I. PENDAHULUAN
Tidaklah salah bila dikatakan bahwa kebanyakan aparat kepolisian saat ini masih sangat
berorientasi pada keberhasilan pengungkapan kejahatan. Karena prestasi polisi dinilai
dan diukur oleh suatu sistem yang menghargai kecakapan polisi dalam penangkapan
pelaku kejahatan. Dengan asumsi demikian dapat dikatakan bahwa polisi sebagai salah
satu komponen dalam sistem peradilan pidana merupakan pihak yang secara aktif
berbuat sesuatu untuk mencegah kejahatan. Tetapi melihat komponen-komponen lain
seperti ejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai pihak yang justru
membiarkan penjahat bebas. (Friedman, 1992 ; Deters, 1979).
Sebagai warga masyarakat setiap orang dapat berperan serta dalam menjaga keamanan
dan keselamatan diri dari segala bentuk kejahatan. Banyak keberhasilan dari kepolisian
diperoleh dari bantuan dan peran serta masyarakat. Seperti dalam pengungkapan kasus
kriminal atau tindakan tertangkap tangan, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat
memiliki andil, minimal berperan sebagai saksi atau pemberi informasi.
Oleh sebab itu upaya mencegah kejahatan sebagai kebijakan criminal yang dilakukan
oleh kepolisian harus dapat menimbulkan efek pencegahan terhadap muncul dan
berkembanganya kejahatan selanjutnya. Sehingga upaya yang dilakukan harus sistemik
baik yang bersifat preventif maupun represif. Hal ini perlu dipikirkan sebab secara
konseptual masyarakat menuntut lebih besar terhadap peranan Polisi. (Muladi, 2002 :
274). Sehingga dalam merumuskan tuntutan masyarakat tersebut Polri haruslah mampu
melakukan analisa yang tajam dalam rangka menerapkan pola kegiatan kepolisian yang
tepat untuk dapat mememenuhi harapan masyarakat tersebut. Walaupun sejak
kepemimpinan Kapolri Jenderal Polisi Soetanto Konsep Perpolisian asyarakat ini telah
bergulir namun sampai saat ini masih belum menemui formula yang tepat untuk
menerapkan konsep itu dalam situasi masyarakat Indonesia yang beraneka ragam.
3
b. Tujuan
Dengan penulisan makalah ini, kami mengharapkan agar makalah ini dapat
dijadikan sebagai referensi dan tambahan wawasan / pengetahuan bagi pembaca
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan pelaksanaan Strategi ”Comunity
Policing” dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan ditinjau dari berbagai
macam aspek dalam sistem Administarai Kepolisian.
3. Permasalahan
Sebagai salah satu aspek dalam system Administrasi Kepolisian Strategi Perpolisian
Masyarakat atau Community Policing yang diterapkan Polri saat ini pada hakekatnya
sudah berjalan sekian lama namun dikarenakan situasi dan kondisi masyarakat
Indonesia yang mejemuk membuat pelaksanaan strategi ini agak mengalami kendala
hal tersebut perlu dikaji dengan seksama dalam tinjauan akademis sehingga dalam
pelaksanaannya nanti Strategi ini dapat berjalan dengan baik namun tidak melanggar
dari aturan-aturan yang ada.
Dalam makalah kali ini penulis berusaha untuk mencoba menggali beberapa pokok
permasalahan untuk dapat dibahas dalam Bab selanjutnya yaitu :
a. Bagaimana bentuk-bentuk hubungan yang terjadi antara Polisi dan Masyarakat pada
umumnya serta bagaimana pola hubungan yang terbaik untuk merealisasikan
keinginan masyarakat atas terciptanya keamanan yang kondusif ?
4
II . PEMBAHASAN
Istilah komuniti (community) berkaitan dengan banyak fenomena, pola penafsiran dan
juga asosiasi. Dalam hal ini community diartikan sebagai sebagai bentuk kolektifitas
yang merujuk pada suatu kelompok yang para anggotanya menempatkan ruang atau
wilayah tertentu yang sama, baik di lingkungan tetangga, desa maupun perkotaan.
