untuk
SAMBUTAN
penyelidikan.....
-
penyelidikan dan penyidikan dalam proses penanganan perkara, Ilmuwan Kepolisian
adalah Sarjana Ilmu Kepolisian yang mampu mengembangkan konsep-konsep ilmu
kepolisian dalam pelaksanaan tugas.
Hanjar disusun melalui proses rapat koordinasi yang melibatkan para dosen
pengampu masing-masing mata kuliah, narasumber, personel STIK Lemdiklat Polri,
dan personel Lemdiklat Polri. Diharapkan Hanjar yang dihasilkan dapat menjadi
panduan yang relevan, valid dan aktual dalam beberapa tahun ke depan, yang dapat
menyesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi terkini/aktual. Materi
Hanjar merupakan panduan dalam proses belajar mengajar dan diharapkan para
mahasiswa dapat memahami serta menambah materi secara mandiri dari berbagai
referensi sesuai dengan dinamika perkembangan situasi dan kondisi dalam
menunjang proses pembelajaran.
Saya ucapkan terima kasih kepada narasumber dan peserta rapat koordinasi
penyusunan Hanjar Dikbangum STIK Prodi S1 Angkatan ke-79 T.A. 2021 yang telah
mencurahkan waktu dan pikirannya, sehingga dapat tersusun Hanjar ini. Semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan rahmatNya kepada kita semua
dalam melaksanakan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Paraf :
1. Konseptor/Kasubbag Sespimmen : .....
2. Kaurmin : .....
3. Kabag Kurhanjardikbangum : .....
4. Kaurtu Rokurlum : .....
5. Karo Kurikulum : .....
6. Kataud Lemdiklat Polri : .....
7. Wakalemdiklat Polri : .....
-
MARKAS BESAR
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
tentang
MEMUTUSKAN…..
-
2 KEPUTUSAN KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : KEP/ 204 / IV / 2021
TANGGAL: 13 APRIL 2021
MEMUTUSKAN
Tembusan: Paraf :
1. Wakapolri. 1. Konseptor/Kasubbag Sespimmen : .....
2. Irwasum Polri. 2. Kaurmin : .....
3. As SDM Kapolri. 3. Kabag Kurhanjardikbangum : .....
4. Kaurtu Rokurlum : .....
5. Karo Kurikulum : .....
6. Kataud Lemdiklat Polri : .....
7. Wakalemdiklat Polri : .....
-
MARKAS BESAR LAMPIRAN
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KALEMDIKLAT POLRI
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NOMOR : KEP/ 204 / IV / 2021
TANGGAL: 13 APRIL 2021
1. Agama
a. Pengenalan Agama.
b. Pendidikan Agama.
2. Pancasila.
3. Kewarganegaraan.
4. Bahasa Inggris.
5. Filsafat Kepolisian (Tribrata dan Catur Prasetya).
6. Sejarah Kepolisian.
a. Sejarah perjuangan bangsa.
b. Sejarah Polri.
c. Sejarah Indonesia.
7. Pengantar Ilmu Kepolisian.
8. Pengantar Sosiologi.
9. Pengantar Hukum Indonesia.
10. Pengaturan, Penjagaan, Pengawalan dan Patroli.
11. Pendidikan Karakter Kebhayangkaraan.
12. Fungsi Teknis Lalu Lintas.
13. Fungsi Teknis Sabhara.
14. Filsafat Ilmu.
15. Sistem Informasi Manajemen dan ITE.
16. Identifikasi Kepolisian.
17. Azas-azas Hukum Pidana.
18. Antropologi Budaya.
19. Psikologi Sosial dan Massa.
20. Pengantar Tata Hukum Indonesia.
21. Fungsi Teknis Binmas.
22. Forensik Kepolisian.
a. Kedokteran Forensik.
b. Kriminalistik.
c. Laboratorium Forensik.
-
IDENTITAS BUKU
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN
Penyusun:
Tim Rapat Koordinasi Penyusunan Hanjar Dikbangum Prodi S1 STIK Angkatan
Ke-79 T.A. 2021
Editor:
Diterbitkan oleh:
Bagian Kurikulum Bahan Ajar Pendidikan Pengembangan Umum
Biro Kurikulum
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri
Tahun 2021
Dilarang menggandakan sebagian atau seluruh isi Bahan Ajar (Hanjar) Pendidikan
Polri ini, tanpa izin tertulis dari Kalemdiklat Polri
vii
-
DAFTAR ISI
Cover ................................................................................................................... i
Pengantar ............................................................................................................. 1
3. Hukum ..........................................................................................................
14
viii
-
1. Perkembangan Ruang Lingkup Kajian Pluralism Hukum Dari
18
Perspektif Klasik Sampai Perspektif Global ...................................................
ix
-
BAB VII BERPIKIR JARINGAN .........................................................................................
51
LAMPIRAN .......................................................................................................... 69
x
-
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN
1. Pengantar
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 2
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
2. Standar Kompetensi
Memahami dan menganalisis konsep-konsep dasar masyarakat,
kebudayaan, dan hukum serta menerapkan strategi penanganan konflik di
masyarakat.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 3
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
BAB I
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN SEBAGAI SUATU DISIPLIN ILMU
Kompetensi Dasar:
Memahami antropologi kepolisian sebagai suatu disiplin ilmu.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 4
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 5
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
gejala atau proses sosial. Di mana dalam operasinya sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor di luar hukum seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Ilmu hukum memiliki keterbatasan: “it’s very hard to study law
scientifically” menurut Macaulay (2007:2). Sulit untuk mempelajari dan
memahami tentang hukum tanpa mempelajari /memahami latar belakang
budaya masyarakatnya (Ihromi: 1993). Kajian Antropologi Kepolisian
menyediakan alat untuk membantu mengamati: bagaimana hukum dibuat,
dilaksanakan utamanya dalam lingkup tugas Kepolisian.
