Anda di halaman 1dari 14

Perkembangan Model Pemolisian

a. Dinamika Model-Model Pemolisian

Eksistensi dan fungsi polisi dalam masyarakat adalah didasarkan pada tuntutan
kebutuhan dalam masyarakat itu sendiri atas adanya pelayanan polisi. Dalam sebuah
masyarakat lokal yang hidup di daerah terpencil yang dengan pranata adatnya mampu
mengatur keteraturan sosial sendiri, tidak memerlukan polisi. Akan tetapai masyarakat yang
kompleks (pedesaan maupun kota) di mana pranata adat tidak berfungsi lagi, maka
diperlukan institusi kepolisian untuk mengatur keteraturan sosial untuk menangani dan
mengatasi berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat terutama masalah
keamanan.1

Pada masyarakat yang modern dituntut adanya produktivitas karena dengan adanya
produktivitas tersebut masyarakat dapat tumbuh dan berkembang, sehingga yang tidak
produktif akan dianggap sebagai benalu yang dapat menghambat atau bahkan mematikan
bagi produktifitas tersebut. Salah satu bentuk benalu yang dimaksud di antaranya adalah
gangguan keamanan misalnya berupa tindak kriminal, konflik sosial, kerusuhan dan
sebagainya. Sehingga untuk mengatur dan menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat
diperlukan adanya aturan, norma yang adil dan beradab. Dan untuk menegakkan aturan
tersebut, mengajak masyarakat untuk mematuhi serta menyelesaikan berbagai masalah
sosial dalam masyarakat diperlukan suatu institusi yang dapat bertindak sebagai wasit yang
adil salah satunya adalah polisi.2 Rahardjo berpendapat bahwa di seluruh dunia figur
seorang Polisi yang ideal adalah polisi yang cocok bagi masyarakat. Dengan prinsip tersebut
diatas masyarakat mengharapkan adanya polisi yang cocok dengan masyarakatnya, yang
berubah dari polisi yang antagonis (polisi yang tidak peka terhadap dinamika tersebut dan
menjalankan gaya pemolisian yang bertentangan dengan masyarakatnya) menjadi polisi
yang protagonis (terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia untuk
mengakomodasikannya ke dalam tugas-tugasnya).3

1
Chryshnanda Dwilaksana, “Ilmu Kepolisian, Pemolisian Komuniti, Dan Implementasinya Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri,” Tanggon KosalaVolume 2, Tahun III, Juli 2012 2, no. 3 (2012): 185–
206.
2
Dwilaksana.
3
Dwilaksana.
Selain itu polisi di dalam struktur kehidupan masyarakat berfungsi sebagai pengayom
masyarakat, penegakkan hukum, dengan kata lain polisi mempunyai tanggung jawab khusus
untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk
tindakan terhadap kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota
masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram. 4 Dengan kata lain
kegiatan-kegiatan polisi adalah berkenaan dengan sesuatu gejala yang ada dalam kehidupan
sosial dari sesuatu masyarakat yang dirasakan sebagai beban ataupun gangguan yang merugikan
para anggota masyarakat tersebut.5 Menurut Bayley6 untuk mewujudkan rasa aman itu mustahil
dapat dilakukan oleh polisi saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara pemolisian yang
konvensional yang dilibat oleh birokrasi yang rumit, mustahil terwujud melalui perintah-
perintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat
yang satu dengan tempat yang lain.

Untuk mencapai Polisi yang profesional dan pemolisian yang efektif diperlukan
pemolisian yang dilandasi dengan ilmu pengetahuan sehingga dapat menyesuaikan dengan
corak masyarakat dan kebudayaan serta lingkungan yang dihadapinya. Pemolisian (Policing)
adalah cara pelaksanaan tugas polisi yang mengacu pada hubungan antara polisi dengan
pemerintahan maupun dengan masyarakat yang didorong adanya kewenangan, kebutuhan serta
kepentingan baik dari pihak kepolisian, masyarakat maupun dari berbagai organisasi lainnya.7

Gaya pemolisian dapat dilihat adanya ciri-ciri tertentu yang menunjukan posisi
kedudukannnya dalam pengorganisasian yang digunakan sebagai kerangka kerja dalam
hubungannya secara intern (dalam organisasi kepolisian) dan kemasyarakatan, yang berkaitan
dengan kekuasaan, kewenangan dan kemampuannya untuk menentukan tindakan pemolisiannya
serta jangkauan kontrolnya atas tuntutan legitimasi peradilan pidana. Dalam prakteknya
tindakan diskresi merupakan unsur penting dari gaya pemolisian, tindakan ini adalah suatu
proses untuk menggunakan kekuasaan dan kewenangan polisi yang ditentukan oleh petugas
kepolisian. Variasi gaya pemolisian yang secara garis besar dapat dibagi dua yang pertama
adalah pemolisian konvensional (ada yang menyebut sebagai pemolisian tradisional) yang
menekankan pada kepolisian dan aktivitas kepolisian dalam rangka pencapaian kondisi

