Anda di halaman 1dari 17

1.

Penerapan Hukum dan perubahan masyarakat

Teori Max Weber

“Perkembangan hukum materil dan hukum acara, mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai
dari bentuk sederhana yang didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dmana hukum
disusun secara sistimatis, serta dijalankan oleh orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan dan
latihan-latihan dibidang hukum”, demikian dikatakan oleh Max Weber.

Tahap-tahap perkembangan hukum ini oleh Max Weber lebih banyak merupakan bentuk-bentuk yang
dicita-citakan dan menonjolkan kekuatan-kekuatan sosial manakah yang berpengaruh dalam
pembentukan hukum pada tahap-tahap yang bersangkutan. Hal yang sama juga ditafsirkan terhadap
teorinya tentang nilai-nilai ideal dari sistem hukum, yaitu rasional dan irrasional.

Teori Emile Durkheim

Pada pokoknya teori dari Durkheim ini menyatakan hukum merupakan refleksi dari pada solidaritas
sosial dalam masyarakat. Menurutnya di dalam masyarakat terdapat dua macam solidaritas, yaitu yang
bersifat mekanis (mechanical solidarity), dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas yang
mekanis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sederhana dan homogen, dimana ikatan pada
warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi serta tujuan yang sama. Sedangkan solidaritas
yang organis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang heterogen dimana terdapat pembagian kerja
yang kompleks.

Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi yang kolektif terhadap pelanggaran-
pelanggaran kaidah-kaidah hukum yang bersifat refresif berubah menjadi hukum yang bersifat resitutif.
Dimana tekanan diletakkan pada orang yang menjadi korban atau yang dirugikan, yaitu bahwa segala
sesuatu harus dikembalikan pada keadaaan sebelum kaidah-kaidah tersebut dilanggar. Akan tetapi teori
dari Durkheim agak sulit untuk dibuktikan.

Richard Schartz dan James C. Miller dalam suatu penelitian ternyata bertentangan dengan teori
Durkheim tentang perkembangan dari hukum represif ke hukum restitutif. Namun demikian bukanlah
berarti bahwa teorinya sama sekali tidak berguna, karena ada hal-hal tertentu yang berguna untuk
menelaah sistem-sistem hukum dewasa ini, misalnya apa yang dikemukakannya tentang hukum yang
bersifat represif berguna untuk memahami pentingnya hukuman.

Teori Sir Henry Maine

Ia mengatakan bahwa perkembangan hukum dari status ke kontrak adalah sesuai dengan
perkembangan dari masyarakat yang sederhana dan homogen ke masyarakat yang telah kompleks
susunannya dan bersifat heterogen dimana hubungan antara manusia lebih ditekankan pada unsur
pamrih.

Selanjutnya Maine menekankan bahwa di dalam melakukan tindakan-tindakan hukum ditentukan oleh
kedudukan (khususnya pada para ibu dan anak-anak di dalam keluarga). Sedangkan pada masyarakat-
masyarakat yang sudah kompleks, seseorang mempunyai beberapa kebebasan tertentu. Yang kemudian
mengikatnya adalah ketentuan-ketentuan di dalam kontrak tersebut.

Peranan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Terhadap
Perubahan Sosial Terkait Kejahatan Dunia Maya.

Perubahan sosial menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan sosial yang kemudian dibarengi dengan
perubahan hokum yang ada. Perubahan hokum ini merupakan arah dari adanya bentrokan ataupun
konflik sikap-sikap, pendapat, pendapat perilaku-perilaku, tujuan-tujuan, dan kebutuhan-kebutuhan
yang selalu bertentangan. Ralf Dahrendrof mengatakan bahwa setiap masyarakat tunduk pada proses
perubahan dan perubahan ada dimana-mana, setiap unsur masyarakat menyumbang pada disintegrasi
dan perubahan masyarakat, setiap perubahan masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa anggota
terhadap anggota lainnya. Hal ini pula yang terjadi pada perubahan sosial dalam hal mulanya dari
masyarakat yang cenderung tradisional menuju masyarakat digital. Konflik mengenai urgensi
penggunaan dan kebutuhan gadget, serta tunduknya masyarakat terhadap pergeseran pola-pola
perilaku terhadap gadget membawa mereka pada era baru yakni era digital sebagai bentuk dari adanya
perubahan sosial. Hukum pun mengikuti perubahan sosial, agar tujuan hukum mengenai kemanfaatan
dapat dicapai.

Perubahan sosial ke arah era digital tidak terlepas dari fenomena kemajuan teknologi informasi dan
globalisais yang terjadi sejak abad ke-20. Teknologi informasi menjadi simbol pelopor perubahan segala
aspek kehidupan, termasuk aspek sosial, politik, birokrasi, dan budaya. Sedangkan globalisasi yang
secara tidak langsung meniadakan batas-batas atar negara menciptakan suatu global village yang
menyatu, terbuka, dan bergantung satu sama lain. Sifat terbuka ini dijembatani oleh adanya teknologi
informasi yang memungkinkan kehidupan sosial dalam hal tatanan organisasi dan hubungan sosial
kemasyarakatan berkembang dan berubah secara cepat. Hal ini tidak dapat dihindari, karena fleksibilitas
dan kemampuan telematika sebagai ciri khas teknologi informasi dengan cepat pula merasuki
lingkungan komunitas sosial masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto8, kemajuan di bidang teknologi
akan berjalan bersama dengan munculnya perubahan-perubahan di bidang kemasyarakatan.

