Anda di halaman 1dari 152

MENGUKUHKAN

POSISI IDEAL POLRI


DI BAWAH PRESIDEN
MENGUKUHKAN
POSISI IDEAL POLRI
DI BAWAH PRESIDEN

Sidratahta Mukhtar

Diterbitkan oleh AYNAT Publishing Yogyakarta


bekerjasama dengan Pusat Studi Kepolisian dan Demokrasi (Puskad)
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sidratahta Mukhtar
Mengukuhkan Posisi Ideal POLRI di bawah Presiden
Yogyakarta: Aynat Publishing dan PUSKAD, 2015
x + 142 hlm. ; 21 cm
ISBN: 978-602-8917-...-...

MENGUKUHKAN POSISI IDEAL POLRI DI BAWAH PRESIDEN


© Sidratahta Mukhtar

Cetakan pertama, Januari 2015

Diterbitkan oleh:
AYNAT PUBLISHING, Yogyakarta
bekerjasama dengan
PUSAT STUDI KEPOLISIAN DAN DEMOKRASI (PUSKAD), Jakarta

Lay out dan Sampul: MN. Jihad

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun
tanpa seizin tertulis dari penulis.

Dicetak oleh:
CV. Arti Bumi Intaran
Mangkuyudan MJ III/216 Yogyakarta

Isi di luar tanggung jawab percetakan


Pengantar Penulis

Puji syukur kepada Allah yang atas karunia dan nikmat


yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat menuntaskan
penulisan buku ini dengan judul, “Mengukuhkan Posisi Ideal Polri
Di Bawah Presiden”. Setiap kali penulis dapat merampungkan
naskah buku, maka sebagai insan akademis di universitas
tentunya selalu membahagiakan dan terasa bahwa beban moral
terhadap sebuah komitmen untuk menyumbangkan ide dan
gagasan tentang masalah kebangsaan mulai terwujud satu
demi satu.

Buku ini menjawab satu isu penting dalam konteks tempat


atau posisi Polri dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sejak
lahir UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) yang menempatkan Polri sebagai lembaga
utama penyelenggara fungsi keamanan dalam negeri dan
penegakan supremasi hukum, maka kritik dan otokritik terhadap
perkembangan Polri terus muncul. Beberapa pihak baik dari
kalangan akademisi, masyarakat sipil, dan pers maupun praktisi
senior di pemerintahan menyoal tentang apakah reformasi
dan perubahan institusional dan instrumental di Polri sudah
sesuai dengan prinsip dan kaidah demokrasi. Mengingat dalam
pandangan mereka, Polri belum sepenuhnya demokratis ketika
Polri merupakan institusi yang membuat kebijakan Kepolisian,
sebagai pelaksana kebijakan atau instrument pelaksana
vi Sidratahta Mukhtar

kebijakan dan sekaligus bertindak sebagai pengawas kebijakan.


Hal itulah yang kemudian memunculkan kekhawatiran Polri
sebagai lembaga super body.

Interaksi dan ketertarikan penulis tentang isu kepolisian dan


demokrasi telah muncul sejak awal reformasi nasional yang
menuntut Polri dipisahkan dari ABRI atau TNI saat itu. Apalagi
salah satu arsitek reformasi kepolisian saat itu, adalah Farouk
Muhammad, yang baru saja kembali dari studi doktoralnya di
Amerika Serikat, menawari penulis untuk melamar menjadi
pengajar tetap di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Namun, penulis hanya menjadi peneliti dan pengajar tidak
tetap di PTIK (2003-sekarang). Kajian keamanan, demokrasi dan
kepolisian telah penulis kembangkan di beberapa universitas
yaitu Universitas Paramadina dan Universitas Kristen Indonesia.
Hasilnya menunjukkan bahwa kajian kepolisian dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan masih tergolong langka. Studi
kepolisian masih merupakan kajian eksklusif di perguruan tinggi
kedinasan seperti Akpol, PTIK, Sespim, Selapa, dan beberapa
universitas seperti Universitas Indonesia dan Universitas
Diponegoro Semarang.

Ketika penulis memulai menulis disertasi doktoral di


Universitas Indonesia, penulis sudah sejak awal menentukan
topik tentang reformasi Polri: Posisi Polri dalam sistem demokrasi.
Sejak kolokium pada akhir tahun 2007 hingga beberapa tahun
kemudian, penulis masih fokus pada riset pendahuluan tentang
Kepolisian, namun mulai tahun 2011, penulis sudah mengubah
fokus disertasi di UI dengan mengkaji kebijakan nasional anti
terorisme, studi Densus 88 Polri dan BNPT. Buku ini merupakan
pengembangan dari draft awal disertasi UI, dan telah penulis
sampaikan dalam beberapa kali seminar di Indonesia dan
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden vii

di Amerika Serikat. Oleh karena itu, penulis merasa sangat


berterima kasih atas kritik dan masukan beberapa dosen dan
ahli saat Kolokium Disertasi versi awal, kepada Prof. Burhan
Djabir Magenda, Prof. Dr. Maswadi Rauf, Prof. Indria Samego,
Ph.D, Edy Prasetyono, Ph.D, Julian Aldrin Pasha, Ph.D, Dr. Fredy L.
Tobing, M.Si. masukan yang disepakati terutama oleh Prof. Indria
Samego, Penasehat Ahli Kapolri, dan Dr. Edy Prasetyono selaku
Penasehat Ahli Menteri Pertahanan (Menhan) adalah judul
disertasi: “Tempat Ideal Polri dalam Sistem Politik?”Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada beberapa dosen; Prof. Amir
Santoso, Dr. Isbodroini Suyanto, Chusnul Mar’iyah, Ph.D, alm. Prof.
Iberamsyah, Dr. Hariyatmoko dan lainnya. Dalam kesempatan
ini juga disampaikan terima kasih kepada Prof. Irjen (Purn).
Farouk Muhammad, Irjen Pol (Purn). Sisno Adiwinoto (Wakil
Ketua Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian), Drs. Harun Al Rasyid, M.Si
(mantan Anggota Komisi II DPR), Dr. Pieter C. Zulkifli, Prof. John
Pieris, SH, MS, Dr. A. Wahyurudhanto, Yundini H. Erwin, MA, Dr.
Muhammad Nasir, Kompol. Teguh, Tunggul Sitompul, SH, MA, dr.
Merphin Panjaitan, M.Si, Mujahid A Latief, dan Jamil Burhan, SH.

Dalam konteks penyelesaian draft buku “Mengukuhkan


Polisi Ideal Polri di Bawah Presiden” ini penulis sampaikan
penghargaan dan terima kasih kepada Irjen Pol. Ronny F.
Sompie, Kadiv Humas Polri yang memberikan masukan dan
dapat diwawancara langsung. Kepada Burmalis Ilyas, MA,
disampaikan penghargaan atas dukungan dan masukan dalam
perbaikan naskah akhir. Perlu penulis sampaikan penghargaan
dan terimakasih pada paman Fatah H Jasin atas nasehat dan
doanya selalu, beliau selalu hadir memberikan motivasi. Penulis
juga bersyukur dan menyampaikan penghargaan atas kebaikan,
dukungan moral dan doa yang terus diberikan antara lain oleh
ibunda Hj. Siti Maemunnah Abdullah, Adi Baiquni (adik) dan
viii Sidratahta Mukhtar

keluarga yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Buku ini


rasanya sulit diwujudkan tanpa dukungan dan semangat yang
diberikan istri saya, Alisa Octabiyanti, MSM. dan anak-anak; Paris
dan Nasya serta kepada ibu mertua Sri Nuryati yang banyak
membantu dengan penuh kasih sayang mengasuh kedua
putri kami. Penulisan buku ini membutuhkan kontemplasi dan
revisi beberapa kali, sehingga waktu untuk bersama keluarga
khususnya di akhir pekan berkurang. Semoga karya ini dapat
membuka pintu kesuksesan karir sebagai penulis dan dosen di
masa depan, yang dapat membahagiakan keluarga kecil kami
kelak.

Terakhir disampaikan terima kasih kepada MN Jihad dari


Yogyakarta yang telah membantu proses penerbitan buku ini.
Semoga karya ini dapat berguna bagi upaya untuk menempatkan
Polri secara independen, profesional dan kuat melalui posisi Polri
di bawah presiden.

Jakarta, 13 Januari 2015

Sidratahta Mukhtar
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS — v

BAB I
DEMOKRATISASI DAN REFORMASI KEPOLISIAN — 1
Memahami Teori Pemerintahan Demokratis — 16
Sistem Pemerintahan Di Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945 — 21

BAB II
POSISI POLRI DALAM DINAMIKA SISTEM DEMOKRASI — 25
Perkembangan Polri Pada Awal Kemerdekaan — 27
Polri Pada Masa Orde Baru — 33

BAB III
PROBLEMATIKA POSISI POLRI DALAM STRUKTUR KEKUASAAN — 39
Polri Dalam Era Reformasi — 39

BAB IV
PEMAHAMAN KONSEP KEAMANAN NASIONAL DAN POSISI
POLRI — 69
x Sidratahta Mukhtar

BAB V
POSISI IDEAL POLRI DI BAWAH PRESIDEN — 95
Pengantar — 95
Perkembangan Dan Capaian Polri Di Bawah Presiden — 96
Posisi Polri Di Bawah Presiden: Tantangan Dan Peluang — 117

DAFTAR PUSTAKA — 135


BIODATA PENULIS — 141
BAB I

Demokratisasi dan Reformasi


Kepolisian

Dalam satu dasawarsa terakhir, Indonesia berkembang


menjadi sebuah negara demokrasi baru. Menurut Larry
Diamond, hal itu ditandai dengan pemilihan umum yang
jujur dan adil, kebebasan berserikat serta pers yang bebas. Di
samping itu juga terjadi kemajuan dalam pembangunan politik,
ekonomi dan sosial. Pada periode 1999-2010 tersebut, Indonesia
telah menunjukkan pencapaian yang baik dalam konsolidasi
demokrasi. Meskipun diakui oleh Larry Diamond bahwa Indonesia
merupakan negara yang telat (latecomer) mengalami demokrasi
dalam gelombang ketiga demokratisasi global. Sebab ketika
gelombang itu berlangsung, Indonesia sedang menghadapi era
otoritarianisme yang stabil (stably authoritarian) dari rejim Orde
Baru.1 Untuk menegakkan kembali demokrasi perlu dilakukan
reformasi dan demokratisasi. Demokratisasi itu dimulai dengan
mengubah peraturan perundangan yang bertentangan dengan
demokrasi dan melakukan amandemen UUD 1945.2

1
Larry Diamond, Indonesia’s Place in Global Democracy, dalam Edward
Aspinall and Marcus Mietzner (ed.) Problems of Democratisation in Indonesia.
Singapore, ISEAS, 2010. Hal 21-24
2
Maswadi Rauf, Perkembangan Sistem Politik Indonesia, Bahan Ceramah yang
2 Sidratahta Mukhtar

Demokratisasi sebagai bagian utama dari reformasi total


dimulai dari mengubah format politik negara yang otoriter
kepada negara yang demokratis atau negara hukum. Meminjam
istilah Prof. Sahetapi, ”membusukan dimulai dari kepala”, maka
tepat kiranya melihat filosofi dan raison d’etre dari kehadiran
negara adalah menjamin keamanan warga negara. Pembukaan
UUD 1945 menyatakan dengan jelas bahwa negara melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.3 Dengan
demikian, salah satu tafsiran dan makna dasar dari mukadimah
konstitusi di atas adalah negara memandang perlu membuat
sistem keamanan nasional. maka negara membentuk instrumen
utama pelaksana manajemen keamanan yakni Kepolisian
Republik Indonesia (Polri). Polri melaksanakan fungsi utama
sebagai unsur pemerintah yang melaksanakan pelayanan publik
dibidang keamanan.4

Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces


and Security Sector Reform (GCDC AF) mengatakan;

“What are the objectives of police reform and why have


they been changing? The goal of police reform is humane,
accountable, responsive and capable policing. Police reform
assumes that effective and democratic security delivery
is fundamental for reducing poverty and for sustainable
economic, social and political development. Police reform

disampaikan dalam Orientasi Anggota DPR RI 2009-2014 dari Partai Demokrat,


Puncak Bogor, 11 Agustus 2009.hal 7-9
3
Lihat Naskah Akademik Draft RUU Kamnas. Pada awalnya draft undang-
undang ini dikenal dengan draft RUU Hankamneg, di mana penulis adalah salah
satu peserta FGD dalam sesi-sesi LSM/Ormas dengan Propatria, yang diberi
otoritas oleh Dephan untuk menyiapkan draft RUU Kamnas.
4
Pelayan publik dibidang keamanan adalah melindungi, mengayomi
masyarakat, menegakkan hukum dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 3

efforts used to prioritise technical assistance and training


in specific technical skills, such as investigative procedures,
crime scene management and records keeping.5”

Sejak dekade 1990an, Polisi telah mengimbangkan


perubahan pada aspek keahlian teknik (technical skills) dengan
mempromosikan norma-norma demokrasi liberal yang
disesuaikan dengan kondisi suatu negara, peran organisasi
kepolisian, program reformasi. Selain itu, “successful police
reform is now largely focused on human security and is articulated
in terms of such norms and values as human rights and equal
protection under the law.” RGCDC juga model kepolisian
masyarakat sebagai bentuk perubahan fundamental dari polisi
sebagai “kekuatan pertahanan” kepada polisi sebagai pelayan
publik (to police as “service”). Konsep dan model Eropa ini memiliki
kesamaan dengan agenda reformasi keamanan di Indonesia
yang memisahkan Polri dari Angkatan Bersenjara (TNI).

Faktor-faktor yang menentukan seperti demokratisasi,


kerjasama dan koordinasi antar lembaga keamanan dalam
menghadapi ancaman terorisme dan kejahatan terorganisasi
(the need for better co-operation and co-ordination in the face of
terrorism and organised crime). Kemudian, isu jangka panjang
Polisi adalah mencapai tujuan tata pemerintahan demokratis
(democratic governance), control yang efektif (effective oversight).

Salah satu tuntutan masyarakat pada awal reformasi


adalah diperlukannya reformasi mendasar di dalam institusi
kepolisian. Lembaga yang relatif cepat mengalami reformasi
pasca Orde Baru adalah Polri. Perubahan itu dimulai dengan
momentum bersejarah pemisahan Polri dari TNI pada 1 April

5
Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) The
Swedish Police Act
4 Sidratahta Mukhtar

1999. Polri adalah lembaga pemerintahan negara yang berfungsi


sebagai penanggung jawab masalah keamanan, sementara TNI
merupakan lembaga negara yang mempertahankan negara dari
ancaman luar. Dalam konteks ini, berdasarkan UU No 2/2002
tentang Kepolisian Negara hanya mengenal istilah “keamanan
dan ketertiban masyarakat” dan keamanan dalam negeri.6

Pertimbangan filosofis yang mendasari kebijakan pemisahan


Polri dari ABRI adalah perbedaan fungsi kepolisian dengan
militer (TNI). Militer ditujukan untuk keselamatan, keutuhan dan
kedaulatan negara, sedang fungsi kepolisian ditujukan untuk
menjamin ketentraman masyarakat dan kepatuhan masyarakat
terhadap hukum. Dari segi obyek militer ditujukan untuk
keamanan negara, sementara Polri untuk keamanan individu,
masyarakat dan pemerintah. Perbedaan mendasar tugas polisi
dan tentara terletak pada; polisi berdasarkan aturan hukum
yang sudah pasti, sedangkan tentara berdasarkan keputusan
politik. Meskipun Farouk kurang sependapat dengan gagasan
yaitu pemisahan itu semata-mata karena faktor intervensi ABRI
dalam melaksanakan tugas operasional Polri. Pada sisi lainnya,
Awaluddin Djamin melihat intervensi ABRI selama Orde Baru
sebagai faktor pendorong pemisahan Polri dari ABRI.7

Bagi Polri perubahan itu tidak hanya menyangkut upaya


peningkatan pelayanan Polri kepada masyarakat, tetapi
menuntut Polri sebagai pengawal, mengingat kepolisian
merupakan aparatur pemerintah yang selama 24 jam sehari
melakukan kontak dengan masyarakat. Polri tuntut sebagai
pelindung HAM dan human security.8

6
Farouk Muhammad, Hermawan Sulistyo dan Said Saile, Kinerja Polri Pasca
Mandiri (Jakarta: PPITK PTIK, 2003) hal 20-22.
7
Ibid hal 48-49
8
Sidratahta Mukhtar, Manajemen Keamanan Negara I dan II, makalah, FGD
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 5

Dalam mengemban tugas, Kepolisian saat ini masih saja


menonjolkan kekuasaan (power) sebagaimana berbagai
perkara yang muncul ke permukaan. Di dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan berbagai peraturan perundang-
undangan lainnya yang menegaskan bahwa pada Kepolisian
melekat kekuasaan upaya paksa (penyelidikan, penyidikan,
penyitaan, penggeledahan) dan diskresi yang sangat berpotensi
disalahgunakan apabila tidak ada pengawasan internal,
eksternal dan horizontal serta aturan perilaku (code of practice).

Pengawas eksternal (external oversight) sesungguhnya


telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dinamakan
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), namun keberadaannya
secara struktural dan kekuasaan, mengakibatkan belum dapat
melakukan pengawasan sebagaimana harapan masyarakat,
apalagi mengembangkan dan mengarahkan institusi Kepolisian
yang profesional dan akuntabel sebagaimana disyaratkan dalam
sebuah negara demokrasi.9

Dalam konteks Reformasi dan demokratisasi itu, maka


Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah
satu lembaga pemerintahan yang perlu direformasi. Mengingat,
masyarakat menuntut adanya reformasi Polri dari institusi
kepolisian yang militeristik menuju polisi sipil yang profesional
dan demokratis. Selain itu diperlukannya paradigma kepolisian

Propatria, dalam pembahasan RUU Kamnas, November 2005.


9 Menurut Mardjono Reksodiputro. Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional)
tidak dapat disamakan dengan komisi pengawas lain seperti Komisi Yudisial dan
Komisi Kejaksaan. Struktur dan tujuan Kompolnas adalah memberi masukan
(nasihat) kepada Presiden disamping kepada Kapolri. Jadi sebagai Komisi
Pemberi Nasihat.
6 Sidratahta Mukhtar

yang dapat membangun kemitraan dengan masyarakat.


Internalisasi nilai dan prinsip demokrasi di lingkungan internal
Polri mutlak diperlukan agar segenap anggota Polri dapat
menjalankan fungsi dan perannya secara profesional.10

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid telah


dilahirkan berbagai keputusan politik tentang reformasi Polri.
Instruksi Presiden No. 2/1999 tentang pemisahan Polri dan TNI,
ditindaklanjuti oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Tahun 1999 yang menegaskan peran dan fungsi Polri oleh
keputusan politik, misalnya melalui TAP MPR IV/1999 yang
mewajibkan kepada pemerintah untuk menentukan arah
kebijakan meningkatkan profesionalisme Polri. Terdapat pula
keputusan Presiden No. 89/2000 yang menempatkan Polri
langsung di bawah Presiden.11 Selanjutnya pada 8 Januari 2002,
Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani UU Polri
No.2 tahun 2002.

Perkembangan reformasi Polri tersebut,merupakan kelanjutan


dari dinamika kedudukan dan peran Polri dalam sistem politik
Indonesia paska kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, seluruh
pegawai kepolisian menentukan sikap secara organisatoris di
bawah pangkuan negara republik Indonesia, dan mengangkat
Raden Said Soekanto Tjorkodiatmodjo sebagai kepala kepolisian
negara yang pertama.12 Namun, kepolisian republik Indonesia

10
Indria Samego, Reformasi Polri: Community policing dan Permasalahanya,
dalam T. Hari prihatono, dkk (ed), National Security Framework, Police Reform:
Taking the Heart and Mind,(Jakarta: Propatria, 2008) hal 102-103. Lihat juga, Muradi,
Penantian Panjang Reformasi Polri, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009) hal 33-34
11
Lihat Propatria Institute, Monograph No. 9, Komisi Kepolisian Nasional,
Jakarta, 9 Oktober 2007 hal 1-2
12
Pada tanggal 29 September 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat
pemerintah yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri mengangkat Raden Said
Soekanto Tjokodiatmodjo sebagai kepala kepolisian RI. Lihat Memet Tanumidjaja,
Sejarah Angkatan, Jakarta, Pusat Sejarah ABRI, 1971 hal 3
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 7

sebagai institusi pemerintah dibentuk setahun kemudian,


tepatnya pada tanggal 1 Juli 1946 dan ditempatkan di bawah
Departemen Dalam Negeri.13

Masa demokrasi parlementer pada dekade 1950-an, Polri


dan angkatan perang terlibat aktif dalam melumpuhkan
pemberontakan seperti Andi Aziz di Sulawesi, RMS di Maluku,
DI-TII di Jawa Barat dan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh. Dalam
periode ini Polri ditempatkan di bawah Perdana Menteri. PRRI-
Permesta. Mengenai struktur kepolisian pada masa itu yang
disesuaikan dengan keadaan negara, R.S. Soekanto mengatakan
pentingnya satu wadah kepolisian yang sentral baik operasional
maupun administrasinya, agar dapat melaksanakan fungsi dan
tugasnya secara efektif dalam mengatasi gangguan keamanan.14

Selanjutnya pada masa demokrasi terpimpin yang berlaku


sejak presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 juli 1959
untuk kembali memberlakukan UUD 1945 dengan menggunakan
sistem presidensil. Presiden Soekarno membentuk Departemen
Kepolisian yang dipimpin oleh Menteri Muda Kepolisian dan
diletakkan di bawah Presiden.15 Perkembangan berikutnya,
ditandai dengan lahirnya UU No. 13 tahun 1961 tentang Kepolisian
Negara yang ditandatangani oleh pejabat Presiden Ir. Djuanda.
Pada Undang-Undang ini dinyatakan bahwa Polri merupakan
13
Awaluddin Djamin, Menuju Polri Mandiri Yang Profesional, Pengayom,
Pelindung dan Pelayan Masyarakat, Jakarta, YTKI, Cetakan Kedua, 2000.
14
Ibid hal 4-5. Jawatan kepolisian yang berpusat di Jakarta berusaha
menyatukan segenap potensi yang ada ditubuh Kepolisian, seperti di Sulawesi
Selatan terdapat Polisi Gerilya karena merasa ikut berjuang dalam revolusi fisik.
Kantor Jawatan Kepolisian di Yogyakarta dan Bukittinggi mengintegrasikan diri
kepada Jawatan Kepolisian Indonesia. Jawatan Kepolisian Negara yang terakhir
melebur diri adalah Kepolisian NIT setelah terbentuknya Republik Indonesia.
Lihat juga Achmad Turen, dkk. Jenderal Polisi R.S. Soekanto Bapak Kepolisian
Negara RI, Djakarta: YBB, 2000. Hal 99
15
Lihat SK Presiden No. 154/1959, tanggal 15 Juli 1959 tentang pembentukan
Departemen Kepolisian.
8 Sidratahta Mukhtar

bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.16 Posisi


dan peran Polri yang diintegrasikan ke dalam struktur ABRI
dilanjutkan sampai masa Orde Baru. Kebijakan pemerintah Orde
Baru yang menjadikan Polri sebagai bagian dari Angkatan Darat
(AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) disebabkan
oleh trauma politik yang diderita TNI AD yang menjadi korban
utama Gerakan 30 September PKI (G30S PKI). TNI AD nampaknya
tidak ingin menanggung resiko dengan cara memberikan
kebebasan kepada Polri untuk berdiri sendiri.17

Perkembangan Polri pada masa Orde Baru dipandang kalangan


internal Polri sebagai pengintegrasian yang mengakibatkan
nilai tawar Polri dalam struktur kekuasaan Orde Baru yang
lemah. Awaluddin Djamin, mantan Kapolri, mencontohkan
dalam rencana pengadaan dua Kapal Patroli kepolisian tahun
1981 yang telah disetujui Presiden. Pengadaan Kapal Patroli itu
tidak jadi diserahkan kepada institusi Polri, namun pemerintah
memberikannya kepada pihak Angkatan Laut. Dalam kerjasama
dengan kepolisian negara-negara sahabat juga sulit dilakukan,
karena Polri tidak termasuk dalam kerjasama militer.18

Dinamika Polri dalam sistem politik yang sering mengalami


perubahan sejak Indonesia merdeka sampai sekarang
mengakibatkan terjadinya transformasi kelembagaan Polri yang
disesuaikan dengan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
TAP MPR No. VI tahun 2000 memisahkan Polri dari TNI dan
meletakkan fungsi Polri yang terpisah dari TNI. Polri selanjutnya
langsung berada di bawah Presiden. Posisi dan keberadaan
institusi Polri menjadi semakin kuat dalam konstelasi

16
Awaluddin Djamin, Op Cit hal 12
17
Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran
Politik Militer Indonesia 1958-2000, Jakarta: Aksara Kurnia, 2002 hal 14-15
18
Awaluddin Djamin, Op Cit hal 21-22
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 9

kenegaraan dan arus demokratisasi pada tingkat nasional.19


Lahirnya sejumlah regulasi politik memberikan arti yang sangat
penting bagi peran Polri dalam bidang keamanan.

Berbagai kebijakan di atas, membawa perubahan besar di


lingkungan internal Polri. Polri menjadi institusi pemerintahan
yang memiliki otoritas utama dalam mengelola keamanan
dalam negeri (kamdagri). Reformasi internal bagi aparatur Polri
merupakan sesuatu yang menyenangkan (self driven reform) itu,
Polri akan memiliki fungsi, peran dan kewenangan yang lebih
luas dan kuat. Sebagai akibat dari reformasi Polri yang terlalu
cepat dan dilakukan dengan mengutamakan kepentingan
internal Polri maka sebagian besar kewenangan dan peran
keamanan terkonsentrasi kepada Kepala Polri dan jajarannya.20

Sebenarnya, pergeseran dari sistem politik yang


mengutamakan harmoni dan penyeragaman (authoritarian
system) menuju sistem politik yang penuh persaingan dan
kenajemukan (liberal democracy system) selalu membawa resiko.
Tidak satupun negara yang mengalami proses perubahan dalam
gelombang ketiga demokratisasi (third wave of democratization)
terbebas dari persoalan ini. Yang membedakan antara
pengalaman satu negara dengan negara lainnya hanyalah
skala persoalan dan lamanya proses konsolidasi demokrasi itu
terjadi. Samuel P Huntington mengidentifikasikannya sebagai
persoalan-persoalan transisi (transitions problem), masalah
kontekstual (contextual problems) dan masalah sistemik
(systemic problem) yang tidak sama antara negara yang satu

19
Awaluddin Djamin, I. Ketut Ratna, I. Gede Putu Gunawan dan G. Ambar
Wulan, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: Dari Zaman Kuno sampai
Sekarang (Jakarta: Yayasan Brata bakti, 2006) hal. 379-492.
20
Wawancana dengan Adrianus Meliala, Evaluasi Reformasi Institusi Polri,
Guru Besar ilmu kriminologi FISIP UI, di Depok, 01 Agustus 2010.
10 Sidratahta Mukhtar

dengan lainnya, sehingga transisi menuju demokrasi itu


merupakan bagian dari proses yang dapat disesuaikan dengan
kondisi masing-masing negara.21 Reformasi Polri diharapkan
untuk melahirkan institusi dan aparatur kepolisian yang
memenuhi prinsip-prinsip pemolisian demokratis (democratic
policing). Dalam buku, ”The Police that We Want: A Handbook
for Oversight of Police in South Africa,” antara lain ditemukan
beberapa konsep yang menjelaskan hubungan antara kepolisian
dengan demokrasi sebagai berikut; (1) Perlindungan kehidupan
politik demokratis. (2). Supremasi hukum dan pelayanan
demokratis. (3). Akuntabilitas. (4). Perlindungan hak asasi
manusia (HAM). (5). Pemolisian masyarakat, dan (6). Organisasi
dan manajemen kepolisian yang memadai.22 Apabila institusi
Polri mampu menginternalisasi nilai-nilai demokrasi itu, maka
dapat melahirkan budaya baru bagi Polri yang berorientasi pada
pelayanan publik yang lebih baik.

Sistem politik demokrasi telah menjadi acuan bagi


penyelenggaraan kekuasaan Negara. David Easton mengatakan
bahwa masyarakat yang diferensiasi terbagi dalam berbagai
peranan khusus yang timbul dalam sistem politik. Dalam
kenyataannya suatu Negara pasti memiliki politisi, lembaga

21
Samuel P Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late
Twentienth Century (Norman and London: University of Oklahoma Press, 1993).
Juga lihat Indria Samego, Demokratisasi dan Keamanan, Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional CIDES, Kepemimpinan SBY, Gerakan Terorisme dan Masa
Depan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta, 22 Oktober 2009.
22
Konsep pemolisian demokratis yang secara umum diadopsi dan
dipraktekkan di banyak Negara mencakup antara lain, (1). Sebuah birokrasi
yang mengadopsi struktur militer dengan diskresi terbatas, dan mencoba
membuat langkah-langkah pemeriksaan yang terukur. (2). Pemisahan kepolisian
dari organisasi militer dan berupaya mengembangkan kompetensi lembaga
kepolisian lebih baik lagi dari sebelumnya. Lihat Bruce and Rachel Neild, The Police
that We Want: A Handbook for Oversight of Police in South Africa,Johannesburg-
Open Society Initiative, 2005. Lihat juga Bibit S. Rianto, Pemolisian Demokratis,
Makalah Hasil Penelitian 2008, Mabes Polri, 2008.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 11

perwakilan, administrator, hakim-hakim, pemimpin-pemimpin


politik dan semacamnya yang dapat diandalkan. Ketika
memindahkan actor-aktor politik, pada saat yang sama juga
memindahkan seluruh aktor-aktor lainnya orang-orang yang
dilibatkan, keagamaan, lembaga-lembaga dalam pemerintah
dan kekuatan-kekuatan politik lainnya.23

Standar yang harus dipakai dalam kerangka sistem adalah


menempatkan sistem demokrasi sebagai sistem politik yang
ideal dibandingkan dengan sistem lainnya yakni sistem otoriter.
Pandangan tentang begitu positifnya demokrasi adalah bahwa
sistem ini telah terbukti baik dalam mengatur umat manusia
dan lembaga-lembaga Negara didalamnya selama berabad-
abad lamanya. Negara adalah lembaga netral yang tidak boleh
mengintervensi spesifikasi lembaga yang lainnya. Negara
harus melindungi dan berdiri dalam semua golongan sosial dan
politik. Menurut max Weber bahwa Negara adalah lembaga
kemasyarakatan yang berhasil memiliki monopoli hukum untuk
menggunakan daya paksa di suatu entitas dan kekuatan.24

Menurut Arif Budiman bahwa Negara memiliki pesona daya


paksa yang tinggi, yaitu. Pertama, negara merupakan lembaga
yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam suatu
masyarakat. Negara dapat mengintervensi dan memaksakan
kehendaknya kepada warga Negara dan atau kepompok
yang ada di dalam masyarakat, bahkan kalau perlu, Negara
memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam
memaksakan kepatuhan masyarakat atas perintah-perintah yang
dikeluarkannya. Kedua, kekuasaan yang besar diperoleh karena
Negara merupakan kelembagaan kepentingan umum. Sebagai
23
David Easton, Kerangka Kerja Sistem Politik, Bina Aksara, Jakarta, 1998 hal
56-58
24
Ibid hal 58-62
12 Sidratahta Mukhtar

lembaga yang mewakili kepentingan umum, Negara dapat


melaksakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan
pribadi atau kelompok di masyarakat yang lebih kecil.25 Konsep
kekuasaan seperti itu sebenarnya telah lama dirumuskan oleh
para filsuf, Plato, Aristoteles dan lainnya. Cita-citanya adalah di
mana kekuasaan di pimpin dan dikendalikan oleh orang-orang
yang berilmu. Mengingat menurut Plato bahwa kekuasaan itu
memang jahat dan rakus. Thomas Hobbes juga mengatakan
bahwa masyarakat itu serigala bagi yang lainnya karena itu
harus dikendalikan oleh Negara yang kuat, dengan Negara yang
kuat, maka akan menghasilkan ketertiban sosial dan hukum.26

Secara empirik, derajat kekuasaan berbeda-beda antara satu


orang dengan orang lain, dan antara satu kelompok dengan
kelompok lain. Struktur kekuasaan, menurut Kimbrough,
menunjuk pada gambaran sebaran relatif kekuasaan sosial
dalam pengambilan keputusan di antara sejumlah orang dan
kelompok dalam satu satuan politik tertentu.27 Walaupun
ada sejumlah perbedaan, Kimbrough juga memperkenalkan
empat jenis struktur kekuasan masyarakat (types of community
power structure). Pertama, struktur kekuasaan monopolistik
(monopolistic power structure). Dalam struktur kekuasaan
monopolistik ini, ada satu atau sejumlah kecil individu yang
memonopoli atau mendominasi pengambilan keputusan
tingkat politik. Struktur kekuasaan monopolistik menunjuk
pada sistem elite yang bersifat monolitik.28 Kedua, struktur

25
Arief Budiman, Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia,
Jakarta, 2002 hal 2-3
26
Ibid hal 34
27
Ralph B. Kimbrough, Power Structure and Educational Change, dalam Edgar
L. Morphet and Charles O. Ryan (ed.), Designing Education Future, New York:
Citation Press. 1967. Hal 116
28
Ibid hal 118-119
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 13

kekuasaan kelompok majemuk tanpa persaingan (the multigroup


noncompetitive structure). Struktur kekuasaan kelompok
majemuk tanpa persaingan menggambarkan bahwa ada banyak
kelompok yang cenderung saling bisa bekerjasama dalam
pengambilan keputusan. Dalam masyarakat demikian, biasanya
sudah ada kesepakatan antar pemimpin kelompok masyarakat.
Ketiga, struktur kekuasaan majemuk (pluralistic power structure).
Dalam struktur kekuasaan majemuk, sejumlah kelompok
kekuasaan yang saling terpisah terlibat dalam pengambilan
keputusan. Karena pengelompokan kekuasaan ini didasarkan
pada kewenangan atau kecakapan khusus masing-masing
kelompok, maka tidak ada persaingan ketat antar mereka.29

Ahli demokrasi terkemuka, Robert A. Dahl mengungkapkan


bahwa dalam merancang konstitusi yang sesuai dengan kaidah
demokrasi akan mendorong keberlangsungan lembaga-lembaga
politik, lembaga-lembaga negara, dan melalui mekanisme
demokrasi seperti pemilihan umum yang bebas dan independen,
adanya pejabat yang dipilih, kebebasan berpendapat, sumber
informasi yang bebas dan informasi alternatif, hak-hak
warganegara dan otonomi asosiasional.30 Dahl mengutamakan
adanya konstitusi yang terbaik, yang lahir dari tenaga-
tenaga terbaik yang dimiliki suatu bangsa. Menurut Jerome
H. Scolnick dalam bukunya ”On Democratic Policing” bahwa
konsep kepolisian demokratis yang secara umum diadopsi dan
dipraktekkan di banyak negara mencakup:

1. Sebuah pembagian tugas dan wewenang antara investigasi,


menangkap, menghukum, dan melakukan tugas kepolisian
lainnya.

