Anda di halaman 1dari 89

OILARANG MEMPERBANYAK OAN/ATAU MENGUTIP SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA

TANPA IJIN KEPALA LEMBAGA PENOIOIKAN DAN PELATIHAN POLRJ


MARKAS BESAR
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MILIK DINAS
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

untuk

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI


2021
KEPALA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

SAMBUTAN

Assalamu ‘alaikum wr. wb.


Salam sejahtera Om Swastiastu, Namo Budaya dan Salam Kebajikan.

P uji dan syukur tiada henti-hentinya kita panjatkan ke hadirat


Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat, taufiq dan
hidayahNya kepada kita sekalian atas tersusunnya bahan ajar
(Hanjar) pendidikan STIK Lemdiklat Polri, sehingga diharapkan
dapat membantu para dosen maupun mahasiswa dalam
mengikuti pendidikan sampai dengan selesainya pendidikan.
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri atau disingkat
Lemdiklat Polri merupakan unsur pendukung pelaksana
pendidikan dan pengembangan yang berada di bawah Kapolri dengan tugas
merencanakan, mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan kepolisian
dalam rangka menjadikan sumber daya manusia (SDM) Polri yang unggul di era
revolusi industri 4.0 menuju masyarakat 5.0, dan perubahan teknologi kepolisian
modern berdasarkan jenis pendidikan Profesi, Manajerial (Kepemimpinan), Akademis
dan Vokasi yang dihubungkan dengan arahan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia yaitu Presisi (prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan)
menuju masyarakat 5.0. diharapkan pelayanan Polri terhadap masyarakat akan
semakin baik.
Untuk menyiapkan calon pimpinan Polri tingkat pertama yang profesional
dan mampu menghadapi dinamika tantangan tugas yang sangat kompleks,
diharapkan Polri dapat memenuhi tuntutan dan menjalankan tugas pokoknya secara
baik. Salah satu wujudnya adalah dengan mendahulukan pembenahan-pembenahan
dalam pendidikan dan melakukan penyempurnaan pada semua komponen
pendidikan antara lain Hanjar yang disesuaikan dengan tantangan tugas
(up to date), sehingga diharapkan mahasiswa STIK Lemdiklat Polri dapat
menambah wawasan dan pengetahuan serta memberikan pengalaman belajar.
STIK Lemdiklat Polri merupakan pendidikan pengembangan Polri yang
memiliki tugas pokok untuk menyelenggarakan pendidikan bagi calon pimpinan Polri
pada tingkat pertama. Tujuan pendidikan STIK adalah Menghasilkan Perwira Sarjana
Ilmu Kepolisian berkualitas yang mampu memecahkan masalah berdasarkan kaidah
ilmiah demi kemajuan kepolisian dalam pengabdiannya kepada masyarakat. Profil
lulusan yang diharapkan adalah Pemimpin Tingkat Menengah pada Organisasi KOD
adalah Sarjana Ilmu Kepolisian yang mampu menjalankan fungsi kepemimpinan
pada tingkat KOD, Penyidik Profesional adalah Sarjana Ilmu Kepolisian yang mampu
melaksanakan dan megaplikasikan ilmu, Teknik dan taktik, serta metode

penyelidikan.....
-
penyelidikan dan penyidikan dalam proses penanganan perkara, Ilmuwan Kepolisian
adalah Sarjana Ilmu Kepolisian yang mampu mengembangkan konsep-konsep ilmu
kepolisian dalam pelaksanaan tugas.
Hanjar disusun melalui proses rapat koordinasi yang melibatkan para dosen
pengampu masing-masing mata kuliah, narasumber, personel STIK Lemdiklat Polri,
dan personel Lemdiklat Polri. Diharapkan Hanjar yang dihasilkan dapat menjadi
panduan yang relevan, valid dan aktual dalam beberapa tahun ke depan, yang dapat
menyesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi terkini/aktual. Materi
Hanjar merupakan panduan dalam proses belajar mengajar dan diharapkan para
mahasiswa dapat memahami serta menambah materi secara mandiri dari berbagai
referensi sesuai dengan dinamika perkembangan situasi dan kondisi dalam
menunjang proses pembelajaran.
Saya ucapkan terima kasih kepada narasumber dan peserta rapat koordinasi
penyusunan Hanjar Dikbangum STIK Prodi S1 Angkatan ke-79 T.A. 2021 yang telah
mencurahkan waktu dan pikirannya, sehingga dapat tersusun Hanjar ini. Semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan rahmatNya kepada kita semua
dalam melaksanakan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Sekian dan terima kasih.


Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Om shanti shanti shanti om, namo budaya dan salam kebajikan.

Jakarta, 13 April 2021

KEPALA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Prof. Dr. H. RYCKO AMELZA DAHNIEL, M.Si.


KOMISARIS JENDERAL POLISI

Paraf :
1. Konseptor/Kasubbag Sespimmen : .....
2. Kaurmin : .....
3. Kabag Kurhanjardikbangum : .....
4. Kaurtu Rokurlum : .....
5. Karo Kurikulum : .....
6. Kataud Lemdiklat Polri : .....
7. Wakalemdiklat Polri : .....

-
MARKAS BESAR
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

KEPUTUSAN KEPALA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI


Nomor : Kep/ 204 /IV/2021

tentang

HANJAR PENDIDIKAN POLRI


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

KEPALA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Menimbang : bahwa dalam rangka penyelenggaraan program pendidikan Strata


Satu (S1) Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian diperlukan adanya
Hanjar yang sesuai dengan kurikulum, maka dipandang perlu
menetapkan keputusan.

Mengingat : 1. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia


Nomor 14 Tahun 2015 tentang Sistem Pendidikan Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
2. Peraturan Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri
Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyusunan Bahan Ajar
Pendidikan Polri;
3. Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor: Kep/2463/XII/2020 tanggal 22 Desember 2020
tentang Program Pendidikan dan Pelatihan Polri Tahun
Anggaran 2021;
4. Keputusan Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri
Nomor: Kep/253/VI/2020 tanggal 30 Juni 2020 tentang
Rencana Kerja Satker Lemdiklat Polri Tahun Anggaran 2021.

Memperhatikan: hasil rapat koordinasi penyusunan Hanjar Dikbangum Prodi S1


STIK Angkatan ke-79 Tahun Anggaran 2021.

MEMUTUSKAN…..

-
2 KEPUTUSAN KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : KEP/ 204 / IV / 2021
TANGGAL: 13 APRIL 2021

MEMUTUSKAN

Menetapkan : 1. mengesahkan berlakunya Hanjar pendidikan Polri untuk


Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, yang tersebut dalam
lampiran keputusan ini;

2. bahan ajar ini digunakan secara terbatas di lingkungan


Lemdiklat Polri;

3. keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di: Jakarta


pada tanggal: 13 April 2021
KEPALA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Kepada Yth: Prof. Dr. H. RYCKO AMELZA DAHNIEL, M.Si.


KOMISARIS JENDERAL POLISI
Ka STIK Lemdiklat Polri.

Tembusan: Paraf :
1. Wakapolri. 1. Konseptor/Kasubbag Sespimmen : .....
2. Irwasum Polri. 2. Kaurmin : .....
3. As SDM Kapolri. 3. Kabag Kurhanjardikbangum : .....
4. Kaurtu Rokurlum : .....
5. Karo Kurikulum : .....
6. Kataud Lemdiklat Polri : .....
7. Wakalemdiklat Polri : .....

-
MARKAS BESAR LAMPIRAN
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KALEMDIKLAT POLRI
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NOMOR : KEP/ 204 / IV / 2021
TANGGAL: 13 APRIL 2021

DAFTAR HANJAR DIKBANGUM PRODI S1 STIK


ANGKATAN KE-79 T.A. 2021

1. Agama
a. Pengenalan Agama.
b. Pendidikan Agama.
2. Pancasila.
3. Kewarganegaraan.
4. Bahasa Inggris.
5. Filsafat Kepolisian (Tribrata dan Catur Prasetya).
6. Sejarah Kepolisian.
a. Sejarah perjuangan bangsa.
b. Sejarah Polri.
c. Sejarah Indonesia.
7. Pengantar Ilmu Kepolisian.
8. Pengantar Sosiologi.
9. Pengantar Hukum Indonesia.
10. Pengaturan, Penjagaan, Pengawalan dan Patroli.
11. Pendidikan Karakter Kebhayangkaraan.
12. Fungsi Teknis Lalu Lintas.
13. Fungsi Teknis Sabhara.
14. Filsafat Ilmu.
15. Sistem Informasi Manajemen dan ITE.
16. Identifikasi Kepolisian.
17. Azas-azas Hukum Pidana.
18. Antropologi Budaya.
19. Psikologi Sosial dan Massa.
20. Pengantar Tata Hukum Indonesia.
21. Fungsi Teknis Binmas.
22. Forensik Kepolisian.
a. Kedokteran Forensik.
b. Kriminalistik.
c. Laboratorium Forensik.

23. Hukum Acara Pidana.....


-
2 LAMPIRAN
KEPUTUSAN KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : KEP/ 204 / IV / 2021
TANGGAL: 13 APRIL 2021

23. Hukum Acara Pidana.


24. Hukum Perdata.
25. Hukum Pidana.
26. Hukum Kepolisian.
27. Bahasa Indonesia.
28. Naskah Dinas Polri.
29. Fungsi Teknis Intelijen.
30. Fungsi Teknis Reserse.
31. Statistik.
32. Metode Penelitian.
33. Komunikasi Sosial.
34. Falsafah dan Etika Kepolisian.
35. Psikologi Forensik.
36. Administrasi Kepolisian.
37. Kepemimpinan.
38. HAM dan Penegakan Hukum.
39. Pendidikan Budaya Anti Korupsi.
40. Tindak Pidana Khusus.
41. Kriminologi dan Viktimologi.
42. Manajemen Konflik.
43. Manajemen Operasional Polri.
44. Manajemen Pembinaan Polri.
45. Sistem Administrasi Kepolisian.
46. Polmas.
47. Manajemen SDM.
48. Manajemen Rengar dan Keuangan.
49. Manajemen Logistik.
50. Perilaku Organisasi.
51. Ilmu Kepolisian.
52. Manajemen Wasdal dan Audit.
53. Antropologi Kepolisian.

54. Sejarah Indonesia.....


-
3 LAMPIRAN
KEPUTUSAN KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : KEP/ 204 / IV / 2021
TANGGAL: 13 APRIL 2021

54. Sejarah Indonesia dan Sejarah Polri.


55. Metode Penelitian Kepolisian.
56. Sosiologi Hukum.
57. Wawasan Kebangsaan.
58. Hubungan Antar Suku Bangsa.
59. Hukum Kepolisian.
60. Statistik Kepolisian.
61. Teknologi Kepolisian (Di Era 4.0).
62. Sosiologi Kepolisian.
63. Konflik Sosial.
64. Kriminologi.
65. Falsafah dan Etika Profesi Kepolisian.
66. Hukum Pidana Khusus.
67. Manajemen Operasional Polri.
68. Politik dan Kepolisian.
69. Komunikasi Sosial dan Manajemen Media.
70. Terorisme dan Radikalisme.
71. Pendidikan Pencegahan dan Penindakan Korupsi.
72. Kebijakan Publik.
73. Polisi dan Tata Kelola Pemerintahan.
74. Hukum Pidana Ekonomi.
75. Sistem Peradilan Pidana dan Mediasi Penal.
76. Konsentrasi Manajemen Keamanan dan Teknologi Kepolisian:
77. Manajemen Pencegahan Kejahatan.
78. Manajemen Keamanan Informasi.

Ditetapkan di: Jakarta


pada tanggal: 13 April 2021
Paraf : KEPALA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
1. Konseptor/Kasubbag Sespimmen : .....
2. Kaurmin : .....
3. Kabag Kurhanjardikbangum : .....
4. Kaurtu Rokurlum : .....
5. Karo Kurikulum : .....
6. Kataud Lemdiklat Polri : .....
7. Wakalemdiklat Polri : ..... Prof. Dr. H. RYCKO AMELZA DAHNIEL, M.Si.
KOMISARIS JENDERAL POLISI

-
IDENTITAS BUKU

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN

Penyusun:
Tim Rapat Koordinasi Penyusunan Hanjar Dikbangum Prodi S1 STIK Angkatan
Ke-79 T.A. 2021

Editor:

1. Brigjen Pol. Drs. Adi Kuntoro. (Karo Kurikulum Lemdiklat Polri).


2. Kombes Pol. Drs. Hudit Wahyudi., M.Hum., M.Si.
(Kabag Kurhanjar Dikbangum Rokurlum Lemdiklat Polri)
3. Pembina. Dr. Supardi Hamid ( Dosen STIK Lemdiklat Polri)
4. Penata. Hartini, S.Pd, M.Pd. (Operator)

Hanjar Pendidikan Polri


Program pendidikan Strata Satu (S1) Ilmu Kepolisian
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri

Diterbitkan oleh:
Bagian Kurikulum Bahan Ajar Pendidikan Pengembangan Umum
Biro Kurikulum
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri
Tahun 2021

Dilarang menggandakan sebagian atau seluruh isi Bahan Ajar (Hanjar) Pendidikan
Polri ini, tanpa izin tertulis dari Kalemdiklat Polri

vii
-
DAFTAR ISI

Cover ................................................................................................................... i

Sambutan Kalemdiklat Polri ................................................................................ ii

Keputusan Kalemdiklat Polri ................................................................................ iv

Lembar Identitas .................................................................................................. vi

Daftar Isi .............................................................................................................. vii

Pengantar ............................................................................................................. 1

Standar Kompetensi ............................................................................................ 3

BAB I ANTROPOLOGI KEPOLISIAN SEBAGAI SUATU DISIPLIN 4


ILMU ....................................................................................................................

Kompetensi Dasar .............................................................................................


4

Indikator hasil belajar ...........................................................................................


4

1. Pengertian Antropologi Kepolisian .................................................................


5

2. Epistemologi Antropologi Kepolisian ............................................................


5

BAB II KONSEP DASAR MASYARAKAT, KEBUDAYAAN, DAN


8
HUKUM ................................................................................................................

Kompetensi Dasar ...............................................................................................


8

Indikator hasil belajar ...........................................................................................


8

1. Masyarakat sebagai suatu konsep ................................................................


9

2. Konsep Kebudayaan .....................................................................................


10

3. Hukum ..........................................................................................................
14

BAB III PLURALISME KEBUDAYAAN DAN PLURALISME HUKUM 17


DALAM PERSPEKTIF MODERN/GLOBAL ........................................................

Kompetensi Dasar ...............................................................................................


17

Indikator hasil belajar ...........................................................................................


17

viii
-
1. Perkembangan Ruang Lingkup Kajian Pluralism Hukum Dari
18
Perspektif Klasik Sampai Perspektif Global ...................................................

2. Pendekatan Mapping Dalam Upaya Mengenali


Keberagaman Hukum Dalam Masyarakat ....................................................
20

BAB IV MENUJU INTEGRASI NASIONAL BERBASIS 22


MULTIKULTURALISME DAN PERMASALAHANNYA .......................................

Kompetensi Dasar ...............................................................................................


22

Indikator hasil belajar ...........................................................................................


22

1. Tugas Dan Fungsi Kepolisian .......................................................................


23

2. Pengertian Negara-Bangsa ...........................................................................


24

3. Pengertian Negara Multikulturalisme ............................................................


26

4. Pengertian Indonesia Sebagai Negara Hukum ..............................................


31

BAB V “PERSAMAAN DAN PERBEDAAN” DALAM KEHIDUPAN 35


SOSIAL ................................................................................................................

Kompetensi Dasar ...............................................................................................


35

Indikator hasil belajar ...........................................................................................


35

1. Persamaan Dan Perbedaan Dalam Kehidupan Sosial .................................


36

2. Pengertian Politik Identitas ............................................................................


41

3. Jaringan Sosial: Persamaan dan Perbedaan.................................................


44
DASAR-DASAR BERPIKIR JARINGAN
BAB VI 47

Kompetensi Dasar ...............................................................................................


47

Indikator hasil belajar ...........................................................................................


47

Dasar-Dasar Pengertian Berpikir Jaringan ...........................................................


48

ix
-
BAB VII BERPIKIR JARINGAN .........................................................................................
51

Kompetensi Dasar ...............................................................................................


51

Indikator hasil belajar ...........................................................................................


51

1. Pengertian Berpikir Jaringan..........................................................................


52

2. Gambar Teritori Geografis Dan Teritori Sosial ..............................................


56

BAB VIII “PERSAMAAN DAN PERBEDAAN” DALAM KEHIDUPAN 57


SOSIAL ................................................................................................................

Kompetensi Dasar ...............................................................................................


57

Indikator hasil belajar ...........................................................................................


57

1. Konsep Konflik ...............................................................................................


58

2. Konsep Sengketa ..........................................................................................


59

3. Cakupan Dan Kegunaan Kajian Sengketa.....................................................


61

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 67

LAMPIRAN .......................................................................................................... 69

x
-
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN

1. Pengantar

Sebagian ilmuwan hukum dan praktisi, termasuk polisi, merasa bahwa


kajian hukum yang hanya menggunakan pendekatan substantif kurang dapat
memberikan penjelasan yang berarti mengenai bagaimana hukum
dikonstruksi dalam konteks politik dan bagaimana hukum diimplementasikan
dalam masyarakat. Pendekatan antropologi terhadap hukum dan tugas
kepolisian dilakukan dengan menempatkan hukum sebagai gejala atau proses
sosial, yang dalam operasinya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar
hukum seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan hadirnya kajian yang bersifat
multidisipliner terhadap hukum sebagai gejala atau proses sosial, khususnya
yang berkaitan dengan peran kepolisian sebagai alat penegakan hukum dan
representasi Negara di dalam masyarakat, lahirlah kaijan Antropologi
Kepolisian. Perkuliahan ini memusatkan perhatian pada kajian hukum dari
perspektif Antropologis, khususnya kajian hukum yang berkaitan dengan
tugas kepolisian.
Kajian ini lahir sebagai respon konseptual maupun praktikal terhadap
perkembangan dan kebutuhan polisi untuk memahami masyarakat dan
hukum. Secara konseptual, terdapat kebutuhan untuk mengkaji hukum dalam
perspektif yang melampaui analisis doktrinal dan sentralisme hukum. Dalam
proses perumusan dan praktiknya hukum tidak dapat dipisahkan dari konteks
masyarakat dan budayanya. Dalam perumusan dan praktik hukum itu
bersemai kepentingan dan relasi kekuasaan. Hukum dalam perkuliahan ini
dipahami sebagai proses sosial, bagian dari kebudayaan.
Dalam ranah praktikal, perkuliahan ini sangat penting untuk diberikan
kepada petugas kepolisian. Dengan mempelajari Antropologi Kepolisian,
diharapkan polisi dalam menjalankan tugasnya, bisa memahami bagaimana
hukum bekerja dalam masyarakat dan mampu mendekatkan hukum dengan
rasa keadilan masyarakat.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 1
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Kajian hukum yang hanya menggunakan pendekatan dogmatik kurang


dapat memberikan penjelasan yang berarti mengenai bekerjanya hukum
dalam masyarakat. Polisi, memerlukan pengetahuan antropologi kepolisian
untuk bisa menjelaskan latar belakang budaya masyarakat tempat dia
bertugas sehingga diharapkan dalam menegakkan hukum Negara, polisi akan
memperhitungkan juga rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian dapat
dicegah tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan rasa
keadilan warga. Selain itu, polisi juga memerlukan pengetahuan tentang
kajian pluralisme kebudayaan dalam perspektif antropologi kepolisian dalam
rangka mengenali potensi-potensi konflik yang mungkin terjadi dalam
masyarakat.
Polisi juga penting untuk memahami bahwa dalam konteks masyarakat
yang memiliki keragaman kebudayaan, hadirlah keragaman hukum; untuk itu
dalam matakuliah ini dipelajari juga kajian Pluralisme Hukum, khususnya
dalam perspektif global. Dalam topik pluralisme hukum berperspektif global
dibahas tentang bagaimana sistem-sistem hukum dari ranah yang berbeda
(internasional, nasional dan lokal) saling bertemu, berinteraksi satu sama lain,
sehingga perubahan hukum menjadi suatu keniscayaan.
Dalam perkuliahan juga dianalisis peran aparat penegak hukum dalam
menangani kasus sengketa perebutan sumberdaya langka, dan kejahatan
masa kini (korupsi). Tentu saja masih dengan tidak terlepas dari perhatian
terhadap keberagaman hukum dan nilai budaya yang hidup dalam
masyarakat.
Pada intinya, mata kuliah ini bertujuan agar setiap mahasiswa dan
mahasiswi memiliki pemahaman tentang beberapa hal berikut ini. Pertama,
studi atau kajian terhadap hukum dalam perspektif antropologi kepolisian.
Kedua, pendekatan teoretikal/konseptual terhadap kajian kepolisian dan
konsep-konsep utamanya. Ketiga, relevansi antara hukum, kebudayaan,
hubungan antar suku bangsa dan masyarakat. Keempat, keberagaman
budaya dan pluralisme hukum.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 2
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

2. Standar Kompetensi
Memahami dan menganalisis konsep-konsep dasar masyarakat,
kebudayaan, dan hukum serta menerapkan strategi penanganan konflik di
masyarakat.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 3
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

BAB I
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN SEBAGAI SUATU DISIPLIN ILMU

Kompetensi Dasar:
Memahami antropologi kepolisian sebagai suatu disiplin ilmu.

