PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang masalah
Kejahatan moral dan kekerasan seksual dikenal dalam norma semua agama di dunia, sehingga
nilai-nilai agama itu bersifat universal. Dalam persepektif yang luas, kejahatan kesusilaan dapat
dijadikan obyek studi, ketika kita membahas masalah pelecehan seksual dalam konteks kebijakan
hukum pidana. Keberadan hukum pidana di tengah masyarakat, yaitu memberikan batasan terhadap
sebuah perbuatan dengan cara menetapkan apa saja yang dilarang. Oleh karena itu, pemahaman tentang
mengapa pelecehan seksual dilarang serta mengapa perlu penjatuhan sanksi terhadap setiap pelanggar
dari perbuatan dimaksud diadakan, itu semua merupakan cara berpikir yang dihadapi ketika kita
mengkaji tentang masalah pelecehan seksual.
Pemahaman tentang pelecehan seksual, tentu memiliki perpektif yang tidak bisa disamakan
dengan tindak pidana lainnya. Pelecehan seksual adalah penyalahgunaan hubungan perempuan dan laki-
laki yang merugikan salah satu pihak (karena dilecehkan maka direndahkan martabatnya). Merendahkan
martabat sesama ini dalam kehidupan masyarakat dewasa ini sangat sukar dilihat, sebab dikemas dengan
berbagai, tradisi, ajaran agama, kehendak politik, ekonomi yang semuanya ini “dimitoskan.” Kemasan-
kemasan itu sendiri diberi “label “ budaya Indonesia.
Maka masuk akallah apabila banyak orang tidak dapat melihat : Isi yang ada dalam “kemasan”.
Oleh karena itu memerlukan analisis untuk membedah kemasan-kemasan sehingga makin jelas
permasalahannya.
Melalui budaya, masyarakat dikonstruksikan secara gender :
Pembagian kerja : perempuan kerja feminim (ringan, teliti, rapi dan sebagainya).
Stereotip : perempuan diberi “label” feminim, laki-laki diberi “label” maskulin
Ruang lingkup kegiatan : perempuan domestik, laki-laki publik.
Fungsi : perempuan berfungsi reproduksi, laki-laki produksi.
Tanggung jawab pemberi nafkah : laki-laki pencari nafkah utama, perempuan pencari nafkah
tambahan
Konstruksi sosial yang membedakan manusia berdasarkan gender (seks), menjadi tidak
menghagai kemampuan manusia secara pribadi. Laki-laki yang secara pribadi tidak mampu menjadi
pencari nafkah utama dalam kehidupannya, tidak mampu melaksanakan fungsi produksi, akan
dilecehkan oleh masyarakat, bahkan oleh istri dan anak-anaknya. Demikian pula perempuan yang tidak
dapat melaksanakan tugas domestik akan dinilai salah. Aturan ini membentuk perilaku manusia yang
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, kerena disosialisasikan melalui ; pendidikan/pengasuhan,
agama, media masa, film, sastra bahasa (komunikasi), bahkan negara/pemerintahan. Dari pelecehan
yang seolah “bukan masalah” tersebut, berproses menjadi pelecehan lanjut, yang kemudian menjadi
bentuk kejahatan, seperti misalnya pemerkosaan, perzinahan, kekerasan seks, dan sebagainya.
Konstruksi sosial gender “melahirkan” berbagai macam bentuk kekerasan seks, seperti misalnya :
Masih banyak lagi pranata-pranata yang mengkondisikan laki-laki menjadi dominan dalam
masyarakat, sehingga situasi tersebut dianggap legal. Situasi ini “diperparah” dengan pandangan bahwa
yang sosiologis dijadikan teologis, dan dilestarikan melalui ajaran agama.
Dalam konstrusi masyarakat yang demikian itu, tidaklah mengherankan apabila yang menjadi
korban kejahatan pemerkosaan, pemukulan, penganiayaan, pembunuhan, incest dan kejahatan seks yang
lain, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Mereka dikonstruksikan masyarakat sebagai
kelompok yang lemah.
Dalam kehidupan sebuah negara maupun masyarakat, cenderung memberikan reaksi yang
berbeda dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelanggar kejahatan kesusilaan (terutama berkaitan
dengan pelecehan seksual) dibandingkan dengan delik lainnya seperti, delik terhadap, nyawa, harta, dsb,
karena bentuk-bentuk kejahatan yang dimaksud, mempunyai karakteristik, baik dari segi filosofis,
sosial, psikologis, politik, dsb.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka permasalahan dalam penulisan Karya Ilmiah ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun yang menjadi tujuan penulisan Karya Ilmiah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji dan menganalisa bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dapat
dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
2. Untuk menganalisa cara pengidentifikasian kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual.
3. Untuk mengetahui perspektif perlindungan hukum terhadap korban pelecehan seksual.
D. MANFAAT PENULISAN
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap wanita
yang dapat digolongkan sebagai pelecehan seksual sehingga pelakunya dapat dipidana.
