Anda di halaman 1dari 20

PENDEKATAN ETNOGRAFI KEJAHATAN TERHADAP HUKUM YANG HIDUP

DALAM MASYARAKAT

Prof. Dr. Tb Ronny Rachman Nitibaskara

l. Pendahuluan

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sebagai salah satu

pekerjaan rumah terpanjang pemerintah merupakan amanah yang harus segera

diselesaikan. Beberapa kelemahan yang terdapat di dalamnya telah banyak

disempurnakan oleh para pihak terkait khususnya kalangan akademisi. Salah satu

kemajuan yang ada dan sangat patut diapresiasi antara lain termaktub dalam buku

kesatu yang mencantumkan ketentuan mengenai hukum adat.

Pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut selengkapnya

dicantumkan dalam pasal 2 yang isinya berbunyi:“(1) Ketentuan sebagaimana

dicantumkan dalam pasal 1 ayat [1] tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup

dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun

perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan; (2).

Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

[1] sepanjang sesuai degan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi

manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-

bangsa.”

Dalam bagian penjelasannya antara lain dikemukakan,” …dalam beberapa daerah

tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup

dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang

demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut

dengan tindak pidana adat.” Sisi positif atau kemajuan lainnya juga dapat dicermati
dalam beberapa kalimat penjelasan pasal 2 ayat (2) diatas yang

mengemukakan,”ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu

dalam menetapkan hukum materiel (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang

dapat dijadikan sebagai sumber hukum.”

Ketentuan berkaitan dengan “hukum yang hidup dalam masyarakat” tersebut

juga dapat dilihat pada pasal 756 ayat (1) yang berbunyi,” Setiap orang yang

melakukan perbuatan yang menurut hukum yang tidak tertulis dinyatakan sebagai

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana adalah tindak pidana.”

Tetapi, mencermati kenyataan diatas diperlukan suatu masukan baru agar

pelaksanaan RUU KUHP kelak dapat menampung aspirasi berkaitan dengan hukum

adat tersebut. Pedoman tersebut bersumber dari pendekatan etnografi kejahatan

terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat.

ll. Hukum Adat dan Kebudayaan

Indonesia adalah suatu Negara kepulauan yang memiliki wilayah paling luas

diantara kepulauan lain di muka bumi ini. Di Republik ini berdiam lebih dari tiga ratus

kelompok etnis yang berbeda-beda, dan masing-masing memiliki identitas

kebudayaan tersendiri (baca Koentjaraningrat, 1975; Kennedy, 1974; Warnaen;

1977). Dengan demikian tidak salah bila masyarakat di Indonesia dikenal sebagai

masyarakat majemuk.

Sementara itu, ciri-ciri masyarakat majemuk menurut Piere L. Van Berghe

memiliki sifat dasar seperti:

1.Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki

kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain;

2.Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat

non-komplementer;
3.Di antara anggota masyarakat kurang mengembangkan konsensus atas nilai-nilai

sosial dasar;

4.Secara reaktif seringkali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan

kelompok yang lain;

5.Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling

ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta

6.Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.

Kemajemukan atau adanya bermacam-macam suku bangsa (ethnic group) di

Indonesia ditandai pula dengan bermacam-macam agama yang dianut, bahasa,

logat, pola budaya, keluarga, watak, serta sistem nilai budaya yang sukar

difahami oleh orang lain yang bukan berasal dari sukunya sendiri.

Akibat kemajemukan diatas, keberadaan hukum adat di suatu daerah tidak

dapat dipisahkan dari kebudayaan daerah yang bersangkutan. Adalah E.B. Taylor

(1871) yang mula-mula merumuskan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan

yang kompleks yang terdiri dari ilmu pengetahuan, kepercayaan, adat istiadat,

kesenian, moral, hukum dan kemampuan-kemampuan lainnya yang dimiliki manusia

sebagai anggota masyarakat.

Mengkategorikan unsur-unsur kebudayaan yang universal telah menarik minat pakar

antropologi lainnya, sehingga muncullah postulasi dari Clark Wissler (1916), G.P.

Murdock (1940), dan Kluckhohn (1953) dan lain-lain. Menurut Murdock, unsur-unsur

kebudayaan yang bisa ditemukan pada setiap bangsa meliputi puluhan unsur.

Sementara itu Wissler telah menyusun 9 buah kategori unsur kebudayaan yang

universal.

