Oleh :
Kelompok 11
FAKULTAS PSIKOLOGI
IBRAHIM MALANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah senantiasa penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah yang
berjudul “Spesifikasi sikologi Klinis-Forensik”. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang senantiasa kita harapkan syafaatnya di hari kiamat
kelak.
Karya ini tidak akan pernah ada tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah terlibat.
Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada dosen pengajar mata kuliah Psikologi Klinis, Ibu Iin Tri Rahayu M.si yang telah
memberikan bimbingan, mendukung, dan memberi masukan selama masa perkuliahan.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis menerima saran dan kritik sebagai perbaikan dalam penulisan kedepan. Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan bagi pembaca.
Kelompok 10
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika kita mendengar kata "hukum," apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Jarang
sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan
lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita
kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau
hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan
khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan
dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar, kalau saja
kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri.
Pada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak -
teraturan dan kesewenang - wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok
masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-
ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan - ketentuan yang disepakati itu kemudian
dalam perkembangannya dikenal sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya
hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan.
Menururt Rahardjo (2006) kompleksnya permasalahan hukum tidak hanya semata peramasahan
hukum saja melainkan masalah perilaku manusia. Hukum dibuat manusia untuk mengatur
perilaku manusia sangat tertib dan teratur. Namun realitas menunjukkan seringkali hukum
menjadi “mainan” manusia untuk mewujudkan kepentingan. Hukum dijadikan alat untuk
mecapai tujuan. Seseorang politikus, akan menggunakan hukum untuk kepentingan politiknya,
seorang pengusaha akan menggunakan hukum untuk kepentingan bisnisnya dan sebagainya.
Pemaknaan hukum berdasarkan tujuan dan kepentingan masing-masing menjadi suatu dilema
tersendiri dalam dunia peradilan. Asas - asas keadilan cenderung diabaikan, digeser oleh asa-asas
kepentingan bersifat personal atau kelompok. Manusia menjadi aktor utama dalam proses
penegakan hukum. Masalahnya sekarang ini banyak perilaku-perilaku oknum cenderung
menggunakan “kelemahan “ hukum untuk mengambil suatu kesempatan dalam menggapai
tujuan. Logikanya hukum menjadi suatu alat untuk memutar balikan fakta bahkan menjadi suatu
alat untuk menyerang orang lain.
Fenomena telah banyak kita lihat sekarang ini. Berkaitan dengan perilaku manusia salah satu
ilmu yang relevan dengan tersebut adalah psikologi. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari
perilaku dan proses mental manusia. Dalam perjalanannya psikologi banyak berinteraksi dengan
ilmu-ilmu lainnya termasuk hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal
sebagai psikologi forensik.
Guna dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu menguasai
pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog forensik.
Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi
perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang
lebih spesifik dibanding psikolog umum.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Rumusan masalah diatas mengarahkan tujuan penulisan makalah ini dalam menelaah lebih
dalam mengenai psikologi forensik. Secara khusus, penulisan ini berusaha untuk menjelaskan :
PEMBAHASAN
Pengertian forensik berasal dari bahasa Yunani, yaitu forensis yang bermakna debat atau
perdebatan. Forensik di sini adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu
proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu atau sains . Xena (2007) mengatakan
bahwa forensik adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum yang mana hal ini mungkin
terkait dengan tindak pidana. Wijaya (2009) mengungkapkan pengertian forensik adalah ilmu
apa pun yang digunakan untuk tujuan hukum dengan tidak memihak bukti ilmiah untuk
digunakan dalam pengadilan hukum, dan dalam penyelidikan dan pengadilan pidana.
psikologi memiliki bidang khusus dengan hal-hal yang berkaitan dengan hukum, yaitu psikologi
forensik. Sebelumnya, psikologi di Indonesia hanya mengenal lima bidang, yaitu psikologi
perkembangan, industri, pendidikan, sosial, dan klinis. Padahal di Eropa dan Amerika Serikat
bidang psikologi sampai bidang psikologi forensik. Psikologi forensik mulai tampak dan
kelihatan ketika awal tahun 2000 dan berkembang sampai saat ini.
Psikolog forensik juga bisa bekerja sama dengan pengacara, ahli, jaksa, dan hakim. Faktanya,
psikolog forensik bertindak sebagai ahli ketika menawarkan kesaksian profesional mereka dalam
persidangan tertentu, memberikan data dan pengetahuan yang menarik untuk bekerja sama
dengan Kehakiman dan memastikan bahwa keadaan kasus dapat diklarifikasi, setidaknya dalam
hal apa yang menjadi perhatian. untuk aspek psikologis dan / atau psikopatologis tertentu dari
beberapa atau semua pihak yang terlibat.
Seorang psikolog forensik bukan hanya seorang psikolog yang melakukan tugas-tugas tertentu
dalam penyelenggaraan peradilan negara. Dalam kenyataannya, ia merupakan dominator besar
dari semua konsep, norma, dan dinamika sistem hukum di mana ia ditemukan.
Psikolog forensik memiliki pemahaman yang luas tentang semua mekanisme hukum dan
prosedural. Faktanya, jika tidak demikian, dia dapat dengan mudah dikeluarkan dari proses
tertentu yang dia ikuti, karena kehilangan kredibilitas dari berbagai aktor yang terlibat dalam
persidangan. Sistem peradilan adalah sistem formal di mana metode dan prosedur sangat penting.
Oleh karena itu, psikolog forensik selain ahli di bidangnya juga harus mengetahui dan
menyesuaikan dengan baik peraturan tersebut.
B. Kaitan Psikologi dengan Dunia Hukum
Psikologi forensik adalah “segala bentuk penerapan psikologi dalam sistem hukum
dalam rangka membantu aparat hukum mencapai kebenaran hukum”. Psikologi forensik
merupakan perpaduan dari beberapa konsentrasi didalam bidang psikologi, ditambah dengan
pengetahuan dalam dunia hukum sehingga membuat Psikolog forensik memiliki keahlian yang
lebih spesifik dibanding psikolog umum lainnya. Contoh: di Lapas, dibutuhkan kemampuan
terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen
yang khusus pada individu pelaku kriminal. Di kepolisian dibutuhkan HRD/Asesor untuk
mengkaji kenaikan pangkat Polisi (PIO) Pada penanganan pelaku, korban, saksi anak-anak
dibutuhkan pemahaman dari seorang yang ahli (psikologi perkembangan). Begitu juga pada
lapas anak-anak. Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, ingatan saksi,
terdakwa (psikologi sosial). Dalam penggalian kesaksian dibutuhkan keahlian dan kecakapan
dalam menggunakan teknik-teknik wawancara.
Usaha Psikologi Forensik membantu proses hukum dan peradilan dapat terjadi sejak
proses penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan adalah tahapan hukum dimana usaha-usaha
dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu kejahatan serta menentukan apakah perlu
dilakukan usaha penyidikan untuk mencari korban dan pelaku; sedangkan penyidikan adalah
usaha-usaha mencari bukti untuk menentukan tersangka pelaku kejahatan. Dalam kedua tahapan
ini setidaknya ada 2 proses yang dapat dilakukan seorang ahli Psikologi, yaitu: pembuatan profil
kriminal (criminal profiling) dan autopsi psikologis (psychological autopsy).
Penyusunan profil kriminal dalam Ilmu Psikologi, adalah usaha penyimpulan ciri-ciri
deskriptif dari pelaku kejahatan yang belum/tidak teridentifikasi dengan menggunakan
prinsip-prinsip ilmu psikologi dan perilaku manusia. Usaha ilmiah psikologi membuat
penyusunan profil psikologis seorang pelaku kejahatan menjadi suatu proses sistematis,
berdasarkan bukti empiris dan melakukan evaluasi obyektif. Hal ini dilakukan untuk
membantu penegak hukum untuk secara akurat memprediksi perilaku kriminal,
mengidentifikasi dan mendukung proses penangkapan, serta memfasilitasi cara
berinteraksi dengan tersangka kelak. Holmes dan Holmes (2008) menguraikan tiga tujuan
utama dari profil kriminal:
1. menyediakan penegak hukum data hasil pemeriksaan sosial dan psikologis pelaku
2. menyediakan penegak hukum evaluasi psikologis pelaku kejahatan
3. memberikan saran dan strategi untuk proses wawancara dengan pelaku.
