"Pukul 16.30, Jessica menegok ke sisi bawah, terlihat pergerakan tangan Jessica, lalu

badannya mendayung ke depan, lalu Jessica seperti memindahkan sesuatu ke atas meja.

Perilaku itu tidak umum ditampilkan ketika seseorang sedang di kafe, menunggu teman

tanpa atensi apapun," kata dia.

11
FX Richo Pramono, Silang Pendapat Ahli Psikologi di Sidang Jessica Wongso, dikutip dari
<http://news.liputan6.com/read/2605935/silang-pendapat-ahli-psikologi-di-sidang-jessica-wongso>,
hlm 2., terakhir di akses 20 Mei 2017 pukul 15:40

12
Berdasarkan gelagat Jessica yang terekam CCTV Kafe Olivier pada 6 Januari 2016,

Ratih menyimpulkan ada rasa gelisah di benak putri bungsu dari Imelda dan Gunardi

Wongso itu. Namun kegelisahan Jessica hilang setelah ia bertemu Mirna dan

Hanie.Ratih berujar, perilaku Jessica akan wajar dalam konteks sedang menunggu

teman di kafe jika ia sibuk memainkan ponselnya. Namun hal itu tak tampak di

rekaman CCTV. "Kalau hanya dari observasi, kita bisa menyimpulkan Jessica tidak

wajar. Tapi apa yang bisa membuat dia gelisah, tidak relaks, itu harus digali lagi.

Karena saat Mirna datang, perilakunya kembali biasa," ujar Ratih. "Jessica wajar

tampak gelisah menunggu Mirna kalau konteksnya sudah lama enggak ketemu. Sibuk

menghubungi temannya untuk tanya sudah di mana. Apalagi jika janjiannya waktunya

terbatas. Apalagi kalau yang bersangkutan sudah memesan minuman, pasti dimonitor

kawannya di mana, supaya nanti hidangannya bisa dinikmati bersama. Tapi itu tidak

terlihat di CCTV," sambung Ratih.

Kemudian, dalam keterangan Ahli Psikologi Dewi. Analisis awal yang dilakukan

Dewi adalah mengenai perilaku Jessica yang meletakkan tas kertas atau paper bag di

atas meja saat berada di Kafe Olivier, Grand Indonesia, 6 Januari 2016 lalu. Bagi

beberapa ahli yang dihadirkan JPU, perilaku tersebut tidak lazim. Jessica dinilai

berperilaku seperti menyembunyikan sesuatu atau membentengi diri. Dewi

menjelaskan, beberapa orang memiliki kebiasaan meletakkan tas atau barangnya di atas

13
meja, sekali pun ada tempat lain. Perilaku itu didasari sejumlah alasan, antara lain, agar

bisa dilihat orang lain alias pamer, takut hilang atau diambil orang, dan sebagainya.12

Kemudian jika kita merujuk pada fakta-fakta persidangan maka akan terlihat ruang

lingkup psikologi dan subjek bahasan psikologi hukum yang di gunakan oleh para ahli

psikologi tersebut, yang mana kasus “kopi sianida” ini termasuk ke dalam Psychology

of criminal Behavior (psikologi tentang perilaku kriminal), karena menurut hematnya

penulis bahwa dalam kasus ini saat Jessica sudah dianggap sebagai seorang terdakwa

maka orang-orang akan menganggap terdakwa tersebut telah memang benar

melakukan kejatahan tersebut, walaupun hal ini berlainan dengan asas presumption of

innocence (praduga tak bersalah) karena belum adanya putusan hakim pada saat proes

pemeriksaan keterangan ahli psikologi tersebut. Kemudian juga, menurut para

psikologi yang dihadirkan ke dalam persidangan tersebut, mereka memperhatikan

mengenai psikologi polisi dan investigasi (Psychology of policing dan invenstigations),

yang mana dalam hal ini dalam melakukan pemeriksaan psikologi tersebutt karena

seperti apa yang dikatakan oleh ahli psikologi Dewi Taviana, dalam penetuan tempat

pemeriksaan yang tidak netral, hal tersebut menyebabkan hasil observasi yang

dihasilkan tidaklah maksimal, yang akibatnya hasilnya bias dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