Akhirnya dari berbagai konsep tersebut Koentjaraningrat menyimpulkan

adanya 7 kategori unsur kebudayaan yang universal (Cultural Universals) sebagai


berikut: 1. Bahasa, 2. Sistem Pengetahuan, 3. Organisasi Sosial, 4. Sistem

Peralatan dan Teknologi, 5. Sistem mata pencaharian hidup, 6. Sistem kepercayaan

dan ilmu gaib, 7. Kesenian.

Dari berbagai konsep ataupun postulasi pakar antropologi mengenai unsur-unsur

kebudayaan tersebut, tidak satupun menonjolkan kejahatan sebagai tingkah laku

manusia yang universal. Sekalipun Durkheim (1950) menganggap kejahatan adalah

normal atau tidak mungkin dihindarkan, jadi sesuai dengan sifat kebudayaan yang

super organic (lebih langgeng dan abadi dari umur manusia), tetapi kejahatan tidak

menjadi pusat perhatian yang menarik bagi disiplin ilmu antropologi. Hal ini mudah

dimengerti karena antropologi merupakan bidang pengetahuan yang luas yang

meliputi baik bidang pengetahuan sosial, humaniora, dan bahkan ilmu alam.

Berdasarkan uraian singkat diatas, dapat dilihat bahwa hukum adat memiliki

keterkaitan dengan suatu kebudayaan di daerah tertentu. Kebudayaan tersebut

salah satunya meliputi adat istiadat suatu daerah. Pranata sosial untuk mengontrol

pelanggaran adat istiadat tersebut dituangkan dalam hukum adat yang

bersangkutan.

lll. Hukum Adat dan Etnografi Kejahatan

Dalam bidang ilmu sosial atau ilmu tingkah laku tentang manusia, terdapat studi

yang sistematis mengenai saling hubungannya antara individu, masyarakat dan

kebudayaan. Studi tersebut sebenarnya terletak pada titik pertemuan antara

psikologi, sosiologi, dan antropologi. Berdasarkan kerja sama antara ketiga disiplin

tersebut tampaklah suatu ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk memahami

dinamika tingkah laku manusia antara lain tingkah laku kejahatan.

Upaya untuk menganalisa dan mendiagnosa secara tajam kejahatan-

kejahatan yang meningkat di Negara berkembang, membutuhkan pencarian faktor-


faktor yang berkaitan dengan kondisi sosial budaya tertentu, pada saat tertentu.

Upaya ini cukup penting untuk mencegah dan mengurangi jumlah kejahatan serta

mempermudah pemahaman mengenai tingkah laku mereka, melalui persepsi dan

motivasinya dalam melakukan kejahatan yang dilatar belakangi tradisi dan

budayanya.

Guna menjawab permasalahan diatas diperlukan adanya etnografi

kejahatan di

Indonesia yaitu mengkaji kejahatan berdasarkan latar belakang adat dan

budaya suku bangsa masing-masing karena kejahatan itu sendiri bersifat relatif.

Relativitas kejahatan juga pernah dikemukakan Benedict (1955) yang menyatakan

contoh-contoh dan analisa bahwa kebiasaan dan pandangan kita mengenai

kejahatan tergantung pada waktu dan tempat dan karena itu mempunyai nilai-nilai

yang relatif.

Masih dalam kaitannya dengan relativitas kejahatan, ahli kriminologi Van

Bemmelen (1952) beranggapan bahwa peraturan keadilan dan kesusilaan pada

pelbagai bangsa tidak sama, sehingga apa yang dianggap sebagai suatu kejahatan

oleh suatu bangsa, belum tentu dirasakan demikian oleh bangsa lain. Sementara itu

Bonger (1962) berpendapat bahwa norma kelakuan, adat istiadat, kebiasaan

dipengaruhi oleh tempat dan waktu.

Sebagai contoh, di Indonesia misalnya, pada beberapa suku di pulau Ke, Mn,

sistem perkawinannya mengizinkan anak gadis berhubungan seks dengan pria

sebelum menikah. Gadis-gadis yang “terampil” dan “pandai” memberikan pelayanan

seks akan lebih laris daripada gadis yang kaku dalam pengalaman.

Hal hampir sama juga terdapat di daerah Bn, dimana anak laki-laki diizinkan

melakukan hubungan seks dengan penari Ledhek atau Tandak, sebagai peristiwa
inisiasi menuju kedewasaan yang disebut “Gowokan” (Kartini Kartono, 1983).

Contoh lain yang berlaku hingga kini terdapat di daerah M yaitu adanya budaya

hidup bersama diluar nikah atau kumpul kebo.