2. Memberikan pemahaman tentang cara mengidentifikasi kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual,
sehingga diharapkan dapat mempermudah penegakan hukumnya
3. Memberikan solusi bagi pemerintah dalam mengantisipasi meningkatnya kejahatan kesusilaan dan
pelecehan seksual.
E. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Penulisan ini digunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara mengkaji berbagai aturan-aturan hukum yang bersifat formil seperti peraturan perundang-
undangan. Penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu)
penelitian digolongkan sebagai data sekunder bahan kepustakaan bidang hukum dari sudut
kekuatannya dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yakni : Bahan hukum primer, sekunder dan
tertier.
Tipe penulisan hukum yang digunakan adalah penulisan deskriptif, yaitu membatasi pada
memberikan gambaran terhadap pengertian hukum, sehingga memperoleh pemahaman yang
mendalam. Ini dilakukan untuk menemukan bentuk perlindungan hukum yang relevan.
2. Pengolahan Data Penelitian
a. Metode deduktif yaitu pembahasan yang berawal dari hal-hal yang sifatnya umum kemudian
ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
b. Metode induktif yaitu pembahasan yang berawal dari hal-hal yang sifatnya khusus kemudian
ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam catatan sejarah tidak diperoleh data yang akurat sejak kapan lakilaki “dinobatkan” sebagai
“patriach”. Namun Engels sebagaimana dikutip oleh Siti Ruhaini Dzuhayatin memprediksikan bahwa :
Telah terjadi ‘kudeta’ kultural pada saat laki-laki berhasil menemukan teknologi pertanian dan
penangkaran binatang dalam masyarakat agraris, yang pada mulanya dirintis oleh kaum perempuan.
Sejak saat ini konsep tentang ‘familia’ muncul dengan laki-laki sebagai ‘patriach’ yang menguasai
perempuan (istri) dan anak-anak. Penguasaan ‘familia’ yang dalam bahsa asli (Yunani) berarti budak-
budak domestik sepadan dengan penguasaan laki-laki terhadap tanah, air dan tahap yang paling tinggi
adalah penguasaan terhadap alam.
Menurut Alaistar Davidson, kekuasaan dapat berbentuk struktural dan kultural sebagai berikut :
Yang pertama merupakan kekuasaan politis yang memiliki dominasi langsung lewat lembaga-
lembaga kenegaraan, birokrasi, angkatan bersenjata. Sedangkan yang kedua adalah bentuk kekuasaan
yang beroperasi dalam masyarakat sipil di mana pengaruh gagasan-gagasan, pranata-pranata dan figur-
figur penguasa tidak muncul melalui dominasi melainkan melalui kesepakatan yang disebut hegemoni.
Pelecehan atau penyimpangan seksual adalah segala bentuk penyimpangan seksual baik arah,
minat, maupun orientasi seksual. Penyimpangan adalah gangguan atau kelainan. Sementara perilaku
seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun
dengan sesama jenis. Penyimpangan seksual merupakan salah satu bentuk perbuatan menyimpang
karena melanggar norma yang berlaku. Penyimpangan seksual dapat diartikan sebagai bentuk
perbuatan yang mengabaikan nilai dan norma yang melanggar, bertentangan atau menyimpang dari
aturan-aturan hukum.
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada
hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran
sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri
individu yang menjadi korban pelecehan tersebut. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni
meliputi: main mata, siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan,
colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat
seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual
hingga perkosaan. Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Sebagaimana pendapat
Wirdjono lebih menekankan mengenai pemaksaan hubungan seksual (berhubungan) pada seseorang
perempuan yang bukan isterinya. Pemaksaan yang dilakukan laki-laki membuat atau mengakibatkan
perempuan terpaksa melayani persetubuhan.
Beberapa definisi pelecehan seksual di atas dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah
perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain dalam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara
sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya.
Secara umum ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya sebuah kejahatan. Pertama
adalah faktor yang berasal atau terdapat dalam diri si pelaku yang maksudnya bahwa yang mempengaruhi
seseorang untuk melakukan sebuah kejahatan itu timbul dari dalam diri si pelaku itu sendiri yang didasari
oleh faktor keturunan dan kejiwaan (penyakit jiwa). Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal atau
terdapat di luar diri pribadi si pelaku.
BAB III
PEMBAHASAN
B. Bentuk-Bentuk Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual Dalam Hukum Pidana
Indonesia
Kejahatan kesusilaan memiliki pengertian yang berbeda-beda lebih luas terhadap kesusilaan dan
pelecehan seksual. Kejahatan kesusilaan diartikan sebagai suatu bentuk pelanggaran/kejahatan
terhadap nilai susila (norma kesusilaan). Norma kesusilaan merupakan norma yang membimbing
manusia untuk hidup sesuai dengan nilai kemanusiaannya atau kesempurnaan hidup (insan kami).