29
Ibid hal 118-119
30
Robert A Dahl, On Democracy, New Harven, NY, 1999.
14 Sidratahta Mukhtar

2. Sebuah birokrasi yang mengadopsi struktur militer dengan


diskresi terbatas, dan mencoba untuk membuat langkah-
langkah pemeriksaan yang terukur.
3. Memisahkan kepolisian dari organisasi militer dan berupaya
mengembangkan kompetensi kembaga kepolisian lebih baik
lagi dari sebelumnya.
4. Lembaga luar atau bagian dari kompertemen organisasi
kepolisian yang melakukan pengawasan terhadap kinerja
dan perilakunya, serta memberikan ijin kepastian bagi
pemberantasan tindak kejahatan.
5. Sebuah pemeriksaan adalah trik-trik yang dinyatakan di
depan umum dan dinilai sebagai bagian dari rotasi perjanjian.
6. Kompensasi yang memadai dengan persyaratan pekerjaan
minimal sama dengan tingkatan yang ada di masyarakat.31
Studi penting yang dilakukan oleh George E Berkley pada
tahun 1969, telah membangun argumen teoritik yang jelas
tentang relasi polisi dengan demokrasi. Demokrasi telah
memberikan syarat yang besar dan membatasi ruang partisipasi
polisi dalam sistem politik. Kesatuan polisi yang berseragam
dan dipersenjatai merupakan bahaya yang terlalu besar bagi
negara jika polisi memasuki langsung pada proses politik.
Polisi di Amerika Serikat, Inggris dan Perancis telah sama-sama
melarang institusi kepolisian mengambil peran aktif di politik.
Politik demokratis menurut Berkley, dikarakteristikan oleh
negosiasi dan perundingan dengan menyesuaikan diri dan
tindakan mendamaikan dan memberikan kesempatan yang
kecil menggunakan kekerasan. Meskipun, membolehkan polisi
berpartisipasi pada proses politik juga membangun tambahan

31
Jeremi H. Scolnick, On Democratic Policing, http://www.policefoundation.
org/pdf/62.pdf (Diakses, 20 pebruari 2011)
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 15

kesempatan mereka melontarkan keluhan dan usulan. Hal


itu dapat mengurangi tingkat frustasi kepolisian. Di beberapa
negara seperti Scandinavia, Danish dan Norwegia memiliki
perwakilan polisi di parlemen.32

Dalam konteks Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)


merupakan institusi yang sukar dikontrol (uncontrolable) dan
metode pengambilan keputusan dan transaksi yang sukar
terlihat (low visibility). Apalagi UU telah memberikan mandat
dan kewenangan yang terlalu kuat, polisi berwewenang secara
sah melanggar hak-hak asasi warga yang dijamin oleh konstitusi,
seperti melakukan penangkapan dan penahanan serta polisi
dilengkapi dengan senjata api dan berhak untuk menggunakannya
atas pertimbangannya sendiri. Disisi lain juga Polri memiliki
independensi dan bertindak atas dasar KUHP. Dalam melaksanakan
tugasnya, Polri memiliki kebebasan yang luas dalam penyidikan
dan tidak berdasarkan atas perintah atasan.

Bisa dibayangkan betapa kuat dan luasnya diskresi kepolisian,


tugas dan wewenang Polri. Meskipun telah sangat komprehensip
UU dan tugas pokok kepolisian, namun dalam prakteknya tidak
semua aturan main (rule of law) dapat dioperasionalisasikan
dengan sebaiknya. Menang harus diakui bahwa produk-produk
hukum tentang criminal juctice system, khususnya kepolisian
tidak bisa menjawab masalah-masalah hukum yang sangat
kompleks seperti di negeri kita. Konstruksi sosial bangsa
Indonesia yang sedang mengalami transformasi melalui tatanan
yang lebih demokratis ini, menjadi salah satu penyebab utama,
mengapa budaya penyalahgunaan wewenang masih merajalela
dilakukan oleh aparatur penegak hukum di Indonesia.

32
George E. Berkley, The Democratic Policeman (Boston:Beacon Press, 1969)
hal. 196-197
16 Sidratahta Mukhtar

Sebuah studi mendalam dilakukan oleh Bobb, dkk tahun


2004 di Amerika Serikat menemukan bahwa:

Betapapun telah banyak legislasi yang dirumuskan


serta pendidikan dan pembinaan personil kepolisian
yang dirancang dengan maksud memagari aparat
kepolisian agar senantiasa mengindahkan kaidah
hukum dan etika kepolisian, namun korupsi dan perilaku
pelanggaran hukum masih tetap menjadi bentuk-bentuk
penyalahgunaan kekuasaan yang tidak bisa dihilangkan
sepenuhnya dari institusi polisi. Oleh karena itu seperti
di Negara adidaya, Amerika yang menggunakan sistem
kepolisian paling terdesentralisasi di dunia saja masih
harus terus mereformasi polisinya agar tidak digunakan
secara berlebihan (excessive of power).33

Memahami Teori Pemerintahan Demokratis


Terma pemerintah berasal dari kata Latin, “gubernare” atau
gerik kybernan yang berarti mengemudikan. Dalam bahasa
Inggris terdapat kata kerja govern (memerintah). Dalam
perkembangan istilah itu muncul terma government yang dapat
diartikan kedalam pemerintah atau pemerintahan. Sifat dasar
yang melekat pada pemerintahan adalah kaitannya dengan
pelayanan kepada masyarakat, individu dan jasa public lainnya.34
Taliziduhu membedakan pemerintahan itu ke dalam beberapa
ragam, diantaranya (1). Pemerintahan dalam arti sempit
yaitu lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif
(executive power), yang didalamnya terdapat unsur birokrasi
pemerintah. (2). Pemerintahan dalam arti yang luas terdiri dari
unsur eksekutif, legislatif dan yudikatif. Esensinya bahwa semua

33
Lihat Farouk Muhammad, Reformasi Kultural Polri dalam Konteks Pergeseran
Paradigma Kepolisian Abad 21, Pidato Guru Besar Kepolisian di PTIK, 2004.
34
Lihat Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Penerbit
Rineka Cipta, 2003, hal 69
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 17

badan publik yang menyelenggarakan pelayanan publik baik


pada tingkat pusat, daerah dan wilayah suatu negara disebut
pemerintah.35 Dalam konteks pemisahan kekuasaan (separation
of power) Montesquieuan menekankan pada pemisahan yang
tegas antara tiga cabang kekuasaan negara, yaitu eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Meskipun sejumlah studi menemukan
bahwa faktor penentu adalah relasi kekuasaan eksekutif dan
legislatif.36

Pada prakteknya terdapat perbedaan antara negara yang


satu dengan lainnya dalam menggunakan Montesquieuan
itu. Tetapi yang jelas tulis John Pieris dalam studinya yang
mendalam tentang pembatasan kekuasaan Presiden bahwa
sistem presidensiil yang murni seperti kasus Amerika Serikat
ditemukan sistem pembatasan kekuasaan yang berlaku pada
semua cabang kekuasaan di eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Di Amerika Serikat menurut John Pieris, kekuasaan legislative
sudah jelas berada ditangan Kongres yang terdiri dari Senat dan
Parlemen dan kekuasaan yudikatif ditangan Mahkamah Agung.
Ketiga kekuasaan itu memiliki otoritas masing-masing dan tidak
diperkenankan mengintervensi satu dengan yang lainnya.37

Pada praktek penyelenggaraan negara, ketiga cabang


kekuasaan itu saling mengawasi melalui mekanisme check
and balances system. Misalnya disatu sisi, Presiden AS memiliki
hak veto terhadap RUU yang telah disetujui senat, meskipun
demikian Senat dapat membatalkan penggunaan hak veto
oleh Presiden AS apabila didukung oleh 2/3 suara dari House of

35
Ibid, hal 74-75
Trubus Rahardiansah, Sistem Pemerintahan Indonesia, Teori dan Praktek
36

dalam Perspektif Politik dan Hukum, Penerbit Universitas Trisakti, 2010, hal 168
37
John Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden RI, Pelangi
Cendekia, Jakarta, 2007, hal 100-101
18 Sidratahta Mukhtar

Representatives dan Senat. Untuk menghindari deadlock dalam


relasi Presiden-DPR di AS, maka setiap Presiden yang sedang
memegang kekuasaan selalu mengharapkan dapat bekerjasama
baik melalui jalur legislasi dan check and balance resmi maupun
lobi-lobi antar kekuatan politik di Kongres khususnya di kalangan
Republik dan Demokrat.38

Untuk menyelenggarakan pemerintahan negara secara


terkontrol, tertib dan efektif, maka salah satu cara terbaiknya
adalah dengan pembatasan kekuasaan pemerintah itu melalui
konstitusi yang tertulis (written constitution), sebab jelas John
Pieris, konstitusi tertulis dapat menjamin hak-hak politik dan
mengatur pembagian kekuasaan negara yang secara lazim dapat
membatasi kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif.39
Pada sistem presidensil, Nurliah Nurdin menyebutkan posisi
berimbang dan terpisah antara ketiga cabang kekuasaan
pemerintahan. Presiden mempunya kekuasaan untuk
mengajukan undang-undang tetapi legislatif juga mempunyai
kekuasaan untuk menolaknya. Bahkan tulis Nurliah di US,
Kongres dapat menghentikan kegiatan birokrasi pemerintah
dengan menolak meloloskan proposal anggaran. Presiden
menominasikan penunjukkan judiciary yang harus disetujui
parlemen. Legislatif membuat agendanya sendiri, meskipun
disisi lain presiden dapat mengajukan agenda juga.40

Teori Demokrasi, menurut Robert A Dahl, terdapat prinsip-


prinsip demokrasi sebagai berikut: (a). Rakyat berpartisipasi

38
Ibid, hal 102, dan lihat Sidratahta Mukhtar dalam State Departement report,
dalam Spring Fellow Congress, 2-5 May, 2010.
39
John Pieris, Op Cit, hal 43-44
40
Nurliah Nurdin, Analisis Penerapan Sistem Presidensil dalam Menjaga
Stabilitas Pemerintahan, Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 27 Tahun 2008, hal 114-
115
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 19

dalam pembuatan keputusan. (b). Adanya pemilihan umum yang


regular, jujur dan adil. (c). Setiap orang mempunyai kedudukan
yang sama depan hukum (equality before the law). (d). Distribusi
pendapatan Negara yang adil bagi seluruh warganegara. (e).
Kebebasan berpendapat, berkumpul, beragama dan kebebasan
pers. (f). Moral dan tatakrama politik. (g). Hak untuk protes. (h).
Kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak bagi semua
warganegara. Francis Fukuyama menyimpulkan peran model
sistem pemilihan dalam turut menentukan keberhasilan dan
kualitas sistem presidensil. Oleh karena itu format pemilu
menjadi penting, sejauh dalam model pemilihan langsung
dikenal tiga model, yakni model electoral colleague (Nampak
hanya akan berlaku di Amerika Serikat saja sebagai sejarah
yang unik, model satu putaran). International Comminision of
Jurists (1965) merumuskan ciri-ciri pemerintahan demokratis
di bawah rule of law; (1). Perlindungan konstitusional. (2). Badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak.(3). Pemilihan umum
yang bebas. (4). Kebebasan menyatakan pendapat. (5). Kebebasan
berserikat dan menyatakan pendapat secara lisan dan tertulis.
(6). Pendidikan bagi warganegara.

Secara umum dapat dibedakan tiga jenis sistem pemerintahan


demokratis, yaitu sistem presidensial (presidential systems),
sistem parlemen (parliamentary systems) dan sistem semi
presidensial (semipresidential systems). Sistem presidensial
berlaku di Amerika Serikat, sebagian Negara di Amerika Latin,
dan juga di Philipina, Korea Selatan. Sistem Parlemen berlaku
di Inggris, dan bekas jajahannya seperti Australia, India, dan
Malaysia serta Singapura. Sedangkan sistem semi presidensil
(sistem campuran) atau hibrida seperti Perancis.41

41
Juan Linz, Presidential or Parliamentary Democracy: Does its make difference?:
Johns Hopkins University,1994
20 Sidratahta Mukhtar

Sistem presidensial adalah sistem pemerintahan yang


menempatkan Presiden sebagai kekuasaan eksekutif
sekaligus sebagai kekuasaan Negara. Presiden sebagai kepala
pemerintahan dan kepada Negara. Sistem presidensial dicirikan
dengan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat,
bukan dipilih oleh parlemen seperti yang berlaku dalam sistem
parlementer. Presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen,
kecuali melalui mekanisme permakzulan (impeachment), dan
presiden tidak dapat membubarkan parlemen, seperti halnya
sistem parlemen dimana kepala negara dapat membubarkan
parlemen. Ciri lainnya menurut Liphart bahwa kepala eksekutif
bersifat tunggal. Hampir semua Negara yang menggunakan
presidensialisme, menjadikan sistem Amerika Serikat sebagai
model terbaik. (Arend Lijphart, 1995).

Kelebihan sistem presidensialisme (a). stabilitas eksekutif


yang disebabkan jabatan Presiden yang dipilih secara langsung.
(b). legitimasi dan mandate politik Presiden yang dipilih langsung
oleh rakyat. (c). pemisahan kekuasaan yang relative tegas antara
cabang-cabang kekuasaan pemerintahan (terutama eksekutif-
yudikatif). Kelemahan sistem presidensial: (1). potensi adanya
jalan buntu (deadlock politics) akibat konflik eksekutif-yudilatif
terutama akibat sistem multipartai. (2). Kekakuan sistemik akibat
masa jabatan yang tetap, tidak ada peluang pergantian ditengah
jalan, jika kinerja tidak memuaskan. (3). Prinsip pemenang
mengambil semua (winner takes all) inheren dalam sistem
presidensial. Juan Linz mengatakan bahwa pemisahan eksekutif-
legislatif cenderung menimbulkan polarisasi dan instabilitas
politik, sehingga tidak cocok diterapkan dinegara demokrasi
baru. Scott Mainwaring mengatakan bahwa sistem presidensial
berbasis multipartai cenderung menghasilkan kebuntuan
eksekutif-legislatif dan dapat merusak tatanan demokrasi.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 21

Multipartai menghasilkan polarisasi ideologis, sehingga


menimbulkan problem presidensialisme. Kombinasi multipartai
dengan presidensialisme dapat merusak stabilitas demokrasi.

Sistem Parlementer, semua negara yang mengikuti


Westminster meletakkan kekuasaan eksekutif pada perdana
menteri, sementara kepala negara adalah kerajaan atau presiden
yang memiliki sedikit peran dalam urusan negara. Sistem
Westminster menempatkan legislative yang menentukan
eksekutif, eksekutif yang menentukan yudikatif. PM dapat
setiap saat diberhentikan oleh legislative dengan cara mosi
tidak percaya (vote of no confidence) atau menolak proposal
anggaran eksekutif. Beberapa orang bisa menjabat 3 jabatan
sekaligus, sebagai anggota Senat, sebagai hakim dan menteri.
Sistem kombinasi parlemen-presidensiil, sistem ini memiliki
kelebihan dan kelemahan, mudah terjadi deadlock dalam
mengambil keputusan terutama jika presiden dari partai
minoritas. Mudah terjadi instabilitas politik bila dukungan DPR
lemah. Studi Linz thn 1990 menunjukkan sistem presidensiil
tidak lebih stabil dibandingkan dengan sistem parlementer
dalam melaksanakan pemerintahan. Kelemahan presidensiil
dalam menjaga stabilitas pemerintahan. Pada negara demokrasi
mapan (established democracy) seperti AS, penerapan sistem
presidensiil menguat, sementara pada demokrasi baru (new
democracy) seperti Indonesia terjadi instabilitas politik. Masalah
ekonomi dan politik yang belum terkonsolidasi dan rapuh jadi
faktor penyebab utama.

Sistem Pemerintahan di Indonesia Pasca Amandemen UUD


1945
Berdasarkan teori-teori sistem pemerintahan tersebut,
termasuk sistem pemerintahan seperti apakah yang
22 Sidratahta Mukhtar

dipraktekkan di Indonesia?UUD 1945 yang lama, telah


menerapkan sistem parlementer dan sistem presidensil secara
bersamaan. Tetapi kalau memakai tolak ukur 5 prinsip yang
harus ada dalam presidensiil, maka hanya tiga prinsip yang
terpenuhi, yakni: (1). Kekuasaan pemerintahan dipegang oleh
Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan konstitusi. (2). Para
menteri merupakan pembantu Presiden, menteri diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden. (3). Walaupun dalam praktek
masa jabatan Presiden tidak dibatasi, namun secara normatif
UUD 1945 sudah mengatur pembatasan masa jabatan Presiden.
Namun ciri sistem parlementer hanya dua yang terpenuhi, yakni
Presiden diangkat oleh MPR dan bertanggungjawab kepada
MPR dan Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya,
bukan semata-mata melakukan pelanggaran hukum dan
konstitusi, tetapi juga karena melanggar GBHN.

Sistem pemerintahan Indonesia di bawah UUD 1945


hasil amandemen dapat disebut pemerintahan Presidensiil.
Namun Megawati Soekarnoputri sebagai presiden tahun 2003
mengatakan dengan sistem pemerintahan “abu-abu”, tidak
didasarkan pada UUD amandemen tetapi hasil kompromi
politik MPR yang bersidang tahun 2003. Masalah penting yang
menyulitkan sistem politik Indonesia adalah pembelahan
(tipologi) politik masyarakat Indonesia yang dibagi berdasarkan
aliran-aliran politik. Banyaknya partai politik dan tidak adanya
partai mayoritas di parlemen merupakan salah satu persoalan
pokok sistem demokrasi Indonesia. Sejak decade 1950an sampai
era reformasi saat ini tidak ada satu partaipun yang bisa menjadi
mayoritas ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi yang
benar. Tetapi saat sistem otoritarianisme Orde Baru, pernah
terjadi mayoritas tunggal.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 23

Penerapan sistem multipartai dengan demokrasi presidensiil


merupakan perkawinan sistem politik yang haram, satu-satunya
jalan pemecahannya adalah format koalisi politik diantara
partai-partai yang memiliki perwakilan parlemen memadai.
Dikatakan sistem demokrasi yang presidensiil hasil amandemen
UUD 1945 adalah karena juga melaksanakan sistem distrik.
Sistem ini diharapkan akan berevolusi menjadi sistem beberapa
partai sederhana (simple party system). Menurut salah satu
anggota BPUPKI bahwa Indonesia menggunakan sistem sendiri
atau sistem khas Indonesia, dengan mekanisme pemisahan
kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan. Presiden adalah
eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama 5 tahun
dan dapat diperpanjang kembali, serta menteri-menteri yang
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hal ini merupakan
bagian dari ciri presidensialisme.

Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasar UUD 1945


setelah Diamandemen.Pokok-pokok sistem pemerintahan ini
adalah sebagai berikut: (a). Bentuk Negara kesatuan dengan
prinsip otonomi yang luas. Wilayah Negara terbagi menjadi
beberapa provinsi. (b). Bentuk pemerintahan adalah Republik. (c).
Sistem pemerintahan adalah presidensial. (d). Presiden adalah
kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. (e). Kabinet atau
menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden.(f). Parlemen terdiri atas dua (bikameral), yaitu DPR
dan DPD. (g). Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh mahkamah
agung dan badan peradilan di bawahnya. Sistem pemerintahan
ini pada dasarnya masih menganut sitem presidensial. Hal ini
terbukti dengan presiden sebagai kepala Negara dan kepala
pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan
langsung DPR dan tidak bertanggung jawab terhadap parlemen.
24 Sidratahta Mukhtar

Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di


Indonesia adalah sebagai berikut : Pertama, Presiden sewaktu
– waktu dapat diberhentikan MPR atas usul dan pertimbangan
dari DPR. Kedua, Presiden dalam mengangkat pejabat Negara
perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Ketiga, Presiden
dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan
dan/atau persetujuan DPR. Keempat, Parlemen diberi kekuasaan
yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan
hak budget (anggaran). Dengan demikian, ada perubahan -
perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu
diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang
lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan
presiden secara langsung, sistem bicameral, mekanisme check
and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada
parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
BAB II

Posisi Polri Dalam Dinamika Sistem


Demokrasi

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan


salah satu institusi pemerintahan yang memiliki sejarah
panjang di Indonesia. Dinamika peran Polri selalu menyesuaikan
diri dengan berbagai perubahan sistem politik dari masa ke
masa. Awaluddin Djamin membagi perkembangan dan sejarah
Polri ke dalam 5 (lima) periodisasi, yakni; (a). Periode revolusi fisik
(1945-1950), (b). Periode demokrasi parlementer (1950-1959), (c).
Periode demokrasi terpimpin (1959-1966), (d). Periode demokrasi
Pancasila (1966-1998), dan periode reformasi (1998-sekarang).1
Pembahasan bab II ini akan menjelaskan tentang perkembangan
Polri dari masa ke masa di Indonesia. Periodisasi sejarah Polri
memiliki cakupan yang sangat luas, sehingga diperlukan fokus
pada dinamika peran Polri yang berkaitan langsung dengan
kebutuhan buku ini.

Terdapat beberapa jenis kepolisian, yakni (a). Polisi umum


(algemene politie), polisi jenis ini secara administratif merupakan
bagian dari Departemen binenlands Bestuur (departemen dalam

1
Awaloedin Djamin, Masalah dan Isu Manajemen Kepolisian Negara RI dalam
Era Reformasi, Yayasan Brata Bakti, Jakarta, 2005, hal 268
26 Sidratahta Mukhtar

negeri), yang berfungsi menyelenggarakan urusan pegawai,


persenjataan, pendidikan dan pelatihan serta perlengkapan.
Departemen tidak berhak mencampuri pelaksanaan
operasionalnya, dan dipimpin oleh kepala pusat polisi umum
(hoofd van den dienst der algemene politie), yang berperan
sebagai kepala bagian polisi di departemen dalam negeri.
Kebijakan kepolisian secara preventif dan represif di bawah
kendali jaksa agung, secara teknis operasional pengelolaan
keamanan dan ketertiban terpusat dalam kewenangan kepada
daerah, sedangkan dalam internal Polri menunjuk kepala dinas
reserse umum. Laporan dan usul mengenai masalah kepolisian
diajukan langsung kepada kepala dinas polisi umum di
departemen dalam negeri atas persetujuan kepala daerah. Dalam
perkembangannya, di Indonesia juga pernah dipraktekkan polisi
kota (stadspolitie) yang dimulai dengan program reorganisasi
kepolisian pada tahun 1914. Beberapa wilayah strategis, yaitu
Jakarta, Surabaya, Semarang sebagai pusat reorganisasi tersebut.
Di tiap-tiap kota besar didirikan kantor besar polisi.2

Pemerintahan Hindia Belanda mendirikan Polisi Bersenjata


(gewapende politie) pada tahun 1912 yang dijadikan sebagai
alat kekuasaan Belanda di daerah-daerah. Adapun tugas
utama dari polisi bersenjata adalah menjamin keamanan dan
ketertiban masyarakat, mempertahankan kekuasaan pada saat
terjadi kekacauan sampai Tentara mengambil alih tugas, serta
mengkonsolidasikan daerah-daerah yang baru dikuasai. Selain
itu juga terdapat polisi pangeh praja (bestuur politie) yang
merupakan kesatuan-kesatuan kecil di daerah-daerah di bawah
pimpinan camat, wedana dan bupati. Kepala polisi pangeh

2
Awaloedin Djamin, Ketut Ratta, Gde Putu Gunawan dan Ambar Wulan,
Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, Dari Jaman Kuno Sampai Sekarang,
Yayasan Brata Bhakti, Jakarta, hal 57-58
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 27

praja ini biasanya dikepalai oleh seorang perwira polisi yang


membawahi kepala pangeh praja setempat sebagai pimpinan
sehari-hari.3

Perkembangan Polri pada Awal Kemerdekaan


Perkembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
sangat menarik dikaji dalam aspek politik. Dengan berakhirnya
zaman revolusi fisik dan diproklamasikannya Indonesia pada 17
agustus 1945, Polri di sejumlah daerah juga memproklamirkan
diri menjadi Kepolisian Republik Indonesia. Seperti dinyatakan
oleh Inspektur Polisi Kelas I M. Jasin di Surabaya, Inspektur Polisi
Kelas II, R. Bambang Suprapto di Semarang, Inspektur Polisi
Ori Sastroatmojo, dan Inspektur Polisi kelas I Domopranoto di
Surakarta, serta Rustam Effendi di Medan.4 Setelah kemerdekaan,
seluruh pimpinan, dan pegawai kepolisian baik di daerah
maupun di pusat menentukan sikap secara organisatoris di
bawah pangkuan negara republik Indonesia, dan berdasarkan
Maklumat Pemerintah mengangkat Raden Said Soekanto
Tjorkodiatmodjo sebagai kepala kepolisian negara yang pertama.5

Posisi Polri ditempatkan di bawah Departemen Dalam


Negeri seperti sistem kepolisian pada zaman Belanda. Namun,
kepolisian republik Indonesia sebagai institusi pemerintah
dibentuk setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 1 Juli 1946
di mana jawatan kepolisian negara yang dipimpin oleh kepala

3
Ibid, hal 58
4
Awaloedin Djamin, Masalah dan Isu Manajemen Kepolisian Negara R.I.
dalam Era Reformasi, Yayasan Brata Bakti, Jakarta, 2005, hal 122. Sejumlah daerah
lain seperti Aceh, Tapanuli, Padang, dan lainnya mendeklarasikan organisasi
kepolisian daerah mereka masing-masing menjadi bagian dari bagian dari Polri.
5
Pada tanggal 29 September 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat
pemerintah yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri mengangkat Raden Said
Soekanto Tjokodiatmodjo sebagai kepala kepolisian RI. Lihat Memet Tanumidjaja,
Sejarah Angkatan, Jakarta, Pusat Sejarah ABRI, 1971 hal 3
28 Sidratahta Mukhtar

kepolisian negara yang bertanggungjawab langsung kepada


Perdana Menteri.6 Sejak masa awal kemerdekaan, peran Polri
bukan saja menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi
juga berjuang mempertahankan kemerdekaan. Polri merebut
markas-markas kepolisian Jepang, dan bersama angkatan
perang (Badan Keamanan Rakyat, Tentara Rakyat Indonesia, dan
kemudian menjadi Tentara Negara Indonesia) dan rakyat turut
serta dalam perjuangan menghadapi agresi militer Belanda yang
ingin merebut kembali Indonesia. Beberapa peran perjuangan
Polri yang dapat dicatat sejarah antara lain, pertempuran 10
November 1945 di Surabaya yang melibatkan Polisi Istimewa
sebagai salah satu kekuatan inti, dan Agresi Militer I dan II
Belanda terhadap Indonesia, serta dalam pemberontakan PKI di
Madiun yang semuanya melibatkan kekuatan Polri.7

Perkembangan sejarah kepolisian seperti itu, maka peran Polri


pasca kemerdekaan belum terfokus pada masalah ketertiban
masyarakat dan penegakan hukum sebagaimana layaknya
kepolisian modern dewasa ini. Kondisi itu erat kaitannya dengan
dinamika kenegaraan pada awal kemerdekaan, dan sistem
politik yang belum mapan. Masih banyaknya pemberontakan-
pemberontakan pada tingkat lokal, baik masalah disintegrasi
bangsa, konflik komunal maupun berbagai kepentingan individu
dan kelompok menuntut Polri untuk membentuk Brigade
Mobil (Brimob) sebagai salah satu kekuatan tempur dalam
kepolisian.Selain itu juga dibentuk beberapa jenis kepolisian,
seperti polisi lalu lintas, polisi anak, polisi ekonomi dan lainnya.8

6
Awaluddin Djamin, Menuju Polri Mandiri Yang Profesional, Pengayom,
Pelindung dan Pelayan Masyarakat, Jakarta, YTKI, Cetakan Kedua, 2000.
7
Awaloedin Djamin, masalah dan isu…Op Cit, hal 124-125
8
Brigade Mobil berawal dari Satuan Polisi Istimewa yang bermarkas
di Yogyakarta, dan kemudian dibentuk secara formal pada 6 Mei 1952 yang
didirikan oleh Mochammad Jasin, yang dibentuk sebagai pasukan pemukul
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 29

Kemudian dilakukan reorganisasi Mobiele Brigade (Mobrig)


yang menghasilkan kebijakan No 12/18/91 tahun 1946 yang
menegaskan tentang proses pengintegrasian semua unsur
pasukan polisi istimewa digabungkan menjadi satu dengan
nama baru, Mobiele Brigade (Mobrig). Susunan organisasi Mobrig
dibagi tiga bagian, yaitu Mobiele Brigade Besar Jawatan, Mobiele
Brigade Besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang masing-masing
langsung bertanggungjawab kepada kepala kepolisian negara.
Tiap-tiap karesidenan dibentuk Mobrig dengan kekuatan kurang
lebih 100 anggota.9

Dalam periode revolusi fisik, pada tanggal 1 Juli 1946, telah


terjadi perubahan mendasar bagi Polri, yaitu disatukannya
semua fungsi kepolisian ke dalam satu Jawatan Kepolisian
Negara RI yang bertanggungjawab atas kepolisian diseluruh
wilayah negara. Menurut Awaluddin Djamin bahwa sejak itu
Kepolisian Nasional Indonesia (Indonesian National police)
langsung ditempatkan di bawah kepala pemerintahan negara,
yaitu Perdana Menteri, yang walaupun secara formal menganut
UUD 1945 yang bercirikan presidensiil, tetapi untuk kepentingan
perjuangan dipraktekkan dengan sistem demokrasi parlementer.
Posisi Polri seperti itu berlangsung sampai dengan terbentuknya
sistem negara Indonesia Serikat (RIS) sampai dengan agustus
1950, dan selanjutnya format politik negara dikembalikan pada
Negara Kesatuan Republik Indonesia.10

Masa demokrasi parlementer pada dekade 1950-an, Polri


dan angkatan perang terlibat aktif dalam melumpuhkan
pemberontakan seperti Andi Aziz di Sulawesi, RMS di Maluku,

atau kepolisian tempur. Sadikoen, 20 Tahun Perkembangan Angkatan Kepolisian


Republik Indonesia, Inkoppol, Jakarta. 1967, hal 178-179
9
Awaloedin Djamin,dkk…Sejarah Polri….Op Cit, hal 130
10
Awaloedin Djamin, Op Cit, masalah dan isu kepolisian…hal 268
30 Sidratahta Mukhtar

DI-TII di Jawa Barat dan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh. Dalam


periode ini Polri ditempatkan di bawah Perdana Menteri. PRRI-
Permesta. Mengenai struktur kepolisian pada masa itu yang
disesuaikan dengan keadaan negara, R.S. Soekanto mengatakan
pentingnya satu wadah kepolisian yang sentral baik operasional
maupun administrasinya, agar dapat melaksanakan fungsi dan
tugasnya secara efektif dalam mengatasi gangguan keamanan.
11
Kedudukan Polri pada dekade 1950an menjadi perdebatan
dalam sistem pemerintahan, menteri kehakiman menolak
mengabungkan Polri dalam struktur organisasi departemen
kehakiman. Adalah fakta sejarah di mana Polri mempunyai
peran yang signifikan dalam mempertahankan integritas
bangsa baik dari ancaman agresi militer maupun separatisme di
berbagai daerah. Masalah itu menjadi pemicu lahirnya gagasan
untuk mendudukkan Polri di bawah langsung Presiden.12

Bahkan dapat dikatakan bahwa proses integrasi Polri sejak


awal kemerdekaan. Dewan pertahanan pada agustus 1947 sudah
memobilisasi Polri sebagai bagian dari kekuatan militer. Hal itu
merupakan konsekuensi dari situasi perang mempertahankan
Indonesia dari agresi militer Belanda saat itu, sehingga sebagian
anggota Polri dimiliterisasi ke dalam Mobile Brigade. Namun,
sejak adanya pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda,
maka Polri kembali sebagai institusi sipil. Demikian pula dengan

11
Ibid hal 4-5. Jawatan kepolisian yang berpusat di Jakarta berusaha
menyatukan segenap potensi yang ada ditubuh Kepolisian, seperti di Sulawesi
Selatan terdapat Polisi Gerilya karena merasa ikut berjuang dalam revolusi fisik.
Kantor Jawatan Kepolisian di Yogyakarta dan Bukittinggi mengintegrasikan diri
kepada Jawatan Kepolisian Indonesia. Jawatan Kepolisian Negara yang terakhir
melebur diri adalah Kepolisian NIT setelah terbentuknya Republik Indonesia.
Lihat juga Achmad Turen, dkk. Jenderal Polisi R.S. Soekanto Bapak Kepolisian
Negara RI, Djakarta: YBB, 2000. Hal 99
12
M. Tanumidjaja, Sejarah Angkatan Kepolisian, Pusat Sejarah ABRI, Jakarta,
1971, hal 151-152
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 31

berlakunya UUDS tahun 1950, maka semakin memantapkan


status dan posisi kelembagaan Polri menjadi polisi sipil. Persoalan
baru muncul ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui
peraturan pemerintah No. 190 tahun 1958 dan TAP MPR No I
dan II tahun 1960 yang mengatur tentang proses demiliterisasi.
Kebijakan tersebut menegaskan tentang status dan posisi Polri
yang merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) di mana kepolisian negara merupakan angkatan
bersenjata dan dengan itu kepolisian negara memiliki posisi
ganda sebagai unsur sipil dan militer.13 Munculnya kebijakan
memposisikan Polri antara sipil dan militer itu disebabkan oleh
strategi dan propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam
rangkaian kegiatan adu domba dan konflik politik dalam tubuh
angkatan darat untuk kepentingan partai dan komunisme.
Sebagai implikasi dari kebijakan terhadap kepolisian tersebut,
kepala Kepolisian Negara (KKN) diangkat menjadi Menteri
Muda Kepolisian dan Polri ditingkatkan menjadi menteri muda
kepolisian, bersama-sama dengan Menteri Muda Pertahanan,
Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran.14

Selanjutnya pada masa demokrasi terpimpin yang berlaku


sejak presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 juli 1959
untuk kembali memberlakukan UUD 1945 dengan menggunakan
sistem presidensil. Presiden Soekarno membentuk Departemen
Kepolisian yang dipimpin oleh Menteri Muda Kepolisian dan
diletakkan di bawah Presiden.15 Perkembangan berikutnya,
ditandai dengan lahirnya UU No. 13 tahun 1961 tentang Kepolisian

13
Anomimous, Sejarah Perjuangan ABRI, Pusjarah dan Tradisi ABRI, Jakarta,
1993, hal 83
14
Ibid, hal 84
Lihat SK Presiden No. 154/1959, tanggal 15 Juli 1959 tentang pembentukan
15

Departemen Kepolisian.
32 Sidratahta Mukhtar

Negara yang ditandatangani oleh pejabat Presiden Ir. Djuanda.