Perubahan sosial di era digital banyak pula melahirkan permasalahan-permasalahan sosial yang baru.
Hal ini bisa terjadi karena kondisi masyarakat itu sendiri yang belum siap menerima perubahan atau
dapat pula karena nilai-nilai masyarakat yang telah berubah dalam menilai kondisi lama sebagai kondisi
yang tidak lagi dapat diterima. Hal ini sangat erat kaitannya pula dengan bentuk kejahatan yang berubah
seiring tibulnya perubahan sosial, termasuk perubahan ke era digital ini. Perubahan bentuk kejahatan ini
bisa jadi karena kondisi lama mengenai bentuk kejahatan tidak lagi dapat diterima, sehingga perlu
bentuk baru. Salah satu bentuk baru dari kejahatan cyber crime. Mengenai cyber crime dan bagaimana
hukum berperan dalam menghadapinya ini akan dibahas dalam poin-poin berikut :

a. Cyber crime merupakan bentuk kejahatan baru dari adanya perubahan sosial.
Istilah cyber crime saat ini merujuk pada suatu tindakan kejahatan yang berhubungan dengan
dunia maya (cyberspace) dan tindakan kejahatan yang menggunakan komputer. Bentuk dari
kejahatan cyber crime ini bermacam-macam antara lain :
1) Unauthorized Acces to Computer and Service

Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki atau menyusup ke dalam suatu system jaringan computer
secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik jaringan komputer yang dimasukinya.

2) Illegal Contents

Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak
benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

3) Data Forgery

Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan
sebagai scriptless document melalui internet.

4) Cyber Espionage

Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata
terhadap pihak lain, dengan memasuki system jaringan komputer pihak sasaran.

5) Cyber Sabotage and Exortion

Kejahtan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan, atau penghancuran terhadap suatu data,
program komputer atau system jaringan komputer yang terhubung dengan internet.

6) Offense Againts Intelectual Property

Kejahatan ini ditujukkan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di internet.
Sebagai contoh peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara illegal, penyiaran
suatu informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain dan sebagainya.

7) Infringements of Privacy

Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan
rahasia.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik lahir berkaitan
dengan peran hukum dalam perubahan sosial yakni sebagai alat kontrol sosial (social control) dan juga
sebagai sarana rekayasa masyarakat (social engineering). Oleh karena itu undang-undang ini lahir
sebagai jawaban atas perubahan sosial yang terjadi pada era teknologi informasi saat ini, yakni secara
kongkrit menjawab kebutuhan masyarakat akan penumpasan kejahatan cyber crime sebagai jenis
kejahatan baru. Latar belakang ini dapat dilihat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan bahwa pemanfaatan
teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun
peradaban manusia secara global.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi
tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan
berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain,
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus
menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang
dikenal dengan cyber law atau hukum telematika. Rezim hukum yang dimaksud tidak lain adalah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik secara jelas teleh
menyebutkan batasan-batasan apa saja yang dapat dilakukan oleh subjek hukum dalam kaitannya
dengan dunia teknologi dan informasi. Mengenai perbuatan yang diperbolehkan untuk dilakukan
undang-undang ini telah memberikan batasan perbuatannya sebagaimana dijelaskan pada Pasal 3 dan
Pasal 4. Pasal 3 mengatur bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan
berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih
teknologi atau netral teknologi. Asas-asas ini menjadi landasan tindakan seseorang untuk berbuat dalam
dunia maya (cyberspace). Sedangkan pasal 4 menjelaskan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan
transaksi elektronik dapat dilaksanakan sepanjang bertujuan untuk :

a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;


b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan
kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi
informasi.

Mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana diatur dalam Pasal 27
hingga Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Salah satu Pasal yang paling sering diterapkan penyidik adalah Pasal 27 dan Pasal 28 sebagai berikut :

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan an/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
pemerasan dan/atau pengancaman.

Pasal 28

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sedangkan sanksi pidana yang diancamkan terhadap perbuatan pidana sebagaimana disebutkan di atas
diatur secara khusus dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman maksimum 12 (dua belas tahun) penjara.

2. Interaksi dan arti hokum Negara dalam sosiologi

Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon, tetapi juga
beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk menghilangkan
kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Namun,
semuanya berjalan dengan kekerasan, kekotoran, kesendirian, prinsip hidup yang pendek, diliputi rasa
takut, manakala tidak adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk menertibkan dan mengorganisir, maka
keberadaan peraturan-perundangan, maka hukumlah sebagai alat kontrolnya (hukum sebagai kontrol
sosial dan sistem sosial).

Sesuai struktur hukum dalam suatu Negara bahwa hukum yang paling tinggi dalam suatu Negara adalah
hukum Negara dalam hal peraturan perundangan atau hukum yang berada di bawahnya harus tunduk
dan tidak boleh bertentangan dengan hukum Negara. Plato, T. Hobbes, dan Hegel, bahwa hukum
Negara lebih tinggi dari hukum yang lain yang bertentangan dengan hukum Negara.

Warga Negara adalah sama di depan hukum, di sisi lain warga Negara juga berkewajiban mematuhi
hukum sepanjang dalam proses pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif
sehingga adanya hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui, dimaknai,
dan disetujui masyarakat serta hukum dijadikan kesedapan hidup (wellevendheid atau kesedapan
pergaulan hidup). Harold J. Laksi dalam Sabian Usman (2005) menyatakan ”bahwa negara berkewajiban
mematuhi hukum, jika hukum itu memuaskan rasa keadilan”.

Konflik dan Perubahan Hukum


Timbulnya konflik adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur masyarakat dan konflik
merupakan fenomena yang sering terjadi sepanjang proses kehidupan manusia. Dari sudut mana pun
kita melihat konflik, bahwa ”konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial”.

Di dalam kenyataan hidup manusia dimana pun dan kapan pun selalu saja ada bentrokan sikap-sikap,
pendapat-pendapat, tujuan-tujuan, dan kebutuhan-kebutuhan yang selalu bertentangan sehingga
proses yang demikian itulah mengarah kepada perubahan hukum.

Relf Dahrendorf (1976:162) dalam Sunarto mengatakan bahwa setiap masyarakat tunduk pada proses
perubahan yang ada di mana-mana, disensus dan konflik terdapat di mana-mana, setiap unsur
masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan masyarakat, setiap perubahan masyarakat
didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.

Konflik yang membawa perubahan bagi masyarakat di Indonesia bisa saja kita lihat sejak penjajahan
Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman kemerdekaan (masa orde lama, orde baru, dan masa
reformasi ).

