Anda di halaman 1dari 12

REFORMASI POLRI

MENUJU POLRI YANG PROTAGONIS


(Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum)

I. Later Belakang Historis


Memotret keberadaan Polri, ada baiknya jika mene-lusurinya barang
sejenak sejarah Polri dari awal hingga lepasnya Polri dari ABRI (TNI).
Penelurusan historis ini penting, yaitu seperti yang pernah dikemukakan oleh
Sidi Gazalba, bahwa The past has much to tell us about the presen.
Dalam hubungan ini, Koesparmono Irsan (1995: 10-11) pernah
mengemukakan, bahwa secara de facto Polri (pada waktu itu istilah Polisi
Negara RI (Polri) masih belum dikenal) telah ada sebelum Proklamasi 17
Agustus 1945 dan telah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan secara
langsung melawan penjajahan Jepang. Akan tetapi secara de jure, Polri lahir
pada tangal 18 Agustus 1945, di mana sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) memutuskan, bahwa organ Polisi yang ada ditempatkan di
bawah Departemen Dalam Negeri sebagai Jawatan Kepolisian Negara
Administratif.
Penempatan Polisi di bawah kendali Departemen Dalam Negeri, oleh
pemerintah dinilai tidak layak, karena mengingat kewenangan Kepolisian yang
sangat luas itu menjadi sangat terbatas dan menghadapi kendala struktural
maupun operasional. Oleh karena itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
11 D Tahun 1946 tanggal 1 Juli 1946, Polri harus langsung berada di bawah
Perdana Menteri, sehingga keberadaannya sederajat dengan Kejaksaan dan
Kehakiman. Dengan demikian, secara kelembagaan dan struktur organisasi
Pemerintah, Polri adalah setingkat Departemen, sehingga kedudukan Kepala
Polisi setingkat dengan Menteri.
Dengan adanya perubahan struktur organisasi itu, Polisi mampu
berkembang dengan baik, mampu menata organisasinya secara nasional
dengan baik pula, dan secara operasional mampu memacu profesionalisme
dalam menjalankan tugasnya sampai ke sektor Kecamatan, bahkan pelosok-
pelosok terpencil.
Namun dalam perjalanan sejarah Polri berikutnya, ternyata telah
mengalami berbagai tantangan. Hal itu disebabkan oleh situasi revolusi pada

1
waktu itu yang mengakibatkan banyak sekali perubahan-perubahan di tubuh
Polri, yaitu seperti :
1. Polisi Negara dimiliterisasikan berdasarkan Penetapan Dewan Pertahanan
Negara No. 112 pada tanggal 1 Agustus 1947. Di mana Polisi Negara
mempunyai kedudukan sebagai tentara dan kesatuan Polisi diperintah
kembali untuk menjalankan pekerjaan tentara atas perintah komando
tentara, sedangkan di garis belakang tetap melakukan tugas-tugas
kepolisian di bawah kendali Kementerian Pertahanan.
2. Pada tanggal 19 Juli 1949, polisi bergabung dengan Polisi Pemerintahan
Militer (PPM), yaitu gabungan antara Polisi Negara dan CPM. Badan ini
berada di bawah kendali Menteri Pertahanan Koordinator Keamanan.
3. Pada tanggal 17 Agustus 1950, terbentuk Negara Kesatuan dan Polisi
Negara RI dilebur menjadi satu kesatuan yang berpusat di Jakarta.
4. Keppres No. 154/1959 tanggal 10 Juli 1959: Kepolisian Negara dimasukan
dalam bidang Keamanan/Pertahanan dikepalai oleh Menteri Muda
Kepolisian.
5. Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI, tanggal 26 Agustus 1959, nama
kementerian diganti Departemen, sehingga Jawatan Kepolisian Negara
diganti menjadi Departemen Kepolisian Menteri.
6. Kepres No. 12/1960: Departemen Kepolisian dimasukan dalam bidang
Keamanan Nasional, bersama dengan Menteri/Kastaf Angkatan Laut, Darat,
Udara dan Menteri Jaksa Agung dan Menteri Urusan Veteran.
7. Peraturan Menteri/Kasak/No. 2/PRT/MK/1962, tanggal 11 November 1962,
Kepolisian Negara diubah menjadi Angkatan Kepolisian RI dengan disertai
perubahan susunan staf dan pola organisasinya (AKRI).
8. Kepres RI No. 134/1962, tanggal 12 April 1962, Menteri diubah menjadi
Menteri/Kastaf Angkatan Kepolisian Negara, kedudukannya disesuaikan
sebagai angkatan bersenjata.
9. Kepres No. 290/1964, tanggal 12 November 1964, AKRI berinteraksi penuh
sebagai ABRI. Kepalanya disebut Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak),
dan kemudian AKRI menjadi Kepolisian Negara RI (Polri) sampai sekarang
ini.
Berdasarkan catatan sejarah tersebut, bahwa sebenarnya Polri
sekarang pada awalnya lahir sebagai Angkatan Bersenjata atau Kesatuan

2
Bersenjata yang terlengkap pada masanya serta tidak asing lagi berada dalam
lingkungan Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Fungsi Kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, dalam segala tindakannya selalu menjadi sorotan masyarakat,
karena dinilai sebagai tidak menjalankan fungsinya sebagai polisi yang
memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat. Karena,
berbagai kasus yang terjadi di masyarakat tidak mampu diselesaikan dengan
baik oleh Polisi, sehingga sudah menjadi rahasia umum: jika kehilangan
kambing jangan lapor kepada Polisi, sebab biayanya sama dengan harga sapi.
Belum lagi, tindakan-tindakan kekerasan dalam melakukan tugas penyidikan.
Profesinalisme yang ada di tubuh Polri selalu dipertanyakan.
Oleh karena itu, dengan adanya gelombang reformasi yang menuntut
demokratisasi di segala bidang yang melanda Indonesia dan mencapai
puncaknya pada saat mundurnya Soeharto dari Presiden RI tahun 1998.
Dengan begitu, maka bola reformasi terus menggelinding hingga ke tubuh
Polri.
Polri yang selama Orde Baru dijadikan kendaraan politik untuk
mendukung dan melestarikan kekuasaan, telah dipekikan oleh masyarakat
agar dipisahkan dari ABRI, dengan begitu diharapkan Polri dapat mandiri dan
profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Benih reformasi tersebut sebenarnya dimulai ketika diadakan Seminar
Nasional Hak Asasi Manusia dalam rangka memperingati hari Ulang Tahun
Emas Kemerdekaan RI yang ke-50 tahun 1995 bertempat di Hotel Patra Jasa
Semarang. Wakil dari Komisi Hak Asasi Manusia Kanada mempertanyakan
keberadaan Polri yang masih satu atap dengan ABRI, sebab dalam sejarah
polisi modern tidak ada lagi polisi yang satu atap dengan militer, tapi mengapa
di Indonesia masih dilakukan demikian. Pada waktu itu hembusan pemisahan
Polri dari ABRI sudah mulai mengedepan. Namun realisasinya baru terwujud
pada tanggal 1 April 1999, itupun tentunya karena adanya momen politik yang
kolosal pada tahun 1998, yang mengakibatkan jatuhnya Soeharto dari tampuk
kekuasaan (Presiden).

3
II. Pemisahan Polri dari ABRI
Polisi senantiasa merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar,
karena itu setiap terjadi perubahan dalam masyarakat, Kepolisianpun akhirnya
akan menerima pengaruh serta dampak dari perubahan tersebut.
Angin reformasi yang tengah berlangsung di Indonesia, telah membawa
pengaruh yang sangat besar, termasuk pengaruhnya terhadap reformasi di
lembaga Kepolisian. Polisi yang mandiri dan terpisah dari ABRI memang
sangat didambakan, pengkondisian keberpihakan Polri kepada elit politik
selama Orde Baru telah meracuni misi Polri untuk berpihak kepada rakyat.
Sekedar sebagai perbandingan dengan negara tetangga kita, Australia. Di
Australia sebagaimana dikemukakan oleh Alick Longhurst, First Secretary
Australian Embassy di Jakarta, bahwa pada pokoknya the military's role is to
defend the nation against its external enemies, kill and destroy the enemy. The
police service's role is to protect and serve the community, protect citizens and
promote good public order (Makalah Seminar, 1999: 8-9). Dengan demikian,
polisi di Australia jelas sekali tugas dan fungsinya yang terpisah dari militer dan
selalu berpihak kepada rakyat.
Oleh karena itu, ketika adanya desakan agar Polri tidak lagi menjadi
satu atap dengan ABRI, maka terdapat pihak-pihak yang tidak atau kurang
senang terhadap format baru Polri, pihak-pihak itu selain tidak partisifatif, juga
dikhawatirkan berada di belakang dinamika yang tidak wajar di masyarakat.
Ketidakwajaran itu pada gilirannya akan menjegal, sekurang-kurangnya
mengurangi optimisme publik terhadap integritas polri.
Dampak nilai militer yang masih kuat pada Polri tatkala berhadapan
dengan media massa, misalnya. Sikap arogan, apriori dan merasa berbeda
dari masyarakat, kerap menghambat media massa sebagai mitra Polri
membentuk persepsi positif tentang Polri. Sebelum reformasi, Polri merupakan
lembaga yang rajin menata pemberitaan media massa (Adrianus Meliala,
dalam Forum Keadilan No. 14, 11 Juli 1999: 56). Demikian juga ketika
menangani aksi-aksi mahasiswa pada bulan Maret sampai dengan Mei 1998,
mereka dihadapi dengan perlengkapan perang, layaknya di medan
pertempuran.

4
Ketika Polri berinteraksi dengan mantan saudara tua dalam TNI, yakni
Angkatan Darat (AD) yang diketahui pernah amat keberatan terhadap
pemisahan Polri dari ABRI. Keberatan itu didasarkan pada empat alasan :
1. Ada kekhawatiran, bahwa Polri belum siap atau terlalu lemah menciptakan
keamanan dan ketertiban di masyarakat.
2. Setelah tiga dasawarsa sama-sama berada dalam wadah ABRI, terdapat
alasan historis, politis, dan emosional untuk tidak berpisah.
3. Saat negara tengah dilanda krisis, dan ancaman disintegrasi, dianggap
bukan momen yang tepat bagi pemisahan Polri dari ABRI.
4. AD (khususnya satuan teritorial) akan kehilangan legitimasi dan mekanisme
justifikasi saat melakukan kegiatan teritorial yang ekstra legal (Adrianus
Meliala, dalam Forum Keadilan No. 14, 11 Juli 1999: 56).
Dalam kondisi terpisah, AD tidak bisa lagi secara mudah mengintervensi
atau mengabaikan pihak yang selama ini dianggap sebagai adik bungsu dan
underdog itu. Di masa mendatang, Polri dapat menangkap anggota militer
karena, misalnya melanggar lalu-lintas. Sebab, selama ini anggota ABRI
seolah tidak takut pada Polri. Akibatnya yang kena sasaran, adalah warga sipil,
main semprit, tangkap, dan tempeleng.
Berdasarkan kondisi Polri yang tidak bisa netral dalam melaksanakan
fungsinya sebagai pelindung, pengayom dan penjaga ketertiban, maka apa
yang terjadi pada tanggal 1 April 1999 dapat dicatat dalam lembar sejarah,
bahwa Polri telah lepas dari ABRI. Selanjutnya, pada tanggal 18 Agustus 2000
telah dikeluarkan Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

III. Potret dalam Menangani Kasus


3.1 Ketika Masih Bergabung Dengan ABRI
Masuknya Polri dalam Sistem Peradilan Pidana, maka kontrol sosial
tidak dapat dilakukan secara bebas, melainkan harus berlangsung dalam
kerangka suatu "arsitektur yuridis" yang tertuang dalam Undang-undang No. 8
Tahun 1981, yaitu Undang-undang Hukum Acara Pidana yang lazim disingkat
dengan KUHAP.
Menurut KUHAP, penyelidik dan penyidik adalah Polri, sehingga ia diberi
wewenang oleh hukum untuk menjalankan tugasnya: menangkap; menahan;