Pada Undang-Undang ini dinyatakan bahwa Polri merupakan
bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.16 Posisi
dan peran Polri yang diintegrasikan ke dalam struktur ABRI
dilanjutkan sampai masa Orde Baru. Kebijakan pemerintah Orde
Baru yang menjadikan Polri sebagai bagian dari Angkatan Darat
(AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) disebabkan
oleh trauma politik yang diderita TNI AD yang menjadi korban
utama Gerakan 30 September PKI (G30S PKI). TNI AD nampaknya
tidak ingin menanggung resiko dengan cara memberikan
kebebasan kepada Polri untuk berdiri sendiri.17

Dinamika politik pemerintahan pasca dekrit Presiden 5 juli


1959, Polri merespons dengan mengadakan konferensi Dinas
Kepolisian pada bulan Oktober 1959 di Departemen Kepolisian
yang dihadiri oleh para komisaris polisi seluruh Indonesia.
Konferensi kepolisian itu melahirkan Manifesto Kepolisian
sebagai terjemahan Polri terhadap kebijakan dan pidato
politik Presiden atau Manipol untuk mengabdikan diri pada
tujuan revolusi dalam mewujudkan masyarakat adil makmur.
Sebagai pelaksanaan dari manifesto kepolisian, RS. Soekanto
mengeluarkan perintah sebagai berikut:

”...sebagai pelaksanaan kembali kepada jiwa UUD 1945


dalam tubuh kepolisian telah lahir manifesto kepolisian
dengan rumusan dan perincian lebih lanjut dari pada
manipol untuk bidang kepolisian, yang berpegang
pada empat pokok pikiran yaitu dasar pikiran, program,
pelaksanaan, dan pengawasan. Diinstruksikan kepada
segenap warga kepolisian di mana saja, dengan tanpa
menunggu perintah lagi, melaksanakan dengan penuh

16
Awaluddin Djamin, Op Cit hal 12
17
Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran
Politik Militer Indonesia 1958-2000, Jakarta: Aksara Kurnia, 2002 hal 14-15
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 33

rasa tanggung jawab, penuh kesadaran dan jiwa UUD 1945


yaitu jujur, kasih, sepi ing pamrih, mengabdi, berbakti,
secara waspada, bersatu dan yakin akan kemenangan
perjuangan bangsa.18

Perkembangan Polri pada masa Orde Baru dipandang kalangan


internal Polri sebagai pengintegrasian yang mengakibatkan
nilai tawar Polri dalam struktur kekuasaan Orde Baru yang
lemah. Awaluddin Djamin, mantan Kapolri, mencontohkan
dalam rencana pengadaan dua Kapal Patroli kepolisian tahun
1981 yang telah disetujui Presiden. Pengadaan Kapal Patroli itu
tidak jadi diserahkan kepada institusi Polri, namun pemerintah
memberikannya kepada pihak Angkatan Laut. Dalam kerjasama
dengan kepolisian negara-negara sahabat juga sulit dilakukan,
karena Polri tidak termasuk dalam kerjasama militer.19

Polri pada Masa Orde Baru


Perkembangan reformasi Polri tersebut,merupakan kelanjutan
dari dinamika kedudukan dan peran Polri dalam sistem politik
Indonesia pasca kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, seluruh
pegawai kepolisian menentukan sikap secara organisatoris di
bawah pangkuan negara republik Indonesia, dan mengangkat
Raden Said Soekanto Tjorkodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian
Negara yang pertama.20 Namun, Kepolisian Republik Indonesia
sebagai institusi pemerintah dibentuk setahun kemudian,
tepatnya pada tanggal 1 Juli 1946 dan ditempatkan di bawah

18
Untung S Rajab, Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia dalam
Sistem Ketatanegaraan, CV Utama, Bandung, 2003, hal 70
19
Awaluddin Djamin, Op Cit hal 21-22
20
Pada tanggal 29 September 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat
pemerintah yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri mengangkat Raden Said
Soekanto Tjokodiatmodjo sebagai kepala kepolisian RI. Lihat Memet Tanumidjaja,
Sejarah Angkatan, Jakarta, Pusjarah ABRI, 1971 hal 3
34 Sidratahta Mukhtar

Departemen Dalam Negeri.21

Masa Demokrasi Parlementer pada dekade 1950-an, Polri


dan angkatan perang terlibat aktif dalam melumpuhkan
pemberontakan seperti Andi Aziz di Sulawesi, RMS di Maluku,
DI-TII di Jawa Barat dan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh. Dalam
periode ini Polri ditempatkan di bawah Perdana Menteri. PRRI-
Permesta. Mengenai struktur kepolisian pada masa itu yang
disesuaikan dengan keadaan negara, R.S. Soekanto mengatakan
pentingnya satu wadah kepolisian yang sentral baik operasional
maupun administrasinya, agar dapat melaksanakan fungsi dan
tugasnya secara efektif dalam mengatasi gangguan keamanan.22

Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin yang berlaku


sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 juli 1959
untuk kembali memberlakukan UUD 1945 dengan menggunakan
sistem presidensil. Presiden Soekarno membentuk Departemen
Kepolisian yang dipimpin oleh Menteri Muda Kepolisian dan
diletakkan di bawah Presiden.23 Perkembangan berikutnya,
ditandai dengan lahirnya UU No. 13 tahun 1961 tentang Kepolisian
Negara yang ditandatangani oleh pejabat Presiden Ir. Djuanda.
Pada Undang-Undang ini dinyatakan bahwa Polri merupakan
bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.24

21
Awaluddin Djamin: Menuju Polri Mandiri Yang Profesional, Pengayom,
Pelindung dan Pelayan Masyarakat, Jakarta, YTKI, Cetakan Kedua, 2000.
22
Ibid hal 4-5. Jawatan kepolisian yang berpusat di Jakarta berusaha
menyatukan segenap potensi yang ada ditubuh Kepolisian, seperti di Sulawesi
Selatan terdapat Polisi Gerilya karena merasa ikut berjuang dalam revolusi fisik.
Kantor Jawatan Kepolisian di Yogyakarta dan Bukittinggi mengintegrasikan diri
kepada Jawatan Kepolisian Indonesia. Jawatan Kepolisian Negara yang terakhir
melebur diri adalah Kepolisian NIT setelah terbentuknya Republik Indonesia.
Lihat juga Achmad Turen, dkk. Jenderal Polisi R.S. Soekanto Bapak Kepolisian
Negara RI, Djakarta: YBB, 2000. Hal 99
23
Lihat SK Presiden No. 154/1959, tanggal 15 Juli 1959 tentang pembentukan
Departemen Kepolisian.
24
Awaluddin Djamin, Op Cit hal 12
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 35

Posisi dan peran Polri yang diintegrasikan ke dalam struktur


ABRI dilanjutkan sampai masa Orde Baru. Kebijakan pemerintah
Orde Baru yang menjadikan Polri setara dengan Angkatan Darat
(AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) disebabkan
oleh trauma politik yang diderita TNI AD yang menjadi korban
utama Gerakan 30 September PKI (G30S PKI). TNI AD nampaknya
tidak ingin menanggung resiko dengan cara memberikan
kebebasan kepada Polri untuk berdiri sendiri.25

Perkembangan Polri pada masa Orde Baru dipandang kalangan


internal Polri sebagai pengintegrasian yang mengakibatkan
nilai tawar Polri dalam struktur kekuasaan Orde Baru menjadi
lemah. Awaluddin Djamin, mantan Kapolri, mencontohkan
dalam rencana pengadaan dua kapal patroli Kepolisian tahun
1981 yang telah disetujui Presiden. Pengadaan kapal patroli itu
tidak jadi diserahkan kepada institusi Polri, namun pemerintah
memberikannya kepada pihak Angkatan Laut. Dalam kerjasama
dengan kepolisian negara-negara sahabat juga sulit dilakukan,
karena Polri tidak termasuk dalam kerjasama militer.26

Secara lebih ringkas, International Crisis Group (ICG)


menulis bahwa sejak kelahirannya hingga penghujung tahun
1960an, Polri bertanggungjawab kepada Perdana Menteri
atau Presiden. Polri dinyatakan sebagai bagian dari angkatan
bersenjata di tahun 1960 dan menjadi tanggungjawab menteri
pertahanan dan keamanan di tahun 1967. Polri secara resmi
dipisahkan dari departemen pertahanan hingga tanggal 1 april
1999 tetapi masih berada dibawah departemen pertahanan
hingga 1 juli 2000 ketika Abdurrahman wahid mengumumkan
bahwa polisi akan mendapat kemandiriannya kembali dan
25
Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran
Politik Militer Indonesia 1958-2000, Jakarta: Aksara Kurnia, 2002 hal 14-15
26
Awaluddin Djamin, Op Cit hal 21-22
36 Sidratahta Mukhtar

akan bertanggungjawab langsung kepada presiden mulai hari


itu. Sebagai lambang dari perubahan itu adalah kepangkatan
disipilkan tetapi struktur organisasi tidak diubah. Pemisahan
polisi dari tentara adalah prasyarat pokok reformasi Polri.27

Berbagai perubahan sistem pemerntahan pada masa Orde


lama dan Orde Baru berimbas kepada institusi Polri. Prof.
Salim Said mengatakan kondisi Polri lemah yang disebabkan
oleh pengaruh otoritarianisme rezim Orde Baru selama tiga
dasawarsa lebih, suatu waktu yang cukup lama, yang mana
hal itu mengakibatkan terporak-porandanya sendi-sendi
kepercayaan publik (public trust) yang merupakan syarat mutlak
untuk suatu kehidupan bersama dalam suatu masyarakat
majemuk seperti Indonesia. Masyarakat pluralis yang tegak di
bawah bendera merah putih dan ideologi Pancasila merupakan
negara yang masih bertransformasi, di mana usianya belum
masuk 100 tahun. 28 krisis yang dialami Polisi pada era Orde
Baru juga dikisahkan Prof. Jenderal Purn. Awaluddin Djamin
mengatakan dalam rencana pengadaan kapal patroli kepolisian
yang berukuran 400 ton pada tahun 1981 yang telah disetujui
Presiden, namun setelah selesai dibuat, maka Menteri Riset
dan Teknologi (Menristek) tidak menyerahkan kepada institusi
Polri (Mabes Polri) tetapi diserahkan kepada TNI Angkatan
Laut, karena anggaran kepolisian terpusat di markas ABRI.
Selain itu dalam praktek hubungan antar lembaga pertahanan
dan keamanan di bawah ABRI banyak yang tidak beres terjadi,
salah satunya korps kepolisian tidak kelihatan, yang kelihatan
adalah ”army look” selama lebih dari 30 tahunan di bawah
naungan TNI, banyak penderitaan yang dialami Polri, bukan saja

27
ICG Indonesia: Reformasi Kepolisian Nasional, 20 februari 2001, hal 4
28
Salim Said, Polisi Republik Indonesia Dalam Pusaran Politik, Naskah Pidato
Dies Natalis ke 54 PTIK, Jakarta, tanggal 17 Juni 2000
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 37

karena posisinya yang junior, tetapi juga pada level substansi


bahwa Polri sulit melaksanakan prinsip polisi sipil. Demikian
pula kerjasama teknik antar negara dengan negara-negara
sahabat sulit dilaksakanan.29 Masalahnya kepolisian tidak dapat
dimasukan ke dalam kerjasama militer, model kerjasama antar
kepolisian harus dilakukan dengan lembaga kepolisian juga.

Mengapa Polri digabungkan dengan ABRI atau TNI?Awaluddin


mengatakan bahwa integrasi berlebihan Polri kepada ABRI
merupakan kebijakan yang berlebihan akibat trauma peristiwa
G30S PKI di mana Brimob misalnya terindikasi dimasuki paham
komunisme masa itu. Salim Said mempunyai pandangan yang
berbeda, kalau mempelajari secara seksama perilaku Orde Baru
pada Kepolisian mestinya berbeda dengan perlakuan dengan
angkatan organik seperti TNI khususnya TNI AL dan TNI AU
terkait trauma politik komunisme. Angkatan Darat merupakan
partner senior di semua angkatan termasuk Kepolisian, di
mana TNI AD tidak memberikan keleluasaan dan kebebasan
kepada TNI AU dan TNI AL serta Kepolisian untuk melaksanakan
kewenangan dan perannya. Hal itu menurut Salim Said menjadi
faktor mengapa mantan Kapolri Awaluddin Djamin menyebut
istilah integrasi yang berlebihan.30

29
Awaluddin Djamin, Op Cit hal 21-26
30
Salim Said, Op Cit
BAB III

Problematika Posisi Polri Dalam


Struktur Kekuasaan

Bagian ini akan membahas tentang respons dan kritik dari


berbagai kalangan tentang posisi Polri dalam 15 tahunan terakhir,
pasca pemisahan Polri dari TNI. Semangat yang mendasari
perdebatan ini adalah keinginan dan komitmen Polri untuk
mempertahankan konstitusi yang ada tentang Polri, juga berbagai
perubahan dan capaian atau prestasi Polri selama kemandirian
dari penempatan dibawah departemen pertahanan keamanan
dan dari TNI. Disini lain, banyak pihak berpandangan bahwa Polri
di bawah presiden masih dipandang menyalahi prinsip-prinsip
dasar demokrasi, yang dalam istilah Edy Prasetyono dari UI,
demokrasi menghendaki pembagian habis kewenangan antara
pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan lembaga yang
berperan sebagai pengawas kebijakan dan implementasinya itu.
Tulisan ini mengupas pandangan-pandangan dari internal Polri,
dan pandangan dari luar Polri yang mengkritisi kedudukan dan
peran kontemporer Polri.

Polri dalam Era Reformasi


Dinamika Polri dalam sistem politik yang sering mengalami
perubahan sejak Indonesia merdeka sampai sekarang
40 Sidratahta Mukhtar

mengakibatkan terjadinya transformasi kelembagaan Polri yang


disesuaikan dengan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
TAP MPR No. VI tahun 2000 memisahkan Polri dari TNI dan
meletakkan fungsi Polri yang terpisah dari TNI. Polri selanjutnya
langsung berada di bawah Presiden. Posisi dan keberadaan
institusi Polri menjadi semakin kuat dalam konstelasi kenegaraan
dan arus demokratisasi pada tingkat nasional.1 Lahirnya sejumlah
regulasi politik memberikan arti yang sangat penting bagi peran
Polri dalam bidang keamanan.

Pasca pemisahan dari TNI (dahulu ABRI), sementara Polri


berada di bawah Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto.
Kemudian dalam perkembangannya, Polri berada di bawah
Presiden, selaku pemegang mandat politik langsung dari rakyat
Indonesia. Dengan posisi seperti itu, menurut paparan Kapolri
baru-baru ini bahwa dengan di bawah Presiden, maka Polri
akan dapat mengikuti langsung perkembangan situasi nasional,
dan melakukan tindakan pengamanan secara cepat terhadap
berbagai ancaman keamanan dalam negeri. Dalam sejarahnya,
menurut Awaluddin Djamin, keberadaan Polri yang langsung
di bawah Presiden dalam sistem dan administrasi negara RI
sudah ada sejak puluhan tahun dan diberi sebutan lembaga
pemerintah non departemen, seperti juga BAKIN/BIN, Lembaga
Administrasi Negara, BKN, BKKBN, BKPM dan BPS.2

Mengenai posisi dan kedudukan Polri masih menjadi


persoalan tersendiri dikalangan Polri. Kedudukan Polri dibawah
Presiden menimbulkan kekhawatiran dari banyak kalangan
akan intervensi kekuasaan Presiden. Sehingga dipandang lebih

1
Awaluddin Djamin, dkk., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: Dari
Zaman Kuno sampai Sekarang (Jakarta: Yayasan Brata bakti, 2006) hal. 379-492.
2
Awaluddin Djamin, Posisi Polri dalam Kabinet Persatuan, Jurnal Polisi
Indonesia, 4/2002
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 41

baik di bawah departemen. Menurut Farouk gagasan itu tidak


memecahkan masalah, karena akan semakin memperkuat
status Polri bukan sebagai instrument of law tetapi menjadi
instrument of policy, suatu perangkat departemen-departemen
yang pembentukan dan pembubaranya merupakan hak
prerogatif Presiden. Jika kekhawatirannya bahwa Presiden
merupakan penguasa politik, maka di bawah departemen
pun sama adanya. Berbeda dengan TNI di bawah departemen
pertahanan yang hanya sebatas pembinaan kekuatan, sebagai
aktivitas harian militer. Sedangkan Polri adalah institusi sehari-
hari melaksanakan aktivitas operasional tanpa menunggu
perintah dari siapapun (selalu berdasarkan hukum) sehingga
setiap saat menggunakan kekuatan.3

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola manajemen


keamanan negara, Polri harus betul-betul menjadi lembaga yang
mandiri, bebas dari intervensi lembaga negara lainnya. Institusi
penegak hukum yang benar sesuai dengan paradigma ilmu
hukum adalah hukum yang merdeka, agar aspirasi dan cita-cita
keadilan sejati dapat dicapai.4 Bila misalnya suatu penyelidikan
perkara korupsi atau kejahatan apapun, tidak boleh ada
intervensi oleh atasan atau unsur kekuasaan lainnya. (Djamin,
1999). Diakui oleh kalangan Polri maupun kalangan masyarakat
luas bahwa dengan ditempatkan Polri di bawah naungan TNI,
maka bukan saja perilaku aparatur Polri yang mengikuti gaya
militerisme tetapi juga menghambat fungsi utamanya dalam
mengungkap berbagai kasus keamanan, termasuk penanganan
kasus-kasus yang melibatkan aparatur negara yang lainnya.

3
Lihat Farouk Muhammad, Reformasi Kultiral Polri Dalam Konteks Pergeseran
Paradigma Kepolisian abad 21, Pidato pengukuhan profesor, PTIK, 18 September
2004. hal 12-13
4
Wawancara dengan Tumbul Siregar, SH, MA, alumni Fakultas Hukum UI
dekade 1960an, akademisi.
42 Sidratahta Mukhtar

Sistem pendidikan dan masalah anggapan tidak luput dari


intervensi kekuasaan khususnya unsur utama dalam ABRI yakni
TNI AD.5

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola manajemen


keamanan negara, Polri harus betul-betul menjadi lembaga
yang mandiri, bebas dari intervensi lembaga negara lainnya.
Bila misalnya suatu penyelidikan perkara korupsi atau kejahatan
apapun, tidak boleh ada intervensi oleh atasan atau unsur
kekuasaan lainnya. (Djamin, 1999). Diakui oleh kalangan Polri
maupun kalangan masyarakat luas bahwa dengan ditempatkan
Polri di bawah naungan TNI, maka bukan saja perilaku aparatur
Polri yang mengikuti gaya militerisme tetapi juga menghambat
fungsi utamanya dalam mengungkap berbagai kasus keamanan,
termasuk penanganan kasus-kasus yang melibatkan aparatur
negara yang lainnya. Sistem pendidikan dan masalah anggapan
tidak luput dari intervensi kekuasaan khususnya unsur utama
dalam ABRI yakni TNI AD.6

Polisi pada abad ke 21 harus memiliki komitmen pada


empat hal. Pertama, adanya prinsip-prinsip demokrasi, seperti
keterbukaan dan keikutsertaan publik dalam perumusan
kebijakan sehingga masyarakat terlibat dalamnya. Kedua,
komitmen pada riset, sehingga memungkinkan setiap prosedur
dan kebijakan dirumuskan secara tepat, bukan atas pengalaman
pribadi atau pengamatan sekilas. Ketiga, komitmen pada
keanekaragaman budaya, terutama dikaitkan dengan sikap dna
tindakan keberpihakan polisi pada golongan masyarakat kelas
atas. Keempat, kewajiban untuk menemukan keadilan (fairness)

5
Sidratahta, Op Cit hal 5
6
Farouk Muhammad, Menuju Reformasi Polri, PTIK Press-Restu Agung,
Jakarta, 2005, hal 5
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 43

yang merupakan nilai dasar sentral dalam pekerjaan kepolisian.7


Departemen of Juctice Amerika Serikat mengembangkan
“principles of good policing” yang meliputi;

1. Harus menjaga dan memajukan prinsip-prinsip demokrasi


2. Menempatkan nilai tertinggi pada perlindungan kehidupan
manusia.
3. Mendahulukan pencegahan kejahatan
4. Mengikutsertakan masyarakat yang dilayani dalam
penyajiannya.
5. Harus bertanggungjawab pada masyarakat yang dilayaninya.
6. Memiliki komitmen pada profesionalisme dalam semua
aspek pekerjaaannya.
7. Mempertahankan standard tertinggi dari integritas.
Adapun wujud akuntabilitas adalah keterbukaan dalam
memberikan akses publik untuk memperoleh informasi secara
jujur tentang kebijakan dan pengelolaanya. Dalam masyarakat
demokratis, kebijakannya harus selalu mendapatkan dukungan
masyarakat. Praktek penegakan hukum di negara demokrasi
maju seperti di Amerika Serikat itu penting untuk dijadikan
sebagai model bagaimana seharusnya Polisi melakukan
pelayanan publik dibidang keamanan masyarakat dan hukum.

Proses reformasi sektor keamanan merupakan agenda yang


perlu dituntaskan. Born dan Fluri memberikan tiga alasan.
Pertama, reformasi keamanan yang efektif akan menjamin
stabilitas domestik dan internasional, khususnya mencegak
konflik kekerasan. Kedua, mendorong iklim investasi yang
kondusif. Indonesia enggan melakukan investasi karena
kurangnya jaminan pemerintah mengenai keamanan domestik.

7
Farouk Muhammad,ibid, hal 27
44 Sidratahta Mukhtar

Ketiga, hal ini juga akan meningkatkan demokratisasi dengan


membentuk kerangka kerja legal. Dalam pengantar buku Rekam
Jejak reformasi sektor Keamanan ini pula, dikutip bahwa reformasi
keamanan sangat penting dalam negara pasca rezim otoriter
untuk lebih mendemokratisasikan sistem politik, menjamin
kelangsungan good governance, meningkatkan pembangunan
ekonomi berkelanjutan dan sebagai alat mencegah konflik.8

Namun persoalan yang muncul dalam perdebatan publik


adalah tentang istilah “keamanan nasional” masih ditafsirkan
dengan berbeda-beda, belum ada difinisi yang jelas. Istilah
ini belum tercantum dalam undang-undang tentang baik
pertahanan maupun keamanan. Sekilas, istilah keamanan
nasional muncul dalam UU nomor 34/2004 tentang pemerintah
daerah, namun hanyalah sekedar penegasan dari kewenangan
pemerintah pusat. (Widodo Umar, 2006) Kerancuan ini menurut
Farouk Muhamad karena terma pertahanan mencerminkan
upaya proses, dengan terma keamanan yang merupakan hasil
(outcome). TAP MPR no VI/2000 mengatur pembagian bidang
dan tugas berdasarkan proses hasil. TNI untuk pertahanan dan
Polri untuk keamanan. Keamanan dapat diterjemahkan dalam
konteks yang lebih luas seperti food security, community security,
personal security dan sebagainya. Pengertian ini secara universal
memiliki pengertian yang berbeda-beda seperti international
security, national security untuk level dunia, public security
untuk negara dan human security untuk level individu.9

Dalam konteks ilmu politik, dibalik perdebatan ini adalah


terdapat banyak kepentingan yang memperebutkan posisi,
peran dan fungsi dalam sistem pemerintahan yang sedang
8
Kusnanto Anggoro, Reformasi Sektor Keamanan, Propatria Institute, Jakarta,
2006
9
Farouk Muhammad, Rumah Baru Bagi Polri, Sindo, 20,pebruari 2007
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 45

dalam proses penyusunan regulasi politik. Pemerintah yang


berkuasa tentunya memiliki kepentingan untuk memperkuat
supremasinya dalam sistem pengelolaan keamanan nasional.
Sementara, lembaga-lembaga negara yang terkait langsung yaitu
TNI, Polri, BIN dan Depdagri juga memiliki kaitan kepentingan
terhadap lahirnya regulasi yang berpihak kepada kepentingan
lembaga itu sendiri. Dalam kaitan dengan relasi TNI-Polri, maka
sulit dihindari anggapan adannya perebutan alokasi kepetingan
ekonomi-politik keamanan. Polri memperkuat posisinya sebagai
aktor utama manajemen keamanan nasional, sementara TNI juga
memperjuangkan posisi dan perannya dalam aspek perbantuan
TNI dan ancaman kedaulatan dalam negeri (separatisme dan
konflik kekerasan).

Rod Hague memperkenalkan istilah institutional group, yang


menuntut di mana suatu lembaga dalam negara itu agar dapat
memperjuangkan kepentingannya ke dalam sistem politik.
Apalagi sebagai lembaga negara yang penting dan menentukan
serta netral, maka artikulasi kepentingan institusional menjadi
kebutuhan utamanya. Hal ini terlihat dari sikap-sikap yang tegas
dari institusi Polri dalam mempertahankan posisinya di bawah
langsung Presiden, ketika baru-baru ini Departemen Pertahanan
berusaha mendudukkan Kepolisian di bawah satu departemen.
Tentunya Dephan memiliki kepentingan harmonisasi sistem
politik, di mana TNI di bawah departemen pertahanan, dan
sementara Polri di bawah koordinasi departemen dalam negeri.
Dalam wawancara penulis dengan Indovision beberapa waktu
lalu, saya tetap mendukung posisi di bawah Presiden dengan
mempertimbangkan dampak positifnya bagi profesionalisme
Polri kini dan mendatang.10

10
Sidratahta, Wawancara/Talkshow keamanan dalam negeri pada Indovision
tahun 2008
46 Sidratahta Mukhtar

Bila memaknai perdebatan antara Polri versus Dephan tersebut,


terdapat suatu pesan perubahan bahwa apapun posisinya,
tetapi yang jelas bahwa terwujudnya keamanan menyeluruh
(comprehenship security) yang menempatkan keamanan
sebagai konsep multidimensional sehingga mengharuskan
negara menyiapkan keamanan untuk pengelolanya. Aktor-aktor
itu masing-masing memiliki fungsi spesifik, antara lain Polri,
Intelijen Negara, Imigrasi, beacukai, Kejaksaan, Polisi Pamong
Praja dan polisi-Polisi lainnya.(Propatria, 2005).11

Kebijakan mengenai keamanan negara itu harus dilihat dan


disusun berdasarkan kondisi domestik, regional dan global.
Dalam negeri dihadapkan pada kejahatan konvensional berupa
tindak kriminal, huru-hara, aksi reclaiming masyarakat, konflik
komunal, terorisme dan korupsi. Dalam konteks globalisasi
muncul eksklasi ancaman dalam hal potensi keamanan dan
kejahanan terorganisasi, pembajakan, penyelundupan, pencurian
ikan, perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen dan kejahatan
maya (cyber crime). Kejahatan ekonomi, kejahatan transnasional,
kejahatan kerah putih dan kejahatan yang bersumber pada
motif-motif ideologi dan politik.

Mencermati semakin besarnya kompleksitas ancaman


keamanan dalam negeri maupun internasional itu, maka
manajemen keamanan nya tidak hanya mengandalkan aktor-
aktor negara, tetapi juga memperhatikan aktor-aktor non-
negara. Dalam konteks seperti itu, Banyu Perwira mengajukan
dua hal. Pertama, merancang penggunaan institusi dan
instrumen dalam mencapai keamanan nasional. Kedua,
membangun kerjasama antar institusi/instansi pemerintah
yang memainkan peranan kunci dalam pemilahan ancaman

11
Draft RUU Kamnas, 2004, lihat naskah akademik
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 47

keamanan tradisional dan militer-non militer. (banyu Perwira,


(2007). Model-model kongkrit yang dapat dilakukan mulai dari
peringatan dini (earlywarning sistem), pencegahan (prevention/
preemtive), penindakan atau perlawanan (defence) dan
rehabilitasi dan resolusi konflik. Perubahan yang diharapkan
adalah konsepsi yang memungkinkan Polri dapat menjadi
lembaga pengelola keamanan negara yang independen dan
profesional. Pemberian tanggungjawab yang lebih otoritatif
sejak pemisahan Polri dari TNI ternyata berdampak terhadap
kinerja pengelolaan keamanan negara. Namun harus diakui
otoritas yang demikian besar ini menimbulkan kekhawatiran
akan penyalahgunaan wewenang dan juga intervensi
kekuasaan khususnya Presiden.

Propatria Working Group memandang bahwa keamanan


nasional mencakup seluruh institusi negara yang memiliki
wewenang paksa dengan menggunakan kekuatan senjata
maupun dengan otoritas politik dan lembaga sipil yang
berperan dalam keseluruhan tata kelola keamanan nasional
yang demokratik (democratic security sector governance).
Dalam konstruksi pemikiran demikian Propatria berargumen
bahwa diperlukan dan mendesak adanya pengelolaan dan
pengaturan secara komprehensif tentang ranah keamanan
nasional yang demikian luas itu. Keamanan nasional
dipandang sebagai kemaslahatan bangsa, keselamatan
hidup, human security, kebebasan, hak-hak sipil dan ekonom,
kesehatan dan lainnya.12

Memang konsep yang mengusulkan agar Polri di bawah salah


satu departemen sangat sejalan dengan sistem pemerintahan

12
Propatria Institute, Kajian Kritis Terhadap UU No 2/2002 tentang Kepolisian
Nasional Republik Indonesia (Polri).
48 Sidratahta Mukhtar

demokratis, di banyak negara maju, Polri berada dibawah


departemen. Namun kondisi di Indonesia tentu berbeda dengan
negara lain. Disamping kita masih mengalami transisi politik,
juga diindikasikan bahwa dengan ditempatkan di bawah
departemen akan memicu disharmoni, politisasi institusi Polri
dan hambatan-hambatan birokrasi antar lembaga. Dengan kata
lain, sistem pemerintahan kita belum memiliki kapasitas yang
memadai untuk kepentingan penyatuan lembaga-lembaga
negara yang ada.

Polri semestinya memperjuangkan kepentingannya


dalam sistem politik demokrasi, agar mendapatkan tempat
dan peran yang signifikan serta tetap terjamin kemandirian
dan profesionalismenya. Misalnya dengan memperjuangkan
anggaran keamanan yang memadai melalui regulasi di lembaga
perwakilan. Sebagai lembaga yang mengalami reformasi,
maka memang dibutuhkan upaya seksama dan sistematis ke
arah format kelembagaan Kepolisian yang betul-betul dapat
mengemban pelayanan publik di bidang keamanan nasional.
Fungsi Polri adalah sebagai pelayan yang utama, sementara
lembaga negara dan masyarakat luas akan dapat berfungsi
sebagai aktor-aktor pendukung upaya menciptakan keamanan
nasional yang menjamin kemajuan, kesejahteraan dan rasa
aman bagi seluruh masyarakat Indonesia.13

Lima indikator yang dijadikan parameter Propatria ini yaitu:


Pertama, adanya kerangka hukum yang membagi tugas dan
fungsi aktor-aktor pelaksana keamanan nasional itu. Kedua,
adanya kendali otoritas politik sipil atas lembaga keamanan.
Ketiga, adanya kontrol parlemen atau wakil rakyat. Pengawasan

13
Ojo Ruslani, Posisi Polri Sebagai Kelompok Kepentingan Institusional Dalam
Sistem Politik Indonesia, Pascasarjana ilmu politik Universitas Nasional, Jakarta,
2004.(tidak dipublikasikan)
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 49

yudisial terhadap sektor keamanan dan Kelima, pengawasan


publik melalui komunitas dan lembaga swadaya masyarakat
sipil.14

Masalah mendasar yang perlu dijawab adalah bagaimana


merubah karakteristik kepolisian menjadi polisi sipil, bukan
kepolisian yang militeristik.konsepsi seperti inilah yang
diharapkan dalam masyarakat demokratis. Dalam kaitan ini,
maka Polri di samping harus memberikan pertanggungjawaban
hukum dan administratif, polisi juga dituntut untuk
bertanggungjawab kepada publik. Pengawasan merupakan
aspek yang sah dan diperlukan bagi akuntabilitas kepolisian. Jika
pengawasan dirancang dengan baik, maka pengawasan itu akan
memberi kontribusi positif bagi kemajuan pertanggungjawaban
kepolisian.

Menurut Walker, wujud tanggungjawab kepolisian meliputi


(1) keterbukaan dalam memberikan akses publik untuk
memperoleh informasi secara jujur tentang kebijakan dan
pengelolaan sumber daya. (2) pengawasan publik, baik dalam
bentuk mekanisme yang menjamin klien untuk memperoleh
informasi tentang penanganan laporan/pengaduannya. Hal
itu dilakukan untuk mendapatkan dukungan masyarakat dan
menghindari tekanan sistem (support stress).15

Berbagai kebijakan di atas, membawa perubahan besar di


lingkungan internal Polri. Polri menjadi institusi pemerintahan
yang memiliki otoritas utama dalam mengelola keamanan
dalam negeri (kamdagri). Reformasi internal bagi aparatur
Polri merupakan sesuatu yang menyenangkan karena Polri

14
Propatria, Op Cit, hal 30-31
Samuel Walker, Police Accountability: The Role of Citizen Oversight, Wadsworth,
15

USA, 2001.
50 Sidratahta Mukhtar

telah memiliki fungsi, peran dan kewenangan yang lebih luas


dan kuat. Sebagai akibat dari reformasi Polri yang terlalu cepat
dan dilakukan dengan mengutamakan kepentingan internal
Polri, maka sebagian besar kewenangan dan peran keamanan
masih terkonsentrasi pada struktur pusat di Markas Besar
Polri yaitu Kepala Polri dan jajarannya. Padahal salah satu
semangat reformasi Polri adalah upaya memperkuat struktur
dan kewenangan Polri di tingkat Polda dan Polres agar Polri lebih
mengakar di kalangan masyarakat daerah.16

Menurut Buku Biru Reformasi Polri yang dikeluarkan tahun


1999, reformasi internal meliputi tiga aspek yang meliputi;
reformasi struktural, instrumental dan kultural. Pertama,
aspek struktural. Dikatakan reformasi struktural menyangkut
posisi dan hubungan kelembagaan Polri dalam konteks
ketatanegaraan. Capaian dari reformasi aspek ini antara lain
dengan keluarnya Polri dari ABRI, ditempatkannya Polri di
bawah langsung Presiden dan berbagai perundang-undangan
lainnya. Kedua, aspek instrumental menyangkut aneka sistem
dan prosedur, kebijakan dan petunjuk yang perlu dilakukan
perubahan dan penyesuaian diri Polri setelah mengalami
pemisahan dari TNI dan menjadi organisasi sipil. Dalam kaitan
ini, beberapa perubahan yang sudah dilakukan adalah kode etik
profesi polisi, bahan-bahan ajaran yang militeristik, perubahan
doktrin dan pedoman induk serta penyusunan grand strategi
Polri. Ketiga, aspek kultural; meliputi perubahan sikap dan
perilaku anggota Polri yang sebelumnya bersifat militeristik
menjadi polisi sipil. Perubahan kultural juga meliputi
perubahan sistem pendidikan Polri, sistem operasional, sistem

16
Wawancana dengan Adrianus Meliala, Evaluasi Reformasi Institusi Polri,
Guru Besar ilmu kriminologi FISIP UI, di Depok, 01 Agustus 2010.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 51

anggaran dan fasilitas serta jasa.17

Cetak biru reformasi Polri itu telah menjadi acuan pokok


untuk membenahi Polri secara menyeluruh dalam 10 (sepuluh)
tahunan terakhir, dengan setidak-tidaknya terdapat 7 (tujuh)
Keputusan Presiden (Kepres) yang mendorong percepatan
reformasi Polri. Beberapa diantaranya yang penting adalah
Kepres no. 89 tahun 2000 tentang kedudukan Kepolisian Negara
Republik Indonesia; Kepres No. 54 tahun 2001 tentang organisasi
dan tata kerja Polri; Kepres nomor 5 tahun 2003 tentang
Tunjangan Jabatan Struktural di Lingkungan Polri dan Kepres
No. 67 tahun 2003 tentang penyesuaian gaji pokok anggota
Polri. Demikian pula, Kapolri telah mengeluarkan peraturan-
peraturan yang mengefektifkan kinerja, kepemimpinan dan
reformasi internal Polri.18

Upaya untuk memasukkan prinsip-prinsip demokrasi ke


dalam sistem kepolisian perlu dilakukan dengan memperjelas
mekanisme dan pembagian kewenangan antara institusi
Polri dengan lembaga-lembaga negara lainnya khususnya
lembaga eksekutif. Undang-Undang No. 2 tahun 2002 belum
17
Adrianus Meliala, Mungkinkah Mewujudkan Polisi Yang Bersih?, Jakarta:
Kemitraan, 2005. Hal 151-153. Penegakan kode etik Polri didasarkan pada Peraturan
Kapolri No: 7 tahun 2006 tentang kode etik Polri. Bagi Polri, disiplin adalah
kehormatan yang erat kaitannya dengan kredibilitas dan komitmen. Lihat juga
Sidratahta Mukhtar, Standar Profesi Polisi, dalam Ahmad Bahar, Timur Pradopo,
Memberi Keladanan Menuai Kearifan, Jakarta: Medpress, 2011
18
Sampai pada tahun 2010, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)
telah mengeluarkan 40 (empat puluh) keputusan, diantaranya; Keputusan
KEP/53/X/2002 tentang organisasi dan tata kerja satuan-satuan organisasi
pada tingkat Mabes Polri; SKEP/360/VI/2005 tentang Grand Strategi Polri 2005-
2025; SKEP/737/X/2005 tentang kebijakan dan strategi Penerapan Pemolisian
Masyarakat (Polmas); SKEP 7/2006 tentang Kode Etik Profesi Polri; SKEP No.8/2009
tentang implementasi dan prinsip HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri;
SKEP No.10/2010 tentang sistem pendidikan Polri dan terakhir, SKEP No.16/2010
tentang tata cara pelayanan informasi publik di lingkungan Polri. Lihat Ringkasan
penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN) tentang Kajian Evaluasi terhadap
pelaksanaan Reformasi Kepolisian, Jakarta: KHN, 7 Oktober 2010.
52 Sidratahta Mukhtar

secara jelas memisahkan antara institusi yang melahirkan


kebijakan tentang Polri, pelaksana kebijakan dan pengawas
atas kebijakan Polri tersebut. Studi Pacivis UI19 menemukan
bahwa regulasi-regulasi utama tentang Polri belum cukup
ideal untuk mendukung sistem politik yang demokratik. Untuk
melihat beberapa kelemahan regulasi tentang Polri tersebut,
analisis yang digunakan adalah dengan menempatkan polisi
dalam kerangka interaksi antara paradigma negara (state)
dan paradigma masyarakat (society). Jika ditempatkan secara
menyeluruh pada paradigma negara, maka polisi sebagai
institusi akan didorong untuk masuk ke dalam sistem politik
yang non-demokratik. Substansi dari perspektif ini adalah
bahwa polisi hadir terutama untuk memperkuat keutuhan
negara (state building). Contoh dari hal ini adalah tindakan-
tindakan polisi yang membungkam dan meniadakan
oposisi politik terhadap pemerintah. Tetapi, jika diposisikan
secara utuh dalam paradigma masyarakat, maka polisi akan
dipahami sebagai produk alamiah dari masyarakat. Paradigma
masyarakat tersebut akan mengkonseptualisasikan kehadiran
polisi bukan untuk melayani kepentingan negara tetapi
untuk melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Berdasarkan paradigma masyarakat sekalipun negara
itu runtuh, polisi masih tetap hadir karena masyarakat
membutuhkannya.20

19
Pacivis UI merupakan lembaga riset dan kajian keamanan yang bergengsi di
Universitas Indonesia, dikelola oleh sejumlah ahli strategi dan pertahanan pada
jurusan ilmu hubungan internasional, seperti Edy Prasetyono, Andi Widjajanto,
Makmur Keliat, Hariyadi Wirawan dan lainnya.
20
Makmur Keliat, Telaah Regulasi Polri: Amandemen atau Undang-Undang
Baru, dalam Dwi Ardhanariswati dan kawan-kawan, Sistem Keamanan Nasional
Indonesia: Aktor, Regulasi dan Mekanisme Koordinasi, (Jakarta: Pacivis UI, 2008)
hal 29-31
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 53

Hasil kajian Strategic ASIA21 juga merekomendasikan tentang


pentingnya desain sistem kepolisian yang sesuai dengan
kaidah dan prinsip demokrasi. Dalam konteks relasi lembaga
kepresidenan-Polri, tidak mungkin Presiden secara khusus
memegang akuntabilitas politik atas Polri serta merumuskan
kebijakan dan alokasi anggaran Polri. Posisi ini menimbulkan
kerancuan bagi status Polri yang melaksanakan fungsi dan
wewenang ganda, yaitu sebagai perumus dan sekaligus sebagai
pelaksana kebijakan. Padahal Polri tidak memiliki kewenangan
untuk membuat keputusan politik karena tidak memiliki
mandat politik sebagai akibat dari Kapolri bukan dipilih
langsung oleh rakyat. Sebuah kebijakan harus dikeluarkan oleh
seorang Menteri yang mempunyai otoritas dan memegang
akuntabilitas politik atas pelaksanaan kebijakan tersebut. Polri
hadir dalam lapis pelaksanaan kebijakan, tetapi Polri tidak
dapat membuat kebijakan politik dalam bentuk kebijakan,
karena Polri tidak mempunyai otoritas politik.22 Apalagi,
Polri merupakan instrumen negara yang berkaitan dengan
kemungkinan penggunaan instrumen koersif (hukum dan
senjata) dan kewenangan diskresi lainnya harus tunduk pada
kaidah-kaidah demokrasi dan penghormatan terhadap hak-
hak asasi manusia. Peranan masyarakat sipil sangat diperlukan
guna mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse
of power) oleh aparatur kepolisian. Rekomendasi Strategic
Asia ini dipublikasikan menjelang pemilihan umum tahun

21
Lembaga Strategic Asia merupakan lembaga pengganti United Nation
Supporting Facilities (Unsfir) sebuah lembaga yang salah satunya merumuskan
transformasi militer Indonesia, tokoh utama dilembaga ini antara lain; Letjen
Purn. Agus Widjojo (mantan Kaster TNI), Dr. Satish Misha, konsultan ahli PBB, dan
Dr. Nasir Tamara, doktor alumni Sorborne University, Paris.
22
Tim Peneliti Strategic Asia, Rekomendasi Kebijakan Sektor Pertahanan:
Tantangan Untuk Pemerintahan Baru, Policy Brief Strategic ASIA ( Jakarta:
Agustus 2009, 5 Februari 2009). hal 3-4
54 Sidratahta Mukhtar

2009, sehingga rekomendasi mereka memiliki agenda setting


berkaitan dengan suksesi kepemimpinan nasional pada periode
kedua pemerintahan SBY saat itu.

Bila didasarkan pada filosofi pembentukan negara dimana


rumusan konstitusi menekankan pentingnya keutuhan,
kecerdasan, keselamatan segenap bangsa. Tafsir konstitusi
itu menempatkan Polri yang besar. Pasal 30 konstitusi
juga mengatakan pertahanan dan keamanan negara yang
diselenggarakan sistem keamanan semesta.oleh karena itu,
mantan presidedn Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono
sudah sesuai dengan kehendak undang-undang pertahanan.
Di mana kedudukan polri? Sekarang di bawah presiden.
Apabila perumusan kebijakan dan anggaran TNI dilakukan
oleh Kementerian Pertahanan dan pelaksanaan oleh TNI di
bawah komando Presiden. Menurut Letjen (P) Djaja Suparman
ini bahwa Polri dapat ditempatkan di bawah departmenen
keamaan negara, TNI dibawah departemen pertahanan
negara. Saat ini banyak polisi di bawah kementerian seperti
polisi hutan, imigrasi,dan lainnya.” Semua yang bersifat
kepolisian berada dibawah kementerian keamanan. Dengan
demikian, maka mudah dilakukan koordinasi lintas sektoral
mengingat batas keamanan dan pertahanan tipis dalam
perang modern.23

Dampak langsung atau tidak langsung dari absennya kontrol


sipil atas peran dan wewenang Polri mengakibatkan masih
terjadinya praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang
lainnya di lingkungan Polri. Penelitian lembaga-lembaga
internasional dan nasional yang terpercaya menunjukkan,

23
Wawancara dengan Letjen Djaja Suparman di Jakarta, September 2013,
mantan Pangkostrad TNI dan Inspektorat Mabes TNI.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 55

korupsi masih merajalela dan Indonesia merupakan negara


terkorup di Asia Tenggara. Data Transparency International (TI)
menunjukkan bahwa pada pada tahun 2003 (IPK 1,9) yang berarti
Indonesia berada pada peringkat ke 12 terkorup dari 133 negara.
Tahun berikutnya, 2004 (IPK, 2.0) berada pada urutan ke 10 dari
146 negara, kemudian tahun 20 05 (IPK 2,2) berada pada urutan
ke 20 dari 159 negara yang diteliti. Sementara dikalangan negara-
negara di Asia Tenggara, Indonesia merupakan kategori negara
terkorup, sedangkan di ASIA, Indonesia masih lebih baik dari
Pakistan, Myanmar dan Banglades.24 Kondisi dan permasalahan
korupsi yang masih digolongkan pada kategori lembaga
peradilan yang masih tinggi tingkat korupsinya ini menjadi
pintu beberapa pihak mengajukan usulan memperkuat lembaga
pembuatan kebijakan Polri (police policy maker) dan pengawasan
publik dan pengawasan negara kepada Kepolisian. Seperti di
banyak negara yang sedang mengalami transisi demokrasi dan
di mana aturan main hukum masih ditentukan oleh kekuasaan
politik, maka masalah korupsi dan penyimpangan kekuasaan
menjadi hal yang seringkali terjadi. Dalam konteks itu, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dilahirkan untuk mencegah
korupsi dan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. KPK
dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan baik tidak
lepas dari antara lain, adanya penyidik-penyidik yang terbaik,
pimpinan yang berani dan punya integritas dan anggaran yang
besar dalam pemberantasan korupsi.25

Dalam penelitiannya lanjutan Transparansi Internasional


(TI) Indonesia tentang indeks persepsi korupsi Indonesia 2006
mengungkapkan bahwa lembaga-lembaga vertikal (polisi,

24
Lihat Laporan Transparency International (TI) di Berlin.
Terkait KPK ini, merupakan hasil diskusi dengan Ronny F. Sompie, Kadiv
25

Humas Mabes Polri, tanggal 8 Januari 2015.


56 Sidratahta Mukhtar

peradilan, pajak, BPN, imigrasi, Bea dan Cukai serta militer.) masih
dipersepsikan sangat korup. Menurut versi ini bahwa lembaga
peradilan merupakan lembaga yang paling tinggi tingkat
inisiatif meminta suap hingga 100 persen, disusul Bea dan Cukai
95 %, Imigrasi 90 %, BPN 84 %, polisi 78 %, pajak 76 %. Kondisi
tersebut di atas, sejalan dengan hasil kesimpulan penelitian
Komisi Hukum Nasional (KHN) tentang evaluasi pelaksanaan
reformasi kepolisian. Studi KHN menemukan bahwa lambannya
gerak maju reformasi kepolisian berpengaruh pada penegakan
hukum dan keadilan yang pada akhirnya perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia menjadi terpuruk, kurangnya
rasa aman masyarakat, korupsi semakin menggurita dan mafia
hukum di semua sektor. Reformasi juga menyebabkan terjadinya
pemusatan kewenangan keamanan dan penegakan hukum
pada istitusi kepolisian. 26

Menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi di institusi


Polri itu, Polri bekerjasama dengan Partnership for Government
Reform dan LPEM UI berhasil membuat Grand Strategy yang
menjangkau masa 2005-2025. Grand Strategy itu dibagi dalam
3 (tiga) tahap dengan tujuan dan sasaran pencapaian yang
spesifik. Tahap I mencakup 5 tahun yaitu tahun 2005-2010
disebut dengan, “Tahap Membangun Kepercayaan Masyarakat
“(Public Trust Building), Tahap II mencakup dari tahun 2011
sampai 2015 disebut dengan “Tahap Membangun Kemitraan”
(Partnership Building). Tahap III mencakup waktu 10 tahun yaitu
2016 sampai 2025 adalah “Tahap Mencapai Keunggulan” (Strive
for Excellence).27

26
Lihat Laporan Penelitian KHN tentang Kajian Evaluasi Terhadap
Pelaksanaan Reformasi Kepolisian, dipresentasikan dalam Lokakarya Penelitian
KHN RI tahun 2010, Jakarta, 20 Oktober 2010. hal 75-76
27
Mabes Polri, Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi Polri, Jakarta, Juli 2009.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 57

Selanjutnya, untuk mempercepat keberhasilan pencapaian


tujuan yang ditetapkan untuk tahap I yaitu membangun
kepercayaan masyarakat. Polri mendorong akselerasi yang
meliputi program sebagai berikut; keberhasilan program,
peningkatan kualitas kerja dan komitmen terhadap organisasi.
Adapun program yang sudah tercapai, antara lain; (a). evaluasi
kinerja organisasi Polri dan menentukan profil Polri tahun 2025.
(b). dilakukan launching Quick Wins program reformasi birokrasi
Polri di depan Presiden RI. (c). kerjasama reformasi birokrasi
dengan kementerian aparatur negara. (d). Penyusunan key
performance indicators dalam rangka penilaian kinerja anggota
dan remunerasi. (e). Telah disusunnya parameter assessment.
(f). Peresmian program pelayanan SIM, STNK, dan BPKB melalui
perbankan (Kartu ATM Bank BRI). (g). Transparansi penyidikan
dan penyampaian SP2HP.28 Bila dicermati eksistensi Polri pasca
mandiri (1999-sekarang), maka secara umum dapat dikatakan
bahwa sejumlah agenda prioritas telah dapat dilakukan dengan
relatif baik oleh Polri, meskipun masih banyak kebijakan dan
program penyelenggaraan keamanan dalam negeri dan hukum
yang perlu mendapat prioritas dalam kerangka grand design
masa depan Polri itu. Grand design Polri mestinya disusun
dengan melibatkan sebanyak mungkin publik (bottom up),
dan perlu terus ditransformasikan ke dalam realitas kekinian,
di mana masalah-masalah keamanan mengalami perubahan
trend menjadi lebih kompleks akibat globalisasi.

Dalam konteks reformasi kultural Polri, agenda reformasi


lanjutan Polri dimasukkan sebagai tahapan proses transformasi
budaya organisasi Polri. Pertama, Melakukan peleburan budaya
lama melalui perubahan visi, misi, nilai-nilai keyakinan, pola

28
Ibid hal 3, 18-20 dan 80-83
58 Sidratahta Mukhtar

pikir dan sikap mental yang berkaitan dengan individu Polri,


kepemimpinan dan sistem manajemen. Kedua, membentuk,
merumuskan dan membangun budaya baru dalam institusi Polri.
Ketiga, melakukan penetapan budaya baru yang telah terbentuk
untuk diimplementasikan secara konsekuen dan konsisten.
Keempat, melakukan akselerasi perubahan pola pikir dan sikap
mental baru (mindset) individu personel Polri, kepemimpinan
serta sistem manajemen sesuai perkembangan.29 Agenda
perubahan budaya memerlukan waktu yang lama yaitu paling
tidak lebih dari 1 generasi di Polri. Artinya bahwa perubahan
perilaku Polri dapat dirasakan dalam 30 (tiga puluhan) tahun ke
depan seiring dengan transformasi masyarakat sipil dan negara
yang makin demokratis. Keberhasilan Polisi dalam menegakkan
hukum, membangun masyarakat yang aman dan tertib juga
ditentukan oleh kemajuan dan perkembangan masyarakat itu
sendiri. Apabila masyarakat semakin modern dan memiliki
budaya taat hukum tinggi, maka dengan sendirinya Polri juga
mengalami perbaikan atau kemajuan.

Budaya kepolisian (police culture) jika tidak ditangani secara


tepat, merupakan faktor utama yang menghambat reformasi
kepolisian. Budaya kepolisian merupakan seperangkat sikap,
perilaku, nilai-nilai, norma, peraturan teknis dan lainnya. Untuk
mewujudkan budaya Polri, sekurang-kurangnya diperlukan
tiga aspek; integritas, profesionalisme dan keteladanan secara
komprehensip baik dari anggota maupun dikalangan pimpinan.30

Pada tataran struktural, Polri telah melakukan reformasi


secara lebih mulus dan jelas. Seperti yang terjadi di negara lain,

29
Ibid hal 144-145
30
Farouk Muhammad, Kepolisian dan Politik, Jurnal polisi Indonesia, PTIK,
Jakarta, 2000. Hal 12-13. Juga Suwarni, Reformasi Kepolisian: Studi Atas Budaya
Organisasi dan Pola Komunikasi, Yogyakarta, UII Press, 2009.hal 213
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 59

reformasi struktural pada umumnya dapat dilakukan secara


cepat. Perubahan struktural telah menjadikan institusi Polri lebih
otonom dan melakukan revitalisasi, penguatan kelembagaan,
susunan dan kedudukan serta validasi organisasi Polri. UU No.
2/2002 tentang Polri menegaskan secara eksplisit posisi baru
Polri, kendati mendapatkan banyak kritik dari berbagai kalangan
khususnya TNI. 31

Sementara itu Polri juga melakukan reformasi instrumental


yaitu yang berkaitan dengan filosofi, doktrin, wewenang,
kompetensi, kemampuan serta pendayagunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada aspek ini Polri ingin menjadi
kekuatan yang mampu menciptakan ketentraman, keamanan
dan kedamaian dalam masyarakat.32 Kusnanto Anggoro (2009)
menemukan beberapa kelemahan reformasi Polri. Reformasi Polri
menurut mereka masih pada tataran jargon dan semangat, tetapi
belum menyentuh kepada akar persoalannya. Pertama, aturan
dan struktur Polri harus lebih memihak pada prinsip-prinsip
demokrasi dan good governance. Kendati masih terkendala oleh
masalah-masalah sumber daya manusia, rendahnya remunerasi
serta keterbatasan operasional, Polri harus tetap berusaha untuk
melaksanakan berbagai agenda keamanannya. Kedua, Polri
bukan saja harus memiliki tupoksi (tugas pokok dan fungsi) yang
jelas dalam kaitannya dengan semua konsep tersebut, namun
juga harus dipastikan bahwa seluruh anggota Polri paham betul
tupoksi mereka serta memiliki kemampuan melaksanakannya.

31
T Hari Prihatono dan kawan-kawan, Police Reform…Op Cit hal 126-127
Adapun bunyi dari Tri Brata dalam versi baru adalah sebagai berikut; (1).
32

Berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa; (2). Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan
dalam menegakkan hukum negara kesatuan Republik Indonesia; (3). Senantiasa
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk
mewujudkan keamanan dan ketertiban. (Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/17/
VI/2002 tanggal 24 Juni 2002). T Hari Prihatono, Ibid hal 128
60 Sidratahta Mukhtar

Ketiga, dalam kondisi normal segala kemampuan Polri, mulai


dari sarana sampai dengan kapasitas sumber daya manusia
serta intelijennya, harus diarahkan bagi penanganan dan
mengeliminasi faktor penyebab dari semua persoalan yang
menganggu ketertiban masyarakat.33

Pembangunan kepolisian harus diarahkan kepada


perubahan budaya kepolisian secara komprehensif. Hal itu
penting mengingat adanya peran ganda Polri sebagai penegak
hukum dan pembina kamtibmas. Desain perubahan UU Polri
di masa depan didesain untuk mendorong perubahan dalam
berbagai aspek berikut ini: 1). Asas-asas kepolisian. 2). Sistem
kepolisian. 3). Pendekatan-pendekatan dalam penegakan hukum
dan pembinaan kamtibmas. 4). Kedudukan lembaga kepolisian.
5). Organisasi dan tatalaksana kepolisian. 6). Fungsi, peran,
beban tugas dan wewenang. 7). Lembaga-lembaga pengawas
atau control. 8). Kode etik kepolisian. 9). Personil kepolisian. 10).
Pendanaan kepolisian. 11). Relasi polisi dengan jaksa, dan hakim.
Berdasarkan cacatan Propartia bahwa lembaga pengawasan
kepolisian merupakan aspek yang sangat lemah dalam proses
pengawasan kepolisian (Polri). 34

Reformasi Polri merupakan proses panjang menuju Polri


yang profesional. Di bawah ini adalah beberapa capaian yang
dihasilkan dari reformasi internal Polri selama ini. Meskipun
hal ini masih belum menghasilkan perubahan seperti yang
diharapkan masyarakat luas.

Langkah-langkah reformasi internal Polri dapat disusun


sebagai berikut;
33
Kusnanto Anggoro, Indria Samego dan Rizal Sukma, Rekomendasi Kebijakan
Tentang Kerangka Kerja Keamanan Nasional (Jakarta: Yayasan TIFA dan Propatria
Institute, 2009) hal 21
34
Propatria, Op Cit, hal 36-37
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 61

ASPEK STRUKTURAL ASPEK INSTRUMENTAL ASPEK KULTURAL


1. Posisi Polri langsung di 1. Dikeluarkannya TAP MPR 1. Perubahan doktrin
bawah Presiden No. VI dan VII Tahun 2000 dan pedoman induk dari
2.Perubahan Polri menjadi tentang pemisahan TNI doktrin Catur Darma Eka
lembaga nondepartemen dan Polri. Karma sebagai pedoman
dengan kedudukan 2. Amandemen UUD induk di masa Orde Baru
setingkat menteri 1945 pasal 30 ayat (2) menjadiTri Brata sebagai
3. Penempatan Polri yang memisahkan TNI nilai dasar dan pedoman
sebagai mitra verja DPR RI Polri dalam usa di bidang moral Polri yang baru.
dalam urusan keamanan pertahanan dan keamanan 2. Perumusan pedoman
melalui komisi III bidang sebagai kekuatan utama, perilaku polisi dalam
hukum dan HAM DPR dalam konteks sistem pelaksanaan tugas dan
4. Pemisahan struktur Hankamrata. wewenangnya.
kepegawaian dari 3. Revisi petunjuk 3. Pemberdayaan satuan
manajemen TNI pelaksana (Juklak) dan Bintara dan Tamtama Polri
5. Pelembagaan sistem petunjuk teknis (Juknis) dalam penyelenggaraan
pengawasan oleh Polri. community policing yang
masyarakat melalui 4. Penyusunan Grand dikenal dengan Polmas
institusi Komisi kepolisian strategy 25 tahun Polri. 4. Pelatihan materi HAM
Nasional (Kompolnas) dalam pendidikan dinas
6. Penetapan Polda sebagai Polri.
induk penuh kesatuan 5. Pelembagaan sistem
(tidak sentralistik ke Mabes pengawasan oleh
Polri) masyarakat melalui
7. Dibentuknya Komisi institusi Komisi kepolisian
Kepolisian Nasional Nasional
(Kompolnas) (Kompolnas)
8. penetapan titik
pelayanan pada
pengemban diskresi yang
diatur dalam pasal 18 UU
No. 2 tahun 2002.
9. Reposisi Satuan Brimob
Polri sebagai satuan
khusus polisi yang berbeda
fungsinya dengan militer.

Sumber diolah dari hasil penelitian IDSPS, AJI, FES dan Propatria Institute (Edisi VII/10/2008)
dan Police Reform: 2008).
62 Sidratahta Mukhtar

Selain problematika reformasi Polri di atas, juga terdapat


sejumlah permasalahan yang sangat penting yaitu posisi Polri
dalam sistem politik di Indonesia. Sebagaimana diketahui,
prinsip-prinsip demokrasi menekankan perlunya pembagian
kewenangan antara pemberi kebijakan dengan instrumen
pelaksana kebijakan. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri tidak
secara jelas mengatur pertanggungjawaban institusi Polri
khususnya Kapolri. Secara lebih spesifik, pasal 9 UU No.2 tahun
2000 telah memposisikan Kapolri sebagai individu yang
memiliki otoritas yang luas, yaitu mulai dari menetapkan,
menyelenggarakan, mengendalikan kebijakan operasional
kepolisian dan bertanggungjawab atas kebijakan operasional
itu dan melakukan pembinaan serta membangun kapasitas
institusi Polri. Posisi ini menunjukkan Polri sebagai suatu
lembaga yang semakin super body.35

Kedudukan Polri yang langsung berada di bawah Presiden


telah menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Dalam
perspektif kalangan internal Polri, lepasnya Polri dari struktur
TNI dan memiliki kedudukan kelembagaan tersendiri telah
mendorong tingkat independensi dan profesionalisme.
Sementara itu kalangan luar Polri khususnya kelompok
masyarakat sipil menilai bahwa kedudukan di bawah Presiden
akan menempatkan Polri sebagai kekuatan politik nasional.
Kedudukannya yang sejajar dengan menteri-menteri dalam
kabinet membuat Kapolri akan selalu terlibat dalam rapat-rapat
kabinet dan pengambilan keputusan politik. Oleh karena itu,
Polri berpotensi menjadi alat kekuasaan khususnya berkaitan
dengan posisi dan kewenangan Presiden.36

35
Makmur Keliat, Telaah Regulasi Polri….Op Cit hal 34-35
36
M. Nurhasim, dkk, Reformasi Sektor Keamanan: TNI dan Polri: Jakarta, Ridep
Institute dan FES, 2005. Hal 60
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 63

Pasal 8 ayat 1 dan 2 merupakan obyek kritik Propatria37


yang mewakili koalisi masyarakat sipil. Dalam Monografh
No 7, diungkapkan bahwa ”posisi Polri di bawah Presiden dan
tanggungjawab kapolri kepada Presiden, memungkinkan Polri
terjadi politisasi terhadap Polri. Dalam kondisi demikian, Kapolri
sangat potensial untuk terpengaruh dengan kebijakan presiden.
Apalagi Kapolri selalu mengikuti sidang kabinet, dimana rapat
itu menggarisbawahi kebijakan-kebijakan politik presiden di
bidang keamanan dalam negeri dan aspek kepolisian. Dengan
status menteri setingkat menteri , jelas kapolri merumuskan
kebijakan politik presiden, ini sesungguhnya menyalahi
fungsionalisasi polisi dalam suatu negara. Hal ini dikhawatirkan
polisi terseret pada kepentingan-kepentingan golongan politik
tertentu. Karena itu Polri perlu didudukkan dalam pada tempat
yang semestinya dalam komunitas hukum dan pemerintahan.”38
selain itu terdapat hal yang dipandang rancau dalam UU
No 2/2002, pasal 30 ayat 2 UUD 1945 misalnya dinyatakan,”...
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia...” serta kedudukan dan peran Polri dan TNI
sebagai kekuatan utama hankamneg..” selanjutnya, dalam aspek,
law and order (keamanan ketertiban dan penegakan hukum),
konstitusi menulis bahwa Polri adalah alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum
(Lihat pasal 30 UUD 1945). Disamping itu juga, terdapat

37
Propatria Institute merupakan lembaga riset dan kajian tentang reformasi
sektor keamanan, lembaga ini adalah lembaga yang menyiapkan naskah
akademik dan draft RUU Keamanan Nasional dan merupakan mitra strategis
Kementerian Pertahanan (Kemhan), didalamnya terdapat dewan eksekutif yang
dipimpin Hari Prihatono, dan pada dewan ahli melibatkan banyak ahli-ahli
yang kredibel seperti Kusnanto Anggoro, Andi Widjajanto, Fajrul Falaak, dan
sebagainya.
38
Monografh No 7, 12 September 2006, hal; 39
64 Sidratahta Mukhtar

kekosongan dalam mekanisme perbantuan Polri kepada TNI.


Apakah didasarkan pada kebutuhan Polri terhadap penilaian
ancaman kamtibmas atau didasarkan kepada tafsir TNI dan
berdasarkan mandat Presiden dan konstitusi. Mengenai relasi
Polri-TNI dalam konteks perbantuan diletakkan dalam kerangka
dan mekanisme sebagai berikut. Pertama, perbantuan TNI
kepada Polri harus memperhatikan azas-azas legalitas, manfaat,
fungsional, dan proporsional, maka perlu kejelasan siapa pejabat
yang berwewenang mengambil keputusan dan bagaimana
prosedur pemberian bantuan itu. Ada dua prinsip yang harus
dikuti yaitu azas manfaat yang menuntut menyederhanaan
prosedur, sehingga sedapat mungkin diputuskan dan dilakukan
oleh pejabat peminta bantuan dan pejabat pemberi bantuan
yang memiliki kekuatan. Kedua, secara azas proporsionalitas
mengacu kepada keputusan pemberian bantuan oleh otoritas
politik tertinggi yakni Presiden.

Dalam sistem pemerintahan yang Presidensial seperti yang


dianut di Indonesia dewasa ini, maka Presiden memegang
kekuasaan eksekutif tertinggi. Karenanya, Presiden berwenang
untuk menentukan kebijakan umum keamanan nasional,
berwenang untuk melalukan pengerahan kekuatan bersenjata
dan menetapkan status darurat yang dalam level tertentu perlu
mendapatkan persetujuan parlemen. Dalam konstitusi secara
tegas menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan
tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan
udara serta kepolisian. Dengan demikian, tidak dimungkinkan
kewenangan-kewenangan tersebut dilakukan oleh aktor negara
lainnya selain Presiden.39 Pada prinsipnya pengelolaan fungsi
keamanan negara bersifat terpusat. Fungsi keamanan negara

39
Draft RUU Keamanan Nasional Versi Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
tanggal 11 Juli 2011
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 65

tidak diserahkan ke daerah yang telah diberi otonomi. Sebagai


organisasi yang sifatnya terpusat keberadaan aktor-aktor
keamanan berada di bawah kendali Presiden sebagaimana
ditegaskan dalam konstitusi. Esensi kontrol dan kendali terpusat
tersebut sesungguhnya memiliki fungsi untuk membangun
dan mengarahkan pembangunan kekuatan pertahanan dan
keamanan yang terukur, efektif dan efisien. Sebab, jika fungsi
pertahanan dan keamanan didesentralisasikan maka dapat
mempersulit negara untuk membangun kesatuan sistem
pertahanan dan keamanan negara yang komprehensif.

Selain itu, prinsip terpusat juga mengandung makna perlu


adanya pengalokasian anggaran untuk aktor-aktor keamanan
yang dilakukan secara terpusat melalui APBN. Sifat sentralitas
dalam pengalokasian anggaran itu ditegaskan dalam UU tentang
Pertahanan Negara dan UU tentang Polri. Dengan demikian,
prinsip sentralitas tidak memberi kemungkinan bagi aktor-aktor
keamanan untuk mendapatkan anggaran di luar APBN (non-
budgeter). Sebab, dalam prakteknya, penggunaan dana-dana
di luar APBN oleh lembaga-lembaga negara mengakibatkan
suburnya praktik korupsi. Di masa reformasi, dana-dana non-
budgeter menjadi bagian agenda dan tuntutun yang harus
dihapuskan (kecuali mobilisasi).40

Konsep sishankamrata sebenarnya merupakan konsep


masa lalu yang sudah tidak sejalan dengan perkembangan
kekinian. Konsep ini didasarkan pada pemikiran bahwa rakyat
bisa diperintah untuk menjadi ”bala” kekuatan pertahanan
dan keamanan semesta. Masalahnya UUD 1945 pasal 30 masih
mengakomodasi konsep sishankamrata itu meski menurut
Farouk Muhammad, era perubahan dunia yang semakin

40
ibid
66 Sidratahta Mukhtar

menjunjung tinggi demokrasi, kebebasan, hukum humaniter,


hak asasi manusia dan lainnya, sehingga paham rakyat semesta
(people center) tidak relevan lagi. Farouk mencoba memberikan
pemahaman atas Polri sebagai kekuatan utama Sishankamrata
dalam UUD 1945 itu. Hal itu dapat dilihat dalam dua dimensi,
pertama, obyek dan kedua proses. Dari segi obyek ancaman
terhadap keamanan negara, yang bersumber dari luar (eksternal)
ditangani dengan upaya pertahanan yang dimotori oleh TNI.
Sedangkan jika ancaman terhadap keamanan negara yang
bersumber dari dalam negeri (internal), maka dapat dimotori
oleh Polri atau TNI (disesuaikan dengan eskalasi ancaman
dan prosedur hukum). Konsep sishankamrata dalam konteks
kekinian dapat dikaitkan dengan konsep Polmas (community
policing). Polmas menekankan pada pengelolaan keamanan
dalam suatu komunitas dilakukan dari, oleh dan untuk warga
itu sendiri yang difasilitasi oleh Polisi. Dengan begitu, komponen
utama keamanan dalam konteks ini adalah ”masyarakat itu
sendiri”.41 Dilihat dari sego proses peran Polri sebagai kekuatan
utama Sishankamrata sesuai UUD 1945 tersebut, juga dapat
dipahami secara kontekstual dengan tugas pokok Polri yang
meliputi pembinaan kamtibmas, deteksi dini dan monitoring,
pencegahan gangguan keamanan umum menjadi gangguan
terhadap keamanan negara, serta pemulihan pasca konflik atau
pasca perang.42

Demokratisasi dan reformasi di Indonesia memang


membawa momentum penting bagi masa depan Polri dalam
konteks ketatanegaraan. Perubahan di lingkungan strategis dan
internasional juga mendorong akselerasi reformasi kepolisian.

41
Farouk Muhammad, Polri dalam Sistem Pertahanan dan Keamanan,
makalah Seminar Nasional IODAS, Jakarta, 25 agustus 2008, hal 4-5
42
Ibid, hal 6
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 67

Dalam proses demokratisasi di Polri yang tergolong cepat, maka


telah banyak analisa, riset, dan kritik yang yang dikemukakan
oleh berbagai ahli, lembaga kajian di universitas dan lembaga
masyarakat sipil. Kritik dan masukan itu sebenarnya sangat
positif bagi transformasi Polri dari polisi yang militeristik
kepada polisi sipil. Hanya masalahnya persoalan-persoalan yang
terjadi di kepolisian Indonesia tidak hanya dilakukan dengan
pendekatan institusional dan struktural, bahwa hal itu terjadi
akibat dari posisi yang langsung di bawah presiden. Masalah
Polri adalah masalah yang kompleks, mengingat Polri telah
lama ditempatkan pada posisi yang tidak seharusnya yaitu
diintegrasikan dengan ABRI atau TNI. Oleh karenanya Polri
memerlukan waktu yang cukup untuk membenahinya. Rencana
strategis jangka pendek, jangka menengah dan program jangka
panjang Polri merupakan langkah dan agenda yang sangat
menentukan bagi masa depan Polri. Sebagai institusi pelaksana
bahwa posisi di bawah Presiden dipandang sebagai posisi
yang meyakinkan menuju Polri yang independen, merdeka,
dan polisi sipil yang demokratis, sedangkan posisi di bawah
kementerian atau terintegrasi ke dalam sistem pertahanan
dan keamanan dipandang (berdasarkan pengalaman) empirik
praktek ingerasi Polri ke dalam TNI di masa lalu sebagai posisi
yang kurang kompatibel dengan desain strategik organisasi dan
kepemimpinan Polri di masa depan.