Berangkat dari pemikiran bangkitnya kekuasaan bourgeoisie, secara cermat sasarannya adalah
perjuangan mereka untuk merombak sistem-sistem hukum yang berlawanan dengan kepentingannya,
sebagaimana halnya penjajahan antara bangsa-bangsa di dunia ini sangat jelas membawa perubahan
termasuk perubahan sistem hukum. W.Kusuma menyatakan bahwa ”perubahan hukum adalah
termasuk produk konflik antara kelas-kelas sosial yang menghendaki suatu pranata-pranata pengadilan
sosial terkuasai demi tercapainya tujuan-tujuan mereka serta untuk memaksakan dan mempertahankan
sistem hubungan sosial yang khusus.

Sesungguhnya sistem hukum bukanlah semata Cuma seperangkat aturan statis melainkan refleksi yang
senantiasa berubah-ubah dari perkembangan terutama hubungan keragaman karakteristik sosial yang
hidup dalam masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat moderen, baik perubahan
secara cepat maupun perubahan secara lambat. Sejalan dengan pemikiran bahwa hukum adalah
reflektif dari keragaman karakteristik sosial, maka tidak ada hukum yang tidak mengalami perubahan
dan perubahan itu adalah senantiasa produk konflik.

Hukum sebagai Alat untuk Mengubah Masyarakat

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat di sini adalah dalam arti bahwa hukum mungkin
dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change (pelopor perubahan). Yang dimaksud dengan
agent of change ini adalah seorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari
masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Untuk mempengaruhi
masyarakat dalam mengubah sistim sosial, teratur dan direncanakan terlebih dahulu yang dinamakan
dengan social engineering atau social planning.

Perubahan-perubahan yang direncanakan dan dikehendaki oleh warga masyarakat sebagai pelopornya
merupakan tindakan-tindakan yang penting dan mempunyai dasar hukum yang sah. Akan tetapi hasil
yang positif tergantung pada kemampuan pelopor perubahan untuk membatasi kemungkinan-
kemungkinan terjadinya disorganisasi sebagai akibat dari perubahan yang terjadi untuk memudahkan
proses reorganisasi. Kemampuan membatasi terjadinya reorganisasi tergantung pada suksesnya proses
pelembagaan dari unsur-unsur baru yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. berhasil
tidaknya proses pelembagaan tersebut mengikuti formula sebagai berikut:

Proses pelembagaan = (Efektifitas menanamkan - (kekuatan yang menentang dari

Unsur-unsur baru) Masyarakat)

Kecepatan menanamkan unsur-unsur baru

Efektifitas menanam adalah hasil yang positif dari penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan
metode untuk menanamkan lembaga baru di dalam masyarakat. Kekuatan menentang dari masyarakat
itu mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses pelembagaan.
Kekuatan menentang dari masyarakat mungkin timbul karena pelbagai faktor, antara lain:

1)Mereka, yaitu bagian terbesar dari masyarakat tidak mengerti akan kegunaan akan unsur-unsur baru
tersebut.

2)Perubahan itu sendiri, bertentangan dengan kaidah-kaidah yang ada dan berlaku.

3)Para warga masyarakat yang kepentingan-kepentingannya tertanam dengan kuatnya cukup berkuasa
untuk menolak suatu proses pembaharuan.

4)Risiko yang ditimbulkan sebagai akibat dari perubahan ternyata lebih berat dari mempertahankan
ketentraman sosial yang ada sebelum terjadinya perubahan.

5)Masyarakat tidak mengakui adanya wewenang dan kewibawaan para pelopor perubahan.

Kiranya proses pelembagaan yang berhasil sebagai mana terurai di atas tidaklah terlalu mudah
terlaksana apabila diterapkan dalam hukum.

Untuk jelasnya akan dikemukakan suatu contoh yang diambil dari hukum adat Minangkabau, terdapat 4
macam adat, yaitu: a. Adat nan sabana b. Adat nan diadatkan. c. Ada nan teradat. d. Adat-istiadat Adat
nan sabana adalah segala sesuatu yang terjadi menurut kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, dan telah
merupakan Undang-undang alam yang selalu abadi dan tidak berubah-ubah. Adat nan diadatkan
merupakan adat yang telah disusun dan dibuat oleh dua oraang ahli pengatur tata alam Minangkabau,
yaitu Datuk Ketumanggungan beserta Datuk Pepatih Nan Sabatang. Adat nan teradat berarti adat yang
dipakai sesuai dengan situasi setempat. Adat-istiadat berarti menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan
buruk menurut aturan setempat. Disini orang dianjurkan untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan
kaidah-kaidah setempat (conformity). Hal ini perlu dilakukan oleh karena apabila hukum tidak
dilaksanakan seluruhnya atau sebagian oleh warga-warga yang terkena oleh aturan-aturan tadi, maka
wewenang atau kewibawaan pembentuk hukum, penegak hukum, dan hukum itu sendiri berkurang atau
bahkan hilang sama sekali. Apabila dianalisa sebab-sebab yang dapat menjadi pendorong bagi orang-
orang desa untuk meninggalkan daerah tempat tinggalnya adalah antara lain;

1) Lapangan kerja di desa terbatas, yaitu terutama dalam bidang pertanian.

2) Penduduk desa, terutama kaum muda-mudi, merasa tertekan oleh adat istiadat yang ketat
mengakibatkan cara hidup yang monoton.

3) Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan.

4) Rekreasi yang merupakan salah satu faktor penting di bidang spiritual kurang sekali dan kalau juga
ada, perkembangannya sangat lambat.

5) Bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian lain dari pada bertani, seperti misalnya kerajinan
tangan tentu menginginkan pasaran yanglebih luas bagi hasil produksinya yang mungkin tak diperoleh di
desa.

Sebaliknya, akan dijumpai pada faktor daya tarik kota seperti misalnya:

Penduduk desa kebanyakan dihinggapi suatu anggapan (yang kekiru) bahwa di kota banyak pekerjaan
serta banyak penghasilan.

Modal di kota lebih banyak dari pada di desa.

Pendidikan lebih banyak di kota, dan lebih mudah untuk di peroleh.

Kota dianggap sebagai tempat yang mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi, dan merupakan
tempat pergaulan dengan segala macam orang dari segala lapisan sosial.

Kota merupakan suatu tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik-
baiknya dan seluas-luasnya.