5
menggeledah; memasuki rumah, dan sebagainya. Meskipun KUHAP sudah
memberikan rambu-rambu, akan tetapi karena Polri merupakan bagian dari
ABRI sehingga dalam menjalankan tugasnya sering melanggar rambu-rambu
tersebut, sehingga dalam melaksanakan tugasnya tersebut menjadi tidak
seimbang, karena yang diperiksa itu sipil sedang yang memeriksa adalah
ABRI.
Pada beberapa peristiwa, seperti dalam kasus berikut ini (sebagai contoh) :
1. Kasus kematian Sofyan Effendi (19 tahun), pelajar SMEA Negeri 22 Jakarta.
Pada waktu subuh Sabtu 23 Oktober 1982, korban ditangkap oleh polisi
dalam suatu operasi Satgas Roda Delapan Kodak Metro Jaya, diberitakan
oleh pers secara berulang-ulang, bahwa masih ada anggota Polri yang
senang menggunakan tinjunya, sepatu larasnya, dan pistolnya daripada akal
pikiran dan hati sanubarinya, sehingga pola kerja dengan kekerasan,
tekanan, paksaan dan penyiksaan terhadap tersangka selalu terjadi, kendati
sebenarnya keadaan yang dihadapi belum segawat harus bersikap keras
seperti itu (Ridwan Syahrani, 1983: 100).
2. Peringatan Kapolda Sumatera Bagian Selatan kepada aparat kepolisian di
jajarannya untuk tidak terlalu mudah menahan seseorang tersangka.
Kecenderungan itu menurut Kapolda, karena banyak dijumpai di Polsek,
sehingga Kapolda merasa prihatin terhadap adanya petugas yang terlalu
gampang melakukan penahanan atas seseorang tersangka, sekalipun
sebenarnya ia tidak harus ditahan. Keprihatinan itu berdasarkan temuan
langsung di lapangan, yaitu ketika melakukan serang-kaian kunjungan kerja
ke berbagai Polsek (Kompas, Rabu 10 Pebruari 1993: 13).
3. Penanganan kasus Semanggi yang merupakan peristiwa kolosal tahun
1998 yang menuntut reformasi di segala bidang, yang menewaskan
beberapa orang mahasiswa, akibat diterjang peluru petugas keamanan
(polisi).
Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan (tahun 1997)
di tiga kecamatan dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Jember
(sekarang penyebutan itu menjadi Kabupaten Jember), masing-masing
Kecamatan Kencong, Kecamatan Tanggul, dan Kecamatan Jenggawah.
Semua mantan tersangka itu mengatakan, bahwa dalam penangkapan itu
tanpa ada Surat Perintah Penangkapan, demikian juga dengan Surat

6
Penahanan. Ketika diperiksa, mereka dipukul meski sudah mengaku, bahkan
ada yang jaringa diletakan di bawah kaki meja, kemudian mejanya diduduki
oleh tujuh orang polisi. Pada waktu saya melakukan penelitian, dan
mendatangi masing-masing orang yang pernah diperiksa oleh polisi, mereka
takut dikira saya polisi yang mau menangkapnya. Akan tetapi dijelaskan oleh
Kepala Dusun yang menyertai saya, bahwa yang datang ini bukan polisi, tapi
bapak guru dari Universitas Jember.
Itulah gambaran konkrit (merupakan bagian kecil), betapa karakter
militer yang melekat pada polisi, sehingga dalam menjalankan tugasnya pun
yang diutamakan adalah otot bukan otak. Perhatikan pula kasus pemukulan
terhadap mahasiswa Universitas Muslimin Makassar tahun 2004.
Belum lagi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, akibatnya
masyarakat tidak percaya pada polisi. Jika ada yang menderita kerugian akibat
dari suatu tindak pidana, maka mereka merasa percuma melaporkannya
kepada polisi, tokh juga tidak akan ketemu, malah nantinya akan melebihi
harga barang yang hilang, karena harus memberi polisi (katanya uang bensin,
rokok, dan makan).

3.2 Setelah Lepas dari ABRI


Sejak lepas dari ABRI pada tanggal 1 April 1999, maka pada tanggal 1
Juli 1999 ketika Polri memperingati ulang tahunnya yang ke-53 dan ditandai
pula dengan perubahan seragam dan tanda kepangkatan. Warna kemeja
cokelat muda berubah menjadi cokelat muda kehijauan. Tanda pangkat untuk
semua tingkatan ditempatkan di pundak, sedangkan pada kedua ujung kerah
terdapat monogram dan kapas yang mencerminkan pelayanan Polri kepada
masyarakat. Selain itu, setiap anggota Polri wajib memakai tali peluit dan tanda
kewenangan di lengan dan dada kiri. Sementara pakaian dinas harian anggota
Polri tidak lagi dihiasi lambang-lambang brevet kehormatan dan kemahiran
(layaknya seragam militer). Tanda-tanda penghargaan itu hanya disematkan
pada pakaian dinas dan dipakai hanya dalam upacara-upacara khusus (Forum
Keadilan No. 14, 11 Juli 1999: 73).
Apakah dengan lepasnya Polri dari ABRI yang diikuti pula dengan
perubahan pakaian seragam sudah mencerminkan, bahwa Polri sekarang
sudah lain dari Polri yang lama? Jawabannya, tentu saja tidak hanya sekedar

