Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERENCANAAN, PENGAWASAN PRODUKSI PERSEDIAAN Di Ajukan Sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah
MANAJEMEN OPERASI DAN PRODUKSI

DI SUSUN OLEH:

HERWANSyAH HERMANSYAH NURJANNATI

FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI TAHUN 2012/2013

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
Kata pengantar Daftar isi

Konsep Pemingan dalam Pernikahan 1. Pengertian


2. Proses Peminangan Kafaah (Kesetaraan) dalam Pernikahan 1. Pengertian 2. Landasan dan Status Hukum 3. Cakupan Kafaah.

KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan kepada pembaca tentang Konsep Peminangan dan Kafaah (Kesetaraan) dalam pernikahan Makalah ini berisi beberapa informasi tentang Pengertian Peminangan atau disebut juga Khitbah dan Kafaah serta pengertiannya, Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoisegala usaha kita. Amin.

PENDAHULUAN

Perjalanan reformasi telah membawa seluruh institusi dan komponen masyarakat negeri ini untuk terus berbenah diri. Pembenahan telah menyentuh berbagai ranah yang mengatur kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut seiring dengan tuntutan kualitas pelayanan publik yang selama ini telah mengalir melalui setiap kebijakan birokrasi. Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban amanah melalui visi, misi, dan tugas pokoknya sebagai penegak hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat. Sejalan dengan pemikiran di atas maka terdapat hal-hal yang perlu dicermati secara tepat terkait dengan operasionalnya yakni; Falsafah kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang sama bertugas di masyarakat yang sama; Gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara proaktif; Tujuan untuk memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan menerapkan prinsip menjalin hubungan kemitraan polisi-masyarakat. Perpolisian tradisional lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian kasus (crimes solved or offenses cleared by arrest) sebagai parameter hard data untuk membuktikan berhasilnya pekerjaan kepolisian. Perpolisian moderen merupakan hasil perkembangan perpolisian konvensional. Selain itu juga memberikan masyarakat peran untuk ikut bertanggungjawab terhadap Kamtibmas. Sedangkan unsur penegakan hukum tetap menjadi tanggungjawab polisi. Terkait dengan itu polisi melakukan pendekatan terhadap masalah kejahatan dilihat dari perspektif yang lebih luas, mulai dari mencari asal mula kejahatan sampai pada pemecahan masalah kejahatan maupun masalah lain yang menjadi perhatian publik. Pola perpolisian berorientasi pada penuntasan masalah (problem solving policing) dan kegiatan sepenuhnya berorientasi pada pelayanan publik (public service policing). Pemolisian mengandalkan sumber daya setempat (resource based policing), dan mengakomodir kebutuhan masyarakat, serta mempertahankan kedekatan dengan masyarakat (community policing).

A.LATAR BELAKANG

Perjalanan reformasi telah membawa seluruh institusi dan komponen masyarakat negeri ini untuk terus berbenah diri. Pembenahan telah menyentuh berbagai ranah yang mengatur kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut seiring dengan tuntutan kualitas pelayanan publik yang selama ini telah mengalir melalui setiap kebijakan birokrasi. Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban amanah melalui visi, misi, dan tugas pokoknya sebagai penegak hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat. Sejalan dengan pemikiran di atas maka terdapat hal-hal yang perlu dicermati secara tepat terkait dengan operasionalnya yakni; Falsafah kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang sama bertugas di masyarakat yang sama; Gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara proaktif; Tujuan untuk memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan menerapkan prinsip menjalin hubungan kemitraan polisi-masyarakat. Perpolisian tradisional lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian kasus (crimes solved or offenses cleared by arrest) sebagai parameter hard data untuk membuktikan berhasilnya pekerjaan kepolisian. Perpolisian moderen merupakan hasil perkembangan perpolisian konvensional. Selain itu juga memberikan masyarakat peran untuk ikut bertanggungjawab terhadap Kamtibmas. Sedangkan unsur penegakan hukum tetap menjadi tanggungjawab polisi. Terkait dengan itu polisi melakukan pendekatan terhadap masalah kejahatan dilihat dari perspektif yang lebih luas, mulai dari mencari asal mula kejahatan sampai pada pemecahan masalah kejahatan maupun masalah lain yang menjadi perhatian publik. Pola perpolisian berorientasi pada penuntasan masalah (problem solving policing) dan kegiatan sepenuhnya berorientasi pada pelayanan publik (public service policing). Pemolisian mengandalkan sumber daya setempat (resource based policing), dan mengakomodir kebutuhan masyarakat, serta mempertahankan kedekatan dengan masyarakat (community policing). Selain itu sebagai dukungan terhadap perpolisian moderen implementasi Polmas diwujudkan oleh kiprah kepolisian profesional, demokratis, berwibawa, kuat, dan dekat dengan masyarakat. Hal tersebut sangat relevan dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang harmonis. Perlunya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian guna membangun kemitraan. Dalam implementasi tugas-tugas kepolisian dituntut cocok dengan kebutuhan masyarakatnya. Diperlukan kebijakan pimpinan institusi kepolisian dalam membangun kemitraan masyarakat baik terkait dengan aspek teknis kepolisian, penegakan hukum dan Hak Asasi