Indikator hasil belajar:


1. menjelaskan pengertian antropologi kepolisian.
2. menjelaskan epistimologi antropologi kepolisian.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 4
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

1. Pengertian Antropologi Kepolisian

Sebagian ilmuwan hukum dan praktisi menemukan bahwa kajian hukum


yang hanya menggunakan pendekatan substantif kurang dapat memberikan
penjelasan yang berarti dan menyeluruh. Terutama ketika harus memahami
bagaimana hukum dikonstruksi dalam konteks politik dan bagaimana hukum
diimplementasikan dalam masyarakat.
Polisi sebagai pihak yang memiliki kebutuhan praktis untuk memahami
proses konstruksi dan rekonstruksi hukum dalam masyarakat. Polisi juga perlu
paham bagaimana masyarakat itu ‘berhukum’. Pada masyarakat yang
pluralistik, kebutuhan akan pemahaman tentang bagaimana hukum bekerja
pada konteks keberagaman tentu akan sangat dibutuhkan ketika polisi
menjalankan tugasnya. Dengan demikian polisi memerlukan kajian yang lebih
komperehensif. Antropologi secara umum tidak akan memadai dalam
memberikan bekal ini kepada polisi. Diperlukan suatu kajian antropologi yang
lebih bersifat spesifik, yakni antropologi kepolisian.
Antropologi kepolisian adalah bagian dari ilmu antropologi, secara
khusus antropologi hukum yang mempelajari secara spesifik bagaimana relasi
antara masyarakat – hukum – dan kebudayaan; serta mengamati bagaimana
hukum bekerja di dalam masyarakat utamanya dalam lingkup tugas
Kepolisian. Antropologi Kepolisian sebagai kajian dikembangkan secara
khusus dalam rangka menunjang tugas-tugas kepolisian yang selalu
bersentuhan dengan isu keberagaman masyarakat dan budaya.

2. Epistemologi Antropologi Kepolisian

Antropologi secara umum tidak akan memadai dalam memberikan bekal


pengetahuan tentang persoalan-persoalan bekerjanya hukum di dalam
masyarakat, terutama dalam lingkup tugas kepolisian. Diperlukan suatu kajian
antropologi yang lebih bersifat spesifik. Jawaban atas kebutuhan itu
disediakan oleh kajian antropologi hukum, atau lebih spesifik lagi oleh
antropologi kepolisian.
Pendekatan secara antropologis terhadap hukum dan secara spesifik
terhadap tugas kepolisian dilakukan dengan menempatkan hukum sebagai

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 5
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

gejala atau proses sosial. Di mana dalam operasinya sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor di luar hukum seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Ilmu hukum memiliki keterbatasan: “it’s very hard to study law
scientifically” menurut Macaulay (2007:2). Sulit untuk mempelajari dan
memahami tentang hukum tanpa mempelajari /memahami latar belakang
budaya masyarakatnya (Ihromi: 1993). Kajian Antropologi Kepolisian
menyediakan alat untuk membantu mengamati: bagaimana hukum dibuat,
dilaksanakan utamanya dalam lingkup tugas Kepolisian.
Kajian ini lahir sebagai respon konseptual maupun praktikal terhadap
perkembangan dan kebutuhan polisi untuk memahami berkerjanya hukum
dalam masyarakat. Secara konseptual, terdapat kebutuhan untuk mengkaji
hukum dalam perspektif interdisiplin, yang tidak hanya melakukan analisis
secara doktrinal, tetapi juga empirikal. Dalam perpektif antropologi dipahami
bahwa proses perumusan hukum dan praktik penegakan hukum tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial, politik, budaya, ekonomi, dengan berbagai
permasalahannya. Dalam perumusan dan praktik hukum itu bersemai
kepentingan dan relasi kekuasaan. Hukum dalam perkuliahan ini dipahami
sebagai proses sosial, bagian dari kebudayaan.
Dalam ranah praktikal, perkuliahan ini sangat penting untuk diberikan
kepada para polisi, agar dalam menjalankan tugasnya, bisa dimengerti
bagaimana hukum bekerja dalam masyarakat dan mampu mendekatkan
hukum dengan rasa keadilan masyarakat. Di tengah situasi negeri kita hari ini,
dalam rangka menjalankan fungsi dan tugas kepolisian yang semakin berat,
penting untuk memahami bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat
sangat berkaitan dengan soal-soal identitas, politik identitas yang
menyebabkan seseorang, kelompok, dikonstruksi melalui pemberian label,
stereotype, prasangka, untuk tujuan politik praktis. Orang atau kelompok,
dapat ditempatkan sebagai kriminal atau orang baik, hanya karena tujuan
kepentingan kekuasaan, dan ini sangat membahayakan stabilitas kehidupan
berbangsa.
Kajian hukum yang hanya menggunakan pendekatan dogmatik kurang
dapat memberikan penjelasan yang berarti mengenai bekerjanya hukum
dalam masyarakat. Polisi, memerlukan pengetahuan antropologi kepolisian

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 6
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

untuk bisa menjelaskan latar belakang budaya masyarakat tempat dia


bertugas sehingga diharapkan dalam menegakkan hukum negara, tanpa
mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian dapat dicegah
tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan rasa keadilan.
Selain itu, polisi juga memerlukan pengetahuan tentang kajian pluralisme
kebudayaan, dan pluralism hukum, dalam rangka mengenali potensi konflik
yang mungkin terjadi dalam masyarakat.
Dalam topik pluralisme hukum modern dibahas tentang bagaimana
sistem-sistem hukum dari ranah yang berbeda (internasional/transnasional,
nasional dan lokal) saling bertemu, berinteraksi satu sama lain, sehingga
melahirkan hukum baru. Dengan demikian perubahan hukum menjadi suatu
keniscayaan.
Dalam perkuliahan juga dianalisis peran aparat penegak hukum dalam
menangani kasus sengketa perebutan sumberdaya langka, dan kejahatan
masa kini seperti (korupsi), radikalisme dan intoleransi, dengan
memperhatikan keberagaman hukum dan nilai budaya yang hidup dalam
masyarakat.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 7
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

BAB II

KONSEP DASAR MASYARAKAT, KEBUDAYAAN, DAN HUKUM

Kompetensi Dasar :
1. Memahami konsep dasar masyarakat, kebudayaan, dan hukum.
Indikator Hasil Belajar :
a. menjelaskan Masyarakat sebagai suatu konsep.
b. menjelaskan satuan-satuan dalam masyarakat khususnya suku bangsa
dan kesukubangsaan.
c. menjelaskan kebudayaan dan perubahan kebudayaan.
d. menjelaskan pluralisme.

2. Menganalisis konsep dasar masyarakat, kebudayaan, dan hukum.


Indikator Hasil Belajar
a. membandingkan satuan-satuan dalam masyarakat khususnya suku
bangsa dan kesukubangsaan.
b. menguraikan terbentuknya suatu budaya.
c. menguraikan faktor penyebab perubahan kebudayaan.
d. membandingkan pluralism kebudayaan dan pluralism hukum.
e. menguraikan keterkaitan antara masyarakat, budaya, dan hukum.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 8
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Pada saat mempelajari Antropologi Kepolisian, penting untuk lebih dulu


memahami beberapa konsep dasar yang digunakan dalam kajian ini. Di antaranya
adalah konsep tentang masyarakat; satuan-satuan dalam masyarakat, khususnya
suku bangsa dan kesukubangsaan; kebudayaan; nilai budaya; dan hukum sebagai
bagian dari kebudayaan. Berikut ini adalah pembahasan mengenai konsep-konsep
tersebut.

1. Masyarakat sebagai suatu konsep

Masyarakat menurut Ember dan Ember (1996) adalah sekelompok orang


yang menempati wilayah tertentu. Kelompok ini menggunakan Bahasa yang
sama, yang mereka pahami bersama ketika berkomunikasi di dalam kelompok.
Akan tetapi Bahasa tersebut tidak dipahami secara luas oleh orang-orang yang
tinggal di sekitarnya.
“Society is a group of people who occupy a particular territory and speak a
common language not generally understood by neighboring peoples.”
(Ember&Ember, 1996).
Dalam bahan ajar mengenai Hubungan Antar Suku Bangsa, Yulizar Syafri
menjelaskan bahwa masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup
bersama dan menempati suatu wilayah. Kumpulan ini mengupayakan
ketersediaan sumberdaya yang menjamin kelangsungan hidup warganya.
Kumpulan ini menata kehidupan warganya dan memanfaatkan sumberdaya
(sekelilingnya) mengikuti pola kebudayaan yang mereka yakini kebenarannya.
Kemudian, berkembang ragam pranata sosial dalam upaya pemenuhan
kebutuhan hidup yang dianggap penting. Kumpulan ini juga tumbuh dan
berkembang sebagai kelompok maupun satuan sosial dalam penyelenggaraan
pemenuhan kebutuhan hidup.
Kumpulan orang yang disebut sebagai masyarakat ini sebagaimana
penjelasan Syafri di atas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan
menjamin kelangsungan hidup warganya mengembangkan pola kebudayaan
yang khas. Adapun definisi kebudayaan tersebut dijelaskan dalam bagian B di
bawah ini.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 9
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

2. Konsep Kebudayaan

Menurut E.B. Tylor dalam bukunya ‘Primitive Culture’ (1871) kebudayaan


hakikatnya adalah keseluruhan yang bersifat kompleks dan yang meliputi
pengetahuan (knowledge), kepercayaan (belief), kesenian (art), hukum (law),
nilai-nilai moral (moral), kebiasaan (custom), dan lain-lain kecakapan
(capability) dan kebiasaan (habit) yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Kompleksitas kehidupan manusia tersebut didapatkan manusia
dengan cara belajar sebagai warga masyarakat tertentu. Berbeda halnya
dengan karakteristik fisik yang didapatkan karena terberi akibat kelahiran.
Koentjaraningrat sebagai Bapak Antropologi Budaya di Indonesia dalam
bukunya ‘Pengantar Antropologi’ (1989) menjelaskan bahwa kebudayaan
berasal dari kata budi dan dhaya. Kedua kata ini aslinya berasal dari Bahasa
Sansekerta. Budi merujuk pada akal pikiran. Dhaya merujuk kepada
upaya/kerja untuk menghasilkan sesuatu. Dengan demikian, kebudayaan
bermakna “seluruh hasil budi daya manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya”.
Pasangan suami isteri ahli Antropologi bernama Ember dan Ember dalam
definisi mereka tentan kebudayaan, tidak menyebutkan aspek tindakan atau
upaya atau kerja tersebut. Menurut mereka, kebudayaan terdiri dari dua aspek
penting yaitu sistem pengetahuan dan sistem aturan (Ember dan Ember, 1996).
Pendapat Ember dan Ember senada dengan apa yang dikemukakan oleh
Alfred Kroeber dan Clyde Kluckohn dalam buku mereka ‘Culture: A Critical
Review of Concepts and Defenition’ tahun 1952. Kedua ahli Antropologi ini
menekankan tentang fungsi culture as a blueprint (kebudayaan sebagai suatu
cetak biru). Dikatakan it was a collective symbolic discourse (kebudayaan
adalah diskursus simbolik yang bersifat kolektif) di mana cakupan dari
kebudayaan itu adalah pengetahuan (knowledge), kepercayaan (beliefs) dan
nilai-nilai (values).
Konsekuensi dari perspektif yang melihat kebudayaan adalah terdiri dari
aspek pengetahuan dan aturan adalah kebudayaan hanya dipahami dari sisi
ideasional,oleh karena itu kebudayaan dapat dibedakan posisinya dari
masyarakat dan social action. Kebudayaan jua dapat diamati secara langsung

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 10
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

lewat ekspresi dan hasil dari kebudayaan itu. Aspek ideasional dari kebudayaan
diekspresikan maupun dikomunikasikan melalui seperangkat simbol.
Di antara berbagai properti kebudayaan salah satunya adalah nilai budaya
(culture values) dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Sebab pengorganisasian suatu kebudayaan terutama dilakukan
berdasarkan nilai-nilai yang berkembang dalam kebudayaan.
b. Nilai-nilai budaya adalah variable (istik) dan relative atau tidak
predeterminant.
Muatan dari kebudayaan terdiri atas norma-norma pedoman bagi pattern
for action dan seperangkat defenisi, premis, postulat, asumsi, propisisi maupun
persepsi tentang alam sekitar dan kedudukan manusia di dalamnya, dan yang
diyakini kebenarannya. Menurut Yulizar Syafri dan Rudy Agusyanto,
kebudayaan dijadikan sebagai sumber rujukan untuk saling membedakan diri
antar manusia sebagai mahkluk sosial. Sebagai konswekuensi dari
dijadikannya kebudayaa sebagai sumber rujukan manusia, maka tumbuh dan
berkembangnya diversitas kebudayaan (every one is into culture now).
Samuel Huntington dalam ‘Culture War’ (1993) menjelaskan bahwa di
masa depan perkembangan dunia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan. Dalam
perkembangan global di masa kini dan masa yang akan datang, sumber konflik
yang paling fundamental tidak terutama disebabkan oleh persoalan ekonomi
ataupun ideologi. Akan tetapi bersumber dari kebudayaan (the future of the
whole world depend on culture). Di masa datang akan berkembang clash of
civilization dan dirancang berdasarkan identitas kebudayaan yang bersifat
primordial.
Kebudayaan sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, lahir dalam
rangka perjuangan manusia menghadapi tantangan alam dan kebutuhan
hidupnya. Adapun kebutuhan hidup tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kebutuhan biologis atau utama:
1) makan, minum, bernafas, dan sebagainya.
2) buang air besar/kecil, berkeringat dan sebagainya.
3) perlindungan dari iklim, cuaca, suhu udara yang ekstrim
(panas/dingin), dan lain-lain, contoh istirahat, tidur.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 11
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

4) pelepasan dorongan seksual dan reproduksi, kesehatan atau


kebugaran tubuh.
b. Kebutuhan Sosial atau sekumder;
1) kebutuhan untuk (saling) berkomunikasi dengan sesama.
2) kegiatan-kegiatan bersama.
3) prestise (kepuasan akan benda-benda material dan kekayaan untuk
pamer, dan keteraturan sosial.
c. Kebutuhan adab manusiawi, yaitu kebutuhan yang mengintegrasikan
berbagai kebutuhan biologi dan sosial;
1) adanya perasaan untuk membedakan yang benar dan salah, yang
adil dan tidak adil, yang suci (sacre) atau yang tidak suci (profan dan
lainnya.
2) mengungkapkan perasaan atau sentimen perorangan maupun
kolektif.
3) perasaan keyakinan diri (confidence dan keberadaan (existence);
4) ungkapan-ungkapan estetika, keindahan, etika maupun moral,
contoh rekreasi dan hiburan.
5) rasa aman dan tenteram.
Edward. T. Hall dalam ‘Hidden Dimension’ menjelaskan bahwa
setiap pemenuhan corak kebutuhan berlangsung dalam satuan ruang.
Lingkungan ruang fisik (beserta isinya) ditafsirkan sebagai ruang budaya,
sebab ruang-ruang diperlakukan dan ditata sesuai dengan kebudayaan
suatu masyarakat, guna pemenuhan kebutuhan hidupnya. Penciptaan
ruang oleh manusia fungsinya untuk tempat berinteraksi oleh para pelaku
baik yang akrab, yang pribadi dan bercorak umum. Corak ruang yang
ditata secara kebudayaan itu mencakup:
1) ruang-ruang yang jelas dan pasti (fixed).
2) ruang yang bersifat longgar (informal).
Dalam ruang-ruang tersebut berlakulah nilai-nilai budaya. Adapun
nilai budaya atau cultural value menurut Prof. Clifford Geertz dalam ‘The
Interpretation of Culture’ (1973) dapat berbentuk pandangan hidup
ataupun etos.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 12
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

d. Pandangan hidup atau World View atau core value (nilai-nilai inti) atau
basic value (nilai-nilai dasar) berisi konsep maupun teori yang mendasar
dan menjelaskan hakekat manusia dan hubungannya dengan
lingkungannya.
e. Etos (Ethos) merupakan operasionalisasi dari pandangan hidup. Isinya
konsep dan teori yang ada dalam kebudayaan yang menjadi pedoman
kegiatan-kegiatan praktikal, khususnya pedoman moral dan etika.
Francis. L. Hsu dalam ‘American Core Values and National
Character’ menjabarkan contoh nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat
Amerika. Pertama, world view atau nilai-nilai budaya mendasar Amerika
berintikan pada individualisme. Kedua, produk dari individualisme tersebut
adalah kebebasan dan kemerdekaan, kemandirian, demokrasi,
persamaan hak dan derajat, kompromi dan penyesuaian, penekanan
pentingnya kemajuan dan prestasi, keberhasilan dan kesuksesan materi,
nasionalisme, patriotisme dan keunggulan ras kulit putih.
Contoh tentang nilai budaya dalam masyarakat dikemukakan juga
oleh Ruth Benedict dalam bukunya ‘The Chrysanthemum and The Sword’.
Menurut Benedict masyarakat Jepang dicirikan tumbuh dalam struktur
sosial yang ketat dan tertutup. Hal tersebut berbeda dengan apa yang
dialami oleh masyarakat Amerika. Hasilnya, masyarakat Jepang
cenderung bersifat homogen baik dari aspek ciri genetik/ras maupun
memiliki kebudayaan tunggal yang berlaku ditingkat perorangan, komuniti
dan masyarakat negara atau nasional. Selain itu masyarakat Jepang lebih
menekankan orientasi kelompok dari pada diri sendiri atau lebih
mengedepankan altruisme. Dalam sistem kekerabatannya, orang Jepang
menekankan fokus perhatian pada keluarga luas (extended family),
patrineal dan primogeniture (anak tertua sebagai pewaris dan
penyambung keturunan). Satuan keluarga luas menjadi dasar
terbentuknya buraku (dusun), yang penataannya mirip dengan banjar di
pedesaan Bali, serta sebagai fondasi terbentuknya desa (mura). Struktur
keluarga luas yang patrilineal menjadi kesatuan hidup ekonomi, ekonomi,
sosial dan budaya yang berjenjang. Dalam masyarakat Jepang, menurut
hasil penelitian Benedict, terdapat penggolongan atas dasar senioritas

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 13
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

(berdasarkan usia): senior (sempai atau dimuka /memimpin) dan Junior


(kabai) penting dalam kehidupan sehari-hari.

3. Hukum

Hukum menurut Prof. T.O. Ihromi (1989) merupakan aspek dari


kebudayaan yang memiliki fungsi sebagai pedoman bertingkah laku dan
sebagai alat pengendalian sosial.
a. Dalam fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku, menurut Hoebel
hukum berisikan seperangkat peraturan yang mengatur atau memberikan
pedoman bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku.
b. Apabila pedoman itu dilanggar, maka terhadap pelanggaran tersebut akan
dikenakan sanksi. Pada saat terjadi pemberian sanksi tersebut, hukum
sedang menjalanan fungsinya sebagai alat pengendalian sosial. Hukum,
dalam rangka pelaksanaannya di dalam masyarakat terlebih dahulu
melalui suatu proses pengajaran nilai-nilai atau norma-norma sosial.
Norma-norma sosial itu diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari
kepribadian dan perilaku anggota masyarakat yang bersangkutan. Proses
internalisasi tidak selalu lancar, ada juga pengingkaran norma.
Pengingkaran atau pelanggaran norma yang ringan akan diganjar dengan
teguran, bujukan. Pelanggaran yang bersifat berat akan mendapatkan hukuman
atau sanksi yang keras pula. Sebaliknya, apabila orang patuh dan
melaksanakan peraturan yang diberlakukan dalam masyarakat, dapat pula
diberikan ganjaran atas perilakunya tersebut dalam bentuk hadiah, pujian,
imbalan, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, hukum
sebetulnya dilekati oleh dua jenis sanksi atau ganjaran. Sanksi yang bersifat
positif (rewards) bagi perbuatan yang menunjukkan kepatuhan atas suatu
aturan, perilaku yang baik menurut standar masyarakat; dan sanksi yang
bersifat negatif (punishment) untuk pelanggaran dan tindakan yang dianggap
tidak baik oleh masyarakat (Ihromi, 1993).
Menurut Sulistyowati Irianto hukum adalah dokumen antropologis yang
hidup. Artinya bukan hanya undang-undang ataupun produk hukum negara,
tetapi juga “hukum-hukum” yang hidup dalam masyarakat, yaitu: nilai-nilai,
norma, pranata, aturan yang berkaitan dengan agama, adat dan kebiasaan,
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 14
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

dan kesepakatan-kesepakatan. Hukum penting dan harus ditempatkan dalam


realita
Menurut Leopold Pospisil, ada 4 (empat) atribut atau sifat hukum yang
membedakan hukum dari keputusan dan kebiasaan:
a. otoritas, suatu keputusan adalah hukum apabila dihasilkan oleh pihak
berwenang atau pihak yang dianggap berwenang di dalam suatu
masyarakat.
b. universalitas, suatu keputusan adalah hukum apabila diterapkan pada
kasus-kasus yang serupa.
c. obligatio, suatu keputusan adalah hukum apabila di dalamnya diatur
tentang hak dan kewajiban secara timbal balik.
d. Sanksi, suatu keputusan adalah hukum apabila di dalamnya melekat
sanksi (lihat bagian penjelasan tentang sanksi di atas).
Bohannan (1989:59) menjelaskan bahwa hukum sebaiknya dipikirkan
sebagai perangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat yang dianggap sebagai
hak oleh suatu pihak dan diakui sebagai kewajiban oleh pihak lain (azas
resiprositas/reciprocity), yang telah dilembagakan lagi dalam lembaga-lembaga
hukum supaya masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara yang teratur
berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara demikian (double
institutionalization).
Radcliffe Brown menjelaskan bahwa hukum merupakan social control
through the systemic application of the force of politically organized society.
Menurut Brown dalam masyarakat yang belum berbentuk negara (stateless)
belum ada hukum, sikap tertib yang ada semata-mata muncul karena sikap taat
adat yang spontan dan otomatis (automatic spontanaeus submission to
tradition). Pendapat Brown ini sebetulnya penting untuk dilihat secara kritis
karena ada nuansa etnosentrisme dalam kajian Antropologi Hukum.
Maksudnya adalah, Brown melihat dan mengkaji sistem hukum masyarakat non
Barat dengan mempergunakan kerangka berpikir atau paradigm yang berlaku
dalam sistem hukum Barat.
Menurut E. Adamson Hoebel, norma sosial adalah norma hukum, bila
yang mengabaikan atau melanggarnya ditindak berdasarkan peraturan yang
ada di dalam masyarakat. Penindakkan tersebut berbentuk ancaman ataupun

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 15
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

tindakan. Bentuk tindakan yang digunakan dapat menggunakan kekerasan fisik.