Menurut Woersley (1987) komuniti mempunyai tiga makna. Pertama komuniti sebagai
lokalitas yang dapat diartikan sebagai sebuah satuan kehidupan secara georafis dengan
batas wilayah yang jelas. Kedua komunity dapat dilihat sebagai sebuah jaringan antar
hubungan komuniti yang ditandai dengan adanya konflik maupun kerjasama yang
saling memberi dan menerima diantara anggota. Yang ketiga ditandai dengan adanya
sebuah hubungan sosial khusus.
Oleh sebab itu Community Policing dijadikan dasar pada usaha bersama antara polisi
dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat. Sehingga
pemolisian tidak dilakukan untuk melawan kejahatan, tetapi untuk mencari dan
melenyapkan sumber kejahatan. Sukses dari Community Policing bukan hanya dalam
menekan angka kejahatan, tetapi ukurannya manakala kejahatan tidak terjadi.
(Rahardjo, 2001)
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas hubungan ideal antara polisi dan masyarakat
dalam konsep Community Policing terdapat penafsiran yang berbeda. Posisi hubungan
antara polisi dan masyarakat yang paling ideal tentunya akan disesuaikan dengan
kondisi masyarakat, struktur organisasi dan fungsi tugas kepolisian. Tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana harapan dan keinginan dari masyarakat itu sendiri. Oleh
sebab itu hubungan polisi dengan masyarakat yang terdapat di Indonesia sesuai dengan
penjelasan d dan e.
terhadap masyarakat tidak semata-mata terfokus pada para pelaku kejahatan, tetapi juga
pada kecenderungan dalam mengendalikan kejahatan itu sendiri. Untuk mencegah dan
memberikan perlindungan masyarakat terhadap gangguan kejahatan maka dilakukan
tindakan kepolisian. Adapun tindakan kepolisian dimaksud adalah :
Kedudukan organisasi Polri saat ini berada langsung di bawah Presiden. Dengan posisi
demikian maka Polri diharapkan lebih profesional dalam pelaksanaan tugasnya
sehingga lebih dapat memberikan pelayanan, lebih dapat memberikan perlindungan,
pengayoman dan melakukan penegakan hukum kepada masyarakat dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap
struktur organisasi, budaya, perilaku dan kinerja Polri. Sehingga dengan semangat
reformasi, Polri berupaya untuk merubah paradigma menjadi organisasi kepolisian
yang demokratis sejalan dengan nilai-nilai yang berkembang pada suatu negara yang
masyarakatnya semakin demokratis.
8
Keamanan dan ketertiban dalam masyarakat merupakan kebutuhan bagi setiap individu,
kelompok bahkan negara untuk menjaga kelangsungan hidup dan terselenggaranya
pemerintahan. Menyadari akan pentingnya rasa aman dan adanya berbagai keterbatasan
sumberdaya kepolisian maka peran serta masyarakat membantu tugas-tugas keamanan
tidak dapat dielakan. Berkaitan dengan hal tersebut diatas secara langsung atau tidak
langsung telah tercantum perlunya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
keamanan dan ketertiban. Dalam Undang Undang dasar 1945 pasal 27 dijelaskan
bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
Dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada pasal
108 dijelaskan sebagai berikut :
a Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan.
b. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa, terhadap hak milik,
wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
Selanjutnya pada pasal 111 ayat (1) dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban
dinyatakan sebagai berikut : “ Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak,
sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban,
ketentraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan
beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik ”.
9
Dalam Undang-undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, pasal 14 ayat (1) huruf c ,
dinyatakan sebagai berikut : “ Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
“Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masy. terhadap hukum & peraturan perundang-
undangan ”.
Selanjutnya dalam Kebijakan dan Strategi Kapolri Tentang Penerapan Model Polmas
Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, sesuai dengan Skep Kapolri No.Pol.:
Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 bidang operasional, kebijakan yang
digariskan meliputi :
Pencegahan kejahatan telah lama ditetapkan sebagai objek utama dari “ politik kriminal “
namun konseptualisasinya masih dalam proses pertumbuhan. Menurut Tuck ( Graham,
10
John : 1990 ) dijelaskan bahwa pencegahan kejahatan tidak dapat didefinisikan sebagai
suatu perangkat tehnis, tetapi tetap sebagai suatu konsep yang sedang diperjuangkan.