Manusia (HAM) maupun penerapan Polmas. Sebagai model strategi dalam membangun kemitraan (partnership building) maka Polmas dibutuhkan efektifitas perannya dalam implementasinya. Citra polisi di mata masyarakat dengan iklim yang kurang kondusif akan menjadi ganjalan dalam membangun kemitraan. Tuntutan pencintraan tersebut sangat terkait dengan perilaku polisi yang etis dan bermoral. Dampak reformasi Indonesia adalah lahirnya tuntutan masyarakat terhadap institusi kepolisian dengan citra profesional dan humanis. Untuk itu maka kini terus dilakukan uapaya memantabkan kultur polisi sipil yang demokratis, menegakkan hukum dan hak asasi manusia. Polmas dalam partnership building mendorong terwujudnya kepolisian profesional dan berorientasi pada kepuasan masyaraka. Hal ini telah mengedepankan tindakan proaktif. Perpolisian masyarakat (Polmas) dewasa ini telah menjadi model perpolisian dalam masyarakat moderen. Model perpolisian yang menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai obyek tetapi subyek dan mitra kepolisian dalam pemecahan masalah Kamtibmas. Kondisi karakteristik masyarakat di Indonesia merupakan modal awal dan faktor pendukung dalam pembangunan Polmas (Community Policing). Dalam membangun kemitraan diperlukan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi baik aspek teknis maupun penegakan hukum. Guna mendukung efektifitas implementasi Polmas, institusi kepolisisan telah dan terus melakukan reformasi birokrasi sebagaimana tuntutan dan harapan masyarakat. Polmas menjadi aspek strategis dalam membangun kepercayaan masyarakat kepada kepolisian. Kepercayaan inilah yang bila ditumbuhkembangkan pada gilirannya menjadi faktor pendukung strategis dalam membangun kemitraan polisi-masyarakat, keberhasilan membangun kepercayaan masyarakat akan berdampak pada keberhasilan membangun kemitraan, demikian sebaliknya. Polmas merupakan salah satu strategi dalam partnership building yang diperlukan dukungan trust building. Penerapan Polmas terkait dengan upaya membangun kerjasama polisi masyarakat guna menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan Kamtibmas,, tidak hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahannya. Dalam konteks ini diperlukan kondisi kepercayaan masyarakat yang kondusif sebagai strategi membangun kemitraan polisi-masyarakat. Untuk itu dibutuhkan unsurunsur pendukung yakni profesionalisme, implementasi paradigma polisi mitra masyarakat secara proporsional. Strategi tersebut mencakup pembinaan aspek internal maupun eksternal yang relevan dalam mewujudkan kemitraan.

