Anda di halaman 1dari 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psikologi Forensik 2.1.1 Definisi Psikologi Forensik Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyke yang artinya adalah jiwa dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa atau psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali dalam permasalahan hukum. Menurut Dakir (1993), psikologi membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya.4 Forensik berasal dari bahasa Yunani, yaitu forensic yang bermakna debat atau perdebatan. Forensik di sini adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu atau sains. Xena (2007) mengatakan bahwa forensik adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum yang mana hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana. Wijaya (2009) mengungkapkan pengertian forensic adalah ilmu apa pun yang digunakan untuk tujuan hukum dengan tidak memihak bukti ilmiah untuk digunakan dalam pengadilan hukum, dan dalam penyelidikan dan pengadilan pidana.5 Committee on Ethical Guidelines for Forensic Psychologists (1991), psikologi adalah semua pekerjaan psikologi yang secara langsung membantu pengadilan, pihak-pihak yang terlibat proses hukum, fasilitas-fasilitas kesehatan mental koreksional dan forensik, dan badan badan adminitratif, judikatif dan legislatif yang bertindak dalam sebuah kapasitas judisial. Layanan psikologi forensik pada psikologi hukum adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.2 Psikologi forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam sistem hukum. Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anak-anak maupun orang dewasa. Semua jenis institusi, mencakup korporasi, lembaga pemerintah, universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga pemasyarakatan, dapat terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam berbagai macam kasus hukum.6 Psikologi forensik menurut Putwain & Simon mendefinisikan psikologi hukum adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum. Sedangkan Brigham (dalam Sundberg dkk, h. 357) mendefinisikan psikologi forensik adalah sebagai aplikasi
3

yang sangat beragam dari ilmu psikologi pada semua isu hukum atau sebagai aplikasi yang sempit dari psikologi klinis pada sistem hukum.7,8,9 Dalam Websters New World Dictionary (1988) (dalam Sundberg dkk, 2007, h. 358) mendefinisikan psikologi forensik adalah sesuatu yang khas atau yang pas, untuk peradilan hukum, perdebatan publik, atau argumentasi formal yang menspesialisasikan diri atau ada hubungannya dengan aplikasi pengetahuan ilmiah, terutama pengetahuan medis, pada masalah-masalah hukum, seperti pada investigasi terhadap suatu tindak kejahatan. 9 Menurut Devi menyatakan bahwa psikologi forensik adalah studi berkaitan dengan persoalan hukum. Sedangkan Rizky (2009) mendefinisikan psikologi forensik, semua pekerjaan psikologi yang secara langsung membantu pengadilan, pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum, fasilitas-fasilitas kesehatan mental koreksional, forensik, dan badan-badan administratif, yudikatif, dan legislatif yang bertindak dalam sebuah kapasitas yudisial.10 Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di Indonesia juga menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR). 11

2.1.2 Sejarah Psikologi Forensik Tahun 1896 seorang psikolog, Albert Von Schrenk-Notzing menjadi saksi ahli dalam pemeriksaan kasus pembunuhan. Dia menyatakan bahwa dalam proses pemerikasaan yang penuh tekanan dimungkinkan sekali kesaksian tidak dapat dibedakan antara apa yang sebenarnya dilihat dengan apa yang dilaporkan. Hal-hal seperti ini membutuhkan kajian dan analisa dari sudut pandang psikologi. Mungkin ini menjadi peristiwa bersejarah dalam bidang forensic.12 Pada tahun 1901, William Stern melaporkan bahwa dia sedang meneliti ketepatan ingatan orang, suatu rintisan awal dalam penelitian yang banyak dilakukan pada masa kini tentang ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam ceramahnya kepada sejumlah hakim Austria pada tahun 1906, Freud mengatakan bahwa psikologi dapat diaplikasikan pada hukum. Kemudian John Watson juga mengemukakan bahwa psikologi dan hukum memiliki kesamaan kepentingan.13