4
Hasrya W Bahtiar, Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu Baru (Jakarta: PTIK- Gramedia, 1994), 1.
5
Dwilaksana, “Ilmu Kepolisian, Pemolisian Komuniti, Dan Implementasinya Dalam Penyelenggaraan
Tugas Polri.”
6
David H Bayley, Police for the Future.Diterjemahkan Dan Disadur Oleh Kunarto (Jakarta: Cipta
Manunggal, 1994).
7
Mark Finlay and Ugljesa Zvekic, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat. Diterjemahkan Dan
Disadur Oleh Kunarto ( Jakrta: Cipta Manunggal, 1993), 9.
keamanan dan keteriban melaui Kecepatan tindakan (secara reaktif dan proaktif) dan
penegakkan hukum serta memerangi kejahatan (Crime fighter).8 Jenis-jenis pemolisian yang
berada dalam kelompok ini adalah: pemolisian reaktif (reactive policing), pemolisian ala
pemadam kebakaran (fire brigade policing), pemolisian para militer (paramilitary policing),
pemolisian tipe putar nomor telpon (dial-a-coppolicing), pemolisian reaksi cepat (rapid
response policing), pemolisian profesional dan pemolisian berorientasi demopenegakan hukum
(enforcement-oriented policing). Kedua adalah pemolisian modern yang merupakan antitesa dari
pemolisian konvensional, yang mempraktekan gaya pemolisian ini, sadar sepenuhnya akan
keterbatasannya dalam berbagai hal guna mencapai tujuan-tujuan kepolisian pada umumnya.
Untuk itu yang dilakukan adalah penuntasan masalah (problem solving policing),9 kegiatan yang
sepenuhnya berorientasi pada pelayanan atau jasa-jasa publik (public service policing),
pemolisian dengan mengandalkan pada sumber daya setempat (resource bahbased policing) dan
dilakukan bersama-sama dengan masyarakat (community policing).10

Polisi Indonesia (Polri) selama lebih dari tiga dasawarsa berada di bawah ABRI
(Angkatan Bersenjata Republik Indionesia), yang pada timasa reformasi telah mandiri.
Kemandirian Polri diawali sejak terpisahnya dari ABRI tanggal 1 April 1999. Sebagai bagian
dari proses reformasi bangsa Indonesia haruslah dipandang dan disikapi secara arif sebagai
tahapan untuk mewujudkan Polri yang profesional dan yang berorientasai pada pelayanan
keamanan masyarakat, dalam tata kehidupan masyarakat modern yang demokratis. Kemandirian
Polri dimaksud bukanlah untuk menjadikan institusi yang tertutup dan berjalan serta bekerja
sendiri, namun tetap dalam kerangka ketata negaraan dan pemerintahan negara kesatuan
Republik Indonesia yang utuh. Corak masyarakat Indonesia adalah majemuk yang otoriter dan
militeristik (masa Orba) dan saat ini (dalam era reformasi menuju masyarakat sipil yang
demokratis). Menurut van den Berghe dalam Suparlan dikatakan bahwa : “ masyarakat
majemuk yang otoriter dan militeristik mempunyai ciri-ciri kekejaman dan kekerasan terhadap
rakyatnya sendiri”. Kekejaman dan kekerasan oleh negara atau pemerintah terhadap rakyatnya
sendiri tersebut dikarenakan penguasa negara atau oknum-oknumnya tidak menginginkan
adanya Ketidakpatuhan dari penentangan terhadaptindakan-tindakan eksploitatif yang rakus dan
sewenang-wenang dari para penguasa tersebut. Dampak dari kekerasan dan kekejaman
terhadap warga masyarakat tersebut oleh negara, adalah bahwa pada waktu rezim otoriter
8
Dwilaksana, “Ilmu Kepolisian, Pemolisian Komuniti, Dan Implementasinya Dalam Penyelenggaraan
Tugas Polri.”
9
Dwilaksana.
10
Adrianus Meliala, Kumpulan Tulisan Menjelang Dan Sesudah Polri Keluar Dari ABRI (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1999).
tersebut runtuh maka berbagai bentuk kekerasan dan kerusuhan yang dapat berpotensi
disintegrasi”. Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural society) yang beraneka
ragam suku bangsa dan kebudayaannya serta amat kompleks kehidupan sosial, ekonomi,
dan politiknya. Yang rawan terhadap masalah-masalah sosial yang dapat mengganggu
keamanan dan ketertiban baik tingkat lokal maupun nasional.11 Dan hal tersebut menjadi
tantangan bagi Polri dalam melaksanakan pemolisiannya. Hampir semua permasalahan
dalam masyarakat majememuk Indonesia hanya dapat dipecahkan secara holistik atau
sistemik (merupakan kesatuan yang bulat dan menyeluruh), maka untuk meredam atau
memecahkan berbagai gejala yang dapat mengakibatkan permasalahan tersebut dibutuhkan
kemampuan untuk mengidentifikasi, meneliti, dan menganalisa, yang dapat digunakan
sebagai rekomendasi dalam pengambilan keputusan yang tepat. Dan hal tersebut menjadi
tantangan bagi Polri dalam melaksanakan pemolisiannya.12

