Catatan Perbaikan:
1. Secara umum naskah ini sdh baik, namun perlu perbaikan kembali agar
lbh sempurna.
2. Masukan sumber data dalam bentuk footnote atau bodynote dari halaman
pendahuluan sampai akhir isi. Jika bisa menggunakan aplikasi Mendeley
dalam memasukan sumber data di dalam naskah. Namun jika masih blm
bisa maka manual saja tidak apa-apa.
3. Ditambah sumber dari tulisan buku dan jurnal.
4. Selamat merevisi kembali ya
Sumber: https://www.beritasatu.com/megapolitan/681047/kasus-pelecehan-di-bandara-polisi-
belum-ada-korban-lain
Ringkasan: Tujuan tulisan ini untuk menganalisis sejauh mana maraknya kasus
pencabulan seksual yang terjadi di Indonesia. Pencabulan sendiri merupakan
perbuatan yang melanggar kesopanan dan kesusilaan suatu perbuatan yang keji,
yang tergolong dalam lingkungan nafsu birahi seperti, meraba anggota tubuh
korban. Di Indonesia sudah banyak kasus pencabulan yang terjadi. Menurut hasil
penilitian penyebab maraknya kasus pencabulan yang terjadi di Indonesia karena
rendahnya pendidikan, kondisi ekonomi, dan pengaruh lingkungan tempat tinggal.
Untuk itu, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menumpas segala kasus
pencabulan di Indonesia dengan berbagai upaya, baik dengan mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20022 tentang pemerkosaan, perbuatan cabul,
dan pornografi. Namun juga dengan mengedukasi masyarakat menegenai bahaya
dari pencabulan seksual.
Pendahuluan
Secara kuasa, budaya, dan kontruksi gender posisi perempuan lebih rendah
dan lemah dibandingkan dengan laki-laki, oleh karena itu perempuan rentan
menjadi korban pencabulan dan kekerasan seksual. Jangan jadikan tindak kasus
pencabulan atau pelecehan seksual sebagai aib, sehingga enggan melaporkan ke
pihak berwajib. Justru jika anda melihat atau bahkan sampai menjadi korban
pelecehan atau pencabulan seksual, segera melaporkan ke pihak berwajib karena
sudah ada peraturan perundang-undangan dan pasal- pasal yang mengaturnya.
Bahkan menurut data dari Komnas Perempuan, jumlah kasus pelecehan seksual
meningkat setiap tahunya. Saat World Healt Organization (WHO) melakukan
penelitian mengenai prevalensi kekerasan terhadap perempuan secara global dan
regional, menyatakan bahwa kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan
telah mencapai tingkat epidemi, dan mempengaruhi lebih dari sepertiga
perempuan secara global.
2. KUHP Pasal 290 ayat 2: Diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun: barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduga-nya bahwa umurnya belum lima belas
tahun atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa yang bersangkutan belum masanya
dikawin.
3. KUHP Pasal 290 ayat 3:Diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun: Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya
atau patut harus disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun
atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum mampu dikawin, untuk
melakukan atau membiarkan perbuatan cabul atau bersetubuh di luar perkawinan
dengan orang lain.
5. KUHP Pasal 293: Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang
atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan,
atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik
tingkah-lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul
dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya
harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190604110800-20-400871/rentetan-bom-dan-
aksi-terorisme-selama-ramadan-di-indonesia
Dampak dari pencabulan, korban akan mengalami trauma yang sangat berat.
Korban biasanya akan menyendiri akibat malu terhadap dirinya sendiri atau
hilangnya kepercayaan diri. Lebih parah lagi, korban akan merasa benci terhadap
dirinya sendiri dan ini sangat menggangu pada psikis korban. Trauma yanng
diderita korban biasanya akan bertahan sangat lama, oleh karena itu dukungan
orang tua dan keluarga sangat diperlukan pada tahap penanggulangan korban.
Sumberi: https://malangpagi.com/dugaan-pencabulan-terhadap-murid-sd-kantor-diknas-kota-
malang-di-demo/
Upaya Pre-emtif, dimana dalam upaya ini dilakukan oleh pihak kepolisian
untuk mencegah terjadinya kejahatan (pencegahan awal) dengan memberikan
norma-norma yang baik terhadap seseorang agar orang tersebut enggan untuk
melakukan niat jahatnya.
3. Upaya Respresif, dalam hal ini dilakukan oleh aparat dimana kejadian
kejahatan tersebut telah terjadi dan aparat menindak lanjut pelaku tindak pidana
sesuai dengan perbuatan yang ia perbuat. Selain itu, aparat juga dimohon untuk
memberikan evaluas memperbaiki kembali pelaku dalam tingkat kesadaran guna
melakukan suatu perbuatan agar tidak melanggar ketentuan hukum dan merugikan
masyarakat sehingga pelaku tersebut dapat kembali melakukan perbuatan yang
benar dan tidak melakukan kejahatan kembali.
Kemudian dari pada itu ketika Indonesia semakin gawat darurat, siapa
yang akan menjadi dokternya jika bukan pemerintah?. Jika pelaku dari kejahatan
seksual tidak jera, hukuman apa yang lebih pantas selain menderita didalam
penjara? Inilah mengapa jika RUU PKS dapat ditindak lanjuti untuk dibahas dan
disahkan.