12
FX Richo Pramono, Silang Pendapat Ahli Psikologi di Sidang Jessica Wongso, Ibid. hlm 3.

14
Juga, dalam hal jenis pendekatan Psikologi Hukum dalam kasus ini menurut

penulis jika dikaitkan dengan teori yang sudah dipaparkan sebelumnya maka, para Ahli

Psikologi menggunakan jenis pendekatan Psikologi di dalam Hukum (psychology in

law), yang mana jika kita merujuk dalam kasus “kopi sianida” dan melihat fakta-fakta

yang ada di persidangan, hal ini merupakan yang paling terlihat dibandingkan dengan

pendekatan yang lainnya. Sebab, dalam pendekatan ini lebih menitikberatkan kondisi

mental terdakwa agar hakim dapat menentukan dapat meyakini keterangan saksi

tersebut atau tidak, Juka kondisi mental Jessica di persidangan, merupakan salah satu

objek kajian dari psikologi di dalam hukum, yang mana pada saat persidangan Jessica

berlangsung reaksi seseorang yang sedang di dalam masalah tersebut bahkan hanya

menampilkan reaksi yang tenang dan seakan-akan tidak bersalah. Juga jika mengacu

dalam pendeketan Psikologi Forensik (forensic psychology), menurut ahli psikologi

Ratih menyatakan bahwa Jessica memiliki gangguan mental, yang mana jika kita

melihat dari teori yang dipaparkan sebelumnya bahwa pendekatan ini bertujuan untuk

dapat memutuskan ada tidaknya unsur yang dapat dipertanggungjawabkan suatu tindak

pindana tertentu, yaitu Pasal 44 ayat (1) KUHP yang pada prinsipnya menyatakan

bahwa salah satu alasan menghilangkan tindak pidana adalah bahwa tidaklah dapat

dipidana seseorang yang melakukan suatu perbuatan, yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada dirinya, oleh karena dia tidak waras. Jadi alasan

ketidakwarasan ini, dari perspektif hukum pidana merupakan alasan yang berasal dari

dalam diri si pelaku dan khusus kondisi psikologinya.

15
BAB IV

PENUTUP

Melihat dari pembahasan-pembahasan yang sudah djelaskan diatas maka menurut

penulis, kesimpulannya ialah :

 Psikologi hukum mencakup kajian-kajian empiris, yakni: penelitian psikologi


terhadap hukum, tentang institusi hukum, dan tentang orang yang berhubungan
dengan hukum. Psikologi hukum secara tipikal sebagai kajian yang merujuk
pada dasar sosial dan teori-teori serta asas-asas yang bersifat kognitif, untuk
menerapkan mereka terhadap isu-isu dalam sistem hukum seperti memori saksi
mata, pengambilan keputusan dewan juri, penyelidikan, dan pewawancaraan.
Istilah “legal psychology” dibedakan dengan istilah “forensic psychology”
dimana gabungan antara keduanya itulah yang dkenal sebagai“psychology and
law”.
 Ruang lingkup dan Subjek Bahasan Psikologi Hukum yang digunakan dalam
kasus “Kopi Sianida” ialah Psychology of criminal Behavior (psikologi tentang
perilaku kriminal) dan juga memperhatikan mengenai psikologi polisi dan
investigasi (Psychology of policing dan invenstigations).
 Jenis-jenis pendekatan psikologi hukum yang digunakan dalam kasus “kopi
sianida” ialah Psikologi di dalam Hukum (psychology in law) dan juga
Psikologi Forensik (forensic psychology).

16
DAFTAR PUSTAKA

 Achmad Ali, Diktat Psikologi Hukum (Bahan Ajar Psikologi Hukum Universitas
hasanuddin). 2009.
 Alex Sobur. 2003. Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia.
 FX Richo Pramono, Silang Pendapat Ahli Psikologi di Sidang Jessica Wongso,
dikutip dari <http://news.liputan6.com/read/2605935/silang-pendapat-ahli-
psikologi-di-sidang-jessica-wongso>.
 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1980
 Sudikno Mertokusomo. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta:
Liberty.
 Yusti Probowati Rahayu. 2008.Peran Psikologi Dalam Investigasi Kasus Tindak
Pidana. Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai