Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH KRIMINOLOGI

Psychological and Psychiatric Foundations of Criminal Behavior

Dosen Pengampu :

Dr. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H.

Oleh :

Harum Tri Nugraheni (E0020215)

Kriminologi G

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak zaman dahulu sudah banyak kasus-kasus kriminal yang terjadi di Indonesia, seperti
pencurian, perampokan, penganiayaan, perampasan, korupsi, dan lain sebagainya. Ditambah
dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat para pelaku
tindak kriminal semakin gencar menjalankan aksinya dengan berbagai cara. Banyak faktor
yang mempengaruhi para pelaku tindak kriminal tersebut, salah satunya yaitu faktor psikologi.

Psikologi sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno : psyche yang artinya jiwa dan logos
yang artinya kata. Dalam arti bebas, psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa atau
mental. Psikologi sendiri tidak mempelajari kondisi jiwa secara langsung karena sifatnya yang
abstrak, tetapi psikologi membatasi pada bagian ekspresi juga manifesti dari kondisi jiwa
tersebut, yaitu berupa tingkah laku dan proses kegiatannya. Sehingga psikologi dapat diartikan
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai tingkah laku dan proses mental atau
jiwa seseorang.

Terdapat tiga tradisi besar orientasi teori psikologi dalam menjelaskan perilaku manusia.
Pertama, perilaku disebabkan dari alam (deternimistik). Kedua, faktor disebabkan oleh
pengaruh lingkungan atau proses belajar. Ketiga, faktor disebabkan interaksi manusia dan
lingkungan. Berdasarkan teori-teori psikologi tersebut dapat dilihat bahwa dalam proses
perkembangan kehidupan manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan satu
sama lain menjadi suatu sintesa yang membentuk karakter watak secara psikologis tiap-tiap
individu.

Psikologi memiliki berbagai peran dalam kehidupan manusia. Salah satunya yaitu peran
psikologi dalam kriminologi. Pada era modern, kriminologi diartikan sebagai ilmu yang
mengkaji dan membahas kejahatan dan penyimpangan tingkah laku manusia baik sebagai
sebuah gejala sosial maupun psikologi. Oleh karena itu, dunia hukum membutuhkan disiplin
ilmu lain yang mampu menjelaskan setiap penyimpangan, kaitannya dengan perilaku, serta
situasi psikologis tertentu yang memotivasi perilaku kejahatan (terdesak, panik, marah,
cemburu, depresi, gangguan jiwa)
Psikologi dalam dunia kriminal sering disebut dengan psikologi kriminal. Penentu
psikologis perilaku menyimpang atau kriminal dituangkan dalam berbagai istilah, seperti
karakteristik kepribadian eksploitatif, kontrol impuls yang buruk, gairah emosional,
kepribadian yang belum matang, dan sebagainya.

Namun, sebelum memulai pembahasan teori psikologi kriminal, perlu diberikan gambaran
singkat tentang terminologi yang digunakan untuk menggambarkan studi psikologis tentang
kejahatan dan kriminalitas. Psikologi forensik adalah penelitian dan teori psikologi yang
berkaitan dengan efek-efek dari faktor kognitif, afektif, dan perilaku terhadap proses hukum.
Tidak seperti psikolog forensik (yang umumnya bergelar PhD), psikiater forensik adalah
dokter medis, dan psikiatri forensik adalah subspesialisasi medis yang menerapkan psikiatri
untuk kebutuhan pencegahan dan solusi kejahatan, rehabilitasi kriminal, dan masalah hukum
pidana.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari psikologi kriminal?
2. Bagaimana sejarah dari teori psikologi kriminal?
3. Apa saja teori psikologi kriminal?
4. Apa saja jenis gangguan yang berhubungan dengan kejahatan?
5. Bagaimana contoh kasus dari landasan psikologi dan psikiatri dalam kriminologi?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, berdasarkan latar belakang dan rumusan
masalah maka tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian dari psikologi kriminal,
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah teori psikologi kriminal,
3. Untuk mengetahui teori-teori dalam psikologi kriminal,
4. Untuk mengetahui jenis gangguan yang berhubungan dengan kejahatan,
5. Untuk mengetahui contoh kasus dari landasan psikologi dan psikiatri dalam kriminologi.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Psikologi Kriminal

Menurut Sigmund Freud, psikologi kriminal adalah dengan menggunakan teori


psikoanalisa menghubungkan antara delinquent (kejahatan) dan perilaku kriminal dengan
suatu conscience (hati nurani) yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan
bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongandorongan individu.

Psikologi kriminal merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari psikologi


(kondisi perilaku atau kejiwaan) pelaku tindak kriminal serta semua atau yang berhubungan
baik langsung maupun tidak langsung dengan tindakan yang dilakukan dan keseluruhan-
keseluruaan akibatnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat di tarik pemahaman
bahwa ilmu psikologi kriminal merupakan suatu metode yang dipergunakan guna
mengidentifikasi penyebab terjadinya kejahatan yang diakibatkan oleh kelainan perilaku atau
faktor kejiwaan si pelaku tindak kriminal.
Psikologi kriminal dalam hal ini juga mempelajari tingkah laku individu itu khususnya dan
juga mengapa muncul tingkah laku asosial maupun bersifat kriminal. Tingkah laku individu
atau manusia yang asosial ataupun yang bersifat kriminal tidaklah dapat dipisahkan dari
manusia lain, karena manusia yang satu dengan lainnya adalah merupakan suatu jaringan dan
mempunyai dasar yang sama.

2. Sejarah Teori Psikologi Kriminal


Dua gagasan utama yang mencirikan awal teori-teori psikologi adalah kepribadian dan
behaviorisme. Teori kepribadian dibangun di atas bidang perkembangan ilmu kognitif
termasuk gangguan kepribadian, proses perkembangan moral, dan pikiran. Dari teori ini dapat
dilihat bahwa aspek pandangan dan kemampuan individu dalam proses pembelajaran afektif,
kognitif dan psikomotorik sangat berperan dalam membentuk karakter individu, dalam proses
perkembangannya sebagai individu dalam masyarakat sehingga dalam hal ini dapat diambil
pemahaman bahwa karakter manusia terbentuk karena adanya kontak antara pengaruh positif
dan negatif.
Sedangkan behaviorisme atau yang dikenal sebagai teori perilaku, mengkaji pembelajaran
sosial dengan penekanan pada pengkondisian perilaku. Premis dasar dari teori ini menyatakan
bahwa perilaku manusia selain disebabkan faktor lingkungan juga disebabkan faktor internal.
Artinya manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan lingkungan juga dapat dipengaruhi
manusia. Kedua bidang ini berperan dalam membentuk fondasi awal psikologi kriminal.

3. Teori Psikologi Kriminal


a. Trait Theory (Teori Sifat)

Pada tahun 1964, Hans J. Eysenck, seorang psikolog Inggris, menerbitkan sebuah buku
“Kejahatan dan Kepribadian”, di mana dia menjelaskan kejahatan sebagai hasil dari
karakteristik kepribadian yang mendasar atau sifat-sifat yang dia yakini sebagian besar
diwariskan. Karakteristik kepribadian individu sifatnya relatif tetap dan konsisten serta tiap-
tiap individu berbeda.

Menurut teori sifat, ketika seorang bertambah tua atau berpindah dari satu tempat ke tempat
lain, kepribadiannya sebagian besar tetap utuh didefinisikan oleh ciri-ciri yang membentuknya.
Orang yang cenderung melakukan tindakan kriminal dicirikan oleh egoisme, ketidakpedulian
terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain, impulsif, dan kontrol diri yang rendah,
dominansi sangat kuat, power yang lebih, cenderung asertif.

b. Cognitive Theory (Teori Kognitif)

Teori kognitif adalah teori belajar yang mengkaji proses berpikir dan berusaha menjelaskan
bagaimana orang (1) belajar memecahkan masalah, termasuk yang melibatkan pertanyaan
tentang nilai dan moralitas, dan (2) memahami dan menafsirkan lingkungan sosial. Teori
kognitif memiliki cabang, termasuk yang berfokus pada perkembangan moral dan intelektual.
Berikut adalah cabang-cabang teori kognitif :