7
perubahan seperti itu, tapi harus pula diikuti dengan perubahan sikap, dan
mental sipil. Sebab jika tidak, maka mental militer dengan pendekatan
keamanan selalu saja bersemayam ditubuh Polri.
Uji coba perilaku Polri setelah melepaskan diri dari ABRI, terlihat ketika
menangani kasus unjuk rasa anggota PRD (Partai Rakyat Demokratik) di
depan Kantor KPU Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat (Forum Keadilan No. 14,
11 Juli 1999: 67). Unjuk rasa yang bertepatan dengan hari ulang tahun Polri
yang ke-53 itu, diselesaikan dengan pengucuran darah. Di mana pada hari
Kamis sore tanggal 1 Juli 1999, unjuk rasa ratusan orang pendukung PRD di
depan Kantor KPU berubah menjadi arena aksi kekerasan. Tak kurang 12
orang tertembak peluru karet dan 26 orang lainnya luka-luka akibat tendangan,
terjengan, dan ayunan pentungan, serta jotosan bogem mentah polisi.
Maksud kedatangan anggota PRD ke KPU tersebut, adalah meminta
untuk bertemu dan berdialog dengan anggota KPU. Namun, KPU hanya mau
menerima 15 orang wakil, sedangkan anggota PRD ingin semuanya. Sambil
menunggu jawaban apakah boleh masuk semuanya, mereka menggelar orasi
yang intinya menggugat kecurangan Partai Golkar dan meminta, agar partai itu
didiskualifikasi dari Pemilu 1999. Pada saat menyampaikan orasi tersebut,
terjadi dorong-mendorong dan tak lama kemudian terdengar rentetan
tembakan yang memekakkan telinga dan massa pun buyar. Mereka
berhamburan menyelamatkan diri di balik mobil-mobil yang diparkir diseberang
jalan, akan tetapi justru mereka terperangkap. Akibatnya aparat keamanan
(polisi) menghajar sejadi-jadinya, dan darah segar mengucur dari mulut dan
hidung seorang pengunjukrasa. Kendati begitu, ia terus saja ditendangi.
Demikian juga temannya yang bertubuh kurus kering bernasib serupa,
merintih-rintih minta ampun. Pertempuran yang tak seimbang itu berakhir 15
menit kemudian (Forum Keadilan No. 14, 11 Juli 1999: 67; dan SCTV Liputan 6
Petang, Tanggal 1 Juli 1999).
Demikian juga yang dialami oleh 50 orang Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Jawa Barat yang sudah berhasil memasuki gedung KPU, diusir oleh
aparat keamanan (polisi) karena tidak memiliki izin berdemonstrasi. Fahrus
Jaman Fadli, pimpinan demo, dipukul dan ditempeleng oleh polisi. Melihat
kejadian itu, seorang wartawan radio El Shinta Bandung yang berusaha
membela Fahrus, juga terkena tempeleng. Dengan kata-kata kasar, seorang

8
anggota Polri bernama Lettu (Pol) Makmur S. mengatakan: "kamu pergi sana,
Saya ini pakai pakaian dinas. Saya bisa tangkap dan bawa kamu sekarang..."
Tidak hanya itu, ternyata polisi itu juga mengambil kartu pers watrtawan
tersebut dengan seenaknya, tanpa harus permisi (Jawa Pos, Selasa Legi, 20
Juli 1999: 8).
Dengan adanya peristiwa tersebut, orang lalu bertanya, mengapa Polri
yang sudah melepaskan diri dari ABRI masih saja menggunakan cara-cara
dengan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Kalau begitu, apa yang berubah dari Polri kecuali hanya memisahkan diri dari
ABRI dan berganti seragam. Akan tetapi, karakternya sama saja dengan
sebelum pemisahan tersebut.