Beberapa kebiasaan lainnya yang dianggap bertentangan dengan hukum

berdasarkan unsur-unsur kebudayaan adalah sebagai berikut:

- Unsur Budaya Kesenian.

1. Seni Tari

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tarian daerah seperti jaipongan,

tayuban, ledek, ubrug, dan lain-lain, selain mempertontonkan keindahan

tarian, juga menampilkan adegan-adegan pelanggaran norma atau erotis dan

berbau pornografi. Perbuatan tersebut dapat dikonstantir sebagai pelecehan

seksual terhadap wanita sebagai korbannnya.

Tarian dombret di pesisir Utara daerah J di masanya, bahkan

dilakukan anak-anak perempuan dibawah umur dan merupakan pelacuran

terselubung. Anak-anak yang berumur sekitar 10-15 tahun menjadi korban

tradisi tarian setempat yang selama menari dengan lelaki pasangannya dapat

diraba-raba, dicium-cium bagian tubuhnya kemudian dilanjutkan dengan

hubungan intim di tempat yang gelap di pinggir pantai, atau tempat lainnya.

Sementara, Tayuban merupakan kesenian yang sudah merakyat di

Jawa Tengah dan Timur sangat digemari masyarakat. Penari Tayuban

disebut Ledhek/ Tandhak yang menari dengan gerakan sederhana, namun

mengundang perhatian pria. Arena Tayuban seolah-olah menjadi ajang

pelampiasan hasrat seksual bagi kaum pria, baik tua maupun muda. Tidak

mengherankan jika dikatakan bahwa Tayuban adalah suatu bentuk tarian

pergaulan yang bersuasana erotis (Skidmore, 1972). Seorang Ledhek tidak


hanya berstatus sebagai seniwati, akan tetapi juga berfungsi sebagai pemuas

nafsu seksual kaum pria.

2. Seni Beladiri

Seni bela diri baik impor maupun tradisional secara tidak langsung

dapat dikaitkan pula dengan kejahatan. Suatu pukulan karate atau tendangan

Tae Kwon Do dapat menewaskan seseorang apabila dilakukan dengan tepat

pada bagian tubuh yang rawan.

Sebuah tamparan Cikalong atau pukulan Cimande (Silat dari Jawa

Barat) dengan tenaga yang diisi “Ajian Semu Gunting” dalam waktu singkat

membuat wajah atau bagian tubuh seseorang yang terkena menjadi gosong.

Pencak kontak dari Banten atau daerah lain dapat menyebabkan seseorang

menderita memar otak atau gegar otak terbentur di tembok melalui pukulan

jarak jauh.

Kesenian Debus di Banten, Dabus di Aceh, yang berupa saling tikam

dengan pisau, saling bacok dengan golok, saling hunjam dengan linggis

diantara pemainnya, kadang-kadang menimbulkan dampak negatif yaitu luka

parah atau kematian yang diderita pemainnya. Hal ini bisa terjadi akibat

“kecelakaan”, karena adanya penonton yang jahil mencoba menggagalkan

pertunjukan dengan cara ilmu gaib.

Contoh-contoh di atas mencerminkan adanya kejahatan penganiayaan

atau pembunuhan baik disengaja atau tidak, yang sebenarnya bisa dituntut

pasal-pasal 338, 340, atau 351 KUHP. Pemidanaan terhadap pelaku memang

akan mengalami kendala hukum yang besar mengingat tindak pidana yang

berkaitan dengan bentuk dan motivasinya adalah tindak pidana materiil.


Perumusan materiil ini akan mensyaratkan pembuktian yang tidak mudah

dalam kaitannya dengan teori kasualitas dalam hukum pidana.

3. Seni Musik

Sementara itu pada unsur seni musik, pada awalnya musik merupakan

bagian dari salah satu cara manusia mengekspresikan rasa syukur pada

Tuhan, sebagian dari ibadah. Pada perkembangan selanjutnya, seperti

halnya karya cipta manusia-manusia lainnya yang bersifat insani seperti seni

tari, musik dapat mengandung pula sisi buruk, dan sekuler, terutama musik

rock yang datang dari Barat.

Maris (1992) dalam penelitiannya membuktikan bahwa musik rock

yang menjadi budaya anak muda dekat dengan perilaku menyimpang atau

kejahatan. Menurut Maris musik erat kaitannya dengan minuman-minuman

keras, obat bius, membolos, vandalism, bahkan kejahatan pembunuhan.