1. Moral Development Theory (Teori Perkembangan Moral)


Cabang pertama dari teori kognitif yaitu teori perkembangan moral. Menurut teori
perkembangan moral bahwa individu menjadi kriminal ketika mereka tidak berhasil
menyelesaikan perkembangan intelektualnya dari anak-anak hingga dewasa. Salah satu
peta komprehensif pertama tentang perkembangan psikologis manusia diciptakan oleh
perkembangan psikolog Swiss Jean Piaget. Piaget percaya bahwa pemikiran manusia dan
proses intelektual melewati sejumlah tahap perkembangan biopsikologis.
Piaget mengemukakan empat tahap perkembangan intelektual manusia: (1) Tahap
sensorik-motorik, yang berlangsung sejak lahir hingga usia dua tahun. Selama tahap ini,
anak-anak sangat egosentris atau fokus pada diri mereka sendiri dan pengalaman pribadi
mereka serta belajar tentang dunia melalui indera fisik dan gerakan tubuh mereka. (2)
Tahap praoperasional, yang berlangsung dari usia dua sampai tujuh tahun. Selama tahap
ini, anak-anak tidak dapat bernalar dengan baik atau menggunakan pemikiran logis, tetapi
egosentrisme mulai melemah, dan keterampilan motorik diperoleh. (3) Tahap operasional
konkret, yang berlangsung dari usia 7 hingga 11 tahun. Pada tahap ini, anak mulai
mengembangkan kemampuan menalar dan berpikir logis, meskipun sangat konkret
pemikirannya, dan seringkali membutuhkan alat bantu praktis seperti kancing-kancing atau
koin untuk membantu dalam menghitung dan aritmatika. Pada saat anak mencapai tahap
ini, mereka tidak lagi egosentris dan mampu menghargai kebutuhan dan perasaan orang
lain. (4) Tahap operasional formal, yang berlangsung dari usia 11 hingga 16 tahun dan
berlanjut hingga dewasa. Pada tahap ini, remaja berkembang dan memperoleh
keterampilan penalaran abstrak serta belajar bagaimana berpikir dan bernalar tanpa
memerlukan bantuan dari luar.
Inti dari perspektif Piaget tentang perkembangan moral adalah gagasan bahwa ketika
anak-anak tumbuh dan belajar, mereka menjadi mampu merefleksikan tindakan mereka
sendiri dan memperoleh pemahaman tentang aturan tak tertulis yang mengatur interaksi
manusia. Ketika seorang anak telah melewati empat perkembangan tahap tersebut, dia
akan berpindah dari moral absolutisme (dimana anak tanpa ragu menerima perintah orang
tua atau pengasuhnya) ke relativisme moral (dimana tindakan dipandang benar atau salah
tergantung pada keadaan di mana tindakan itu dilakukan).
2. Cognitive Information Processing Theory (Teori Pemrosesan Informasi kognitif)

Bidang kedua dari teori kognitif yang berlaku untuk kriminologi adalah teori
pemrosesan informasi kognitif. Teori ini melibatkan studi tentang persepsi manusia,
pemrosesan informasi, dan pengambilan keputusan. Penelitian psikologis menunjukkan
bahwa orang membuat keputusan dengan terlibat dalam serangkaian proses berpikir yang
kompleks, atau langkah-langkah. Pada langkah pertama, mereka mengodekan dan
menginterpretasikan informasi yang disajikan atau pengalaman yang mereka miliki. Pada
tahap selanjutnya, mereka mencari respon yang tepat. Lalu pada tahap ketiga, mereka
bertindak berdasarkan keputusan mereka.

Beberapa ahli teori pemrosesan informasi percaya bahwa yang melakukan kekerasan
individu mungkin menggunakan informasi kemudian membuat keputusan secara tidak
benar. Penelitian yang mendukung menunjukkan bahwa beberapa orang terlibat dalam
serangan kekerasan terhadap orang lain karena mereka percaya bahwa mereka sebenarnya
membela diri, bahkan dalam menghadapi ancaman yang salah persepsi. Karena beberapa
cara alami orang memproses informasi, mereka tidak dapat mengenali bahaya yang mereka
lakukan kepada orang lain.

c. Script Theory

Pada akhir 1970-an, Roger C. Schank dan Robert P. Abelson dari Universitas Yale
mengembangkan teori skrip untuk menjelaskan proses pemahaman selama situasi atau
peristiwa yang terjadi. Skrip merujuk pada pengetahuan umum tentang hal-hal tertentu, jenis
situasi yang tersimpan dalam pikiran. Secara lebih formal, Schank dan Abelson
menggambarkan skrip sebagai sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya atau urutan tindakan
stereotip yang mendefinisikan suatu situasi.

