Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Indonesia

Sejarah Polwan: Bermula dari 6 Perempuan


di Masa Perang
 "Sekarang anggota Polri lebih-kurang 400 ribu, sementara jumlah anggota polwan
lebih-kurang 30 ribu, berarti hampir 10 persen,” kata Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, di
Jakarta, dalam peringatan Hari Kartini pada 25 April 2018 lalu.

Tito Karnavian menginginkan presentase jumlah anggota polwan bisa lebih meningkat
lagi. Bahkan, Kapolri berharap semakin banyak polisi perempuan yang menempati
posisi-posisi strategis di kepolisian. Namun, apakah itu bisa terwujud mengingat sejarah
panjang perkembangan polwan yang terkadang kurang menggembirakan?

Polwan sejatinya sudah ada sejak zaman perang kemerdekaan dengan berbagai
macam dinamika dan persoalannya. Kesatuan polisi wanita di Indonesia pertama kali
dihadirkan pada 1 September 1948, tepat hari ini 70 tahun silam. Kala itu, anggota
Polwan cuma ada 6 orang saja.

Perjalanan tahun 1948 itu diselingi guncangan yang melanda Indonesia. Belum lama
merdeka, Belanda sudah datang lagi, berambisi berkuasa kembali. Serangan demi
serangan digencarkan, perundingan demi perundingan dilanggar, Indonesia dalam
situasi darurat. Banyak penduduk mengungsi, menjauhi titik-titik pertempuran demi
keselamatan diri dan keluarga. Namun, pihak republik juga harus tetap cermat dan
siaga lantaran gelombang pengungsi rawan disusupi mata-mata musuh.

Yang menjadi persoalan, tidak semua pengungsi perempuan bersedia diperiksa oleh
petugas laki-laki, terlebih secara fisik. Hal ini tentunya cukup menyulitkan, karena bisa
saja Belanda mengirimkan wanita pribumi sebagai mata-mata.

Sebagai upaya untuk mengatasinya, dinukil dari buku 20 Tahun Indonesia Merdeka:
Volume 3 terbitan Departemen Penerangan (1966), pemerintah RI memberikan mandat
kepada Sekolah Polisi Negara (SPN) di Bukittinggi untuk membuka pendidikan
kepolisian bagi perempuan (hlm. 801).

Hasilnya, terpilih enam orang gadis remaja lulusan sekolah menengah untuk mengikuti
pendidikan kepolisan wanita tersebut. Keenam perempuan itu adalah Mariana Saanin
Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar
Husein, dan Rosnalia Taher, semuanya berdarah Minangkabau.

Enam Srikandi Perintis

Dikutip dari jurnal Dharmasena terbitan Pusat Penerangan Pertahanan dan Keamanan


(1995), keenam calon petugas wanita itu menjalani pelatihan sebagai inspektur polisi
bersama dengan 44 peserta pria (hlm. 21). Mereka mulai mengikuti pendidikan di SPN
Bukittinggi pada 1 September 1948, yang kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran
polwan di Indonesia. Enam polisi wanita perintis ini juga menjadi anggota Angkatan
Bersenjata RI perempuan pertama. Rata-rata, mereka nantinya pensiun dengan
pangkat kolonel polisi atau komisaris besar polisi.

Yang dicemaskan terjadi juga. Di pengujung tahun 1948, terjadi Agresi Militer Belanda
II. Ibukota RI, yang waktu itu berada di Yogyakarta, diduduki. Para petinggi negara,
termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, dan beberapa orang menteri, ditawan lalu
diasingkan ke luar Jawa.

Ketika pusat pemerintahan di Yogyakarta limbung, Bukittinggi justru unjuk gigi. Atas
restu Presiden Sukarno, didirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
salah satu daerah penting di Sumatera Barat tersebut. 

Keenam polisi wanita itu turut ambil bagian dalam perjuangan mempertahankan
pemerintahan darurat di Bukittinggi. Salah satu fragmen aksi mereka terungkap dalam
buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa (1998) karya Hasril
Chaniago dan Khairul Jasmi.