Memang di masa lalu beberapa dasawarsa silam, seruan untuk

menggunakan obat bius dalam bermusik dilakukan oleh musisi dari Los

Angeles dan San Fransisco di sekitar tahun 1966, yang dikenal dengan

Flower Generation. Sementara itu sebagaimana diketahui, tahun 1980, di

Amerika John Lennon dibunuh David Mark Chapman yang menyukai musik

John Lennon (Beatles) sekaligus membenci sikapnya yang dianggap penipu

dan sok moralis.

- Unsur Budaya Bahasa

Dalam unsur budaya bahasa, terdapat bahasa “kode” , yang sering

digunakan oleh golongan tertentu dalam melaksanakan kejahatan. Di Jakarta

sejak lama berkembang bahasa “prokem” yang berasal dari bahasa preman.

Sebutan untuk pencuri, perampok, tukang tadah, pistol dan sebagainya,


mempunyai istilah-istilah khusus yang hanya dimengerti oleh kalangan

mereka sendiri.

Sementara itu, sejak lama di Jakarta dan mungkin di daerah lain

berkembang bahasa “akronim” atau plesetan seringkali digunakan oleh

masyarakat sebagai “bahasa pergaulan sehari-hari”. Bahkan dewasa kini

dikenal akronim baru seperti bahasa “alay”, bahasa yang digunakan para

remaja berusia abg (mungkin juga oleh kalangan dewasa lainnya) yang

penulisannya mengkombinasikan angka, huruf dan diucapkan melalui

ekspresi yang sangat dilebih-lebihkan.

Sementara itu, sejak lama sebutan perek (perempuan eksperimen)

diperuntukkan bagi perempuan nakal. Pelecehan terhadap wanita tercermin

dalam akronim Mazda, Capella, Corolla, dan sebagainya. Sebaliknya

pelecehan terhadap pria tergambar dalam akronim laki-laki Jarum Super dan

Galatama.

Pada masa-masa berikutnya pelecehan terhadap kaum wanita berusia

abg yang dianggap “nakal”, tercermin pada istilah pecun, cabe-cabean, atau

terong-terongan pada pria. Merek pakaian dalam pun tidak luput digunakan

untuk melecehkan pria misalnya merk SWAN (suka wanita nakal), GT-MAN,

atau merk mobil SOLUNA, dsb, Sementara itu di masa silam juga terdapat

pula cemoohan terhadap kaum wadam yaitu Galaxy, balon, dst.

Pelecehan ini sebenarnya merupakan pelecehan ganda karena

perusahaan, instansi, atau pabrik yang disebut-sebut belum tentu rela

mereknya dijungkir-balikkan begitu saja. Perlu diteliti secara akademik sampai

seberapa jauh dampak plesetan sebagai fenomena budaya. Tidak mustahil di

kemudian hari dapat dikategorikan sebagai delik penghinaan atau delik susila.
- Unsur Budaya Perkawinan

Unsur budaya lebih lanjut adalah unsur budaya perkawinan. Sistem

perkawinan merupakan unsur kebudayaan yang bisa didapat pada setiap

bangsa di seluruh dunia. Pada suku bangsa Bugis Makasar dan Mandar

terdapat masalah perkawinan yang dapat menimbulkan “sirik”.

Sirik merupakan daya pendorong untuk melenyapkan atau membunuh

siapa saja yang menyinggung perasaan seseorang. Hal ini merupakan

kewajiban adat yaitu kewajiban yang mempunyai sanksi adat berupa

hukuman menurut norma adat, jika kewajiban ini tidak dilaksanakan

(Abdullah, 1985).

Kekerasan fisik tersebut dibenarkan dalam rangka menyelesaikan

perkara yang menyangkut nama baik, martabat, dan harga diri seeorang yang

telah diremehkan. Meskipun ada sedikit perbedaan penggolongan perbuatan

yang dapat menimbulkan Sirik dalam hubungannya dengan perkawinan,

tetapi secara garis besar meliputi antara lain Salimara (bentuk perkawinan

incest), Mappangaddi (hubungan kelamin di luar perkawinan), Nilariang,

Silariang, Erangkale (kawin lari).

Berbagai jenis perkawinan tersebut apabila dilanggar akan

menimbulkan kejahatan kekerasan, yaitu pembunuhan terhadap si pelanggar.

Pembunuhan tersebut tidak hanya dilakukan oleh keluarga inti mereka, tetapi

juga dilakukan oleh para kerabatnya yang kebetulan ikut mendengar peristiwa

tersebut. Para pembunuh dengan latar belakang Sirik tidak pernah menyesali

perbuatannya, bahkan dianggap dan merasa sebagai pahlawan. Seseorang

akan dicemooh oleh lingkungannya apabila tidak berani melakukannya, ia

akan diasingkan seumur hidupnya.