Hubungan Antara Perubahan-perubahan Sosial dengan Hukum

Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor
saja, yaitu faktor interen antara lain pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk; penemuan-
penemuan baru; pertentangan (konflik); atau juga karena terjadinya suatu revolusi. Sedangkan ekstern
meliputi sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain,
peperangan dan sebagainya. Hal-hal yang mempermudah atau memperlancar terjadinya perubahan
sosial antara lain adalah apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat-
masyarakat lain, sistim lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen maupun ketidak puasan
masyarakat terhadap kehidupan tertentu dan lain sebagainya.

Sedangan faktor-faktor yang memperlambat terjadinya perubahan sosial antara lain sikap masyarakat
yang mengagung-agungkan masa lampau (teradisionalisme), adanya kepentingan-kepentingan yang
tertanam dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing dan
sebagainya
Sebaliknya dalam perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya dikenal adanya tiga badan
yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum,
dan badan-badang pelaksana hukum.

Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung
bersama-sama. Dan jika hal semacam ini terjadi maka terjadilah suatu “social lag” yaitu suatu keadaan
dimana terjadi ketidak seimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.

Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosialnya atau sebaliknya, terjadi oleh karena
pada hakekatnya merupakan suatu gejala wajar didalam masyarakat bahwa terjadi perbedaan antara
pola-pola perilakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena
hukum pada hakekatnya disusun atau disahkan oleh bagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika
mempunyai kekuasaan dan wewenang. Tertinggalnya hukum pada bidang-bidang lainnya baru terjadi
apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada suatu ketika tertentu.
Suatu contoh dari adanya lag dari hukum terhadap bidang-bidang lainnya adalah hukum perdata (barat)
yang sekarang berlaku di Indonesia.

Tertinggalnya hukum oleh perkembangan bidang-bidang lainnya seringkali menimbulkan hambatan-


hambatan terhadap bidang-bidang tersebut. Misalnya dalam KUHP (psl 534) tentang pelanggaran
kesusilaan dapat menghambat pelaksanaan-pelaksanaan program Keluarga Berencana di Indonesia.
Selain itu, tertinggalnya kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya anomie, yaitu suau
keadaan yang kacau, oleh karena tidak ada pegangan bagi para warga masyarakat untuk mengukur
kegiatannya. Misalnya saja tidak ada hukum perkawinan yang mengatur hubungan perkawinan antara
dua orang yang berbeda kewarganegaraan.

Sebaliknya pengaruh hukum terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya adalah sangat luar
biasa, misalnya hukum waris. Hukum mempunyai pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong
terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu
yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Dan apabila hukum membentuk atau mengubah basic
institutions dalam masyarakat, maka terjadi pengaruh yang langsung.

3. Manusia, kerja dan hokum

Manusia dan Kerja

a. Hubungan Kerja

Dalam hal hubungan kerja, kita sebagai manusia mempunyai kesamaan hak paling asasi atas pemberian
Allah Swt, atas dasar itu pula kita mempertanyakan “sudahkah sistem hubungan kerja yang selama ini
melembaga mendatangkan kesejahteraan dan apa bila ternyata belum, apakah sebagai penyebabnya”.

Sebelum menjawab persoalan tersebut di atas, maka ada baiknya kita mengkaji karakteristik ekonomi,
struktur tenaga kerja yang hadir secara bersamaan dengan industri. Melaksanakan kewajiban dengan
bekerja, maka haruslah bekerja keras, karena dengan bekerja keras banyak hal yang kita peroleh antara
lain; merepleksikan rasa syukur, menghilangkan kebimbangan, serta melaksanakan tugas suci dan luhur
atas perintah dan atau doktrin agama. Allah Swt befirman dalam Q.S. Ibrahim: 7: dalam Bakry, (1984:
487) berbunyi “Dan (ingatlah) di waktu Tuhan kalian memperingatkan, jika kalian bersyukur, niscaya aku
akan menambah nikmat-Ku kepada kalian dan jika kalian kufur, maka azab-Ku amat berat sekali. Sesuai
firman Allah Swt tersebut, kaitannya dengan kerja dan kontrak kerja, maka repleksi syukur kepada Allah
Swt juga mempunyai makna bahwa kontrak social itu mempunyai demensi taqwa yang bukan hanya
mu’amalah tetapi juga bermakna ibadah (bukan hanya solidaritas social ekonomi semata, tetapi
solidaritas ekonomi yang benilai ibadah) sehingga semakin giat dan teratur dalam bekerja (pengemban
amanah Allah Swt), maka semakin besar kenikmatan yang diperoleh sesuai janji Allah Swt kepada
hamba-Nya.

Kemudian doktrin Calvinisme dalam Usman,(1998:103) menyatakan, melaksanakan kewajiban dengan


kerja keras adalah jalan untuk membangun dan memperoleh kepercayaan diri, menghilangkan
kebimbangan dan memberi pengertian pada rasa syukur. Itulah sebabnya dalam doktrin Calvinisme
kerja tidak diletakkan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan, tetapi sebagai suatu tugas suci. Sikap hidup
keagamaan yang dikehendaki oleh doktrin Calvinisme adalah innerwordly osceticien, yaitu intenspikasi
pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja.

Dalam karakteristik aktivitas ekonomi, tidak terlepas kita juga membicarakan manusia dan kerja yang
mana sebagai kunci pokok dari terjadinya perubahan sosial ekonomi yang sekaligus juga memberi
stimulan untuk meningkatkan deferensisasi struktur sosial. Dalam konteks perubahan sosial, Soekanto
(1990:333) dalam Soeprapto (2002:25), mengatakan bahwa perubahan sosial, hanya bisa diamati,
diketahui atau dikemukakan oleh seseorang melalui pengamatan mengenai susunan, struktur dan
institusi suatu perikehidupan tertentu dimasa lalu, dan sekaligus membandingkannya dengan susunan,
struktur dan institusi suatu peri kehidupan dimasa kini, tidak ada masyarakat yang tidak berubah, semua
masyarakat bersifat dinamis, hanya laju dinamikanyalah yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya. Walau dikenal juga masyarakat statis dan masyarakat dinamis.