Otopsi Psikologis
Pemeriksaan jenazah (post-mortem) dikenal sebagai otopsi. Jika otopsi koroner
medis berfokus pada pemeriksaan fisik jenazah, maka otopsi psikologis pada
dasarnya adalah pemeriksaan keadaan mental jenazah. Otopsi psikologis, akan
mengulas apa yang dialami seseorang sehingga mengalami kematian atau terlibat
dalam suatu peristiwa kejahatan. Alasan kuat dilakukannya otopsi psikologis adalah
untuk membantu dalam menentukan sifat kematian, apakah kematian disebabkan
faktor alamiah, bunuh diri, kecelakaan atau pembunuhan. Otopsi psikologis dapat
membantu mengatasi ambiguitas ini dan menentukan penyebab kematian dari
penelusuran kehidupan dan kondisi psikologis almarhum sebelum kematiannya.
Karena psikologi klinis sering dianggap sebagai ahli dalam perilaku, tidaklah
mengherankan kalau mereka dianggap ahli yang dapat memberikan keterangan tentang perilaku
apa pun yang bersangkutan dengan masalah-masalah yang bersangkutan dengan polisi, jaksa,
hakim dan lain-lain. Kemudian pemahaman ini berkembang menyangkut segala perilaku yang
berhubungan dengan masalah-masalah masyarakat, criminal, atau pngadilan administrative.
Selanjutnya masalah-masalah demikian menjadi domain psikologi klinis, dan sekarang disebut
psikologi fPsikologi forensic merupakan penerapan metode, teori dan konsep psikologi terhadap
system hukum (Wringhtsman, Nietzel dan Fortune, 1998). Bidang psikologi ini mula-mula
dikembangkan berdasarkan pikiran seorang ahli, yang bisa juga disebut sebagai Bapak Psikologi
Industri dan Organisasi, lulusan Laboratorium Psikologi Leipzig yang didirikan dan dipimpin
Wilhelm Wundt.
1. Saksi Ahli
Saksi ahli adalah saksi yang memberikan pendapat, penilaian, atau kesimulan mengenai
suatu perkara atau suatu atau beberapa kejadian dari perkara. Misalnya, dalam psikologi seorang
saksi psikologi forensic diminta untuk mengajukan pendapat, apakah pelaku kejahatan memiliki
kondisi emosional atau psikologis lainnya yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbatannya atau tidak, karena misalnya dinyatakan terganggu secara psikologis.
2. Kasus-kasus criminal
Kalau terhukum adalah seorang yang normal secara kejiwaan, maka jelas aturan hukum
dapat diberlakukan kepadanya, baik hanya denda, kekurangan, atau masa percobaan. Tetapi
kalau hukum itu adalah orang yang secara mental tidak normal. Maka masalahnya tidak bisa
dengan sendirinya menggunakan apa yang telah ditentukan. Ia harus mendapat perlakuan khusus,
karena dianggap tidak mempu bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Namun, setiap
kasus tidak begitu mudah untuk disebut dapat bertanggung jawab tau tidak, melainkan
tampaknya berada diantaranya. Oleh karena itu, dapat dimengerti kalau hukuman ditentukan bats
minimal dan maksimalnya atau bahkan hanya untuk ditentukan batas maksimalnya saja.
Istilah yang sering digunakan dalam lingkungan kehakiman adalah “kegilaan” atau
“ketidakwarasan” untuk insanity, suatu istilah yang tidak dikenal dalam psikiatri maupun
psikologi. Bagi para penegak hukum, yang penting adalah apakah yang bersangkutan rasional,
dalam arti yang bersangkutan mengerti bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang
salah, meskipun alasannya sangat bermacammacam, dan apakah perbuatan itu ditujukan untuk
keperluan tertentu. Kalau irasional, maka disebut tidak waras, tidak dianggap mampu
bertanggung jawab atas perbuatannya, karena itu harus ditangani secara lain, ialah dalam
perawatan psikiatris/psikologis, bukan berupa kurungan. Pada kenyataannya saat ini, adalah
bahwa kebanyakan psikolog tidak sependapat bahwa semua perilaku normal dipilih secara
rasional.
4. asus-kasus perdata
Banyak hal terkait dengan perhatian seorang psikolog forensic, dari masalah-masalah
merek dagang sampai gugatan masyarakat (class action). Dua area yang paling penting untuk
psikolog forensic, ialah penahanan atau pembebasan dari institusi-institusi perawatan mental dan
masalah-masalah domestic seperti hak asuh anak dalam kasus perceraian sumai-istri.