Pembunuhan dengan latar belakang Sirik, tidak hanya disebabkan

dilanggarnya aturan perkawinan, tetapi juga oleh sebab lainnya yang

menyangkut harkat atau martabat seeorang yang direndahkan. Secara

gambling Sirik dapat diartikan sebagai “rasa malu”, tetapi secara konseptual

Sirik mengandung suatu pengertian sebagai suatu sistem nilai sosio kultural

dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri manusia

sebagai individu dan anggota masyarakat (Panitia Seminar Masalah Sirik di

Ujung Pandang, materi dan kesimpulan, 1977)..

Hampir serupa dengan adat Bugis Makasar, pada masyarakat lain

terdapat juga kewajiban adat yang menjunjung tinggi nilai harga diri dan

menganggap “malu” sebagai aib, sehingga tindakan pembunuhan sering

dianggap sebagai mekanisme yang sah untuk memulihkan harga diri dan

menghilangkan rasa malu. Pola perlakuan adat ini banyak dijumpai dalam

kasus-kasus pembunuhan yang terjadi di masyarakat Madura. Dalam

masyarakat Madura, harga diri yang tercoreng harus dipulihkan untuk menjadi

warga yang tetap terhormat dalam masyarakat. Penyelesaian harga diri

umumnya diselesaikan lewat duel atau perkelahian sampai salah seorang

mati diantara pihak yang tercemar dengan pihak yang mencemarinya.

Peristiwa semacam ini dikenal dengan istilah “Carok”.

Terjadinya Carok umumnya bersumber pada masalah cinta dan

wanita, pencemaran nama baik atau fitnah, pengairan dan bisa juga karena

perebutan warisan (Saefoeddin, 1979).

Carok dan Sirik sebagai bagian dari budaya Madura dan Bugis

Makasar pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme penyelesaian konflik

yang dipandang paling efektif dan sejak lama dihayati oleh kedua suku
bangsa tersebut. Di lain pihak dari sudut Hukum Positif tetap saja tindakan

tersebut bertentangan dengan KUHP maupun RUU KUHP dan dapat dinilai

sebagai pembunuhan berencana. Di lain pihak kedua suku bangsa tersebut

tetap mengakui KUHP, ini terbukti dengan adanya kesadaran para pelakunya

untuk menyerahkan diri setelah melakukan pembunuhan tadi.

- Unsur Budaya Teknologi

Sementara ini dalam kaitannya dengan unsur budaya teknologi,

peristiwa Carok yang menggunakan senjata clurit khas Madura tadi, erat

kaitannya dengan kriminalistik sebagai bagian teknis dari kriminologi.

Seorang dokter forensik harus bisa membedakan antara clurit asli Madura

atau tiruan. Ia harus bisa membedakan apakah clurit tersebut termasuk jenis:

1) Bulu Ayam, 2) Takabuan, 3) Lancor, 4) Calok Sentra, 5) Sadek, atau 6)

Mungkong.

Kesemuanya dibuat dari baja hitam dengan gagang dari kayu angsana

serta diproduksi dengan teknologi yang masih sederhana. Seorang dokter

forensik harus mampu membedakan luka iris, luka potong berdasarkan jenis,

bahan dan panjang pendeknya senjata tajam diatas. Penguasaan terhadap

hal tersebut sangat penting dalam rangka penelusuran dan pengungkapan

kejahatan.

Demikianlah seorang ahli forensik harus juga mampu membedakan

golok Ciomas Banten dan tiruannya, bisa membedakan jenis-jenis keris Jawa

dan Sunda berdasarkan lekuknya. Ia harus mampu pula membedakan jenis

Mandau, badik, panah beracun, berdasarkan daerah asalnya. Pengetahuan

ini sangat perlu khususnya dalam pengembangan toksikologi maupun

kedokteran kehakiman pada umumnya.


Di samping contoh diatas, dunia internet selaku salah satu bagian dari

unsur budaya terknologi juga tidak terlepas dari berbagai penyimpangan.

Pergaulan dalam dunia maya yang memanfaatkan media webcam misalnya,

tidak jarang disana terdapat banyak pria maupun wanita yang

memanfaatkannya untuk melakukan hubungan intim di dunia maya melalui

webcam yang diistilahkan sebagai sexcam atau cam to cam (c2c), private,

dsb. Tidak sedikit pula perilaku diatas menghasilkan korban seperti

penculikan, pemerkosaan, terhadap wanita karena ditipu pelaku melalui

fasilitas di internet itu sendiri.