Masyarakat statis adalah masyarakat yang cendrung mengalami perubahan yang sangat lambat bahkan
pada sektor-sektor tertentu mengalami kemunduran kalau tidak mau dikatakan stagnan (stagnation)
seperti halnya budaya pada daerah-daerah tertentu. Sedangkan masyarakat dinamis adalah masyarakat
yang cepat sekali mengalami perubahan dengan segala konsekwensinya. Sebenarnya kedua karakteristik
tersebut di atas, baik statis maupun dinamis, bagi manusia dan atau semua manusia tanpa kecuali pasti
sama-sama mempunyai potensi dari dalam dirinya untuk berubah, hanya saja yang menjadi perbedaan
itu adalah rentang waktu dan atau lambat–cepatnya proses perubahan itu sendiri.

Sebagaimana kita ketahui bahwa perubahan sosial dan diferensiasi struktural dapat mengganggu
integrasi sehingga berpotensi yang berakibat terjadinya disintegrasi. Sebagai jawaban terhadap hal
tersebut, adalah peningkatan rasionalisasi kembali memberi stimulan balik pada perubahan sosial dan
diferensisasi struktural. Hal ini sebagai siklus berlanjut menandai the way of doing serta the way of
thingking kehidupan masyarakat industri.
Di belahan dunia manapun, bahwa kehadiran industri tidaklah semata hanya merubah struktur tenaga
kerja, tetapi juga mempengaruhi sistem hubungan kerja. Paling tidak perubahan strukturnya terjadi
secara sistemik, sebelumnya masyarakat tidak mempunyai pekerjaan tetap dan atau belum bekerja
secara teratur sehingga tidak mempunyai penghasilan yang tetap, maka dengan kehadiran industri,
masyarakat dan atau sebagian besar masyarakat menjadikan dirinya sebagai pekerja tetap dan
berpenghasilan tetap pula.

Dalam realita perubahan social pekerja buruh seperti di atas, bisa juga kita lihat dari masyarakat agraris
kepada masyarakat industri, sebagaimana proses yang biasanya terjadi seperti berikut; masyarakat pra-
industri (termasuk budaya agraris) adalah sebagian besar masyarakatnya, kemudian sebagai motivasi
bekerjanya hanyalah untuk memenuhi konsumsi keluarganya (family worker), kebutuhan ekonominya,
dan atau memenuhi usahanya sendiri (self-emplayed) yang kesemua satuan kerjanya adalah ditandai
oleh hubungan yang lebih bersifat pribadi (personal relationship).

Kalau kita melihat kehidupan ekonomi masyarakat industri, konsentrasi tenaga kerja lebih banyak
berada di workshop dan atau pabrik. Apabila workshop dan atau pabrik semakin besar dan jumlah
tenaga kerja semakin banyak, maka kontak dan atau komunikasi personal antara pekerja dan pemberi
kerja semakin menipis dan hanya dilakukan kalau dianggap sangat perlu, maka situasi seperti inilah
terkadang kebanyakan buruh yang teralienasi dan atau bahkan kehilangan haknya atas barang-barang
yang justru dihasilkannya sendiri. Padahal besar dan atau kecilnya suatu usaha atau pabrik yang tidak
bisa diabaikan adalah keberadaan buruh yang berada di ujung tombak dalam memajukan sistem industri
dan pasar yang bersangkutan. Dalam hal ini tidaklah mengherankan apabila status buruh tereduksi
menjadi komoditi sesuai permintaan dan atau kebutuhan pasar sehingga harga buruh tergantung ramai
dan atau sepinya pasar. Berkaitan dengan itu, maka paling tidak ada dua implikasi yang perlu dicermati:

1). Tentang Upah; kondisi dan penampilan buruh pemilik, pengguna atau pemberi kerja lebih sering
diperhitungkan sebagai bagian dari proses dan pengeluaran untuk memperoleh keuntungan.

2). Tentang Keterampilan; karena keterampilan yang laku jual (marketable skill) menjadi basis
penghargaan, mereka yang mempunyai keterampilan semacam itu selalu berusaha mengontrol
kondisinya agar tidak tersaingi. Tetapi disisi lain, pemilik sendiri selalu berusaha sedemikian rupa
sehingga proses produksi tidak sangat tergantung pada orang-orang yang memiliki marketable skill itu.

Dalam hal tersebut di atas, ada konsepsi penting dalam memberikan cara yang paling murah dan
sederhana yaitu membagi pekerjaan menjadi elemen-elemen kecil, aktivitas kerja diusahakan agar
berjalan rutin saja, monoton sesuai dengan jenis pekerjaan atau kegiatan yang telah dibebankan. Dalam
kondisi demikian, pengetahuan dapat dimonopoli dan proses produksipun menjadi mudah dikuasai.
Tetapi pada kondisi-kondisi tertentu dan atau pada pabrik-pabrik yang memang menjadikan training
sebagai jaminan tertentu untuk kemapanan masa depannya, maka training perlu diadakan. Karena
dengan memberi peluang diadakannya training (kalau memang perlu) dengan tetap membagi pekerjaan
menjadi elemen-elemen kecil adalah semakin menambah kuat pondasi industri yang bersangkutan.
b. Kontrol Produksi

Untuk mengontrol buruh, dengan istilah manajemen ilmiah (scientific management) yaitu satu
bangunan model manajemen yang dipergunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam kerangka
kontrol kepada buruh. Hal-hal yang ditekankan dalam hal ini adalah bagaimana cara-cara mengatur agar
setiap satuan pekerjaan itu cepat diselesaikan dengan tepat dan efisien serta lebih efektif, kemudian
menjaga keseimbangan pendapatan buruh kepada output dan atau produksi yang dihasilkan buruh itu
sendiri. Sasaran penting dalam scientific management ini juga berimplikasi kepada tanggungjawab pada
bagaimana seharusnya buruh tidak hanya melakukan pekerjaan berdasarkan perintah semata tetapi
lebih kepada bagaimana mendapatkan hasil yang diinginkan dan menegakkan human right sesuai
kemampuan dan perencanaan sebelumnya.

