Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS YURIDIS

TERHADAP PENANGANGAN PERKARA NARKOTIKA

DI LINGKUP PENGADILAN NEGERI BANDUNG


Nomor Register Perkara: 373/Pid.B/ 2017/PN Bdg

Diajukan guna memenuhi nilai mata kuliah

Hukum Acara Pidana

Oleh:

William Edward Sibarani - 110110150053

Dosen:

H. Agus Takariawan, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2017

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan

untuk menyelesaikan tugas ini. Kurang lebih dua bulan sudah penulis

melakukan observasi terhadap penanganan perkara pidana di Pengadilan

Negeri Klas IA Khusus Bandung. Cita-cita untuk menjadikan hukum

sebagai garda terdepan penegakan tindak pidana masih menghalangi

banyak halang rintang. Sehingga masih dibutuhkannya banyak perbaikan,

bahkan untuk Pengadilan Negeri Bandung.

Dari berbagai banyak kasus yang penulis amati, penulis memilih

untuk mengikuti kasus Narkotika karena Tindak Pidana Narkotika

menjadi satu dari tiga tindak pidana luar biasa yang penegakannya

diprioritaskan negara selain Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana

Terorisme. Dan melalui analisis yuridis penulis terhadap Tindak Pidana

Narkotika dengan Nomor Register Perkara 373/Pid.B/2017/PN Bdg,

penulis berharap agar tugas ini dapat menjadi bahan pembelajaran dan

pencerahan bagi siapa saja pembacanya.

Demikian kata pengantar ini penulis susun dengan segala

keterbatasan yang penulis miliki. Akhir kata, penulis sangat terbuka

dengan saran dan kritik yang membangun guna perkembangan penulis.

Terima kasih.

Bandung, 3 April 2017

Penulis

KASUS POSISI

Nomor Register Perkara: 373/Pid.B/2017/PN Bdg

2
Berawal dari laporan masyarakat, Saksi Setyo Pambudi dan Saksi

Djunaidi yang merupakan Penyelidik Polrestabes Bandung melakukan

penyelidikan di SPBU Jalan Cipaganti, Bandung, karena diduga di tempat

tersebut ada seseorang yang menggunakan Narkotika. Selanjutnya, setelah

kedua saksi melakukan penyelidikan, pada tanggal 15 Januari 2017 pukul

20.30 WIB, Saksi Setyo Pambudi dan Saksi Djunaidi melakukan

penangkapan terhadap seseorang yang diduga menggunakan Narkotika.

Seseorang tersebut merupakan Terdakwa, namun pada saat penangkapan,

kedua saksi tidak menemukan adanya Narkotika pada tubuh Terdakwa.

Setelah itu kedua saksi melakukan interogasi kepada Terdakwa,

dan dari interogasi tersebut Terdakwa mengaku membeli Narkotika

Golongan I jenis sabu-sabu bersama-sama dengan Saksi Rosita (Terdakwa

dalam berkas perkara terpisah). Pada hari yang sama, kedua saksi melakukan

surveilling kepada Saksi Rosita dengan bantuan Terdakwa hingga

akhirnya berhasil menangkap Saksi Rosita.

Kemudian, ketika Terdakwa dan Saksi Rosita berhasil ditangkap

oleh Saksi Setyo Pambudi dan Saksi Djunaidi, keduanya mengakui

bahwa sabu-sabu kepemilikan Terdakwa dan Saksi Rosita. Sabu-Sabu

mereka beli seharga Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)

seberat 0,00753 gram berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris

Badan Narkotika Nasional Nomor: 426 AA/I/2017/BALAI LAB

NARKOBA tanggal 20 Januari 2017 dari Sdr. Delpin (DPO) pada tanggal

15 Januari 2017 pukul 02.30 WIB di sekitar Minimarket Alfamart di Jalan

Pajajaran, Bandung.