- Unsur Budaya Sistem Kepercayaan dan Ilmu Gaib

Pada unsur budaya sistem kepercayaan dan ilmu gaib, mempunyai

berbagai kaitan yang sangat erat dengan kejahatan. Sistem kepercayaan dan

jenis ilmu gaib tertentu yang dianut warganya sering kali mensyaratkan

perilaku tertentu yang identik dengan kejahatan. Sebagai contoh seperti

diungkapkan Tempo (12 Mei 1984), masyarakat di kota K Jawa Timur dibuat

penasaran pada kepercayaan terhadap ilmu Jaran Goyang dan Tulak Gaman

yang diajarkan oleh mbah Sumo pada “Perguruan Silatnya”.

Ajaran ilmu hitam diatas berkaitan dengan pemerkosaan gadis-gads

cilik di Kabupaten itu. Korban yang jatuh mencapai 9 orang. Tahun berikutnya

bahkan selusin. Semuanya gadis di bawah umur. Bersetubuh paksa

diharuskan bagi kesempurnaan Tulak Gaman yang dianut seseorang yang

menganut ilmu kebal. Selain syarat harus berpuasa 3x24 jam, kenduri dengan

dua ekor ayam putih, dan menyediakan kain mori sepanjang tubuh sendiri,

syarat terakhir yang bikin perkara; sang murid harus memperkosa seorang

gadis yang belum dewasa sebanyak 40 korban. Dalam kasus tersebut


terdapat dua macam korban. Yang pertama para pelaku yang menjadi korban

ajaran gurunya. Kedua, gadis-gadis di bawah umur yang menjadi korban

pemerkosaan.

Peristiwa lainnya yang menggegerkan adalah pembantaian puluhan

wanita oleh dukun D di Sumatera Utara tahun 1997 silam. Menurut

pengakuannya, untuk meningkatkan dan mempertajam ilmunya ia harus

membunuh 70 orang wanita sebagai tumbal. Ia mengaku telah membunuh 42

orang pasien wanitanya pada saat tertangkap. Terlepas dari latar belakang

penipuan atau pemerasan yang ia lakukan, seandainya benar ia menganut

ilmu hitam, maka ia melakukan kejahatan pembunuhan dengan latar

belakang ilmu gaib tertentu.

Sementara menurut Lieban (1973), terdapat dua jenis dukun, yaitu

dukun sebagai healer (penyembuh) dan dukun sebagai sorcerer (tukang

tenung). Di Indonesia praktek ilmu tenung (sorcery) sering kali terjadi dan

menimbulkan akibat-akibat sampingan yang dapat dikategorikan sebagai

tindak pidana yang merugikan dan sekaligus mengancam setiap warga

masyarakat lain. Reaksi sosial yang timbul terhadap praktek ilmu sihir-tenung

antara lain berupa penganiayaan, pengeroyokan, penyembunyian mayat atau

pembunuhan yang ditujukan terhadap si tersangka dukun tenung

(Nitibaskara, 1993). Mereka dituduh melakukan berbagai perbuatan seperti

mengirim santet atau teluh yang dapat mengakibatkan sakitnya atau matinya

orang lain. Seringkali sebutan dukun santet merupakan label pembenaran

untuk menyingkirkan orang lain yang tidak disukai, atau fitnah belaka.

Di Sumatera Utara beberapa kali terjadi pembunuhan terhadap orang-

orang yang dituduh memelihara begu ganjang. Mereka menjadi korban dari
kepercayaan setempat memelihara begu ganjang yaitu binatang semacam

gorila (orang utan) tinggi besar yang dianggap bisa diperintahkan untuk

membunuh orang. Menurut kepercayaan penduduk Sumatera Utara, ciri-ciri

orang yang memiliki begu ganjang di depan rumahnya terdapat pohon kelapa

yang sering disambar petir dan di belakang rumahnya terdapat lobang

buatan, sehingga rumah tersebut dipagari rapat. Lobang itu bersifat rahasia

dan orang lain tidak dapat melihatnya. Tempo (2 Januari 1989) melaporkan

seorang ibu mati dikeroyok massa karena memiliki rumah seperti ciri diatas.