Pada tahun 1908, Hugo von Munsterberg menerbitkan bukunya tentang the Witness Stand. Dia mengeluhkan bahwa tidak ada orang yang lebih resisten daripada insan hukum terhadap gagasan bahwa psikolog dapat berperan dalam pengadilan. Dia menuduh bahwa pengacara, hakim, dan bahkan juga anggota juri tampaknya berpendapat bahwa yang mereka butuhkan agar dapat berfungsi dengan baik hanyalah common sense (akal sehat).13 Prof. John Wigmore (1909), seorang profesor hukum terkemuka di Northwestern University, memandang dakwaan Munsterberg itu sebagai arogansi. Untuk menanggapi dakwaan tersebut, Wigmore menulis sebuah fiksi karikatur yang menggambarkan pengadilan terhadap Munsterberg. Munsterberg dituntut karena telah menyebarkan fitnah, dituduh telah membesar-besarkan peranan yang dapat ditawarkan oleh seorang psikolog, mengabaikan pertentangan pendapat yang terjadi di kalangan para psikolog sendiri, dan tidak dapat memahami perbedaan antara hasil laboratorium dan realita persyaratan hukum. Tentu saja pengadilan itu menempatkan Munsterberg pada posisi yang kalah dan harus membayar denda.13 Serangan Wigmore ini demikian pintar dan menghancurkan sehingga baru 25 tahun kemudian psikolog dipandang tepat lagi untuk berperan sebagai seorang saksi ahli. Akan tetapi, tidak lama menjelang kematiannya sekitar 30 tahun kemudian, Wigmore memperlunak kritiknya. Dia menyatakan bahwa pengadilan seyogyanya siap

menggunakan setiap cara yang oleh para psikolog sendiri disepakati sebagai cara yang sehat, akurat, dan praktis. Namun demikian, pengaruh langsung psikologi relatif kecil terhadap hukum hingga tahun 1954. Pada tahun tersebut Kejaksaan Agung akhirnya memberi perhatian pada ilmu-ilmu sosial dalam kasus dissegregasi Brown v. Board of Education.13 Pada tahun 1962 Hakim Bazelon, yang menulis tentang the U.S. Court of Appeals untuk the District of Columhia Circuit, untuk pertama kalinya menyatakan bahwa psikolog yang berkualifikasi dapat memberikan kesaksian di pengadilan sebagai saksi ahli dalam bidang gangguan mental. Kini, psikolog selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir semua bidang hukum termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum tatausaha. Di samping itu, mereka juga berperan sebagai konsultan bagi berbagai lembaga dan individu dalam sistem hukum. Kini psikologi forensik telah tiba pada suatu titik di mana terdapat spesialis dalam bidang penelitian psikolegal, program pelatihan interdisiplin sudah menjadi sesuatu yang lazim, dan berbagai buku dan jurnal dalam bidang keahlian ini sudah banyak diterbitkan.13

Di indonesia psikologi forensik mulai tampak dan kelihatan ketika awal tahun 2000 dan berkembang sampai saat ini. Salah satu contoh psikologi forensik di Indonesia mulai masuk ke penegakan hukum, yaitu pada tahun 2003, dalam kasus Sumanto pemakan mayat asal Purbalingga. Walaupun psikolog menyatakan bahwa Sumanto menderita gangguan jiwa/psikopat, akhirnya ditempatkan di bangsal khusus penderita penyakit jiwa, yaitu Bangsal Sakura Kelas III. Namun demikian, tetap diajukan ke sidang pengadilan dan dinyatakan bersalah. Pada tahun 2008 ilmu psikologi berperan kembali. Berdasarkan hasil tes psikologi dan hasil pemeriksaan tim kedokteran kejiwaan Polda Jatim bahwa Ryan mengalami gangguan kejiwaan psikopatis.14 2.1.3 Ruang Lingkup Psikologi Forensik Blackburn membagi bidang psikologi forensik tersebut menjadi tiga bidang : 15

a. Psychology in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan. b. psychology and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa. c. psychology of law. hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak, hukum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.

