Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

STUDI KASUS PENETAPAN TERSANGKA KETUA KPK

(KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI)

FATIHAH RIZQIYAH, S.STP

NIM. 2260131075

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan publik merupakan kewenangan pemerintah menjalankan tugas


dan fungsinya dalam hubungannya dengan masyarakat dan dunia usaha. Pada
dasarnya kebijakan pemerintah dalam menata kehidupan masyarakat di berbagai
aspek merupakan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan publik
(masyarakat). Pengertian kebijakan (policy) adalah prinsip atau cara bertindak
yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Dalam setiap
penyusunan kebijakan publik diawali oleh perumusan masalah yang telah
diidentifikasi kemudian pelaksanaan kebijakan tersebut ditujukan untuk mengatasi
masalah yang terjadi dalam masyarakat.

Nuryanti (2015:1) menulis dalam bukunya bahwa menurut Charles O. Jones


(1984;25)1, istilah kebijakan (policy) digunakan dalam praktek sehari-hari namun
digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda.
Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan
(decision), standar, proposal dan grand design. Namun demikian, meskipun
kebijakan publik mungkin kelihatan sedikit abstrak atau mungkin dapat dipandang
sebagai sesuatu yang terjadi terhadap seseorang, namun sebenarnya sebagaimana
beberapa contoh yang telah disebutkan terdahulu pada dasarnya kita telah
dipengaruhi secara mendalam oleh banyak kebijakan publik dalam kehidupan
sehari-hari.

Kemudian, James Anderson (1979;4) mengatakan secara umum istilah


“kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor
(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah)
atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan
seperti ini dapat digunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-
pembicaraan bisa, namun jadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan
yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik.
Oleh karena itu diperlukan batasan atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat

Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang
dimaksud dengan kebijakan publik (public policy) khususnya dalam literatur ilmu
politik. Masing-masing definisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda.
Hal ini disebabkan karena kebanyakan definisi dipengaruhi oleh masalah tertentu
yang ingin ditelaah oleh seorang analisis kebijakan. Sementara disisi lain,
pendekatan dan model yang digunakan para ahli akhirnya juga akan menentukan
bagaimana kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan. Misalnya, apakah
kebijakan dilihat sebagai rangkaian keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau
sebagai tindakan-tindakan yang dampaknya dapat diramalkan.

1
Nuryanti Mustari, Pemahaman Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan
Publik (Yogyakarta: PT Leutika Nouvalitera: 2015), hal. 1
Seiring dengan dinamika masyarakat yang semakin kompleks, kebijakan
publik menjadi landasan utama dalam membentuk arah dan kualitas kehidupan
bersama. Salah satu entitas hasil dari kebijakan publik yang memiliki peran
sentral dalam mewujudkan integritas, transparansi, dan keadilan dalam lingkup
pemerintahan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat Ad-
Hock. Sebagai lembaga yang diberi mandat untuk memberantas korupsi di
Indonesia, KPK berada di garis depan dalam perumusan dan implementasi
kebijakan publik yang berdampak luas pada masyarakat.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan


Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga
negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan
dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang.

Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas melakukan:

a. tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana


Korupsi;

b. koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas
melaksanakan pelayanan publik;

c. monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;

d. supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

e. penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana


Korupsi; dan

f. tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan


yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud, Komisi


Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta


kekayaan penyelenggara negara;

b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c. menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jejaring


pendidikan;

d. merencanakan dan melaksanakan program sosialisasi Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi;

e. melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat; dan


f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Dalam upaya memberantas korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


di Indonesia memiliki peran sentral dan strategis. Dalam konteks kebijakan publik
tidak hanya terbatas pada pengungkapan dan penindakan terhadap kasus korupsi.
Namun, juga mencakup upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat,
membangun kerjasama dengan pihak-pihak terkait, dan merancang strategi yang
berkelanjutan untuk pencegahan korupsi, juga merumuskan dan
mengimplementasikan berbagai kebijakan publik untuk mencegah dan
mengurangi korupsi.