(Kemal Darmawan, 1994 : 16 )
Apabila Polri melakukan pencegahan kejahatan sebagai suatu strategi dalam penegakan
hukum, maka tampilan kegiatan kepolisian seyogyanya didasarkan atas beberapa
pertimbangan. Pertimbangan tersebut diantaranya meliputi :
a. Apakah sudah menaikan status operasional pencegahan kejahatan.
b. Menempatkan pelayanan sebagai sarana utama pemecahan masalah.
c. Mengembangkan manajer tingkat menengah yang ahli dan kompeten dalam
memutuskan bagaimana fungsi kepolisian harus diintegrasikan dalam masyarakat
tertentu.
d. Mengembangkan suatu sistem untuk alokasi sumberdaya yang luwes dan tepat
serta sesuai kebutuhan setempat.
e. Menyeimbangkan pelaksanaan kebijakan setempat dengan pelestarian standar-
standar yang tidak dapat ditawar lagi. (Koenarto, 1998 : 266 ; Bayley : 1992 )
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka Polri saat ini telah melakukan peningkatan
terhadap status operasional pencegahan kejahatan dengan adanya fungsi Binamitra.
Seperti di tingkah KOD kedudukan Binamitra sudah memilki posisi yang sejajar dengan
Bagian Operasi dan Bagian Administrasi. Selanjutnya telah menempatkan bidang
pelayanan masyarakat sebagai ujung tombak kegiatan Polri. Sedangkan terhadap
pengembangan keahlian manajer tingkat menengah untuk mengintegrasikan fungsi
kepolisian dalam masyarakat masih terus dilakukan. Termasuk pengembangan sistem
alokasi sumberdaya dan penentuan standar penilaian kinerja.
a. Pendekatan social, biasanya disebut dengan Social Crime Prevention yaitu segala
perhatian dan kegiatan ditujukan untuk menumpas akar penyebab kejahatan dan
kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran. Yang menjadi sasaran adalah
populasi umum (masyarakat) ataupun kelompok-kelompok yang secara khusus
mempunyai resiko tinggi untuk melakukan pelanggaran.
Ketiga pendekatan pencegahan kejahatan tidak dapat dikatakan sebagai bagian yang
terpisah atau mempunyai ciri-ciri tersendiri yang benar-benar mutlak. Tetapi lebih
merupakan pendekatan yang saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain.
Biasanya pendekatan pencegahan kejahatan didahului dengan kegiatan penelitian /
penyelidikan terhadap anatomi kejahatan. Setelah dilakukan analisa maka kepolisian dapat
menentukan pendekatan pencegahan dan selanjutnya menentukan cara bertindak yang
paling efektif dan efisien.
Kebijakan kepolisian yang bersifat reaktif tidak membawa dampak yang berarti bagi
kecemasan masyarakat dan meningkatnya angka kejahatan. Oleh sebab itu diperlukan
kebijakan kepolisian yang proaktif. Mengingat tindakan kepolisian proaktif lebih
menuntut kerjasama dan mengaktifkan peran masyarakat dalam tugas keamanan.
Telah dipahami bersama bahwa dalam pelaksanaan tugasnya kepolisian dihadapi oleh
berbagai keterbatasan. Mulai dari keterbatasan sumberdaya sampai dengan kompleksitas
tugas kepolisian. Sehingga untuk menyiasati keberhasilan tugasnya harus merubah strategi
dan tindakan kepolisian. Yaitu dengan mengaktifkan kerjasama antara kepolisian dan
12
masyarakat dalam menyelesaikan kejahatan dan masalah sosial yang timbul. Hubungan
kerjasama antara polisi dengan masyarakat harus dibangun sedemikian rupa. Sehingga
tercipta hubungan yang ideal walaupun pada kenyataannya hubungan tersebut sangat
dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, struktur organisasi dan fungsi tugas kepolisian.
Secara umum kegiatan pencegahan terhadap kejahatan dilakukan oleh fungsi preventif
kepolisian yang diemban oleh Binamitra, Samapta, dan Lalu Lintas yang didukung oleh
kegiatan Inteligen. Namun demikian kegiatan yang dilakukan oleh fungsi kepolisian
tersebut belum dapat memberikan kontribusi nyata terhadap upaya pencegahan kejahatan
yang efektif dan terintegrasi. Oleh sebab diperlukan langkah-langkah dalam upaya
mewujudkannya.