Setiap kejahatan yang melanggar hak-hak dasar kehidupan manusia dinilai melanggar norma
kesusilaan, misalnya membunuh, menganiaya dan kejahatan lainnya. Demikian juga pelecehan
seksual yang diartikan sebagai perbuatan yang memandang rendah atau menghinakan atau
mengabaikan hak orang lain dalam bidang seksual. Jadi bisa dikatakan bahwa cakupan kejahatan
kesusilaan sebenarnya meliputi kejahatan terhadap kesusilaan dan pelecehan seksual.
Hukum pidana Indonesia tidak mengatur secara eksplisit tentang kejahatan kesusilaan dan
pelecehan seksual, tetapi hanya mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan sebagimana diatur
dalam Bab XIV Buku II Pasal 281 sampai dengan Pasal 303 KUHP dan Buku III Bab VI Pasal 532
sampai dengan Pasal 547 KUHP.
a. Perzinahan (Pasal 284)
b. Perkosaan (Pasal 285)
c. Persetubuhan dengan wanita di bawah umur (Pasal 286 sd 288)
d. Percabulan (Pasal 289 sd. 294)
e. Penghubungan percabulan (Pasal 295 sd. 297, 298, 506)
Selain Pasal-pasal diatas adapula beberapa perbuatan yang dipandang perlu untuk ditetapkan
sebagai perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana yaitu:
a. Persetubuhan di luar ikatan pernikahan (zina) yaitu persetubuhan antara seorang pria dan
wanita dewasa yang keduanya tidak dalam ikatan pernikahan dan bersifat mau sama mau.
b. Pergundikan / selir
c. Pelacuran (prostitution)
d. Homoseks (sodomia sexus) dan lesbian
e. Persetubuhan dengan binatang (sodomia grneris)
f. Percabulan antara sesama jenis atau lain jenis yang keduanya sudah dewasa dan mau sama
mau.
g. Dan bentuk penyimpangan seksual lainnya.
Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal tulisan ini bahwa segala bentuk kejahatan terhadap
kesusilaan dipengaruhi oleh persepsi terhadap seksual, Sebagai konsekuensinya, segala bentuk
perbuatan yang menimbulkan akibat merosotnya nilai moral atau susila masyarakat sudah
semestinya dilarang dalam hukum pidana. Lebih dari itu, prinsip ini dijadikan dasar pengambilan
keputusan dalam bidang sosial dan publik, misalnya, pers, media audo visual, dan kebijakan lainnya,
sehingga hukum pidana sebagai ultimum remedium menjadi benar-benar berarti.
Sungguh ironis, KUHP yang sekarang diberlakukan tidak melarang delik genus dari delik-delik
terhadap kesusilaan – hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang di lakukan oleh laki-laki dan
wanita atas dasar suka sama suka, sementara kejahatan lain yang menuju kearah itu atau yang
menyimpang dari nilai kesusilaan menjadi dilarang. Sistematika semacam ini dipengaruhi oleh
pandangan seks bebas seperti yang disinyalir hidup dan berkembang di masyarakat Eropa pada
waktu itu.
Konsideran dan isi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban di atas
mencerminkan adanya perkembangan terhadap perlindungan korban yang selama ini belum diatur
secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya. Keberhasilan suatu proses peradilan
sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan,
terutama yang berkenaan dengan saksi, banyaknya kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya
saksi yang mendukung tugas penegak hukum.
Bentuk-bentuk sebuah perlindungan serta hak saksi dan juga korban diberikan sejak dimulainya
tahap penyelidikan dan berakhir sesuai dengan ketentuan pada peraturan perundangan-undangan.
Bahkan, jika dalam memberikan kesaksian di depan persidangan, karena kehadirannya akan membuat
jiwanya terancam, undang-undang dalam hal ini akan memberikan perlindungan terhadap saksi atau
terhadap korban atau pihak keluarga dengan cara melakukan kesaksian tanpa kehadirannya pelaku di
pemeriksaan depan persidangan.
Tidak jarang seseorang yang mengalami kerugian baik secara materil maupun imeterill akibat
suatu peristiwa tindak pidana yang telah menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang
seharusnya di peroleh karena berbagai macam alasan, misalnya saja pada kejahatan seksual. Seseorang
yang menjadi korban dari kejahatan seksual akan ada perasaan takut dikemudian hari apabila
masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya, karena suatu kejahatan seksual tersebut
merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya sehingga korban lebih baik menyembunyikan atau
korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi
semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang
berkepanjangan.