Dalam konteks itu, pada bab berikut ini akan membahas teori
dan konsep keamanan nasional, mengingat para policy makers
bidang pertahanan dan keamanan mendasarkan pada konsepsi
ini ketika membahas kebijakan negara dalam keamanan
nasional.
BAB IV

Pemahaman Konsep Keamanan


Nasional dan Posisi Polri

Konsep keamanan nasional selalu mengundang berbagai


perdebatan dikalangan pemangku bidang keamanan nasional, dan
dikalangan para ahli dan sarjana bidang pertahanan, keamanan
dan yang terkait. Bahkan salah satu faktor yang mempersulit
penyelesaian Rancangan UU keamanan Nasional (RUU Kamnas)
adalah karena sulitnya menyepakati terma atau istilah yang
tepat bagi sistem keamanan nasional. Istilah “nasional” dalam
konsep “keamanan nasional” mengundang perdebatan yang
serius karena akan mencerminkan ruang lingkup konsep. Apakah
Kamnas mencakup segenap masalah keamanan secara luas,
mulai dari keamanan negara sampai keamanan publik dan privat
atau keamanan manusia, atau hanya terbatas pada keamanan
“national”. Dalam percakapan sehari-hari terma nasional memberi
kesan yang berarti menyeluruh (pusat sampai daerah, semua
daerah, semua lapisan masyarakat). Contoh, keluarga berencana
nasional, badan pertanahan nasional dan pendidikan nasional.
Sementara itu, “National” dalam Bahasa Inggris berarti nasional
dalam pengertian negara atau bangsa. 1
1
Dikutip dalam draft usulan RUU Kamnas Versi Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), tanggal 11 Juli 2011.
70 Sidratahta Mukhtar

Sejalan dengan perkembangan pemahaman tentang


security, pada pasca Perang Dunia II, ruang lingkup konsep
keamanan nasional (national security) seperti dikutip oleh
Komisi Konstitusi(2004) dari Christopher Schoemaker hanya
mencakup “the protection from external invasion, an attitude
primarily driven by the war”. Pemahaman yang senada juga
ditekankan berbagai literatur, mulai dari pengertian umum
dalam kamus (Edy Prasetyono, 2005).2 Pengertian-pengertian
tersebut menekankan pada pemahaman yang khusus dalam
arti obyeknya, sehingga Kamnas tidak mencakup seluruh aspek
keamanan dalam suatu negara tetapi difokuskan pada ancaman
terhadap negara dan tujuan vital nasional.

Pengertian keamanan nasional cenderung berorientasi


kepada masalah pertahanan dan masalah hubungan luar
negeri. Andi Widjajanto dari UI merujuk Barry Buzan, Ole
Waever dan Jaap de Wilde menekankan : “Ketiga pakar strategi
ini memperingatkan para pembuat kebijakan untuk tidak
terburu-buru mengeskalasi suatu isu menjadi isu keamanan.
Suatu isu hanya dapat dikategorikan sebagai isu keamanan jika
isu tersebut menghadirkan ancaman nyata terhadap kedaulatan
dan keutuhan teritorial negara. Isu keamanan juga hanya akan
ditangani oleh aktor militer jika ancaman yang muncul disertai
dengan aksi kekerasan bersenjata dan telah ada kepastian bahwa
negara telah mengeksplorasi semua kemungkinan penerapan
strategi non-kekerasan”3 Setidaknya ada lima sektor utama
yang dicakup dalam pengertian keamanan yakni: (1) the military
security yang mencakup dua tingkat pengelolaan kapabilitas

2
Edy Prasetyono, Konsep-Konsep Keamanan”, dalam Merumuskan Kembali
Kebangsaan Indonesia, Indra J Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro (eds),
(Jakarta: CSIS, 2006), hal 267-269
3
Prof. Dr. Farouk Muhammad, Keamanan dan Aktor Keamanan, makalah
ilmiah: Makalah, Jakarta, 2003.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 71

persenjataan negara baik secara ofensif maupun defensif dan


persepsi negara terhadap intensitas satu dengan yang lainnya;
(2) the political security yang menaruh perhatian pada stabilitas
organisasi negara, sistem ideologi dan ideologi yang memberi
legitimasi kepada pemerintahan; (3) the economic security yang
mencakup pada akses terhadap sumberdaya, keuangan dan
pasar yang untuk menopang tingkat kesejahteraan dan kekuatan
negara yang akseptabel; (4) societal security yang mencakup
kelangsungan pola tradisi dari bahasa, budaya, agama, identitas
nasional dan adat termasuk di dalamnya kondisi evolusi yang
bisa diterima; dan (5) environmental security yang menaruh
perhatian pada pemeliharaan lingkungan baik secara lokal
maupun global sebagai sebuah dukungan penting terhadap
sistem tempat kehidupan manusia bergantung. Dan masing-
masing sektor tidak berdiri sendiri melainkan memiliki ikatan
kuat satu sama lain.4

Sehubungan dengan beranekanya pengertian keamanan,


maka permasalahannya adalah: apakah konsep keamanan
negara mencakup keseluruhan masalah keamanan kehidupan
dalam negara, misalnya keamanan umum (Kamtibmas) dan
keamanan manusia (human security). Keamanan negara adalah
hanyalah salah satu bidang keamanan yaitu yang mencakup
upaya untuk menjamin keamanan negara sebagai suatu entitas.
Walau saling terkait, keamanan negara berada dalam domain
yang berbeda dengan keamanan umum. Keamanan negara
menyangkut kepentingan eksistensi, keutuhan dan kedaulatan
negara serta keselamatan bangsa, sedangkan keamanan umum
menyangkut kepentingan eksistensi/ kelangsungan hidup dan
ketentraman individu/ kelompok orang yang (pada umumnya)

4
Barry Buzan, People, States and Fear: an Agenda for International Security
Studies in the Post-Cold War. (Boulder: Lynne Rienner Publisher, 1991)., hal 19-20
72 Sidratahta Mukhtar

hidup dalam negara. Kelompok orang dalam domain pertama


disebut rakyat (people) yang terikat dalam pesetambatan politik,
sedangkan kelompok yang kedua disebut masyarakat (society/
community) yang terikat dalam persetambatan sosial. Karena
itu ancaman/ gangguan terhadap keamanan negara belum
tentu merupakan ancaman/gangguan terhadap ketentraman
individu/kelompok/masyarakat.5

Selanjutnya keamanan negara dan keamanan umum juga


memiliki domain yang berbeda dengan keamanan manusia
yang bersifat individual/privat. Keamanan manusia pada
dasarnya menyangkut perlindungan atas: (1) hak-hak dasar
individu, mencakup: hak hidup, kedudukan sama di mata
hukum, perlindungan terhadap diskriminasi yang berbasis ras,
etnik, jenis kelamin atau agama; (2) hak-hak legal, mencakup:
akses mendapat-kan perlindungan hukum serta hak untuk
mendapatkan proses hukum yang sah; (3) kebebasan sipil,
meliputi: kebebasan berpikir berpendapat dan menjalankan
ibadah agama/ kepercayaan; (4) hak-hak kebutuhan dasar,
terdiri atas: akses ke bahan pangan, jaminan dasar kesehatan
dan terpenuhinya kebutuhan hidup minimum; (5) hak-hak
ekonomi, meliputi: hak untuk bekerja, hak rekreasi serta hak
jaminan sosial; dan (6) hak-hak politik, yang mencakup: hak
dipilih dan memilih dalam jabatan-jabatan politik serta hak
untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara.

Perbedaan prinsip keamanan manusia dengan keamanan


negara dan keamanan umum terletak pada sumber ancaman.
Ancaman terhadap keamanan manusia hampir sebagian besar
justru bersumber dari aktor keamanan negara dan keamanan

5
Dikutip dari Sidratahta Mukhtar, Keamanan Nasional, makalah disampaikan
pada RDPU RUU Kamnas DPD RI, Juni 2011.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 73

umum. Dibandingkan dengan aktor keamanan umum yang


nota bene adalah penegak hukum, aktor keamanan negara
mempunyai peluang yang lebih besar mengancam perlindungan
atas hak-hak tersebut. Telah menjadi catatan sejarah bahwa
kepentingan keamanan negara membuka peluang intervensi
kekuasan dan hukum atas persoalan kehidupan sehari-hari
warga masyarakat dan individu.

Negara wajib menjamin kebutuhan keamanan dalam


segenap aspek kehidupan dalam negara, seperti keamanan dan
ketertiban umum sampai keamanan manusia (human security)
yang menjadi hak setiap warga negara, tetapi tidak berarti bahwa
yang dimaksud dengan keamanan negara adalah totalitas dari
segenap permasalahan keamanan yang ada dalam suatu negara.
Pengaturan untuk menjamin keamanan bidang lain selain
keamanan negara dituangkan dalam masing-masing peraturan
perundang-undangan yang terkait, misalnya UU tentang Polri,
UU tentang HAM, dan lain-lain. Di sini permasalahannya tidak
hanya sekadar persoalan ruang lingkup, tetapi mengandung
konsekuensi yang lebih mendalam. Karena pada gilirannya akan
membuka peluang intervensi atas nama keamanan negara atas
persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari warga masyarakat
dan individu.6

Polemik tentang istilah dan konsep keamanan nasional


sangat menyita perhatian para ahli dan praktisi. Letjen (Purn.)
Agus Widjojo7 dari TNI mengatakan bahwa istilah keamanan
nasional berkembang pada masa pasca Perang Dunia II. Dengan

6
Lihat George Junus Aditjondro, Munir, Imam Prasodjo dan Bambang
Widjodjanto dalam Indonesia Di Tengah Transisi, Propatria, 2002.
7
Agus Widjojo merupakan “jenderal intelektual” dikalangan TNI dan pernah
menjabat Kaster TNI menggantikan SBY dan mantan Wakil Ketua MPR RI
mewakili unsur TNI.
74 Sidratahta Mukhtar

pengalaman berbagai perang antar Negara, maka keamanan


suatu Negara diletakkan dalam kaitan maupun mengatasi
ancaman dari Negara lain. Menurut Agus Widjojo, titik berat
keamanan diletakkan pada Negara dan sasarannya kedaulatan
yang dirasakan sebagai hak sebuah Negara. Secara sederhana
keamanan nasional terdiri dari pertahanan dan keamanan
dalam negeri. Pertahanan adalah upaya sebuah Negara untuk
menjaga kelanggengan hubungan serta kedaulatan dari
ancaman militer dari luar negeri. Sedangkan keamanan dalam
negeri merupakan upaya sebuah Negara untuk mengatasi
ancaman dari dalam negeri yang mengancam kelanggengan
hidupnya. Karena Negara memiliki sistem hukum nasional, maka
setiap ancaman yang datang dari dalam negeri pada hakekatnya
adalah tindakan pelanggaran hukum yang direspons dengan
upaya penegakan hukum. Masalahnya, sebuah Negara yang baik,
tetapi tidak menjamin penegakan dan perlindungan hak asasi
manusia warganegara, sehingga muncul konsep human security
(keamanan manusia). Dalam konsep ini, kedaulatan Negara
diubah persepsinya sebagai kewajiban suatu Negara untuk
melindungi dan menegakkan hak asasi warganegara tersebut.
Sedangkan pengertian keamanan bersama (collective security)
dan keamanan regional berada pada tataran antar Negara.8

Menurut Farouk Muhammad9 dari kalangan Polri, bahwa


keamanan Negara hanyalah satu bidang keamanan yaitu upaya
menjamin keamanan Negara sebagai suatu entitas. Walau saling
terkait, keamanan Negara berada pada domain yang berbeda

8
Agus Widjojo, Rekomendasi Kebijakan Sektor Pertahanan, Tantangan Untuk
Pemerintahan Baru, Policy Brief. Strategic Asia, Agustus 2009. Hal 1-2, Lihat juga,
Sidratahta Mukhtar, Militer dan Demokrasi: Pemikiran Jend (Purn.) Agus Widjojo
tentang reformasi TNI dalam Konsolidasi Demokrasi Indonesia (2013).
9
Farouk Muhammad, dikenal sebagai “jenderal intelektual” dikalangan Polri,
dan mantan Gubernur PTIK.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 75

dengan keamanan umum. Keamanan Negara menyangkut


eksistensi/kelangsungan hidup dan ketentraman individu/
kelompok orang (pada umumnya) hidup dalam Negara. Kelompok
orang dalam domain pertama disebut rakyat yang terikat dalam
pesetambatan politik, sedangkan kelompok kedua disebut
masyarakat yang terikat dalam pesetambatan sosial. Karena
itu bagi Farouk Muhammad, ancaman terhadap keamanan
Negara belum tentu merupakan gangguan terhadap keamanan
manusia/kelompok/masyarakat.10 Bangunan konsepsi keamanan
seperti itu didasarkan pada rumusan TAP MPR No. VII yang
merupakan tindak lanjut pemisahan TNI-Polri yang menegaskan,
“memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat”.

Demikian pula rumusan UUD 1945 pasal 30 ayat 4: “menjaga


keamanan dan ketertiban masyarakat.”11 Hermawan Sulistyo
mengatakan bahwa Polri hanya mengadopsi keamanan dengan
huruf k kecil. Paradigm keamanan keamanan dengan k kecil
hanya merupakan bagian dari keamanan nasional dalam konteks
K besar. Mengingat cakupan dan ruang lingkup K besar sangat
luas dalam pengertian upaya menciptakan kondisi kehidupan
nasional yang bebas dari ancaman baik militer maupun non
militer, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri.12
Namun persoalan yang muncul dalam perdebatan publik adalah
tentang istilah “keamanan nasional” masih ditafsirkan dengan
berbeda-beda, belum ada difinisi yang jelas. Istilah ini belum
tercantum dalam undang-undang tentang baik pertahanan
maupun keamanan. Sekilas, istilah keamanan nasional muncul

Farouk Muhammad, Polri dalam Sistem Pertahanan dan Keamanan,


10

Makalah Seminar IODAS, 25 Agustus 2008 di Jakarta. Hal 2-3


11
Ibid hal 4
12
Hermawan Sulistyo, Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil
Society, Pencil 324 Jakarta, 2009, hal 107
76 Sidratahta Mukhtar

dalam UU nomor 34/2004 tentang pemerintah daerah, namun


hanyalah sekedar penegasan dari kewenangan pemerintah pusat.
(Widodo Umar, 2006) Kerancuan ini menurut Farouk Muhamad
karena terma pertahanan mencerminkan upaya proses, dengan
terma keamanan yang merupakan hasil (outcome). TAP MPR no
VI/2000 mengatur pembagian bidang dan tugas berdasarkan
proses hasil. TNI untuk pertahanan dan Polri untuk keamanan.

Setidaknya ada lima sektor utama yang dicakup dalam


pengertian keamanan yakni: (1) the military security yang
mencakup dua tingkat pengelolaan kapabilitas persenjataan
negara baik secara ofensif maupun defensif dan persepsi negara
terhadap intensitas satu dengan yang lainnya; (2) the political
security yang menaruh perhatian pada stabilitas organisasi
negara, sistem ideologi dan ideologi yang memberi legitimasi
kepada pemerintahan; (3) the economic security yang mencakup
pada akses terhadap sumberdaya, keuangan dan pasar
yang untuk menopang tingkat kesejahteraan dan kekuatan
negara yang akseptabel; (4) societal security yang mencakup
kelangsungan pola tradisi dari bahasa, budaya, agama, identitas
nasional dan adat termasuk di dalamnya kondisi evolusi yang
bisa diterima; dan (5) environmental security yang menaruh
perhatian pada pemeliharaan lingkungan baik secara lokal
maupun global sebagai sebuah dukungan penting terhadap
sistem tempat kehidupan manusia bergantung. Dan masing-
masing sektor tidak berdiri sendiri melainkan memiliki
ikatan kuat satu sama lain.13 Teori Buzan telah mempengaruhi
pemikiran dan desain reformasi keamanan di Indonesia.
Keamanan dapat diterjemahkan dalam konteks yang lebih luas

13
Barry Buzan, People, States and Fear: an Agenda for International Security
Studies in the Post-Cold War. (Boulder: Lynne Rienner Publisher, 1991).halaman 19-
20
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 77

seperti food security, community security, personal security dan


sebagainya. Pengertian ini secara universal memiliki pengertian
yang berbeda-beda seperti international security, national
security untuk level dunia, public security untuk negara dan
human security untuk level individu.14

Menurut Juwono Sudarsono bahwa diperlukan pendekatan


baru dalam sistem keamanan nasional, di mana TNI dan
Polri merupakan dua institusi utama diantara aktor-aktor
penyelenggara keamanan nasional. Juwono memberikan
pemikiran tentang sistem keamanan nasional komprehensif
yang bertumpu pada empat fungsi ideal pemerintahan, sebagai
berikut:

1. Pertahanan Negara yaitu fungsi pemerintahan Negara


dalam menghadapi ancaman dari luar negeri dalam rangka
nenegakan kedaulatan bangsa, keselamatan, kehormatan
dan keutuhan NKRI.
2. Keamanan Negara yaitu fungsi pemerintahan Negara dalam
menghadapi ancaman dalam negeri.
3. Keamanan Publik, yaitu fungsi pemerintahan Negara dalam
memelihara dan memulihkan keselamatan, keamanan,
dan ketertiban masyarakat melalui penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.
4. Keamanan Insani, yakni fungsi pemerintahan Negara untuk
menegakkan hak-hak dasar warga Negara.15
Bila dicermati secara mendalam bahwa kerancauan tentang
kedudukan dan tugas TNI dan Polri diawali oleh amandemen

14
Farouk Muhammad, Rumah Baru Bagi Polri, Harian Seputar Indonesia,
20,pebruari 2007
15
Juwono Sudarsono, Materi Paparan, Cikeas Bogor, 11 Februari 2007, Lihat
Gubernur Lemhanas RI, Op Cit hal 5
78 Sidratahta Mukhtar

UUD 1945 yang telah memasukkan konsep Sishankamrata di


dalam konstitusi. Sistem keamanan Indonesia menurut UUD
hasil amandemen adalah sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta (Sishankamrata). Dalam Pasal 30 ayat 2
perubahan UUD 1945 disebutkan bahwa “Usaha pertahanan dan
keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama,
dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung”.

Kehadiran Sishankamrata dalam Konstitusi itulah yang


kemudian menimbulkan perdebatan dan kerumitan tersendiri
dalam menata ulang sistem keamanan nasional hingga hari ini.
Konsep Sishankamrata sebenarnya merupakan konsep masa lalu
yang sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian. Secara politis,
Sishankamrata memungkinakn TNI untuk membengkokan
konsep demokratis supremasi sipil menjadi supremasi rakyat.
Hal ini mengindikasikan bahwa TNI tidak perlu selalu tunduk
kepada keputusan eksekutif jika itu dirasa tidak sejalan dengan
apa yang dianggap TNI sebagai suara rakyat.16

Dalam konteks ilmu politik, dibalik wacana dan perdebatan di


atas, terdapat banyak kepentingan yang memperebutkan posisi,
peran dan fungsi dalam sistem pemerintahan yang sedang
dalam proses penyusunan regulasi politik. Pemerintah yang
berkuasa tentunya memiliki kepentingan untuk memperkuat
supremasinya dalam sistem pengelolaan keamanan nasional.
Sementara, lembaga-lembaga negara yang terkait langsung yaitu
TNI, Polri, BIN dan Depdagri juga memiliki kaitan kepentingan
terhadap lahirnya regulasi yang berpihak kepada kepentingan

16
Lihat Naskah Akademik RUU Kamnas Versi DPD RI (2011) dan juga Andi
Widjajanto, Potensi Pelanggaran Etika dalam Sishankamrata, Kompas, 14 Agustus
2000
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 79

lembaga itu sendiri. Dalam kaitan dengan relasi TNI-Polri, maka


sulit dihindari anggapan adannya perebutan alokasi kepetingan
ekonomi-politik keamanan. Polri memperkuat posisinya sebagai
aktor utama manajemen keamanan nasional, sementara TNI juga
memperjuangkan posisi dan perannya dalam aspek perbantuan
TNI dan ancaman kedaulatan dalam negeri (separatisme dan
konflik kekerasan).17 Meskipun demikian, polemik dan regulasi
tentang keamanan nasional di atas merupakan bagian penting
dari reformasi sistem keamanan sesuai prinsip keamanan
demokratis. Born dan Fluri memberikan tiga alasan. Pertama,
reformasi keamanan yang efektif akan menjamin stabilitas
domestik dan internasional, khususnya mencegak konflik
kekerasan. Kedua, mendorong iklim investasi yang kondusif.
Indonesia enggan melakukan investasi karena kurangnya
jaminan pemerintah mengenai keamanan domestik. Ketiga, hal
ini juga akan meningkatkan demokratisasi dengan membentuk
kerangka kerja legal. Dalam pengantar buku Rekam Jejak
reformasi sektor Keamanan ini pula, dikutip bahwa reformasi
keamanan sangat penting dalam negara pasca rezim otoriter
untuk lebih mendemokratisasikan sistem politik, menjamin
kelangsungan good governance, meningkatkan pembangunan
ekonomi berkelanjutan dan sebagai alat mencegah konflik.18

Prinsip demokrasi menempatkan polisi secara institusional


harus bertanggungjawab pada kepemimpinan politik. Kasus
Kapolri yang langsung di bawah Presiden di Indonesia,

17
Sidratahta Mukhtar, Keamanan Nasional, Teori dan Prakteknya di Indonesia,
Makalah ini disampaikan pada disampaikan sebagai makalah dalam Rapat
Dengar Pendapat (RDP) RUU Keamanan Nasional Komite I Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) Republik Indonesia, tanggal 13 Juni 2011.
18
Kusnanto Anggoro, Rekam Jejak Proses ”reformasi sektor keamanan
Indonesia”, Propatria, 2006 dan (Anak Agung Banyu,2007 tentang reformasi
sektor keamanan).
80 Sidratahta Mukhtar

menunjukkan tidak adanya kejelasan dan pemisahan antara


pertanggungjawab politik dengan pertanggungjawaban
operasional. Hal ini merupakan satu masalah utama yang perlu
disingkronisasikan dalam reformasi lanjutan Polri ke depan agar
kepolisian dapat disesuaikan dengan sistem demokrasi yang
dianut di Indonesia.

Berdasarkan pada konsepsi di atas, perlu dirumuskan kembali


hakikat Polri sebagai unsur pelaksana fungsi pemerintahan
dalam bidang keamanan, ketertiban masyarakat, dan penegakan
hukum. Upaya mengefektifkan penyelenggaraan sistem
kepolisian nasional, kebijakan pemerintah harus diarahkan
untuk menunjang perubahan struktur organisasi Polri melalui
langkah, antara lain; Polri dipimpin oleh Kapolri yang berada di
bawah suatu kementerian atau komisi negara setingkat menteri.
Pembagian wilayah kerja berdasarkan struktur administrasi
pemerintah pusat dan daerah. Diperlukan sistem pengawasan
yang kuat bagi institusi Polri agar dapat meminimalisasi
potensi penyalahgunaan wewenang. Dalam kaitan dengan
pengembangan kemampuan organisasi Polri, maka kebijakan
pemerintah harus ditekankan kepada rasionalisasi jumlah
personil polisi dan pemenuhan kebutuhan perlengkapan serta
anggaran Polri.19

Mendasarkan pada RUU Kamnas yang menekankan pada


pembagian yang jelas dan tegas antara lembaga pemberi
kebijakan politik, badan pelaksana kebijakan dan lembaga yang
melakukan pengawasan, maka terdapat 5 (lima) kemungkinan
kelembagaan Polri dalam sistem politik Indonesia ke depan.
Pertama, Polri di bawah departemen dalam negeri (Depdagri).

19
Propatria Institute, Arah Kebijakan Keamanan Dalam Negeri 2004-2009,
dalam Kusnanto Anggoro, Rekam Jejak Proses “SSR” Indonesia 2000-2005. Jakarta:
Propatria Institute, 2006. Hal 317-319
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 81

Upaya menempatkan Polri di bawah Depdagri secara realitas


sesungguhnya lembaga itu kurang siap, bukan saja karena
beban tugas Depdagri yang sangat besar dan kompleks, tetapi
juga memiliki sistem keamanan sendiri yaitu Linmas dan
Satpol PP. Kedua, Polri di bawah Departemen Hukum dan
HAM. Masalahnya pada kapasitas kelembagaan Departemen
itu yang kurang memadai terutama dalam kaitannya dengan
fungsi keamanan dan penegakan hukum. Departemen itu akan
kesulitan dalam mengintegrasikan sekitar 400.000,- anggota
Polri dengan berbagai diferensiasi tugas dan kewenangan
masing-masing, seperti reserve, intelijen, kamtibmas, terorisme,
lalu lintas, dan lainnya. Ketiga, kemungkinan Polri di bawah
Kejaksaan Agung juga mengalami kesulitan dalam kaitannya
dengan sistem penyidikan, penuntutan dan penegakan hukum
lainnya. Karakteristik Polri dan kejaksaan yang memiliki
filosofi dan budaya institusi yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Dengan demikian integrasi antara Kejaksaan dan
Kepolisian akan menciptakan masalah baru ketika menghadapi
kompleksitas penanganan dna penyidikan kasus-kasus yang
kompleks, yang memiliki dimensi ekonomi, politik, hukum dan
aspek kekuasaan lainnya. Keempat, membentuk departemen
kepolisian atau kementerian tersendiri. Pada masa Orde Baru
yang mengintegrasikan Polri ke dalam Departemen Pertahanan
dan Keamanan (Dephankam) telah menjauhkan Polri dari sistem
kepolisian demokratik. Sebagai contoh di Afrika Selatan yang
pernah membentuk Departemen Kepolisian telah menjadikan
badan kepolisian di Afrika Selatan yang merupakan kepanjangan
tangan kepentingan penguasa yang menerapkan sistem
Apartheid.20 Kementerian baru bidang keamanan misalnya akan
berhadapan dengan kementerian hukum, politik dan keamanan

20
Muradi, Reformasi Polri…Op Cit hal 61-63
82 Sidratahta Mukhtar

yang juga melaksanakan fungsi yang sama, disamping itu juga


mengenai singkronisasi kelembagaan antar departemen.

Selain itu juga terdapat usulan agar memperkuat fungsi dan


kewenangan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Sampai
saat ini, kewenangan Kompolnas hanya sebatas melaksanakan
fungsi dan peran sebagai badan penasehat (advisory board)
Presiden dan melaksanakan fungsi membantu Kapolri dan
institusi kepolisian dalam menyusun kebijakan strategis bagi
kepolisian. Selain itu, Kompolnas juga menerima pengaduan
masyarakat yang berkaitan dengan penyelewengan fungsi dan
tindakan korupsi yang dilakukan aparat kepolisian. Namun
fungsi pengawasan itu belum terlaksana dengan baik, karena
fungsinya hanya sekedar menerima pengaduan dari masyarakat.

Permasalahan apakah Polri ditempatkan di bawah satu


kementerian atau tetap di bawah langsung Presiden seperti
sekarang, sebenarnya erat kaitannya dengan dua paradigma
yang berkembang. Paradigma pertama menggunakan
pendekatan kelembagaan politik (institutional building) yang
memandang bahwa Polri hanya mengurusi peran dan fungsi
yang bersifat operasional saja, tidak masuk ke ranah pembuatan
kebijakan. Muradi misalnya menandang hal ini tidak secara
obyektif melihat watak dasar kepolisian Indonesia yang kental
dengan spirit corps, sebagaimana jugga TNI. Oleh karena itu,
Muradi mengatakan memaksa polisi berada di bawah naungan
satu departemen tidak terlalu baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan, karena watak korporat atau coprs Polri pasti
akan berbeda dengan realitas kerja di Polri.21 Paradigma yang
kedua, melihat pada aspek substansi, tidak melihat pada sisi

21
Muradi, Dinamika Politik Pertahanan dan Keamanan di Indonesia, Mudya
Padjajaran, Bandung, 2012, hal 18-19
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 83

kelembagaan secara prosedural tetapi melihatan bagaimana


dan seberapa besar kemampuan atau kapasitas Polri dalam
melaksanakan pelayanan publik pada bidang keamanan
dan hukum itu. Oleh karena itu, ukurannya pada efektifitas
mekanisme kontrol dan akuntabilitas publik kepolisian. Selama
ini keberhasilan Polri banyak didasarkan kepada akuntabilitas
administratif atau internal dan akuntabilitas pemerintah. Bila
dicermati bahwa beban tugas Polri jauh lebih berat dibandingkan
dengan pegawai dan lembaga pemerintahan secara umum,
sifat kerja polisi bisa dikatakan selama 24 jam, mengingat
tingkat peran Polri juga ditentukan oleh ekskalasi ancaman dan
gangguan keamanan. Apalagi peristiwa kejahatan-kejahatan
seperti terorisme, kejahatan kerah putih (white colour crime), dan
kejahatan-kejahatan berat lainnya terjadi pada malam hari, di
mana birokrasi regular dikementerian sedang berhenti bekerja.

Kemampuan Polri dalam melakukan penanganan dan


penegakan hukum masalah korupsi sebenarnya sudah cukup
baik, terbukti dengan sudah semakin terbukanya Polri dalam
mengungkap berbagai kasus kejahatan korupsi di berbagai
daerah.22

Meskipun, terdapat perkembangan yang cukup baik


dalam peran Polri selama reformasi dewasa ini, tetapi belum
memuaskan publik, di mana masyarakat masih berpandangan
bahwa institusi Polri masih belum berubah. Dalam konteks
demokratisasi saat ini, citra publik sangat penting, kepolisian harus
mampu membuktikan kepada masyarakat bahwa Polri mampu
melakukan perubahan yang mendasar dan sistemik dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dibidang keamanan

22
Sidratahta Mukhtar, dkk, hasil penelitian KHN tentang Kompolnas, tahun
2008. op cit hal 21-23
84 Sidratahta Mukhtar

dalam negeri dan dalam domain penegakan hukum. Polisi harus


mampu memberikan rasa aman dan mampu menciptakan
keadilan secara imbang bagi seluruh warga masyarakat.

Namun, khususnya Kompolnas tidak didesain sebagai lembaga


pengawas yang independen. Kompolnas hanyalah dijadikan
sebagai strategic institute yang mendukung dan memperkuat
kinerja Polri. Sehingga dapat kita dug bahwa setiap ada
pelanggaran prinsipil, etika dan pelanggaran lainnya dikalangan
Polri, Kompolnas tidak memiliki kemampuan yang memadai
dalam melaksanakan tugasnya. Memang masih banyak hal
yang dilematis dalam kaitannya dengan fungsi, wewenang dan
tugas Kompolnas. Pertama, sistem dan mekanisme keanggotaan
Kompolnas yang masih rancu, meskipun terhadap Mendagri,
Menkumham dan Menkopulhukam sebagai ketuanya, namun
para menteri itu tidak pernah melaksanakan tugas sebagaimana
mestinya. Kedua, anggaran dan secretariat Kompolnas masih
dibebankan dari anggaran APBN kepolisian, juga dukungan
administrasi dan staff juga berasal dari personil aktif Polri.
Ketiga, bahkan Kompolnas dapat melakukan penyelidikan dan
pemanggilan terhadap para pelanggar hukum dari personil Polri,
hal itu dapat dilakukan karena adanya Instruksi Kapolri saat
jenderal Soetanto menjabat kapolri.23

Ketidakjelasan mekanisme akuntabilitas institusi Polri


mengakibatkan lemahnya transparansi pengelolaan anggaran
Polri. Anggaran Polri mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Jika pada tahun 2004 APBN-Polri sebesar Rp. 10,645 Trilyun dan
tahun 2007 anggaran Polri mengalami peningkatan menjadi
Rp. 18 Trilyun, maka APBN-Polri tahun 2009 sebesar Rp. 25,7

23
Kesimpulan ini didasarkan pada studi penulis bersama rekan-rekan di
Komisi Hukum Nasional dalam beberapa tahun terakhir, khususnya ketika
mengadakan penelitian pengawasan terhadap Polri pada tahun 2008 lalu.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 85

trilyun. Hal ini berarti bahwa kenaikan anggaran Polri dalam


6 (enam) tahun terakhir mencapai 150 %. Selain sumber resmi
APBN, untuk membiayai kebutuhan operasional Polri baik di
tingkat pusat maupun daerah juga menerima konstribusi APBD
dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari SIM, STNK
dan BPKB dan penerimaan-penerimaan lainnya yang dikenal
dengan partisipasi masyarakat (Parmas), partisipasi teman
(parman) dan pendapatan yang secara hukum diragukan yaitu
partisipasi dari sektor kriminal (Parmin). Menurut penelitian
Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI,
walaupun mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, anggaran
Polri masih menyisakan berbagai persoalan, antara lain;
Pertama, visi dan misi organisasi tidak tercermin dalam rencana
dan anggaran. Kedua, dana yang terbatas dengan alokasi yang
sub-optimal. Ketiga, praktek akuntabilitas semu dalam bidang
keuangan. Dalam UU. No.2 tahun 2002 tersebut, tidak ditemukan
dalam suatu pasal yang menjelaskan dari mana diperolehnya
sumber anggaran Polri. Secara lembaga negara yang penting,
Polri memerlukan reformasi yang berkaitan langsung dengan
anggaran, agar Polri dapat mengoptimalkan akuntabilitas
negara dan akuntabilitas publiknya.24 Sebagai perbandingan
bahwa anggaran Polri relatif besar dibandingkan dengan TNI
dengan tiga lembaga didalamnya yakni TNI Angkatan Laut,
Angkatan Darat dan Angkatan Udara. Polri mendapatkan
sekitar 4 triliun dari APBN, sedangkan TNI mendapatkan sekitar
5 triliun untuk ketiga kekuatan TNI tersebut.

Setelah mengalami reformasi, kedudukan Polri di


bawah Presiden. Dalam kedudukan seperti itu, Kepala Polri
dimungkinkan menghadiri sidang kabinet dan aktif dalam rapat

24
Dana Polri Minim Dicari Terobosan Atasi Kekurangan. http//antikorupsi.
org/indo/content/view, diakses tanggal 12 pebruari 2011.
86 Sidratahta Mukhtar

Menkopolkam, anggaran, sarana dan prasarana Polri mengalami


peningkatan. Kinerja Polri relatif lebih baik setelah pemisahan
Polri dari ABRI. Terdapat beberapa prestasi yang diakui dunia
internasional seperti penanganan kejahatan terorisme, Narkoba
dan masalah-masalah konflik kekerasan internal di daerah-
daerah seperti Poso dan Ambon.25

Sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia dan


pembaruan hukum, khususnya dalam hal ini pemisahan Polri dari
TNI, maka paling tidak ada beberapa konsekuensi yaitu: pertama,
terkait dengan Polri mempunyai kekuasaan kehakiman dibidang
preventif, dan represif dalam rangka criminal juctice system.
Kedua, Polri berperan aktif pemeliharaan keamanan dalam negeri.
Ketiga, Polri berkedudukan di bawah langsung Presiden, dimana
kepala kepolisian diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
melalui mekanisme fit and proper test dan persetujuan pihak
legislatif (DPR). Studi Untung S Rajab dan M Gaussyah menemukan
bahwa kedudukan yang langsung di bawah Presiden maka perlu
dikuti dengan perumusan tata laksana organisasi kepolisian
oleh pemerintah dengan memperhatikan Polri sebagai bagian
integral dan satu kesatuan dari sistem ketatanegaraan Indonesia.
Artinya Polri bersifat nasional, bukan bersifat polisi kedaerahan.
Adapun pembagian wilayah hukum seperti Polda, Polres dan
seterusnya senantiasa disesuaikan dengan sistem administrasi
pemerintahan yang berlaku untuk memudahkan pelaksanaan
sistem peradilan pidana (Criminal justice system).26 Sementara itu,
Muhammad Nasir mengatakan bahwa sistem ketatanegaraan
satu negara tidak harus sama dengan negara lainnya, meskipun
mendasarkan pada sistem yang sama, yaitu sistem demokrasi.