IV. Polisi dalam Masyarakat Demokrasi dan Otoriter


Satjipto Rahardjo mengatakan (Makalah Seminar, 1996: 4), bahwa
dalam masyarakat modern pada dasarnya ada dua pihak yang menuntut
pertanggungjawaban, yaitu pihak pemegang kekuasaan dan pihak masyarakat.
Sistem politik suatu negara sangat menentukan peran masing-masing pihak
tersebut.
Pada sistem otoriter, penekanan pertanggungjawaban diletakan kepada
pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasaan ini dianggap sebagai yang paling
mengetahui apa yang mesti dilakukan, sementara rakyat diposisikan sebagai
orang yang patuh kepada penguasa. Sedang pada sistem demokratis,
penekanannya lebih ditonjolkan kepada masyarakat.
Pada tataran politis-kenegaraan, Indonesia bukan negara otoriter yang
menyerahkan sepenuhnya kekuasaan di tangan seseorang dengan tanpa
batas. Akan tetapi Indonesia, adalah negara yang berkedaulatan rakyat, di
mana hak rakyat tidak habis diserahkan kepada wakil rakyat di MPR. Namun
demikian, konsep demokrasi sering disalah-pahamkan dan disalahgunakan
manakala rezim-rezim totaliter dan diktator, militer berusaha memperoleh
dukungan rakyat dengan menempelkan label demokrasi pada diri mereka
(Apakah Demokrasi itu?, Alih Bahasa oleh Budi Prayitno dan Editor Abdullah
Alamudi, tth.: 4).
Oleh karena itu, bentuk pertanggungjawaban yang khas muncul pada
perkembangan terakhir peradaban manusia, adalah pertanggungjawaban

9
hukum sebagai suatu refleks dari suatu institusi negara hukum dan kedaulatan
hukum dalam masyarakat. Demikian juga dengan pelaksanaan kontrol sosial
tidak dapat lagi dilakukan dengan secara bebas, dalam arti main otot tinju dan
sepatu laras, melainkan harus berlangsung dalam kerangka arsitektur yuridis
yang disebut Sistem Peradilan Pidana.
Akan tetapi, kehendak untuk menempatkan polisi sebagai aparat
penegak hukum, dapat menempatkan polisi pada posisi sebagai penjaga status
quo, di mana kehadiran polisi sepenuhnya hanya untuk menjalankan dan
menerapkan hukum. Apabila semua perintah hukum telah dijalankan, maka
selesai dan sempurnalah polisi dalam menjalankan tugasnya. Dipandang dari
sudut kedaulatan rakyat, maka pelaksanaan tugas seperti itu termasuk kategori
yang antagonis, karena polisi memposisikan dirinya berhadapan dengan
rakyat. Berbeda dengan model protagonis, polisi selalu ingin melihat dan
memposisikan dirinya bersama rakyat (Satjipto Rahardjo, Makalah Seminar,
1996: 10).
Pilihan terhadap kedua model tersebut pada dasarnya selalu dihadapi
oleh polisi, karena hukum itu dirumuskan secara abstrak. Padahal tugas polisi
bukan abstrak, melainkan konkrit. Oleh karena itu, kewenangan untuk
melakukan diskresi sangat mungkin dilakukan oleh polisi.
Penggunaan kewenangan yang berazas diskresi ini menurut Mayjen.
Pol. Drs. Nurfaizi (ketika masih menjabat sebagai Kapolda Jawa Tengah),
hanya mungkin dilakukan jika polisi dalam posisi netral, dalam arti tidak terikat
dengan suatu kepentingan politik tertentu. Apalagi bila kepentingan itu terkait
dalam suatu garis komando dengan hirarki yang ketat dan menuntut kepatuhan
dan ketaatan mutlak dalam melaksanakan tugas yang sesuai dengan perintah
atasan (Makalah Seminar, 1999: 9). Di samping dalam posisi netral,
kemampuan untuk mengambil kebijakan (diskresi) tersebut, juga ditentukan
oleh sumberdaya yang berkualitas tinggi, sehingga mampu menerjemahkan
kondisi yang dia hadapi di lapangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan bagi kita
semua (tentunya): apakah konsep demikian sudah disosialisasikan sampai ke
level bawah?

10
11
12

Anda mungkin juga menyukai