Sumber: https://www.kompasiana.com/muhammad65431/6242cca32607db6da1475e97/upaya-
pencegahan-kejahatan-pencabulan-anak
Mengacu pada data Komnas Perempuan dan merujuk pada sejumlah riset
yang didokumentasikan dalam Jurnal Perempuan edisi 109 tentang Kekerasan
Seksual dan Ketimpangan Gender, Abby menyatakan bahwa Indonesia darurat
kekerasan seksual. Dalam lima tahun terakhir kekerasan seksual berada di posisi
kedua tertinggi di antara kasus-kasus kekerasan lainnya. Fakta tersebut adalah
alasan kuat untuk mendesak tanggung jawab negara memenuhi hak konstitusional
warganya, yaitu dengan menyediakan payung hukum yang dapat mengenali dan
mengakomodasi pengalaman korban. Maka pembahasan dan pengesahan
Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang
kini berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
penting untuk segera dilakukan.
Lantas, apakah penerapan hukum saja cukup? Pertanyaan dari Enggal tersebut
direspons oleh Abby dengan perlunya perubahan pemahaman masyarakat akan
definisi kekerasan seksual. Selama ini, tindakan seperti perkosaan dan pencabulan
mendominasi pengertian yang dimiliki masyarakat tentang kekerasan seksual.
Sedangkan kekerasan seksual (KS) yang sesungguhnya turut meliputi tindakan
yang tidak hanya mencakup sentuhan fisik saja. Sebagai contoh, catcalling atau
pelecehan verbal yang terjadi di ruang publik. KS ini kerap dianggap sebagai
kewajaran atau keseharian dan diremehkan efeknya terhadap korban. Padahal
kekerasan seksual dalam bentuk verbal dan atau kekerasan psikologis dapat
berdampak pada tercerabutnya kesejahteraan (psikis dan fisik) korban. Bila tidak
ditangani secara serius, akibatnya perempuan kerap merasa tidak aman dan
nyaman berada di ruang publik dan dapat membatasi dana tau menarik diri dari
publik.
Abby merespons dengan menyatakan bahwa bagi gerakan masyarakat sipil yang
mendorong keadilan gender, kehadiran Permen 30/2021 adalah sebuah inisiatif
penting yang harus diapresiasi. Setidaknya, kehadiran aturan tersebut
menunjukkan adanya komitmen dari salah satu instansi negara untuk
menghadirkan lingkungan yang aman, nyaman dan bebas kekerasan seksual bagi
semua (orang yang diatur dalam permen tersebut). Harapannya, inisiatif ini dapat
direplikasi oleh instansi lain dan menjadi penguat urgensi pengundangan RUU
PKS. Sementara kontroversi kata consent sebagai legalisasi/ dukungan terhadap
zina ini tidak benar. Inti dari kebijakan tersebut adalah memastikan korban
terlindungi. Kata consent tersebut justru untuk menunjukkan bahwa dalam kasus
KS salah satu unsurnya adalah “pemaksaan”. Dalam berbagai laporan sering kali
pelaku KS berlindung dalam gagasan tindakan yang dilakukannya adalah tindakan
suka sama suka (atau disetujui/consent kedua belah pihak). Kata tersebut
kemudian menyamarkan atau bahkan menghilangkan unsur relasi kuasa yang
berada dibalik terjadinya KS. Apakah itu hubungan atasan-bawahan, senior-
junior, dosen-mahasiswa, dan lain sebagainya.
kesimpulan
ada dengan bentuk perkataan seperti “cat calling” yang kadang orang berpikir
hanya sebuah candaan tertapi korban merasa todak nyaman dan merasa
dilecehkan atas perlakuan tersebut.
Korban pelecehan biasanya selalu merasa dirinya sudah tidak pantas dan
merasa depresi karena kingkungan sekitarnya yang dirasa memojokkan korban.
Kebanyakan orang menyalahkan korban karena pakaian korban dan dirasa
menggoda pelaku padahal korban tidak merasa demikian. Pelecehan juga tak
pandang tempat, bahkan baru baru ini pelecehan di kereta api sedang ramai
ramainya dibicarakan. Dan orang orang disekitarnya menganggapnya abai padahal
korban merasa butuh pertolongan.
Sebaiknya kita harus selalu sadar akan tersebut. Banyak tindakan yang
bisa kita lakukan jika kita melihat hal tersebut bisa merekam melalui gadget dan
membawa bukti tersebut ke polisi atau berteriak meminta tolong. Media Sosial
pun sudah tak abai akan hal tersebut, informasi yang menyebar luas mempercepat
pelaku pelecehan seksual cepat tertangkap.
Referensi
https://www.kompasiana.com/iqbalfarouq/61c45dd306310e4de03e2c03/
maraknya-kasus-pelecehan-seksual-di-indonesia-salah-siapa
https://www.sosial79.com/2021/08/pengertian-pencabulan-ketentuan-
hukum.html
https://tirto.id/kronologi-kasus-pencabulan-santriwati-jombang-update-
msat-ditahan-gtQW
https://tirto.id/kronologi-kasus-pencabulan-santriwati-jombang-update-
msat-ditahan-gtQW
https://daerah.sindonews.com/read/919795/194/kasus-pencabulan-8-anak-
laki-laki-di-kepulauan-anambas-segera-disidangkan-1666429830
https://www.jawapos.com/jpg-today/07/11/2022/kasus-pencabulan-tahun-
lalu-pelaku-baru-ditangkap-tahun-ini/
https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/membincang-kebijakan-
dan-edukasi-terkait-pencegahan-kekerasan-seksual
https://www.kompasiana.com/
muhammad65431/6242cca32607db6da1475e97/upaya-pencegahan-
kejahatan-pencabulan-anak