Sesungguhnya manajemen ilmiah itu sudah diterapkan hampir seabad yang lalu terutama perindustrian
atau perusahaan di daratan eropa, yang tidak hanya diatur besaran insentif yang layak diberikan kepada
buruh, tetapi adanya keteraturan dan rincian aktivitas kerja pada perusahaan yang meliputi, antara lain;
pengaturan kerja, masuk, istiraht, pulang kerja, serta alat-alat yang seharusnya dipergunakan dan lain-
lainnya sesuai kebutuhan buruh dan perusahaan. Dengan demikian diharapkan sangat efisien untuk
meningkatkan produktivitas kerja yang akhirnya secara sistematis meningkatkan hasil produksi
perusahaan sekaligus pula sama dengan kepentingan peningkatan kesejahteraan buruh sebagai manusia
dengan segala hak yang dimilikinya.

Dalam hal pengaturan kerja, apabila semunya diatur dengan ketat, maka keinginan dan kreasi mereka
bisa terabaikan. Hasil pekerjaan buruhpun bisa kurang memuaskan, terutama potensi yang mereka
miliki kurang dihargai dan akan lebih buruk lagi manakala mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan
untuk pekerjaan mereka sendiri serta bekerjapun harus mengikuti ”law in book” tidak “law in action”
sehingga sesuai ketentuan yang berlaku serta tidak memperhatikan kepentingan ekonomi buruh. Seperti
biasa, dengan asumsi bahwa setiap buruh dan atau orang sangat berkepentingan kepada kesejahteraan
dan atau perbaikan ekonomi serta keharmonisan pergaulan dalam suasana kerja (wellevendheid),
kesadaran akan perdamaian (de overtuiging van vreedzaamheid), serta kesemuanya itulah yang
membela hukum untuk sopan-santun (Zeden), maka dengan asumsi itu untuk menjawab persoalan di
atas, bagi pengguna tenaga kerja antara lain agar merasionalkan jumlah penghasilan atau memberi
penghargaan ekonomi (economic reward). Yang menjadi kerisauan kita adalah apakah benar
penghargaan ekonomi akan memuaskan buruh. Karena yang melekat dalam motivasi buruh itu sangat
banyak sekali dan bukan satu-satunya ekonomi. Namun masih banyak industri yang mempertahankan
manajemen ilmiah ini, walau harus ditempuh dengan elaborasi dan atau penyesuaian dengan kondisi
yang berkembang.

Manajemen ilmiah ini sangat mementingkan kemampuan mengontrol setiap tahapan proses, dan
satuan kerja, gagasan menjadi salah satu yang sangat penting juga, sehingga bisa merancang pekerjaan
secara efektif dan efisien dan setiap buruh menerima intraksi yang jelas, deskripsi pekerjaan yang rinci,
dan mampu menggunakan sarana sebaik mungkin. Sebagai konsekwensinya terjadilah penggolongan
pekerjaan dengan berdasarkan ketrampilan (skill), serta diidentifikasi semua pekerja tentang
pengetahuan yang dimilikinya. Yang mana untuk dasar pembagian antara tenaga ahli dan tenaga
manual.

Ada beberapa kelemahan model manajemen ilmiah ini, salah satunya adalah mengabaikan keyakinan,
moral, dan nilai sosial yang justru melekat di dalam diri buruh dan atau pekerja itu sendiri. Oleh karena
itu model manajemen ilmiah perlu adanya memasukan prinsip-prinsip hubungan kemanusiaan yang
memadai. Sehingga terwujudnya proses penyesuaian antara motivasi yang bersifat ekonomi dengan
motivasi yang bersifat sosial.

Buruh sebagai makhluk sosial disamping sebagai makhluk individu, sudah barang tentu di dalam
kehidupannya tidaklah hanya ada keterikatan kepada yang berkaitan dalam proses produksi semata,
tetapi banyak hal yang menjadi keharusan seoarang buruh untuk berkelompok dan atau membanguan
keterikatan diluar fungsinya sebagai buruh (cruss cutting-offiliatios) sehingga terjalin hubungan social
yang dilekati rasa saling pengertian dan tidak mungkin mengabaikan dengan kelompok-kelompok
informal walau tidak terkait dengan ketentuan formal.

Kiat Mengakomodasi Kontrol Melalui Hukum Perburuhan

Berdasarkan sejarah perkembangan hukum perburuhan sebagai alat kontrol system kerja buruh kaitan
dengan penegakkan “human right”, bisa saja kita cermati riwayat hubungan kerja buruh dari
perbudakan, pekerjaan rodi, punale sanksi, bahkan sampai hubungan kerja modern, maka sangatlah
jauh lebih baik nasib para buruh pada masa sekarang ini, walaupun khususnya di Indonesia masih perlu
peningkatan perlindungan terhadap buruh. Hal ini bisa kita lihat pada masa perbudakan yang mana diri
para budak (zaman perbudakan) adalah milik orang yang mempekerjakannya, bukan sebatas
perekonomian semata, tetapi hidup dan matinya. Sebagai contoh, seorang raja apa bila ia wafat agar
selalu mempunyai pengiring, seperti; pelayan, selir, dan pekerja lainnya, maka dibunuhlah budak-budak
tersebut untuk kepentingan rajanya (sebagai pemilik para pekerja). Dalam Soepomo, (1990: 10)
menyatakan pada zaman perbudakan, para budak itu sebagai milik orang lain, hidup-matinya ditangan
orang yang memilikinya. Soepomo mencontohkan pada tahun 1877, pada waktu meninggalnya seorang
raja di Sumba, seratus orang budak rela di bunuh agar raja itu di dunia baka nanti akan mempunyai
cukup pengiring, pelayan, dan pekerja lainnya.