Pencegahan kejahatan bukan menjadi otonomi kepolisian saja. Semua pihak, instansi dan
korporasi memiliki kepentingan untuk mencegah kejahatan. Mengingat kejahatan
merupakan suatu kejadian yang pada umumnya harus dihindari. Sebagai contoh
pencegahan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh sector swasta atau bisnis telah
menjadi prioritas untuk ditangani dengan cepat. Dunia bisnis semakin mengandalkan
pengendalian kerugian untuk melindungi keuntungan. Perusahaan tidak dapat lagi
memperlakukan kejahatan (baca: kerugian) sebagai harga melakukan bisnis. Praktisi
pencegahan kejahatan yang sudah menguasai seni analisa kejahatan akan direkrut oleh
para pengusaha yang membutuhkan keamanan. ( James D’ Addario, 1999 : 2 )
Berdasarkan kutipan tersebut diatas profesi diluar kepolisian telah menilai bahwa
pencegahan kejahatan sudah menjadi prioritas yang perlu secepatnya diantisipasi. Profesi
swasta tersebut menganggap bahwa kejahatan adalah suatu kerugian dalam bisnis oleh
sebab itu diperlukan keahlian untuk mengusai seni analisa kejahatan untuk menciptakan
keamanan dalam usaha. Dengan demikian jelas bahwa kejahatan bukan saja menjadi
permasalahan kepolisian. Dunia swastapun sangat terganggu dengan adanya aktifitas
kejahatan.
itu analisa kejahatan justru menghemat waktu dan bukan menghabiskan waktu.
Selanjutnya dianjurkan untuk menggunakan logika dalam upaya mencegah dan
menyelidiki kejahatan. ( James, 1999 : Sherlock Holmes )
Analisa kejahatan menyajikan koleksi rincian data kejahatan yang menjawab pertanyaan
seperti : siapa, apa, kapan, dimana dan bagaimana. Data ini kemudian disusun menjadi
catatan untuk dikaji pola kecenderungannya. Analisa kejahatan dapat mempertinggi nilai
pengambilan keputusan, menghemat alokasi sumberdaya yang digunakan, selektif dalam
menggunakan tindakan antisipatif dan tajam dalam mengembangkan latihan yang
diperlukan. Namun yang paling penting bahwa pengambilan keputusan yang dibantu
dengan analisa kejahatan memastikan adanya obyektifitas dan efektifitas dalam
pencegahan kejahatan. Analisa kejahatan memerlukan pemahaman aritmatika yang sangat
sederhana tapi proses perhitungan dan analisanya dimulai dari dasar / awal. Namun
dengan adanya tehnologi computer semuanya menjadi lebih mudah untuk diwujudkan.
Terdapat 2 (dua) metode yang dapat digunakan untuk menganalisa kejahatan. Metode
analisa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Merupakan analisa terhadap suatu kasus tertentu dalam rangka menanggulangi dan
mencegah dampak yang ditimbulkan. Tindakan kepolisian diarahkan pada upaya
menggerakan peran serta seluruh fungsi kepolisian secara terintegrasi. Seperti dalam
menggerakan kegiatan fungsi Intelkam, Reserse, Binamitra, Samapta, Lalu-lintas
dan fungsi staf lain yang diperlukan.
Dengan melakukan analisa kasus maka Polri dapat menentukan alternative pilihan
dan menentukan cara bertindak yang tepat. Sehingga upaya pencegahan yang
dilakukan senantiasa mempertimbangkan aspek tempat, waktu, sasaran, modus
operandi, kerugian, korban dan sebagainya. Selanjutnya analisa terhadap kejahatan
ini dapat diwujudkan dengan melakukan pemberdayaan dan peningkatan
kemampuan terhadap bagian, fungsi, atau unit-unit operasional kepolisian.
Khususnya yang berkaitan dengan tugas pelayanan, pencegahan, penyelidikan dan
penyidikan.