Penindakkan tersebut dilakukan oleh orang atau kelompok yang memiliki
wewenang untuk itu dan yang mendapat pengakuan masyarakat untuk berbuat
demikian (Haviland, 2000).
Menurut Bronislaw Malinowski, hukum mencakup aturan-aturan yang
mengekang kecenderungan manusia, nafsunya atau dorongan-dorongan
naluriahnya. Hukum juga mencakup aturan-aturan yang melindungi hak-hak
warganya terhadap keganasan, keserakahan dan kedengkian pihak lain.
Hukum berbeda dengan adat karena “hukum dipandang sebagai kewajiban
pihak yang satu dengan hak pihak yang lain yang tak hanya didukung oleh
motif psikologis, tapi juga oleh kekuatan mengikat berdasar saling
ketergantungan” (prinsip give and take).
Djaka Soehendera (2007) membandingkan cara pandang Antropologi
Hukum dengan Ilmu Hukum terhadap hukum. Menurut Soehendera, dari
perspektif ilmu hukum, norma hukum memiliki karakteristik (Maria Farida
Indrati):
a. Norma hukum bersifat heteronom karena datang dari luar diri kita.
b. Norma hukum dapat dilekati dengan sanksi pidana atau sanksi pemaksa
secara fisik.
c. Sanksi pidana atau sanksi pemaksa dalam norma hukum dilaksanakan
oleh aparat Negara.
Kaitan antara konsep masyarakat, kebudayaan dan hukum adalah hukum
sebenarnya merupakan hasil tawar menawar politis. Hukum merupakan hasil
keputusan pemegang kekuasaan dalam lembaga-lembaga perumusan hukum.
Di lapangan hukum merupakan hasil keputusan penegak hukum. Seringkali, di
dalam hukum yang sedemikian itu pengalaman kelompok perempuan, orang
miskin, marjinal, minoritas terabaikan (Irianto&Meij, 2009: 254).

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 16
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

BAB III
PLURALISME KEBUDAYAAN DAN PLURALISME HUKUM DALAM
PERSPEKTIF MODERN/GLOBAL

Kompetensi Dasar :
1. Memahami pluralisme hukum sebagai alat analisis untuk mengkaji masalah
hukum yang terjadi dimasyarakat.
Indikator Hasil Belajar :
a. menjelaskan perkembangan ruang lingkup kajian pluralism hukum dari
perspektif klasik sampai perspektif global.
b. menjelaskan pendekatan mapping dalam upaya mengenali keberagaman
hukum dalam masyrakat.
2. Menerapkan pendekatan mapping dalam upaya mengenali keberagaman
hukum dalam masyrakat.
Indikator Hasil Belajar :
a. mendeteksi keberagaman hukum dalam masyarakat.
b. menyusun teks hasil proses deteksi keberagaman hukum dalam
masyarakat.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 17
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

1. Perkembangan Ruang Lingkup Kajian Pluralism Hukum Dari Perspektif


Klasik Sampai Perspektif Global

Salah satu fokus dari kajian AH adalah Kajian Pluralisme Hukum. Kajian
ini mulai dikenal pada era 70’an. Melalui kajian Pluralisme Hukum, disadari
bahwa Hukum Negara atau municipal law, formal law bukanlah merupakan
satu-satunya sistem hukum yang hadir dalam kehidupan masyarakat. Hukum
adat/hukum agama juga diperhatikan tidak lagi sebagai entitas tunggal yang
ada dalam suatu komunitas masyarakat. Keberlakuan hukum adat pada suatu
masyarakat juga rentan terhadap pengaruh dari sistem hukum lain.
Dalam kajian antropologi sendiri, terutama antropologi hukum secara
khusus dipergunakan etnografi (hukum) yang bersifat multisitus. Pada etnografi
hukum yang multisitus, ilmuwan melihat masyarakat dan kebudayaan sebagai
entitas yang tidak lagi dibatasi oleh batas-batas wilayah yang jelas (Appadurai,
1991; Nurtjahyo, 2009):
a. Kajian pluralisme hukum dalam antropologi hukum perspektif global →
tidak lagi bicara hukum dalam batas wilayah tertentu.
b. Terjadinya interdependensi, saling adaptasi, penyesuaian diri dengan
berbagai sistem hukum → blurred border/borderless;
c. Hukum dalam konteks pluralisme hukum: konsep kognitif → pengetahuan
tentang apa yang dilarang/dibolehkan oleh Negara, apa yang
dilarang/dibolehkan oleh aturan-aturan dalam rakyat: agama, adat,
kebiasaan2 (clusters).
d. Terhadap cluster ini terjadi proses globalisasi dan glokalisasi.
e. Glokalisasi: bagaimana hukum internasional/ nasional diberi muatan
lokal/dilokalkan.
f. Globalisasi: hukum dan prinsip-prinsip lokal diadopsi sebagian atau
seluruhnya menjadi hukum berskala internasional: prinsip ADR (borrowing
modes of dispute resolution), CEDAW Psl 14.
g. Merupakan kritik terhadap legal pluralisme yang lama mengkaji peran para
aktor yang mobilitasnya tinggi dan mendorong interaksi antar sistem
hukum yang ada.
h. Konteks sejarah → kajian ini juga melihat bagaimana asal mula terjadi
kondisi pluralistik tersebut. Menurut Benda-Beckmann et.al (2005), dari
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 18
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

dulu fenomena pluralisme hukum sudah ada → penjajahan, perdagangan,


penyiaran agama dari satu negara ke negara lain; sekarang: lebih
kompleks lagi dengan adanya perkembangan teknologi, perpindahan
orang, modal dan barang.
i. Implikasi metodologi, multi-sited ethnografi berbeda dengan etnografi
konvensional dulu localized dan terittorialized, terpusat pada tempat.
j. Sekarang kajian bersifat blurred border. Mengikuti pergerakan orang,
barang, dan modal. Contoh : dalam menjelaskan fenomena perdagangan
manusia untuk tujuan prostitusi di Hongkong, Makau; permasalahan buruh
migran, para pekerja migran yang “membawa “ hukumnya sendiri ke
negara tujuan, (pedagang, ekspatriat), pegawai negeri (yang bertugas
mewakili negara/diplomat?), NGO internasional, multi national corporation,
dan mereka yang dapat berhubungan dengan dunia luar karena fasilitas
alat komunikasi (internet).
k. Epistemic community: suatu entitas di mana para akademisi, ahli,
ilmuwan atau legal drafter saling berinteraksi melintasi batas-batas Negara
untuk menghasilkan konsep norna-norma global yang digunakan sebagai
solusi atas suatu masalah (Wiber 2005).
l. Perlindungan pekerja migran (terutama perempuan).
m. Pengaturan hate speech dan hate spin.
n. Rewards dan punishment dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup.
o. Kontestasi antara hukum adat, hukum negara, dan konvensi internasional:
keberadaan MHA, tanah ulayat, perempuan dalam komunitas adat,
kebangkitan peradilan adat, Urgensi memahami kondisi hukum yang
pluralistik di Indonesia melalui kajian Pluralisme Hukum dalam ranah
kajian Antropologi Kepolisian hadir karena dalam ilmu hukum, pendekatan
juridis dogmatik dalam pengajaran ilmu hukum yang mengarus utama
(mainstreaming) hanya membahas tentang law in the book, law as it
should be, de jure. Bagaimana dengan hukum yang sesungguhnya hidup
dalam masyarakat? Bagaimana masyarakat memperlakukan hukum?
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap suatu produk perundang-
undangan misalnya?

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 19
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

2. Pendekatan Mapping Dalam Upaya Mengenali Keberagaman Hukum


Dalam Masyarakat

Kajian pluralisme hukum lahir sebagai kritik atas kajian sentralisme hukum
yang memandang bahwa satu-satunya hukum adalah hukum produk negara
sebagaimana dikatakan oleh John Griffith:
Legal pluralism is the fact, legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an
illusion. By legal pluralism I mean the presence in a social field of more than
one legal order.

Kajian pluralisme hukum dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan.


Pertama, pemetaan terhadap seluruh sistem hukum yang hadir dalam
masyarakat atau Mapping of legal universe. Pemetaan sistem-sistem hukum
yang ada di dalam masyarakat kemudian dirasakan tidak cukup oleh para ahli
antropologi hukum yang mempelajari kajian Pluralisme Hukum. Kemudian
dikembangkan pendekatan kedua yaitu analisis terhadap interaksi, kompetisi di
antara sistem-sistem hukum yang ada A variety of interacting and competing
legal systems or normative orders.
Dalam pendekatan yang kedua ini disadari bahwa untuk dapat
memperoleh gambaran tentang interaksi, kompetisi, dan adaptasi di antara
sistem-sistem hukum ternyata penting untuk melihat pilihan hukum Individu.
Untuk itulah dikembangkan pendekatan ketiga berupa analisis terhadap pilihan-
pilihan hukum yang dilakukan individu atau Focus on individual level.
Pendekatan keempat yang dikembangkan dalam kajian Pluralisme hukum
adalah kajian pluralisme hukum berperspektif global. Disadari bahwa ada
interdependensi, kontestasi, difusi antara sistem-sistem hukum yang ada,
sebagai akibat dari arus globalisasi. Konsekwensi metodologis dari kajian ini
adalah sifatnya yang borderless, multi spasial, multisitus.Terjadi arus
pertukaran uang, barang, jasa, informasi dan juga terjadi mobilitas para aktor
secara lintas batas negara. Akibat dari globalisasi tidak lagi cukup sekedar
memetakan sistem hukum yang ada atau sekedar melihat interaksi antara
sistem hukum yang ada dalam satu area/wilayah Negara. Hal tersebut terjadi
sebagai akibat dari blurred border/borderless. Dalam kajian antropologi sendiri
saat ini memang sedang dikembangkan karya-karya etnografi multisitus yang

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 20
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

melihat masyarakat dan kebudayaan sebagai entitas yang tidak lagi dibatasi
oleh batas-batas wilayah yang jelas (Appadurai, 1991; Nurtjahyo, 2009). Kajian
pluralisme hukum dalam antropologi hukum berperspektif global tidak lagi
bicara hukum dalam batas wilayah tertentu.
Implikasi metodologis dari kajian yang bersifat multisitus, ethnografi yang
dihasilkan akan berbeda dengan etnografi konvensional . Dulu localize dan
terittorialize, terpusat pada tempat. Sekarang kajian bersifat blurred border.
Mengikuti pergerakan orang, barang, dan modal. Contohnya aktor-aktor yang
tingkat mobilitasnya tinggi; pedagang profesional dan non profesional misalnya
inang-inang, pengguna internet, diplomat, pramugari dan pilot, ekspatriat (para
pekerja perusahaan asing, para pekerja NGO) mahasiswa, TKW/TKI yang pergi
ke dan pulang dari luar negeri setelah bekerja, para turis, para aktor yang
terlibat pada perdagangan manusia, sindikat narkoba.
Kajian ini juga melihat bagaimana asal mula terjadi kondisi pluralistik
tersebut. Menurut Benda-Beckmann et.al (2005) dan Tamanaha (1991), dari
dulu fenomena mobilitas dari satu wilayah ke wilayah lain sudah ada.
Bentuknya antara lain penjajahan, perdagangan, penyiaran agama dari satu
negara ke negara lain. Hal tersebut juga mendukung terjadinya pluralisme
hukum karena para aktor tersebut pasti datang dengan membawa nilai-nilai
budaya dan nilai hukumnya masing-masing. Akan tetapi sekarang kondisi
pluralistik itu di bidang hukum dapat menjadi lebih kompleks lagi dengan
pesatnya perkembangan teknologi, perpindahan orang, modal dan barang.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 21
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

BAB IV
MENUJU INTEGRASI NASIONAL BERBASIS MULTIKULTURALISME
DAN PERMASALAHANNYA

Kompetensi Dasar :
Memahami integrasi nasional berbasis multikulturalisme dan permasalahannya.
Indikator Hasil Belajar :
1. menguraikan tugas dan fungsi kepolisian.
2. menguraikan pengertian negara-bangsa.
3. menguraikan pengertian negara multikulturalisme.
4. menguraikan Indonesia sebagai negara hukum.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 22
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

1. Tugas Dan Fungsi Kepolisian

Sekali lagi, judul mata kuliah ini bukan Antropologi, tetapi Antropologi
Kepolisian. Sebab, materi perkuliahan yang diberikan bukanlah teori-teori dan
konsep-konsep dasar antropologi selayaknya dalam mata kuliah Pengantar
Ilmu Antropologi. Melainkan, teori-teori dan konsep-konsep antropologi yang
relevan dengan tugas dan fungsi Kepolisian.
Secara garis besar, tugas dan fungsi Kepolisian adalah memelihara dan
menjaga keteraturan/ketertiban sosial/masyarakat yang terdiri dari (a)
pelayanan masyarakat; (b) pengayoman masyarakat; dan penegakan hukum -
sebagai representasi dari negara. Oleh karena itu, topik-topik dalam mata
kuliah Antropologi Kepolisian ini adalah topik-topik yang relevan dengan tugas
dan fungsi Kepolisian.
Sementara itu, masyarakat Indonesia yang menjadi subyek dalam tugas
dan fungsi Kepolisian adalah masyarakat yang heterogen atau plural yang
berbeda dengan Korea atau Jepang yang relatif homogen. Juga berbeda
dengan masyarakat Amerika Serikat meskipun sama-sama plural. Untuk itu,
tugas dan fungsi Kepolisian NRI mempunyai persoalan yang berbeda dengan
Korea, Jepang atau Amerika Serikat.
Dengan demikian, tujuan umum dari perkuliahan ini adalah agar petugas
Kepolisian mampu mengidentifikasi, memahami dan menganalisis berbagai
persoalan yang timbul dari masalah “keteraturan/ketertiban sosial” (melalui teori
dan konsep antropologi yang relevan) sehingga mampu memberikan solusi dan
pencegahannya. Di sisi yang lain, dalam ranah praktikal, perkuliahan ini sangat
penting untuk diberikan kepada petugas kepolisian sebagai representasi
negara, agar dalam menjalankan /tugas dan fungsinya, bisa memahami
bagaimana aturan-norma-hukum bekerja dalam masyarakat dan mampu
mendekatkan hukum dengan rasa keadilan masyarakat yang dilayaninya.
Tidak satu pun negara di dunia ini yang benar-benar “homogen”. Kalau
pun ada, itu hanya merupakan suatu bentuk “dominasi”, bisa dominasi etnis,
agama atau kebudayaan tertentu. Bentuk dominasi inilah yang menyebabkan
seolah-olah sebuah negara tampak ”homogen”, padahal di dalamnya ada atau
terjadi kesatuan kesatuan/golongan-golongan sosial lain yang termarginalkan.
Indonesia adalah Negara-bangsa yang dibentuk berdasarkan atas semangat
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 23
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

nasionalisme untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara


yang sama, walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras,
etnik, atau golongannya. Artinya, Indonesia sebagai negara-bangsa ditandai
dengan adanya beragam “keteraturan sosial” dari beragam kesatuan sosial
(sukubangsa, ras, golongan sosial) – yang berarti pula bahwa Indonesia
sebagai sebuah negara ditandai dengan “aturan-normahukum” yang beragam
(pluralisme hukum). Dengan demikian, dalam konteks perkuliahan ini - teori dan
konsep antropologi yang dipelajari adalah yang relevan untuk memahami dan
menganalisis keteraturan/ketertiban masing-masing kesatuan sosial, interaksi
dan hubungan antar kesatuan sosial (dengan norma/aturan/hukumnya masing-
masing – sesuai dengan konsep keadilan mereka) dan permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam kehidupan sosial – kerjasama dan persaingan
serta konflik (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara - NKRI) – dalam
rangka memelihara dan menjaga keteraturan/ketertiban sosial.

2. Pengertian Negara-Bangsa

Negara-Bangsa adalah suatu istilah politik yang merujuk pada warga


negara yang tinggal di suatu wilayah berdaulat sebagai satu bangsa. Negara-
bangsa, pada umumnya dibentuk berdasarkan atas semangat kebangsaan atau
nasionalisme untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara
yang sama, walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras,
etnik, atau golongannya. Demikian halnya dengan Indonesia. Untuk itu,
eksistensi sebuah negara-bangsa sangat ditentukan oleh kesadaran bersama
seluruh warganya: (a) sebagai satu bangsa; (b) untuk membangun masa depan
bersama. Kedua poin tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan kata lain, jika
kedua poin mendasar ini terganggu maka eksistensi sebuah negara-bangsa
juga akan terganggu. Oleh sebab itu, ancaman terbesar bagi sebuah negara-
bangsa adalah ancaman terhadap integrasi bangsa .
Berbicara soal eksistensi sebuah negara, tentunya tidak bisa lepas dari
asal mula bagaimana negara tersebut terbentuk. Dengan demikian, untuk
menjaga dan memelihara eksistensinya, sebuah negara-bangsa harus mampu
menjaga dan memelihara “kesadaran bersama sebagai satu bangsa” dan
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 24
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

“kesadaran untuk membangun masa depan bersama” – bukan masa depan


golongan sosial tertentu atau masa depan golongan mayoritas dan juga bukan
berdasarkan aturan-normahukum kesatuan/golongan sosial tertentu. Oleh
karena itu pula, Wibisono mengatakan bahwa untuk mempertahankan
eksistensinya sebagai bangsa, warganya harus memiliki apa yang disebut
sebagai kesamaan rasa dimiliki dan memiliki (sense of belonging) . Untuk itu
pula, sebagai sebuah negara-bangsa, Indonesia tidak hanya sekedar sebuah
kesatuan politik sebagai sebuah negara, tetapi menuntut pentingnya konsep
Kebangsaan. Meskipun, pada umumnya sebuah bangsa memiliki faktor-faktor
obyektif tertentu yang membuatnya berbeda dengan bangsa lain, misalnya
persamaan keturunan, bahasa, daerah, kesatuan politik, adat istiadat, tradisi,
dan agama. Namun, faktor-faktor obyektif tersebut bukanlah unsur yang hakiki
akan terbentuknya sebuah negara-bangsa. Justru, unsur terpenting bagi
eksistensi sebuah negara-bangsa adalah kemauan bersama untuk hidup
bersama – sebagai satu bangsa secara nyata. Dengan kata lain, tidak hanya
terintegrasi secara politik (tetap plural/majemuk - di bawah naungan negara
yang sama), tetapi juga harus terintegrasi secara sosial-budaya. Dari
masyarakat yang Bhinneka menjadi masyarakat yang Tunggal Ika (menuju
masyarakat multikultur). Artinya, eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa
sangat tergantung pada kesadaran orang Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Aceh,
Papua, Bali, Dayak, dan lain-lain yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan seterusnya sebagai atau menjadi orang Indonesia - sebagai satu
bangsa yang ingin membangun masa depan bersama.
Dengan demikian, dalam konteks negara-bangsa, tugas dan fungsi
Kepolisian sesungguhnya juga merupakan bagian dari nation building -
merupakan sebuah proses dalam rangka membangun masyarakat yang plural
(Bhinneka) menjadi masyarakat yang multikultur (Bhinneka Tunggal Ika). Oleh
karena itu pula prinsip keberagaman (multikulturalisme – perbedaan dalam
kesatuan dan kesetaraan) menjadi dasar dari ideologi negara (Pancasila) untuk
mengikat masyarakat yang berbeda-beda menjadi satu bangsa (Bhinneka
Tunggal Ika).
Di sinilah peran negara (Kepolisian sebagai representasi Negara) menjadi
sentral dalam menjaga dan memelihara kesamaan rasa dimiliki dan memiliki

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 25
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

(sense of belonging – perbedaan dalam kesatuan dan kesetaraan). Namun,


tentu saja masing-masing negara-bangsa mempunyai kendala dan tantangan
yang berbedabeda dalam upayanya menjaga dan memelihara eksistensinya.
Oleh karena itu pula, Indonesia berbeda dengan Korea atau Jepang yang relatif
homogen, tapi juga tidak sama dengan Amerika Serikat (AS) meskipun sama-
sama sebagai negara-bangsa yang majemuk. Tetapi yang pasti adalah bahwa
perbedaan keyakinan agama, etnik atau ras, bukanlah masalah yang harus
ditakuti (momok), sebab negara-bangsa itu sendiri pada umumnya justru
terbentuk oleh warga yang berbeda-beda keyakinan agama, etnik atau ras, dan
golongannya.