Keduanya juga mengaku bahwa sabu-sabu tersebut hendak mereka

gunakan di kediaman Saksi Rosita. Sabu-sabu tersebut mereka gunakan

dengan cara membakar bubuk sabu-sabu melalui bong yang mana asapnya

3
akan mereka hisap untuk menimbulkan efek halusinasi. Dan berdasarkan

hasil pemeriksaan urine Terdakwa di Laboratorium Klinik Pramita

Bandung dengan Nomor Register: 170101824DC tanggal 16 Januari 2017,

urine Terdakwa positif mengandung Methamphetamine yang terdaftar

dalam Narkotika Golongan I Nomor 61 Lampiran 1 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

DAKWAAN

Nomor Register Perkara: 373/Pid.B/2017/PN Bdg

Terdakwa dalam perkara ini disidangkan pada Pengadilan Negeri

Bandung. Penuntut Umum dalam perkara ini mendakwa dengan

dakwaan berbentuk alternatif menggunakan ketentuan pidana

sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (untuk selanjutnya disebut UU

Narkotika), yakni:

Kesatu : Percobaan atau Permufakatan Jahat untuk

Melakukan Tindak Pidana Narkotika

Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika


Kedua : Tanpa Hak atau Melawan Hukum, Memiliki,

Menyimpan, Menguasai atau Menyediakan

Narkotika Golongan I Bukan Tanaman

Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika


Ketiga : Penyalahguna Narkotika Golongan I Bagi

Diri Sendiri

Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika

HAKIM YANG MEMUTUS PERKARA

4
Nomor Register Perkara: 373/Pid.B/2017/PN Bdg
Adapun Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara

atas nama Terdakwa Harry Kurniawan, adalah:

Hakim Ketua : Dariyanto, S.H., M.H.

Hakim Anggota I : Indria Nuryani, S.H.

Hakim Anggota II : Yuswardi, S.H.

Panitera Pengganti : Mumuh B., S.H.

Jaksa Pratama : Mumuh Ardiansyah, S.H.

Jaksa Muda : Edi Abdul Azis, S.H.

ANALISIS YURIDIS

Nomor Register Perkara: 373/Pid.B/2017/PN Bdg

Dalam perkara ini, penulis meninjau terdapat beberapa isu hukum,

baik secara materil/substantif maupun formil. Secara garis besar

permasalahan isu hukum dalam perkara ini, yakni:

Permasalahan secara Materil/Substantif


1. Penuntut Umum tidak cermat mendakwakan Pasal 132 ayat (1)

UU Narkotika
2. Majelis Hakim menolak dihadirkannya Saksi Verbalisan untuk

memaparkan fakta di persidangan


3. Penuntut Umum keliru dalam menyusun Dakwaan Alternatif
Permasalahan secara Formil
1. Penasihat Hukum tidak mengenakan jubah dengan baik dan

benar

5
2. Panitera tidak menggunakan pakai sesuai ketentuan

perundang-undangan
3. Majelis Hakim tidak menyatakan sidang dibuka dan terbuka

untuk umum

PERMASALAHAN SECARA MATERIL/SUBSTANTIF

1. Penuntut Umum Tidak Cermat Mendakwakan Pasal 132 ayat (1) UU

Narkotika kepada Terdakwa

Berdasarkan ketentuan Pasal 143 KUHAP yang pada pokoknya

menyatakan bahwa Surat Dakwaan harus berisikan uraian secara cermat,

jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, apabila

tidak memenuhi ketentuan tersebut akan menyebabkan Surat Dakwaan

batal demi hukum. Hal tersebut dilakukan agar tidak menimbulkan

kekaburan (obscuur libel) dalam suatu perkara. Namun, dalam KUHAP

sendiri tidak dijelaskan secara jelas mengenai makna dari ketentuan

tersebut sehingga penulis menggunakan dasar hukum lain selain KUHAP

yaitu Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

492K/Kr/1981 tanggal 18 Januari 1983, yang pada pokoknya membahas

sebagai berikut:

a. Cermat, yaitu teliti dalam menentukan pasal tindak pidana yang

dijadikan dasar membuat surat dakwaan, sehingga tidak terjadi

kekeliruan yang mengakibatkan tidak terbuktinya dakwaan itu

sendiri.
b. Jelas, yaitu memuat redaksi yang mempertemukan fakta-fakta yang

jelas dalam Surat Dakwaan, sehingga rangkaian yang ada

menggambarkan dengan jelas perbuatan yang dilakukan Terdakwa.


c. Lengkap, yaitu uraian dalam Surat Dakwaan mampu memenuhi

unsur-unsur yang terdapat pada tindak pidana yang didakwakan

6
sehingga uraian mengenai keadaan dan peristiwa dengan

perbuatan materil dapat diselaraskan dengan yang dilakukan

Terdakwa.