2.1.4 Klasifikasi Psikologi Forensik Klasifikasi Psikologi forensik diantaranya : 5 a. Psikologi Forensik investigasi Fase sistem hukum ini mulai ketika sebuah tindak kejahatan dilakukan atau ketika sebuah investigasi resmi dimulai. Ini termasuk semua penggunaan ilmu psikologi untuk membantu investigasi penegakan hukum. Selain konsultasi umum dengan dinas-dinas kepolisisan tentang status mental orang tertentu. b. Psikologi forensik ajudikatif Dalam kasus perilaku kriminal, pengambilan keputusan biasanya adalah juri dan keputusannya berupa penetapan apakah terdakwa diketahui melakukan tindak kejahatan yang didakwakan terhadap dirinya. Psikologi forensik memberikan kontribusi pada proses ini dengan memberikan assesmen kesehatan untuk membantu pengambilan keputusan-keputusan hukum ini c. Psikologi forensik preventif
6

Psikologi forensik lazimnya dianggap bersifat reaktif dan merespon berbagai kejadian setelah kejadian itu terjadi. Dengan kata lain psikologi forensik dapat memiliki dampak yang signifikan pada usahan mencegah perilaku yang tidak diinginkan pada masa yang akan datang. Selain menawarkan rekomendasi pada penetapan hukuman pidana dan upaya-upaya rehabilitasi guna mencegah perilaku criminal dimasa mendatang juga dapat memberikan edukasi kepada para petugas public maupun orang-orang awam mengenai berbagi macam isu.

Fase-fase klasifikasi psikologi forensik saling berhubungan secara sirkuler antara lain: kegiatan investigatif menghasilkan respons-respons ajudikatif, yang menghasilkan ukuran-ukuran untuk mencegah perilaku tak diinginkan yang lebih jauh, dan preferensi akan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang perlu diinvestigasi. Sirkulasi yang saling berhubungan antara fase-fase klasifikasi psikologi forensik dijelaskan oleh Sunbreg dkk (2007) pada gambar 1.1 di bawah ini:5

2.2 Peran Psikologi Forensik Di Indonesia peran psikologi dalam hukum sudah mulai terlihat semenjak hadirnya Asosiasi Himpunan Psikologi Forensik pada tahun 2007. Peran psikologi forensik dibutuhkan untuk membantu mengungkapkan kasus-kasus kriminal yang menimpa masyarakat. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia, psikologi memiliki peran penting dalam penegakan hukum di Indonesia.7 Peran psikologi terutama pada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas lapas) dan pihak-pihak yang terlibat (saksi, pelaku dan korban) seperti yang dijelaskan berikut :16 1. Kepolisian : Membantu polisi dalam melakukan penyelidikan pada saksi, korban dan pelaku. a. Pelaku

Interogasi bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya. Teknik lama yang digunakan polisi adalah dengan melakukan kekerasan fisik, teknik ini banyak mendapatkan kecaman karena orang yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan akan kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interogasi dengan menggunakan teori psikologi dapat digunakan misalnya dengan teknik maksimalisasi dan minimalisasi (Kassin & McNall dalam Constanzo, 2006). Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi tentang teknik interogasi yang menggunakan prinsip psikologi. Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak pelaku dengan menyusun profil kriminal pelaku. Misal pada kasus teroris dapat disusun profil kriminal dari teroris yang berguna dalam langkah penyidikan di kepolisian maupun masukan bagi hakim (misalnya apakah tepat teroris dihukum mati atau hanya seumur hidup). Psikolog forensik juga dapat membantu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku.16 b. Korban Beberapa kasus dengan trauma yang berat, korban menolak untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Psikolog forensik dapat membantu polisi dalam melakukan penggalian informasi terhadap korban, misal pada anak-anak atau wanita korban kekerasan dimana dibutuhkan keterampilan agar korban merasa nyaman dan terbuka. Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi. Seorang psikolog dapat menyusun otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi adalah merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup almarhum. Otopsi psikologi akan membantu polisi dalam menyimpulkan kemungkinan korban dibunuh atau bunuh diri.8,16 c. Saksi Proses peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi terhadap saksi, karena baik polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian menemukan hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90 % terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias. Diperlukan teknik investigasi saksi yang tepat antara lain teknik hipnosis dan wawancara kognitif : 7,16 Teknik hipnosis digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti atau pada saksi/korban yang emosional (malu, marah) dan