Dalam hukum perburuhan secara jelas telah mengatur baik kepentingan buruh maupun pengguna buruh
bahkan kalau ada perselisihan dalam perburuhan juga diatur dalam hukum perburuhan, sesuai prosedur
dalam penyelesaian permasalahan perburuhan tersebut baik melewati P4-D dan P4-P atau cara lainnya
dan selalu dalam koridor hukum perburuhan, itu artinya secara yuridis formal, hubungan antara
pengguna atau pemberi kerja dan atau buruh sudah diatur sesuai ketentuan, seperti halnya pembuatan
kontrak kerja berisi hak dan kewajiban pihak-pihak yang membuat kontrak tersebut. Namun senyatanya
dibanyak perusahaan dan atau industri di Indonesia khususnya, apa yang teramat dalam butir-butir
kontrak kerja tersebut tidak dilaksanakan secara murni dan konsekwen dan atau pembuatan kontrak
kerja harus menempatkan posisi buruh sebagai manusia yang termarjinalkan bahkan terkadang berada
pada posisi dichotomis (object problem).
Kalau kita cermati, secara yuridis formal, hubungan antara pengguna atau pemberi kerja dan buruh
secara pasti diatur dengan kontrak kerja yang seharusnya dicapai berdasarkan kesepakan bersama.
Kemudian di dalam kontrak kerja, dimuat hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang
terkait. Namun, berdasarkan pengalaman empirik menunjukkan bahwa tidak semua yang tertulis (law in
book) atau yang sudah disepakati dapat dilaksanakan. Dalam kenyataannya, sejumlah butir yang tertera
dalam kontrak tidak lebih dari pada sekadar slogan yang enak didengar tetapi teramat sukar
direalisasikan pada tataran “law in action”.

Meskipun demikian adanya, sesungguhnya masih ada peluang dan atau tempat untuk memperjuangkan
nasib buruh yang mampu bergerak untuk kepentingan krusial nasib kolektif buruh dari pada hanya
sekadar berkumpul dan silaturahmi semata. Di Indonesia misalkan banyak terdapat advokasi-advokasi
atau lembaga-lembaga masyarakat yang bergerak dibidang perburuhan walaupun tidak semuanya
berpihak kepada yang benar yaitu secara proporsional dan profesional memperjuangkan yang memang
menjadi hak buruh setelah mereka memenuhi kewajibannya sesuai peraturan dan perundangan yang
berlaku serta merupakan konsensus bersama antara pengguna dan pemberi kerja yang terwujud dalam
kontrak kerja.

Kenyataan yang berkembang, dalam masyarakat industri, asosiasi buruh bukan semata-mata merupakan
wadah untuk saling mengenal dan silaturahmi belaka, namun lebih dari itu adalah sebuah “gerakan”
yang dapat menampung berbagai macam keluhan dan kepentingan buruh yang muncul bersamaan
dengan proses produksi. Sebagian asosiasi buruh membuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga,
serta mengadakan pertemuan rutin untuk membahas masalah-masalah krusial yang berkembang
dikalangan buruh, bahkan tidak jarang menjembatani sengketa dan atau permasalahan buruh kepada
advokasi yang kemudian ditugasi untuk memperjuangkan hak-hak buruh di jalur peradilan. Di sisi lain,
asosiasi buruh kemudian berkembang menjadi asosiasi politik yang memiliki peluang untuk
mempersoalkan hak-hak buruh yang berkaitan dengan proses produksi, bahkan di Indonesia pada
waktu-waktu terakhir ini suara buruh sudah menjelma berbentuk partai politik.

Dalam hal penyelesaian persoalan-persoalan buruh, keterlibatan asosiasi sangatlah banyak membantu
terutama apa bila mempertemukan pihak buruh, perusahaan, dan pemerintah, serta menjadi
terselesaikan masalah yang sedang dihadapi (baik melalui P4-D maupun P4-P). Sehingga kalau asosiasi
itu betul-betul tidak terpisahkan dengan kepentingan yang diperjuangkan buruh, maka makna
perbudakan dalam diri para buruh betul-betul tidak ada lagi. Sebagaimana diamanatkan pasal 115 --117
Regeringsreglement setelah itu menjadi pasal 169 – 171 Indische Staatsregeling. Budiono, (1995:23)
menyatakan bahwa setelah melalui proses yang cukup panjang, tepatnya th 1854, perbudakan di
nyatakan di larang. Pasal 115 sampai dengan 171 Regeringsreglement yang kemudian menjadi pasal 169
sampai dengan 171 Insche Staatsregeling dengan tegas menetapkan bahwa paling lambat 1 Januari 1860
perbudakan di seluruh Indonesia harus di hapuskan. Dengan demikian paling tidak, ada jaminan
penegakan human right menjadi semakin tinggi, sehingga ada keseimbangan posisi tawar dalam proses
kepentingan hak dan tanggungjawab yang diperjuangkan buruh itu sendiri.
4. Penutup

Dari paparan tentang “Manusia, Kerja, dan Hukum” dimuka, maka penulis dapatlah menyimpulkan
sebagai berikut:

a. Manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon tetapi juga beraksi dan dengan
aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kerja yang diciptakan untuk manusia itu sendiri. Dalam hal
kerja tidaklah semata dilihat sebagai aktivitas fisik, tetapi juga sosial yang terorganisir dalam sistem
sesuai kondisi yang berkembang.

b. Dalam hubungan kerja, dengan bekerja keras adalah jalan untuk membangun diri baik kepercayaan
diri, implikasinya terhadap gairah perintah agama yang suci, maupun wujud syukur kepada Allah Swt,
demikian juga konsekwensi doktrin Calvinisme (innerwordly osceticien) yang menempatkan entitas
manusia bermakna “intenspikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam proses kegairahan kerja”.
Konsekwensi kerja keras adalah perubahan dan dengan perubahan juga sebagai stimulan untuk
meningkatkan deferensiasi struktur social (dari masyarakat agraris ke masyarakat industri).

c. System kontrol hukum perburuhan dan scientific management adalah jawaban yang representatif
untuk kerja buruh yang sekaligus kontrol produksi, namun kelemahannya antara lain mengabaikan
keyakinan, moral, dan nilai sosial yang justru melekat dalam diri buruh itu sendiri. Oleh karena itu
keberadaan peraturan-perundangan dan manajemen perburuhan tersebut perlunya nilai-nilai atau
prinsip-prinsip hubungan atas dasar kemanusiaan.

d. Dalam kiat mengakomodasikan kontrol, disamping keberadaan P4-D dan P4-P, maka kehadiran
asosiasi buruh adalah sangat membantu dalam memperjelas dan atau merealisasikan kontrak kerja yang
menjamin hak dan kewajiban buruh secara baik.