5.Hak pasien
Jadi pasien memiliki hak konstitusional untuk mendapat penanganan hingga sembuh atau
setidaknyadaknya bertambah baik. Juga pasien mempunyai hak untuk memiliki lingkungan
hidup yang standar, pakaian, dan kegiatan pribadi, berolahraga dan kegiatan social tertentu, dan
dilarang mengikuti kerja paksa, sedangkan kalau bekerja, ia berhak mendapatkan upah yang
wajar. Memprediksi bahaya
Meskipu psikologi menganggap bahwa penentuan ini merupakan penentuan sulit, tetapi
tidak ada ilmu yang lebih dapat membuat ramalan daripada psikologi, sehingga kepada
psikologlah hal tersebut disandarkan. Kedudukan hal ini kira-kira sama dengan fungsi psikolog
di rumah sakit atau masih memerlukan perawatan inap.
Masalah prediksi ini dianggap penting, selain dilihat dari kepentingan elain dilihat dari
kepentingan individual terutama berkaitan dengan keamanan dan keselamatan masyarakat
lingkungan. Sementara itu factor-faktor di luar diri individu yang bersangkutan. Yang
berperanan terhadap muncul atau tidaknya perilau kejahatan atau kekerasan pada individu, makin
lama makin banyak dipengaruhi oleh situasi ingkungan yang sangat bervariasi, seperti misalnya
tontonan televisi di rumah.
7.Penanganan psikologis
Secara hukum terdapat hak pada terhukum untuk mendapatkan penanganan atau
rehabilitasi psikologis. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan perawatan medis maupun
psikologis. Terdapat banyak implikasi penanganan forensic. Dalam kasus criminal, terapi dapat
berfokus pada memperbaiki orang yang tidak kompeten menjadi seorang yang secara mental
kompeten. Atau bisa juga terapi diarahkan untuk memberikan dukungan emosional untuk
memasuki pemenjaraan atau justru meninggalkan penjara. Banyak narapidana yang memiliki
masalah-masalah kepribadian, perilaku seksual, dan keagresifan. Namun terdapat juga
permasalahan rumit ketika berhadapan dengan masalah internal keluarga. Permasalahan ini
sering membawa persoalan pada dilema-dilema professional, misalnya untuk memberikan
pertolongan terbaik pada anak, orang tua perlu mengikuti terapi terlebih dahulu, tetapi kadang-
kadang salah satu di antaranya menolak.
8.Konsultasi
Kegiatan lain yang juga umum untuk seorang psikolog forensic adalah memberikan
konsultasi. Dibagian-bagian terdahulu telah dikemukakan berbagai konsultasi yang digunakan
psikolog forensik dalam melaksanakan tugasnya. Berikut ini adalah beberapa aspek tambahan
konsultasi, ialah dalam hal seleksi juri, jury shadowing, survey opini masyarakat, persiapan
saksi, dan meyakinkan juri.
Dalam psikologi forensik, intinya tentang pendekatan teori-teori psikologis yang bertujuan untuk
menganalisis motif- motif perilaku kriminal. Maka pengaplikasiannya tidak jauh dari tujuan
tersebut, berikut contoh 3 pengaplikasian psikologi forensik :
KESIMPULAN
Secara garis besar, psikologi forensik mengacu pada penerapan metode penelitian
dan teori psikologi pada suatu kasus yang ditangani hukum. Lebih spesifiknya, psikologi
forensik berfokus pada penerapan psikologi klinis terhadap sistem hukum . Praktek klinis
ini umumnya berfokus pada penilaian dan pengobatan individu dalam konteks hukum;
melingkupi konsep-konsep seperti psikopati, kegilaan, penilaian risiko, cedera, dan
komitmen sipil.
DAFTAR PUSTAKA
https://psikologi.uma.ac.id/pengertian-psikologi-forensik-dan-fungsi/
https://kumparan.com/azra-aulia-rahman/apa-itu-psikologi-forensik-1vLAbDADBQw
Holmes, R. M., & Holmes, S. T. (2008). Profiling Violent Crimes: An Investigative Tool (4 ed.).
Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.
Mark Constanzo. 2006 Aplikasi psikologi dalam sistem hukum (terjemahan). Yogyakarta.
Pustaka pelajar