menghilangkan memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya kembali.7 Wawancara kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses retrieval yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan pelatihan teknik investigasi saksi pada polisi.7 2. Kejaksaan Membantu jaksa dalam memahami kondisi psikologis pelaku dan korban, dan memberikan pelatihan tentang gaya bertanya pada saksi.16 3. Pengadilan Sebagai saksi ahli dalam persidangan. Peran psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan dapat sebagai saksi ahli bagi korban (misal kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anak seperti perkosaan,dan penculikan anak) dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis (misal Mental retarded, pedophilia, dan psikopat). Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan terkait dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan ditampilkan terdakwa agar ia tidak mendapat hukuman yang berat.16 4. Lembaga permasyarakatan Assesmen dan intervensi psikologis pada narapidana sangat dibutuhkan di Lapas. Banyak kasus psikologi yang terjadi pada narapidana maupun petugas lapas. Misal pada kasus percobaan bunuh diri, narapidana tidak tertangani secara baik karena tidak setiap lapas memiliki psikolog. Pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka seringkali memberikan hukuman dengan tujuan dapat mengurangi perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi, berbohong). Psikolog forensik dibutuhkan dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana.16

Jika dilihat dari proses tahapan penegakan hukum, psikologi berperan dalam empat tahap, yaitu: 16,17 1. Pencegahan

Psikologi dapat membantu aparat penegak hukum dalam memberikan sosialisasi dan pengetahuan ilmiah kepada masyarakat bagaimana cara mencegah tindakan kriminal. Misalnya, psikologi memberikan informasi mengenali pola perilaku kriminal, dengan pemahaman tersebut diharapkan msyarakat mampu mencegah perilaku kriminal.16,17 2. Penanganan Ketika tindak kriminal telah terjadi, psikologi dapat membantu polisi dalam mengidentifikasi pelaku dan motif pelaku sehingga polisi dapat mengungkap pelaku kejahatan. Misalkan dengan teknik criminal profiling dan geographical profiling. Criminal profiling merupakan salah cara atau teknik investigasi untuk mengambarkan profil pelaku kriminal, dari segi demografi (umur, tinggi, suku), psikologis (motif, kepribadian), dan seting tempat kejadian (scene). Geographical profiling yaitu suatu teknik investigasi yang menekan pengenalan terhadap karakteristik daerah, pola tempat, seting kejadian tindakan kriminal yang bertujuan untuk memprediksi tempat tindakan krminal dan tempat tinggal pelaku kriminal sehingga pelaku mudah ditemukan.16,17 3. Pemindanaan (Hukuman) Psikologi memberikan penjelasan mengenai kondisi psikologis pelaku kejahatan sehingga hakim memberikan hukuman (pemindanaan) sesuai dengan alat bukti dan mempertimbangkan motif/kondisi psikologis pelaku kejahatan. Menurut Muladi (Rizanizarli, 2004) tujuan pemindanaan adalah memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana. 16,17 4. Pemenjaraan Pada tahap ini pelaku ditempatkan dalam lembaga permasyarakatan (LP). Tujuannya adalah agar pelaku kejahatan mengalami perubahan perilaku menjadi orang baik. Namun kenyataannya berbeda, banyak pelaku kriminal setelah keluar dari LP bukannya menjadi lebih baik tapi tetap melakukan tindakan kejahatan kembali bahkan secara kuantitas dan kualitas tindakan kejahatannya lebih berat daripada sebelumnya. Hal ini terjadi karena terjadi proses pembelajaran sosial ketika di LP. Dalam konsep psikologi, LP haruslah menjadi tempat rehabilitasi para pelaku kejahatan. Idealnya terjadi perubahan perilaku dan psikologis narapidana sehingga setelah keluar dapat menjadi orang yang berperilaku baik dan berguna bagi masyarakat. Ada beberapa konsep psikologi yang dapat ditawarkan dalam perubahan perilaku narapidana di LP yaitu :16,17