Di bali sering terdapat korban pembunuhan karena dituduh sebagai

Leak. Tempo (18 Oktober 1986) melaporkan bahwa seorang pria bernama

Mayun dikeroyok beramai-ramai karena Leak. Korban dibunuh karena

tuduhan memiliki kesaktian bisa merubah bentuk menjadi binatang seperti

kera, ular, atau harimau.

Di desa-desa Jawa Barat, Jawa Timur terdapat puluhan korban mati

dibunuh warganya karena tuduhan mempraktekkan teluh atau santet

(Nitibaskara, 1993). Masih banyak lagi kepercayaan di setiap suku bangsa di

Indonesia yang mempunyai kaitan erat dengan jenis kejahatan tertentu.

Semuanya dapat dibedakan menurut ciri khas daerahnya masing-masing.

- Kebiasaan Lainnya

1. Berjudi

Selain contoh-contoh yang telah dikemukakan sebelumnya, juga

terdapat suatu kebiasaan dalam masyarakat untuk mencari keuntungan

dengan cara-cara tertentu yaitu berjudi. Bentuk perjudian itu sendiri misalnya

adalah sabung ayam.


Kebiasaan adu ayam tersebut merupakan tradisi di beberapa daerah

tertentu. Kadang kala dilakukan untuk menarik minat para wisatawan

mancanegara.

Bentuk perjudian lainnya seperti main kartu, main domino dan

sebagainya juga ditengarai sebagai salah satu kebudayaan suku T. Tetapi,

terdapat aturan tidak tertulis yang menyatakan bahwa berjudi boleh dilakukan

sebagai hiburan setelah semua kewajiban terhadap anak istri ditunaikan dan

ada sedikit uang lebih.

2. Mandi Telanjang Dada

Di suatu wilayah daerah Jawa Timur di Desa S, ada larangan tak

tertulis di sumber air bersih yang dikenal dengan nama Umbul Manding

tersebut. Wanita yang mandi disana tidak boleh menutupi payudaranya.

Tempat yang digunakan untuk mandi tersebut sejak dulu tidak ditutupi, laki-

laki dan perempuan berbaur mandi bersama disana.

Kepercayaan diatas berhubungan dengan legenda Srikunti di desa S.

Srikunti yang berhasil lolos menjadi PNS kemudian menikah dan kecewa

karena sang suami kerap mabuk-mabukan, sehingga rumah tangganya

menjadi tidak harmonis lagi, konon merenung permasalahannya sembari

duduk di dekat sumber air tersebut. Disana ia mendapatkan pesan gaib

mengenai cara-cara untuk menanggulangi kemelut rumah tangganya

tersebut. Setelah melakukan semua langkah diatas, suaminya tidak mabuk-

mabukan dan rumah tangga Srikanti kembali harmonis serta lebih sejahtera

dengan materi berkecukupan.

Cerita diatas membuat setiap warga “ngalap berkah” kesana. Berharap

bernasib baik seperti Srikunti. Ritual mandi telanjang dada juga diikuti
kebiasaan unik lainnya yaitu bertelanjang dada ketika pulang ke rumah bagi

wanita yang telah bersuami. Hal tersebut dilakukan untuk menginformasikan

bahwa dirinya sudah bersuami, agar tidak disangka masih anak perawan.

3. Ritual Seks Gunung Kemukus

Gunung Kemukus terletak di sebuah bukit di Desa P, Jawa Tengah

yang di kelilingi aliran air Waduk Kedung Ombo. Di gunung tersebut terdapat

sebuah kebiasaan untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenis yang

bukan pasangan atau isterinya.

Tempat dimana dimakamkannya Pangeran Samudro tersebut dijadikan

sebagai tempat pesugihan. Persyaratan untuk para “peziarah” agar tercapai

maksudnya adalah harus melakukan hubungan seks. Akibatnya, banyak kafe-

kafe dan tempat penginapan yang menyediakan wanita untuk memenuhi

persyaratan tersebut.

Berdasarkan beberapa contoh diatas dapat dilihat bahwa suatu kebiasaan

merupakan hal yang lumrah bagi budaya yang bersangkutan, namun dalam RUU

KUHP perilaku tersebut dapat dikenakan sanksi. Dengan demikian dapat dilihat

terdapat konflik nilai, antara adat/ kebiasaan setempat dengan hukum positif

Indonesia khususnya RUU KUHP.