Menurut Helen Gavin dan David Hockey, dua kriminolog Inggris, skrip digunakan untuk
memandu perilaku karena skrip memberikan serangkaian kepada pemegangnya tentang apa
yang akan terjadi selama berlangsungnya suatu peristiwa, sehingga menawarkan cara
memprediksi hasil dan membantu individu untuk bertindak. Penjahat menggunakan skrip
untuk melakukan kejahatan dan banyak yang menjadi rutinitas dari waktu ke waktu.

d. The Psychoanalytic Perspective Criminal Behavior as Maladaptation

Sigmund Freud menciptakan istilah psikoanalisis pada tahun 1896 dan mendasarkan
seluruh teori perilaku manusia di atasnya. Freud tidak mengatakan apa-apa tentang perilaku
kriminal, dan baru kemudian psikoanalis lain mulai menerapkan konsep yang telah
dikembangkan Freud untuk mempelajari perilaku kriminal. Dari sudut pandang psikoanalisis,
perilaku kriminal adalah maladaptif, atau produk dari kekurangan kepribadian pelaku.
Ketidakcukupan yang signifikan dapat mengakibatkan penyakit mental yang parah, yang dapat
menjadi penyebab langsung kejahatan. Perspektif psikoanalitik mencakup pengertian yang
beragam seperti kepribadian, neurosis, dan psikosis, dan konsep yang lebih spesifik seperti
transferensi, sublimasi, dan represi.

Teori psikoanalisa Sigmund Freud tentang kriminalitas menghubungkan delinquent


(kejahatan) dan perilaku kriminal dengan suatu conscience (hati nurani) yang baik dia begitu
menguasai, sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak
dapat mengontrol dorongan-dorongan individu, dan bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi
segera.

Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani, atau superego-nya begitu
lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya (yang berperan sebagai suatu penengah antara
superego dan id) tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian
yang mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi). Karena
superego intinya merupakan suatu citra orang tua yang begitu mendalam, terbangun ketika
anak menerima sikap-sikap dan nilai-nilai moral orang tuanya, maka selanjutnya apabila ada
ketiadaan citra seperti itu mungkin akan melahirkan id yang terkendali dan berikutnya
delinquency.

e. Frustration-Aggression Theory (Teori Frustasi-Agresi)

Dalam tulisan awalnya, Freud menyarankan bahwa perilaku agresif adalah respons alami
terhadap frustrasi dan keterbatasan yang dikenakan pada seseorang. Teori frustrasi-agresi ini
kemudian dikembangkan lebih lengkap dalam tulisan-tulisan J. Dollard, Albert Bandura,
Richard H. Walters, dan lain-lain. Teori frustrasi-agresi Dollard menyatakan bahwa frustrasi
dapat menyebabkan berbagai bentuk perilaku termasuk regresi, sublimasi, dan fantasi agresif
langsung terhadap orang lain dan itu adalah konsekuensi yang paling mungkin terjadi. Karena
setiap orang terkadang mengalami frustrasi dalam hidup.

f. Crime as Adaptation (Kejahatan sebagai Adaptasi)