Kajian ini lahir sebagai respon konseptual maupun praktikal terhadap
perkembangan dan kebutuhan polisi untuk memahami berkerjanya hukum
dalam masyarakat. Secara konseptual, terdapat kebutuhan untuk mengkaji
hukum dalam perspektif interdisiplin, yang tidak hanya melakukan analisis
secara doktrinal, tetapi juga empirikal. Dalam perpektif antropologi dipahami
bahwa proses perumusan hukum dan praktik penegakan hukum tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial, politik, budaya, ekonomi, dengan berbagai
permasalahannya. Dalam perumusan dan praktik hukum itu bersemai
kepentingan dan relasi kekuasaan. Hukum dalam perkuliahan ini dipahami
sebagai proses sosial, bagian dari kebudayaan.
Dalam ranah praktikal, perkuliahan ini sangat penting untuk diberikan
kepada para polisi, agar dalam menjalankan tugasnya, bisa dimengerti
bagaimana hukum bekerja dalam masyarakat dan mampu mendekatkan
hukum dengan rasa keadilan masyarakat. Di tengah situasi negeri kita hari ini,
dalam rangka menjalankan fungsi dan tugas kepolisian yang semakin berat,
penting untuk memahami bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat
sangat berkaitan dengan soal-soal identitas, politik identitas yang
menyebabkan seseorang, kelompok, dikonstruksi melalui pemberian label,
stereotype, prasangka, untuk tujuan politik praktis. Orang atau kelompok,
dapat ditempatkan sebagai kriminal atau orang baik, hanya karena tujuan
kepentingan kekuasaan, dan ini sangat membahayakan stabilitas kehidupan
berbangsa.
Kajian hukum yang hanya menggunakan pendekatan dogmatik kurang
dapat memberikan penjelasan yang berarti mengenai bekerjanya hukum
dalam masyarakat. Polisi, memerlukan pengetahuan antropologi kepolisian
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 6
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 7
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
BAB II
Kompetensi Dasar :
1. Memahami konsep dasar masyarakat, kebudayaan, dan hukum.
Indikator Hasil Belajar :
a. menjelaskan Masyarakat sebagai suatu konsep.
b. menjelaskan satuan-satuan dalam masyarakat khususnya suku bangsa
dan kesukubangsaan.
c. menjelaskan kebudayaan dan perubahan kebudayaan.
d. menjelaskan pluralisme.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 8
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 9
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
2. Konsep Kebudayaan
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 10
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
lewat ekspresi dan hasil dari kebudayaan itu. Aspek ideasional dari kebudayaan
diekspresikan maupun dikomunikasikan melalui seperangkat simbol.
Di antara berbagai properti kebudayaan salah satunya adalah nilai budaya
(culture values) dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Sebab pengorganisasian suatu kebudayaan terutama dilakukan
berdasarkan nilai-nilai yang berkembang dalam kebudayaan.
b. Nilai-nilai budaya adalah variable (istik) dan relative atau tidak
predeterminant.
Muatan dari kebudayaan terdiri atas norma-norma pedoman bagi pattern
for action dan seperangkat defenisi, premis, postulat, asumsi, propisisi maupun
persepsi tentang alam sekitar dan kedudukan manusia di dalamnya, dan yang
diyakini kebenarannya. Menurut Yulizar Syafri dan Rudy Agusyanto,
kebudayaan dijadikan sebagai sumber rujukan untuk saling membedakan diri
antar manusia sebagai mahkluk sosial. Sebagai konswekuensi dari
dijadikannya kebudayaa sebagai sumber rujukan manusia, maka tumbuh dan
berkembangnya diversitas kebudayaan (every one is into culture now).
Samuel Huntington dalam ‘Culture War’ (1993) menjelaskan bahwa di
masa depan perkembangan dunia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan. Dalam
perkembangan global di masa kini dan masa yang akan datang, sumber konflik
yang paling fundamental tidak terutama disebabkan oleh persoalan ekonomi
ataupun ideologi. Akan tetapi bersumber dari kebudayaan (the future of the
whole world depend on culture). Di masa datang akan berkembang clash of
civilization dan dirancang berdasarkan identitas kebudayaan yang bersifat
primordial.
Kebudayaan sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, lahir dalam
rangka perjuangan manusia menghadapi tantangan alam dan kebutuhan
hidupnya. Adapun kebutuhan hidup tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kebutuhan biologis atau utama:
1) makan, minum, bernafas, dan sebagainya.
2) buang air besar/kecil, berkeringat dan sebagainya.
3) perlindungan dari iklim, cuaca, suhu udara yang ekstrim
(panas/dingin), dan lain-lain, contoh istirahat, tidur.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 11
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 12
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
d. Pandangan hidup atau World View atau core value (nilai-nilai inti) atau
basic value (nilai-nilai dasar) berisi konsep maupun teori yang mendasar
dan menjelaskan hakekat manusia dan hubungannya dengan
lingkungannya.
e. Etos (Ethos) merupakan operasionalisasi dari pandangan hidup. Isinya
konsep dan teori yang ada dalam kebudayaan yang menjadi pedoman
kegiatan-kegiatan praktikal, khususnya pedoman moral dan etika.
Francis. L. Hsu dalam ‘American Core Values and National
Character’ menjabarkan contoh nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat
Amerika. Pertama, world view atau nilai-nilai budaya mendasar Amerika
berintikan pada individualisme. Kedua, produk dari individualisme tersebut
adalah kebebasan dan kemerdekaan, kemandirian, demokrasi,
persamaan hak dan derajat, kompromi dan penyesuaian, penekanan
pentingnya kemajuan dan prestasi, keberhasilan dan kesuksesan materi,
nasionalisme, patriotisme dan keunggulan ras kulit putih.
Contoh tentang nilai budaya dalam masyarakat dikemukakan juga
oleh Ruth Benedict dalam bukunya ‘The Chrysanthemum and The Sword’.