Dalam tugasnya sebagai penjaga kebijakan publik, KPK secara aktif terlibat
dalam perumusan kebijakan anti-korupsi untuk mencapai tujuan pemberantasan
korupsi di berbagai sektor dengan berbagai langkah strategis seperti KPK
melakukan analisis risiko korupsi untuk mengidentifikasi sektor-sektor yang
rentan terhadap korupsi. Hasil analisis ini menjadi dasar untuk merumuskan
kebijakan yang lebih terarah, kemudian dengan adanya KPK, pembuat kebijakan
publik harus memastikan proses perumusan kebijakan melibatkan konsultasi
dengan pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat sipil. Hal ini bertujuan untuk memastikan inklusivitas dan penerimaan
kebijakan.

Namun keadaan yang semestinya ideal terlaksanakan oleh KPK, tercoreng


dengan adanya kasus yang menjerat Ketua KPK dimana Polda Metro Jaya resmi
menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri menjadi tersangka
kasus pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo 2. Firli
dijerat dengan pasal berlapis berupa pemerasan dan penerimaan gratifikasi. Pihak
berwenang telah menyita dokumen transaksi mata uang asing dari Singapura, dan
dolar AS senilai 7,4 miliar rupiah ($477.730) dari penggerebekan di dua lokasi3.

Tentunya fenomena tersebut menjadi anomali yang abnormal, dimana


seharusnya KPK dapat berperan menegakan semangat anti korupsi, namun dari
dalam lembaganya yaitu salah satu okmun pimpinannya sendiri telah melakukan
tindak pidana korupsi dalam hal ini pemerasan dan penerimaan gratifikasi dari
salah seorang tersangka kasus korupsi di kemeterian pertanian, hal tersebut tentu
sangat bertentangan tujuan utama dibentuknya KPK sebagai salah satu amanat
reformasi di Indonesia, selain itu tentunya hal ini sangat berlawanan dengan
keinginan dan menyakiti perasaan seluruh masyarakat Indonesia yang sangat
menaruh harapan besar kepada KPK untuk dapat menjadikan Indonesia yang
bebas dari tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

2
CNBC Indonesia, Kronologi Lengkap Penetapan Tersangka Ketua KPK Firli Bahuri,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20231123080741-4-491294/kronologi-lengkap-
penetapan-tersangka-ketua-kpk-firli-bahuri diakses pada tanggal 25 Desember 2023
3
VOA Indonesia, Ketua KPK Firli Bahuri Ditetapkan sebagai Tersangka Kasus Pemerasan,
https://www.voaindonesia.com/a/ketua-kpk-firli-bahuri-ditetapkan-sebagai-tersangka-kasus-
pemerasan/7367067.html diakses pada tanggal 25 Desember 2023
Dengan melihat keadaan yang terjadi diatas, penulis merasa berkeinginan
untuk mengetahui bagaimana KPK sebagai sebuah hasil dari kebijakan publik
setelah terjadinya kasus tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis makalah
dengan judul “Analisis Kebijakan Publik-Studi Kasus Penetapan Tersangka
Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)”.

1.2. Tujuan

Dilihat dari rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui kondisi KPK sebagai sebuah hasil dari kebijakan publik
setelah terjadinya kasus tersebut.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kebijakan

Menurut William Dun (1999) sebagaimana dituliskan kembali oleh Frintin


Anggraini pada tesisnya tentang Analisis Implementasi Kebijakan Pembentukan
Account Reprsentative dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Wajib Pajak (Studi
Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Jakarta Utara) 4, kebijakan adalah
aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat
mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tatanilai baru
dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota
organisasi atau anggota masyarakat dalam berperilaku. Kebijakan pada umumnya
bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan
Peraturan (Regulation), kebijakan lebih bersifat adaptif dan intepratatif, meskipun
kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan
juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang
spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diintepretasikan sesuai kondisi
spesifik yang ada.