Polri dalam melaksanakan pemolisianya harus meninggalkan gaya militeristik yang


diganti dengan pemolisian yang sesuai dengan fungsi polisi sebagai kekuatan sipil yang
diberi kewenangan untuk menjadi pengayom masyarakat dan penegak hukum. Dan untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Model pemolisian dalam penyelenggaraan
tugas Polri agar dapat berjalan secara efektif dan dapat diterima atau cocok dengan
masyarakatnya (sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaannya)adalah pemolisian yang
berorientasi pada masyarakat. Yang dibangun melalui kemitraan (partnership) dan
memecahkan masalah sosial yang terjadi (Problem solving). Dalam hal ini pemolisiannya
tidak dapat disamaratakan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Tetapi dalam
pemolisiannya berupaya untuk memahami berbagai aspek yang mempengaruhi antara lain
corak masyarakat, kebu- dayaannya, gejala-gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat dsb.
Untuk menerapkan pemolisian yang cocok dengan masyarakatnya, para petugas Polri tidak
dapat tidak untuk mem- pelajari Pengetahuan tersebut yang tercakup dalam ilmu kepolisian.13

Dengan mempelajari dan mengembangkan ilmu kepolisian, para petugas Polri akan
mampu mengimplementasikan dalam pemolisiannya sbb : (1) mengamati fenomena di
sekelilingnya dengan cermat (observasi terhadap berbagai gejala atau peristiwa, menemukan
data yang bermanfaat bagi pemolisiannya, (2) Menganalisa gejala, peristiwa, fenomena yang
terjadi secara kritis, dialektis, komparatif, maupun dialogis, (3) Melihat, meramalkan atau
11
Dwilaksana, “Ilmu Kepolisian, Pemolisian Komuniti, Dan Implementasinya Dalam Penyelenggaraan
Tugas Polri.”
12
Dwilaksana.
13
Dwilaksana.
memprediksi hubungan antara gejala yang satu dengan yang lainnya secara logis dan
sistematis yang berguna dalam menentukan strategi-strategi pemolisiannya sebagai upaya
preventif (crime prevention), (4) memecahkan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam
masyarakat dan memberikan solusinya (problem solving policing), (5) Mengembangkan
kreatifitas dalam pemolisiannya sehingga dapat diterima oleh masyarakatnya dan berguna
dalam kehidupan masyarakat. Kususnya yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban
yang dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya kualitas hidup masyarakat. Dan yang
tidak kalah pentingnya Polri dapat dipercaya oleh masyarakat, dan dapat melakukan tugas
dan fungsinya dengan baik.

Polisi melakukan pekerjaannya dengan menggunakan pemolisian baik melalui cara


yang bersifat preemtif, preventif, rehaabilitatif maupun represif. Pemolisian dalam
penerapannya mempunyai bentuk yang variatif dan memiliki banyak alternatif. Akan tetapi,
secara umum dan mendasar secara prinsip dapat dikategorikan ke dalam beberapa bidang,
yakni kepemimpinan, operasional, administrasi maaupun capacity building. Pemolisian dapat
diartikan dengan segala usaha atau upaya yang dilakukan Polisi dalam rangka mewujudkan
keteraturan sosial secara managemen maupun operasional, baik dengan atau tanpaa upaya
paksa.14

Model-model Pemolisian memiliki berbagai ragam bentuk, namun secara umum dapat
dibedakan menjadi dua model pemolisian, yakni pemolisian konvensional dan kontemporer.
Pemolisian konvensional dapat dijelaskan sebagai model Pemolisian yang reaktif dan lebih
menitikberatkan pada langkah-langkah penegakkaan hukum dan memerangi kejahatan.
Terdapat kritik terhadap model pemolisian konvensional yakni Pemolisian yang dapat
dikatakan tidak melakukan pencegahan dengan kata lain polisi baru akan bertindak setelah
terjadi gangguan atau kejahatan. Reaktif dilakukan sebagai respon yang didasarkan pada
laporan atau aduan masyarakat.15

Pemolisian kontemporer dilakukan sebagai pemolisian yang proaktif dan problem


solving yang lebih mengedepankan pada pencegahan, kemitraan Polisi dengan masyarakat,
dan membangun agar keberadaan Polisi aman, menyenangkan dan bermanfaat bagi warga
masyarakat dalam terwujudnya dan terpeliharanya keamanan dan rasa aman. Polisi mampu
mengurangi rasa ketakutan warga masyaralat akan adanya gangguan keamanaan, ketertiban
14
Chryshnanda Dwilaksana, “Model Pemolisian,” TransIndonesia.co, January 14, 2015,
https://transindonesia.co/2015/01/model-pemolisian-2/.
15
Dwilaksana.
masyarakat. Dalam implementasi Pemolisian dapat dikatagorikan yang berbasis wilayah,
kepentingan dan berbasis penanganan dampak maasalah. Penjabaran dari Pemolisian ini
dapat dikembangkan dalam berbagai model lagi yang bervariasi dan bisa mengacu pada corak
masyaralat dan kebudayaanya.16