Beberapa psikiater melihat kejahatan sebagai adaptasi terhadap tekanan hidup. Menurut
Seymour L. Halleck, seorang psikiater dan asisten profesor hukum di University of North
Carolina di Chapel Hill, beralih ke kejahatan dapat memberikan rasa pada individu yang
kehilangan hak kekuasaan dan tujuan. Jadi, kejahatan menurut Halleck, menyediakan sumber
daya yang nyaman untuk menyangkal, melupakan atau mengabaikan kekurangan lainnya.
Pilihan kejahatan untuk mengurangi stres individu dihadapi dengan menghasilkan perubahan
lingkungan, hal ini disebut sebagai adaptasi aloplastik.
Ketika kejahatan mengarah pada pengurangan stres sebagai akibat dari perubahan internal
dalam kepercayaan, sistem nilai dan sebagainya, itu disebut autoplastik adaptasi. Pelaku yang
mampu menyangkal tanggung jawab atas kegagalan lain dengan beralih ke kejahatan
dikatakan mencari autoplastik adaptasi. Karena bentuk perilaku lain juga dapat memenuhi
banyak kebutuhan yang sama seperti kejahatan. Halleck menunjukkan bahwa seorang individu
dapat memilih kejahatan di atas berbagai alternatif perilaku lainnya hanya ketika tidak ada
alternatif masuk akal lainnya yang tersedia atau ketika perilaku kriminal memiliki keuntungan
yang melekat.
g. Attachment Theory (Teori Keterikatan)
Pendekatan psikologis lain untuk menjelaskan kejahatan dan kenakalan adalah teori
keterikatan, pertama kali diusulkan oleh psikiater anak di Inggris, John Bowlby (1907-1990),
yang mengamati anak-anak selama masa studinya. Menurut teori keterikatan, perilaku nakal
muncul ketika keterikatan aman tidak diciptakan. Anxious-avoidant attachment berkembang
ketika anak-anak merasakan penolakan dan kurang percaya diri mengenai dukungan orang tua
dan perhatian. Keterikatan tahan kecemasan berkembang dari pengalaman dan menghasilkan
perasaan ketidakpastian, menyebabkan anak dan kemudian, orang dewasa merasa cemas, takut
terhadap lingkungannya.
Teori keterikatan memprediksi bahwa individu yang paling bermasalah adalah mereka
yang ditinggalkan pada usia dini, yang mengalami banyak penempatan seperti di panti asuhan
dan sebagainya, yang harus menghadapi ketidakhadiran awal salah satu atau kedua orang tua,
dan yang menghadapi traumatis kondisi fisik, seksual, atau pelecehan lainnya pada saat usia
dini. Tes teori keterikatan tampaknya mengkonfirmasi bahwa kesulitan di masa kanak-kanak
(terutama sebelum usia delapan tahun) menghasilkan kriminalitas di kemudian hari.
Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan di lingkungan yang tidak
aman cenderung terlibat dalam perilaku kekerasan sebagai orang dewasa dan masa kanak-
kanak itu. Ketidakamanan mengarah pada kurangnya empati. Beberapa ahli teori keterikatan
percaya bahwa pengembangan empati adalah satu-satunya faktor terpenting yang mengarah
pada konformitas. Ketika anak-anak tidak menerima empati dari orang-orang di sekitar
mereka, mereka tampaknya juga tidak dapat melihat orang lain layak mendapatkan empati dan
menjadi lebih mungkin untuk melukai orang lain.
h. Behavior Theory (Teori Perilaku)
Teori perilaku kadang disebut sebagai stimulus perilaku manusia. Ketika perilaku individu
menghasilkan penghargaan atau umpan balik yang individu anggap menyenangkan dan
diinginkan, maka perilaku tersebutakan kemungkinan menjadi lebih sering. Dalam keadaan
seperti itu, perilaku tersebut diperkuat, dan penghargaan itu sendiri disebut sebagai bala
bantuan. Sebaliknya, ketika hukuman mengikuti perilaku, kemungkinan frekuensi perilaku
tersebut akan berkurang.
Menurut teori perilaku, melalui penerapan penghargaan dan hukuman itulah perilaku
dibentuk. Teori perilaku berbeda dari teori psikologi lainnya dalam hal determinan utama
perilaku dibayangkan ada di lingkungan sekitar individu daripada di dalam individu. Mungkin
pendukung paling terkenal teori perilaku adalah BF Skinner (1904-1990).
Teori perilaku penting dalam studi kriminologi karena banyak perilaku manusia adalah hasil
dari pengkondisian dan orang dapat dikondisikan untuk menanggapi situasi dengan perilaku
prososial atau antisosial. Ini juga penting, karena ini adalah fondasi di mana teori kognisi sosial
dibangun.
i. Modeling Theory (Teori Pemodelan)
Teori pemodelan mengakui fakta bahwa orang belajar bagaimana bertindak melalui
pengalaman hidup mereka dan terutama dengan mengamati orang lain. Bandura menulis
bahwa "Kebanyakan perilaku manusia dipelajari melalui pengamatan melalui pemodelan dari
mengamati orang lain, seseorang membentuk gagasan tentang bagaimana perilaku baru
dilakukan, dan pada kesempatan berikutnya informasi kode ini berfungsi sebagai panduan
untuk bertindak."