3. Pengertian Negara Multikulturalisme

Dalam konteks ini, keberagaman harus dipahami semacam ideologi -


bukan sekedar sebuah kesadaran bahwa bangsa Indonesia itu plural.
Multikulturalisme sebagai sebuah ideologi, berbeda dengan pluralisme yang
hanya memandang pentingnya keberagaman atau perbedaan. Multikulturalisme
dikembangkan dari konsep pluralisme dan relativisme kebudayaan .
Multikulturalisme sebagai sebuah ideologi, berbicara tentang perbedaan dalam
kesetaraan – sejalan dengan demokrasi dan ideologi Pancasila. Berbeda
dengan pluralisme , yang lebih mementingkan masalah perbedaan, sehingga
sering tergoda untuk berusaha menyeragamkan (negara memaksa sehingga
rawan termarjinalkannya pihak atau golongan yang lemah) dalam menjaga
stabilitas politik seperti yang terjadi di era orde baru. Dengan multikulturalisme,
kebhinnekaan merupakan realitas bangsa yang obyektif dan tidak dapat
dipungkiri keberadaannya. Untuk itu, kebhinnekaan harus dimaknai oleh
masyarakat dan negara (kepolisian) melalui pemahaman multikulturalisme
(perbedaan dalam kesatuan dan kesetaraan).
Dengan multikulturalisme, maka sistem nasional diharapkan dapat
mempersatukan beragam masyarakat dan kebudayaannya, sebagai sebuah
bangsa dalam wadah negara. Dengan demikian, sekali lagi bahwa perbedaan
keyakinan agama, ras, etnik, atau golongan sesungguhnya bukanlah kendala
atau momok bagi sebuah negara-bangsa yang multikultur. Perbedaan bukanlah
penghalang bagi kehidupan manusia untuk bisa bersatu dan bekerjasama,
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 26
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

sebab negara-bangsa itu sendiri pada umumnya justru terbentuk oleh warganya
yang berbeda-beda. Dengan kata lain, sesungguhnya, perbedaan bukanlah
persoalan bagi negara-bangsa. Perbedaan bukanlah ancaman bagi integrasi
bangsa atau nasionalisme. Sebab, dalam negara-bangsa yang plural -
perbedaan keyakinan agama, ras, etnik atau golongan adalah keniscayaan.
Persoalannya adalah terletak pada masalah “kesetaraan” atau “keadilan”,
bukan pada “perbedaan”. Oleh karena itu, isyu yang sensitif bagi integrasi
bangsa pada negara-bangsa adalah masalah “keadilan antar golongan sosial” –
bukan masalah “perbedaan” atau “keberagaman”.
Mempertahankan dan memperkuat identitas etnik, agama, dan
kebudayaannya sendiri bukanlah hal yang salah jika tetap pada kesadaran
bersama bahwa ada kesatuan atau golongan sosial lain yang juga merupakan
bagian dari NKRI . Sebab, ketika identitas etnik, keyakinan agama, dan
kebudayaan menguat – tetapi tidak dibarengi dengan tumbuhnya kesadaran
akan keberagaman yang ada di negeri ini (perbedaan dalam kesatuan dan
kesetaraan), tentunya akan berpotensi menjadi acaman bagi integrasi bangsa.
Bahkan sudah ada atau mulai tumbuh ‘kelompok-kelompok’ kecil anti-
keberagaman yang ekstrim (garis keras), yang mencoba menegakkan
“hukum”nya sendiri - vigilante, memaksa kesatuan atau golongan sosial lain
dengan melakukan sweeping atas nama “demokrasi”. Disinilah pentingnya nilai-
nilai multikulturalisme. Nilai-nilai multikulturalisme (Pancasila) harus menjadi ruh
dan pengikat bangsa.
Dalam pemikiran multikulturalisme, selain diharapkan akan memberi
peluang untuk saling berinteraksi satu sama lain agar bisa tumbuh saling
mengenal dan menghargai (toleransi) – satu sama lain, juga diharapkan
terjalinnya hubungan sosial antar kesatuan yang ada berada dalam posisi
setara (perbedaan dalam kesatuan dan kesetaraan). Tidak ada perlakuan
khusus terhadap golongan sosial tertentu atau tidak ada yang lebih tinggi atau
lebih rendah – pluralisme dan relativisme kebudayaan - (kebersamaan sebagai
satu bangsa dan membangun masa depan bersama). Dengan demikian,
sesungguhnya masalah yang sensitif bagi integrasi sebuah negara-bangsa
yang plural seperti Indonesia adalah masalah keadilan masing-masing
golongan atau kesatuan sosial. Dengan prinsip “perbedaan dalam kesatuan

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 27
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

dan kesetaraan” (multikulturalisme), masing-masing kesatuan sosial diharapkan


bisa berinteraksi dan bekerjasama dalam berbagai sisi kehidupan sesuai
dengan kebutuhan mereka masing-masing. Oleh karena itu, NKRI sebagai
negara-bangsa harus mampu menjamin keadilan bagi seluruh warganya.
Kembali pada masalah kesetaraan atau keadilan, maka dalam negara-
bangsa yang multikultur tidaklah cukup hanya menjamin “kesetaraan” secara
horisontal dalam arti semua warga dan golongan (tanpa kecuali) adalah setara
(sama kedudukannya) dihadapan negara. Tetapi, negara juga harus mampu
menjamin tidak ada warganya yang terlanggar hak-haknya oleh warga yang lain
dalam menjalani kehidupannya. Jadi, dalam hal ini negara juga diharapkan
mampu melindungi warganya yang “lemah”. Dengan demikian, Indonesia
sebagai negara-bangsa, tak hanya tercermin dalam satuan-satuan sosial
berdasarkan orientasi sukubangsa, agama, afiliasi politik, kebudayaan, dan
lainnya yang berbeda satu sama lain – yang terikat dan terstruktur dalam satu
sistem nasional, tetapi juga terstratifikasi secara sosial-ekonomi-politik.
Artinya, “satuan-satuan sosial” yang menjadi bagian dari Indonesia itu
tidak hanya terdiri dari satuan sosial yang berbeda ras, sukubangsa, bahasa,
kebudayaan, dan agama secara horisontal, melainkan juga secara vertikal
berdasarkan daya-saing dan daya-adaptasinya, sehingga tampak ada satuan-
satuan sosial yang lebih dominan atas satuan sosial yang lain.
Berdasarkan hal ini, maka keberagaman masyarakat Indonesia tidak
cukup hanya dipahami secara horisontal. Justru yang terpenting, adalah
dimensi vertikal karena perbedaan daya-saing dan daya-adaptasi (baik dari
segi teknologi, sosial, ekonomi, maupun politik) dapat mengakibatkan satuan
sosial yang relatif lebih lemah termarjinalkan. Perbedaan daya-saing dan daya-
adaptasi mengakibatkan adanya perbedaan dalam kemampuan mengakses
berbagai kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Perbedaan daya-adaptasi dan daya-saing ini dapat mengakibatkan suatu
kesatuan sosial tertentu tidak mungkin bersaing dengan kesatuan sosial yang
memiliki daya-saing dan daya-adaptasi yang lebih tinggi (timpang). Aspek
“persaingan” inilah yang sering terlupakan seperti yang terjadi di era Orba. Hal
ini ternyata masih terulang di era Reformasi - seperti terdominasinya penduduk
lokal oleh para pendatang di beberapa daerah tertinggal. Melepas begitu saja

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 28
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

kesatuan/golongan masyarakat yang timpang daya-saing dan daya-


adapatasinya ini ke dalam “persaingan bebas” (apalagi di era global saat ini)
sama saja dengan menabur benih konflik, sebab akan melahirkan rasa
ketidakadilan dan terganggunya kesejahteraan pihak golongan sosial yang
lemah – terganggunya rasa “kebersamaan untuk membangun masa depan
bersama”. Pada akhirnya, hukum dan peraturan yang ada dipahami sebagai
bentuk ketidakadilan. Rasa “ketidakadilan subyektif” ini bisa memicu konflik
sosial –“perlawanan” atau “resistensi” – dan mengancam integrasi bangsa,
serta tidak mustahil mengarah pada gerakan separatisme seperti yang terjadi di
Papua.
Konsekuensi lainnya, ketimpangan daya-saing dan daya-adaptasi ini juga
mengakibatkan menguatnya sentimen primordial yang berlebihan–
menganggap kesatuan/golongan sosial yang lain tidak berhak untuk hidup dan
tinggal di wilayahnya. Demikian halnya dengan fenomena mencuatnya isyu
putra daerah di berbagai wilayah di era otonomi daerah (Otda) dan Pemilu
langsung saat ini. Otda yang pada awalnya dirancang bertujuan untuk
mengatasi ketidakmerataan pembangunan (percepatan kesejahteraan daerah),
akhirnya dipahami sebagai pembagian kekuasaan – seperti negara dalam
negara. Pemilu pun cenderung dipahami secara sempit, hanya sekedar sebagai
ajang perebutan kekuasaan. Dampaknya, warga setempat (native)
menganggap bahwa warga pendatang tidak berhak untuk hidup dan tinggal di
wilayahnya. Tidak hanya itu, tetapi juga melahirkan pertentangan Pusat-
Daerah. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara-bangsa berbeda dengan
Amerika Serikat (AS) meskipun sama-sama sebagai bangsa yang plural, sebab
mayoritas warga AS adalah pendatang. Sedangkan Indonesia, mayoritas
warganya terdiri dari kesatuan-kesatuan sosial yang secara budaya memiliki
teritori geografis/wilayah – masing-masing mempunyai “hak wilayah/adat” atau
“kampung halaman” yang sudah turun-temurun sebelum NRI berdiri.
Selain itu, Indonesia sebagai negara-bangsa yang plural, dalam konteks
upaya memelihara, menjaga integrasi bangsa (eksistensinya), tentunya
mempunyai kendala atau tantangan yang tidak hanya datang dari persoalan
dalam negeri, tetapi juga dari luar (dunia internasional - global) – di mana
keduanya saling mempengaruhi satu sama lain - yang membawa konsekuensi

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 29
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

pada masalah integrasi bangsa atau eksistensi Indonesia sebagai negara-


bangsa yang plural. Dengan perkembang teknologi informasi dan komunikasi di
era digital saat ini yang sedemikian dahsyat, di mana semua entitas di dunia
sudah saling terkoneksi. Saling berbagi dan saling sosialisasi unsur-unsur
kebudayaan dalam berbagai bidang kehidupan terjadi dalam “kesegeraan dan
keserempakan” (fenomena dunia mengecil). Dalam gerak lintasbudaya ini
terjadi berbagai pertemuan antar-budaya (cultural encounters) yang sekaligus
mewujudkan proses saling-pengaruh dan saling-adopsi unsur-unsur budaya –
tak hanya hasil-hasil budaya seperti teknologi, barang, dan lain-lain, tetapi juga
nilai- nilai.
Ketika nilai-nilai demokrasi melanda dunia dan menyentuh sampai pada
tingkat individual. Kita menyaksikan gerakan demokratisasi dan perjuangan hak
asasi manusia (HAM) muncul dimana-mana. Di satu sisi memang bisa
membawa dampak positif bagi ketatanegaraan menuju good governance,
demokratis, dan tegaknya HAM. Tetapi, di sisi lain, juga bisa terjadi sebaliknya
ketika gelombang demokrasi itu masuk ke Indonesia di saat pembangunan
belum adil dan merata bagi semua wilayah dan golongan sosial – justru akan
menguatkan sentimen primordial sehingga berdampak pada melemahnya
kesadaran terhadap ideologi dan nasionalisme. Kita menyaksikan lahirnya
Perda dan peraturan dalam kehidupan masyarakat, bahkan peraturan sekolah
yang diskriminatif, di berbagai daerah – yang semuanya itu atas nama
“demokrasi”. Namun, Pemerintah/Negara (termasuk lembaga tinggi negara)
sepertinya tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi kondisi tersebut karena
terkendala oleh UU/Peraturan yang lahir di era Reformasi. Dari hasil beberapa
kajian menunjukkan bahwa sikap intoleransi di Indonesia terus meningkat dan
bahkan sudah ada gerakan yang berupaya mengganti ideologi negara . Untuk
itu, negara harus mempunyai perhatian khusus terhadap persoalan ini.
Selain globalisasi nilai-nilai demokrasi, proses integrasi bangsa juga
dipengaruhi oleh karakter wilayah geografis negara Indonesia yang merupakan
wilayah kepulauan. Dengan masih terkendalanya masalah interkonektivitas
antar wilayah/pulau menyebabkan proses pembangunan kesadaran
kebangsaan (nation building) juga terkendala, yang tentunya akan menjadi
kendala pula terhadap masalah integrasi bangsa. Kesatuan sosial dari berbagai

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 30
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

wilayah di Indonesia, baik wilayah daratan maupun wilayah kepulauan yang


mengalami keterisoliran akan merasa mengalami “ketidakadilan” atas perhatian
negara. Sebab, dengan “keterisoliran” mendatangkan konsekuensi
keterlambatan pertumbuhan kesejahteraan, meningkatnya living cost,
melemahnya bargaining position dalam segala bidang kehidupan. Selain itu,
belum terkoneksinya antar satuan wilayah dan sosial, membuat “darat, laut, dan
udara” justru menjadi “pemisah”, sehingga negara tidak mungkin menanamkan
nilai-nilai perbedaan dalam kesatuan dan kesetaraan jika mereka tidak pernah
mengenal atau berinteraksi dengan saudara sebangsanya yang berbeda
dengan dirinya. Sebab, untuk mencapai masyarakat yang Tunggal Ika,
diperlukan proses “interaksi” (katalis) sehingga bisa terjalin “hubungan sosial”
antar warga Indonesia – senada dengan pendapat Yudi Latif bahwa
konektivitas antar wilayah:
“Lebih dari sekadar kepentingan ekonomi, integrasi nasional dan
kemajuan bangsa memerlukan prasyarat perluasan dan pemerataan
pembangunan fisik. Konektivitas fisik yang lebih ekstensif dan intensif akan
memudahkan interaksi sosial yang menjadi katalis bagi integrasi nasional.
Pembangunan infrastruktur fisik yang lebih luas dan merata bisa melancarkan
lalu lintas perekonomian dan mengembangkan pusat-pusat perekonomian baru,
yang dapat meluaskan pemerataan ekonomi yang mengarah pada keadilan
sosial yang dapat menguatkan perasaan persemakmuran bersama”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upaya negara untuk
memenuhi keadilan golongan sosial (mengatasi ketidakadilan atas
warga/golongan sosial), sudah seharusnya dilihat sebagai bagian penting dari
proses integrasi bangsa (perbedaan dalam kesetaraan-sebagai inti dan
pengikat), sebab mendorong tumbuhnya atau menguatkan kesamaan rasa
dimiliki dan memiliki (sense of belonging).

4. Pengertian Indonesia Sebagai Negara Hukum

Indonesia sebagai negara-bangsa yang plural, ditandai dengan


keberagaman kesatuan sosial dengan aturan-norma-hukumnya masing-
masing. Oleh karenanya, dalam menjalankan roda pemerintahan, negara tidak
bisa menggunakan aturan norma-hukum dari kesatuan/golongan sosial
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 31
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

tertentu, tetapi harus mempertimbangkan keberagaman aturan-norma-hukum


(pluralisme hukum) yang ada, agar tidak melanggar “keadilan subyektif”
golongan sosial yang ada. Berdasarkan hal ini, maka kehidupan bermasyarakat
dan bernegara (ketertiban sosial) diperlukan adanya kepastian hukum yang
mampu menjamin keadilan semua warga negara dan juga untuk menghindari
terjadinya perbuatan main hakim sendiri. Sebab, pada tataran praksis akan
menimbulkan potensi konflik jika tidak sesuai dengan keadilan masyarakat.
Namun, ketika Indonesia merdeka (berdiri), Indonesia sebagai sebuah
negara belum memiliki hukum yang bersumber dari tradisi/kebudayaannya
sendiri (dari berbagai aturan-norma-hukum yang ada – yang berskala nasional)
sehingga negara memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan
pemerintah kolonial Belanda. Persoalannya adalah hukum warisan kolonial
Belanda tersebut belum tentu sejalan dengan rasa keadilan masing-masing
kesatuan/golongan sosial yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat dalam judicial
review yang pernah dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2003 – 2017
ada 567 kasus/pasal atas permintaan masyarakat dengan alasan melanggar
hak-hak warga negara yang dijamin UUD NRI 1945 dan 336 pasal tersebut
diterima oleh MK. Artinya, ada 336 pasal (59,26% dari yang diajukan judicial
review) yang diputuskan tidak sejalan atau melanggar hak-hak warga negara.
Kedua, berbicara masalah hukum di masyarakat plural seperti Indonesia,
yang perlu mendapat perhatian adalah adanya kenyataan bahwa baik hukum
adat, hukum agama atau hukum nasional belum tentu semua aturan yang ada
dalam hukumhukum tersebut sejalan. Permasalahan berikutnya, beragam
hukum yang ada tersebut juga belum tentu sejalan dengan HAM. Bahkan di
beberapa kasus kebijakankebijakan pemerintah atau negara dikecam
melanggar HAM. Sementara di lain pihak, yang dihadapi oleh warga
masyarakat adalah ketidaktahuan akan hukum nasional dan HAM, termasuk
negara atau pemerintah yang seringkali ‘gamang’ terhadap persoalan-
persoalan HAM, karena membutuhkan interpretasi untuk memahami dan
menerapkannya.
Kenyataan lain, sampai saat ini warga masyarakat melihat pranata hukum
nasional masih sebagai sesuatu yang asing dan menakutkan – dilihat sebagai
pranata yang fungsinya adalah mencari-cari kesalahan warga dan hanya untuk

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 32
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

menghukum warga (lihat Suparlan, 2007). Hal serupa juga dialami oleh
pemerintah atau negara yang ‘gamang’ terhadap persoalan-persoalan HAM
dalam bertindak atau mengambil keputusan atau kebijakan tertentu. Tentu saja
persoalan ini harus segera diatasi.
Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, maka perlu dilakukan
pembenahan dan pembinaan sistem hukum tersebut. Hal ini adalah wajar-wajar
saja, sebab dalam semua sistem hukum yang ada didunia merupakan sistem
hukum terbuka, yang harus mampu mengakomodasi perkembangan yang
terjadi dalam masyarakatnya. Namun, nasionalisasi sistem hukum tersebut
tidaklah mudah. Hal ini memerlukan proses yang panjang (waktu). Tetapi,
setidaknya negara dalam menjalankan roda pemerintahan diharapkan selalu
mempertimbangkan beragam hukum yang ada sehingga mampu menjamin
keadilan subyektif masing-masing kesatuan/golongan sosial, dan secara
simultan sekaligus melakukan pembenahan dan pembinaan sehingga hukum
nasional seiring berjalannya waktu semakin mampu menjamin keadilan semua
golongan sosial. Oleh karena itu pula, dalam konteks penegakan hukum,
hukum itu sendiri harus otonom (bebas dari pengaruh apapun dan siapapun –
penguasa pun harus menjalankan hukum tersebut) sehingga bisa memberikan
kepastian hukum (sebagai pedoman dan rambu-rambu yang pasti) dan mampu
menjamin keadilan termasuk mencegah terjadinya perbuatan main hakim
sendiri - selain persoalan “aturan main” (isi/pasal-pasal dalam UU – apakah
sudah memenuhi keadilan semua pihak dan sesuai dengan HAM). Sebab, jika
hukumnya sendiri belum memenuhi keadilan (diskriminatif), maka penegakan
hukum sama halnya dengan menegakkan “ketidakadilan”.
Sementara itu, Indonesia sebagai negara hukum, sebelum sistem
hukumnya mampu menjamin keadilan semua golongan sosial, maka setidaknya
selama proses pembenahan dan pembinaan sistem hukum Indonesia, negara
harus menegakkan Hak-hak Asasi Manusia (hak-hak dasar universal) sehingga
setidaknya negara mampu menjamin keadilan warganya secara individual
(perorangan) atau mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak dasar universal
setiap warganya tanpa kecuali. Sebab, salah satu ciri pokok dalam negara
hukum adalah adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
(HAM) yang diatur dalam undangundang.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 33
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi Indonesia sebagai negara-


bangsa yang plural menunjukkan bahwa kita belum terintegrasi sebagai satu
bangsa. Tentunya kondisi ini sangat membahayakan (mengancam) eksistensi
Indonesia sebagai negara-bangsa yang plural. Masyarakat Indonesia ternyata
masih terkotakkotak, belum terintegrasi satu sama lain menjadi satu bangsa.
Hubungan sosial antar golongan diwarnai ketidak-saling percayaan (penuh
curiga satu sama lain) sehingga masyarakat menjadi mudah terprovokasi dan
rawan terjadi konflik sosial. Untuk itu, pembangunan hukum dan HAM harus
dilaksanakan bersama-sama secara selaras, serasi dan seimbang. Dengan
kata lain bahwa pembenahan dan pembinaan – termasuk penegakkan hukum -
haruslah dilaksanakan dengan tetap menghormati dan menegakkan prinsip-
prinsip hak asasi manusia .
Apa pun persoalan yang dihadapi, dalam hal ini, pihak Pemerintah atau
Negara harus bertanggung jawab atas keberadaan semua kesatuan/golongan
sosial beserta aturan-norma-hukum yang dimilikinya. Bagaimana pun juga
aturan atau hukum negara harus memayungi semua hukum-hukum yang ada di
wilayah Indonesia – tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dasar
dan Hak Asasi Manusia tanpa harus mengorbankan kepentingan kesatuan-
kesatuan atau golongan-golongan sosial yang ada – integrasi bangsa. Oleh
karena itu, Kepolisian sebagai representasi negara harus memberikan
perhatian khusus pada persoalan-persoalan “keadilan kesatuan/golongan
sosial” (pluralisme hukum) dan HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 34
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

BAB V
“PERSAMAAN DAN PERBEDAAN” DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

Kompetensi Dasar:
Menganalisis persamaan dan perbedaan dalam kehidupan sosial.