Model Pemolisian yang berbasis wilayah dapat dikategorikan dalam model


Pemolisian wilayah : a. Perkotaan, b. Pedesaan, c. Kawasan pantai, d. Kawasan pertanian dan
perkebunan, e. Kawasan industri, f. Kawasan pemukiman, g. Kawasan hutan, h. Jalur-jalur
sungai, i, danau, j. Jalur-jalur lintasan, dan sebagainya. Pemolisian yang berbasis kepentingan
dapat dikategorikan dalam berbagai model Pemolisian: 1. Preemtif, 2. Preventif, 3.represif, 4.
Edukasi, 5. Rehabilitasi. Pemolisian yang berbasis penanganan dampaak masalah dapat
dikategorikan dalam berbagai model Pemolisian : A. Ideologi, B. Politik. C. Ekonomi, D.
Sosial budaya E. Keamanan, F. Keselamatan, dan sebagainya. Penjabaran model-model
tersebut bisa menjadi bagian dari berbagai alternatif gaya Pemolisian yang model Pemolisian
ini dapat dijadikan manual book sebagai dasar atau acuan bagi petugas-petugas Polisi pada
tingkat Mabes, Polda, Polres maupun Polsek.17

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa model pemolisian atau yang sering
juga disebut dengan gaya pemolisian memiliki bentuk yang bermacam-macam atau
bervariasi, secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua bentuk. Pertama, adalah pemolisian
konvensional (ada yang menyebut sebagai pemolisian tradisional) yang menekankan pada
kepolisian dan aktivitas kepolisian dalam rangka pencapaian kondisi keamanan dan
keteriban. Jenis-jenis pemolisian yang berada dalam kelompok ini adalah pemolisian reaktif
(reactive policing), pemolisian ala pemadam kebakaran (fire brigade policing), pemolisian
para militer (paramilitary policing), pemolisian tipe putar nomor telpon (dial-a-cop policing),
pemolisian reaksi cepat (rapid response policing), pemolisian profesional dan pemolisian
berorientasi penegakan hukum (enforcement-oriented policing). Kedua adalah pemolisian
modern adalah antitesa dari pemolisian konvensional , yang mempraktekan gaya pemolisian
ini sadar sepenuhnya akan keterbatasannya dalam berbagai hal guna mencapai tujuan–tujuan
kepolisian pada umumnya. Untuk itu yang dilakukan adalah penuntasan masalah (problem
solving policing), kegiatan yang sepenuhnya berorientasi pada pada pelayanan atau jasa-jasa
publik (public service policing), pemolisian dengan mengandalkan pada sumber daya

16
Dwilaksana.
17
Dwilaksana.
setempat (resource based policing) dan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat
(community policing).18

Gaya pemolisian sebagai model yang melatarbelakangi tindakan atau aktivitas


kepolisian dalam mengatasi berbagai masalah sosial dalam masyarakat yang berkaitan
dengan keamanan dan ketertiban dan pencegahan terjadinya tindak kejahatan diperlukan juga
pemahaman tentang masyarakatnya dengan berbagai masalah dan sistem sosial yang ada di
dalamnya serta aspek intern kepolisian sendiri yang mencakup sistem manajemen,
kebijaksanaan – kebijaksanaan yang mempengaruhi dan dijadikan pedoman oleh para petugas
kepolisian dalam melaksanakan tindakan operasionalnya.19

Penanganan masalah keamanan dan ketertiban di masyarakat tidak bisa disamaratakan


antara daerah satu dengan daerah yang lain. Masing masing daerah mempunyai situasi,
kondisi dan karakteristik yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Oleh karena itu
dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban tidak bisa diseragamkan antara satu
daerah dengan daerah lain. Di dalam organisasi Polri kepolisian di tingkat kabupaten atau
Kotamadya ditangani oleh Kepolisian Resort (Polres), yang merupakan kesatuan yang
terlengkap pada tingkat daerah kabupaten tentunya lebih mengetahui dan memahami tingkat
kebutuhan ataupun ancaman serta gangguan kamtibmas yang terjadi di darerahnya.20