IV. Penutup

Berdasarkan uraian singkat yang telah dikemukakan di bagian-bagian sebelumnya,

hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat terbagi menjadi dua

golongan. Yang pertama, hukum adat yang berisi hal-hal positif dalam arti tidak

bertentangan dengan hukum positif Indonesia dan yang kedua, hukum adat yang

berisi hal negatif, dalam arti bertentangan dengan hukum di Indonesia. Kedua jenis
hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut juga mengandung sanksi bagi setiap

pihak yang melanggarnya.

Ketentuan mengenai hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat

tersebut melalui pasal yang dikemukakan dalam RUU KUHP, seharusnya

menggunakan pendekatan etnografi kejahatan dengan perspektif etnografi

kejahatan.

Dalam etnografi kejahatan juga dikemukakan bahwa, untuk mengkriminalisasi

suatu perbuatan harus memperhatikan syarat-syarat kriminalisasi seperti: waktu,

tempat, aturan yang dilanggar, siapa yang melakukan, siapa yang merasakan, dan

reaksi sosial. Hal demikian perlu dilakukan mengingat tingginya relativitas kejahatan

maupun perilaku menyimpang. Perbuatan yang dipandang kejahatan atau perilaku

menyimpang di suatu daerah belum tentu merupakan hal serupa di daerah yang

lainnya.

Perbedaan budaya atau hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, tidak

jarang akan menimbulkan konflik yang dinamakan konflik budaya. Dalam hubungan

ini perlu dikemukakan teori konflik budaya yang dapat melahirkan kejahatan menurut

Sellin (1938) yaitu:

1. Jika terjadi benturan norma atau hukum dalam dua area kebudayaan yang

berbatasan;

1. Jika norma, atau hukum dari suatu kelompok kebudayaan diperluas dan

diberlakukan pada kelompok kebudayaan yang lain;

1. Jika suatu kelompok kebudayaan bermigrasi ke daerah kelompok

kebudayaan lain.
Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa perbedaan budaya atau kebiasaan suatu

daerah dapat berbenturan dengan kebiasaan daerah lain yang tidak menganut nilai-

nilai tersebut sehingga tidak jarang akan menimbulkan konflik.

Sementara itu, setelah mencermati berbagai perbuatan dan kebiasaan yang

mengandung penyimpangan yang telah diuraikan secara singkat di bagian

sebelumnya, dapat diketahui banyak dari perbuatan tersebut yang seharusnya

dijatuhkan sanksi pidana tetapi hingga kini belum dikriminalisasi dan dimasukkan ke

dalam KUHP.

Penanganan terhadap salah satu kebiasaan yang cukup baik yaitu berjudi,

dapat dilihat di Aceh. Di aceh terdapat hukum khusus atau hukum yang hidup dalam

masyarakat berkaitan dengan perbuatan diatas yaitu Qanun Nomor 13 tahun 2003

tentang Maisir (perjudian). Sementara itu, judi seperti sabung ayam di daerah

lainnya tidak tersentuh hukum.

Qanun diatas dipandang tidak bertentangan sedikitpun dengan Kitab Undang-

undang Hukum Pidana, bahkan merupakan bentuk dari yang diamanatkan oleh

pasal 2 RUU KUHP. Yang membedakan antara Qanun dan RUU KUHP tersebut

hanya pada jenis hukuman. Dalam qanun itu sendiri pelaku perjudian dikenakan

hukum cambuk sedangkan dalam RUU KUHP pelaku dikenakan pidana penjara dan

denda.

Dalam kaitannya dengan pendekatan etnografi kejahatan, Qanun selaku

hukum yang hidup dalam masyarakat bisa jadi akan ditiru oleh daerah lainnya.

Misalnya, apabila banyak daerah memiliki hukum adat seperti Qanun tersebut, maka

perilaku hidup bersama dalam beberapa daerah yang tidak menabukan hidup

bersama, tentu tidak akan dicantumkan dalam “hukum yang hidup dalam
masyarakat,”tersebut. Sebaliknya, bagi daerah tertentu lainnya hal demikian tentu

akan dituangkan di dalamnya.

Contoh seperti relativitas sanksi terhadap kebiasaan judi diatas juga belum

diatur secara jelas dalam RUU KUHP. Pendekatan restorative justice nampaknya

tidak sepenuhnya merupakan jalan keluar.

Dengan demikian, mencermati ilustrasi terhadap Qanun di Aceh tersebut,

sepertinya perlu dilakukan hal serupa terhadap kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di

tiap daerah. Yaitu dengan mengaturnya dalam suatu bentuk peraturan seperti

Qanun itu sendiri dengan cara berbeda dan memperhatikan hukum yang hidup

dalam masyarakat tersebut.

Anda mungkin juga menyukai