10

a) Berorentasi personal yaitu dengan cara terapi individual/kelompok, misalkan terapi kogniif b) Berorentasi lingkungan dengan menciptakan lingkungan fisik LP yang

mendukung perubahan perilaku narapidana, misalkan jumlah narapidana sesuai dengan besarnya ruangan sel sehingga tidak terjadi kepadatan dan kesesakan yang berpotensi menimbulkan perilaku agresif narapidana.

2.3 Kegiatan Psikologi Forensik Kegiatan Utama Psikologi Forensik : 13,16,17 1. Sebagai saksi Ahli Topik-topik untuk kesaksian ahli seorang psikolog forensik mencakup antara lain adalah penahanan di rumah sakit jiwa, masalah hak asuh atas anak (Child Custody), penderitaan psikologis akibat kelalaian orang lain, pembebasan dari kurungan paksa, penentuan tentang perlunya seorang konservator akibat inkapasitas, memprediksi keberbahayaan, hak penyandang kecacatan mental di institusi, kompetensi untuk diadili, tanggung jawab kriminal (insanity defense), penentuan kecacatan untuk klaim Social Security, klaim kompensasi pekerja, kondisi yang mempengaruhi ketepatan kesaksian saksi mata, advis kepada pengacara tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anggota juri, sejauh mana iklan dapat diklaim menyesatkan, sindrom perempuan teraniaya, sindrom trauma perkosaan, ketepatan identifikasi saksi mata, pelecehan sexual, psikologi polisi, seleksi juri dan membuat profil kriminal. 2. Pada kasus Kriminal Psikologi forensik untuk menentukan Dalih Ketidakwarasan (Insanity Plea). Jika terdakwa dinyatakan waras pada saat melakukan kejahatannya, maka dia akan diganjar dengan kurungan, denda atau masa percobaan (probation). Tetapi jika terdakwa dinyatakan tidak waras pada saat melakukan kejahatan, dia akan dipandang sebagai tidak bertanggung jawab atas perbuatanya itu, dan akan ditahan untuk mendapat treatment, bukan hukuman. Akan tetapi, dalih ketidakwarasan ini sering tidak berhasil. Untuk melakukan evaluasi tentang insanitas kriminal, psikolog harus memastikan apakah orang itu mengalami gangguan atau kelainan mental dan bagaimana status mental orang tersebut pada saat melakukan kejahatan. Dalam prosesnya, psikolog akan mengakses banyak faktor, termasuk riwayat hidup terdakwa beserta keluarganya, status intelektualnya, faktor neuropsikologis, kompetensi untuk menghadapi pengadilan, keterampilan membaca, kepribadian, dan mengukur apakah orang itu menipu atau berpura-pura. Kompetensi untuk
11