Reformasi Polri dapat dilakukan melalui perubahan baik secara struktural,


instrumental dan kultural salah satu sasarannya adalah bentuk kepolisian nasional yang
pelaksaan operasionalnya difokuskan pada tingkat Polres sebagai komando operasional dasar
(KOD) atau basic police unit atau kepolisian pada kota madya ataupun kabupaten.
Trojanovicz (1998) kepolisian yang berorientasi pada masyarakat perlu adanya :”An equal
commitment to community-oriented government – Community-oriented government adapts
the principles of community policing to the delivery of municipal services to neighborhoods”.
Polres dijadikan sebagai KOD karena sebagai satuan kepolisian yang terdepan dan terlengkap
unsur ataupun fungsi dan bagian-bagiannya. Dengan KOD pada tingkat polres berarti adanya
kewenangan ataupun otonomi dari polres untuk memberikan pelayanan yang prima kepada
masyarakat, serta dapat mengembangkan berbagai kreatifitas dan inovasi baru dalam

18
Susi, “Gaya Pemolisian,” Tribratanews, December 16, 2022,
https://tribratanews.kepri.polri.go.id/2019/12/23/gaya-pemolisian/.
19
Susi.
20
Susi.
menyelesaikan berbagai masalah sosial ataupun bekerja sama dengan masyarakat dalam
menciptakan Keamanan dan ketertiban.21

Di negara negara yang demokratis sekarang ini lebih mengedepankan penerapan


community policing (pemolisian komuniti) sebagai alternatif gaya pemolisian yang
berorientasi pada masyarakat dalam menyelesaikan berbagai masalah di dalam masyarakat.
Dalam hal tersebut polisi sebagai katalisator atau sebagai fasilitator yang besama-sama
dengan masyarakat di lingkungannya berupaya untuk mengantisipasi atau mencegah
terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di lingkungannya. Elemen kunci dalam
menentukuan terwujudnya masyarakat demokratis yang efektif melalui pemberdayaan
masyarakat sipil Masyarakat sipil mungkin ada tanpa demokrasi tetapi demokrasi tidak bisa
ada tanpa masyarakat sipil yang kuat.22

Kondisi sosial kehidupan masyarakat Indonesia begitu kompleks, demikian pula di


masa-masa mendatang kondisi sosial masyarakat akan menjadi lebih kompleks. Sehingga
menuntut institusi kepolisian lebih profesional, kepolisian yang memiliki kemampuan
menganalisis dan mengatasi masalah-masalah ketertiban dan keamanan umum dalam
masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang cepat.23

Polri menyadari sepenuhnya, bahwa salah satu tuntutan reformasi, adalah Polri
harus menjadi Kepolisian sipil (civilian police). Untuk itu, Polri harus dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan kehidupan masyarakat, dengan cara merubah paradigma yang
menitik-beratkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan) menuju
pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan mengedepankan
kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-masalah sosial dan konflik sosial yang terjadi
dimasyarakat.24

Perubahan struktural pasca berpisahnya organisasi Polri dari Tentara Nasional


Indonesia adalah diberlakukannya suatu konsep yang terintegrasi sebagai polisi nasional
dengan pendekatan dari bawah "bottom up". Dalam semangat ini pula Polri juga telah
melakukan upaya kemitraan dengan masyarakat melalui program Community Policy (COP),
yang saat ini sudah ditingkatkan menjadi program Pemolisian Masyarakat (Polmas). Melalui

21
Susi.
22
Susi.
23
Harsja W Bachtiar, Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan Yang  Baru. (Jakarta: PTIK
dan PT. Gramedia Widiasana Indonesia, 1994), 11.
24
Monica Tanuhandaru and Ahsan Jamet Hamidi, Program Pemolisian Masyarakat ( Jakarta: IDSPS
Press, 2009), 5.
bantuan Lembaga swadaya masyarakat nasional maupun internasional, program ini telah
diujicobakan di berbagai wilayah di Indonesia.25

Polri telah menetapkan sebuah strategi pemolisian yang disebut dengan Pemolisian
Masyarakat (Community Policing). Pemolisian Masyarakat, tidak hanya merupakan suatu
program, tetapi juga sebagai suatu falsafah yang menggeser paradigma konvensional
menjadi suatu model pemolisian baru dalam masyarakat madani. Model ini pada hakekatnya
menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai obyek tetapi mitra Kepolisian dan
pemecahan masalah.26

Pengertian Polmas berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Kapolri No. 3 Tahun 2015
Tentang Pemolisian Masyarakat adalah suatu kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui
kemitraan antara anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan
mengidentifikasi permasalahan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di
lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya. Kemudian timbul sebuah pertanyaan,
tentang siapakah anggota Polri yang bertugas mengemban fungsi Polisi Masyarakat.
Menjawab pertanyaan ini, maka dapat dilihat ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Kapolri
No. 3 Tahun 2015, yang menyatakan bahwa: Pengemban Polmas adalah setiap anggota Polri
yang melaksanakan Polmas di masyarakat atau komunitas. Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka
4 Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat yang disebut
dengan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat)
adalah pengemban Polmas di desa atau kelurahan.27

b. Pemolisian Demokratis

Perkembangan konsep democratic policing menjadi perdebatan akademis penting


sebagai dampak dari tren penggunaan model dan praktek pemolisian di negara-negara
demokrasi. Menurut Chaerul Nuriman (2021), model pemolisian demokratis berhasil
diteorisasikan oleh para ahli kepolisian karena terdapat sejumlah indikator yang terjadi pada
perubahan-perubahan polisi di sejumlah Negara seperti Afrika. Kasus kemajuan polisi di
Afrika Selatan pasca apartheid ditandai dengan akuntabilitas di badan kepolisian mereka
dalam praktek petugas polisi menegakkan hukum guna memenuhi kebutuhan masyarakat