Menurut Benedict masyarakat Jepang dicirikan tumbuh dalam struktur
sosial yang ketat dan tertutup. Hal tersebut berbeda dengan apa yang
dialami oleh masyarakat Amerika. Hasilnya, masyarakat Jepang
cenderung bersifat homogen baik dari aspek ciri genetik/ras maupun
memiliki kebudayaan tunggal yang berlaku ditingkat perorangan, komuniti
dan masyarakat negara atau nasional. Selain itu masyarakat Jepang lebih
menekankan orientasi kelompok dari pada diri sendiri atau lebih
mengedepankan altruisme. Dalam sistem kekerabatannya, orang Jepang
menekankan fokus perhatian pada keluarga luas (extended family),
patrineal dan primogeniture (anak tertua sebagai pewaris dan
penyambung keturunan). Satuan keluarga luas menjadi dasar
terbentuknya buraku (dusun), yang penataannya mirip dengan banjar di
pedesaan Bali, serta sebagai fondasi terbentuknya desa (mura). Struktur
keluarga luas yang patrilineal menjadi kesatuan hidup ekonomi, ekonomi,
sosial dan budaya yang berjenjang. Dalam masyarakat Jepang, menurut
hasil penelitian Benedict, terdapat penggolongan atas dasar senioritas
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 13
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
3. Hukum
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 15
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 16
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
BAB III
PLURALISME KEBUDAYAAN DAN PLURALISME HUKUM DALAM
PERSPEKTIF MODERN/GLOBAL
Kompetensi Dasar :
1. Memahami pluralisme hukum sebagai alat analisis untuk mengkaji masalah
hukum yang terjadi dimasyarakat.
Indikator Hasil Belajar :
a. menjelaskan perkembangan ruang lingkup kajian pluralism hukum dari
perspektif klasik sampai perspektif global.
b. menjelaskan pendekatan mapping dalam upaya mengenali keberagaman
hukum dalam masyrakat.
2. Menerapkan pendekatan mapping dalam upaya mengenali keberagaman
hukum dalam masyrakat.
Indikator Hasil Belajar :
a. mendeteksi keberagaman hukum dalam masyarakat.
b. menyusun teks hasil proses deteksi keberagaman hukum dalam
masyarakat.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 17
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
Salah satu fokus dari kajian AH adalah Kajian Pluralisme Hukum. Kajian
ini mulai dikenal pada era 70’an. Melalui kajian Pluralisme Hukum, disadari
bahwa Hukum Negara atau municipal law, formal law bukanlah merupakan
satu-satunya sistem hukum yang hadir dalam kehidupan masyarakat. Hukum
adat/hukum agama juga diperhatikan tidak lagi sebagai entitas tunggal yang
ada dalam suatu komunitas masyarakat. Keberlakuan hukum adat pada suatu
masyarakat juga rentan terhadap pengaruh dari sistem hukum lain.
Dalam kajian antropologi sendiri, terutama antropologi hukum secara
khusus dipergunakan etnografi (hukum) yang bersifat multisitus. Pada etnografi
hukum yang multisitus, ilmuwan melihat masyarakat dan kebudayaan sebagai
entitas yang tidak lagi dibatasi oleh batas-batas wilayah yang jelas (Appadurai,
1991; Nurtjahyo, 2009):
a. Kajian pluralisme hukum dalam antropologi hukum perspektif global →
tidak lagi bicara hukum dalam batas wilayah tertentu.
b. Terjadinya interdependensi, saling adaptasi, penyesuaian diri dengan
berbagai sistem hukum → blurred border/borderless;
c. Hukum dalam konteks pluralisme hukum: konsep kognitif → pengetahuan
tentang apa yang dilarang/dibolehkan oleh Negara, apa yang
dilarang/dibolehkan oleh aturan-aturan dalam rakyat: agama, adat,
kebiasaan2 (clusters).
d. Terhadap cluster ini terjadi proses globalisasi dan glokalisasi.
e. Glokalisasi: bagaimana hukum internasional/ nasional diberi muatan
lokal/dilokalkan.
f. Globalisasi: hukum dan prinsip-prinsip lokal diadopsi sebagian atau
seluruhnya menjadi hukum berskala internasional: prinsip ADR (borrowing
modes of dispute resolution), CEDAW Psl 14.
g. Merupakan kritik terhadap legal pluralisme yang lama mengkaji peran para
aktor yang mobilitasnya tinggi dan mendorong interaksi antar sistem
hukum yang ada.
h. Konteks sejarah → kajian ini juga melihat bagaimana asal mula terjadi
kondisi pluralistik tersebut. Menurut Benda-Beckmann et.al (2005), dari
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 18
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 19
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
Kajian pluralisme hukum lahir sebagai kritik atas kajian sentralisme hukum
yang memandang bahwa satu-satunya hukum adalah hukum produk negara
sebagaimana dikatakan oleh John Griffith:
Legal pluralism is the fact, legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an
illusion. By legal pluralism I mean the presence in a social field of more than
one legal order.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 20
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
melihat masyarakat dan kebudayaan sebagai entitas yang tidak lagi dibatasi
oleh batas-batas wilayah yang jelas (Appadurai, 1991; Nurtjahyo, 2009). Kajian
pluralisme hukum dalam antropologi hukum berperspektif global tidak lagi
bicara hukum dalam batas wilayah tertentu.
Implikasi metodologis dari kajian yang bersifat multisitus, ethnografi yang
dihasilkan akan berbeda dengan etnografi konvensional . Dulu localize dan
terittorialize, terpusat pada tempat. Sekarang kajian bersifat blurred border.
Mengikuti pergerakan orang, barang, dan modal. Contohnya aktor-aktor yang
tingkat mobilitasnya tinggi; pedagang profesional dan non profesional misalnya
inang-inang, pengguna internet, diplomat, pramugari dan pilot, ekspatriat (para
pekerja perusahaan asing, para pekerja NGO) mahasiswa, TKW/TKI yang pergi
ke dan pulang dari luar negeri setelah bekerja, para turis, para aktor yang
terlibat pada perdagangan manusia, sindikat narkoba.