Sebagai mana kita lihat masih adanya buruh diberbagai daerah yang masih mempersoalkan hak dan
kewajibannya, yang dipicu bukan saja adanya persaingan tetapi terkadang persaingan yang tidak sehat,
serta sangat lemahnya supremasi hukum tentang perburuhan, maka salah satu cara adalah
menggalakan “scientific management” dan mengintensifkan kinerja asosiasi buruh sehingga bukan saja
hanya berkutat masalah upah, cuti, dan pembagian tugas, tetapi secara konprehenshif
mengaktualisasikannya ke ranah Human right, economic reward, adanya cruss cutting-offiliation, dan
keharmonisan suasana kerja, sehingga buruh juga merasa memiliki hasil produksi sama dengan
pentingnya kesejahteraannya sendiri.

4. Problematika hokum di Indonesia

Beberapa tahun terakhir ini, penegakan hukum di Indonesia menjadi perhatian masyarakat luas. Sebab,
sebagai negara hukum, Indonesia tidak cukup baik dalam proses menyelesaikan persoalan-persoalan
hukum dalam negeri.
Penegakan hukum di Indonesia dianggap begitu memprihatinkan. Bahkan, jual beli penyelesaian kasus
hukum terjadi di setiap lini lembaga penegakan hukum. Sehingga para penegak hukum tidak
menggunakan asas-asas keadilan dalam memberikan vonis hukum pada yang bersengketa. Hal ini bisa
dilihat dari beberapa vonis hukum terhadap para koruptor dan para narapida yang sama sekali tidak
memberikan kepuasan hukum pada masyarakat. Bahkan vonisnya dianggap kontroversi, karena
dianggap tidak sesuai antara fakta hukum dan vonis hukum. Itu sebanya, pelanggaran hukum masih
menjadi penyakit akut di negeri ini.

Secara teoritik, sebagaimana yang dikatakan Sudikno Mertokusumo, tujuan pokok hukum adalah
menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan
tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapakan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam
mencapai tujuannya itu, hukum bertugas membagi hak dan kewajiaban antar perorangan di dalam
masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara
kepastian hukum. Sehingga tatanan hukum bisa berdaulat tanpa ada intervensi pihak manapun.
Sepintas, tujuan hukum ini tidak akan pernah terwujud dalam masyarakat jika aparat penegak hukum
tidak memainkan perannya dengan maksimal, proporsional, fair, objektif dan independen dari
kepentingan oknum-oknum tertentu.

Secara sosiologis, setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role).
Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi,
sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya
adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu merupakan
peranan (role). Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan ter-tentu, lazimnya dinamakan
pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat dan
tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

Dalam perjalanannya selama kurang lebih 16 tahun, reformasi di bidang hukum dan penegakan hukum
menunjukkan indikasi yang tidak menggembirakan dan tidak memuaskan. Hal ini ditandai dengan
kecemasan masyarakat terhadap praktek penegakan hukum beberapa tahun terakhir ini. Yang lebih
memprihatinkan, penegakan hukum pada tindak pidana korupsi dan tindak pidana dalam
penyelenggaraan Negara. Pada dua sektor yang terakhir ini (tindak pidana korupsi dan tindak pidana
dalam penyelenggaraan Negara) dalam spektrum yuridis menunjukkan gelagat yang tidak
menggembirakan dan masyarakat mulai curiga dan meulai tidak percaya karena ada dugaan terjadinya
permainan politik dalam praktek penegakan hukum. Permainan politik yang dimaksud disini tidak sama
dengan intervensi politik terhadap aparat penegak hukum, tetapi lebih jauh lagi yaitu terjadi konspirasi
antara peme-gang kendali politik/kekuasaan, pembentuk hukum dan dengan aparat penegak hukum,
hakim dan penasihat hukum.
Membela yang Bayar Bukan yang Benar

Adegium di atas sebenarnya diungkap untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap para penegak
hukum yang cenderung transaksional. Keadilan yang proporsional sesuai fakta hukum dan hukum yang
berlaku tidak ditemukan dalam penegakan hukum di Indonesia. Padahal, dalam upaya penegakan
hukum suatu negara beberapa aktor utama yang peranannya sangat penting, diantaranya adalah hakim,
jaksa, advokat, dan polisi. Atau lebih dikenal dengan catur wangsa penegak hukum.

Hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif adalah lembaga penegak hukum yang mewakili
kepentingan negara, sedangkan jaksa dan polisi adalah lembaga penegak hukum yang mewakili
kepentingan pemerintah, kemudian advokat adalah lembaga penegak hukum yang mewakili
kepentingan masyarakat. Pada posisi seperti ini peran advokat menjadi penting karena dapat menjaga
keseimbangan antara kepentingan negara dan pemerintah. Kemudian, advokat atau penasihat hukum.
Ia bertugas untuk memberikan legal opinion serta nasihat hukum dalam rangka menjauhkan klien dari
konflik. Sedangkan di lembaga peradilan penasihat hukum mengajukan atau membela kepentingan
kliennya. Dalam beracara di depan pengadilan tugas pokok penasihat hukum adalah mengajukan fakta
dan pertimbangan yang ada sangkut pautnya dengan kliennya yang dibelanya dalam perkara tersebut,
sehingga de-ngan begitu memungkinkan bagi hakim untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya.
Dengan begitu, penasihat hukum harus selalu berpegang teguh pada usaha untuk merealisasikan ke-
terlibatan dan kepastian hukum yang berkeadilan.

Namun demikian, para penegak hukum kita seringkali me-nyalahgunakan profesinya, baik hakim,
advokat dan penegak hukum lainnya, sehingga dalam kerjanya banyak yang tidak profesional dan yang
dibela adalah yang bayar bukan yang benar. Bahkan seringkali menjadi bandar transaksi penyelesaian
kasus hukum. Hal ini dapat dilihat diliaht dari banyaknya pe-negak hukum yang dicebloskan ke Penjara.
Akibatnya, keadilan yang didasarkan kepada fakta-fakta hukum seringkali tidak terjadi dalam setiap
proses pe-negakan hukum. Sikap yang tidak profesional inilah yang menjadi pemicu problematika
penegakan hukum. Karenanya, hukum seringkali hanya menjadi macan ompong dikala dihadapkan pada
orang yang mempunyai kuasa, baik secara tahta maupun harta.

Anda mungkin juga menyukai