Penulis berpendapat, terdapat ketidaktepatan penggunaan Pasal

132 ayat (1) UU Narkotika. Karena sejatinya, pasal tersebut tidak dapat

berdiri sendiri dikarenakan merupakan pasal pemberatan dalam

ketentuan pidana UU Narkotika.1 Adapun Pasal 132 ayat (1) UU

Narkotika berbunyi:

Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak


pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 111,., dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan
pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal-pasal tersebut.

Berdasarkan pendapat AR Sujono, pengertian permufakatan jahat

dalam UU Narkotika merupakan perluasan dari permufakatan jahat yang

terdapat dalam KUHP dan keduanya ditujukan untuk tindak pidana yang

tidak selesai. Lebih lanjut, AR. Sujono juga mejelaskan terkait kata

untuk yang terdapat di dalam unsur pasalnya, hal ini merupakan

petunjuk yang menyatakan pelaksanaan perbuatan pidana belum

dilakukan. 2 Berdasarkan kedua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

permufakatan jahat dalam UU Narkotika sesungguhnya memang

membahas mengenai unsur penyertaan, namun hanya diperuntukan bagi

tindak pidana yang tidak selesai.

Lebih lanjut, berdasarkan ratio decidendi Putusan Mahkamah Agung RI

Nomor: 132/Pid.Sus/2014/PTR menyebutkan bahwa:

1 AR Sujono, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang


Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta: Laskar Aksara,
2012, hlm. 290.
2 Ibid. hlm. 315.

7
...bahwa Pasal 1 angka 18 UU Narkotika antara lain mengatakan
Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih
yang bersepakat untuk melakukan...
...bahwa dengan demikian ada Permufakatan Jahat apabila tindak
pidana Narkotika itu belum terlaksana, baru dalamtahap
persekongkolan atau kesepakatan untuk melakukan tindak
pidana Narkotika, dan apabila tindak pidana itu sudah selesai
maka yang ada adalah tindak pidana itu sendiri bukan lagi
permufakatan jahat.

Menurut hemat penulis, berdasarkan keseluruhan uraian di atas,

penulis beranggapan bahwa perbuatan permufakatan jahat yang

dilakukan Terdakwa di dalam uraian Surat Dakwaan, merupakan

perbuatan yang telah dikualifikasikan sebagai perbuatan yang telah

selesai. Namun sungguh disayangkan, Penuntut Umum dalam perkara ini

tetap memaksakan mendakwakan Terdakwa menggunakan ketentuan

dalam Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika terhadap perbuatan yang telah

selesai. Sehingga, seharusnya dikarenakan Penuntut Umum tidak cermat,

mengakibatkan Surat Dakwaan menjadi Batal Demi Hukum.

2. Majelis Hakim Menolak Dihadirkannya Saksi Verbalisan untuk

Memaparkan Fakta di Persidangan

Penyidik yang menjadi saksi atau yang dikenal sebagai saksi

verbalisan ini sebenarnya belum diatur secara eksplisit dalam KUHAP

maupun peraturan perundang-undangan lainnya di Indonesia. Namun,

penggunaan saksi verbalisan ini banyak ditemui dalam ranah praktik

hukum acara pidana.

Majelis Hakim menolak upaya Penuntut Umum menghadirkan

kedua saksi ini ke persidangan dikarenakan keduanya tidak memenuhi

8
kualifikasi sebagai keterangan saksi sebagaimana yang diterangkan dalam

Pasal 1 angka 26 KUHAP, yakni:

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna


kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri. Ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri.

Namun, menurut penulis terdapat kekeliruan dari keputusan

Majelis Hakim yang mengadili perkara ini untuk menolak saksi yang

bersangkutan. Karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Perluasan Makna Saksi, Mahkamah

Konstitusi telah mengatur bahwa saksi tidak hanya orang yang melihat,

mendengar atau merasakan sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya

pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana. Hal ini

bertujuan agar terjadi keadilan dan keseimbangan antara Penyidik dengan

Terdakwa. Sehingga, seharusnya keterangan saksi tetap dapat dijadikan

pertimbangan oleh Majelis Hakim, bukan justru ditolak.