Kajian ini juga melihat bagaimana asal mula terjadi kondisi pluralistik
tersebut. Menurut Benda-Beckmann et.al (2005) dan Tamanaha (1991), dari
dulu fenomena mobilitas dari satu wilayah ke wilayah lain sudah ada.
Bentuknya antara lain penjajahan, perdagangan, penyiaran agama dari satu
negara ke negara lain. Hal tersebut juga mendukung terjadinya pluralisme
hukum karena para aktor tersebut pasti datang dengan membawa nilai-nilai
budaya dan nilai hukumnya masing-masing. Akan tetapi sekarang kondisi
pluralistik itu di bidang hukum dapat menjadi lebih kompleks lagi dengan
pesatnya perkembangan teknologi, perpindahan orang, modal dan barang.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 21
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
BAB IV
MENUJU INTEGRASI NASIONAL BERBASIS MULTIKULTURALISME
DAN PERMASALAHANNYA
Kompetensi Dasar :
Memahami integrasi nasional berbasis multikulturalisme dan permasalahannya.
Indikator Hasil Belajar :
1. menguraikan tugas dan fungsi kepolisian.
2. menguraikan pengertian negara-bangsa.
3. menguraikan pengertian negara multikulturalisme.
4. menguraikan Indonesia sebagai negara hukum.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 22
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
Sekali lagi, judul mata kuliah ini bukan Antropologi, tetapi Antropologi
Kepolisian. Sebab, materi perkuliahan yang diberikan bukanlah teori-teori dan
konsep-konsep dasar antropologi selayaknya dalam mata kuliah Pengantar
Ilmu Antropologi. Melainkan, teori-teori dan konsep-konsep antropologi yang
relevan dengan tugas dan fungsi Kepolisian.
Secara garis besar, tugas dan fungsi Kepolisian adalah memelihara dan
menjaga keteraturan/ketertiban sosial/masyarakat yang terdiri dari (a)
pelayanan masyarakat; (b) pengayoman masyarakat; dan penegakan hukum -
sebagai representasi dari negara. Oleh karena itu, topik-topik dalam mata
kuliah Antropologi Kepolisian ini adalah topik-topik yang relevan dengan tugas
dan fungsi Kepolisian.
Sementara itu, masyarakat Indonesia yang menjadi subyek dalam tugas
dan fungsi Kepolisian adalah masyarakat yang heterogen atau plural yang
berbeda dengan Korea atau Jepang yang relatif homogen. Juga berbeda
dengan masyarakat Amerika Serikat meskipun sama-sama plural. Untuk itu,
tugas dan fungsi Kepolisian NRI mempunyai persoalan yang berbeda dengan
Korea, Jepang atau Amerika Serikat.
Dengan demikian, tujuan umum dari perkuliahan ini adalah agar petugas
Kepolisian mampu mengidentifikasi, memahami dan menganalisis berbagai
persoalan yang timbul dari masalah “keteraturan/ketertiban sosial” (melalui teori
dan konsep antropologi yang relevan) sehingga mampu memberikan solusi dan
pencegahannya. Di sisi yang lain, dalam ranah praktikal, perkuliahan ini sangat
penting untuk diberikan kepada petugas kepolisian sebagai representasi
negara, agar dalam menjalankan /tugas dan fungsinya, bisa memahami
bagaimana aturan-norma-hukum bekerja dalam masyarakat dan mampu
mendekatkan hukum dengan rasa keadilan masyarakat yang dilayaninya.
Tidak satu pun negara di dunia ini yang benar-benar “homogen”. Kalau
pun ada, itu hanya merupakan suatu bentuk “dominasi”, bisa dominasi etnis,
agama atau kebudayaan tertentu. Bentuk dominasi inilah yang menyebabkan
seolah-olah sebuah negara tampak ”homogen”, padahal di dalamnya ada atau
terjadi kesatuan kesatuan/golongan-golongan sosial lain yang termarginalkan.
Indonesia adalah Negara-bangsa yang dibentuk berdasarkan atas semangat
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 23
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
2. Pengertian Negara-Bangsa
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 25
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
sebab negara-bangsa itu sendiri pada umumnya justru terbentuk oleh warganya
yang berbeda-beda. Dengan kata lain, sesungguhnya, perbedaan bukanlah
persoalan bagi negara-bangsa. Perbedaan bukanlah ancaman bagi integrasi
bangsa atau nasionalisme. Sebab, dalam negara-bangsa yang plural -
perbedaan keyakinan agama, ras, etnik atau golongan adalah keniscayaan.
Persoalannya adalah terletak pada masalah “kesetaraan” atau “keadilan”,
bukan pada “perbedaan”. Oleh karena itu, isyu yang sensitif bagi integrasi
bangsa pada negara-bangsa adalah masalah “keadilan antar golongan sosial” –
bukan masalah “perbedaan” atau “keberagaman”.
Mempertahankan dan memperkuat identitas etnik, agama, dan
kebudayaannya sendiri bukanlah hal yang salah jika tetap pada kesadaran
bersama bahwa ada kesatuan atau golongan sosial lain yang juga merupakan
bagian dari NKRI . Sebab, ketika identitas etnik, keyakinan agama, dan
kebudayaan menguat – tetapi tidak dibarengi dengan tumbuhnya kesadaran
akan keberagaman yang ada di negeri ini (perbedaan dalam kesatuan dan
kesetaraan), tentunya akan berpotensi menjadi acaman bagi integrasi bangsa.