25
Beni Sukadis, Almanak Reformasi Di Sektor Keamanan Indonesia. (Jakarta: LESPERSSI dan
DCAF, 2009), 154.
26
Sukadis, Almanak Reformasi Di Sektor Keamanan Indonesia.
27
Raja Muda Satria Siregar, “Peran Polisi Masyarakat Dalam Mewujudkan Sistem Keamanan Di
Masyarakat (Studi Di Polrestabes Medan)” (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2017).
(Nuriman, 2021:11-12). Demokratic policing menekankan pada pemolisian memenuhi
prinsip dan kaidah demokrasi, yaitu akuntabel, pengawasan dan transparansi.

Dalam konteks fungsi pemolisian (policing), kompleksitas peran polisi dan gerakan
menuju pemolisian berbasis demokratis memerlukan pentingnya profesionalisme anggota
polisi. Pasalnya, pemolisian bukan lagi tugas yang relatif sederhana akan tetapi peran petugas
polisi dalam masyarakat demokratis saat ini sangat signifikan dan kompleks. Terlebih lagi,
dari semua fungsi lembaga pemerintah, fungsi polisi adalah fungsi paling intim yang
berhadap-hadapan langsung dengan masyarakat.(Kuykendall, 2002).

Model kepolisian Afrika Selatan menurut Chaerul Nuriman telah mengandopsi


standar-standar dan mengadopsi peraturan-peraturan baru yang sejalan dengan tujuan
pemolisian demokratis. Landasan democratic policing berkaitan dengan pandangan bahwa
kehadiran polisi sebagai penegak hukum dan institusi sipil masyarakat. Menurutnya, fungsi
pemolisian tidak hanya untuk menurunkan angka kejahatan melainkan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pada intinya democratic policing menekankan pada tercapainya
kemitraan masyarakat dan sekaligus merespon human security. Di Indonesia, democratic
policing ini dipandang sebagai kemampuan polisi dalam menjaga kearifan lokal.(Nuriman).
Kerangka dasar relasi polisi dalam masyarakat demokratis diantaranya dikembangkan oleh
Garry T Marx (1999) organisasi polisi perlu menekankan pada aturan hukum yang menganut
nilai-nilai yang menghargai martabat manusia. Mengedepankan kehati-hatian ketika
memasuki ranah warganegara, serta adanya akuntabilitas publik.

c. Pemolisian Prediktif
Pemolisian prediktif bermanfaat dalam membantu kepolisian pada tempat dan waktu
yang tepat untuk memberikan layanan dan mencegah kejahatan dengan sumber daya yang
lebih efisien (Gascon, G, 2013). Namun pemolisian prediktif bukanlah sesuatu yang baru. Ini
adalah penggabungan strategi dan taktik polisi yang saling terkait yang sudah ada, seperti
kepolisian yang dipimpin intelijen dan pemecahan masalah. Ini hanya membawa mereka
semua di bawah payung prediktif kepolisian,berbasiskan data dan informasi yang luar biasa
banyak dan besar dari beragam sumber (kepolisin dan non kepolisian), diintegrasikan,
kemudian dianalisis dan ditangani dengan benar dan tepat (Casady, T, 2013) (Uchida, G,
2013) (Miller, J, 2013) .
Perry, L Wlter att all,(2013), selanjutnya mengemukakam bahwa Pemolisian prediktif
adalah penerapan teknik analitis khususnya teknik kuantitatif untuk mengidentifikasi
kemungkinan sasaran intervensi polisi dan mencegah kejahatan atau memecahkan kejahatan
masa lalu dengan membuat prediksi statistik. Penggunaan statistik dan geospasial analisis
untuk memperkirakan tingkat kejahatan telah ada selama beberapa dekade. Dalam beberapa
tahun terakhir, bagaimanapun, ada lonjakan minat pada alat analitik yang menggunakan
kumpulan data yang sangat besar untuk membuat prediksi dalam mendukung pencegahan
kejahatan. Alat-alat ini sangat meningkatkan polisi ketergantungan departemen pada
teknologi informasi (TI) untuk mengumpulkan, memelihara, dan menganalisis kumpulan data
tersebut.