25
Ibid hal 34
26
Dr. M. Gaussyah, Sampai Kapan Polisi Bisa Memilih, Kemitraan Bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta, 2013, Hal 5
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 87

Pada prakteknya sistem demokrasi dapat disesuaiakan dengan


kultur lokal, dan sesuai dengan kondisi wilayah/daerah dan sosial
yang ada. Prinsip-prinsip demokrasi dapat kita ambil konsep dan
nilai yang memberikan manfaat dan meminimalisasi aspek
negatifnya. Dalam konteks itu tempat atau posisi Polri dapat
disesuaikan dengan dinamika perkembangannya dalam sejarah
dan ketatanegaraan Indonesia.27

Secara sktuktural lembaga Polri melekat dua fungsi


kekuasaan, yakni kekuasaan bidang hukum dan kekuasaan
bidang pemerintahan. Kedua kekuasaan itu mengakibatkan Polri
memiliki tiga jenis fungsi utama, yaitu sebagai penegak hukum
yang diperoleh dari kekuasaan yudikatif. Sebagai pengayom,
pelindung, dan pelayan masyarakat, termasuk penegakan
ketertiban umum dan keamanan yang merupakan konsekuwensi
dari unsur kekuasaan polisi dalam konteks eksekutif.28 Melalui
kekuasaan hukum itulah Polri memiliki diskresi kepolisian
untuk membatasi hak-hak orang lain, melakukan upaya paksa,
dan bahkan dapat melakukan tindakan represif yang dapat
menangkap, mendidik, dan mengeksekusi warga berdasarkan
asesmen ancaman yang dihadapi Polri. Meskipun pada dasarnya
tugas utama Polisi adalah membawa tertuduh pelanggar hukum
ke proses penyidikan dan penyelidikan berdasarkan mekanisme
keadilan dan hukum yang berlaku.

Dari perjalanan sejarah, pengalaman empiris, ketatanegaraan,


masyarakat demokratis serta sesuai konstitusi UUD 1945, Tap
MPR VI, Tap Mpr VII dan UU no 2/2002, kedudukan Polri di
bawah presiden seperti sekarang ini sudah final, sudah yang
terbaik dan harga mati. Pada saat Kapolri melapor kepada
27
Hasil diskusi dengan Komisaris Polisi Dr. Muhammad Nasir, M.Si, Kapolsek
Pulo Gadung, tanggal 29 Desember 2014.
28
Ibid, hal 5
88 Sidratahta Mukhtar

Presiden Jokowi, presiden mengatakan bahwa tidak ada pikiran


ke arah Polri untuk dirubah posisinya seperti saat ini. Polri
mestinya diperkuat bukan diperlemah, karena Polri adalah
bayangkara negara sebagai alat kekuatan utama dalam usaha
keamanan negara melalui sistem keamanan semesta dan Polri
sebagai alat negara, alat NKRI, alat rakyat, alat pemerintah dan
alat kedaulatan NKRI, yang bertugas mengaja keamanan dan
ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi masyarakat
(kekuasaan ekskutif) dan menegakkanhukum yang adil, tidak
bisa diintervensi dan diperalat oleh oknum birokrat/pemerintah.
Polri mesti independen dan mandiri, sehingga Polri sebagai
alat negara penegak hukum yang adil dari peluang intervensi
kekuasaan dan atau oknum parpol/parlemen.29

Wakil Ketua Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian, Irjen (P) Sisno


Adiwinoto mengatakan sebebarnya bukanlah Polri ditempatkan
dibawah kementerian sebagaimana Kemhan untuk TNI,
meski TNI juga dibawah presiden secara langsung, tetapi
persoalannya, apakah Presiden RI merasa perlu membentuk
sebuah kementerian untuk menetapkan arah kebijaksanaan
pembangunan dan pengembangan Polri mengenai SDM,
anggaran, sarana prasarana, profesionalisme dan pengawasan.
Jadi bukan menempatkan Polri dibawah kementerian kemudian
menjadi salah satu dirjen dikemendagri, kemenkuham, atau
lainnya. UU kementerian memberikan peluang bagi presiden
untuk membentuk kementerian keamanan atau kementerian
kepolisian. Menariknya isu, Polri ditempatkan di bawah
kementerian selalu mengemuka ketika ada konflik antara TNI
dan Polri, masalahnya bukan menempatkan kepolisian, tetapi
bagaimana ruang membawa kasus itu ke pada proses penegakan

29
Irjen Pol. Sisno Adiwinoto, Waketum ISPPI, Jakarta, mantan Kapolda dan
Kadiv Humas Mabes Polri.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 89

hukum yang seadil-adilnya baik bagi TNI maupun Polri.30


Perubahan politik untuk melakukan misalnya amandemen
UU No 2/2002 tentang Polri tidak didasarkan pada masalah-
masalah kasuistis, tetapi harus ada masalah mendasar yang
melatar belakanginya. “Apa urgensitas mengubah UU Polri yang
juga terkait dengan kemungkinan Polri di bawah kementerian,
apakah selama ini Polri sudah tidak konstitusional dan
membahayakan negara.” Sementara, UU Polri dilahirkan dalam
momentum politik reformasi pada tahun 1998 yang diawali
dengan protes-protes publik yang masif secara nasional untuk
mengubah rezim otoriter kepada sistem demokrasi.31

Posisi Polri dalam struktur kekuasaan negara masih menjadi


perdebatan hingga saat ini. Kedudukan Polri di bawah langsung
Presiden menimbulkan masalah baru yakni kerancuan posisi
Polri dalam sistem pemerintahan. Negara-negara di dunia
menempatkan Polri di bawah kekuasaan eksekutif. Tetapi ciri
dan tipologi Polisi sebagai bagian dari eksekutif juga mengalami
banyak variasi. Inggris dan India merupakan negara-negara yang
menempatkan Polri di bawah Departemen Dalam Negeri. Kedua
negara itu menerapkan sistem kepolisian yang desentralistik.
Sedangkan Swedia menempatkan polisi di bawah Departemen
Peradilan. Pada sisi lain, Jerman dan Belanda menempatkan
lembaga kepolisian mereka pada kedua lembaga pemerintah:
eksekutif dan yudikatif.

Berkaitan dengan penuntasan RUU Keamanan Nasional


(Kamnas) yang dipandang mengalami kegagalan pada periode
legislasi DPR periode 2009-2014, Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi

30
Pendapat Mayor Teguh, SIK, MIK, Kasat Obyek vital nasional di lingkungan
kompleks DPR/MPR/DPD, tanggal 21 Desember 2014,
31
Diskusi dengan Kompol Dr. Muhammad Nasir,M.Si, Kapolsek Pulo Gadung,
tanggal 19 Desember 2014.
90 Sidratahta Mukhtar

I dari Fraksi PKS mengatakan pentingnya memahaminya


dari sektor reformasi keamanan dari pada pemahaman lama
yang bersifat sektoral. Reformasi internal TNI dinyatakan
telah tuntas berada di bawah supremasi sipil, sementara
Polri belum tuntas, karena proses penuntasannya diukur dari
penempatan Polri di bawah kementerian. Menariknya, Mahfud
Siddiq mengusulkan agar Kementerian Pertahanan (Kemhan)
sebagai wakil pemerintah Indonesia yang menuntaskannya.
“Polri di bawah supremasi sipil sebagai sebuah keniscayaan dan
amanat reformasi.”32 Rizal Sukma33 menekankan lima parameter
untuk mengukur capaian pada prioritas pada reformasi aktor
pelaksana, aktor penyelenggara, dan aktor pengawas sebagai
berikut:

1. Tertatanya ketentuan perundang-undangan berdasarkan the


rule of law.
2. Terbangunnya kemampuan pengembangan kebijakan (policy
development), menyusun perencanaan pertahanan (defense
planning) dan implementasi kebijakan
3. Terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana, yakni TNI,
Polri, dan badan intelejen.
4. Kemampuan dan efektivitas pengawasan dari parlemen dan
masyarakat sipil, termasuk media.
5. Pengelolaan anggaran pertahanan TNI dan Polri, serta badan
intelejen.Namun dari lima parameter tersebut Rizal Sukma
menekankan pada tiga hal kunci, yakni; pengembangan
profesionalisme TNI, Polri, dan badan intelejen, capacity
building Departemen Pertahanan, dan aktor pengawas,
32
http://www.jpnn.com/read/2014/12/11/274815/Politikus-PKS-Dukung-
Usulan-Polri-di-Bawah-Kementerian- diakses tanggal 2 Januari 2015.
33
Rizal Sukma adalah Direktur Eksekutif CSIS, salah satu ahli strategi dan
pertahanan yang juga perumus draft RUU Kamnas.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 91

serta kampanye publik mengenai pentingya SSR.Kebijakan


pertahanan suatu negara seharusnya sudah ada dalam cetak
biru (blue print) yang merupakan strategi besar pertahanan.
Strategi besar pertahanan ini adalah kebijakan politik yang
dihasilkan dari dua lembaga, yakni presiden dan parlemen.
Strategi besar pertahanan ini pada prnsipnya adalah pondasi
dan peletak dasar dari prinsip-prinsip demokrasi dalam
konteks pertahanan di Indonesia. 34
Profesor JE Sahetapy, salah satu penggagas pertama kali Polri
dikeluarkan dari TNI pada masa Orde Baru, mengatakan bahwa
reformasi struktural, fungsional dan instrumental merupakan
“barang gampang” dilakukan karena dengan cukup satu tanda
tangan semua berubah. Yang sulit dilakukan menurutnya adalah
perubahan kuktural. Sahetapy memperkirakan waktu paling
tidak dua dekade untuk melakukan perubahan mendasar pada
moral dan mental anggota Polri. Perlu pengendalian tingkat emosi
dan stress anggota Polri saat promosi naik pangkat. Anggota
Kompolnas, Erlyn Indarti mengatakan menilai Polri cenderung
memposisikan diri dengan “profesional” secara mengambang,
dan lepas dari esensi. Jika Polri dapat menekan jumlah tindakan
kejahatan dipandang sukses, padahal harus dilihat relasi
antara profesionalisme Polri dengan segala komponen utama
Kepolisian. Guru besar kriminologi UI, Adrianus Meliala bahwa
ketika membicarakan capaian reformasi Polri selalu mengacu
kepada aspek perubahan struktural, instrumental dan kultural
tanpa melihat frame waktu dan Polri dianggap terlalu “senang”
berada di bawah Presiden. Dalam 10 tahun terakhir banyak terjadi
perubahan terhadap Polri, seperti meningkatnya anggaran

34
https://adhikusumaputra.wordpress.com/2008/08/15/teropong-10-tahun-
reformasi-polri-perlu-perubahan-mental-dan-moral/. Diakses tanggal 2 Januari
2015.
92 Sidratahta Mukhtar

negara, pemolisian masyarakat, jumlah personil bertambah,


perubahan manajemen keuangan, revisi kurikulum bahan ajar
Polri, kemampuan menghadapi kejahatan dan terorisme serta
penindakan personil bermasalah. Pertanyaannya apakah Polri
lebih transparan, lebih partisipatif dan akuntabel pasca terpisah
dari TNI.35

Beberapa negara seperti China, Jepang dan New Zealand


menentukan posisi Kepolisiannya langsung di bawah Presiden.
Apabila Jepang membentuk komisi kepolisian nasional
sebagai atasan langsung Polisi, maka China dan Selandia Baru
membentuk departemen tersendiri dalam sistem pemerintahan
mereka.36 Sebagaimana diketahui bahwa Polri di Indonesia
mengalami perkembangan yang sangat berbeda. Polri pernah
ditempatkan di bawah perdana menteri, lalu di bawah presiden
pada masa Orde Lama. Pada awal berdirinya, Polri pernah
ditempatkan di bawah Depdagri namun tidak berhasil pada
tahun 1946.

Secara umum reformasi Polri khususnya reformasi


kelembagaannya, telah mengalami sejumlah kemajuan, dan
telah menempatkan Polri langsung di bawah presiden. Posisi
ini dinilai berbagai pihak, khususnya masyarakat sipil dan pihak
TNI sebagai posisi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang menuntut adanya pembagian fungsi dan
wewenang sebagai pembuatan kebijakan politik dan sebagai
pelaksana kebijakan tersebut. Menang berbeda dengan TNI,
dan lembaga negara lainnya, reformasi kelembagaan kepolisian
Indonesia dibuat menyesuaikan dengan selera reformasi Polri.

35
Untuk lebih jelasnya, lihat Farouk Muhammad, Menuju Reformasi Polri,
PTIK press dan Restu Agung, Jakarta. 2005, hal 83-85
36
Lihat Said Saile, Hermawan Sulistyo, dkk, Kinerja Polri Pasca Mandiri, PPITK
dan Restu Agung, Jakarta
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 93

Oleh karena itu memerlukan berbagai revisi khususnya yang


berkaitan dengan tempat atau posisi Polri dalam ketatanegaraan
Indonesia.

Secara prosedural dan struktural Polri harus diakui telah


mengalami perubahan, bahkan tahapan reformasinya relatif
cepat dilakukan sejak 1999. Namun, secara substansial
reformasi itu belum mampu melahirkan perubahan mendasar
dilingkungan kepolisian, yakni reformasi budaya sebagai media
untuk mengubah kepolisian menjadi desentralistik dan bercorak
sipil. Adanya rantai komando dikepolisian mengakibatkan
budaya militeristik dan korupsi masih mewarnai institu Polri.
Meskipun, Polri mengklaim telah sampai pada tahap partnership
building dan menuju trust building, pada kenyataannya belum
terjadi perubahan yang sesuai dengan format peran yang sesuai
dengan sistem hukum dan demokrasi yang berlaku.

Posisi Polri di bawah presiden memang membuka peluang


terjadinya intervensi kekuasaan presiden dan independensi
lembaga itu, oleh karena itu diperlukan untuk memperbaiki
kelembagaan kepolisian RI agar memenuhi prinsip-prinsip
demokrasi di Indonesia. Banyak pilihan yang telah ditawarkan
dan rekomendasi lembaga-lembaga riset dan universitas, seperti
di bawah Depdagri, Depkumham dan meningkatkan Kompolnas
setingkat lembaga negara yang kuat dan independen. Kompolnas
sampai saat ini masih dibawah kontrol dan belum sepenuhnya
sebagai lembaga pengawal eskternal yang independen.
BAB V

Posisi Ideal Polri Di bawah Presiden

Pengantar
Kebijakan pemerintahan Abdurrahman Wahid untuk
memisahkan Polri dari ABRI sebagai institusi pertahanan negara
pada tahun 1999 menandai perubahan besar di Kepolisian
Republik Indonesia. Mandat kebijakan itu dilahirkan pertama kali
oleh MPR, sebuah lembaga tertinggi negara pada awal reformasi
menuju demokrasi. Kemudian, pemerintah sipil dan DPR yang
lahir dari proses demokratisasi mendorong konsensus bangsa
bagi Polri mandiri itu dengan regulasi UU Kepolisian Negara (UU
No 2 tahun 2002). UU Kepolisian negara merupakan desakan
masyarakat Indonesia yang mendorong agar Polri menjadi bagian
utama dari masyarakat sipil atau polisi sipil (civilian in uniform).
Atas desakan rakyat dan mandat reformasi total pada tahun 1998,
memungkinkan Polri melakukan perubahan secara cepat dan
mendasar yang meliputi; perubahan instrumental, perubahan
institusional dan perubahan kultural. Sebagaimana diketahui
luas bahwa posisi kelembagaan Polri dari masa ke masa baik pada
pemerintahan Orde Lama, Orde Baru maupun pada awal reformasi

Mengalami perubahan sesuai dengan keinginan rezim


yang berkuasa dan format politik demokrasi terpimpin (guided
96 Sidratahta Mukhtar

democracy), rezim otoriter yang dikemas dalam bentuk


demokrasi Pancasila selama 32 tahun di bawah Soeharto.
Keputusan negara dan konsensus politik melalui pemerintah,
DPR dan MPR telah menentukan bagi posisi Polri di bawah
Presiden. Posisi ideal yang dipandang sebagai “jembatan emas”
menuju Polri mandiri, independen, profesional dan sebagainya
dalam rangka melaksanakan dua fungsi eksekutif dan yudikatif
(law and order).sejak 2005 hingga 2015 saat ini, terdapat sejumlah
agenda setting untuk membawa polemik dan pembahasan
terkait posisi Polri di bawah Presiden yang dipandang sebagai
posisi yang mengingkari kaidah dan sistem demokrasi. Fokus
kritik berbagai kalangan itu pada pandangan bahwa posisi di
bawah Presiden membuat Polri menjadi lembaga yang super
body dan untouchable. Dasar kritiknya adalah di mana Polri
melaksanakan tiga fungsi sekaligus, yakni fungsi pembuatan
kebijakan nasional kepolisian, penyelenggaraan fungsi dan
peran Kepolisian dan fungsi pengawasan atas tugas-tugas
Polri. Oleh karena itu, diperlukan penelusuran dan kajian kritis
dan obyektif terkait pandangan, persepsi, dan posisi masing-
masing lembaga negara dan praktisi dan ahli tentang Kepolisian,
keamanan nasional, keamanan negara, keamanan manusia
(human security) dan lainnya.

Perkembangan dan Capaian Polri di bawah Presiden


Perkembangan institusi Polri sejak ditempatkan Polri di bawah
langsung presiden telah mendorong Polri untuk menjalankan
fungsi dan perannya secara maksimal. Penelitian nasional Pusat
Penelitian, Pengembangan dan Teknologi Kepolisian (PPITK)
mengenai Kinerja Polri Pasca Mandiri tahun 2003 misalnya
menemukan adanya perubahan kinerja yang cepat dan
profesional. Hambatan-hambatan struktural dalam pelaksanaan
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 97

tugas di bidang hukum sudah tidak ada sejak pemisahan dari


TNI, sehingga Polri dapat menggunakan diskresi dan penyidikan
secara relatif independen. Kerjasama regional dan internasional
kepolisian antar negara dapat dilakukan untuk menghadapi
ancaman kejahatan lintas negara (transnational crime), seperti
human trafficking, terorisme, narkotika, dan berbagai kerjasama
keamanan internasional yang lazim dilakukan di era globalisasi
dewasa ini di mana kejahatan dan tindak pidana yang dilakukan
di suatu negara memiliki efek kepada negara lainnya. Sidney
Jones misalnya mengatakan, kemampuan dan kapasitas Densus
88 anti teror Polri telah diakui secara global, dan mendorong
citra positif Polri di tingkat internasional.1

Untuk menegakkan dan memperkuat posisi Polri di bawah


Presiden perlu menyegarkan kembali pemikiran-pemikiran yang
sejak awal diperjuangkan para petinggi Polri seperti Jenderal
Sutanto, Jenderal Dai Bachtiar, Jenderal BHD, jenderal Timur
Pradopo dan hingga Kapolri saat ini, jenderal Soetarman. Selain
itu juga, perlu melakukan pemetaan terhadap sumber-sumber
kritis dan pandangan terkait dengan posisi Polri tersebut, dan
membuat suatu analisa sebagai langkah melakukan “strategic
communication kepada para penyelenggara negara dan
masyarakat khususnya kalangan akademisi. Menurut Muradi,
ahli keamanan dari Unpad bahwa reformasi sektor keamanan
efektif terjadi pada Polri.

Dalam tubuh Polri sendiri secara proposional SSR berjalan


dengan baik, hanya pada proses yang lebih serius belum
berdampak pada substansi permasalahan. Dengan bekal
legal-politik berbentuk Tap MPR/VI /2000 dan Tap MPR/
VII/2000, Polri menjadi salah satu lembaga yang secara
profesional hanya akan diarahkan kepada tugas-tugas

1
Muradi, Op Cit
98 Sidratahta Mukhtar

keamanan, khususnya keamanan dalam negeri (kamdagri).


Ketetapam MPR tersebut mendorong dan mengarahkan
Polri sebagai kekuatan polisi sipil, yang mengutamakan
hukum dan ketertiban. Sedangkan turunan dari kedua
ketetapan tersebut lahir UU No. 2 Tahun 2002, yang
memperjelas tugas dan tanggungjawab Polri sebagai alat
negara dalam bidang keamanan.2

Dampak dari berbagai perubahan kelembagaan, instrumental


dan perubahan budaya Polri sudah semakin terlihat dalam 10
(sepuluh) tahunan terakhir. Kebijakan dan program restrukturisasi
dan validasi organisasi yang telah dicanangkan sejak periode
Kapolri Jenderal Dai Bachtiar telah mendorong penguatan peran
Polri di tingkat daerah mengikuti logika otonomisasi daerah
di mana Kapolres dan jajarannya di bawah memiliki kapasitas
dan kewenangan yang lebih luas dibandingkan sebelumnya.
Demikian pula, terjadi perubahan strukturasi Polda menjadi
hanya dua tipe yakni Tipe A dan B saja. Tipe A yang meliputi
Pulau Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Papua, Sumatra
Selatan. Sedangkan tipe B antara lain, NTB, Kalimantan Timur,
Lampung, Kalimantan Barat, dan lainnya.

Reformasi instrumental ditandai dengan perubahan doktrin


Polri, yang sebelumnya menggunakan doktrin militer, Catur
Darma Eka Karma (Cadek) menjadi Tata Tentrem Karta Raharjo
kembali dipakai sebagai doktrin internal Polri. Hal ini berarti
bahwa terjadi perubahan doktrin dari menjaga nusa bangsa dan
tanah air, menjadi Tri Brata Catur Prasetya, yang artinya polisi
adalah abdi utama dari nusa bangsa, warga teladan daripada
negara, wajib menjaga ketertiban pribadi masyarakat.

Reformasi Polri pada aspek Kultural mencakup perubahan


manajemen sumber daya, manajemen operasional, dan

2
Lihat studi doktoral Muradi di Australia…Op Cit
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 99

sistem pengawasan yang bernuansa pada perubahan kultur


yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan Polri secara prima
kepada masyarakat. Hal tersebut dimanifestasikan dengan
pola perubahan pendidikan dan kurikulum yang sesuai dengan
sistem pendidikan nasional. Rasio antara jumlah penduduk
dengan jumlah aparat Polri yang menjadi salah satu point
penting juga terus dilakukan dengan mengarah kepada rasio
ideal jumlah penduduk dengan personil Polri. Perubahan prilaku
dalam pelaksanaan tugas personil Polri juga ditekankan kepada
penghormatan kepada HAM dan demokratisasi yang tengah
berjalan. Hal ini tercermin dengan memasukkan kurikulum
soal HAM, yang diberikan dari tingkat bintara hingga perwira.3
Masuknya aspek demokrasi dan HAM di dalam agenda reformasi
Polri, maka BHD mengubah pendekatan dari represif (hard
power) kepada pendekatan soft power atau persuasif. Kondisi ini
dimungkinkan sebagai berkah dari posisi Polri langsung di bawah
Presiden. Pendekatan lunak atau persuasif mengefektifkan
penyelesaian kasus konflik sosial seperti di Poso, Sulawesi tengah
dan Ambon, Maluku.4 Pelatihan dan penanaman tentang hak
asasi manusia tidak saja diterapkan dalam sistem pendidikan
kedinasan Polri umum, tetapi juga pada Brimob yang dinilai
lebih menonjolkan tindakan yang militeristik.

Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan


Reformasi Birokrasi Polri, bahwa capaian akuntabilitas kinerja
di tubuh Polri sudah semakin baik. Azwar mengatakan terjadi
lompatan kinerja Polri setelah secara sungguh-sungguh
dilakukan Polri khususnya dalam reformasi birokrasinya.”Polri

3
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/06/30/
59228-kapolri-reformasi-polri-dengan-soft-power-, diakses tanggal 2 Januari
2014.
4
http://www.sumbarsatu.com/Berita/8413-Menteri-PANRB--Polri-Berhasil-
Lakukan-Reformasi-Birokrasi-.html, diakses tanggal 2 Januari 2015.
100 Sidratahta Mukhtar

telah membuktikan perubahan mind set yang baru yakni


menghasilkan kinerja di berbagai satuan wilayah kepolisian
dari level Polsek sampai Polda, tegas Menteri Azwar.” Kapolri
Sutarman juga mengatakan perubahan dalam akuntabilitas
kinerja menghasilkan sinergisitas Polri kearah capaian yang
memuaskan.5

Menteri Azwar Abubakar mendasarkan pada kebijakan


reformasi birokrasi yang telah dirumuskan dan merupakan
pedoman umum yang dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negera tahun 2008 sebagai berikut:
ARAH REFORMASI BIROKRASI

NO. AREA PERUBAHAN HASIL YANG INGIN DICAPAI


Organisasi yang tepat fungsi dan tepat
1. Kelembagaan (organisasi)
ukuran (right sizing)

2. Budaya organisasi Organisasi dan integritas dan kinerja tinggi

Sistem, proses, dan prosedur yang jelas,


3. Ketatalaksanaan efektif, efisien, terukur, dan sesuai dengan
prinsip-prinsip good governance

Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang


4. Regulasi-deregulasi birokrasi
tindih dan kondusif
Sumber daya manusia yang berintegrasi,
5. Sumber daya manusia kompeten, profesional, berkinerja tinggi dan
sejahtera

Pada awal reformasi nasional terutama pada masa


pemerintahan Megawati Soekarnoputri telah mencanangkan
agenda reformasi birokrasi. Kebijakan strategis pemerintah itu

5
Bambang Indriyanto, makalah yang berjudul “Menuju Reformasi Birokrasi
Polri” di Jakarta, 11 Februari 2010.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 101

diterjemahkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara


(Menpan) masa menteri Feisal Tamin. Karena saat itu populer
istilah ”birokrasi keranjang sampah”, maka Feisal Tamin yang
berlatar belakang birokrat karir mengetahui konsep yang
merupakan kebutuhan paling dasar bagi perbaikan performa
birokrasi yakni masalah budaya kerja. Kebijakan yang dinamai
dengan pengembangan budaya kerja (PBK) aparatur Negara
itu diarahkan untuk meningkatkan kinerja pemerintah
dengan aparatur yang etis, bermoral, berdisplin, professional,
produktif dan bertanggungjawab dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang baik (good governance), sekaligus dalam
rangka memantapkan dan memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa serta menjaga integritas bangsa.6

Menurut Feisal Tamin, sasaran yang ingin dicapai dalam


jangka pendek dan menengah meliputi; (1). Memperbaiki citra
aparatur birokrasi pemerintah dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat. (2). Menumbuhkembangkan nilai-nilai moral
dan budaya kerja produktif yang bersumber dari nilai-nilai
Pancasila, agama, tradisi dan nilai-nilai kerja produktif modern.
(3). Memperbaiki persepsi, pola piker dan perilaku yang
menyimpang sebagai abdi masyarakat dan aparatur Negara. (4).
Meningkatkan kinerja professional melalui kelompok budaya
kerja dan forum-forum professional, agar lebih peka, kreatif
dan dinamis memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan dan
meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat serta
daya saing di dalam negeri maupun internasional.7

6
Wawancara pribadi dengan mantan Menpan RI, Feisal Tamin, di Jakarta,
tanggal 10 Mei 2010. Lihat arahan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara, pada seminar “strategi pengembangan budaya kerja aparatur Negara
dan implementasinya, tanggal 30 Agustus 2001.
7
Ibid hal 1
102 Sidratahta Mukhtar

Ada beberapa alasan yang menjadi dasar pokok


pengembangan budaya kerja dalam lingkungan birokrasi
pemerntahan yakni kepentingan jangka panjang bangsa ini
dalam aspek; masalah sikap mental aparaturnya, masalah
persatuan dan kesatuan banga, masalah ekonomi kerakyatan,
masalah politik dan tata pemerintahan, masalah manajemen dan
pelayanan publik, serta demi pengembangan ilmu dan teknologi
Indonesia masa depan.8 Di sini, Feisal Tamin menyederhanakan
berbagai persoalan yang dihadapi birokrasi pemerintahan itu ke
dalam dua golongan;

Pertama, pentingnya pembangunan sikap mental dan


perilaku aparat. Hal ini merupakan kunci dalam peningkatan
kinerja pemerintah. Pada prakteknya birokrasi pemerintah di
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia adalah sangat
lamban, terlalu mahal dan boros, kualitas kerja rendah, miskin
informasi, lebih mementingkan diri sendiri dan terlalu ikut
campur urusan warga. Persoalan birokrasi seperti itu diprpuruk
lagi dengan tidakan sewenang-wenang, sikap arogansi
kekuasaan, pemborosan sumber-sumber keuangan Negara,
fasilitas Negara dan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Adapun akar masalahnya menurut Feisal Tamin adalah
kurangnya komitmen dan tanggungjawab, lemahnya penegakan
hukum, akuntabilitas implementasi kebijakan yang lemah, serta
masih rendahnya gaji (reward) aparat Negara tersebut.

Kedua, aspek persatuan dan kesatuan bangsa. Aspek ini


dibandang Feisal Tamin sebagai masalah yang cukup serius.
Terbukti diberbagai daerah terjadi konflik horizontal, terutama
antar kelompok, baik suku bangsa dan antar pemeluk agama,
antar kekuatan politik, tawuran kampong dan lainnya. Kita tidak

8
Ibid hal 3
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 103

saja menyerahkan masalah-masalah ini kepada TNI dan Polri


saja tetapi juga memerlukan partisipasi semua kalangan. Dua
aspek lainnya yaitu masalah ekonomi kerakyatan dan politik
serta pemerintahan diarahkan kepada bagaimana mengatasi
krisis ekonomi dan pengelolaan sumber daya nasional untuk
membangun ekonomi masyarakat. Reformasi administrasi
Negara diarahkan dalam upaya mewujudkan pemerntahan
yang baik dan bebas KKN serta terciptanya masyarakat madani
sesaui prinsip-prinsip demokrasi yang berdasarkan pada
kepastian hukum, transparan, profesionalisme, desentralisasi
dan akuntabilitas publik.9

Berdasarkan kondisi obyektif tentang birokrasi di Indonesia


dewasa ini, maka Feisal Tamin, sekalu Menteri PAN pada periode
Presiden Megawati Soekarnoputri menentukan rah kebijakan
dan langkah-langkah yang komprehensip meliputi penataan
kelembagaan, SDM aparatur, letatalaksaan, pelayanan public
serta pengawasan dan akuntabilitas aparatur birokrasi. Termasuk
didalamnya penerapan merit system dalam manajemen PNS dan
pencegahan praktek KKN dalam unsure birokrasi pelayan public.
Dalam penyelenggaraan birokrasi khususnya di lingkungan
Menpan di bawah kepemimpinan Feisal Tamin, maka ditentukan
program PAN yang dipilih berdasarkan prioritas tinggi serta
merupakan penjabaran Propenas dan program kerja cabinet
Gotong Royong yang dituankan dalam rencana pembangunan
tahunan (Pepeta) bidang Penyelenggara Negara.10 Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara, Feisal Tamin berpandangan
bahwa reformasi birokrasi mengarah kepada tercapainya

9
Ibid hal 5-7
10
Feisal Tamin, Strategi Good Governance dan Pengembangan SDM Aparatur
Pemerintahan dalam Kebijakan Otonomi Daerah, disampaikan selaku Menpan
dalam seminar nasional yang diselenggarakan Universitas Prof. Dr. Moestopo, di
Jakarta, 15 Februari 2003.
104 Sidratahta Mukhtar

sistem penyelenggaraan pemerintahan yang berhasil guna,


berdaya guna, transparan dan dapat dipertangungjawabkan
serta aparatur yang bersih dan berwibawa. Guna mensukseskan
upaya implementasinya, maka diperlukan langkah-langkah
sebagai berikut;1). Identifikasi fungsi-fungsi yang wajib
dilaksanakan oleh pemerintahan dan fungsi-fungsi yang dapat
diserahkan kepada masyarakat. 2). Mempertegas pemilihan
tugas, wewenang dan tanggungjawab dari seluruh komponen
kelembagaan.3). evaluasi distribusi kewenangan pemerintahan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah.4). privatisasi unit pemerintah
yang berpotensi diprivatisasikan.