Bahkan sudah ada atau mulai tumbuh ‘kelompok-kelompok’ kecil anti-
keberagaman yang ekstrim (garis keras), yang mencoba menegakkan
“hukum”nya sendiri - vigilante, memaksa kesatuan atau golongan sosial lain
dengan melakukan sweeping atas nama “demokrasi”. Disinilah pentingnya nilai-
nilai multikulturalisme. Nilai-nilai multikulturalisme (Pancasila) harus menjadi ruh
dan pengikat bangsa.
Dalam pemikiran multikulturalisme, selain diharapkan akan memberi
peluang untuk saling berinteraksi satu sama lain agar bisa tumbuh saling
mengenal dan menghargai (toleransi) – satu sama lain, juga diharapkan
terjalinnya hubungan sosial antar kesatuan yang ada berada dalam posisi
setara (perbedaan dalam kesatuan dan kesetaraan). Tidak ada perlakuan
khusus terhadap golongan sosial tertentu atau tidak ada yang lebih tinggi atau
lebih rendah – pluralisme dan relativisme kebudayaan - (kebersamaan sebagai
satu bangsa dan membangun masa depan bersama). Dengan demikian,
sesungguhnya masalah yang sensitif bagi integrasi sebuah negara-bangsa
yang plural seperti Indonesia adalah masalah keadilan masing-masing
golongan atau kesatuan sosial. Dengan prinsip “perbedaan dalam kesatuan
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 27
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 28
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 29
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 30
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 32
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
menghukum warga (lihat Suparlan, 2007). Hal serupa juga dialami oleh
pemerintah atau negara yang ‘gamang’ terhadap persoalan-persoalan HAM
dalam bertindak atau mengambil keputusan atau kebijakan tertentu. Tentu saja
persoalan ini harus segera diatasi.
Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, maka perlu dilakukan
pembenahan dan pembinaan sistem hukum tersebut. Hal ini adalah wajar-wajar
saja, sebab dalam semua sistem hukum yang ada didunia merupakan sistem
hukum terbuka, yang harus mampu mengakomodasi perkembangan yang
terjadi dalam masyarakatnya. Namun, nasionalisasi sistem hukum tersebut
tidaklah mudah. Hal ini memerlukan proses yang panjang (waktu). Tetapi,
setidaknya negara dalam menjalankan roda pemerintahan diharapkan selalu
mempertimbangkan beragam hukum yang ada sehingga mampu menjamin
keadilan subyektif masing-masing kesatuan/golongan sosial, dan secara
simultan sekaligus melakukan pembenahan dan pembinaan sehingga hukum
nasional seiring berjalannya waktu semakin mampu menjamin keadilan semua
golongan sosial. Oleh karena itu pula, dalam konteks penegakan hukum,
hukum itu sendiri harus otonom (bebas dari pengaruh apapun dan siapapun –
penguasa pun harus menjalankan hukum tersebut) sehingga bisa memberikan
kepastian hukum (sebagai pedoman dan rambu-rambu yang pasti) dan mampu
menjamin keadilan termasuk mencegah terjadinya perbuatan main hakim
sendiri - selain persoalan “aturan main” (isi/pasal-pasal dalam UU – apakah
sudah memenuhi keadilan semua pihak dan sesuai dengan HAM). Sebab, jika
hukumnya sendiri belum memenuhi keadilan (diskriminatif), maka penegakan
hukum sama halnya dengan menegakkan “ketidakadilan”.
Sementara itu, Indonesia sebagai negara hukum, sebelum sistem
hukumnya mampu menjamin keadilan semua golongan sosial, maka setidaknya
selama proses pembenahan dan pembinaan sistem hukum Indonesia, negara
harus menegakkan Hak-hak Asasi Manusia (hak-hak dasar universal) sehingga
setidaknya negara mampu menjamin keadilan warganya secara individual
(perorangan) atau mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak dasar universal
setiap warganya tanpa kecuali. Sebab, salah satu ciri pokok dalam negara
hukum adalah adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
(HAM) yang diatur dalam undangundang.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 33
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 34
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
BAB V
“PERSAMAAN DAN PERBEDAAN” DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Kompetensi Dasar:
Menganalisis persamaan dan perbedaan dalam kehidupan sosial.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 35
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 36
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 37
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
nilainya relatif terabaikan. Oleh karena itu pula, persaingan dipahami sebagai
sebuah proses perjuangan untuk memperoleh sesuatu yang berharga dan
jumlahnya terbatas, yang dilakukan oleh dua pelaku atau lebih (individual atau
kolektif).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam rangka menjaga
kelangsungan hidupnya – proses pemenuhan kebutuhan – manusia harus
melalui kerjasama-persaingan dengan manusia lainnya – sehingga kerjasama-
persaingan adalah hal yang wajar (kodrat) dalam kehidupan sosial manusia.
Sementara itu, di sisi lain, kerjasama-persaingan dalam kehidupan manusia
sebenarnya tergantung pada masalah “ketersediaan” sumberdaya yang
dibutuhkan – apakah ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan tersebut
mampu memenuhi semua manusia yang memerlukannya atau tidak? Oleh
karena itu, dalam kerjasama-persaingan ada “aturan main” – semacam
kesepakatan bersama, yang selalu dievaluasi secara bersama oleh para pelaku
yang terlibat di dalamnya (rekonstruksi dan reproduksi “aturan main”) secara
terus menerus.