Dalam rangka mendukung kebijakan tindakan kepolisian yang proaktif maka diperlukan
peran dan kemampuan Polri yang profesional. Adapun peran kepolisian yang profesional
dapat diwujudkan dengan cara sebagai berikut :
menentukan sikap dan mengambil suatu keputusan yang berkenaan dengan kegiatan
pencegahan kejahatan.
b. Apabila kepolisian telah memiliki data dan informasi yang berkaitan dengan
kejahatan. Maka informasi ini dapat disampaikan kepada masyarakat. Sebab dengan
memberikan bantuan atau informasi (melalui video, gambar dan sebagainya) yang
berkaiatan dengan kejahatan maka masyarakat diharapkan memilki informasi yang
tepat, cepat dan lengkap tentang kejahatan itu sendiri. Yang pada akhirnya masyarakat
memilki pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya mencegah kejahatan .
c. Memberikan laporan berkala berupa selebaran, pamflet dan sarana informasi lain
yang terkait dengan pencegahan kejahatan.
Dengan demikian kegiatan patroli memegang peranan yang penting dalam rangka
pencegahan kejahatan. Adapun keuntungan dari adanya kegiatan patroli dapat dijelaskan
sebagai berikut :
16
a. Kegiatan kepolisian proaktif dengan patroli di daerah yang terdapat konsentrasi masa,
dapat memberikan efek terhadap berkembangnya atau terjadinya kejahatan.
c. Kegiatan patroli merupakan model yang paling tepat untuk dilaksanakan di lingkungan
pemukiman, perkantoran, perbelanjaan dan sebagainya. Selain itu polisi dapat pula
berinteraksi dengan masyarakatnya dan cara ini dinilai sangat efektif untuk
mengurangi rasa tidak aman dari warga masyarakat.
d. Kegiatan patroli yang dilakukan dengan kendaraan, sepeda dan berjalan kaki dapat
meningkatkan dukungan moral dan empati masyarakat terhadap polisinya. Disamping
sebagai upaya untuk mendekatkan polisi dengan masyarakatnya. Namun demikian
untuk pelaksanaanya disesuaikan dengan wilayah atau areal tugasnya.
Terdapat suatu pandangan kuat yang menyebutkan bahwa tanpa adanya peran serta dan
kerja sama dari masyarakat maka polisi akan sangat mustahil dapat melaksanakan strategi
penanggulangan kejahatan secara efektif. Berkaitan dengan hal ini Goldstein (1977)
menyatakan sebagai berikut “Apapun yang polisi lakukan dalam usahanya
17
mengedepankan kejahatan serius. Mereka harus mengakui bahwa usaha mereka sangat
bergantung pada adanya kerjasama dan peran serta masyarakat. Kenyataan
menunjukkan bahwa polisi tidak akan mungkin membuahkan suatu kemampuan yang
menyamai kemampuan kolektif yang dimiliki masyarakat dalam pencegahan kejahatan,
dalam melaporkan adanya pelanggaran, mengidentifikasi pelaku dan membantu proses
penuntutan. (Kemal Darmawan, 1994 : 102 )
Pendapat tersebut diatas juga diperkuat dengan pendapat Sir Robert Pell pada tahun 1929
dinyatakan bahwa : “Polisi haruslah bekerjasama dengan masyarakat, melindungi hak-
hak, melayani kepentingan, serta berusaha mendapatkan kepercayaan masyarakat dimana
mereka melaksanakan tugas kepolisian ”. (Muhamad Kemal Darmawan, 1994 : 102 ;
Mayhall, 1984 )
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka langkah utama yang harus dilakukan dalam
mengimplementasikan gaya pemolisian model Community Policing adalah dengan
menghimbau masyarakat untuk bersedia ikut terlibat dalam kegiatan kepolisian. Adapun
peran serta masyarakat dalam membantu tugas kepolisian ditujukan dalam upaya :
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pencegahan
kejahatan.
Melalui pertemuan dan diskusi secara rutin antara polisi dan masyarakat diharapkan Polri
dapat menawarkan kerjasama tentang upaya mencegah kejahatan yang dianggap sesuai
dengan kebutuhan setiap kelompok masyarakat. Untuk selanjutnya mampu mengambil
langkah yang tepat dalam mengembangkan cara bertindak sesuai dengan lingkungan
masyarakatnya.