 Kritik Terkait Teori Psikologi dan Psikiatri dalam Kriminologi


a. Teori Freud telah dikritik pada beberapa tingkatan. Kritik pertama dan paling mendasar
dari teori ini adalah kurangnya dukungan ilmiah. Kritik menunjukkan bahwa teori Freud
tidak didasarkan pada penelitian dan tidak ada dukungan substansial untuk konsep-
konsepnya. Dengan demikian, teori Freud dipandang kurang sebagai penjelasan ilmiah
untuk perilaku manusia.
b. Selain itu, beberapa mengklaim bahwa teori psikiatri, yang dibedakan dari yang
psikologis, hanya cocok untuk penjelasan tentang kognisi abnormal dan tidak berlaku baik
untuk orang normal yang beralih ke kejahatan.
c. Teori perilaku telah dikritik karena mengabaikan peran yang dimainkan dalam perilaku
manusia. Para martir misalnya, bertahan dalam apa yang mungkin didefinisikan oleh
masyarakat luas sebagai perilaku yang tidak diinginkan, bahkan dalam menghadapi
hukuman berat termasuk kehilangan nyawa mereka sendiri.
d. Teori pemodelan, bentuk yang lebih canggih dari teori kognitif telah dikritik karena
kurang memiliki kekuatan penjelas yang komprehensif.

4. Jenis Gangguan yang Berhubungan dengan Kejahatan


a. Psikopat

Psikopat adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan antisosial perilaku dan
kurangnya simpati, empati, dan rasa malu. Adapun seseorang dengan kondisi ini umumnya
bersikap manipulatif untuk mendapatkan kepercayaan orang lain. Mereka belajar untuk meniru
emosi, yang sebenarnya tidak mereka rasakan, dan akan tampak seperti orang yang normal.
Bahkan, mereka seringkali menunjukkan kepribadian yang hangat dan memesona.

Penderita kondisi ini pun sering kali berpendidikan tinggi dan memiliki pekerjaan yang
stabil. Bahkan, terkadang mereka memiliki keluarga dan hubungan jangka panjang lainnya
tanpa seorangpun tahu sifat sejati mereka. Inilah kenapa banyak orang yang tidak menyadari
jika ada seseorang dengan kondisi ini di lingkungannya.

Meskipun demikian, seseorang yang psycho sebenarnya tidak peduli dengan perasaan
orang lain. Karena itulah, banyak di antara mereka yang melakukan hal tak bermoral, sering
berbohong, bahkan kriminal, tanpa penyesalan dan rasa bersalah. Sikap inilah yang kemudian
berdampak luas pada kehidupannya, termasuk merusak pekerjaan, sekolah, serta hubungan
dengan keluarga dan lingkungan sosial.

b. Sosiopat

Sosiopat adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang
memiliki gangguan kepribadian antisosial (ASPD). Orang dengan ASPD tidak dapat mengerti
perasaan orang lain. Ia kerap melanggar aturan atau membuat keputusan impulsif tanpa merasa
bersalah atas kerugian yang mereka timbulkan. Seorang sosiopat atau antisosial memiliki pola
perilaku yang eksploitatif, penuh tipu muslihat, mengabaikan hukum, melanggar hak orang
lain, serta kasar (cenderung kriminal), tanpa motif yang jelas atau logis.
Selain itu, sering kali semua tindak-tanduk dan pemikirannya tidak bisa diprediksi. Orang
yang mengidap sosiopati bisa dianggap tidak memiliki empati atau hati nurani. Orang yang
mengidap gangguan kepribadian antisosial suka berbohong, melakukan kekerasan tanpa
berpikir panjang, dan sering kali menyalahgunakan alkohol dan obat-obatan terlarang.
c. Psikosis

Psikosis menurut Medline Plus adalah kelainan jiwa yang ditandai dengan hilangnya
kontak dengan realitas, biasanya mencakup ide-ide yang salah tentang apa yang sebenarnya
terjadi, delusi, atau melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada (halusinasi).
Secara umum, psikosis dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu
psikosis organik, yang disebabkan oleh factor oganik dan psikosis fungsional, yang terjadi
karena faktor kejiwaan.