Dengan berpegang pada kerangka pikir bahwa semua organisma
mempunyai masalah mendasar/pokok yang sama, yaitu masalah kelangsungan
hidup (eksistensi), maka - ketika pemenuhan kebutuhan tersebut terganggu
akan menimbulkan potensi konflik - sebab kelangsungan hidupnya
(eksistensinya) akan terganggu. Dengan kata lain, bila kerjasamapersaingan
tersebut terganggu, maka perselisihan atau potensi konflik pun tak dapat
dihindari (karena jika pemenuhan kebutuhan terganggu maka kelangsungan
hidupnya juga akan terganggu). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
konflik sebenarnya adalah sebuah produk/hasil dari proses kerjasama-
persaingan yang terganggu dalam kehidupan manusia. Maka secara tak
langsung, dapat dikatakan pula bahwa konflik (sosial) sesungguhnya tidak
terjadi secara tiba-tiba atau spontan, tapi merupakan sebuah “proses”.
kerjasama-persaingan terganggu → perselisihan → konflik
Dengan demikian, konflik menjadi wajar dalam kehidupan manusia ketika
masalah kerjasama-persaingan tidak dapat dikelola dengan baik (mampu
menjamin keadilan subyektif semua pihak dan mampu menjamin kerjasama-
persaingan tetap sesuai “aturan main”.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 38
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 39
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
persaingan yang terganggu. Artinya, konflik, tidak harus berawal dari sebuah
persaingan, tetapi bisa juga terjadi sebagai akibat dari sebuah kerjasama yang
terganggu.
Dalam konflik sosial, identitas personal berubah menjadi identitas kolektif
(identitas sosial – jaringan sosial). Dengan kata lain, konflik sosial adalah konflik
antar golongan sosial – bisa atas kategori sukubangsa, keyakinan agama,
ideologi dan seterusnya dari para pihak yang sedang terlibat konflik (satu
muatan sosial membentuk satu jaringan sosial). Oleh karena itu dalam konflik
sosial (konflik antar golongan sosial/kategori sosial – muatan sosial) akan
terjadi proses atau upaya pengahancuran atribut-atribut dari kategori/golongan
sosial lawan (apapun dan siapapun – bahkan kerabat sekalipun) – yang dilihat
bukan lagi orang atau aktornya, tapi atribut atau kategori sosialnya. Dengan
demikian, akar permasalahan dari sebuah konflik sosial, bukanlah karena
perbedaan – meskipun mereka mengaktifkan “persamaan-perbedaan”
kesukubangsaan atau keyakinan agama. Bukan karena berbeda sukubangsa
atau keyakinan agamanya (atau perbedaan lainnya), melainkan karena atau
akibat dari terganggunya pemenuhan kebutuhan hidup (kebutuhan biologi-
sosial-budaya dalam rangka menjaga kelangsungan hidup - eksistensi) –
terganggunya proses kerjasama persaingan.
Lebih jauh, perbedaan adalah kodrat. Tidak ada masyarakat yang benar-
benar homogen atau tidak terstratifikasi (karena kelangkaan sumberdaya atau
belum terjaminnya kesejahteraan seluruh umat manusia). Oleh karena itu,
perbedaan kesejahteraan (kesenjangan sosial) juga adalah wajar – tak bisa
dihindari. Sebagai misal, dalam satu area pemukiman biasanya terdiri dari
warga yang kaya dan miskin atau dengan status sosial yang berbeda-beda
(stratifikasi sosial), tetapi mereka tidak konflik. Jika perbedaan status sosial
atau kesenjangan sosial adalah penyebab konflik, maka mereka tidak akan
pernah hidup bersama seperti yang kita saksikan hari ini. Demikian halnya
dengan kehidupan yang lebih luas – dunia. Dunia tidak pernah ada kedamaian
hingga musnahnya umat manusia karena setiap hari harus konflik dengan
sesamanya (manusia lainnya) yang berbeda dengan dirinya. Sebagai contoh,
apakah jika kita melihat ada korban kecelakaan di jalan, kita bertanya dulu pada
korban – “anda sukubangsa apa atau agamanya apa? Baru kita menolongnya;
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 40
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
atau saat akan berbelanja ke pasar, apakah kita bertanya kepada penjual
dengan pertanyaan serupa – “Ibu atau Bapak dari sukubangsa apa? Agamanya
apa? Baru kita memutuskan untuk membeli barang yang kita perlukan atau
tidak? Kita selalu mengkonsumsi produk-produk dalam kehidupan kita, yang
kita tak pernah ingin tahu siapa yang memproduksi semua itu. Justru
sebaliknya, kita bekerja pada perusahaan atau institusi yang sama dengan latar
belakang yang berbeda satu sama lain, dan tidak terjadi konflik. Kita bisa
berteman dan saling bekerjasama.
Jadi, sekali lagi, kerjasama-persaingan adalah sesuatu yang wajar dalam
kehidupan manusia – bukan konflik. Demikian juga bahwa perbedaan bukanlah
sumber konflik, tetapi masalah kerjasama-persaingan dalam kehidupan
manusia yang terganggu sehingga kelangsungan hidup manusia terganggu.
Dengan demikian, yang namanya “persaingan” tidak seharusnya ditakuti
atau dicegah dan dilarang, sebab persaingan mempunyai fungsi untuk
meningkatkan daya-adaptasi dan daya-saing, serta integrasi sosial (internal –
our circle). namun,yang harus dicegah adalah konflik - konflik sosial – karena
konflik sosial mengakibatkan kehancuran (kerugian materiil dan non-materiil) –
dan tidak jarang mengakibatkan rusaknya sarana dan prasarana sehingga
kehidupan sosial menjadi “lumpuh”. Oleh karena itu pula, kita tidak seharusnya
mengelola konflik (konflik sosial), tapi mengelola potensi konflik agar tidak
menjadi konflik sosial.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 42
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 43
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 45
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 46
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
BAB VI
DASAR-DASAR BERPIKIR JARINGAN
Kompetensi Dasar:
Menganalisis berpikir jaringan.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 47
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 48
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 49
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 50
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
BAB VII
BERPIKIR JARINGAN
Kompetensi Dasar:
Menganalisis system berpikir jaringan
Indikator Hasil Belajar:
1. menguraikan pengertian berpikir jaringan.
2. menguraikan cara kerja “jaringan sosial” sebagai sebuah frame of reference.
3. menguraikan Berpikir jaringan (analisis jaringan sosial – AJS) sebagai frame of
reference adalah sebagai sekumpulan nilai yang membentuk pola pikir
seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk
“pandangan subjektif “ seseorang.