18
Oleh sebab itu diperlukan kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk memahami dan
menguasai tentang strategi pencegahan kejahatan. Adapun langkah-langkah yang sebaiknya
dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut :
Dengan dibentuknya lembaga ini dilakukan kontak kegiatan dengan pemerintah daerah,
sekolah-sekolah, lembaga swadaya masyarakat, pengamat kepolisian dsb. Lembaga ini
dibentuk dengan tujuan mencegah kejahatan yang telah menjadi perhatian masyarakat
baik yang menyangkut segi kuantitas maupun kualitas. Sehingga lingkungan
masyarakat terbebas dari unsur-unsur kejahatan dan pada akhirnya mampu
mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat sebagaimana diharapkan
bersama.
Sistem peradilan pidana (Criminal Justice Sistem atau CJS) merupakan salah satu sistem
dalam masyarakat yang digunakan dalam rangka menanggulangi kejahatan. Upaya
menanggulangi kejahatan mengandung pengertian yang bermakna pencegahan dan
penindakan atau pemberantasan. Mengingat bahwa kejahatan yang ada dalam masyarakat
tidak mungkin dihilangkan sama sekali maka pengendalian berarti pula menjaga agar
kejahatan itu selalu berada dalam batas toleransi.
19
Menjaga sampai batas toleransi mengharuskan Polri untuk dapat menganalisa dan
menghitung secara kuantitatif yang didasarkan pada kriteria dan kesepakatan yang telah
ditentukan. Hal ini menyebabkan polisi terkadang melupakan nilai-nilai yang berlingkup
kualitatif. Sehingga dalam melakukan analisa terhadap kejahatan kadang kurang efektif
dan tidak obyektif. Namun demikian perlu dipahamai bersama bahwa tujuan dari sistem
peradilan pidana adalah :
b. Secepatnya menyelesaikan kejahatan yang terjadi agar masyarakat puas dan merasa
aman, karena keadilan cepat ditegakan.
Berdasarkan kutipan diatas maka kegiatan pencegahan kejahatan merupakan suatu tujuan
yang hendak dicapai dalam mewujudkan tujuan dari sistem peradilan pidana. Sebagai
pelaksananya adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Idealnya ke-empat instansi ini dapat bekerjasama secara kompak dan pelaksanaan
tugasnya mengalir dalam satu garis tak terputus dan saling berkesinambungan.
Selanjutnya dengan kegiatan yang sinergi dapat mewujudkan tampilan tugas transparan,
jujur dan dapat segera memberikan rasa keadilan pada masyarakat. Kesatuan yang
semacam ini dapat disebut sebagai “ Integrated Criminal Justice Sistem “.
Peran Lembaga Pemasyarakatan yang kurang atau tidak berfungsi dengan baik juga dapat
merupakan tempat pendidikan bagi para penjahat. Pada akhirnya lembaga ini dinilai
gagal dalam mencegah berkembangnya perilaku positif bagi residivis yang ada
didalamnya. Bahkan dalam beberapa kasus diungkap oleh Polri bahwa di lembaga
pemasyarakatan justru terdapat lahan bagi para penjahat untuk melakukan aksinya seperti
melakukan transaksi pembelian dan peredaran narkoba.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas Polri memiliki peran yang dominan dan berada
pada garis terdepan dalam melakukan pencegahan kejahatan. Pencegahan kejahatan
secara konseptual menginginkan kebijakan yang komprehensif. Kegiatan pencegahan
primer diarahkan pada lingkungan masyarakat secara umum. Pencegahan kejahatan
sekunder diarahkan terhadap pelaku kejahatan yang potensial. Sedangkan untuk kegiatan
pencegahan tersier yang diarahkan pada mereka yang terlanjur menjadi pelaku tindak
pidana. (Muladi , 2002 : 275 )
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka Polri memiliki tanggung jawab dalam
rangka melakukan pencegahan kejahatan baik yang bersifat primer, sekunder dan tersier.