Indikator Hasil Belajar:


1. menguraikan persamaan dan perbedaan dalam kehidupan sosial.
2. menguraikan pengertian politik identitas.
3. menguraikan jaringan sosial: persamaan dan perbedaan.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 35
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

1. Persamaan Dan Perbedaan Dalam Kehidupan Sosial

Hingga kini, banyak orang berpendapat bahwa konflik dilatarbelakangi


oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu/kelompok dalam suatu interaksi
sosial. Perbedaan-perbedaan tersebut di antaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat-istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Berpijak pada dasar pemikiran ini, mereka berasumsi bahwa konflik
dianggap sebagai sebuah situasi yang wajar dalam setiap kehidupan
masyarakat. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan masyarakat lainnya, sehingga mereka berkesimpulan bahwa konflik
hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konsekuensinya, membuat banyak ahli yang berpendapat bahwa konflik juga
berfungsi sebagai proses integrasi sosial – yaitu sebagai bagian dari proses
dialektika dalam proses mencapai keteraturan baru yang lebih baik
(kualitasnya). Jika benar demikian, apakah “perbedaan” memang merupakan
sumber konflik sehingga konflik akan hilang bersama hilangnya masyarakat
manusia - sehingga perbedaan harus dihilangkan agar masyarakat bisa hidup
damai?
Kerjasama dan Persaingan Adalah Sebuah Kodrat Dalam Kehidupan
Manusia Semua mahkluk hidup menghadapi masalah dasar yang sama yaitu
masalah “bagaimana mampu menjaga dan mempertahankan kelangsungan
hidupnya”- eksistensinya (Haviland, 1988). Berdasarkan hal ini, maka secara
tak langsung bisa dikatakan bahwa semua mahkluk hidup mempunyai
kebutuhan-kebutuhan dasar yang sama – yang bersifat universal – yaitu
mempunyai sebuah kebutuhan yang tak bisa ditawar agar kelangsungan
hidupnya tetap terpelihara. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan-kebutuhan
organisma sebagai mahkluk biologi sebab mati atau hidupnya organisma
secara absolute adalah ditandai dengan matinya mereka sebagai mahkluk
biologi. Oleh karena itu, sepanjang sejarah kehidupan manusia - hingga hari ini
- bahwa kebutuhan biologi tetap menjadi perioritas utama umat manusia.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupanya agar bisa menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia juga dituntut untuk

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 36
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

mengembangkan pedoman-pedoman untuk menjalani kehidupannya (manusia


sebagai mahkluk budaya), yaitu:
a. Bagaimana memanfaatkan lingkungannya (baik lingkungan biotik dan
abiotik) – bagaimana memperoleh dan menentukan jenis makanan, cara
makan dan seterusnya;
b. Bagaimana agar sumber pangan/energi itu selalu cukup tersedia sehingga
manusia mempunyai jaminan atas kelangsungann hidupnya ke depan
(etnokonservasi);
c. Bagaimana mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya; - Dan
seterusnya
Selain itu, manusia juga tidak bisa melakukannya seorang diri untuk
memenuhi kebutuhan dirinya agar tetap bisa menjaga kelangsungan hidupnya.
Ia memerlukan keberadaan atau bantuan orang lain- sebagai misal untuk
mempertahankan keturunan (reproduksi – agar umat manusia tidak punah),
maka ia membutuhkan manusia lain sebagai “pasangan”nya (suamiistri). Oleh
karena itu, - mau tak mau – manusia harus membina kerjasama (membangun
hubungan sosial) dengan manusia lainnya, yang pada akhirnya manusia
membentuk satu kesatuan sosial (manusia sebagai mahkluk sosial). Oleh
karena itu pula dalam kehidupannya, manusia selalu hidup mengelompok,
sehingga ia tak hanya peduli untuk menjaga kelangsungan hidup pribadi, tetapi
juga kelangsungan hidup kolektifnya.
Dengan demikian, manusia mempunyai kebutuhan (dasar), yaitu
kebutuhan hidup sebagai mahkluk biologi, sosial dan budaya untuk menjaga
kelangsungan hidupnya. Namun, meskipun manusia sebagai mahkluk biologi-
sosial-budaya, proses pemenuhan kebutuhan dalam rangka menjaga
kelangsungan hidupnya, tak selamanya harus melalui kerjasama.
Ketika “sesuatu” yang menjadi kebutuhan hidup, ketersediaannya tidak
mencukupi (langka/terbatas) untuk mengcover semua kebutuhan dari sejumlah
manusia yang memerlukannya, maka yang terjadi adalah persaingan. Oleh
karena itu, “sumberdaya” didefinisikan oleh para pakar sebagai “segala
sesuatu” yang menjadi kebutuhan hidup – yang ketersediaannya terbatas atau
langka. Konsekuensinya, ketika “sesuatu” itu ketersediaannya tidak terbatas
atau berkelimpahan, manusia tidak menganggapnya sebagai “sumber daya” –

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 37
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

nilainya relatif terabaikan. Oleh karena itu pula, persaingan dipahami sebagai
sebuah proses perjuangan untuk memperoleh sesuatu yang berharga dan
jumlahnya terbatas, yang dilakukan oleh dua pelaku atau lebih (individual atau
kolektif).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam rangka menjaga
kelangsungan hidupnya – proses pemenuhan kebutuhan – manusia harus
melalui kerjasama-persaingan dengan manusia lainnya – sehingga kerjasama-
persaingan adalah hal yang wajar (kodrat) dalam kehidupan sosial manusia.
Sementara itu, di sisi lain, kerjasama-persaingan dalam kehidupan manusia
sebenarnya tergantung pada masalah “ketersediaan” sumberdaya yang
dibutuhkan – apakah ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan tersebut
mampu memenuhi semua manusia yang memerlukannya atau tidak? Oleh
karena itu, dalam kerjasama-persaingan ada “aturan main” – semacam
kesepakatan bersama, yang selalu dievaluasi secara bersama oleh para pelaku
yang terlibat di dalamnya (rekonstruksi dan reproduksi “aturan main”) secara
terus menerus.
Dengan berpegang pada kerangka pikir bahwa semua organisma
mempunyai masalah mendasar/pokok yang sama, yaitu masalah kelangsungan
hidup (eksistensi), maka - ketika pemenuhan kebutuhan tersebut terganggu
akan menimbulkan potensi konflik - sebab kelangsungan hidupnya
(eksistensinya) akan terganggu. Dengan kata lain, bila kerjasamapersaingan
tersebut terganggu, maka perselisihan atau potensi konflik pun tak dapat
dihindari (karena jika pemenuhan kebutuhan terganggu maka kelangsungan
hidupnya juga akan terganggu). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
konflik sebenarnya adalah sebuah produk/hasil dari proses kerjasama-
persaingan yang terganggu dalam kehidupan manusia. Maka secara tak
langsung, dapat dikatakan pula bahwa konflik (sosial) sesungguhnya tidak
terjadi secara tiba-tiba atau spontan, tapi merupakan sebuah “proses”.
kerjasama-persaingan terganggu → perselisihan → konflik
Dengan demikian, konflik menjadi wajar dalam kehidupan manusia ketika
masalah kerjasama-persaingan tidak dapat dikelola dengan baik (mampu
menjamin keadilan subyektif semua pihak dan mampu menjamin kerjasama-
persaingan tetap sesuai “aturan main”.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 38
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Konsekuensinya, jika demikian, maka yang namanya “persaingan” itu


tidak sama atau berbeda dengan “konflik”. Oleh karena itu, dalam konflik,
seringkali tujuan masing-masing pihak juga sudah berubah, bukan lagi sebagai
upaya memperjuangkan “sumberdaya” yang sedang diperebutkan. Melainkan,
berubah menjadi “kehancuran lawan” sebagai target/tujuan utamanya (merasa
menang jika lawannya tak berdaya/hancur). Oleh karena itu pula, dalam konflik
tampak tidak ada atau mengabaikan “aturan main”. Dengan demikian, sekali
lagi, berdasarkan kerangka pikir ini maka bisa disimpulkan bahwa “persaingan
dan konflik” adalah dua hal yang berbeda.
Demikian juga degan masalah “konflik sebagai pengintegrasi sosial”, jika
konflik yang terjadi adalah dalam rangka menghadapi kesatuan sosial lain
(konflik dengan masyarakat/bangsa lain), seperti Israel-Palestina; atau
Indonesia melawan Malaysia. Baik Israel mau pun Palestina atau Indonesia dan
Malaysia, dengan adanya konflik di antara mereka (Israel-Palestina perebutan
tanah air; dan Indonesia dan Malaysia dalam perebutan hak budaya) akan
memperkuat “persatuan internal” (solidaritas internal) masing-masing pihak.
Berbeda jika konflik yang terjadi di dalam sebuah kesatuan
sosial/masyarakat/bangsa (konflik internal atau “perang saudara”), maka yang
terjadi adalah penghancuran sebuah masyarakat/bangsa – contohnya Rusia
dan Yugoslavia; atau perang saudara lainnya (seperti bangsa Indonesia di
jaman penjajahan Belanda).
Dalam proses kerjasama-persaingan, masing-masing pihak akan
mengaktifkan persamaan-perbedaan pada masing-masing pihak yang terlibat di
dalamnya. Artinya, baik dalam rangka kerjasama atau pun dalam rangka
persaingan, masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya bersama-sama
akan mengaktifkan persamaan-perbedaan yang ada pada diri mereka. Masing-
masing pihak akan mengaktifkan “persamaan-perbedaan” untuk membangun
solidaritas sosial kelompok (internal) – mengalir melalui rangkaian pasangan
diadik - sehingga batas-batas sosial pun menjadi tegas – kami vs mereka
melalui “persamaan perbedaan” yang diaktifkan tersebut. Hanya saja, sebagai
akibat dari adanya anggapan selama ini bahwa “persaingan” selalu dikaitkan
dengan atau dianggap sebagai biang keladi dari lahirnya “konflik”, maka apabila
ada sebuah konflik, pastinya akan disimpulkan adalah akibat dari sebuah

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 39
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

persaingan yang terganggu. Artinya, konflik, tidak harus berawal dari sebuah
persaingan, tetapi bisa juga terjadi sebagai akibat dari sebuah kerjasama yang
terganggu.
Dalam konflik sosial, identitas personal berubah menjadi identitas kolektif
(identitas sosial – jaringan sosial). Dengan kata lain, konflik sosial adalah konflik
antar golongan sosial – bisa atas kategori sukubangsa, keyakinan agama,
ideologi dan seterusnya dari para pihak yang sedang terlibat konflik (satu
muatan sosial membentuk satu jaringan sosial). Oleh karena itu dalam konflik
sosial (konflik antar golongan sosial/kategori sosial – muatan sosial) akan
terjadi proses atau upaya pengahancuran atribut-atribut dari kategori/golongan
sosial lawan (apapun dan siapapun – bahkan kerabat sekalipun) – yang dilihat
bukan lagi orang atau aktornya, tapi atribut atau kategori sosialnya. Dengan
demikian, akar permasalahan dari sebuah konflik sosial, bukanlah karena
perbedaan – meskipun mereka mengaktifkan “persamaan-perbedaan”
kesukubangsaan atau keyakinan agama. Bukan karena berbeda sukubangsa
atau keyakinan agamanya (atau perbedaan lainnya), melainkan karena atau
akibat dari terganggunya pemenuhan kebutuhan hidup (kebutuhan biologi-
sosial-budaya dalam rangka menjaga kelangsungan hidup - eksistensi) –
terganggunya proses kerjasama persaingan.
Lebih jauh, perbedaan adalah kodrat. Tidak ada masyarakat yang benar-
benar homogen atau tidak terstratifikasi (karena kelangkaan sumberdaya atau
belum terjaminnya kesejahteraan seluruh umat manusia). Oleh karena itu,
perbedaan kesejahteraan (kesenjangan sosial) juga adalah wajar – tak bisa
dihindari. Sebagai misal, dalam satu area pemukiman biasanya terdiri dari
warga yang kaya dan miskin atau dengan status sosial yang berbeda-beda
(stratifikasi sosial), tetapi mereka tidak konflik. Jika perbedaan status sosial
atau kesenjangan sosial adalah penyebab konflik, maka mereka tidak akan
pernah hidup bersama seperti yang kita saksikan hari ini. Demikian halnya
dengan kehidupan yang lebih luas – dunia. Dunia tidak pernah ada kedamaian
hingga musnahnya umat manusia karena setiap hari harus konflik dengan
sesamanya (manusia lainnya) yang berbeda dengan dirinya. Sebagai contoh,
apakah jika kita melihat ada korban kecelakaan di jalan, kita bertanya dulu pada
korban – “anda sukubangsa apa atau agamanya apa? Baru kita menolongnya;

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 40
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

atau saat akan berbelanja ke pasar, apakah kita bertanya kepada penjual
dengan pertanyaan serupa – “Ibu atau Bapak dari sukubangsa apa? Agamanya
apa? Baru kita memutuskan untuk membeli barang yang kita perlukan atau
tidak? Kita selalu mengkonsumsi produk-produk dalam kehidupan kita, yang
kita tak pernah ingin tahu siapa yang memproduksi semua itu. Justru
sebaliknya, kita bekerja pada perusahaan atau institusi yang sama dengan latar
belakang yang berbeda satu sama lain, dan tidak terjadi konflik. Kita bisa
berteman dan saling bekerjasama.
Jadi, sekali lagi, kerjasama-persaingan adalah sesuatu yang wajar dalam
kehidupan manusia – bukan konflik. Demikian juga bahwa perbedaan bukanlah
sumber konflik, tetapi masalah kerjasama-persaingan dalam kehidupan
manusia yang terganggu sehingga kelangsungan hidup manusia terganggu.
Dengan demikian, yang namanya “persaingan” tidak seharusnya ditakuti
atau dicegah dan dilarang, sebab persaingan mempunyai fungsi untuk
meningkatkan daya-adaptasi dan daya-saing, serta integrasi sosial (internal –
our circle). namun,yang harus dicegah adalah konflik - konflik sosial – karena
konflik sosial mengakibatkan kehancuran (kerugian materiil dan non-materiil) –
dan tidak jarang mengakibatkan rusaknya sarana dan prasarana sehingga
kehidupan sosial menjadi “lumpuh”. Oleh karena itu pula, kita tidak seharusnya
mengelola konflik (konflik sosial), tapi mengelola potensi konflik agar tidak
menjadi konflik sosial.

2. Pengertian Politik Identitas

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa kerjasama-persaingan


adalah wajar dalam kehidupan manusia, maka masalah pengaktifan
persamaan-perbedaan “identitas kolektif” untuk mendapatkan dukungan
“kolektif” juga wajar seperti membentuk asosiasiasosiasi dengan memanipulasi
atau mengaktifkan “persamaan-perbedaan” yang melekat pada dirinya guna
mendapatkan dukungan kolektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Namun, ketika tujuan dari pengaktifan persamaan-perbedaan tersebut tidak lagi
untuk tujuan sekedar memenangkan persaingan (menggalang dukungan sosial
– kerjasama ingroup), tetapi cenderung untuk meniadakan kesatuan/golongan
sosial berbeda tertentu yang menjadi targetnya, maka pengaktifan persamaan-
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 41
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

perbedaan tersebut menjadi berbahaya karena akan rawan terjadinya konflik


sosial. Untuk itu, pengaktifan persamaan-perbedaan yang seperti itu, jika kita
perhatikan muatan sosial dibalik persamaan-perbedaan yang diaktifkan -
mengandung sikap intoleran (membangkitkan sikap intoleran). Sementara itu,
intoleransi itu sendiri adalah hulu teorisme (fisik atau pun non-fisik seperti
ketakutan). Jarak antara mereka bisa dibilang hanya setarikan nafas.
Intoleransi adalah ideologi yang menggalang afeksi kolektif sehingga mampu
menggalang dan memobilisasi emosi komunal . Oleh karena itu, umumnya
politik identitas yang dilarang (yang dimaksud) adalah pengaktifan
persamaanperbedaan untuk tujuan “meniadakan” kesatuan/golongan sosial
yang lain.
Selain itu, pengaktifan persamaan-perbedaan primordial seperti etnik/ras
atau keyakinan agama (SARA), akan berbeda dampaknya dengan pengaktifan
persamaanperbedaan (kategori sosial) lainnya, sehingga perlu mendapat
perhatian serius. Sebab, konsepsi tentang eksistensi manusia yang hakiki
bersumber pada kebudayaan sukubangsa/ras yang umumnya bersumber pada
keyakinan agama masyarakat yang bersangkutan (keyakinan adalah inti
kebudayaan yang mengikat semua unsur kebudayaan) sehingga manusia rela
berkorban jiwa dan raga18. Memang, sentimen etnik/ras dan keyakinan agama,
di satu sisi memproduksi dan mensosialisasikan ide ‘kebaikan’ pada
anggotanya, tetapi di sisi yang lain bisa menutup nalar atau sikap kritis mereka
sehingga bisa menghadirkan sikap intoleran yang ekstrim kepada yang berbeda
dengan dirinya – jika ditujukan untuk “menghancurkan atau meniadakan”
kategori sosial yang berbeda. Demikian pula dengan kasus puritanisme (ajaran
kemurnian), ortodok atau konservatif. Oleh karena itu pula, politik identitas
(mengaktifkan sentimen SARA) banyak dilarang diberbagai negara karena
mahalnya konsekuensi yang ditimbulkan pada kehidupan sosial.
Selain itu, politik identitas ini (yang lahir secara alamiah – bukan rekayasa
pihak ketiga) biasanya hadir sebagai narasi resisten golongan sosial yang
terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan
mereka; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi
penyuaraan aspirasi bagi yang merasa mengalami ketidakadilan (merasa
secara subyektif tertindas), sehingga bisa menjadi “peringatan dini” (early

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 42
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

warning) bagi negara/pemerintah – seperti kasus masyarakat Jawa Tondano


misalnya. Pengaktifan persamaan-perbedaan primordial hanya mereka
gunakan untuk tujuan memelihara dan menjaga eksistensinya – bukan untuk
menghancurkan atau meniadakan kesatuan/golongan sosial yang lain. Tetapi
kenyataannya, pada tataran individual pada umumnya muncul ‘kegagapan’
untuk memahami struktur masyakarat yang plural. Dampaknya adalah lahirnya
sikap intoleran yang ekstrim sebab manusia mampu membunuh manusia lain
demi keyakinan agamanya atau sentimen primordial lainnya seperti
sukubangsa, ras atau pun negara. Tentu saja hal ini sangat membahayakan
integrasi nasional sebuah bangsa.
Untuk itu, negara/pemerintah harus bijak menyikapi fenomena
menguatnya identitas sosial (batas-batas sosial – terutama identitas primordial)
sehingga mampu mencegah terjadinya konflik sosial dan mengidentifikasi akar
masalah di balik menguatnya batas-batas sosial tersebut sehingga diperoleh
solusi tanpa mengorbankan “keadilan subyektif” kesatuan/golongan sosial yang
ada (masyarakat). Sebagai contoh adalah kasus konflik yang terjadi di Timur-
Tengah yang seringkali pengaruhnya hingga ke dalam negeri. Tetapi, konflik
tersebut masuk ke Indonesia berubah menjadi konflik antar keyakinan agama.
Jika kita perhatikan, konflik sosial di Timur-Tengah sangat dipengaruhi oleh
dinamika hubungan antara Arab Saudi dan Iran. Konflik sosial antara Arab
Saudi dan Iran ini berkembang seoalah-olah identik dengan konflik Suni-Syiah -
seolah-olah karena perbedaan keyakinan agama (sekte atau aliran). Namun,
jika kita perhatikan dengan seksama dari koalisi yang terbentuk dalam konflik
tersebut, Arab Saudi didukung oleh Amerika Serikat, Yordania dan negara
Barat lainnya; dan ada Rusia dibelakang Iran, maka sesungguhnya bukanlah
konflik antar keyakinan agama. Demikian juga dengan konflik Israel-Palestina
berkembang menjadi konflik agama Yahudi atau Kristen dengan Islam, padahal
warga Israel dan Palestina tersebut heterogen dalam keyakinan agama. Sekali
lagi, kenyataan ini menunjukkan bahwa konflik Timur-Tengah sesungguhnya
bukanlah karena perbedaan keyakinan agama.
Artinya, sentimen keyakinan agama ini sepertinya memang secara
sengaja dihembuskan (diaktifkan) untuk memperoleh dukungan sosial para
pihak yang sedang konflik (politik identitas). Sebab, sentimen keyakinan agama

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 43
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

sangat sensitif dan mudah untuk menggalang dukungan. Sebab, sentimen


(afeksi) ini sangat mudah menyebar dengan cepat, apalagi dengan dukungan
teknologi informasi dan komunikasi di era digital saat ini – segera dan serentak
menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia - yang salah satu
perwujudannya adalah perang proxy.
Untuk itu, perlu dipahami bahwa konflik tersebut bukanlah karena
perbedaan keyakinan agama (baik oleh negara mau pun warga masyarakat),
dan perlu mengidentifikasi sumber masalah sesungguhnya sehingga
pemerintah Indonesia bisa bersikap bijak dalam menghadapi konflik tersebut,
agar tidak terseret dalam politik identitas yang berkembang. Sebab, pengaruh
pergolakan politik di Timur-Tengah juga terasa di dalam negeri di mana telah
terjadi menguatnya batas-batas sosial keyakinan agama (menguatnya identitas
keyakinan agama), yang berkembang pada terjadinya intimidasi dan persekusi
antara Suni-Syiah di Indonesia. Tidak hanya itu, juga muncul kecenderungan
membangun solidaritas sesama kelompok atau golongan sosial atas dasar
keyakinan agama secara internasional (transnasional) untuk tujuan mendirikan
negara dunia (chauvinistic). Tentu saja hal ini bisa mengancam kepentingan
nasional bangsa.