Kebijakan pemerintah Megawati dan implementasinya


melalui Menpan Feisal Tamin saat itu, telah mendorong Polri
di bawah Kapolri Jenderal Polisi Dai Bachtiar untuk Reformasi
birokrasi Polri memiliki basis nilai yang tinggi, dan merupakan
hasil perenungan para elite Polri yang berkompeten untuk
itu. Beberapa diantara yang menonjol pada masa Kapolri Dai
Bachtiar adalah validasi organisasi, restrukturisasi organisasi
Polri dengan memperkuat kapasitas dan wewenang Kepolisian
Resort (Polres). Penguatan ini sangat relevan dalam menyambut
otonomisasi daerah yang merupakan kebijakan negara dalam
memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah
tingkat dua. Dalam hal ini, Polri telah menetapkan 9 komitmen
moral dalam rangka Reformasi Birokrasi Polri: (1). Melaksanakan
tugas pokok fungsi dan peranan dengan penuh dedikasi dan
tanggung jawab yang tinggi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
masyarakat, Bangsa dan Negara.(2). Mewujudkan suasana kerja
yg transparan, nyaman, efisien, efektif, adil, profesional dan
akuntabel (3). Menjamin pemimpin yang selalu memegang
teguh dan mengaktualisasikan etika kepemimpinan dengan
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 105

menampilkan diri sebagai sosok pelayan yang jujur, berani,


adil, bijaksana, transparan, terbuka, tauladan, kreatif, inovatif,
kooperatif dan mengutamakan kepentingan anggota serta
soliditas institusi.(4). Menjadi staf/pelaksana yang memegang
teguh etika staf dengan menampilkan diri sebagai insan
Bhayangkara yg santun, ramah, empati, berkemanusiaan, adil,
terbuka, ikhlas, jujur, loyal, setia, komunikatif, tanggung jawab
dan mengutamakan kepent masyarakat.(5). Menampilkan
perilaku yg tegas, humanis, menghormati dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia dengan menghindarkan
diri dari perbuatan yang merugikan, membebani, meminta
imbalan dalam bentuk apapun kepada masyarakat.(6). Menjaga
kehormatan dan harga diri dengan tidak melakukan kolusi korupsi
nepotisme serta berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang
lainnya.(7). Melayani masyarakat dengan penampilan fisik yang
pantas disesuaikan dengan panggilan tugas.(8). Menjunjung
tinggi hukum dan hak asasi manusia serta norma-norma yang
berlaku di masyarakat, menerapkan diskresi dengan penuh rasa
tanggung jawab dan dilandasi hati yg bersih serta jiwa yg tulus.
(9). Merespons kesulitan dan membantu memecahkan masalah
sosial dalam masyarakat dengan cepat merupakan perbuatan
yang mulia dan luhur.11

Penerapan UU No.2/2002 tentang Polri masih akan ditentukan


oleh komitmen para pejabat Polri terhadap pelaksanaan tugasnya.
Bersamaan dengan itu, Profesor Indria Samego memandang
bahwa komitmen masyarakat untuk aktif dalam mewujudkan
Polri yang mandiri, profesional dan memenuhi harapan
masyarakat juga sangat diperlukan. Reformasi Polri tidak bisa
berjalan sendirian terlepas dari lingkungan strategisnya. Sebagai

11
Quo Vadis Reformasi Birokrasi?, Sebuah Refleksi Perjalanan 7 Tahun Birokrasi
Indonesia, Samarinda: PKP2A III LAN
106 Sidratahta Mukhtar

bagian dari penyelenggara negara, reformasi Polri dan segala


agendanya tidak mungkin dilaksanakan tanpa perhitungan
perubahan strukturalnya. Selain itu faktor kepemimpinan
menurut Indria Samego memegang peranan utama. Kendati
Polri merupakan suatu organisasi modern, kepemimpinan masih
sangat diperlukan. Sebagai aparatur negara yang memiliki
prosedur dan aturan main yang mengikat, kehadirannya
di masyarakat tidak hanya mengandalkan keberadaan
pembesar beserta aparatnya, tetapi juga pemimpin dan
kepemimpinannya.12 Diakui pada tingkat praktek kepemimpinan
Polri memiliki hubungan dengan apa yang dilakukan bawahan di
semua tingkatan Polri. “Kapolri memakai kendaraan dinas Kijang
langsung membawa dampak positif kepada bawahan, di mana
kemudian dapat dikuti oleh bawahan. Dalam kesempatan Rapim
Polri, semua Pati yang mengikuti rapat menggunakan semua
seragam yang diberikan panitia Mabes Polri, dan terlihat sorotan
media/publik yang positif.”13

Salah satu cara melakukan reformasi penegakan hukum di


Kepolisian adalah memperhatikan kesejahteraan penyelidik dan
penyidik. Saat ini belum ada penghasilan yang cukup signifikan
dan layak bagi mereka.14 Selama masa kepemimpinannya sebagai
Kapolri, Jend Pol Bambang Hendarso Danuri (BHD) mengaku telah
berhasil melakukan reformasi internal.”Reformasi birokrasi Polri
kita sudah melaksanakan tatakelola anggaran. Ada keberhasilan
dari yang dulu disclaimer, dan berhasil mendapatkan predikat
12
Prof. Indria Samego, Kepemimpinan Nasional dan Perubahan Politik, dalam
T Hari Prihatono dkk, Police Reform: Taking The Heart and Mind, Propatria, 2008,
hal 40.
13
Diskusi dengan Irjen Ronny F Sompi, Kepala Devisi Humas Polri, tanggal 5
Januari 2015.
14
Langkah yang paling tepat adalah mengeluarkan kebijakan remunerasi,
yaitu penataan kembali sistem penggajian yang dikaitkan dengan sistim
penilaian kinerja.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 107

wajar tanpa pengecualian berdasarkan indikator keberhasilan


reformasi birokrasi Polri merujuk pada hasil penilaian Kemeneg
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN).”15 Atas keberhasilan
reformasi birokrasi Polri itu, BHD mengharapkan diikuti
dengan remunerasi dan peningkatan anggaran kesejahteran
personil Polri. Perilaku warisan otoritarian memberikan
stigma bahwa polisi adalah alat kekuasaan yang menjalankan
kekuasaannya untuk melakukan tindakan represif. Hal ini
tentunya bertentangan dengan semangat pidato Kapolri dalam
merealisasikan polisi yang humanis sebagai penegak hukum
sekaligus pelayan masyarakat. Polisi yang humanis merupakan
suatu outcome dari konsep civilian in uniform dimana
terjadi transformasi perilaku polisi baik secara individu dan
organisasional. Disinilah konsep melayani merupakan tindakan
proaktif dan preventif terhadap sumber, potensi dan kerawanan
gejolak dalam masyarakat. Komitmen polisi masyarakat
harusnya menempatkan masyarakat sebagai stake holder dalam
memecahkan permasalahan tidak hanya dengan memperluas
struktur organisasi dan penambahan beban anggaran.
Selanjutnya bagaimana menerapkan kaedah proporsional,
tidak deskriminatif, responsif dan terukur dalam setiap jenis
pelayanan yang disampaikan.16 Philipe dan Zelznick mencatat
bahwa terdapat tiga karakteristik hukum yang dilahirkan oleh
proses politik, yaitu hukum yang represif, hukum yang otonom,
dan hukum yang responsif.17 Karakteristik hukum yang responsif,
menurut Irjen Ronny F. Sompi mestinya diikuti dengan adanya
15
Pernyataan Bambang Hendarso Danuri (BHD) 25/10/2010, http://nasional.
inilah.com/read/detail/917562/bhd-klaim-sukses-lakukan-reformasi-birokrasi-
polri#
16
Willy Aditya, Penulis, alumnus Defence and Security Studies ITB – Cranfield
University dan Junior Advisor di ASSD – GTZ. Jumat, 21 November 2008
17
Philipe dan Zelznick, Law and Society in Transaction Toward Responsive Law,
1978.
108 Sidratahta Mukhtar

perhatian yang besar dari negara dan khususnya pemerintah


untuk memikirkan gaji dan kesejahteraan Polri yang masih jauh
dari harapan. Di banyak negara demokrasi modern, gaji polisi
selalu besar karena besarnya beban tugas dan resiko dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Seperti contoh para penyidik
Polri yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
memiliki integritas, dedikasi dan profesionalisme yang tinggi
dalam penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi atau
penyalahgunaan kekuasaan oleh para penyelenggara negara di
tingkat pusat, daerah, maupun di berbagai lembaga negara sejak
KPK berdiri sampai sekarang. “Ketika gaji penyidik Polri di KPK
mendapatkan tunjangan 3 (tiga) kali lipat dari gaji personil dan
penyidik Polri secara umum, tegas Kepala Devisi Humas Polri
ini.”18

Kemampuan Polri dalam melakukan penanganan dan


penegakan hukum masalah korupsi sebenarnya sudah cukup
baik, terbukti dengan sudah semakin terbukanya Polri dalam
mengungkap berbagai kasus kejahatan korupsi di berbagai
daerah. ,misalnya di Polwiltabes Bandung terdapat mekanisme
pelayanan masyarakat yang sudah berjalan dengan baik. Setiap
kasus yang diadukan masyarakat selalu dibuatkan SP2HP
(Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan Kepada
Masyarakat).19

Pengawasan yang dilakukan di internal Polri sudah berjalan


dengan baik. Lembaga yang menangani pengawasan internal
tersebut adalah Provost dan P3D (Pelayanan Pengaduan

18
Wawancara pribadi dengan Irjen. Ronny F Sompi, Kepala Devisi Humas
Polri, tanggal 5 Januari 2014.
19
Sidratahta Mukhtar, dkk, hasil penelitian KHN tentang Kompolnas, tahun
2008. Ringkasan Makalah disampaikan pada FGD di Hotel Borobudur, November
2008, hal 21-23
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 109

Penegakan Disiplin). Selama ini pengaduan dilakukan oleh


masyarakat yang tidak puas terhadap kinerja personel Polri.
Proses pemeriksaannya dilakukan secara independen oleh komisi
khusus dilingkungan Polwil dan dengan menghadirkan pihak
pelapor dan saksi-saksi.20 Dilingkungan Polwiltabes Surabaya
terdapat mekanisme pengaduan yang cepat dan efisien yaitu
memberikan pengaduan melalui surat, melaporkan secara
langsung, layanan pesan singkat (SMS) dan call center. Efektivitas
pelayanan kepolisian di masa kepemimpinan Kombes Pol. Anang
Iskandar sebagai Kapolwiltabes Surabaya saat itu dilakukan
melalui perubahan mental, pola pembinaan dan pengawasan
efektif kepada seluruh personil Polwiltabes.demikian juga
Anang Iskandar memberikan reward (penghargaan) kepada
anggota Polri yang berhasil dan bertindak jujur/adil dalam
melaksanakan tugas. Sementara itu, Anang Iskandar juga
bekerjasama dengan lembaga-lembaga masyarakat, seperti
LBH Surabaya, Perguruan Tinggi dan lainnya agar mengawasi
tindakan polisi di lapangan. Bila ada warga Surabaya yang
berani melaporkan tindakan polisi yang kurang sesuai dengan
aturan hukum, maka warga yang melapor akan mendapatkan
kompensasi (reward) dari kapolwiltabes Anang Iskandar. Selain
itu juga, sosialisasi ditingkatkan selain menempatkan Kapolsek
dan bidang pembinaan masyarakat (Binmas) yang mumpuni
dan komunikatif, juga menerbitkan banyak buku-buku yang
memotret tindakan sehari-sehari polisi dilapangan, sehingga
dapat dijadikan kajian dan diskusi dari diskusi akademis
sampai diskusi warung kopi oleh masyarakat di tingkat akar

20
Wawancara dengan Debora Djihartin, SH, Kabag Administrasi Polwiltabes
Surabaya, di Surabaya, tanggal 31 Maret 2008. Wawancara disurabaya dilakukan
atas dukungan Kapolwiltabes Surabaya, Anang Iskandar, saat ini adalah Komjen
Polri yang menjabat sebagai Kepala BNN RI.
110 Sidratahta Mukhtar

rumput (grassroot).21 Selain itu, Anang Iskandar juga melakukan


bimbingan spiritual kepada personil Polwiltabes Surabaya sesuai
ajaran agamanya masing-masing, misalnya personil Polisi yang
beragama Islam dilakukan bimbingan mental dan moral pada
setiap hari jumat usia sholat jumat agar marwah dan semangat
menjalankan tugas dengan penuh tanggungjawab dapat
dilakukan dengan sebaiknya.22

Berbagai perubahan Polri tersebut diarahkan untuk


mencapai tujuan Polri seperti diatur dalam UU No. 2 tahun
2002 tentang Polri yaitu: ”Mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat serta
terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.” Namun, kekurangan yang dialami
Polri pasca mandiri (1999-2002) saat itu adalah belum
melahirkan sosok Polri yang berkarakteristik polisi sipil.
Seperti terlihat dalam studi Polri Pasca Mandiri (2003) bahwa
budaya militerisme masih mewarnai tradisi dan kinerja Polri.
Kinerja aparatur Polri masih tergantung pada sistem komando
atasan mereka. Padahal reformasi Polri menghendaki adanya
kemampuan personal aparat Polri dalam memahami tugas dan
fungsinya berdasarkan UU Polri dan KUHP.23 Perubahan budaya
organisasi dan sumber daya manusia yang ada didalamnya
adalah tidak mudah, perubahan budaya membutuhkan waktu
paling tidak dua generasi kepolisian. Rencana strategis Polri

21
Wawancara mendalam dan diskusi dengan Kombes Pol. Anang Iskandar,
Kapolwiltabes Surabaya, saat ini menjabar Kepala Badan Narkotika Nasional
(BNN), di Surabaya, tanggal 31 Maret 2008.
22
Wawancara Anang Iskandar, ibid
Farouk Muhammad, Hermawan Sulistyo dan Said Saile, Kinerja Polri Pasca
23

Mandiri (Jakarta: PPITK PTIK, 2003) hal 20-22.


Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 111

jangka panjang sebenarnya telah mengakomodasi desain


strategis menuju perubahan budaya Polri sebagai pelayan
publik yang profesional dan akuntabel serta menghargai HAM
pada masa depan.

Di beberapa wilayah Polda dan Polwil diketahui telah banyak


masyarakat yang memanfaatkan teknologi informasi modern
sekarang ini untuk mengadukan kasus-kasus hukum yang
dihadapinya. Terdapat kesamaan pola pembinaan personel
yang dilakukan Poltabes Makassar dengan Polwiltabes Surabaya
yaitu dengan melakukan pembinaan mental dan etika profesi
secara menyeluruh kepada semua personel Polri. Setiap minggu
dilakukan pendidikan, pembinaan, evaluasi dan reorientasi serta
melakukan sharing (tukar pikiran) antara atasan dan bawahan
dari hati kehati (heart to heart approach).24

Meskipun, terdapat perkembangan yang cukup baik


dalam peran Polri selama reformasi dewasa ini, tetapi belum
memuaskan publik, di mana masyarakat masih berpandangan
bahwa institusi Polri masih belum berubah. Dalam konteks
demokratisasi saat ini, citra publik sangat penting, kepolisian
harus mampu membuktikan kepada masyarakat bahwa Polri
mampu melakukan perubahan yang mendasar dan sistemik
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibidang
keamanan dalam negeri dan dalam domain penegakan hukum.
Polisi harus mampu memberikan rasa aman dan mampu
menciptakan keadilan secara imbang bagi seluruh warga
masyarakat. Aparatur Polri masih merasakan adanya kendala
dalam upaya maksimalisasi fungsi dan peran penegakan hukum
Polri disebabkan oleh mekanisme kerja dan koordinasi dengan

24
Wawancara dengan AKBP Drs. Anwar Dia, SH, MH, Kabagbin Poltabes
Makassar, di Makassar, tanggal 12 Mei 2008. Lihat Debora Djihartin, SH, Kabag
Administrasi Polwiltabes Surabaya, di Surabaya, tanggal 31 Maret 2008
112 Sidratahta Mukhtar

unsur criminal justice system (CJS) lainnya yang masih nampak


lamban dalam melanjutkan tugas polisi pasca penyelidikan dan
penyidikan.25

Seiring dengan peningkatan profesionalisme kepolisian,


tuntutan ke arah perbaikan kinerja dan citra kepolisian sebagai
pelayan masyarakat telah menjadi agenda reformasi kepolisian.
Daya kritis masyarakat sipil terhadap kinerja dan citra kepolisian
adalah cerminan bagaimana kuatnya aspirasi dan tuntutan atas
hak-hak masyarakat yang menjadi wewenang kepolisian. Dalam
konteks ini, kepolisian perlu memformulasikan instrumen-
instrumen dalam kerangka political will sehingga Kapolri dapat
secara nyata mendorong reformasi kepolisian sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Polisi mempunyai fungsi pelayanan
keamanan kepada individu, komunitas dan negara. Pelayanan
keamanan tersebut bertujuan untuk menjaga, mengurangi
rasa ketakutan dari ancaman dan gangguan serta menjamin
keamanan di lingkungannya secara berkesinambungan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat
yang dilayaninya. Dalam memberikan pelayanan keamanan
polisi mempunyai kewenangan untuk menegakan hukum dan
keadilan serta memerangi kejahatan yang mengganggu dan
merugikan masyarakat, warga komunitas dan negara.26 Dalam
paradigm supremasi hukum, yaitu melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui
pengembangan asas preventif atau soft power dan asas
kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan

25
Diskusi dengan Irjen Ronny F Sompi, Kepala Devisi Humas Polri, tanggal 5
Januari 2015.
26
ibid
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 113

dan ketertiban masyarakat. Indria Samego mengatakan, setiap


pejabat dan personil Polri memiliki kewenangan diskresi, yaitu
kewenangan bertindak demi kepentingan umum berdasarkan
penilaian sendiri. Oleh karena itu, UU No 2/2002 memgatur
juga pembinaan profesi dank ode etik profesi agar bertindak
yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral,
hukum, maupun etika profesi kepolisian khususnya pada
dimensi penegakan hak asasi manusia.27 Di samping itu, UU No
39/1999 tentang HAM dan UU no. 26/2002 tentang pengadilan
HAM mewajibkan setiap anggota Polri untuk menaati dan
mempedomani HAM. Perkembangan regulasi dan UU terkait
tugas dan wewenang Polri mendorong percepatan perubahan
perilaku. Apalagi dengan masuknya kurikulum HAM pada
pendidikan kedinasan tingkat bintara dan perwira di Polri turut
memberikan warna bagi penghormatan HAM dan demokratisasi
di lingkungan Polri.

Salah satu tolak ukur reformasi birokrasi Polri adalah semakin


kuatnya dukungan publik. Dinamika dan perkembangan
reformasi Kepolisian dalam hal pelaksanaan fungsi-fungsi
menegakkan supremasi hukum dan keamanan telah mendapat
dukungan penuh oleh lembaga Kemitraan (Partnership)
khususnya devisi Reformasi Kepolisian yang bersinergi dengan
kelompok LSM reformasi sektor keamanan (RSK), antara lain;
Seminar dan Workshop Pengembangan Kurikulum Pendidikan
dan Pelatihan Kepolisian (dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian – kini disebut dengan Sekolah Tinggi Ilmu
Kepolisian) tahun 2001. Konsultasi Publik mengenai Rancangan
Undang-Undang tentang Kepoilsian, (dilaksanakan oleh
POLWATCH: Indonesian Police Watch) tahun 2001. Kemudian,

27
Indria Samego, Op Cit, hal 38-39, lihat juga Sidratahta Mukhtar, Standar
Profesi Polri, dimuat pada harian Republika, september 2009.
114 Sidratahta Mukhtar

pengembangan Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian


(dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)
tahun 2001. Sedangkan pada tahun 2002 telah banyak
diselenggarakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
pengembangan kepolisian, khususunya berkaitan dengan
pendidikan;(a). Diskusi Panel “Pengembangan Bahan Ajar di
Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam Rangka Pembenahan Pendidikan Kepolisian di
Era Reformasi Kepolisian Mandiri” (dilaksanakan oleh Sekretariat
Deputi Pendidikan dan Pelatihan Markas Besar Kepolisian); (b).
Memfasilitasi Pembangunan Fungsi Pengawasan Kepolisian
Daerah di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali
(dilaksanakan oleh POLWATCH: Indonesian Police Watch); Pada
periode berikutnya yaitu antara tahun 2003 sampai dengan
2008 telah dilakukan berbagai kegiatan yang mendukung
kearah reformasi Polri menjadi lebih baik;

1. Perubahan Kurikulum Bintara Kepolisian (dilaksanakan oleh


Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Markas Besar Kepolisian);
2. Kerangka Kerja Penegakan Hukum Tingkat Regional untuk
Kepolisian di Aceh (dilakanakan oleh Universitas Syiah Kuala-
Pusat Stud Hak-Asasi Manusia, Banda Aceh);
3. Penguatan wewenang dan tugas Ruang Pelayanan
Khusus untuk Wanita dan Anak-anak – RPK di Kepolisian,
(dilaksanakan oleh LBPP DERAP Warapsari: Lembaga Bantuan
Perlindungan Perempuan DERAP – WARAPSARI);
4. Kebijakan untuk Mendukung Pengembangan Pendidikan
Polisi Wanita dan Meningkatkan Jumlah Polisi Wanita di
Kepolisan (dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum
Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Jakarta);
5. Transparansi dan Akuntabilitas Kepolisian dengan
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 115

Meningkatkan Tugas dan Kewenangan Komisi Kepolisian


Nasional.28
Riset internasional dilakukan oleh International Crisis Group
yang fokus pada kajian tentang reformasi keamanan. Lembaga
itu berpusat di Brussel dan Belgia, yang dipimpin oleh Sydney
Jones, seorang ahli tentang terorisme internasional dan isu-
isu keamanan internasional lainnya. Pada tahun 2001 telah
dilakukan studi mendalam tentang reformasi Polri. Penelitian
itu antara lain menjelaskan tentang Polri yang telah mengalami
intervensi yang luar biasa dari lembaga-lembaga negara
khususnya kekuasaan eksekutif baik pada masa Orde Lama, Orde
Baru maupun pada era reformasi saat ini.

Beberapa rekomendasi International Crisis Group (2001)


adalah sebagai berikut: Rekomendasi ICG kepada Pemerintah
Republik Indonesia: (1). Jangka Pendek yaitu membentuk komisi
yang multi-disipliner serta terwakili secara luas guna meninjau
peranan, fungsi, dan organisasi Kepolisian dalam struktur
politik dan sosial yang tengah timbul, dengan memperhatikan
masuknya otonomi daerah, serta menjelaskan peranan
penegakan hukum dari badan pemerintahan lainnya; Kemudian,
membuat perundang-undangan untuk pelaksanaan hasil
tinjauan tersebut diatas yang telah disepakati dan membentuk
komisi kabinet untuk mengawasi pelaksanaan reformasi yang
disetujui; Membekali pimpinan Kepolisian dengan ketentuan-
ketentuan penunjukan yang jelas serta tujuan reformasi;
Selanjutnya, mengadakan revisi terhadap rancangan Undang-
Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia agar
peran penegakan hukum bagi Kepolisian lebih ditekankan
ketimbang peran pengamanan; Membentuk badan yang
28
Lihat Ringkasan Eksekutif Komisi Hukum Nasional, Bahan FGD, Jakarta, 26
Oktober 2010
116 Sidratahta Mukhtar

bertanggung-jawab kepada umum untuk mengelola usaha-


usaha milik Kepolisian.29

Rekomendasi ICG pada Jangka Menengah antara lain;


Meninjau kembali sumberdaya manusia, termasuk ketentuan
dan persyaratan pekerjaan, serta meningkatkan pengerjaan
wanita dan rekrutmen horisontal; Meneliti kerjasama Kepolisian
dengan unsur penegakan hukum lainnya, terutama kejaksaan
dan sistem peradilan, serta dengan angkatan Kepolisian
negara tetangga; menghapus atau merombak usaha-usaha
milik Kepolisian. Ada beberapa rekomendasi kunci ICG yang
ditujukan kepada kepada Komunitas Internasional yaitu
Pertama, mendorong pendidikan sarjana dan pasca-sarjana
dalam bidang Kepolisian baik untuk polisi maupun mahasiswa
ketatanegaraan atau ilmu politik; Kedua, mengembangkan
kesempatan bagi Kepolisian untuk mendalami pengalaman
mengenai cara pengelolaan, pengawasan dan pengoperasian
angkatan Kepolisian di negara demokrasi; Ketiga, mengadakan
penyesuaian terhadap tingkatan, isi serta dukungan material
dari pelatihan dalam negeri dan mengembangkan kerjasama
dengan Kepolisian dalam bidang-bidang yang menjadi perhatian
bersama seperti kejahatan internasional pada saat reformasi
demokrasi sudah mulai berjalan. 30

Sebenarnya, apa yang ditulis dalam laporan internasional


ICG tersebut, sudah sesuai dengan fakta dan kondisi obyektif
perkembangan reformasi nasional Polri. Hanya saja Polri
menghadapi kendala untuk mensosialisasikan dan membangun
komunikasi publik atas prestasi dan capaian tersebut. Ronny
Sompi mengatakan masalah tingginya beban tugas yang
29
ibid
30
International Crisis Group, International Crisis Group Asia Report No. 13,
(Jakarta/Brussels, International Crisis Group, 2001).
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 117

menjadi tanggungjawab Polri merupakan faktor penyebab


adanya persepsi atau pemahaman yang kurang tepat dari publik
tentang peran dan tugas Polri selama ini.

Posisi Polri Di Bawah Presiden: Tantangan dan Peluang


Ketika bangsa Indonesia menggunakan sistem demokrasi
secara murni sejak 1998 dan telah mengalami konsolidasi
demokrasi hingga saat ini, maka semua institusi negara dan
khususnya pemerintahan didalamnya juga harus menyesuaikan
diri dengan demokrasi konstitusional yang berlaku. Amandemen
UUD 1945 sebagaimana dalam pembahasan pada bab
sebelumnya telah menegaskan bahwa Indonesia menganut
demokrasi presidensial yang mana pemerintahan dipimpin
oleh presiden dan wakil presiden yang terpilih dalam pemilihan
umum yang bebas dan independen.

Salah satu masalah penting berkaitan dengan sistem dan


praktek demokrasi adalah bahwa apakah demokrasi liberal harus
diadopsi prinsip-prinsipnya secara literal atau demokrasi itu
dapat menyesuaikan dengan norma, nilai, sejarah dan budaya
masyarakat dan negara itu sendiri?Pengalaman berdemokrasi
negara maju seperti Amerika Serikat atau Inggris misalnya
dapat saja dijadikan sebagai benckmarking terhadap apa yang
menjadi capaian ideal masyarakat-negara adidaya tersebut.
Tetapi bangsa Indonesia sebagai negara yang lahir dari proses
konsolidasi nasion yang lama dan melahirkan sistem nilai yang
plural dan religius, yang kemudian dirumuskan para pendiri
bangsa melalui Pancasila sebagai ideologi nasional. Pada satu
dasawarsa pertama Indonesia merdeka, Pancasila bahkan
dijadikan sebagai media dan strategi negara-negara di Asia dan
Afrika untuk menuntut dan memperjuangkan kemerdekaan
dari penjajahan bangsa barat pada era itu. Konteks konsolidasi
118 Sidratahta Mukhtar

kebangsaan seperti itu dapat dijadikan pendekatan dalam


melihat perkembangan lembaga-lembaga pemerintahan yang
ada seperti Polri yang mana posisi di bawah kementerian adalah
posisi yang ahistoris. Kedudukan di bawah kementerian dalam
negara pada tahun 1945-1946 tidak menghasilkan peran sejarah
yang memadai. Demikian juga integrasi Polri kepada institusi
ABRI pada masa Orde Baru menyebabkan Polri tidak dapat
melaksanakan profesiolismenya dengan merdeka dan mandiri.
Kemandirian Polri selalu berada di bawah bayang-bayang
insitusi induknya yang merupakan institusi pertahanan negara
(TNI). Filosofi dan peran lembaga TNI (pertahanan) dengan
Polri (keamanan dan hukum) tidak dapat diintegrasikan dalam
praktek.

Polri sebagai salah satu fungsi penyelenggara negara,


yang dalam melaksanakan tugas pokoknya harus mampu
mendukung keberhasilan pembangunan nasional sebagaimana
dirumuskan dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang
rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025.
Menurut Jenderal Polisi Sutarman bahwa dengan mengacu
kepada rencana pembangunan jangka panjang bangsa di atas,
maka Polri telah menyusun rumusan strategi jangka panjang
sebagai pedoman Polri dengan menetapkan Grand Strategi Polri
tahun 2005-2025, yang mencakup 3 (tiga) tahapan, yaitu, tahap
I tahun 2005-2009 membangun kepercayaan, Tahap II tahun
2010-2014 membangun kemitraan dan tahap III tahun 2015-
2025 menuju organsasi unggulan (strive for excellence).31 Jika
tahun 2014 merupakan fase dimana Polri membangun sinergi

31
Lihat Komjen Pol. Drs. Sutarman, Penguatan Fungsi Kepolisian
Guna Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri Dalam Rangka Mendukung
Pembangunan Nasional, Disampaikan dalam Fit and Proper Test Calon Kapolri di
Komisi III DPR RI, tanggal 17 Oktober 2013, hal 4
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 119

dan kemitraan dengan seluruh komponen bangsa, maka awal


tahun 2015 ini Polri mulai memasuki periode kepemimpinan
untuk mendorong organisasi Polri sebagai institusi yang unggul.
Tahapan ini memerlukan sumber daya manusia Polri yang unggul
baik dari aspek visi, integritas, dedikasi dan kepemimpinannya
agar mampu menjadi lembaga terdepan dalam pembangunan
bangsa dalam bidangnya yaitu keamanan dalam negeri dan
penegakan supremasi hukum berdasarkan konstitusi UUD 1945
dan demokrasi konstitusional yang berlaku.

Seperti yang dijelaskan oleh mantan Kapolri Sutanto pada


bab sebelumnya, bahwa dengan posisi di bawah langsung
presiden, maka Kapolri dan jajarannya dapat mengikuti sidang-
sidang kabinet, yang dengan demikian dapat mempercepat Polri
mengikuti dinamika dan trend keamanan nasional berdasarkan
laporan-laporan berbagai kementerian yang hadir dalam sidang
kabinet. Di samping itu, Polri dapat menghindarkan diri dari
intervensi politik. Apabila di bawah suatu kementerian, dan
jabatan menteri berasal dari unsur partai-partai politik, maka
peluang politisasi institusi Polri akan lebih besar dari pada
di bawah presiden secara langsung. Selain karakteristik, sifat
dan budaya birokrasi kementerian dengan birokrasi kepolisian
memiliki tingkat perbedaan yang tinggi. Sebenarnya di bawah
Presiden tetap memiliki peluang dan ancaman intervensi
kekuasaan juga, tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan
bahwa presiden adalah kepala negara dan sebagai kepala
pemerintahan. Olah karenanya, potensi intervensi kekuasaan
dengan mudah dan cepat dapat diketahui publik, dan seperti
dalam kasus intervensi kekuasaan pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid di awal reformasi dalam konteks
pergantian Kapolri yang tidak sesuai prosedur hukum dan peran
parlemen pada masa itu, maka aspirasi dan dukungan Polri
120 Sidratahta Mukhtar

untuk mendukung independensi Polri dapat terbukti membawa


perubahan positif bagi Polri.

Salah satu pintu untuk mereposisi Polri di bawah


kementerian adalah melalui upaya mempercepat penyelesaikan
UU Keamanan Nasional. Draft UU Kamnas ingin mendorong
singkronisasi dan tata kelola sistem keamanan nasional, yang
dipandang tidak saja didasarkan pada kedua aktor utama, TNI
dan Polri, tetapi sistem keamanan nasional yang komprehensif.
Sistem keamanan model ini didasarkan pada perkembangan
di negeri barat khususnya di Eropa yang relatif berhasil
mempromosikan sistem baru dalam tata kelola keamanan
nasional yang didasarkan pada Security Sector Reform (SSR).
Propartia yang menjadi arsitek reformasi sektor keamanan
dan RUU Kamnas dengan mendirikan Koalisi Masyarakat
Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan dan menghimpun
ahli-ahli hubungan internasional, keamanan, hukum, HAM
dan demokrasi, maka ingin melakukan demokratisasi sistem
keamanan nasional komprehensif itu melalui adanya political
will pemerintah dan DPR untuk menundukkan Polri dan TNI
serta aktor-aktor keamanan lainnya ke dalam kontrol sipil
obyektif, dan mekanisme akuntabilitas publik yang lebih baik.

Ketika presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali


mengajukan draft RUU Kamnas untuk dibahas oleh DPR dan
DPD tahun 2011 lalu, maka DPD membentuk Panitia Kerja
(Panja) untuk mengkritisi draft RUU yang telah mendapat “acc”
dari Kapolri, Panglima TNI, dan Menteri Pertahanan saat itu. Di
Indonesia, agenda reformasi sektor keamanan itu salah satunya
meliputi perubahan di level regulasi dan kebijakan. Namun
demikian, perubahan-perubahan di level regulasi selama ini
dinilai belum cukup sehingga pemerintah menginisiasi RUU
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 121

Keamanan Nasional melalui surat Presiden nomor: R- 28/


Pres/05/2011 tanggal 23 Mei 2011 kepada DPR RI dan dengan
tembusan kepada DPD RI. Rancangan Undang-undang tentang
Keamanan Nasional (Kamnas) sebetulnya telah muncul sejak
tahun 2005.32 Pada saat itu RUU Kamnas, yang semula bernama
RUU Pertahanan dan Keamanan Negara (Hankamneg),33
diajukan atas usulan/inisiatif Pemerintah melalui Departemen
Pertahanan.34 Pada tahun 2007 RUU Hankamneg kemudian
berubah nama menjadi RUU keamanan nasional.35

Sejak awal kemunculannya, RUU keamanan nasional telah


menimbulkan kontroversi dan tentangan dari banyak kalangan
baik itu dari DPR, akademisi maupun kelompok masyarakat
sipil. Sebagian besar dari mereka menilai RUU keamanan
nasional tidak menghormati tata nilai hak asasi manusia dan
prinsip good governance.36 Di awal tahun 2009, pembahasan
RUU Keamanan Nasional semakin memanas di parlemen dan
akhirnya RUU Keamanan Nasional gagal disepakati dan disahkan
oleh DPR periode 2004-2009. RUU Keamanan Nasional kembali
menjadi pembahasan pada 2011 setelah Pemerintah kembali
menyerahkan RUU tersebut ke parlemen. Namun demikian, RUU
Kamnas versi pemerintah 2011 kembali mendapatkan kritik dari
banyak kalangan baik itu dari anggota DPR, akademisi maupun
masyarakat sipil. Kritik terhadap RUU Kamnas sebenarnya
hampir sama dengan kritik sebelumnya yakni RUU Kamnas
tidak menghoramti tata nilai HAM, good governance, dimensi

32
Ringkasan Draft Kritik Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terhadap RUU
Kamnas, tanggal 9 Juli 2011.
33
DPD RI, ibid
34
DPD RI, ibid
35
DPD RI, ibid
36
Soal kamnas; jangan ada ego sektoral”: http://nasional.kompas.com/
read/2008/03/26/2040527/Soal.Kamnas.Jangan.ada.Ego-Sektoral.
122 Sidratahta Mukhtar

ancaman serta ruang lingkup yang diatur terlalu luas sehingga


bernuansa sekuritisasi. 37

Berbagai kelemahan dan kritik terhadap RUU Kamnas yang


menjadi sorotan DPD seperti di bawah ini: pada Ruang Lingkup
tidak mengakomodasi bahasan tentang pengaturan tentang
manajemen keamanan negara dan manajemen aktor-aktor
keamanan yang memiliki penggunaan kewenangan koersif/
kekerasan. Pengaturan penting untuk menghidari arogansi
sektoral dan conflict of interest antar badan-badan pelaksana
yaitu TNI, Polri maupun Intelejen. DPD juga mengkritisi bahwa
pentingnya bahwa pengaturan TNI dan Polri di dalam undang-
undang keamanan nasional tidak boleh sampai menimbulkan
terjadinya celah peluang penggabungan kembali struktur dan
organisasi TNI dan Polri dalam satu kesatuan sebagaimana terjadi
di masa Orde Baru. Dalam konteks itu pemisahan struktur antara
TNI dan Polri merupakan sesuatu yang tidak bisa di ganggu gugat
lagi. RUU Kamnas memberi peluang untuk mengintegrasikan
peran antar lembaga keamanan nasional.38 Esensi kehadiran RUU
Kamnas adalah perlunya negara membentuk National Security
Council (NSC) seperti di Amerika Serikat dan negara demokrasi
lainnya. Sedangkan di Indonesia fungsi NSC itu telah diwadahi
dan diperankan oleh berbagai lembaga dan kementerian yaitu,
Kemenkopolhukam, Dewan Pertahanan Nasional (Wantannas),
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), dan juga kantor Ke
Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres). Para ahli pertahanan
dan hubungan internasional di Indonesia terus mendorong agar
presiden membentuk dewan ini. Hanya kendalanya, payung

37
Pandangan Al Araaf, anggota Tim Ahli RUU Kamnas DPD, dan Sidratahta
Mukhtar sebagai anggota Tim Ahli Panja RUU Kamnas yang pimpin oleh Irjen
(P) Prof. Farouk Muhammad, anggota DPD RI wakil Provinsi NTB, kini wakil ketua
DPD RI periode 2014-2019
38
Analisa dari laporan RUU Kamnas versi DPD, Agustus 2011.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 123

hukum NSC ini idealnya setelah adanya UU Kamnas tersebut.