Entah mulai kapan, tidak diketahui persis, namun fakta mengindikasikan sejak ratusan tahun sebelum Masehi, penghuni bumi ini telah menggunakan candu. Konon mereka hanya sekedar mengurangi rasa sakit, sebagaimana kepentingan medis, hingga demi kenikmatan dan kini berkembang luas sebagai komoditi gelap mavia yang mampu mengeruk keuntungan besar. Kondisi inilah yang kemudian mengusik peradaban bangsa untuk peduli kesehatan. Sejalan dengan dinamika peradaban bangsa jualah kini ikut menorehkan paradigma sekaligus stigma bagi penyalahguna candu. Candu yang belakangan di negeri ini lebih populer dengan sebutan narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif). Kini upaya untuk mengubah paradigma dan stigma pecandu kian menggeliat, meski disadari hal ini bukan perkara yang mudah. Bergulirnya Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 telah mendorong terjadinya bagi perubahan dalam penanganan narkoba terutama aspek pencegahan, pemberantasan dan penyalahgunaan. Lihat saja ancaman hukuman pelaku kejahatan narkotika kini jauh lebih keras, penanganan korban lebih humanis, dan dalam aspek pencegahan yang melibatkan masyarakat. Sekian lama dampak dari paradigma, pecandu dikriminalisasi dan di-stigma negatif oleh masyarakat. Kian menambah litani keterpurukan penyalahguna barang haram itu. Belum lagi sikap sinis masyarakat terhadap pecandu, ditambah kriminalisasi oleh instituasi melalui implementasi Undang-Undang nomor 22 tahun 1997, yang telah direvisi baru-baru ini. Pengalaman empirik membuktikan bahwa kriminalisasi penyalahguna tak menyelesaikan masalah. Justru berefek negatif, penyakit penyerta seperti HIV/Aids dan hepatitis kian merajalela. Penjara bukan solusinya, pertolongan medis, kasih sayang, dan kepedulian yang mereka butuhkan. Tak ada yang menyangkal bila stigma pecandu telah membuat terpuruknya penyalahguna narkoba. Mereka dicap hitam sebagai penjahat yang harus dijauhi agar tidak menular. Karakteristik penyalahgunaan narkoba cenderung berdampak timbulnya perilaku kriminal, baik penyelundup maupun bagi pecandu. Tantangan bagi kita untuk mencari solusi mengubah paradigma dan mengeliminasi stigma tersebut. Bukan semudah membalik telapak tangan, butuh keseriusan, kepedulian, kerelaan, dan komitmen kuat seluruh komponen bangsa, dengan BNN sebagai focal point pemberantasan kejahatan narkoba. Bercokolnya paradigma bukan tanpa alasan, terkait dengan berbagai pandangan. Dennis L.Thombs, dengan Teori Model Moral, memandang penyebab terjerumusnya seseorang menjadi pecandu karena terjadi degradasi moral, maka untuk penyembuhannya harus melalui tempaan yang disertai dengan penanaman nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, misalnya dengan memberikan hukuman penjara. Sedangkan

pendekatan Disease Model (Model Penyakit), menganggap kecanduan sebagai penyakit adiksi yang bersifat kronis, progresif, dan fatal, oleh karenanya penyembuhannya melalui terapi dan rehabilitasi medis. Dr. Elfrin Jellineck malah mengembangkan dasar medis dari paradigma dan ruang lingkup efek penyakit bukan sekadar proses biokimia dalam diri pecandu, namun merambahi ke aspek spiritual sehingga penyembuhannya pun membutuhkan pendekatan spiritual. Dinamika paradigma dan stigma pecandu di masyarakat kini memasuki tataran adiksi adalah penyakit yang harus disembuhkan bukan dikirim dipenjara. Stigma pecandu sebagai gagasan dan keyakinan masyarakat yang menghubungkan pecandu narkoba dengan perilaku jahat. Ini terjadi di banyak negara, di negeri ini setidaknya lebih satu dasawarsa UndangUndang narkotika telah mengkriminalisasi penyalahguna narkoba. Stigma juga yang mendorongtewasnya manusia sia-sia hingga 15 ribu tiap tahunnya atau 41 orang perharinya. Tengok saja umumnya mereka meninggal di jalan dan tempat hiburan, bukan di tempat rehabilitasi. Stigma pula yang membuat korban takut berobat ke fasilitas rehabilitasi. Hal itulah yang membuat pecandu dan keluarganya cenderung menyembunyikan permasalahan kecanduan narkoba, malu bercampur takut karenanya. Mereka menutup diri demi nama baik keluarga. Permasalahan baru bagi pecandu narkoba lagi-lagi timbul dalam bentuk disfungsi dalam keluarga. Kondisi stigma membuat pecandu narkoba semakin terpuruk. Namun tidak sedikit pecandu narkoba yang telah pulih dan kembali ke masyarakat merasa rendah diri. Stigma yang dilabelkan kepada mereka kian membuat frustasi, putus asa hingga tak sedikit yang menjadi pecandu kembali (relapse). Bahwa paradigma pecandu negatif pun terjadi di negara maju seperti Amerika. Menurut survey yang dilakukan oleh Substance Abuse and Mental Health Services Administration, menunjukkan hal yang kurang kondusif, hanya 60% masyarakat yang merasa nyaman tinggal bersebelahan dengan seseorang yang sedang menjalani pemulihan dari kecanduan alkohol. Kurang dari setengah responden yang menyatakan bahwa mereka akan merasa nyaman untuk tinggal bersebelahan dengan yang menjalani pemulihan dari kecanduan obat-obatan terlarang. Indikasi penyalahgunaan narkoba kian merajalela dapat dilihat dari data kasus kejahatan yang berhasil diungkap, membuat miris. Kejahatan narkoba di bumi pertiwi sejak 2004 hingga 2009 terus meningkat. Kasus kejahatan narkotiba mencapai 45.451 kasus, psikotropika berjumlah 38.125 kasus, dan jenis bahan-bahan adiktif lainnya berjumlah 17.440 kasus. Sedangkan untuk tersangka narkotika yang tercatat berjumlah 66.541 tersangka, psikotropika 55.381 tersangka, dan bahan adiktif lainnya 33.895 tersangka. Dari jumlah tersangka tersebut 413 orang adalah warga negara asing.