4. membandingkan gambar teritori geografis dan teritori social.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 51
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 53
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
Untuk itu pula, tujuan utama dari buku ini adalah untuk memperkenalkan
dan menawarkan “cara berpikir” (This is based on the idea that SNA is a
generative endeavor that does not simply imply new tools for old needs, but
new tools and new means for looking at the social world) atau frame of
reference yang lain, guna memahami perubahan-gerak-dinamika masyarakat di
era digital ini. Berdasarkan tujuan tersebut, maka dalam buku ini, penulis
menyajikan tentang “dasar-dasar dari berpikir jaringan”, yaitu tentang
bagaimana “jaringan sosial” sebagai sebuah frame of reference – bukan
sekedar sebagai sebuah metode dan teknik penelitian, apalagi sebatas sebagai
metode dan teknik pengumpulan data semata yang selama ini dipahami oleh
sebagian pihak. Ini pula yang menjadi salah satu penyebab tentang mengapa
berpikir jaringan di kalangan “kualitatif” tidak sepesat perkembangan yang
terjadi di kalangan ilmuwan tradisi (pendekatan) kuantitatif.
Berpikir jaringan (analisis jaringan sosial – AJS) sebagai frame of
reference adalah sebagai sekumpulan nilai yang membentuk pola pikir
seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk
“pandangan subjektif “ seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan
menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Secara etimologis,
AJS berarti sebagai model teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Dan,
secara terminologis, AJS berarti sebagai pandangan mendasar kita selayaknya
sebuah paradigma dalam ilmu pengetahuan, yaitu sebagai model atau
kerangka berpikir komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, AJS, dalam hal ini
menawarkan sebuah cara untuk melihat – akan mempengaruhi apa yang kita
pilih untuk dilihat/dicari. Dalam hal ini, AJS tidak atau bukan mempersoalkan
masalah benar atau salah, tetapi sebagai cara melihat (point of view).
Untuk lebih jelasnya, mungkin ilustrasi tentang “batas sosial dan batas
geografi” berikut ini bisa memberikan gambaran yang lebih baik tentang
persoalan AJS sebagai sebuah frame of reference. Di sebuah lingkungan
kampus sering kita dengar percakapan di antara mahasiswa, “Ke kantin yuk”
ajak seorang mahasiswa. “sepi… ga ada anak-anak” sahut mahasiswa lainnya.
Padahal, pada jam makan siang, kantin mahasiswa sangat penuh, tidak ada
kursi yang tersisa. Ternyata, yang dimaksud, di sana tidak ada teman-
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 54
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 55
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
Sekarang, dengan berbagai alasan dan sebab, mereka tidak lagi tinggal
dan hidup di satu desa/kampung yang sama. Batas geografis tidak lagi sama
dengan batas sosial.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 56
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
BAB VIII
KAJIAN SENGKETA DAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA
1. Kompetensi Dasar:
Memahami konsep konflik, sengketa, kajian sengketa, dan model penyelesaian
sengketa.
Indikator Hasil Belajar:
a. Menjelaskan konsep konflik.
b. Menjelaskan konsep sengketa.
c. Menjelaskan cakupan dan kegunaan kajian sengketa.
d. Menjelaskan model-model penyelesaian sengketa.
2. Kompetensi Dasar:
Menganalisis kasus-kasus konflik dan sengketa dalam masyarakat dalam
rangka menemukan strategi penyelesaian sengketa dan pilihan hukum warga
masyarakat.
Indikator Hasil Belajar:
a. Menguraikan contoh penerapan kajian sengketa secara umum.
b. Menguraikan contoh penerapan kajian sengketa dalam konteks isu akses
masyarakat terhadap Sumber Daya Alam.
c. Menguraikan pemikiran reflektif terhadap penerapan model penyelesaian
sengketa dalam masyarakat di Indonesia.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 57
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
1. Konsep Konflik
2. Konsep Sengketa
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 59
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
Sengketa hakikatnya berkembang dari rasa tidak puas satu pihak kepada
pihak lain. Perasaan tidak puas ini muncul karena ada kerugian (grievance)
yang timbul akibat sikap salah satu pihak dan diraskan atau dialami pihak
lainnya. Ada dua kelompok ilmuwan yang membahas mengenai tahap
perkembangan sengketa ini atau istilahnya eskalasi sengketa. Pertama, Nader
dan Todd. Kedua, Felstiner, Abel dan Sarat.
Menurut Nader dan Todd tahap eskalasi sengketa diawali dengan adanya
pra-konflik. Pada tahap ini tercipta keadaan yang mendasari rasa tidak puas
seseorang terhadap pihak lain. Tahap berikutnya adalah taahap konflik. yaitu
keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui adanya perasaan
tidak puas tersebut. Tahap terakhir adalah sengketa. Tercipta keadaan di mana
konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau dengan melibatkan pihak
ketiga. Sebetulnya tidak selalu untuk mencapai sengketa harus melalui
tahapan-tahapan di atas, dapat saja dari tahap pra-konflik langsung ke
sengketa tergantung eskalasinya.
Menurut Felstiner, Abel dan Sarat tahap perkembangan sengketa dimulai
dari situasi Naming, Blaming dan berakhir pada Claiming. Pada tahap Naming,
salah satu pihak mulai merasakan adanya kerugian. DI tahap Blaming, pihak
yang merasa dirugikan mengenali sumber dari masalah atau kerugian yang
dirasakannya. Terakhir, pada tahap Claiming, pihak yang merasa dirugikan
mencoba untuk memperoleh penyelesaian atas problem yang dihadapinya.
Sengketa dapat timbul di antara:
a. Individu vs individu dari kelompok yang sama (inter group) maupun dari
kelompok yang berbeda.
b. Kelompok vs kelompok (intra group) (Valerine JL.Kriekhoff, dalam Ihromi,
1989: 225).
c. Individu vs kelompok.