Disebutkan, Bukittinggi harus dikosongkan pada awal 1949 karena pasukan Belanda
semakin mendekat. Kesatuan Brigade Mobil pimpinan Inspektur Polisi Amir Machmud
ditugaskan mendirikan basis pertahanan untuk melindungi proses pengosongan itu.
Dalam pasukan ini, terdapat tiga orang polisi wanita, yaitu Rosmalina, Jasmaniar, dan
Nelly Pauna (hlm. 136).

Setelah situasi mereda dan akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara
penuh, keenam polisi wanita itu melanjutkan pendidikan ke SPN Sukabumi, Jawa Barat.
Mereka lulus pada Mei 1951 sebagai inspektur polisi (Achmad Turan & Awaloeddin
Djamin, Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2000: 119).

Enam Srikandi inilah yang menjadi pelopor lahirnya kesatuan polisi wanita di Indonesia.
Mereka mengemban tugas yang tidak kalah penting dari polisi pada umumnya, kendati
secara jumlah masih jauh di bawah populasi polisi lelaki.

Polwan Adalah Bunga Kartini


Andil kaum hawa selama masa Revolusi Fisik (1945-1949) tidak bisa diabaikan begitu
saja. Menurut Asti Musman & Tri Nugroho dalam buku Wong Wadon: Peran dan
Kedudukan Perempuan Jawa dari Zaman Klasik hingga Modern (2017), para wanita
juga antusias berjuang dalam bidang kemiliteran bersama kaum lelaki (hlm. 116).

Terbukti, mereka maju ke garis depan bukan sekadar sebagai penyuplai makanan.
Banyak di antara pejuang perempuan yang bahkan ikut berperang seperti yang
dilakukan prajurit pria. Kelompok inilah yang nantinya menjadi cikal-bakal korps wanita
militer di Indonesia, termasuk polwan.

Semasa Orde Lama, Presiden Sukarno seringkali memberikan perhatian khusus


terhadap laskar-laskar militer perempuan, polwan di antaranya. Pada upacara
pembukaan Kongres Wanita Indonesia di Senayan, Jakarta, tanggal 24 Juli 1964,
misalnya, Bung Karno menggelorakan spirit kaum wanita lewat pidatonya.

Dalam pidato itu, dikutip dari buku Wanita Indonesia Selalu Ikut Bergerak dalam
Barisan Revolusioner (1964), Presiden Sukarno memuji polisi-polisi wanita dari
Sukabumi yang ia ibaratkan seperti bunga, bunga yang oleh Bung Karno disebut Bunga
Kartini -tokoh emansipasi wanita paling populer di Indonesia (hlm. 7). Polwan-polwan
dari Sukabumi yang dimaksud Bung Karno merujuk kepada enam gadis Minang yang
lulus sebagai polisi perempuan pertama di Indonesia setelah menempuh pendidikan
lanjut di di SPN Sukabumi. 

Di tahun yang sama, seperti dilaporkan Madjalah Angkatan Bersendjata(Masalah 1-10,


1964: 24), Bung Sukarno tampak bahagia dan bangga melihat atraksi Brigade Polisi
Wanita dalam upacara peringatan Hari Angkatan Bersenjata. Presiden bahkan turun
langsung untuk memberikan ucapan selamat kepada para polwan itu. Selain itu,
Presiden Sukarno juga kerap mempercayakan keselamatan istri, anak-anak, dan
keluarga terdekatnya kepada personil polwan yang dipilih secara khusus.

Mengejar Kesetaraan di Polri


Setelah era Orde Lama berakhir dan digantikan rezim Orde Baru dengan Soeharto
selaku presiden, proses pendidikan untuk calon polisi wanita masih berlanjut kendati
yang berminat tidak terlalu banyak. Selain itu, belum ada institusi pendidikan khusus
yang menaunginya.