Psikosis organik adalah penyakit jiwa yang disebabkan oleh factor factor fisik atau organik,
yaitu pada fungsi jaringan otak, sehingga penderita mengalamai inkompeten secara sosial,
tidak mampu bertanggung jawab, dan gagal dalam menyesuaikan diri terhadap realitas.
Psikosis jenis ini dibedakan menjadi beberapa, yaitu alcoholic psychosis, drug psychose ,
traumatic psychosis, dementia paralytica.

Psikosis fungsional merupakan penyakit jiwa secara fungsional yang bersifat nonorganik,
yang ditandai dengan disintegrasi kepribadian dan ketidak mampuan dalam melakukan
penyesuaian sosial. Psikosis jenis ini dibedakan menjadi beberapa, yaitu : schizofrenia,
psikosis maniadepresif, dan psiukosis paranoid.

d. Neurosis

Neurosis adalah gangguan yang terjadi hanya pada sebagian dari kepribadian, sehingga
orang yang mengalaminya masih bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa sehari-hari atau
masih bisa belajar, dan jarang memerlukan perawatan khusus di rumah sakit.
5. Contoh Kasus
Kasus Pembunuhan oleh pengidap skizofrenia paranoid
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan menyatakan mantan Wakil Kepala Kepolisian
Resor Lombok Tengah Kompol Fahrizal terbukti melakukan pembunuhan adik iparnya,
Jumingan. Akan tetapi, ia tidak dijatuhi hukuman penjara karena dinilai mengalami gangguan
jiwa atau skizofrenia paranoid. "Menyatakan terdakwa Fahrizal SI.K telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Kesatu Pasal 338 KUHP.
Akan tetapi terdakwa tersebut tidak dapat dipidana," ucap majelis hakim yang diketuai
Richard, dalam sidang, Kamis (7/2).
Dalam amar putusannya, majelis hakim juga memerintahkan agar Fahrizal, yang juga
mantan Kasat Reskrim Polresta Medan itu, supaya segera dikeluarkan dari tahanan untuk
dirawat di rumah sakit jiwa. Majelis hakim berpendapat Fahrizal tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana karena pada saat kejadian kondisi kejiwaannya terganggu.
Sehingga, sesuai dengan ketentuan Pasal 44 KUHP tentang terdakwa yang mengalami
gangguan jiwa, Fahrizal tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
Putusan yang dijatuhkan majelis hakim sama dengan tuntutan yang diajukan oleh JPU
Randi Tambunan dan pembelaan yang dibacakan tim penasihat hukum terdakwa beberapa
waktu lalu. Sementara itu, Julisman selaku penasihat hukum terdakwa usai persidangan
mengapresiasi putusan yang dijatuhkan majelis hakim. "Menurut kami majelis hakim
mempertimbangkan fakta-fakta persidangan. Karena dari awal, klien kami ini memang
mengalami gangguan jiwa termasuk saat dia melakukan penembakan itu," ucap Julisman.
Fahrizal didakwa melakukan pembunuhan karena menembak mati adik iparnya, Jumingan,
di rumah orangtuanya di Jalan Tirtosari Gang Keluarga, Kelurahan Bantan, Kecamatan Medan
Tembung, Sumut, Rabu 4 April 2018 sekira pukul 19.30 WIB malam. Dia melontarkan enam
kali tembakan hingga korban tewas. Jasad Jumingan kemudian dibawa ke RS Bhayangkara
Medan untuk otopsi. Kemudian Fahrizal menyerahkan diri ke Polda Sumut.
Dalam persidangan, tim penasihat hukum terdakwa dan sejumlah saksi yang dihadirkan
JPU Randi Tambunan menyebutkan bahwa Fahrizal telah mengalami gangguan jiwa atau
skizofrenia paranoid sejak 2014 atau sebelum peristiwa penembakan terjadi. "Terdakwa
pernah menjalani pengobatan di Klinik Utama Bina Atma pada 5 Agustus 2014, dan kemudian
secara berkelanjutan hingga 11 April 2016. Pada waktu itu yang merawat adalah dr Mustafa
M Amin dan dr Vita Camelia. Hal ini dapat dibuktikan dari surat yang dikeluarkan pimpinan
Klinik Utama Bina Atma yang ditandatangani dr. Tapi Harlina MHA tertanggal 16 April
2018," ujar Julhisman dalam pembelaannya beberapa waktu lalu.
Bahkan setelah peristiwa penembakan terjadi, kata Julhisman, pihak penyidik Polda Sumut
juga melakukan pemeriksaan terhadap eks Wakasat Reskrim Polrestabes Medan ini di RS Jiwa
Prof DR Muhammad Ildrem. Dokter yang memeriksa kesehatan terdakwa yakni, Dr Paskawani
Siregar tertanggal 23 April 2018 menyebutkan terdakwa mengalami skizofrenia paranoid.
Menurut Julhisman, Fahrizal menembak Jumingan yang merupakan suami dari adiknya
Heny Wulandari tanpa sadar atau di luar logika kesadaran. Saat itu kedatangan Fahrizal
didampingi istrinya Maya Safira Harahap dari Lombok untuk melihat ibunya Sukartini yang
baru sembuh. "Bahkan saat peristiwa terjadi, terdakwa mengaku mendengar bisikan gaib,
sehingga ia tidak bisa menguasai diri atau kesadarannya pada saat itu," kata Julhisman.
BAB III