3. Jaringan Sosial: Persamaan dan Perbedaan

Kembali pada berpikir Jaringan, kaitannya dengan masalah pengaktifan


masalah persamaan-perbedaan dalam rangka kerjasama-persaingan-konflik,
kita perlu melihat kembali bagaimana sebuah masyarakat dilihat dari sudut
pandang berpikir jaringan, seperti yang telah diuraikan dalam dasar-dasar
berpikir jaringan.
Masyarakat dari perspektif AJS, merupakan satu kesatuan sosial, yang
terbentuk dari serangkaian hubungan sosial – hubungan diadik yang akrab
(ikatan yang stabil) seperti sepasang suami-istri, sepasang kerabat, sepasang
teman, sepasang sahabat, atau sepasang tetangga – yang kompleks. Artinya,
jaringan sosial sebagai satu kesatuan sosial tidaklah terbangun oleh jaringan
hubungan sekedar saling kenal, tetapi membutuhkan hubungan yang
berkualitas (close relationship). Berpegang pada kerangka pikir ini, maka yang
namanya persamaan-perbedaan - ketika manusia harus bekerjasama atau
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 44
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

bersaing dengan manusia lain, ia akan menghubungi orang-orang yang


dianggapnya bisa membantunya untuk memperoleh dukungan sosial
(solidaritas sosial) – apalagi di saat sedang konflik. Semua itu terjadi dan
mengalir melalui rangkaian hubungan-hubungan diadik yang akrab tersebut.
Kita tidak mungkin berbagi kesedihan atau kegembiraan dengan
sembarang orang, tetapi kepada orang yang kita anggap akrab/dekat dengan
diri kita. Maka dari itu, musuh dari pasangan diadik adalah musuh dirinya,
begitu juga teman dari pasangan diadik berarti juga temannya. Oleh karena itu
pula, seringkali orang tidak terlibat dalam sebuah tindakan yang merugikan
orang lain bisa terkena getahnya, bahkan menjadi sasaran tindakan balas
dendam hanya karena ia mempunyai hubungan sosial
(berteman/bersahabat/bertetangga/bersaudara) dengan si pelaku. Tetapi, pada
kejadian yang lain, gerakan donasi atas tragedi kemanusiaan bisa dengan
cepat menyebar dan mampu menggerakkan aksi masyarakat luas. Semua itu,
kuncinya ada pada jaringan sepasang hubungan diadik yang akrab. Demikian
juga dengan masalah pengaktifan “persamaanperbedaan”. Mereka berbagi
sentiment persamaan-perbedaan dalam kerjasama-persaingankonflik yang
sedang dihadapinya.
Selain itu, manusia juga tidak selalu menggunakan semua hubungan
sosial yang dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya. Tetapi disesuaikan
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, dalam rangka
mencapai tujuannya, selalu menunjukkan konfigurasi jaringan hubungan
tertentu, yang berbeda dengan konfigurasi hubungan sosial untuk tujuan yang
lain. Misalnya, ketika kita membutuhkan buku, kita menghubungi atau
meminjam buku kepada A, D, G dan K; ketika ingin konsultasi bisnis kita
mendatangi E, F, I, M, dan O; ketika membutuhkan modal usaha, kepada C, N,
P, Q, R, T dan W; ketika ingin curhat masalah pribadi, kepada D, Y dan Z; dan
seterusnya. Di sinilah letak pentingnya, dengan AJS kita mampu memetakan
jaringan sosial – dari mana ke mana persamaanperbedaan itu mengalir,
sehingga bisa dilakukan mitigasi bencana konflik sosial (deteksi dini dan
memberhentikannya) agar kerjasama-persaingan yang berlangsung tidak
berubah menjadi konflik sosial.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 45
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Menguatnya batas-batas sosial (identitas kolektif) adalah sebuah tanda


yang bisa menjadi early warning bagi kita, bahwa sedang terjadi kerjasama-
persaingan atau proses pemenuhan kebutuhan golongan sosial tertentu yang
sedang terganggu. Dengan demikian bisa diidentifikasi masalah sesungguhnya
(terganggunya keadilan sosial subyektif golongan sosial tertentu) untuk dicari
solusinya. Masalah sesungguhnya, bukanlah masalah “perbedaan” identitas
kolektif/sosial, tetapi terganggunya keadilan subyekstif dalam proses
kerjasama-persaingan dalam kehidupan sosial. Selama sumber masalahnya
tidak terselesaikan, maka konflik sosial akan terus berlanjut, meskipun negara
sudah menghentikan konflik sosial tersebut – yang sebenarnya hanya
menghentikan konflik yang bersangkutan melalui cara represif, tapi sumber
masalahnya belum terselesaikan. Ibarat menyimpan api dalam sekam, yang
bisa kapan saja akan membara kembali secara tiba-tiba (tidak melalui proses
lagi, tetapi hanya butuh pemicu).

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 46
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

BAB VI
DASAR-DASAR BERPIKIR JARINGAN

Kompetensi Dasar:
Menganalisis berpikir jaringan.

Indikator Hasil Belajar:


menguraikan dasar-dasar pengertian berpikir jaringan

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 47
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Dasar-Dasar Pengertian Berpikir Jaringan


Individu atau sekumpulan individu sebagai anggota sebuah organisasi memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi dan mengarahkan pengambilan keputusan serta
lahirnya kebijakan-kebijakan organisasi atau mengubah struktur yang ada sebab
individu mempunyai kemampuan refleksi, yaitu kemampuan berpikir dalam
menghadapi realita sehingga dia bisa memantau dirinya, bisa memonitor apa yang
dirinya atau orang lain lakukan; selain itu individu bukanlah manusia yang selalu
patuh. Oleh karena itu, keputusan atau kebijakan yang lahir dalam sebuah organisasi
selalu merepresentasikan dual rasionalitas, yaitu rasionalitas individu atau
sekumpulan individu dan rasionalitas organisasi.
Dengan memfokuskan diri pada ikatan-ikatan di antara individu ketimbang/tidak
hanya kualitas yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan mendorong kita untuk
berpikir tentang ketidakleluasaan-ketidakleluasaan perilaku individual atau kolektif
sebab keberadaan seseorang tidaklah independen atau bebas dari ikatan-ikatan
sosial yang dimilikinya. Ketidakleluasaan itu inheren dalam caracara hubungan sosial
yang diorganisasikan. Meski hubungan-hubungan sosial yang terwujud belum tentu
disadari oleh para pelakunya, hubungan sosial yang terjadi itu sistematik; ada
pengulangan dalam kondisi dan situasi atau konteks yang sama. Di satu pihak, hal
ini menunjukkan bahwa satu konteks sosial (muatan sosial) membentuk satu jaringan
sosial (partial network) ; di pihak lain, adanya hukum kuasi atau logika situasional
atau ‘struktur sosial’ (Levi-Strauss menyebutnya dengan order of orders) - yaitu
regularitas yang operatif dalam ruang dan waktu tertentu yang mengatur atau
memberikan ketidakleluasaan-ketidakleluasaan atas tindakan, sikap dan perilaku
para anggotanya. Dengan demikian, memusatkan perhatian pada ikatanikatan
individu atau unit-unit sosial yang ada secara riil di dalam sebuah organisasi,
kompleksitas struktur dan perilaku organisasional dapat dipahami.
Berdasarkan hal ini maka tujuan penulisan buku ini adalah mencoba
memperkenalkan sebuah pendekatan atau menawarkan suatu sudut pandang yang
relatif baru di Indonesia, yaitu analisa jaringan sosial - dalam mengkaji kompleksitas
struktur dan perilaku organisasional guna memahami konflik, perubahan dan
pengendalian di dalam kehidupan organisasi. Selain itu juga bermanfaat untuk
memahami proses dan mekanisme lahirnya aturan-aturan yang berlaku nyata dalam
kehidupan organisasi; mengapa dan bagaimana aturan-aturan yang sudah

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 48
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

distrukturkan secara formal tidak berlaku sepenuhnya dalam kehidupan nyata


seharihari.
Untuk mencapai tujuan (dari penulisan buku) tersebut, maka susunan isi buku
ini kami bagi ke dalam enam bagian. Bagian pertama, berisi: (1) uraian tentang
jaringan secara umum dan apa yang dimaksud dengan jaringan sosial - sebagai
pengetahuan pengantar dalam memahami uraian-uraian selanjutnya; (2) uraian
tentang jaringan sosial kaitannya terhadap struktur sosial - dalam memberikan
ketidakluasaan atau membatasi tindakan, kelakuan dan sikap individu-individu
sebagai anggota jaringan sosial.
Bagian kedua adalah penjelasan mengenai bagaimana organisasi dilihat dari
sudut pandang analisa jaringan sosial, yang berisi: sejarah singkat perkembangan
berbagai pendekatan dalam kajian tentang organisasi sehingga analisa jaringan
sosial merupakan suatu pendekatan yang mampu mengisi kekurangan/kelemahan
pendekatan-pendekatan sebelumnya. Dengan demikian, signifikansi analisa jaringan
sosial dalam mengkaji kehidupan organisasi menjadi relevan.
Bagian ketiga merupakan penjelasan mengenai terjadinya differensiasi
kepentingan (interest) seperti perebutan rewards dan sumberdaya organisasi serta
lahirnya jaringan sosial dalam sebuah organisasi; jenis-jenis hubungan sosial yang
umumnya diaktifkan dalam rangka pencapaian kepentingan (differensiasi
kepentingan yang terjadi) - yang tanpa disadari aturan atau norma-norma yang
ditegakkannya membatasi atau memberi ketidakleluasaan dalam bertindak,
berperilaku dan bersikap bagi anggota jaringan sosial.
Untuk memahami apa yang telah diuraikan dalam bagian 1, 2 dan 3, bagian
keempat dalam buku ini disajikan dua contoh kasus, yaitu kasus penelitian di dunia
kerja organisasi PAB kota Menara dan Perusahaan TH kota Gerbang Barat. Dari 2
contoh kasus tersebut, penulis ingin menunjukkan bahwa bagaimana dan mengapa
bisa terjadi bahwa struktur sosial yang lahir dari jaringan sosial lebih dominan dari
struktur organisasi, atau sebaliknya. Dan, bila terjadi ketidak-sesuaian aturan-
normanilai jaringan sosial terhadap aturan-norma-nilai organisasi, apa dampaknya
terhadap sistem kontrol, monitoring dan koordinasi yang dibangun oleh organisasi -
untuk mengarahkan unit-unit sosialnya agar tetap mengarah kepada pencapaian
tujuantujuan/kepentingan organisasi. Penjelasan mengenai hal ini kami sajikan di
bagian kelima. Bagian terakhir berisi kesimpulan, yang memuat implikasi teoritik dari

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 49
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

analisa jaringan sosial dalam perkembangan selanjutnya mengenai


kemungkinankemungkinannya untuk menghasilkan teori-teori yang berlaku umum
atau general atas tindakan sosial.
Buku ini, tidak hanya bermanfaat bagi para mahasiswa atau dunia akademik,
tetapi juga bagi para praktisi atau pihak-pihak lain yang mempunyai perhatian pada
kajian-kajian mengenai kehidupan organisasi serta bagi para pekerja atau unit-unit
sosial yang ada dalam organisasi. Bagi para praktisi, pendekatan jaringan sosial
bermanfaat untuk selalu mengkaji-ulang dan mengantisipasi kemungkinan tidak
memadainya sistem kontrol, monitoring dan koordinasi (dengan mengenal dan
memahami sumberdaya-sumberdaya manusia) organisasi yang dipimpinnya demi
efisiensi pencapaian tujuan-tujuan atau target-target organisasi. Sedangkan bagi
para anggota organisasi (pekerja atau pegawai) dengan penggunaan pendekatan
tersebut mereka (secara tidak langsung) dianggap atau diperhitungkan tidak hanya
sebagai alat produksi atau alat pencapaian tujuan/target organisasi semata oleh
pimpinan mereka - melainkan sebagai manusia yang punya kehendak dan punya
kemampuan reflektif seperti dirinya. Hal ini merupakan salah satu kepentingan dari
penulisan buku ini, yaitu mengangkat harkat dan martabat mereka (pekerja atau
pegawai) sebagai manusia seutuhnya.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 50
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

BAB VII
BERPIKIR JARINGAN

Kompetensi Dasar:
Menganalisis system berpikir jaringan
Indikator Hasil Belajar:
1. menguraikan pengertian berpikir jaringan.
2. menguraikan cara kerja “jaringan sosial” sebagai sebuah frame of reference.
3. menguraikan Berpikir jaringan (analisis jaringan sosial – AJS) sebagai frame of
reference adalah sebagai sekumpulan nilai yang membentuk pola pikir
seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk
“pandangan subjektif “ seseorang.
4. membandingkan gambar teritori geografis dan teritori social.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 51
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

1. Pengertian Berpikir Jaringan

“Berpikir Jaringan” sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sudah lebih


seabad para ahli mengakaji jaringan sosial, seperti yang apa yang telah
dilakukan oleh Georg Simmel pada tahun 1908. Yang baru adalah jaringan
sosial berbasis teknologi (mikroelektronika). Perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi yang begitu dahsyat saat ini (era digital) memberi kemampuan
baru yang luar biasa pula terhadap bentuk lama dari organisasi sosial. Semua
ini terjadi berkat temuan Stanley Milgram, yang dikenal dengan phrasa six
degrees separation pada tahun 1967 – bahwa siapapun di dunia ini akan
terhubung satu sama lain dalam enam (6) rangkaian hubungan pertemanan.
Namun, temuan tersebut belum menghebohkan dunia pada saat itu
(banyak yang tak menyadarinya), meskipun Milgram telah menyatakan dengan
tegas bahwa “meskipun jarak geografis dan sosial di antara mereka (antar
pasangan hubungan sosial – siapapun) adalah jauh, sesungguhnya mereka
dekat dalam rangkaian hubungan sosial pertemanan”. Jarak fisik dan sosial
termampatkan di dalam rangkaian hubungan sosial. Jadi, sejak saat itulah
sebenarnya awal revolusi kehidupan sosial telah dimulai.
Ketika temuan Milgram tersebut diterapkan dalam teknologi komunikasi
berbasis internet, yang hasilnya melengkapi telpon dan postal sebagai sistem
yang available di mana jaringan sosial mampu menghubungkan dua (2) orang
di mana pun mereka berada melalui email, facebook, twitter, whatsApp, dan
lain-lain – cukup hanya melalui enam (6) pasang hubungan pertemanan di
dunia online – dalam hitungan detik. Dengan kata lain, apapun yang kita
lakukan di dunia maya atau online juga bisa disaksikan oleh siapapun melalui
email, facebook, twitter, whatsapp, instagram dan sejenisnya. Kejadian di
pelosok bumi di mana pun bisa disaksikan dalam waktu bersamaan. Siapapun
bisa saling berinteraksi satu sama lain. Jarak fisik dan sosial tak lagi menjadi
kendala – era Kesegeraan dan Keserempakan telah terjadi. Dengan koneksi
antar aktor atau akun yang stabil dalam dunia maya maka semua saling
terkoneksi - serba cepat dan mudah - seolah-olah kita tinggal dan hidup di
sebuah “desa global”. Dunia seolah-olah mengecil – fenomena dunia mengecil.
Kondisi ini membuat jaringan sosial (masyarakat jaringan) mulai terasa nyata
dalam kehidupan kita sehari-hari.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 52
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini telah mengubah dunia


dan kehidupan sosial umat manusia. Fenomena Dunia Mengecil telah
mempengaruhi dan mengubah hampir seluruh sendi kehidupan. Bisnis
konvensional tergeser oleh bisnis berbasis aplikasi online, layanan masyarakat
menuju serba online, e-money dan seterusnya. Desentralisasi besar-besaran
telah terjadi. Bisnis tak lagi menjadi monopoli atau terpusat pada pemilik modal
“besar”, tapi kini tersebar pada pelakupelaku bisnis rumahan atau pribadi –
siapapun bisa menjadi pelaku bisnis. Tak hanya itu, posisi media cetak juga
tersaingi oleh media-media online. Media mainstream tak lagi menjadi satu-
satunya sumber berita, dan seterusnya.
Kondisi ini membuat banyak orang “gagap” (ketinggalan budaya) dalam
memahami “perubahan, gerak dan dinamika” yang begitu luar biasa – yang
bahkan cenderung hiruk-pikuk. Kegagapan ini tidak saja dialami oleh
masyarakat, tetapi juga pihak pemerintah atau Negara – termasuk para
ilmuwan.
Dari sisi teoritis (dunia akademik atau ilmu pengetahuan) juga mengalami
“kegagapan” yang kurang-lebih sama, di mana teori dan konsep yang selama
ini dihasilkan dari kajian atas masyarakat yang relatif “stabil” – perubahan,
gerak dan dinamika yang relatif lebih lamban – mengalami banyak keterbatasan
untuk memahami kehidupan sosial saat ini (di era digital) yang perubahan-
gerakdinamikanya begitu cepat (sangat fluktuatif). Dunia telah berubah. Dunia
tak lagi bergerak lamban (terus bergerak), tetapi pola pikir kita sering terlambat
untuk mengikutinya. Berdasarkan kondisi ini, analisis jaringan sosial sebagai
frame of reference menawarkan alternatif baru guna memahami dunia yang kini
telah berubah – fenomena dunia mengecil - seperti yang diungkapkan oleh
Wellman bahwa Social networks as a paradigm:
One of Wellman's lasting contributions to Social Network Analysis [SNA] is
his theoretical work suggesting that SNA is a paradigm rather than a mere
methodology. This is based on the idea that SNA is a generative endeavor
that does not simply imply new tools for old needs, but new tools and new
means for looking at the social world. Key to this idea is the emphasis on
the specific patterned relationships between individuals, rather than an
emphasis on inner forces, such as personality, or categorical differences
such as race and gender (https://semioticon.com/sx-old-
issues/semiotix14/sem-14-05.html).