Di dalam kamus politik yang ditulis oleh Marbun (2007) dikatakan bahwa
kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan satu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan
atau organisasi pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis
pedoman dalam mencapai sasaran.

2.2 Kebijakan Publik

Dwi Nurani menulis dalam tesisnya bahwa Kebijakan Publik menurut


(Thomas R. Dye , 1995:2) mendefinisikannya “what government to do, what they
do it and what difference it makes”. Sebagai segala sesuatu yang dikerjakan
pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah
kehidupan bersama tampil berbeda5. Definisi tersebut mengandung makna bahwa
kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah dan bukan swasta;
kebijakan publik itu menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan oleh badan pemerintah. Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan
yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar
yang dibuat oleh pemegang otoritas publik (Soeharto, 2008). Sebagai suatu
keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh
otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang
banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama
rakyat banyak dan demi kepentingan rakyat.

4
Frintin Anggraini, Tesis: Analisis Implementasi Kebijakan Pembentukan Account Reprsentative
Dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Wajib Pajak (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak
Madya Jakarta Utara), (Jakarta: UI, 2010), Hal. 15
5
Dwi Nurani, Tesis: Analisis Implementasi Program Bantuan Operasional Sekolah Pada Sekolah
Dasar Negeri Di Kota Jakarta Selatan, (Jakarta: UI, 2009), Hal. 13
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang
banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang
otoritas publik (Soeharto, 2008). Sebagai suatu keputusan yang mengikat publik
maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang
menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses
pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak dan demi kepentingan rakyat.

2.3 Kerangka Kebijakan Publik

Menurut Soebarsono (2005) sebagaimana dituliskan kembali oleh Frintin


Anggraini pada tesisnya tentang Analisis Implementasi Kebijakan Pembentukan
Account Reprsentative dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Wajib Pajak (Studi
Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Jakarta Utara) 6, bahwa kebijakan
publik memiliki kerangka kerja yang disebut dengan kerangka kerja kebijakan
publik. Kerangka kerja tersebut akan ditentukan oleh beberapa variabel antara lain
sebagai berikut:

a. Tujuan yang akan dicapai.

Yaitu mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai. Apabila


tujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit mencapai
kinerja kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin
sederhana, maka semakin mudah untuk mencapainya.

b. Preferensi nilai yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.

Suatu kebijakan yang mengandung berbagai variasi nilai akan jauh


lebih sulit dibanding dengan suatu kebijakan yang hanya mengejar
satu nilai.

c. Sumber daya yang mendukung kebijakan.

Kinerja suatu kebijakan akan ditentukan oleh sumberdaya finansial,


material dan infrastruktur lainnya.

d. Kemampuan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan kebijakan.

Kualitas dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kualitas


orangorang yang terlibat dalam proses penetapan kebijakan. Kualitas
tersebut akan ditentukan dari tingkat pendidikan, kompetensi dalam
bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya.

e. Lingkungan sekitarnya.

Kinerja dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh lingkungan


sosial, ekonomi, politik tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.

6
Frintin Anggraini, Tesis: Analisis Implementasi Kebijakan Pembentukan Account Reprsentative
Dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Wajib Pajak (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak
Madya Jakarta Utara), (Jakarta: UI, 2010), Hal. 15
f. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.

Strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu


kebijakan akan mempengaruhi kinerja dari suatu kebijakan. Strategi yang
digunakan dapat bersifat top-down approach atau bottom-up approach,
otoritas atau demokratis (6-8).

2.4 Implementasi Kebijakan Publik

Dalam bukunya Soebarsono (2005: 87) menuliskan bahwa suatu


kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers
tidak dapat menjamin keberhasilan kebijakan tersebut dalam
implementasinya. Ada beberapa variabel yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan baik yang bersifat individual maupun kelompok
atau institusi. Implementasi dari suatu program akan melibatkan berbagai
upaya yang dilakukan oleh policy makers untuk mempengaruhi perilaku
pelaksana kebijakan agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur
kelompok sasaran.