PENUTUP

Psikologi kriminal merupakan suatu metode yang dipergunakan guna mengidentifikasi


penyebab terjadinya kejahatan yang diakibatkan oleh kelainan perilaku atau faktor kejiwaan si
pelaku tindak kriminal. Dua gagasan utama yang mencirikan awal teori-teori psikologi adalah
kepribadian dan behaviorisme. Yang termasuk teori psikologi kriminal antara lain :

a. Trait Theory (Teori Sifat)


b. Cognitive Theory (Teori Kognitif)
c. Script Theory
d. The Psychoanalytic Perspective Criminal Behavior as Maladaptation
e. Frustration-Aggression Theory (Teori Frustasi-Agresi)
f. Crime as Adaptation (Kejahatan sebagai Adaptasi)
g. Attachment Theory (Teori Keterikatan)
h. Behavior Theory (Teori Perilaku)
i. Modeling Theory (Teori Pemodelan)

Kritik terkait teori psikologi dan psikiatri dalam kriminologi antara lain : (1) Teori Freud
telah dikritik pada beberapa tingkatan. Kritik pertama dan paling mendasar dari teori ini adalah
kurangnya dukungan ilmiah. (2) Selain itu, beberapa mengklaim bahwa teori psikiatri yang
dibedakan dari yang psikologis, hanya cocok untuk penjelasan tentang kognisi abnormal. (3)
Teori perilaku telah dikritik karena mengabaikan peran yang dimainkan dalam perilaku
manusia. (4) Teori pemodelan, bentuk yang lebih canggih dari teori kognitif telah dikritik
karena kurang memiliki kekuatan penjelas yang komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Achjani, Eva, dan Topo Santoso. 2010. Kriminologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Schmalleger, Frank. 2017. Criminology Today : An Integrated Introduction. (Edisi ke-8).

Pembroke : Universitas Carolina Utara

Thahir, Andi. 2016. Psikologi Kriminal. Bandar Lampung.

Website :

Indonesia, CNN. 2019. Bunuh Adik Ipar, Eks Wakapolres Tak Dibui karena Sakit Jiwa.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190207164230-12-367226/bunuh-adik-ipar-
eks-wakapolres-tak-dibui-karena-sakit-jiwa (diakses pada 12 September 2021 pukul 17.23
WIB)

Anda mungkin juga menyukai