Cara-cara penyelesaian sengketa yang dikaji Nader dan Todd:
1) Lumping it (membiarkan saja). Pihak yang merasa dirugikan gagal
memperoleh apa yang dituntut, ia mengabaikan masalah yang
menimbulkan tuntutannya dan meneruskan hubungan dengan pihak
yang tadinya dianggap merugikan.
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 60
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 62
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 63
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 64
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 65
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 66
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
DAFTAR PUSTAKA
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 67
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 68
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
LAMPIRAN
ANTROPOLOGI KEPOLISIAN 69
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN
MARKAS BESAR
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
SURAT PERINTAH
Nomor : Sprin/ 459 /IV/DIK.1.3./2021
DIPERINTAHKAN
d. Penanggung jawab.....
2 SURAT PERINTAH KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : SPRIN/ 459 / IV /DIK. 1.3./2021
TANGGAL: 5 APRIL 2021
d. Penanggung jawab
bertanggung jawab terhadap proses penyelenggaraan dan hasil
yang dicapai dalam kegiatan rapat koordinasi penyusunan Hanjar
Dikbangum Prodi S1 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK)
angkatan ke-79 Tahun Anggaran 2021.
e. Ketua Pelaksana
mempersiapkan dan menyelenggarakan pelaksanaan serta
melaporkan hasil rapat koordinasi penyusunan Hanjar Dikbangum
Prodi S1 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) angkatan ke-79
Tahun Anggaran 2021 kepada Kalemdiklat Polri.
f. Wakil Ketua
Menjelaskan petunjuk teknis pelaksanaan, mengontrol
berlangsungnya kegiatan, dan moderator dalam kegiatan rapat
koordinasi penyusunan Hanjar Dikbangum Prodi S1 Sekolah Tinggi
Ilmu Kepolisian (STIK) angkatan ke-79 Tahun Anggaran. 2021.
g. Sekretaris
menyiapkan kelengkapan administrasi (jadwal kegiatan, daftar
hadir, pembagian kelompok diskusi dan penyiapan tempat
pelaksanaan kegiatan).
h. Notulen
bertugas mencatat poin-poin penting yang dibahas dan disepakati
bersama.
i. Ketua Diskusi Kelompok
Memimpin diskusi kelompok, menyiapkan pokok masalah yang akan
didiskusikan, mengendalikan dan mengatur jalannya diskusi agar
tetap berjalan baik, hidup, efisien dan efektif serta memaparkan hasil
diskusi.
j. Operator Kelompok
mempersiapkan perlengkapan diskusi, memfasilitasi kebutuhan
peserta diskusi, mengkompulir materi awal sebagai bahan diskusi,
dan menuangkan hasil diskusi disesuaikan dengan format
kurikulum.
2. kegiatan dilaksanakan selama 4 (empat) hari kerja dari tanggal
8 s.d.10 dan 12 April 2021 bertempat di Swiss-Bellhotel Pondok
Indah, Jln. Metro Pondok Indah No. 6 Pondok Pinang Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan;
3. seluruh biaya yang digunakan untuk mendukung kegiatan ini dibebankan
pada anggaran Lemdiklat Polri Tahun Anggaran 2021;
4. melaksanakan.....
3 SURAT PERINTAH KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : SPRIN/ 459 / IV /DIK. 1.3./2021
TANGGAL: 5 APRIL 2021
Paraf :
1. Konseptor/Kasubbag Sespimmen : .......
2. Kaurmin Bagkurhanjar Dikbangum : .......
3. Kabag Kurhanjar Dikbangum : .......
4. Kaurtu Ro Kurlum : .......
5. Karo Kurikulum : .......
6. Kataud Lemdiklat Polri : .......
MARKAS BESAR LAMPIRAN
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SURAT PERINTAH KALEMDIKLAT POLRI
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NOMOR : SPRIN/459/IV/DIK.1.3./2021
TANGGAL : 5 APRIL 2021
JABATAN
NO NAMA PANGKAT
STRUKTURAL KEPANITIAAN
1 2 3 4 5
Drs. LUKI HERMAWAN,
1. IRJEN POL WAKA LEMDIKLAT POLRI PENASIHAT
M.Si.
KABAG KURHANJAR
Drs. HUDIT WAHYUDI., KOMBES
3. DIKBANGUM ROKURLUM WAKIL KETUA
M.Hum., M.Si. POL
LEMDIKLAT POLRI
KASUBBAG SESPIMMEN
BAG KURHANJAR
4. WILLIANAH, S.H., M.H. AKBP DIKBANGUM SEKRETARIS
ROKURLUM LEMDIKLAT
POLRI
PAUR SUBBAG
SESPIMTI BAG
KURHANJAR
5. RUDIANTO, S.E. PENATA NOTULEN
DIKBANGUM
ROKURLUM LEMDIKLAT
POLRI
1 2 3 4 5
KAURMIN
TJATUR
BAGKURHANJAR
8. SURATININGRUM, KOMPOL ANGGOTA
DIKBANGUM ROKURLUM
S.H.
LEMDIKLAT POLRI
PAUR PD SUBBAG STIK
RINDANG GALIH. S., BAG KURHANJAR OPERATOR
9. PENATA
S.E. DIKBANGUM ROKURLUM KELOMPOK I
LEMDIKLAT POLRI
18. HARTINI.......
3 LAMPIRAN
SURAT PERINTAH KALEMDIKLAT POLRI
NOMOR : SPRIN/459/IV/DIK.1.3./2021
TANGGAL : 5 APRIL 2021
1 2 3 4 5
PAUR PD SUBBAG BAG
SESPIMTI KURHANJAR
OPERATOR
18. HARTINI, S.Pd., M.Pd PENATA DIKBANGUM
KELOMPOK III
ROKURLUM LEMDIKLAT
POLRI
KELOMPOK IV MATA KULIAH POLISI DAN TATA KELOLA PEMERINTAH