Geliat paradigma baru, melahirkan cara pandang dan perlakuan, mereka bukan lagi kriminal, namun korban yang harus ditolong guna penyembuhannya. Paradigma ini menjadi lebih humanis dalam memperlakukan penyalahguna narkoba. Kini pecandu mulai menghadapi respon dan dukungan kondusif lingkungan, bukan penolakan. Lihat saja kebijakanb pelaksanaan vonis rehabilitasi pecandu narkotika merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mulai diterapkan khususnya pasal 54, 55, 103, dan 127, bersifat lebih humanis kepada penyalahguna. Penyalahguna Narkotika wajib menjalani proses rehabilitasi medis dan sosial. Pecandu yang sudah cukup umur maupun orang tua / wali dari pecandu yang belum cukup umur, wajib untuk melapor kepada puskesmas, rumah sakit atau lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah, untuk mendapatkan pemulihan atau Rehabilitasi. Pecandu dapat menjalani proses rehabilitasi setelah mendapatkan putusan/ vonis pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim yang menangani perkara Narkotika. Hal tersebut di atas telah dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010 yang menegaskan bahwa pecandu Narkotika yang tertangkap tangan oleh penyidik Polri atau penyidik BNN dan tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap Narkotika, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial pada tempat rehabilitasi yang telah ditentukan. Sebaliknya ancaman hukiuman yang jauh lebih keras bagi pengedar, importir dan produsen gelap narkoba. Sebagai solusi, perlu membangun paradigma baru pecandu sebagai korban yang wajib ditolong dibarengi upaya mengikis stigma yang berkembang di masyarakat. Untuk itu diperlukan langkah nyata: pertama, mengimplementasikan undang-undang no. 35 tahun 2009 tentang narkotika secara efektif, agar penanganan penyalahguna narkoba kian humanis dan hukuman mafia narkoba kian keras akan efektif. Kedua, meningkatkan daya tangkal (imunitas) masyarakat terhadap bahaya narkoba melalui pendekatan preventive educative, agar jumlah korban kian dapat ditekan. ketiga, peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun paradigma dan mengikis stigma serta membangun kesadaran masyarakat yang kuat guna berperan aktif dalam pemulihan penyalahguna dan mengurangi angka relapse. Keempat, seluruh komponen bangsa ini mendorong melalui penghawasan publik terhadap konsistensinya keputusan hakim terhadap pecandu yang tidak terbukti bersalah untuk menjalani proses pengobatan dan perawatan di panti rehabilitasi medis/sosial. Kelima, menciptakan kondisi yang harmonis antara pecandu, keluarga dan masyarakat untuk bersama membangun kondisi humanis sehingga membantu proses pemulihannya. Membangun sarana prasarana dan infrastruktur yang diperlukan guna mendukung promosi penanganan

korban yang humanis tersebut. Dengan keyakinan dan sikap optimis bangsa ini maka impian mweujudkan negeri yang bebas dari narkoba semakin nyata.

KESIMPULAN

Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya adalah suatu kondisi yang dapat dikategorikan sebagai suatu gangguan jiwa, sehingga pengguna/penderita tidak lagi mampu memfungsikan diri secara wajar dalam masyarakat bahkan akan mengarah kepada prilaku maladaptif (kecemasan/ketakutan berlebihan). Kondisi ini memerlukan perhatian secara serius, yang tanggung jawabnya tidak hanya pada pelaksanaan hukum semata, tetapi juga menuntut tanggung jawab moral masyarakat sebagai cikal bakal pertumbuhan seseorang (masa kanak-kanak hingga dewasa), agar nilai-nilai moral dan etika kehidupan sebagai barometer terhadap apa yang layak dan tidak layak atau apa yang wajar maupun tidak wajar, tetap terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Subagyo Partidiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2008

Anda mungkin juga menyukai