Kaderisasi polwan semakin tersendat setelah Polri melebur dengan TNI menjadi ABRI
dan penerimaan taruni (taruna perempuan) dihapuskan. Kondisi ini mengakibatkan Polri
tidak memiliki lulusan polwan dari Akademi Kepolisian.

Tahun 1975, Sekolah Anggota Kepolisian RI di Ciputat, Jakarta, yang bernaung di


bawah Polda Metro Jaya (kala itu bernama Komdak VII Jaya) membuka kelas khusus
untuk mendidik bintara polwan. Tahun 1982, kelas ini diperluas menjadi Pusat
Pendidikan Polisi Wanita (Pusdikpolwan).

Dua tahun kemudian, tepatnya pada 30 Oktober 1984, status Pusdikpolwan diganti
menjadi Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan) yang dinaungi Direktorat Pendidikan Polri
(Tjuk Sugiarso, Ensiklopedi Kepolisian Tingkat Dasar, 1986: 82). Berdirinya Sepolwan
lambat-laun menarik minat perempuan untuk menjadi polisi, kendati secara presentase
masih sangat kecil di sepanjang dekade 1980-an. Hingga era 1990-an, ada
peningkatan jumlah personil polwan di tubuh Polri.

Data dari Markas Besar Kepolisian RI (1993), seperti dihimpun Satjipto Rahardjo dalam
buku Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan (2007),
menyebutkan bahwa terjadi kenaikan akseleratif jumlah polwan, yaitu dari 3 persen
pada 1990-1991 menjadi 9 persen pada 1991-1992 (hlm. 108).

Jumlah keseluruhan polwan pada 1992 adalah 5.277 orang dari total 166.658 polisi di
Indonesia. Mereka mayoritas berpangkat sersan, selain 18 polwan dengan pangkat
kolonal dan 1 orang dengan pangkat brigadir jenderal.

Selang 20 warsa kemudian, presentase jumlah polwan ternyata tidak meningkat,


bahkan cenderung menurun seiring semakin bertambah banyaknya personil polisi pria.
Hingga akhir 2012, jumlah anggota polwan hanya 13.200 orang dari total 398.000
polisi atau cuma 3,6 persen.

Terkini, tahun 2018, populasi polwan naik signifikan. Seperti yang dikatakan Kapolri Tito
Karnavian, jumlah polwan sekitar 30 ribu personil, atau hampir 10 persen dari total
jumlah anggota Polri yang berjumlah kurang lebih 400 ribu orang.

Kenaikan ini, salah satunya, barangkali disebabkan oleh kebijakan Polri yang sejak 25
Maret 2015 memperbolehkan anggota polwan mengenakan kerudung, jilbab, atau hijab.
Meskipun begitu, presentase yang kata Tito hampir 10 persen itu masih jauh dari
harapannya. Kapolri mencanangkan target 30-40 persen untuk anggota polwan dari
jumlah total polisi keseluruhan.

Peran polwan di era milenial saat ini memang amat diperlukan, termasuk untuk
pendekatan yang lebih humanis lantaran selama ini polisi kerap dicitrakan kurang
bersahabat.

“Saya ingin polwan menempati kursi kira-kira 30-40 persen karena mereka memiliki
keunggulan lebih sensitif, penanganan terhadap anak, dan untuk layanan publik," harap
Kapolri.

Tito bahkan membayangkan semakin banyak polisi wanita yang menempati posisi
strategis, termasuk menjabat kapolri suatu saat nanti. “Saya justru ingin kapolda ada
yang dari polwan. Bila perlu, pejabat tinggi Mabes Polri, kapolri-wakapolri, ke depan kita
harapkan bisa polwan.”

Bisakah harapan Tito Karnavian itu terwujud? Barangkali tidak mustahil, namun
tergantung kebijakan pemerintah, ketulusan Polri sebagai institusi, serta keputusan dari
sang Kapolri sendiri.

Anda mungkin juga menyukai