Namun demikian aparat CJS tidak dapat lepas dari tanggung jawabnya untuk ikut serta
membantu Polri dalam upaya melakukan pencegahan kejahatan secara professional dan
proporsional. Walaupun pandangan masyarakat umum menghendaki bahwa pencegahan
kejahatan menjadi tanggung jawab Polri. Namun demikian mengingat perkembangan
kehidupan masyarakat yang semakin demokratis maka Polri diharapkan lebih aspiratif
terhadap harapan dan keinginan masyarakat yang berkembang dan responsive terhadap
perubahan yang terjadi.
IV. PENUTUP
12. Kesimpulan
Bahwa orientasi tugas kepolisian yang berwawasan masyarakat perlu dipahami dan
dipertimbangkan keberadaannya dalam tugas kepolisian mendatang. Keinginan
bekerjasama dan mengaktifkan masyarakat untuk menghadapi kejahatan dapat
mengurangi kompleksitas dan beban tugas kepolisian. Sehingga mendatang
diperlukan strategi kepolisian yang lebih mendekati harapan dari masyarakat.
Tindakan kreatif yang dilakukan oleh kepolisian dalam rangka mencegah kejahatan
dilakukan dengan langkah-langkah yang terencana dengan baik. Adapun langkah
dimaksud dimulai dengan melakukan analisa terhadap kejahatan, bantuan kepolisian
langsung, informasi anti kejahatan dan kebijakan system peradilan pidana. Sehingga
program kegiatan dalam upaya pencegahan kejahatan dapat dilaksanakan secara
efektif.
13. S a r a n
Menghadapi realita kejahatan yang terjadi saat ini di Indonesia dibutuhkan kebijakan
dalam pencegahan kejahatan yang konseptual dan konsisten. Sehingga upaya yang
dilakukan oleh Polri lebih responsive, akomodatif dan antisipatif dengan pengelolaan
informasi / data yang terintegrasi dengan baik antara kepolisian dengan system
peradilan pidana, dimana Polri berperan sebagai koordinator dalam upaya
penanggulangan dan pencegahan kejahatan.
Bahwa kegiatan kepolisian dalam gaya apapun selalu bersandar pada berbagai
hubungan dengan pemerintah daerah, masyarakat dan kepentingan organisasi lainnya.
Oleh sebab itu dalam menentukan kebijakan kepolisian seyogyanya dikoordinasikan
terlebih dahulu. Apabila dalam pelaksanaanya menghadapi berbagai kendala maka
dapat dengan mudah diminimalisir dan potensi yang ada dalam masyarakat dapat
dimanfaatkan secara maksimal.
Demikian Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang dberikan oleh Dosen Mata
Kuliah Administraasi Kepolisian, penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna
maka penulis meminta koreksi, saran dan kritik yang membangun dari para dosen dan
pembaca demi lebih baiknya makalah ini dikemudian hari.
Jakarta, Juni 2008
PENULIS
DOLLY GUMARA
NO. MHSW 6496
23
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Bayley, David.H, 1992, Police for The Future, Disadur oleh Koenarto , Cipta Manunggal,
Jakarta
2. Finlay, Mark and Zvekic, Ugljesa, 1998, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat ,
Tinjauan Lintas Budaya, Cipta Manunggal, Jakarta.
3. James D’Addario, Francis, 1999, Mencegah Kerugian dengan Analisa Kejahatan, Cipta
Manunggal, Jakarta.
4. Koenarto, 1997, Hak Asasi Manusia dan Polri, PT. Cipta Manunggal. Jakarta
5. Muhamad Kemal Darmawan, 1994, Strategi Pencegahan Kejahatan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
6. Muladi, 2002, Demokratisasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonsia, The
Habibie Centre, Jakarta.
7. Soesilo, R, Kitab Undang – undang Hukum Pidana, Bogor, Politeia, 1993
8. Soesilo, R dan Karjadi, M, Kitab Undang – undang hukum Acara Pidana, Bogor, Politeia,
1986.
9. Rahardjo, Satjipto, 2001, Makalah Seminar “Polisi Antara Harapan dan Kenyataan”,
Hotel Borobudur, Jakarta.
10. Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, Jakarta, Penerbit Arloka, 1999.
11. Republik Indonesia, Undang – undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta, Babinkum Polri, 2002.