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 53
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Untuk itu pula, tujuan utama dari buku ini adalah untuk memperkenalkan
dan menawarkan “cara berpikir” (This is based on the idea that SNA is a
generative endeavor that does not simply imply new tools for old needs, but
new tools and new means for looking at the social world) atau frame of
reference yang lain, guna memahami perubahan-gerak-dinamika masyarakat di
era digital ini. Berdasarkan tujuan tersebut, maka dalam buku ini, penulis
menyajikan tentang “dasar-dasar dari berpikir jaringan”, yaitu tentang
bagaimana “jaringan sosial” sebagai sebuah frame of reference – bukan
sekedar sebagai sebuah metode dan teknik penelitian, apalagi sebatas sebagai
metode dan teknik pengumpulan data semata yang selama ini dipahami oleh
sebagian pihak. Ini pula yang menjadi salah satu penyebab tentang mengapa
berpikir jaringan di kalangan “kualitatif” tidak sepesat perkembangan yang
terjadi di kalangan ilmuwan tradisi (pendekatan) kuantitatif.
Berpikir jaringan (analisis jaringan sosial – AJS) sebagai frame of
reference adalah sebagai sekumpulan nilai yang membentuk pola pikir
seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk
“pandangan subjektif “ seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan
menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Secara etimologis,
AJS berarti sebagai model teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Dan,
secara terminologis, AJS berarti sebagai pandangan mendasar kita selayaknya
sebuah paradigma dalam ilmu pengetahuan, yaitu sebagai model atau
kerangka berpikir komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, AJS, dalam hal ini
menawarkan sebuah cara untuk melihat – akan mempengaruhi apa yang kita
pilih untuk dilihat/dicari. Dalam hal ini, AJS tidak atau bukan mempersoalkan
masalah benar atau salah, tetapi sebagai cara melihat (point of view).
Untuk lebih jelasnya, mungkin ilustrasi tentang “batas sosial dan batas
geografi” berikut ini bisa memberikan gambaran yang lebih baik tentang
persoalan AJS sebagai sebuah frame of reference. Di sebuah lingkungan
kampus sering kita dengar percakapan di antara mahasiswa, “Ke kantin yuk”
ajak seorang mahasiswa. “sepi… ga ada anak-anak” sahut mahasiswa lainnya.
Padahal, pada jam makan siang, kantin mahasiswa sangat penuh, tidak ada
kursi yang tersisa. Ternyata, yang dimaksud, di sana tidak ada teman-

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 54
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

temannya. Mahasiswa-mahasiswa lain yang sedang makan di kantin, bukan


temannya. Oleh karena itu, dikatakan sepi.
Peristiwa di kantin mahasiswa ini, mengingatkan kita kepada pendapat
para ahli ilmu sosial bahwa masyarakat di perkotaan, manusianya cenderung
individualistis. Apakah, manusia sudah tidak lagi menjadi mahkluk sosial? Tentu
saja tidak! Persis seperti kejadian di kantin mahasiswa. Di perumahan
(terutama kompleks), masing-masing rumah (penghuninya) tidak membina
hubungan sosial satu sama lain. Mungkin juga mereka tidak saling kenal.
Tetangga mereka, ternyata bukan temannya (tidak ada hubungan sosial).
Mereka hanya secara kebetulan tinggal dan hidup di teritori geografis yang
sama (satu RW atau RT).
Pada kejadian lain, kantin mahasiswa yang penuh, tapi masih ada
beberapa kursi tersisa (meski meja sudah terisi). Tidak ada mahasiswa yang
ingin bergabung meja. Mereka bukan temannya (tidak ada hubungan sosial).
Ada batas sosial di antara mereka. Teman dan bukan-teman. Hubungan sosial
menentukan batas sosial.
Dari kasus di atas menunjukkan bahwa batas geografis tidak identik
dengan batas sosial. Kantin – meja tertentu bukanlah teritori fisik milik
mahasiswa tertentu, tapi menjadi teritori sosial bagi yang menggunakannya
saat itu. Demikian juga dengan teritori geografis sebuah kompleks perumahan.
Ada kumpul-kumpul beberapa tetangga di rumah sebelah. Karena bukan
temannya, maka penghuni sebelah rumah tak mungkin ikut bergabung. Meski
berada dalam teritori geografis yang sama, mereka mempunyai teritori sosial
(batas) yang berbeda. Teman-temannya tidak tinggal dalam teritori geografis
yang sama.
Dulu, dalam satu desa atau kampung, biasanya dihuni oleh orang-orang
yang mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan. Oleh karena itu,
dalam satu desa/kampung, merupakan hunian satu jaringan sosial - satu klan.
Ada desa Hutasuhut, desa Simamora, desa Purba di tanah Batak. Begitu juga
desa/kampung di wilayah Indonesia lainnya di mana batas geografis sama
dengan batas sosial.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 55
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Sekarang, dengan berbagai alasan dan sebab, mereka tidak lagi tinggal
dan hidup di satu desa/kampung yang sama. Batas geografis tidak lagi sama
dengan batas sosial.

2. Teritori Geografi tidak sama dengan Teritori Sosial

Dari kasus di atas (sosiogram) ternyata manusia tetaplah mahkluk sosial.


Mereka tetap saling peduli dengan orang-orang yang punya hubungan sosial
dengan dirinya (sebagai satu jaringan sosial). Mereka sering kumpul-kumpul
seperti reunian, arisan, homecoming-homecomingan, saling jenguk kepada
temannya yang sedang sakit dan seterusnya - di mana pun kita hidup dan
tinggal selalu membutuhkan orang lain.
Dalam sebuah rencana reuni yang “besar” (bukan reuni antar sahabat) –
satu sekolah, satu fakultas, satu universitas – umumnya, calon peserta reuni
akan menghubungi temannya dan bertanya, “siapa saja yang akan datang?
Kamu datang ga? Jika, tidak ada teman-temannya (ada hubungan sosial) yang
akan datang, maka biasanya ia enggan untuk menghadiri reuni akbar tersebut.
Demikian juga ketika ingin curhat atau bantuan/dukungan. Pastinya tidak
mungkin curhat pada sembarang orang – dengan tetangga yang bukan teman
atau sahabatnya. Lalu, mengapa ketika minta dukungan suara, seorang calon
bupati/walikota/gubernur/presiden, menggalang suara berdasarkan atau fokus
pada teritori geografis? Demikian juga dengan masalah Batas Negara? Apakah
batas negara itu cair? Dan, bagaimana pula dengan studistudi perbatasan yang
selama ini dilakukan? Atau masalah tentang Nation akan lenyap? Dalam hal ini,
menurut hemat penulis, diperlukan frame of reference yang baru untuk
menjawabnya sebab batas-batas sosial itu tidak pernah hilang.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 56
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

BAB VIII
KAJIAN SENGKETA DAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA

1. Kompetensi Dasar:
Memahami konsep konflik, sengketa, kajian sengketa, dan model penyelesaian
sengketa.
Indikator Hasil Belajar:
a. Menjelaskan konsep konflik.
b. Menjelaskan konsep sengketa.
c. Menjelaskan cakupan dan kegunaan kajian sengketa.
d. Menjelaskan model-model penyelesaian sengketa.
2. Kompetensi Dasar:
Menganalisis kasus-kasus konflik dan sengketa dalam masyarakat dalam
rangka menemukan strategi penyelesaian sengketa dan pilihan hukum warga
masyarakat.
Indikator Hasil Belajar:
a. Menguraikan contoh penerapan kajian sengketa secara umum.
b. Menguraikan contoh penerapan kajian sengketa dalam konteks isu akses
masyarakat terhadap Sumber Daya Alam.
c. Menguraikan pemikiran reflektif terhadap penerapan model penyelesaian
sengketa dalam masyarakat di Indonesia.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 57
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

1. Konsep Konflik

Pada bagian ini dijelaskan mengenai kajian sengketa, tahap-tahap


perkembangan sengketa, dan model penyelesaian sengketa. Kajian sengketa
adalah salah satu cara yang dikembangkan dalam Antropologi Hukum (dan
tentu juga Antropologi Kepolisian) untuk mengamati pilihan-pilihan hukum para
pihak yang bersengketa serta model penyelesaian yang digunakan. Dalam
tahap ini, penelitian mengenai hukum yang sungguh hidup dalam masyarakat
didapatkan melalui bidang pemrosesan sengketa, penyelesaian perselisihan,
dan proses pengadilan. Antropologi hukum pada tahap ini adalah antropologi
penyelesaian sengketa (F. von Benda-Beckmann, dalam Ihromi, 1989: 5).
Dalam metode kajian sengketa ini penting untuk dibahas hal-hal sebagai
berikut:
a. metode studi kasus sengketa;
b. motif dan obyek sengketa;
c. para aktor yang terlibat dalam sengketa;
d. strategi para aktor dalam mencapai tujuannya;
e. pilihan hukum para aktor;
f. bentuk-bentuk penyelesaian sengketa termasuk juga penyelesaian
sengketa melalui proses peradilan ataupun bentuk penyelesaian sengketa
di luar hukum.
Karya yang monumental mengenai metode studi kasus sengketa ini
antara lain ‘The Cheyenne Way’ yang merupakan karya Llewellyn dan Hoebel
serta ‘The Law of Primitive Man’ karya Hoebel. Menurut Hoebel dalam kajian
para antropolog mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat telah
dikembangkan 3 (tiga) alur pengkajian.
a. Alur pertama, alur ideologis. Dalam pengkajian menggunakan alur ini
diidentifikasikan aturan yang umum berlaku dalam masyarakat subyek
penelitian yang dipersepsikan sebagai pedoman bertingkah laku.
b. Alur kedua, alur deskriptif. Dalam cara pengkajian menggunakan alur ini
dilihat bagaimana anggota masyarakat berprilaku sehari-harinya.
c. Alur ketiga, alur kajian sengketa. Dalam cara ketiga ini dikaji apakah yang
merupakan sengketa, bagaimanakah motif dari orang yang berprilaku,
dan apakah yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 58
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

2. Konsep Sengketa

Menurut Hoebel yang paling tepat adalah pendekatan/alur ketiga ini,


karena:
a. Meskipun norma ideal menjadi pedoman berprilaku tetapi pada
kenyataannya cukup banyak orang yang tidak mengikuti norma ideal
tersebut sehingga metode yang paling tepat untuk mengungkapkan
hukum yang sungguh hidup dan bekerja dalam masyarakat adalah
metode yang ketiga ini ;
b. Peneliti yang hanya mengkaji menggunakan alur pertama hanya dapat
mengungkapkan norma-norma ideal, tetapi luput menangkap variasi-
variasi norma tersebut dalam pelaksanaannya oleh penduduk, apalagi
pelanggaran-pelanggaran terhadap norma itu. Akibatnya tidak terungkap
dua dimensi dari perilaku anggota masyarakat, yaitu dimensi norma ideal
yaitu aturan hukum yang menjadi pedoman bagi orang yang bertindak,
dan di sisi lain perilaku aktual.
c. Peneliti yang mengkaji menggunakan alur kedua memang dapat
mengungkapkan tingkah laku sesungguhnya dari warga masyarakat,
tetapi akan gagal untuk mengungkapkan aturan-aturan yang menjadi
pedoman tingkah laku tersebut karena para ahli yang menggunakan
pendekatan atau alur kedua ini tidak menganggap penting pengungkapan
terhadap aturan-aturan tersebut.
d. Di sisi lain terdapat beberapa kesulitan menggunakan alur ketiga.
Pertama, tidak selalu tersedia sengketa di lapangan. Kedua, butuh waktu
penelitian yang cukup untuk mengungkapkan sengketa tersebut. Ketiga,
peneliti tersebut harus membangun rapport yang bagus sebelumnya
dengan anggota masyarakat yang diwawancarainya.
Selain Hoebel, peneliti lain yang menggunakan pendekatan ketiga ini
adalah Laura Nader (Nader and Todd). Perbedaan teknik kajian Nader dengan
Hoebel adalah: Hoebel masih terpaut pada pandangan mengenai hukum
sebagai perangkat aturan (kajian sengketa untuk mengungkapkan hukum
substantif). Nader mengkaji sengketa untuk melihat proses sengketa (disputing
process).

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 59
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Sengketa hakikatnya berkembang dari rasa tidak puas satu pihak kepada
pihak lain. Perasaan tidak puas ini muncul karena ada kerugian (grievance)
yang timbul akibat sikap salah satu pihak dan diraskan atau dialami pihak
lainnya. Ada dua kelompok ilmuwan yang membahas mengenai tahap
perkembangan sengketa ini atau istilahnya eskalasi sengketa. Pertama, Nader
dan Todd. Kedua, Felstiner, Abel dan Sarat.
Menurut Nader dan Todd tahap eskalasi sengketa diawali dengan adanya
pra-konflik. Pada tahap ini tercipta keadaan yang mendasari rasa tidak puas
seseorang terhadap pihak lain. Tahap berikutnya adalah taahap konflik. yaitu
keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui adanya perasaan
tidak puas tersebut. Tahap terakhir adalah sengketa. Tercipta keadaan di mana
konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau dengan melibatkan pihak
ketiga. Sebetulnya tidak selalu untuk mencapai sengketa harus melalui
tahapan-tahapan di atas, dapat saja dari tahap pra-konflik langsung ke
sengketa tergantung eskalasinya.
Menurut Felstiner, Abel dan Sarat tahap perkembangan sengketa dimulai
dari situasi Naming, Blaming dan berakhir pada Claiming. Pada tahap Naming,
salah satu pihak mulai merasakan adanya kerugian. DI tahap Blaming, pihak
yang merasa dirugikan mengenali sumber dari masalah atau kerugian yang
dirasakannya. Terakhir, pada tahap Claiming, pihak yang merasa dirugikan
mencoba untuk memperoleh penyelesaian atas problem yang dihadapinya.
Sengketa dapat timbul di antara:
a. Individu vs individu dari kelompok yang sama (inter group) maupun dari
kelompok yang berbeda.
b. Kelompok vs kelompok (intra group) (Valerine JL.Kriekhoff, dalam Ihromi,
1989: 225).
c. Individu vs kelompok.
Cara-cara penyelesaian sengketa yang dikaji Nader dan Todd:
1) Lumping it (membiarkan saja). Pihak yang merasa dirugikan gagal
memperoleh apa yang dituntut, ia mengabaikan masalah yang
menimbulkan tuntutannya dan meneruskan hubungan dengan pihak
yang tadinya dianggap merugikan.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 60
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

2) Avoidance (mengelak). Pihak yang merasa dirugikan 1, mengurangi


hubungan dengan pihak yang dianggap merugikan atau 2, malahan
menghentikan sama sekali hubungan tersebut (exit-Galanter).
3) Coercion (paksaan) salah satu pihak memaksakan pemecahan pada
pihak lain, sifatnya unilateral/sepihak. Tindakan ini bersifat memaksa,
menggunakan ancaman bahkan kekerasan yang umumnya
mengurangi kemungkinan berdamai. Oleh Galanter model ini dapat
digolongkan kepada selfhep.
4) Negotiation (perundingan). Para pihak yang bersengketa
berhadapan dan berunding untuk memecahkan masalah mereka
tanpa campur tangan pihak ketiga (dyadic).
5) Mediation (mediasi). Para pihak yang bersengketa berhadapan dan
berunding untuk memecahkan masalah mereka dengan dibantu oleh
pihak ketiga. Pihak ketiga ini dapat dipilih karena mencalonkan diri,
ditunjuk oleh pihak-pihak bersangkutan, atau ditunjuk pihak
berwenang. Pihak ketiga ini hanya berfungsi sebagai penengah dan
tidak dapat mengeluarkan keputusan yang memaksa mengikat
kedua belah pihak bersengketa apabila mereka tidak mencapai kata
sepakat. Proses penyelesaian sengketanya sudah bersifat tryadic.
6) Arbitration (arbitrasi). Para pihak yang bersengketa sepakat meminta
perantaraan pihak ketiga, arbitrator, dan keputusan arbitrator ini
dapat mengikat dan bersifat memaksa apabila para pihak tersebut
tidak dapat mencapai kata sepakat.
7) Adjudication (peradilan) . Pihak ketiga berwenang mencampuri
pemecahan masalah terlepas dari keinginan para pihak bersengketa.
Pihak ketiga juga berhak membuat keputusan dan
menegakkan/mengeksekusi pelaksanaan keputusan itu.

3. Cakupan Dan Kegunaan Kajian Sengketa

Dalam penelitian Galanter, lembaga peradilan tidak semata-mata dilihat


sebagai tempat masuknya perkara, tempat di mana terjadi adu argumen yang
sungguh-sungguh dalam suatu sidang yang kemudian diikuti dengan
pengambilan keputusan sesuai aturan formal. Lembaga-lembaga peradilan oleh
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 61
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Galanter dilihat sebagai tempat atau arena di mana berbagai sengketa


mengalami suatu proses.
Lembaga-lembaga peradilan merupakan tempat berlangsungnya proses
administratif, tempat menyimpan arsip, tempat berlangsungnya perubahan-
perubahan status, negosiasi untuk berdamai, tempat mediasi, arbitrasi dan
perang (ancaman, intimidasi, serta melumpuhkan lawan), selain juga tempat
berlangsungnya pemutusan perkara melalui persidangan. Dalam perspektif
Antropologi Hukum, Galanter menyebut semua kegiatan yang terjadi dalam
lembaga peradilan ini sebagai Tawar menawar dan Pengaturan dalam Bayang-
bayang Hukum.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi proses-proses penyelesaian
sengketa terletak pada: tujuan yang ingin dicapai, sumberdaya yang dimiliki
para pihak yang bersengketa, dan strategi yang ditempuh para pihak baik yang
bersengketa maupun personil pengadilan (Galanter). MenurutKeebet von
Benda-Beckmann, tujuan yang ingin dicapai – motivasi para pihak juga amat
berpengaruh pada strategi yang akan dilakukan para pihak untuk
menyelesaikan sengketa.
Lembaga peradilan hanya bisa menyelesaikan sebagian kecil dari banyak
kasus sengketa yang ada. Pilihan untuk membawa atau tidak membawa suatu
kasus sengketa tergantung pada faktor-faktor utama tadi dan kerugian yang
didapat apabila kasus diselesaikan melalui proses peradilan, yaitu: kerugian
keuangan, waktu, tenaga yang dikeluarkan, dan juga rusaknya hubungan
antarmanusia yang bersengketa, selain adanya kerugian psikis (ketegangan
yang timbul, keresahan, dll).
Proses peradilan seringkali gagal memberikan respon terhadap
kepentingan-kepentingan sosial yang ada dalam suatu kasus. Dengan demikian
menyembunyikan realitas kemanusiaan dan sosial yang kompleks yang
terdapat dalam kasus-kasus di pengadilan (Noonan, 1976). Dalam menangani
suatu kasus, lembaga pengadilan juga sering mengalami keterbatasan sumber-
sumber, keterbatasan ketrampilan dan pengetahuan, serta kelemahan-
kelemahan dalam proses yang ditempuh untuk mengungkapkan fakta-fakta.
Selain masalah teknis di atas, hambatan lain terhadap keinginan
masyarakat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan adalah adanya

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 62
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

pandangan bahwa hukum negara merupakan satu-satunya sistem hukum


formal. Anggota masyarakat yang melihat bahwa kepentingan dan
kebutuhannya tidak dapat tercakup atau terlindung dengan hukum negara,
akan merasa ragu-ragu untuk membawa kasusnya ke pengadilan. Hal ini terjadi
karena dengan adanya pandangan tersebut, hukum di luar hukum negara
dianggap sebagai penyimpangan. (Analogi: bahasa tulis = bahasa resmi,
bahasa lisan= deviasi).
Lembaga peradilan memberikan sumbangan bagi hukum yang hidup
dalam masyarakat, dalam bentuk: substansi (jurisprudensi, misalnya), model-
model prosedur yang dibutuhkan para pihak pencari keadilan, bentuk-bentuk
kompensasi yang mungkin, perkiraan mengenai kesulitan yang akan timbul,
kemungkinan putusan yang diperoleh, dan biaya yang bakal dikeluarkan.
Menurut Mnookin dan Kornhauser, lembaga peradilan dan hukum yang
diterapkannya telah menyediakan bargaining endowment , yaitu pertimbangan-
pertimbangan yang dapat dimanipulasi kedua pihak bersengketa dalam proses
tawar-menawar.
Dalam proses persidangan di pengadilan yang sistemnya menganut gaya
Anglo-Saxon, adu argumen antara jaksa dengan pengacara merupakan upaya
menyediakan umpan bagi terjadinya proses tawar menawar (Ganti rugi,
besar/berat hukuman, dll.). Hal ini juga yang menyebabkan pengadilan dapat
kita sebut sebagai shopping forum. Yaitu arena terjadinya proses tawar-
menawar untuk mencapai tujuan bagi para pihak . Dalam pengadilan gaya
Kontinental, adu argumen jarang terjadi, tetapi tawar menawar dilakukan lebih
banyak di luar sidang pengadilan. Forum shopping terjadi apabila para pihak
yang bersengketa memilih salah satu dari beragam model penyelesaian
sengketa yang ada atau dari beragam sistem hukum yang akan digunakan
untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Terjadinya proses tawar menawar ini dalam persidangan oleh Galanter
disebut sebagai berlangsung di bawah bayang-bayang hukum. Artinya proses
peradilan sesuai aturan hukum formal tetap berjalan, tetapi di dalamnya terjadi
proses tawar menawar tersebut yang tidak diatur oleh substansi hukum formal.
Hubungan antara lembaga-lembaga peradilan (forum formal) dengan
sengketa-sengketa bersifat multidimensional. Lembaga peradilan dapat

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 63
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

mencegah sengketa, dapat menimbulkan sengketa, dapat meneruskan upaya


penyelesaian sengketa ke forum lain dan memberi wewenang pengaturan
kepada forum-forum tersebut. Juga dapat mempersempit atau memperluas
sengketa.Dalam konteks mempersempit dan memperluas sengketa: Sengketa
yang diproses oleh lembaga peradilan telah mengalami formulasi ulang agar
sesuai menurut kategori hukum yang berlaku. Dalam proses formulasi itu,
terjadi pembatasan ruang lingkup kasus, dipersempit menjadi peristiwa-
peristiwa tertentu yang hanya melibatkan individu-individu yang spesifik, atau
sebaliknya berkembang menjadi wadah untuk menampung seperangkat
peristiwa atau hubungan-hubungan yang lebih luas. Sengketa yang diajukan ke
pengadilan bisa saja sangat berbeda dengan sengketa awal, dan juga berbeda
dari sengketa-sengketa pada posisi yang lain.
Tindakan-tindakan hukum yang dihasilkan oleh lembaga peradilan akan
menimbulkan efek khusus dan efek umum. Efek khusus adalah efek-efek yang
timbul sebagai dampak dari tindakan forum terhadap perilaku pelaku-pelaku
khusus yang merupakan subyek/target dalam penerapan dan penegakan
hukum (Galanter dalam Ihromi, 1989: 108). Yang tercakup di dalamnya bukan
saja sanksi-sanksi, tapi juga dampak tambahan dari perdebatan yang
berlangsung dalam forum-forum lembaga peradilan. Efek umum adalah akibat
yang terjadi karena adanya pemberitaan dan komunikasi mengenai forum, baik
perilaku forum itu sendiri maupun respon orang lain terhadap informasi
tersebut.
Pengadilan selain menghasilkan keputusan, juga menghasilkan pesan-
pesan melalui apa yang dikerjakannya dan apa yang menurut para penegak
hukum yang terlibat dalam lembaga tersebut telah dikerjakan. Pesan-pesan ini
memberikan pengetahuan kepada para pihak yang bersengketa dan akan
melakukan forum shopping untuk memutuskan apakah akan membawa
perkaranya ke pengadilan atau tidak.
Berhubung adanya fakta bahwa dalam proses pengadilan sendiri
dimungkinkan adanya upaya penyelesaian non-adjudikasi, maka sebetulnya
tidak pada tempatnya lagi bagi penegak hukum untuk menutup mata terhadap
apa yang disebut dengan penyelesaian hukum menurut hukum
pribumi/indigenous law (Galanter, dalam Ihromi, 1989: 120). Pandangan yang