Perlindungan hukum korban kejahatan merupakan bagian dari perlindungan masyarakat, dapat
diwujudkan melalui berbagai bentuk, misalnya seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi pada
korban, pelayanan medis, dan juga berupa bantuan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, korban kekerasan seksual selain korban berhak mendapatkan hak-
haknya yang secara umum diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 juga berhak
mendapatkan sebuah bantuan medis, rehabiltasi, kompensasi dan juga restitusi.
Pasal 7B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Perubahan atas UndangUndang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara permohonan dan pemberian Kompensasi dan Restitusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dan Pasal 7A diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pasal 7B Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban di atas, pemerintah harus segera membuat peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari
ketentuan Pasal 7 dan 7A di atas. Sementara itu, pelaksanaan ketentuan pemberian kompensasi dan
restitusi masih dapat mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban selama tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam UndangUndang No. 31 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Ganti rugi adalah sesuatu yang diberikan pada pihak yang menderita atau mengalami kerugian
sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya. Perbedaan antara kompensasi dan juga
restitusi adalah “kompensasi timbul berasal permintaan korban suatu tindak pidana, dan dibayar oleh
masyarakat atau merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban dari masyarakat atau dari negara (The
responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pada pidana, yang timbul dari putusan
pengadilan terkait perkara pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud
pertanggungjawaban dari terpidana.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Fakta kasus terjadinya kejahatan pelecehan seksual di Indonesia beraneka ragam, sebagaimana
pelecehan seksual tersebut sering terjadi kepada perempuan yang menjadi korbannya. Pelecehan
seksual yang mana korbannya sering mengalami kerugian materil dan immateril yang menyebabkan
korban mengalami trauma berkepanjangan, selain itu fakta kasus juga menunjukan bahwa kejahatan
pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia yang mana korbannya adalah posisi yang paling lemah
sering dijadikan sebagai pelaku dalam hukuman sosial atau lingkungan korban berada, tetapi lebih
jauh lagi merupakan masalah kejahatan yang berakar pada nilai-nilai budaya, sosial, ekonomi dan
politik di dalam masyarakat tersebut.
2. Kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual berbasis pada pandangan masyarakat tentang hubungan
seks. Oleh karenanya, formulasi delik/kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual serta bentuk
pengancaman pidananya dalam kitab hukum pidana secara substansial berbeda dan sangat
tergantung pada pandangan masyarakat tersebut. Dalam masyarakat yang menganut seks bebas,
hukum pidana dirumuskan sebagai upaya untuk melindungi nilai kebebasan yang ia anggap penting
dan diutamakan. Pelanggaran di bidang kesusilaan seksual dalam hukum pidana pada hakekatnya
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak individual atau kebebasan individual yang merupakan
nilai dasar yang hendak ditegakkan melalui sarana hukum (pidana). Bagaimanapun kejahatan
terhadap kesusilaan dan pelecehan seksual adalah bentuk kejahatan yang bukan semata-mata
pelanggaran terhadap aturan hukum pidana saja melainkan di dalamnya terkait dengan nilai
kesusilaan (moral) yang hendak ditegakkan.
3. Penegakan hukum terhadap korban tindak pidana pelecehan seksual di Indonesia yaitu dengan
memberikan porsi penegakan hukum yang membedakan antara pelaku tindak pidana dengan korban
tindak pidana pelecahan seksual, sebagaimana penegakan hukum terhadap korban sering sekali
menghiraukan bentuk perlindungan yang diberikan terhadap korban yang menjadi pelaku tindak
pidana, sehingga penegakan hukum sering salah menerapkan hukum atau sanksi kepada pelaku.
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban pelecehan seksual di Indonesia yaitu korban
berhak mendapatkan hak-haknya yang secara umum diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan korban, serta juga berhak mendapatkan sebuah bantuan medis, rehabiltasi,
kompensasi dan juga restitusi.
B. SARAN
Adapun saran yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :
1. Hendaknya masyarakat dapat turut serta dalam melaporkan setiap kejadian pelecehan seksual yang
terjadi di lingkungan masyarakat kepada penegak hukum, agar perbuatan pelecehan seksual dapat
diminimalisir.
2. Pendidikan mengenai seks dan perlu ditingkatkannya moralitas terkait norma kesopanan dan norma
kesusilaan adalah suatu keharusan agar kedepannya semakin berkurang oknum pelaku perbuatan
pelecehan seksual.
3. Perlindungan bagi korban dari perilaku melecehkan secara seksual haruslah dimaksimalkan dan
menjadi fokus utama pemerintah dalam penegakan hukum, pemilihan dasar aturan hukum yang tepat
untuk menjadi dasar perbuatan tersebut juga harus disesuaikan sehingga pelaku menjadi jera dan
agar tidak kembali terulangnya prilaku melecehkan secara seksual ini dimasa yang akan datang.