Dewan Keamanan Nasional (DKN). DKN merupakan perangkat
kepresidenan yang bertugas untuk 1). menentukan masalah-
masalah yang dapat dikategorikan sebagai masalah keamanan
nasional; dan (2) merekomendasikan alternatif kebijakan
dalam menangani masalah keamanan nasional tersebut (3)
Menganalisa dan mengevaluasi dampak yang ditimbulkan oleh
kebijakan, langkah dan tindakan yang diambil oleh Presiden.

DKN diketuai oleh Presiden dan beranggotakan anggota


tetap dan anggota tidak tetap. Anggota tetap terdiri dari wakil
Presiden, Menkopolhukam, Menkokesra, Menteri Pertahanan,
Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman,
Jaksa Agung dan Kepala Badan Intelijen, Kapolri, Panglima TNI.
Sedangkan anggota tidak tetap adalah pakar-pakar bidang
pertahanan dan keamanan yang dipilih oleh Presiden yang
terdiri dari 4 orang. Signifikansi DKN dimaksudkan sebagai forum
bagi instrumen keamanan nasional terutama bagi pimpinan
lembaga-lembaga utama pelaksana keamanan nasional seperti
Panglima TNI dan Kapolri dalam memberikan masukan-
masukan terhadap permasalahan strategis dan kebijakan-
kebijakan keamanan nasional. Pembentukan DKN yang
menjalankan fungsi sebagai advisory board bagi Presiden dalam
keamanan nasional dengan memberikan arah kebijakan dan
rekomendasi bagi terciptanya sistem keamanan nasional yang
komprehensip. Pada level operasional DKN akan berfungsi untuk
memastikan mekanisme koordinasi antar instrument utama
keamanan nasional khususnnya terkait dengan perumusan
kerjasama antar instansi, dan juga mekanisme akuntabilitas
politik dan publik.39 DPD berpandangan bahwa dalam sistem

39
Analisa dari Draft RUU Kamnas Versi DPD RI (2011).
124 Sidratahta Mukhtar

negara demokrasi penting untuk melakukan diferensiasi tugas


dan fungsi antar aktor keamanan. Dalam kerangka itu, maka
tugas dan fungsi aktor-aktor keamanan yang akan diatur dalam
RUU Kamnas harus sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah
diatur dalam UU yang bersifat operasional yang telah ada yakni
untuk TNI mengacu kepada UU TNI, untuk Polisi mengacu
kepada UU Polisi dan Untuk intelejen mengacu kepada regulasi
yang terkait dengan Intelijen. Menariknya, DPD berpandangan
bahwa di dalam sistem negara demokrasi menjadi penting untuk
memisahkan antara institusi penanggungjawab kebijakan dan
institusi penanggungjawab pelaksana kebijakan. Dalam konteks
itu, maka penting untuk mengatur pemisahaan antara institusi
pembuat kebijakan keamanan (kementerian) dengan institusi
pelaksana kebijakan keamanan (TNI, Polisi dan Intelijen).40

Sementara itu, pihak DPR belum melanjutkan pembahasan


RUU Kamnas itu sampai saat ini. Hanya saja, ketua Komisi I
DPR, Machfud Sidik sudah mendukung pernyataan Menteri
Pertahanan bahwa upaya menundukkan Polri di bawah
supremasi sipil melalui penempatan Polri di bawah kementerian
itu mesti segera dilakukan. Agrumentasinya bahwa TNI
telah tunduk pada supremasi sipil dengan adanya Menteri
pertahanan yang berasal dari unsur sipil. RUU Kamnas memang
sejak awal telah disiapkan oleh kementerian pertahanan sejak
periode kepemimpinan Prof. Juwono Sudarsono selaku Menteri
Pertahanan. Kemudian, Presiden SBY memberikan tugas baru
kepada Menkopolhukam untuk melanjutkan tanggungjawab
pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kamnas
tersebut. Dalam konteks itu, berarti bahwa pembahasan
RUU Kamnas akan turut menentukan apakah Polri akan

40
ibid
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 125

tetap ditempatkan di bawah presiden atau akan dibawah


kementerian. Salah satu jalan yang moderat adalah menyusun
suatu kementerian keamanan dalam negeri dan kepolisian dan
atau memperkuat Komisi Kepolisian seperti yang dipraktekkan
dalam pemerintahan Jepang, di mana terdapat komisi yang
langsung bertanggungjawab di bawah Perdana Menteri (PM)
yang mana komisi itu membawahi unsur-unsur keamanan,
terutama Polri.

Menariknya, pembahasan RUU Kamnas dan isu-isu lain


yang terkait dengan upaya mendorong Polri agar di bawah
kementerian muncul kepermukaan ketika Polri membuktikan
diri peran yang lebih baik dan capain serta prestasi yang
mumpuni dalam menjalankan amanah konstitusi sesuai tugas
dan tanggungjawabnya dalam pengelolaan keamanan dalam
negeri dan penegakan supremasi hukum. Masalah lain bahwa
munculnya isu publik terkait reposisi Polri seperti ini ketika ada
konflik dan bentrokan TNI Polri seperti yang terjadi di Riau baru-
baru ini. Konflik tidak dilihat dalam perspektif hukum dan pada
skala kasuistik perilaku aparat TNI dan Polri dilapangan. Tetapi
yang terjadi adalah membangun opini bahwa kasus bentrokan
terjadi akibat dari Polri yang dinilai beberapa pihak mengalami
super body, dan lainnya. Letjen ((P) Agus Widjojo, mantan Kaster
TNI, memberikan pandangan pada Kompas beberapa waktu yang
lalu, bahwa kasus bentrokan polisi dan tentara di Riau tidak bisa
dijadikan dasar atau rujukan untuk menggabungkan kembali
sistem pendidikan TNI dan Polri. Oleh karena itu, satu hal yang
patut dicermati oleh Polri adalah bahwa terdapat agenda setting
dari kekuatan politik tertentu yang ingin mengintegrasikan
aktor-aktor pertahanan dan keamanan sebagaimana yang
terjadi pada masa lalu.
126 Sidratahta Mukhtar

Pada masa awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ini ditandai


dengan agenda pembubaran lembaga-lembaga dan komisi
negara yang dianggap tidak efisien dan dinilai tumpang tindih
dengan kewenangan kementerian, seperti pembubaran Komisi
Hukum Nasional (KHN) didasarkan pada kenyataan bahwa
Badan pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum
dan HAM memiliki tugas dan fungsi ((tupoksi) yang identik
dengan KHN. Pemerintah mengagendakan pembubaran dan
peleburan lembaga-lembaga lainnya yang masalah yang sama
dan dipandang menggunakan biaya APBN yang besar tanpa
hasil yang memadai. Dalam konteks itu, Menteri Pertahanan
Ryamizard Riacudu mengajukan usulan untuk mengembalikan
Polri berada di bawah kementerian, sebagaimana TNI sudah
ditempatkan di bawah Kementerian. Bahkan Menhan Riacudu
juga mengatakan selain Polisi di seluruh dunia berada di bawah
Kementerian, juga posisi Polri di bawah langsung Presiden akan
cukup merepotkan presiden.

Menghadapi usulan Menhan dan berbagai kritik yang


dilontarkan akademisi, purnawirawan militer dan unsur-unsur
lainnya, maka Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)
Jenderal Pol. Sutarman menegaskan sikap institusinya agar
Polri tetap di bawah Presiden Republik Indonesia guna menjaga
integritas dan independensi institusi Polri. Wacana penempatan
Polri di bawah kementerian tidak tepat mengingat Polri berperan
dalam keamanan dan ketertiban serta tugas sebagai penegakan
hukum. Lebih lanjut Jenderal Sutarman mengatakan bahwa
permintaan lembaganya agar kepolisian tetap di bawah presiden
mengingat Indonesia menggunakan tata pemerintahan dengan
sistem presidensial. “Presiden merupakan pimpinan tertinggi
penyelenggaraan administrasi negara antara lain di bidang
keamanan dan ketertiban umum, tata usaha pemerintahan,
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 127

pelayanan umum dan kesejahteraan umum.”41 Sutarman


mengkhawatirkan adanya kecenderungan terjadi politisasi dan
intervensi kekuasaan untuk kepentingan-kepentingan tertentu
bila Polri tidak di bawah Presiden.42

Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus


Meliala mengatakan, isu Polri di bawah kementerian agar
memiliki posisi sama dengan TNI ketinggalan zaman.
Menurutnya, isu yang menjadi perhatian utama harusnya
adalah mengenai tata kelola, yaitu siapa yang membuat
kebijakan, melaksanakan kemudian mengevaluasi kebijakan
tersebut. Prof. Adrianus mengatakan, seharusnya, pihak yang
melaksanakan peran-peran tersebut berbeda. Tata kelola
Kepolisian dan pembagian kewenangan didalamnya sangat
menentukan bagi Polri. Anggota Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) itu mengatakan karena semua peran berada di
tangan polisi, efisiensi dan efektifitas tidak berjalan dengan baik.
Jika Polri tidak ingin berada di bawah Kementerian, institusi
tersebut harus memberikan alternatif atau solusi mengenai
permasalahan tata kelola tersebut yakni dengan memperkuat
Kompolnas sebagai lembaga pengawasan Pori.43 Upaya
memperkuat Kompolnas sebagai jalan tengah lembaga yang
berperan sebagai perumus kebijakan nasional Polri, pengawas
dan lembaga yang memperjuangkan kepentingan anggaran
Polri pada pemerintah dan lembaga parlemen (DPR). Prof. Yusril
Ihza Mahendra memberikan pandangan yang sejalan dengan
Kapolri Sutarman, dan upaya mempertahankan posisi di bawah

41
Pernyataan Kapolri Sutarman, tanggal 26/2/2014
42
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/27/kapolri-sutarman-
tolak-polri-berada-di-bawah-kementerian, diakses tanggal 5 Januari 2015
43
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/01/nfwtl0-
polisi-dibawahi-kementerian-jk-itu-baru-wacana, diakses tanggal 6 Januari 2015
128 Sidratahta Mukhtar

Presiden oleh Kapolri-Kapolri sebelumnya. Keinginan beberapa


pihak untuk mempertahankan Polri di bawah Presiden atau
dikembalikan di bawah kementerian merupakan suatu pilihan
bagi pemerintah yang berkuasa. Menurut Yusril bahwa posisi
paling baik adalah polisi di bawah Presiden. Alasan Yusril jika
hendak ditempatkan dikementerian, maka kementerian apa
yang memiliki kewenangan membawahi Polri. Sebagai ahli
tata negara yang pernah menjabat Menteri Hukum dan HAM,
dan Menteri Sekretaris Negara, Prof. Yusril posisi Polri di bawah
presiden merupakan konsekuensi tugas Polri menegakkan
hukum sipil, dan bila dikembalikan kepada kementerian akan
menimbulkan masalah baru.

“…lepasnya polisi di bawah kementerian tidak terlepas


dari Dwifungsi ABRI saat itu. Saat sebelum pemisahan,
polisi di bawah Menteri Panglima Angkatan Bersenjata
(Menpangab) dan bekerja langsung di bawah Panglima
ABRI. Namun, karena kondisi mengharuskan untuk
pemisahan, polisi diposisikan langsung di bawah
presiden untuk diberikan tugas langsung penegakan
hukum sipil. Menurut Yusril, jika memang posisi itu
hendak dikembalikan, akan terbentur masalah lagi. Kalau
dikembalikan itu nanti akan kena masalah lain. Misalnya
dibawah Kemendagri (kementerian dalam negeri) kena
otonomi daerah. Dulu, saat saya jadi Menkumham, polisi
juga minta karena bisa langsung tangani penegakan
hukum. Tapi, menurut saya lebih pas di bawah presiden,
tegas Prof. Yusril.44

Kewenangan Polri sebagai penegak hukum tidak bisa


diganggu gugat oleh siapapun, termasuk seorang menteri.
Penyidik Polri berdiri mandiri dan tidak bisa diintervensi oleh
44
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/04/19440031/Wacana.Polisi.
di.Bawah.Kementerian.Ini.Tanggapan.Yusril. diakses tanggal 6 Januari 2015
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/27/kapolri-sutarman-tolak-
polri-berada-di-bawah-kementerian, diakses tanggal 6 Januari 2015
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 129

atasan seperti kapolri sekalipun.45 “Penegakan hukum harus


selalu di bawah yudikatif dan apabila ini dimasukkan ke dalam
kementrian tertentu dan kita punya kewenangan penegakan
hukum yang seperti ini maka itu akan menimbulkan persoalan-
persoalan di kemudian hari, jelas Kapolri Sutarman.”46

Mengingat banyaknya kerumitan dan problematika seperti


diungkapkan Yusril Izha Mahendra dan Adrianus Meliala itu,
maka dalam kerangka presidensialisme yang dianut dalam
sistem politik Indonesia, maka dengan Polri di bawah Presiden
sebagai pimpinan tertinggi penyelenggaraan administrasi
negara antara lain di bidang keamanan dan ketertiban
umum, tata usaha pemerintahan, pelayanan umum dan
kesejahteraan umum, maka Polri memiliki keyakinan akan
penguatan profesionalisme, independensi dan akuntabilitas
publik Polri di masa depan. Meskipun, dalam konteks politisasi
kekuasaan, peluang intervensi Presiden kepada institusi Polri
tetap tinggi, mengingat Presiden merupakan pusat politik,
dan politisasi juga lebih intens terjadi pada tingkat Presiden.
Tetapi dalam posisi Presidedn sebagai kepala pemerintahan
dan kepala negara tentu saja ruang dan akses kontrol terhadap
penyimpangan kekuasaan (abuse of presidential power) masih
tinggi. Mantan  Kapolri  Jenderal  Pol.  Drs.  Sutanto
berpandangan bahwa saat masih menjabat sebagai Kapolri
menegaskan sikapnya seperti di bawah ini:

“…kedudukan Polri yang paling tepat adalah di  bawah


Presiden. Pertimbangannya adalah  bahwa  Polri  selalu 
lebih  efektif  bila  langsung  di  bawah  Kepala Negara
dibandingkan apabila berada di bawah kementerian
karena dengan demikian seorang Kapolri harus selalu ikut

45
Wawancara Prof. Adrianus Meliala, Op Cit.
46
Wawancara Kapolri Sutarman, Op Cit.
130 Sidratahta Mukhtar

dalam setiap rapat kabinet agar dapat secara langsung


mengikuti perkembangan situasi nasional sehingga dapat
bertindak secara cepat. Meskipun Posisi di bawah Presiden
tetapi Polri harus independen dan tidak dikendalikan oleh
penguasa. Dengan menempatkan Polri di bawah Presiden,
maka kecil kemungkinan terjadinya intervensi.47

Dalam perspektif masyarakat sipil menarik pandangan


dari Direkrut Eksekutif The Indonesian Human Rights Monitor
(Imparsial) Poengky Indarti. Indarti mengatakan sebaiknya Polri
tetap seperti sekarang ini di bawah Presiden langsung.”Saya
sampai saat ini belum melihat urgensinya. Justru menurut saya
nantinya akan terjadi tumpang-tindih dengan pekerjaan lain.
Saya menolak polisi di bawah kementerian karena menteri-
menteri banyak yang berasal dari kalangan partai politik
sehingga tidak netral, bisa dimainkan parpol,tegas Poengky.”
Poengky mengatakan, keberadaan Polri di bawah Kementerian
justru bisa menganggu proses penegakan hukum. Bahkan tidak
mungkin hal itu juga membuat kemunduran karena akan seperti
di jaman Orde Baru. Mengenai sikap penolakannya terhadap
penempatan Polri di bawah Kementerian, maka Poengky
mengatakan sebagai berikut: “Saya tidak setuju, saya menentang
keras jika ada wacana meletakkan polisi di bawah Kemhan.
Kalau Polri dimasukkan dalam Kementerian Pertahanan malah
akan kembali ke jaman Orde Baru militeristik, disatukan dengan
TNI di bawah Menhankam. Ini mengkhianati reformasi polisi
dan reformasi TNI.”48

Pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara Dr Pedastaren


Tarigan mengatakan, mengenai usulan Polri yang akan

47
Antara,diakses dari situs :http://www.dephan.go.id/modules.php?name=
News&file=article&sid=7530 Diakses tanggal 5 Januari 2015
48
http://nasional.inilah.com/read/detail/2162272/polri-di-bawah-
kementerian-akan-tumpang-tindih,diakses tanggal 6 Januari 2015
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 131

ditempatkan di bawah institusi Kementerian Dalam Negeri


(Kemendagri) dinilai kurang tepat. Wacana, pemikiran dan
kritik sejumlah tokoh nasional, para ahli dan masyarakat perlu
menjadi masukan bagi Polri agar perannya semakin baik dalam
mengayomi masyarakat yang memerlukan perlindungan
hukum. Aparat kepolisian harus tetap merespons dengan santun,
arif dan bijaksana dalam menjalankan tugas dan melayani
masyarakat.49

Menanggapi berbagai pandangan dan harapan masyarakat


tentang tempat bagi Polri dalam negara, maka Kepala Divisi
Humas Mabes Polri Irjen Pol. Ronny F Sompie mengatakan
kita ikuti saja apa yang menjadi mandat konstitusi yang
telah menempatkan di bawah Presiden. Ronny mengatakan,
hingga saat ini, Presiden Joko Widodo belum memikirkan
tentang wacana tersebut. Meskipun Menteri Pertahanan telah
menjelaskan maksud dari usulan agar Polri berada di bawah
kementerian. Selain itu, lanjut Ronny, berdasarkan TAP MPR
Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta TAP
MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dijelaskan bahwa Polri berada di bawah presiden.50 Sementara
itu, dalam Pasal 7 ayat (2) dalam TAP MPR Nomor VI/MPR/2000,
disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada
di bawah presiden. Posisi Polri di bawah Presiden merupakan
hasil perjuangan reformasi Indonesia. Meskipun demikian,
apapun yang menjadi keputusan Presiden sebagai kepala

49
http://www.antaranews.com/berita/364621/polri-di-bawah-kemendagri-
dinilai-kurang-tepat, diakses tanggal 5 Januari 2015.
50
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/12/17344151/Kadiv.Humas.Polri.
Ikuti.Saja.Aturan.Polri.di.Bawah.Presiden, diakses tanggal 5 Januari 2015
132 Sidratahta Mukhtar

negara, maka Polri akan mengikutinya. Menteri Koordinator


Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno
mengaku, realisasi penempatan polisi di bawah kementerian
tak akan mudah. Tetapi Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto
membandingkan posisi kepolisian dengan negara-negara lain, di
mana Polri berada di bawah kementerian.51

Hal yang menjadi consern pemerintah di bawah


presiden Jokowi-JK ini adalah di mana pemerintah mesti
mempertimbangkan reformasi keamanan di Indonesia tahun
1999 terkait pemisahan TNI dan Polri sesuai amanat dari
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian dan
menempatkan Polri di bawah presiden. Persoalannya, apakah
sudah terjadi pelanggaran dan pengingkaran terhadap UU No
2/2002 itu secara massif, terrencana, dan terstruktur sehingga
memerlukan evaluasi total terhadap eksistensi UU kepolisian
tersebut. Fakta yang terjadi bahwa dengan mandat konstitusi
UU No 2 tahun 2002 tentang kepolisian itu, maka Polri dapat
bergerak maju sesuai dengan peran, fungsi dan wewenang
yang diberikan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia melalui
perwujudan konstitusi tersebut. Anggota Komisi Hukum DPR,
Ruhut Sitompul menilai Kepolisian RI sebaiknya tetap berada
di bawah komando presiden sebagai panglima tertinggi agar
tidak ada kecemburuan antarlembaga karena posisi seperti itu
sudah baik sehingga tidak perlu dirubah lagi. Ruhut Sitompul
menyarankan agar Polri memperbaiki kualitas komunikasi antara
presiden dengan kepolisian. Filosofinya bahwa sesibuk apapun
presiden, tetap harus bisa menjalankan komunikasi dengan baik
dengan lembaga-lembaga negara, termasuk kepolisian. 52

51
ibid
52
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/29/078625230/p-Ruhut-Tolak-Ide-
Polri-di-Bawah-Komando-Menteri 28 November 2014. diakses tanggal 5 Januari 2015.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 133

Kapolri Sutarman sejak awal mendorong kebijakan yang


dapat membangun kemitraan Polri dengan elemen bangsa dan
masyarakat Indonesia. Saat memaparkan visi dan misi dalam uji
kepatuhan dan kelayakan sebagai calon kapolri pada Oktober
2013 itu, Jenderal Sutarman menyampaikan hasil kerja seluruh
personil Polri dalam mengimplementasikan kebijakan jangka
pendek dan jangka panjang Polri sebagai berikut:

1. Di bidang pembinaan, Polri telah memperkuat pelayanan


prima sebagai tindak lanjut dari kebijakan Presiden RI untuk
menambah kekuatan 50.000,- personil Polri dan penataan
sistem rekruitmen yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Sehingga jumlah keseluruhan Polri dan PNS di lingkungan
Polri sebanyak 413.128 personil.
2. Bidang operasional, aspek pemeliharaan keamanan dan
ketertiban, secara umum dianggap terlaksana sesuai rencana
baik dalam kerangka pengawalan pembangunan nasional
maupun dalam kerjasama internasional seperti Pemilukada
(Gubernur dan walikota/bupati), pengawalan natal tahun
baru, dan idul fitri serta hari raya agama-agama di Indonesia.
Penanggulangan konflik sosial, dan bencana alam nasional.
Sedangkan dalam kerangka internasional, hal yang berhasil
dilakukan adalah pengamanan dan kerjasama dalam Sail
Banda 2012, Sail Komodo 2013, Bali Democracy Forum, ASEAN
Summit, pertemuan tingkat tinggi ASEAN dan Afrika, APEC
2013, serta pengiriman pasukan perdamaian (UN Peace
keeping force) di Sudan dan Haiti. 53
3. Pengungkapan kejahatan transnational crime, terutama
terorisme dan narkoba. Penanganan kejahatan terorisme
telah bekerja keras menangkap dan mengungkap kasus

53
Kapolri ibid hal 10-14
134 Sidratahta Mukhtar

terorisme dalam skala besar baik melalui pendekatan


pencegahan maupun pendekatan keras melalui Densus
88 anti teror Polri. Selain itu juga Narkoba, cyber crime, dan
pengungkapan kejahatan terhadap kekayaan negara telah
dilakukan oleh Polri.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Anggoro, Kusnanto, (Editor), Rekam Jejak Proses “SSR” Indonesia
2000-2005 (Jakarta: Propatria Institute, 2006)

Agger, Robert E., Daniel Goldrich and Bert E. Swanson, Clasifying


Power Structure and Political Regime, in Willis D. Hawley and
Frederick M. Wirt, eds., The Search for Community Power,
New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1970.

Ardhanariswati, Dwi dan kawan-kawan, Sistem Keamanan


Nasional Indonesia: Aktor, Regulasi dan Mekanisme
Koordinasi, (Jakarta: Pacivis UI, 2008)

Bahar, Ahmad, Timur Pradopo, Memberi Keladanan Menuai


Kearifan, Jakarta: Medpress, 2011

Bruce and Rachel Neild, The Police that We Want: A Handbook


for Oversight of Police in South Africa,Johannesburg-Open
Society Initiative, 2005

Diamond,Larry, Indonesia’s Place in Global Democracy, dalam


Edward Aspinall and

Marcus Mietzner (ed.) Problems of Democratisation in Indonesia.


Singapore, ISEAS, 2010.
136 Sidratahta Mukhtar

Dahl, Robert A. ”Who Governs?” in Willis D. Hawley and Frederick


M. Wirt, eds. The Search for Community Power, New Jersey:
Prentice-Hall, Inc. 1968.

Djamin, Awaluddin, I. Ketut Ratna, I. Gede Putu Gunawan dan


G. Ambar Wulan, Sejarah Perkembangan Kepolisian di
Indonesia: Dari Zaman Kuno sampai Sekarang (Jakarta:
Yayasan Brata bakti, 2006)

Djamin, Awaloedin, Prof. Dr. Jenderal Polisi (Purn.), Kedudukan


Kepolisian Negara RI Dalam Sistem Ketatanegaraan: Dulu,
Kini dan Esok, (Jakarta: PTIK Press, 2007).

Dwi, Ardhanariswati dan kawan-kawan, Sistem Keamanan


Nasional Indonesia: Aktor, Regulasi dan Mekanisme
Koordinasi, (Jakarta: Pacivis UI, 2008)

Farouk Muhammad dan Hermawan Sulistyo, Reformasi Polri


Pasca Mandiri (Jakarta: PPITK, PTIK, 2003)

______, Menuju Reformasi Polri, PTIK Press dan Restu Agung,


Jakarta, 2005.

Huntington, Samuel P, Gelombang demokratisasi Ketiga


(Terjemahan dari The Third Wave: Democratization in the
Late Twentieth Century: University of Oklahoma, U.S.A,
Jakarta: Pustaka Utama, Cetakan II, 1997)

Isaac, Jeffrey, Conceptions of Power, in Mary Hawkesworth


and Maurice Kogan, eds., Encyclopedia of Government and
Politics.New York: Routledge Reference. 1992.

James, Mahaney, and Kathaleen Thelen, Explaining Institutional


Change, Ambiguity, Agency and Power (New York: Cambridge
University Press, 2010)
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 137

Keliat, Makmur, Telaah Regulasi Polri: Amandemen atau Undang-


Undang Baru, dalam

Kimbrough, Ralph B., Power Structure and Educational Change,


dalam Edgar L. Morphet and Charles O. Ryan (ed.), Designing
Education Future, New York: Citation Press. 1967.

Linz, Juan J. dan Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition


and Consolidation: Southen Europe, South America and Post-
Communist Europe. Baltimore dan London: The John Hopkin
University Press, 1996

Meliala, Adrianus, Mungkinkah Mewujudkan Polisi Yang Bersih?,


Jakarta: Kemitraan, 2005

Muradi, Penantian Panjang Reformasi Polri, (Yogyakarta: Tiara


Wacana: 2009)

M. Nurhasim, dkk, Reformasi Sektor Keamanan: TNI dan Polri:


Jakarta, Ridep Institute dan FES, 2005.

Moyser, George and Margaret Wagstaffe, Research Methods for


Elite Study. London: Allen & Unwin. 1987.

Marsh, David & Gerry Stoker, Teori-Teori dan Metode Dalam


Dalam Ilmu Politik, Edisi II, Cetakan 9, (Bandung: Nusamedia,
2010)

Nuraini Siregar, Sarah, Evaluasi Sepuluh Tahun Reformasi Polri


(Jakarta: LIPI: 2008)

Prihatono, T. Hari, dkk (ed), National Security Framework, Police


Reform: Taking the Heart and Mind,(Jakarta: Propatria, 2008)

Reiner, Robert, The politics of the Police, (New York; Oxford


University Press, Inc., 2000)
138 Sidratahta Mukhtar

Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian: Yogyakarta, Laksbang


Pressindo, 2010.

Samad Rianto, Bibit, Pemikiran Menuju Polri yang Professional,


Mandiri, Berwibawa dan Dicintai Rakyat (Jakarta: PTIK Press
dan Restu Agung, 2006).

_______, Reformasi Polri: Suatu Pemikiran Ke arah Kemandirian


dalam Rangka Menegakkan Supremasi Hukum (Jakarta:
Tanpa Penerbit, 1999)

Samego, Indria, Reformasi Polri: Community policing dan


Permasalahanya, dalam

Muradi, Penantian Panjang Reformasi Polri, (Yogyakarta: Tiara


Wacana, 2009)

Scolnick, Jeremi H., On Democratic Policing, http://www.


policefoundation.org/pdf/62.pdf (Diakses, 20 pebruari 2011)

Turen, Achmad, dkk. Jenderal Polisi R.S. Soekanto Bapak Kepolisian


Negara RI, Djakarta: YBB, 2000. Hal 99

Vredenbregt, J. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta:


Gramedia, 1983)

Yunanto, S, Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, (Jakarta:


Lesperssi, 2008)

________, Reformasi Polri Versi IDSPS, (Jakarta, IDSPS, 2008)

B. Makalah, Jurnal, Surat Kabar dan Internet


Adrianus Meliala, Evaluasi Reformasi Institusi Polri, Guru Besar
ilmu kriminologi FISIP UI, Wawancara Pribadi, Depok, 01
Agustus 2010.
Mengukuhkan Peran Ideal POLRI Di Bawah Presiden 139

Adrianus Meliala, Polisi, BBM, dan Situasi Dilematis, Harian


Nasional Kompas (28 Mei 2008)

Ali, Fachry, Polri sebagai Pengawal Demokrasi: Transformasi


Matriks Sosial Politik Indonesia, Makalah Pidato Ilmiah
dalam Upacara Penutupan Diktupa Reguler XXXVI TA 2008

Mabes Polri, Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi Polri, Jakarta,


Juli 2009.

Farouk Muhammad, Komisi Kepolisian Nasional: Format Masa


kini dan Gagasan Rancangan Masa Depan (Makassar dan
Medan: Makalah Sosialisasi Kompolnas, Mabes Polri, 2005).

Muhammad, Muhammad, Polri dalam Sistem Pertahanan dan


Keamanan, makalah Seminar dan Launching IODAS dengan
tema, “Pertahanan dan Keamanan sebagai Tulang Punggung
Bangsa, 25 Agustus 2008.

Farouk Muhammad, Reformasi Kultural Polri dalam Konteks


Pergeseran Paradigma Kepolisian Abad 21, Pidato Pengukuhan
Guru Besar PTIK, 18 September 2004

Komisi Hukum Nasional tentang Evaluasi Terhadap Efektivitas


Reformasi Polri Hasil Penelitian, (2010)

Komisi Hukum Nasional (KHN) tentang Kajian Evaluasi Komisi


Kepolisian Nasional, Hasil Penelitian, 7 Oktober 2010.

Propatria Institute, Monograph No. 9, Komisi Kepolisian Nasional,


Jakarta, 9 Oktober 2007 hal 1-2

Penelitian LIPI, Problematika Reformasi, dalam Jurnal Penelitian


Politik. Vol. 5, No. 1, 2008

Hasil penelitian Skripsi Mahasiswa PTIK angkatan 39 A, B dan


Khusus tentang Korupsi di Lingkungan Polri.
140 Sidratahta Mukhtar

Rauf, Maswadi, Perkembangan Sistem Politik Indonesia, Bahan


Ceramah yang disampaikan dalam Orientasi Anggota DPR
RI 2009-2014 dari Partai Demokrat, Puncak Bogor, 11 Agustus
2009

Rianto, Bibid S, Pemolisian Demokratis, Makalah Hasil Penelitian


2008, Mabes Polri, 2008.

Samego, Indria, Demokratisasi dan Keamanan, Makalah


disampaikan pada Seminar Nasional CIDES, Kepemimpinan
SBY, Gerakan Terorisme dan Masa Depan Demokratisasi di
Indonesia, Jakarta, 22 Oktober 2009.

Tim Peneliti Strategic Asia, Rekomendasi Kebijakan Sektor


Pertahanan: Tantangan Untuk Pemerintahan Baru, Policy
Brief Strategic ASIA ( Jakarta: Agustus 2009, 5 Februari 2009)

Tempo, Rekening Gendut Perwira Polisi, 28-4 Juli 2010.


Biodata Penulis

Sidratahta Mukhtar adalah dosen tetap ilmu politik pada


Program studi ilmu hubungan internasional FISIPOL Universitas
Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Ia mengajar mata kuliah politik
luar negeri, diplomasi, keamanan dan politik Islam. Mendirikan
dan menjabat Direktur Eksekutif Center For Security and Foreign
Affairs (CESFAS) UKI (2009-2014). Mengajar ilmu politik dan
administrasi negara pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK) (2004-sekarang). Pernah menjadi Visiting Fellow di East
West Center in Washington DC (Pebruari-Maret 2009) dan Senior
Researcher, Institute of Defense and Security (IODAS) Indonesia.
Lahir di Bima, NTB 39 tahun lalu dari pasangan Muchtar Jasin
(alm) dan Siti Maemunnah Abdullah. Alumni College of Security
Studies- Advanced Exercutive Course (ASC) of Asia Pacific Center
For Security Studies (APCSS) (2008).

Sebelum memilih ”homebase” sebagai dosen tetap FISIPOL


UKI, Sidratahta pernah mendirikan dan menjadi Direktur
Eksekutif Center For Human Security Studies (CHSS) Universitas
Paramadina (2006-2008). Pada masa awal reformasi Sidra
mendirikan juga CEDES Indonesia (Center For Empowerment
of Democratic Society) dan menjabat sebagai Direktur Eksekutif
periode 1998-2004, sebuah lembaga kajian dan advokasi
142 Sidratahta Mukhtar

keamanan dan masalah-masalah demokrasi. Di DPR RI Senayan,


pernah menjabat sebagai Tenaga Ahli Badan Kerjasama Antar
Parlemen (BKSAP) dan DPD RI sebagai Staf Ahli Prof. Dr. John
Pieris, SH (anggota DPD Provinsi Maluku). Saat ini menjadi
Direktur Eksekutif IPSS (Institute of Peace and Security Studies)
dan sedang menuntaskan penelitian doktoral tentang ”Kebijakan
Pemberantasan Terorisme di Indonesia” pada program Doktor
ilmu politik Universitas Indonesia.

Beberapa buku yang disusunnya antara lain. Bunga Rampai


Pengembangan Daerah (Editor) Aditya Media, Yogyakarta, 1999.
Kiprah HB X Dalam Kehidupan Bangsa, (Editor), CGGS, 2003. Menulis
dalam Biografi Walikota Malang Peni Soeparto, CEDES Press, karya
Liga Alam Muchtar, 2005, HMI dan Kekuasaan, Prestasi Pustaka
Cetakan I dan II tahun 2006. Buku karya terbaru Sidratahta adalah
Dinamika Politik Islam Dalam Dunia Yang Berubah, diterbitkan
Aynat Publishing Yogyakarta (November 2014).

Ia pernah terpilih sebagai ASIAN Youth Leader dalam World


Youth Peace Summit Asia Pacific (WYPS) tahun 2004. Pembicara
Security Seminar on “Democracy and Challenges In Indonesia:
Security and Defense Reform” di East West Center in Washington
DC. 12 Maret 2009 dan sebagai Pembicara mewakili Asia and
the Pacific dalam Spring Fellow Congress 2010, U.S. House of
Representatives and State Departement pada tanggal 02 Mei 2010
di Kongres Amerika Serikat, Washington DC. Selain itu ia aktif
melakukan parliament and defence diplomacy serta kunjungan
dalam rangka konferensi internasional di Belanda, Amerika
Serikat, Austria, Bosnia Herzegovina, Albania, Turki, Australia,
China, Jerman, Singapura dan Jepang. Komunikasi dengan penulis
bisa melalui e-mail: sidratahtamuhtar@yahoo.com atau telepon:
081219829191.

Anda mungkin juga menyukai