Menghadapi Pengadilan adalah soal keadaan mental terdakwa pada saat menghadapi pengadilan, bukan ketika kejahatan itu dilakukan. Untuk menjawab pertanyaan tentang kompetensi itu terdapat tiga hal mendasar yang pada umumnya dipertimbangkan: a) Dapatkah orang itu memahami hakikat dakwaan, dan dapatkah dia melaporkan secara faktual tentang perbuatannya pada waktu terjadinya kejahatan itu? b) Dapatkah orang itu bekerjasama dengan dewan secara wajar? c) Dapatkah orang itu memahami jalanya pengadilan? 3. Pada kasus Perdata Seorang psikolog forensik dapat dilibatkan dalam sejumlah besar kasus perdata. Dua bidang yang terutama penting bagi psikolog forensik adalah: (a) penahanan di dan pembebasan dari rumah sakit jiwa (b) masalah-masalah domestik seperti perselisihan tentang hak asuh atas anak. Kelayakan untuk menjadi orang tua (parental fitness), hak berkunjung, pelecehan anak, kenakalan remaja, dan adopsi. 4. Memprediksi Keberbahayaan Apakah seorang pasien mental akan berbahaya bagi keselamatan orang lain? Prediksi seperti ini sangat sulit untuk dilakukan secara akurat. Evaluasi seorang psikolog untuk tujuan ini merupakan dasar pertimbangan terpenting bagi pengadilan. Evaluasi tersebut dapat berkisar dari prediksi tentang perilaku kekerasan sexual, pelecehan anak, kekerasan di tempat kerja, hingga prediksi tentang perilaku pembunuhan atau bunuh diri. 5. Treatment Psikologis Terdapat implikasi yang luas tentang forensik treatment bagi mereka yang menghadapi kasus-kasus hukum. Dalam kasus kriminal, terapi mungkin difokuskan untuk memulihkan keadaan inkompetensi mental menjadi kompetensi untuk menjalani proses pengadilan, atau terapi mungkin dilakukan untuk memberikan dukungan emosional untuk orang yang menghadapi kurungan. Untuk pelaku kejahatan, sering kali fokusnya adalah pada masalah kepribadian, perilaku sexual, dan keagresifan. Kadang-kadang terapi dilaksanakan ketika orang itu ada dalam tahanan, tetapi kadang-kadang juga dilakukan di luar tahanan sebagai pasien rawat jalan bagi mereka yang dibebaskan dengan jaminan atau dibebaskan untuk masa percobaan. Bentuk terapi yang digunakan dapat berupa terapi individual ataupun kelompok yang menggunakan berbagai teknik dan pendekatan termasuk teknik behavioral dan pendekatan kognitif. 6.Konsultasi

12

Aktivitas lain yang umum dilakukan oleh seorang psikolog forensik adalah konsultasi, yang mencakup bidang-bidang berikut ini : a) Seleksi juri Seorang psikolog forensik dapat bekerja dengan pengacara dalam proses penyeleksian juri. Dalam fase ini, pengacara mempunyai kesempatan untuk menemukan bias pada diri calon anggota juri, memperoleh informasi untuk mengajukan tantangan-tantangan yang tak dapat dibantah (sejumlah tertentu tantangan yang diizinkan bagi masingmasing pihak dalam sidang pengadilan untuk menggugurkan pemikiran anggota juri karena dianggap bias terhadap satu pihak tertentu), untuk mengambil hati anggota juri atau membuat mereka memihak, atau untuk mengindoktrinasi anggota juri agar mereka bersikap reseptif terhadap presentasi pengacara. Ini semua dirancang untuk memberikan kekuatan kepada pengacara. b) Survey Opini Publik Dalam kasus tuntutan tentang merek dagang, misalnya, seorang pengacara dapat menyewa konsultan psikologi untuk menentukan pengakuan publik terhadap nama atau simbol perusahaan tertentu melalui survey. Dalam kasus lain, sebuah survey opini mungkin dilaksanakan terhadap perwakilan sampel orang dari daerah geografis yang sama di mana pengadilan akan dilaksanakan, dengan menanyakan opini mereka mengenai kasus yang bersangkutan dan mengenai taktik sidang pengadilan yang telah direncanakan oleh pengacara. c) Mempersiapkan Saksi Tidak etis bagi seorang konsultan untuk mempengaruhi saksi agar mengubah faktafakta dalam kesaksian. Yang dapat dilakukannya adalah membantu saksi menyajikan kesaksiannya secara lebih baik tanpa mengubah fakta yang merupakan arah kesaksiannya itu. Karena ini merupakan hal yang sangat sensitif, konsultan tertentu tidak akan bersedia bekerja untuk kasus kriminal, hanya untuk kasus perdata. Aspekaspek yang ditanganinya dalam mempersiapkan saksi ini mencakup gaya menyajikan fakta, emosi saksi, upaya mempersiapkan pengalaman menjadi seorang saksi di dalam ruang pengadilan, menghadapi pemeriksaan silang, mempersiapkan penampilannya, dan cara menghadapi ancaman dari jaksa terhadap kredibilitas saksi. Akan tetapi, terdapat batas yang sangat tipis antara memberikan bantuan untuk mempersiapkan saksi dan mendorongnya mengubah kesaksiannya. d) Meyakinkan Juri