d. Pemolisian Masyarakat

Peter Manning (1984) dalam (Sparrow et al ., 1990) mengemukakan bahwa konsep


pemolisian masyarakat memiliki empat arti: Ideologi , yaitu , pemulihan rasa komunitas pada
waktu sebelumnya ketika komunitas lebih Bersatu dan polisi mendapat bantuan dan
dukungan dari warga; Program , yaitu , Polmas melibatkan serangkaian program untuk
mengembalikan kedekatan polisi dengan masyarakat meskipun ini mungkin tidak ada
hubungannya dengan kejahatan; Pragmatis , yaitu , polisi ingin menunjukkan diri mereka
sebagai kurang birokratis dan impersonal dan lebih terfokus pada kejahatan dan
terpusat; dan Organisasi , yang berarti penekanan pada pemolisian area atau tim dan
komunikasi yang luas dan intensif dengan kelompok masyarakat. Pemolisian masyarakat juga
bisa didefinisikan sebagai "bijaksana , berorientasi layanan kepolisian yang bertujuan
meningkatkan kualitas hidup. Model Pemolisian Masyarakat adalah model dan ideologi
Polisi yang baik dan demokratis. Istilah community policing menyiratkan kemitraan, kerja
sama, ketanggapan, pelayanan, akuntabilitas, transparansi dan kini menjadi peringatan
standar tentang cara mempraktekkan pemolisian yang efektif, demokratis, atau, lebih umum,
baik dan profesional. (Barlow, 2009)
Hermann Goldstein (1979) mengemukakan “Model klasik” kepolisian memiliki telah
dikritik karena inefisiensi relatifnya dalam menyelesaikan kejahatan sebagai petugas polisi
dijauhkan dari sumber utama intelijen: jejaring sosial dan local komunitas. Dilain pihak
sebenarnya masyarakat (community) harus dipahami sebagai pembantu polisi. Oleh kerena
itu dalam Pemolisian Masyarakat perlu pendekatan pemecahan masalah masyarakat, maka
masyarakat merupakan peran mitra potensial dalam menghasilkan solusi jangka panjang
untuk mengatasi permasalahan sosial, ketertiban umum dan kejahatan. Goldstein, H (1979).
Pemolisian masyarakat adalah adalah strategi polisi yang melibatkan masyarakat dalam
menguraikan solusi untuk beragam masalah dan insiden sekaligus juga sebagai sarana untuk
mengurangi beban kerja polisi.
Pemolisian Masyarakat merupakan kepolisian, yang menghormati norma-norma
hukum, profesional dan demokratis, serta model ideologis dan kebijakan yang dianut dalam
pernyataan misi, tujuan polisi, dan menjadi program reformasi oleh hampir semua kekuatan
kepolisian di berbagai negara untuk menjadi modern. Kepolisian terbuka untuk ide-ide baru,
sadar akan permasalahan domestik dan global serta berkomitmen pada standar profesional
yang mampu berbicara dalam bahasa masyarakat.(Caparini dan Marenin, 2004; Friedman,
1992; Lab dan Das, 2003; Neild, 2002). Pemolisian masyarakat didasari oleh kesadaran
bahwa sistem pemolisian, tidak terjadi dalam ruang hampa politik dan sosial, tetapi sangat
dipengaruhi oleh: a) Tradisi dan struktur sosial dan budaya yang ada. b) Cara-cara
konvensional dalam melakukan pemolisian. c) Bahasa dan wacana budaya dan ideologis yang
menopang bentuk-bentuk itu. d) Basis modal sosial yang ditemukan dalam masyarakat sipil.
Makin besarnya ancaman keamanan tradisional dan non tradisional, termasuk health
security dewasa ini, maka diperlukan pilihan atas model-model pemolisian. Model
pemolisian konvensional mengacu pada pendekatan proaktif, problem solving, kemitraan,
law enforcement dan crime fighter. Sementara itu, menurut Chrisnanda, model kekinian
terutama community policing merupakan pengembangan dari model-model tersebut di atas,
dengan fokus pada upaya pencegahan untuk melayani masyarakat terutama kualitas
hidupnya. Turunan pemolisian itu dibagi tiga; berbasis wilayah, berbasis kepentingan dan
berbasis dampak masalah. Hal pokok dalam model pemolisian adalah ketika memiliki
pedoman dan acuan dasar. (Dwilaksana, 2015: 98-90). Satjipto Rahardjo pendekatan Polmas
di Indonesia didasarkan pada kesamaan kepentingan dan berbasis pada wilayah kabupaten,
kota, kecamatan bahkan pada tingkat desa.(Rahardjo,2002).
Secara konvensional porsi terbesar dari misi (tugas) Polri adalah menjaga keamanan
dan ketertiban umum, menegakkan hukum yang dijiwai dari semangat melayani dan
melindungi. Namun pengertian keamanan mengalami perkembangan mencakup keamanan
umum dan keamanan manusia. (Farouk Muhammad, Kajian Konstitusional tentang Peranan
Polri dalam Pengelolaan Keamanan Negara, 2005). Peranan Polri harus dipahami secara
kontekstual mencakup; pembinaan potensi masyarakat,monitoring dan deteksi. Pencegahan
perkembangan gangguan umum, penegakkan hukum dan pemulihan kondisi sosial dan
gangguan terhadap keamanan Negara. (Muhammad,2005).
Pendekatan konvensional berpandangan kepolisian sebagai lembaga pemerintah yang
bertanggungjawab dalam masalah penegakan hukum. Organisasi kepolisian sangat bersifat
sentralistik dan hanya melibatkan banyak regulasi dan kebijakan. Community policing
mendasarkan pada polisi sebagai masyarakat, dan masyarakat adalah polisi. Efektivitas tugas
polisi berhasil ketika menjalin dan memelihara kedekatan dengan masyarakat. Klien polisi
adalah pelayan masyarakat, sehingga nilai akuntabilitas kepolisian ditekankan pada
akuntabilitas yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat.(Muhammad,2018) Menurut
Samuel Walker, membangun dan memelihara kedekatan dengan masyarakat. (Walker, 2002).
Mengubah sistem pemolisian dari yang konvensional pada community oriented
policing dapat menimbulkan resistensi. Pimpinan polisi perlu mengerahkan extra energy
untuk mengubah kultur fundamental organisasi, sebab ada hambatan yang kuat dimana
terdapat sub kultur dari kelompok tertentu yang menolak pada perubahan (Walker, 1992).
Kekuasaan pemerintah dalam konstitusi Negara, termasuk polisi takut melanggar batasan
konstitusional. Community Policing (CP) bisa saja dikatakan melanggar batas-batas
konstitusional tentang peran yang dibebankan pada mereka. CP melibatkan intervensi polisi
yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat. Kepolisian mungkin tidak bisa dihindari
untuk ikut/turut berpartisipasi dalam upaya perumusan kebijakan politik lokal dalam rangka
peningkatan kehidupan masyarakat setempat. David Baylay(Walker, 1992). Tindakan yang
dipilih polisi malah berpotensi bertentangan dengan hak-hak masyarakat. CP menempatkan
responsibilitas tinggi untuk memahami kebutuhan masyarakat. Banyak riset menyarankan
polisi harus mendekatkan diri dengan masyarakat, bersama-sama memecahkan masalah yang
dihadapi warga. Lahirnya filosofi CP Amerika Serikat dimana komponen utamanya
partnership dan problem solving.(Baylay, 1992). Menurut Geller dan Swanger, keselamatan
publik adalah tanggungjawab komunitas. Pelayanan kepolisian menjadi tergantung pada
keadaan. Kuncinya polisi dapat membangun kesalingpercayaan antara polisi dan warga.
(Baylay, Geller dan Swanger, 1992).