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 64
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

bersifat positivistik yang menghinggapi para penegak hukum, telah membatasi


mereka untuk hanya melihat keadilan dari jendela hukum negara. Faktanya:
a. pengadilan memiliki keterbatasan untuk menyelesaikan perkara.
b. keputusan pengadilan yang win-loose menyebabkan rusaknya hubungan
antar pihak yang juga dapat merusak tatanan masyarakat.
c. kerugian-kerugian lain yang dapat timbul karena proses peradilan (waktu,
uang, tenaga).
d. dalam proses peradilan sendiri tanpa disadari juga terjadi tawar menawar
yang sebetulnya tidak diatur dalam substansi hukum negara (berlangsung
di bawah bayang-bayang hukum negara).
e. perlu upaya lain yang dapat mendukung efektivitas pelaksanaan
penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Sekarang ini di Kanada, AS,
dan Jepang bentuk-bentuk penyelesaian sengketa melalui negosiasi,
mediasi, dan arbitrasi justru sangat didukung perkembangannya.
Ahmad Ubbe dalam tulisannya mengenai Delik Adat Bugis Makassar dan
Keputusan Peradilan dalam Lintasan Sejarah (Masinambouw, 2000:125-148)
mengemukakan apa yang disebut-sebut Galanter mengenai contoh
penyelesaian kasus sengketa melalui proses peradilan. Dalam tulisan Ubbe
dapat dilihat bahwa tindak pidana yang diproses tersebut sesungguhnya terjadi
berkaitan dengan aturan-aturan setempat (indigenous law) yaitu: ade (adat,
yaitu kaidah-kaidah hukum yang dipatuhi), bicara (kaidah-kaidah pelembagaan
peradilan adat dan putusan-putusan hakim), rapang (sebagai putusan-putusan
raja/hakim adat, perjanjian-perjanjian kerajaan yang dijadikan yurisprudensi),
wari (kaidah-kaidah pengaturan silsilah berdasarkan derajat keturunan,
pengaturan protokoler adat, peraturan kekerabatan, perkawinan dan
pewarisan), dan sara (kaidah-kaidah hukum Islam/syariah serta
pelaksanaannya) (Marzuki 1995:145-146).
Dalam berbagai putusan kasus pidana yang dianalisis Ubbe terlihat
bahwa sekalipun diputus oleh lembaga peradilan, namun tetap tercermin
adanya aturan adat yang digunakan sebagai pertimbangan dalam memutus
kasus-kasus tersebut. Sebagian kasus telah diputus dengan
mempertimbangkan nilai-nilai siri, meskipun ada juga putusan hakim yang
mengabaikannya. Nilai Budaya Siri tidak digunakan sebagai alasan pembenar,

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 65
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

melainkan sebagai peringan hukuman. Hanya dalam kasus La Geecong dan La


Buri saja, terpidana dibebaskan dengan alasan budaya siri ini.
Inilah yang diharapkan sebetulnya oleh Galanter bahwa dalam
memandang keadilan hendaknya penegak hukum, terutama hakim tidak
semata-mata memandang dari jendela hukum negara saja, karena keadilan
terdapat di berbagai ruangan. Selain itu terdapat juga persentuhan antara
hukum negara dengan hukum adat dalam proses peradilan terhadap kasus-
kasus di masyarakat Bugis-Makassar ini.
Kasus lain yang menarik adalah Penyelesaian Sengketa dan Hancurnya
Hubungan Kekerabatan: Kasus Sengketa Tanah pada Masyarakat Ruteng di
Kabupaten Manggarai, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur yang ditulis oleh
Anto Achadiat (Ihromi, 1989: 214-222). Dalam kasus sengketa tersebut,
meskipun sudah dilakukan upaya penyelesaian secara adat, mediasi, maupun
lewat lembaga peradilan, tetapi ternyata tidak kunjung terselesaikan. Dalam hal
ini tercermin pernyataan Galanter bahwa penyelesaian lewat lembaga peradilan
malah sering menimbulkan sengketa baru, dan ada kerugian yang ditimbulkan
yaitu hancurnya hubungan antar pihak bersengketa. Sampai pada saat ini,
menurut pihak-pihak kepolisian yang bertugas di tempat tersebut masih terjadi
sengketa dan keributan yang pangkalnya sebetulnya masalah sengketa tanah
ini.
Berdasarkan tulisan Achadiat, menarik satu hal yang diungkapkan
olehnya mengenai neo-traditional norms. Yaitu upaya penggunaan beberapa
sistem hukum sekaligus atau upaya mensintesakannya sehingga mewujudkan
aturan hukum baru, tetapi karena upaya itu dilakukan seorang pejabat, maka
aturan atau sintesa tadi dianggap sebagai seolah-olah sebagai aturan hukum
nasional (yang baru).

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 66
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

DAFTAR PUSTAKA

Agusyanto, Ruddy. “Menuju Integrasi Nasional Berbasis Multikulturalisme dan


Permasalahannya”. Tulisan lengkap, terlampir di dalam buku ini.
Agusyanto, Ruddy. “Persamaan dan Perbedaan dalam Kehidupan Sosial”. Tulisan
lengkap terlampir dalam buku ini.
Agusyanto, Ruddy. “Dasar-dasar Berpikir Jaringan”. Tulisan lengkap terlampir dalam
buku ini.
Agusyanto, Ruddy. “Jaringan dan Jaringan Sosial”. Tulisan lengkap terlampir dalam
buku ini.
Agusyanto, Ruddy. ”Berpikir Jaringan: Pendahuluan”. Tulisan lengkap terlampir
dalam buku ini.
Bedner, Bedner, Jan Michiel Otto & Sulistyowati Irianto (ed). Kajian Sosio-Legal.
Denpasar: Pustaka Larasan, 2013. Dapat diunduh
dari:http://media.leidenuniv.nl/legacy/bbrl-socio-legal-studies-final.pdf
Ben-Porat, Guy dan Fanny Yuval. “Minorities in democracy and policing policy: from
alienation to cooperation.” Public Policy and Administration, Be.n-Gurion
University, Beer Sheva, 84105, Israel
http://dx.doi.org/10.1080/10439463.2011.636814
Chesluk, Benjamin. "Visible Signs of a City Out of Control": Community Policing in
New York City. Cultural Anthropology; Mei 2004; 19, 2; Academic Research
Library hlm. 250-275.
Donovan, James M. Legal Anthropology: An Introduction. Plymouth: AltaMira Press,
2008, hlm vii-27.
Felstiner, William F.L.; Richard Abel & Austin Sarat, “The Emergence and
Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming. “ Law and Society
Review No 15 Vol ¾, 1981: hlm. 631-654.
Ihromi, T.O. Bunga Rampai Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1993.
Irianto, Sulistyowati dan Lidwina Inge Nurtjahyo. “Kajian Pluralisme Hukum: Dalam
Perspektif Klasik dan Global” risalah perkuliahan, terlampir dalam buku ini.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 67
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Irianto, Sulistyowati dan Lidwina Inge Nurtjahyo. “Konsep-konsep Dasar dalam


Antropologi Kepolisian” risalah perkuliahan, terlampir dalam buku ini.
Irianto, Sulistyowati. “Mencari Akses Keadilan Negara di UEA” dalam Sulistyowati
Irianto (ed) Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah Perempuan Indonesia
Pekerja Domestik di UEA. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. Hlm. 185-
225.
Nurtjahyo, Lidwina Inge. “Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Seksual” dalam
Irianto, Sulistyowati (ed.). Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak:
kumpulan tulisan pengajar klinik hukum perempuan dan anak. Jakarta: The
Asia Foundation, 2015. Dapat diunduh di website incle.org
Suparlan, Parsudi, Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: Gramedia: 2000.
Syafri, Yulizar, Kontekstualisasi Kesukubangsaan di Perkotaan:Jakarta: 2010.
Waard Berenschot.& Adrian Bedner (eds) Akses terhadap Keadilan Perjuangan
masyarakat miskin dan kurang beruntung untuk menuntut hak di Indonesia.
Jakarta: VVI-HuMA-KITLV-Epistema, 2011.
West, Mark D. “Losers: Recovering Lost Property in Japan and the United States.
Law & Society Review”, Volume 37, Number 2 (2003) r 2003 by The Law and
Society Association.

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 68
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

LAMPIRAN

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 69
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
MARKAS BESAR
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

SURAT PERINTAH
Nomor : Sprin/ 459 /IV/DIK.1.3./2021

Pertimbangan: bahwa dalam rangka rapat koordinasi penyusunan (Rakorsun) Hanjar


Dikbangum Prodi S1 STIK angkatan ke-79 Tahun Anggaran. 2021 di
lingkungan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, maka dipandang perlu
mengeluarkan surat perintah.
Dasar 1. Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor:
Kep/2463/XII/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang Program
Pendidikan dan Pelatihan Polri Tahun Anggaran 2021.

2. Keputusan Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Nomor:


Kep/253/VI/2020 tanggal 30 Juni 2020 tentang Rencana Kerja Satker
Lemdiklat Polri Tahun Anggaran 2021.

DIPERINTAHKAN

Kepada : NAMA, PANGKAT DAN JABATAN SESUAI YANG TERCANTUM DALAM


LAMPIRAN SURAT PERINTAH INI.
Untuk : 1. di samping melaksanakan tugas dan jabatan sehari-hari ditunjuk sebagai
peserta rapat koordinasi penyusunan (Rakorsun) Hanjar Dikbangum
Prodi S1 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) angkatan ke-79 Tahun
Anggaran 2021 dengan rumusan pertelaan tugas sebagai berikut:
a. Pelindung
memberikan pertimbangan dan arahan sebagai bahan pertimbangan
dalam kegiatan rapat koordinasi penyusunan Hanjar Dikbangum
Prodi S1 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) angkatan ke-79
Tahun Anggaran. 2021.
b. Penasihat
memberikan masukan, nasihat dan pertimbangan-pertimbangan
dalam rapat koordinasi penyusunan Hanjar Dikbangum Prodi S1
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) angkatan ke-79 Tahun
Anggaran 2021.
c. Pengarah
membantu Kalemdiklat Polri dalam mengkoordinir dan
mengendalikan pelaksanaan kegiatan rapat koordinasi penyusunan
Hanjar Dikbangum Prodi S1 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK)
angkatan ke-79 Tahun Anggaran 2021.

d. Penanggung jawab.....
2 SURAT PERINTAH KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : SPRIN/ 459 / IV /DIK. 1.3./2021
TANGGAL: 5 APRIL 2021

d. Penanggung jawab
bertanggung jawab terhadap proses penyelenggaraan dan hasil
yang dicapai dalam kegiatan rapat koordinasi penyusunan Hanjar
Dikbangum Prodi S1 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK)
angkatan ke-79 Tahun Anggaran 2021.
e. Ketua Pelaksana
mempersiapkan dan menyelenggarakan pelaksanaan serta
melaporkan hasil rapat koordinasi penyusunan Hanjar Dikbangum
Prodi S1 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) angkatan ke-79
Tahun Anggaran 2021 kepada Kalemdiklat Polri.
f. Wakil Ketua
Menjelaskan petunjuk teknis pelaksanaan, mengontrol
berlangsungnya kegiatan, dan moderator dalam kegiatan rapat
koordinasi penyusunan Hanjar Dikbangum Prodi S1 Sekolah Tinggi
Ilmu Kepolisian (STIK) angkatan ke-79 Tahun Anggaran. 2021.
g. Sekretaris
menyiapkan kelengkapan administrasi (jadwal kegiatan, daftar
hadir, pembagian kelompok diskusi dan penyiapan tempat
pelaksanaan kegiatan).
h. Notulen
bertugas mencatat poin-poin penting yang dibahas dan disepakati
bersama.
i. Ketua Diskusi Kelompok
Memimpin diskusi kelompok, menyiapkan pokok masalah yang akan
didiskusikan, mengendalikan dan mengatur jalannya diskusi agar
tetap berjalan baik, hidup, efisien dan efektif serta memaparkan hasil
diskusi.
j. Operator Kelompok
mempersiapkan perlengkapan diskusi, memfasilitasi kebutuhan
peserta diskusi, mengkompulir materi awal sebagai bahan diskusi,
dan menuangkan hasil diskusi disesuaikan dengan format
kurikulum.
2. kegiatan dilaksanakan selama 4 (empat) hari kerja dari tanggal
8 s.d.10 dan 12 April 2021 bertempat di Swiss-Bellhotel Pondok
Indah, Jln. Metro Pondok Indah No. 6 Pondok Pinang Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan;
3. seluruh biaya yang digunakan untuk mendukung kegiatan ini dibebankan
pada anggaran Lemdiklat Polri Tahun Anggaran 2021;

4. melaksanakan.....
3 SURAT PERINTAH KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : SPRIN/ 459 / IV /DIK. 1.3./2021
TANGGAL: 5 APRIL 2021

4. melaksanakan perintah ini dengan saksama dan penuh rasa tanggung


jawab.
Selesai.
Dikeluarkan di: Jakarta
pada tanggal : 5 April 2021
a.n. KEPALA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
WAKA

Tembusan : Drs. LUKI HERMAWAN, M.Si.


1. Kalemdiklat Polri. INSPEKTUR JENDERAL POLISI
2. Wakalemdiklat Polri.
3. Ketua STIK Lemdiklat Polri.
4. Waketbid Akademik STIK Lemdiklat Polri.
5. Dir Program Sarjana STIK Lemdiklat Polri.

Paraf :
1. Konseptor/Kasubbag Sespimmen : .......
2. Kaurmin Bagkurhanjar Dikbangum : .......
3. Kabag Kurhanjar Dikbangum : .......
4. Kaurtu Ro Kurlum : .......
5. Karo Kurikulum : .......
6. Kataud Lemdiklat Polri : .......
MARKAS BESAR LAMPIRAN
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SURAT PERINTAH KALEMDIKLAT POLRI
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NOMOR : SPRIN/459/IV/DIK.1.3./2021
TANGGAL : 5 APRIL 2021

DAFTAR NAMA PESERTA


RAPAT KOORDINASI PENYUSUNAN HANJAR DIKBANGUM PRODI S1 STIK
ANGKATAN KE-79 TAHUN ANGGARAN 2021

JABATAN
NO NAMA PANGKAT
STRUKTURAL KEPANITIAAN
1 2 3 4 5
Drs. LUKI HERMAWAN,
1. IRJEN POL WAKA LEMDIKLAT POLRI PENASIHAT
M.Si.

BRIGJEN KARO KURIKULUM


2. Drs. ADI KUNTORO KETUA
POL LEMDIKLAT POLRI

KABAG KURHANJAR
Drs. HUDIT WAHYUDI., KOMBES
3. DIKBANGUM ROKURLUM WAKIL KETUA
M.Hum., M.Si. POL
LEMDIKLAT POLRI
KASUBBAG SESPIMMEN
BAG KURHANJAR
4. WILLIANAH, S.H., M.H. AKBP DIKBANGUM SEKRETARIS
ROKURLUM LEMDIKLAT
POLRI
PAUR SUBBAG
SESPIMTI BAG
KURHANJAR
5. RUDIANTO, S.E. PENATA NOTULEN
DIKBANGUM
ROKURLUM LEMDIKLAT
POLRI

KELOMPOK I MATA KULIAH KEBIJAKAN PUBLIK

KAPRODI S1 PRODI KETUA


KOMBES
6. Drs. MIYANTO ADMINISTRASI STIK DISKUSI
POL
LEMDIKLAT POLRI KELOMPOK I
DOSEN MATA KULIAH
7. Dr. SYAFRUDIN PEMBINA KEBIJAKAN PUBLIK STIK ANGGOTA
LEMDIKLAT POLRI

10. TJATUR .......


2 LAMPIRAN
SURAT PERINTAH KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : SPRIN/459/IV/DIK.1.3./2021
TANGGAL : 5 APRIL 2021

1 2 3 4 5
KAURMIN
TJATUR
BAGKURHANJAR
8. SURATININGRUM, KOMPOL ANGGOTA
DIKBANGUM ROKURLUM
S.H.
LEMDIKLAT POLRI
PAUR PD SUBBAG STIK
RINDANG GALIH. S., BAG KURHANJAR OPERATOR
9. PENATA
S.E. DIKBANGUM ROKURLUM KELOMPOK I
LEMDIKLAT POLRI

KELOMPOK II MATA KULIAH POLMAS

KAPRODI S1 PRODI KETUA


KUKUH SANTOSO,
10. KOMBES POL JEMENKAMTEKPOL STIK DISKUSI
S.H., S.I.K.
LEMDIKLAT POLRI KELOMPOK II
DOSEN MATA KULIAH
Dr. YUNDINI H.
11. PEMBINA TK. I POLMAS STIK LEMDIKLAT ANGGOTA
ERWIN, M.A.
POLRI
PS. PAUR SUBBAG
SESPIMMA BAG
12. SUCI HASTUTI PENDA I KURHANJAR DIKBANGUM ANGGOTA
ROKURLUM LEMDIKLAT
POLRI
PS. PAUR SUBBAG
NERI SESPIMMA BAG
OPERATOR
13. ROCHNIAWATI, PENATA KURHANJAR DIKBANGUM
KELOMPOK II
S.Kom. ROKURLUM LEMDIKLAT
POLRI

KELOMPOK III MATA KULIAH ANTROPOLOGI KEPOLISIAN

M. ABRAR KAPORODI S1 PRODI KETUA


14. TUNTALANAI, S.I.K., KOMBES POL HUKUM KEPOLISIAN STIK DISKUSI
M.Si. LEMDIKLAT POLRI KELOMPOK III
KASUBBAG SESPIMMA
ANDI SOPHIAN, BAG KURHANJAR
15. AKBP ANGGOTA
S.I.K. DIKBANGUM ROKURLUM
LEMDIKLAT POLRI
DOSEN MATA KULIAH
Dr. SUPARDI ANTROPOLOGI
16. PEMBINA ANGGOTA
HAMID, M.Si. KEPOLISIAN STIK
LEMDIKLAT POLRI
BAMIN URTU ROKURLUM
17. RIRIN NOVI P. BRIPTU ANGGOTA
LEMDIKLAT POLRI

18. HARTINI.......
3 LAMPIRAN
SURAT PERINTAH KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : SPRIN/459/IV/DIK.1.3./2021
TANGGAL : 5 APRIL 2021

1 2 3 4 5
PAUR PD SUBBAG BAG
SESPIMTI KURHANJAR
OPERATOR
18. HARTINI, S.Pd., M.Pd PENATA DIKBANGUM
KELOMPOK III
ROKURLUM LEMDIKLAT
POLRI
KELOMPOK IV MATA KULIAH POLISI DAN TATA KELOLA PEMERINTAH

KABAG RENDIKJARLAT KETUA


BAMBANG SUMINTO,
19. KOMBES POL BIDANG AKADEMIK STIK DISKUSI
S.H.,M.H.
LEMDIKLAT POLRI KELOMPOK IV
DOSEN MATA KULIAH
POLISI DAN TATA
Dr. YOPIK GANI,
20. PEMBINA TK. I KELOLA ANGGOTA
S.I.P., M.Si.
PEMERINTAHAN STIK
LEMDIKLAT POLRI
PS. PAUR SUBBAG
SESPIMMEN BAG
21. RUTIYEM PENDA I KURHANJAR ANGGOTA
DIKBANGUM ROKURLUM
LEMDIKLAT POLRI
PAUR SUBBAG
SESPIMMEN BAG OPERATOR
22. Drs. HERU MARTONO PEMBINA KURHANJAR KELOMPOK
DIKBANGUM ROKURLUM IV
LEMDIKLAT POLRI

Dikeluarkan di: Jakarta


pada tanggal : 5 April 2021
a.n. KEPALA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
WAKA

Paraf : Drs. LUKI HERMAWAN, M.Si.


INSPEKTUR JENDERAL POLISI
1. Konseptor/Kasubbag Sespimmen : .......
2. Kaurmin Bagkurhanjar Dikbangum : .......
3. Kabag Kurhanjar Dikbangum : .......
4. Kaurtu Ro Kurlum : .......
5. Karo Kurikulum : .......
6. Kataud Lemdiklat Polri : .......

Anda mungkin juga menyukai