13

Konsultan

sering

dapat

membantu

pengacara

dalam

merancang

caranya

mempresentasikan kasus dan bukti. Konsultan dapat membantu pengacara dalam memprediksi respon juri terhadap jenis bukti tertentu atau metode penyajiannya, terutama dalam argumen pembuka dan penutup. Di sini yang menjadi target adalah keyakinan, perasaan, dan perilaku para anggota juri. Kemudian konsultan merumuskan cara terbaik bagi pengacara dalam mempresentasikan kasus. Contoh kegiatan-kegiatan psikologi forensik berdasarkan subspecialties: 3
1. Psikologi Polisi

Membantu departemen kepolisian dalam menentukan pergeseran jadwal yang optimal bagi petugas mereka. Membantu polisi dalam mengembangkan profil psikologis dari pelaku serial. Membuat prosedur skrining yang dapat diandalkan dan valid untuk posisi petugas penegak hukum di berbagai polisi dan departemen kepolisian. Melatih petugas polisi tentang bagaimana menangani warga yang sakit mental. Memberikan layanan konseling kepada petugas setelah insiden penembakan. Memberikan layanan dukungan kepada keluarga aparat penegak hukum
2. Psikologi kriminal dan kejahatan

Mengevaluasi efektivitas dari strategi intervensi prasekolah yang dirancang untuk mencegah perilaku kekerasan selama remaja. Melakukan penelitian pada pengembangan dari psikopati. Berkonsultasi dengan legislator dan instansi pemerintah sebagai penasihat kebijakan penelitian dalam pencegahan dari penguntit Berkonsultasi dengan petugas sekolah dalam mengidentifikasi pelajar bermasalah yang berpotensi membahayakan. Mengembangkan psikotes untuk menilai risiko di antara sakit mental.
3. Viktimologi dan Pelayanan korban

Mengevaluasi dan mengobati orang-orang yang menjadi korban kejahatan atau saksi kasus kejahatan. Melakukan penilaian psikologis untuk masalah cedera personal yang berkaitan dengan hal-hal seperti kecelakaan, kerusakan produk, pelecehan seksual dan diskriminasi, dan kelalaian medis atau kompensasi pekerja. Mendidik dan melatih penyedia layanan korban untuk reaksi psikologis pada korban kejahatan, seperti gangguan stres pasca trauma.

14

Menilai, mendukung, dan menasehati orang-orang yang menyediakan layanan laporan kematian. Mendidik penyedia layanan dalam hal dampak multikulturalisme ketika korban mencari kesehatan mental dan layanan dukungan.
4. Psikologi hukum

Melakukan evaluasi hak asuh anak, kunjungan penilaian risiko, dan evaluasi child abuse Membantu kejaksaan dalam penyeleksian juri melalui survei pada masyarakat dan metode penelitian lainnya. Melakukan evaluasi dari seorang terdakwa yang berkompeten untuk diadili. Berkonsultasi dengan kejaksaan dan pengadilan mengenai keputusan hak asuh, resolusi konflik, dan validitas dari penilaian prosedur yang digunakan dalam evaluasi dari berbagai kondisi psikologis. Melakukan evaluasi kompetensi untuk pengadilan sipil.
5. Psikologi Pemasyarakatan

Menetapkan prosedur skrining yang dapat diandalkan dan valid untuk posisi petugas pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan. Menilai narapidanayang masuk penjara antara kebutuhan kesehatan mental dan kesesuaian dengan program penjara. Menyediakan tindakan individu dan kelompok bagi narapidana. Mengevaluasi efektivitas program pada terdakwa remaja dan dewasa, seperti korban- program rekonsiliasi pelaku, pengobatan terhadap pelaku seks, atau program edukasi kesehatan. Mengembangkan pemasyarakatan sebuah program manajemen stres untuk personil

15

Anda mungkin juga menyukai