e. Pemolisian Kolaboratif

Peter Kratcoski (2016) memperkenalkan model policing yang baru, collaborative


policing. Antara polisi, akademisi, komunitas melakukan kolaborasi atau kemitraan,
bekerjasama untuk mendorong proteksi dan preventif terhadap segala bentuk kejahatan dan
gejala disorientasi sosial. Pola kolaborasi model ini ingin mengharmoniskan antara teori dan
praktek baik dalam partisipasi yang setara maupun desain kebijakan, implementasikannya
dan mengevaluasi dampak-dampaknya.(Kratcoski,2019).

Referensi

Bachtiar, Harsja W. Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan Yang Baru. Jakarta:
PTIK dan PT. Gramedia Widiasana Indonesia, 1994.
Bahtiar, Hasrya W. Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu Baru. Jakarta: PTIK- Gramedia,
1994.
Bayley, David H. Police for the Future.Diterjemahkan Dan Disadur Oleh Kunarto. Jakarta:
Cipta Manunggal, 1994.
Dwilaksana, Chryshnanda. “Ilmu Kepolisian, Pemolisian Komuniti, Dan Implementasinya
Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.” Tanggon KosalaVolume 2, Tahun III, Juli 2012 2,
no. 3 (2012): 185–206.
———. “Model Pemolisian.” TransIndonesia.co, January 14, 2015.
https://transindonesia.co/2015/01/model-pemolisian-2/.
Finlay, Mark, and Ugljesa Zvekic. Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat.
Diterjemahkan Dan Disadur Oleh Kunarto. Jakrta: Cipta Manunggal, 1993.
Meliala, Adrianus. Kumpulan Tulisan Menjelang Dan Sesudah Polri Keluar Dari ABRI.
Jakarta: Universitas Indonesia, 1999.
Siregar, Raja Muda Satria. “Peran Polisi Masyarakat Dalam Mewujudkan Sistem Keamanan
Di Masyarakat (Studi Di Polrestabes Medan).” Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara, 2017.
Sukadis, Beni. Almanak Reformasi Di Sektor Keamanan Indonesia. Jakarta: LESPERSSI dan
DCAF, 2009.
Susi. “Gaya Pemolisian.” Tribratanews, December 16, 2022.
https://tribratanews.kepri.polri.go.id/2019/12/23/gaya-pemolisian/.
Tanuhandaru, Monica, and Ahsan Jamet Hamidi. Program Pemolisian Masyarakat. Jakarta:
IDSPS Press, 2009.

Anda mungkin juga menyukai