3. Penuntut Umum keliru dalam menyusun Dakwaan Alternatif

Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia

Nomor: SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, Surat

Dakwaan Alternatif diberlakukan ketika belum didapat kepastian tentang

Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Meskipun

dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja

yang akan dibuktikan. Menurut hemat penulis, sangat jarang dalam

praktik Penuntut Umum meng-alternatif-kan antara Pasal Pemidanaan

untuk Pengedar Narkotika dengan Pasal Pemidanaan Penyalahguna

Narkotika. Hal ini disebabkan, sudah terang berdasarkan hasil

penyidikan, bahwa Penyidik mengeluarkan Berita Acara Pemeriksaan

9
Laboratoris untuk menguji Narkotika dan mengeluarkan Berita Acara

Pemeriksaan Urine untuk menguji pengguna Narkotika.

Mengapa demikian? Karena sudah terang sebetulnya di dalam

berkas penyidikan apakah Terdakwa terindikasi sebagai Pengedar atau

Penyalahguna. Ketika Terdakwa hanya terbukti Penyalahguna Narkotika,

seharusnya Penuntut Umum tidak perlu mendakwakan dengan Pasal

Pemidanaan Pengedar, karena sudah jelas Terdakwa tidak memiliki niat

(voornemen untuk mengonsumsi Narkotika bukan mengedarkannya.

Sehingga seharusnya, Surat Dakwaan disusun secara Subsidairitas.

PERMASALAHAN SECARA FORMIL

1. Penasihat Hukum Tidak Mengenakan Jubah dengan Baik dan Benar

Perlu diketahui bahwa dalam penangan perkara pidana, atribut

persidangan diatur dalam KUHAP. Aturan ini secara sederhana

dituangkan di dalam Pasal 230 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum


dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-
masing.
Dari ketentuan di atas, kita menemui kelemahan bahwa KUHAP

tidak merinci seperti apa pakaian sidang dan atribut masing-masing

aparat penegak hukum secara jelas. Maka dari itu, ketentuan lebih lanjut

diatur di dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun

1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, yakni:

Pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi hakim,


penuntut umum dan penasihat hukum adalah toga berwarna
hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef dengan atau
tanpa peci hitam.
Mengonstatir uraian pasal di atas, bisa disimpulkan bahwa

kewajiban aparat penegak hukum di persidangan untuk mengenakan toga

10
atau jubah, simare untuk hakim berwarna hitam dan untuk jaksa serta

penasihat hukum berwarna hitam, dan bef berwarna putih. Namun,

pada saat pembacaan Surat Dakwaan, Penasihat Hukum Terdakwa

bersidang tanpa menggunakan bef. Bahkan, toga atau jubahnya tidak

terkancing secara sempurna sehingga nampak tidak seperti tidak

digunakan. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran penulis dimana

Penasihat Hukum Terdakwa justru mengabaikan hal-hal kecil yang dapat

membantu memperlancar persidangan sehingga prinsip officium nubile

masih sekedar angan-angan.

2. Panitera tidak menggunakan pakaian sesuai ketentuan yang berlaku

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Peraturan Pemerintah

Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksaan KUHAP, Pakaian yang

diwajibkan bagi Panitera adalah jas berwarna hitam, kemeja putih dan

berdasi hitam. Namun, pada saat sidang pemeriksaan saksi dan alat bukti

oleh Penuntut Umum, Panitera justru mengenakan kemeja berwarna biru

dongker dan berperilaku tidak pantas. Panitera justru sibuk bermain alat

komunikasi dan tidak mencatat keterangan saksi di persidangan. Hal ini

lah yang membuat citra aparat penegak hukum tidak berwibawa.

3. Majelis Hakim tidak menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk

umum

Semua persidangan pengadilan terbuka untuk umum kecuali

perkara kesusilaan dan anak. Pada saat Majelis Hakim hendak membuka

sidang, wajib menyatakan sidang terbuka untuk umum. Setiap orang yang

hendak mengikuti jalannya persidangan, dapat hadir memasuki ruangan

11
sidang. Sesuai dengan ketentuan Pasal 153 ayat (4) KUHAP, pelanggaran

atas prinsip ini mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.3

Akan tetapi, pada saat sidang pembacaan Pendapat oleh Penuntut Umum,

Majelis Hakim tidak mengucapkan frasa sidang terbuka untuk umum.

Sehingga, berdasarkan ketentuan dalam KUHAP seharusnya persidangan

batal demi hukum. Pelanggaran inilah yang seharusnya dibenahi di

lingkungan Pengadilan Negeri Bandung.

3 Yahya Harahap, Pembahasan-Permasalahan dan Penerapan


KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hlm. 110.

12

Anda mungkin juga menyukai