Sedangkan Awan dan Yudi (2016:68) menulis dalam bukunya


bahwa menurut Teori George C.Edwards III (1980) implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat variabel7, yaitu:

1) Komunikasi

Komunikasi sebagai sarana untuk mentransmisikan tujuan


dan sasaran kebijakan kepada kelompok sasaran (target group)
sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Dalam proses
komunikasi kebijakan terdapat tiga hal penting, yakni
transmisi, konsistensi dan kejelasan. Oleh karena itu, syarat utama
bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka
yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang
harus mereka lakukan dan ditularkan kepada personil yang tepat,
akurat dan dipahami.

2) Sumber -sumber

Agar implementasi kebijakan efektif, maka sumber


sumber merupakan taktor yang penting dalam melaksanakan
kebijakan publik. meliputi staf yang memadai serta keahlian yang
baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan
fasllitas- fasllitas yang dlperlukan untuk menerjemahkan usul-
usul diatas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan
public, yakni: staf, lnformasi, wewenang dan fasilitas-fasilitas.

3) Sikap Pelaksana

7
Awan dkk, Teori dan Analisis Kebijakan Publik (Bandung: CV. Alfabeta: 2016), hal. 68
Sikap pelaksana adalah watak dan karakteristik yang
dimiliki oleh implementor, seperti: komitmen, kejujuran dan sifat
demokratis. Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan
merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi
konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif.
Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan
tertentu, dan hak ini berarti adanya dukungan, berarti mereka
melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diharapkan para
pembuat kebijakan. Oleh karena itu, ini berbicara tentang
dampak baik positif maupun negalif, sangat tergantung pada
kecenderungan slkap perilaku pelaksana kebijakan. Hal yang
mempengaruhi kecenderungan – kecenderungan birokrat dan
beberapa insentif.

4) Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan


kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
implementasi kebijakan. Biroktasi merupakan salah satu badan
yang paling sering bahkan secera keseluruhan menjadi pelaksana
kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tldak sadar memilih
bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam
rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan
modern. Oleh karena ltu, struktur birokrasi merupakan faktor
yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan.
Walaupun demikian, faktor struktur birokrasi dalam
pelaksanaannya menghadapi dua faktor yang memungkinkan
terhambatnya fungsi suuktur birokrasi, yakni factor internal.
yaltu prosedur prosedur kerja ukuran-ukuran dasar (standard
Operating Procedures - SOP} dan faktor ekstemal, yakni
fragmentasi. Fragmentasi dapat berupa tekanan-tekanan dari luar
unit blrokrasi, komite dalam legislative, interest group, pejabat
pejabat eksekutif dan faktor eksternal lainnya.
BAB III

PEMBAHASAN

4.1 Implementasi Kebijakan Publik di KPK

Implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam


seluruh proses kebijakan karena kebijakan publik yang telah dibuat akan
bermanfaat bila diimplementasikan. Suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi dipandang sebagai proses interaksi antara suatu perangkat tujuan
dan tindakan yang mampu untuk mencapai tujuan kebijakan. Dimana didalam
implementasi kebijakan aktor, organisasi, prosedur dan teknik dipakai secara
bersama dan simultan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia memiliki peran sentral


dalam memberantas korupsi. Kebijakan publik yang diimplementasikan oleh KPK
mencakup berbagai aspek, dari perumusan undang-undang, penyelidikan dan
penindakan korupsi, program pencegahan korupsi, kolaborasi dengan pihak
eksternal, pelaksanaan program rekonsiliasi keuangan negara, edukasi dan
pelatihan internal, hingga langkah-langkah konkret dalam penanganan kasus
korupsi.

Dari fakta yang penulis teliti terhadap kesesuaian dari persfektif teori yang
penulis gunakan yaitu mengenai teori implementasi kebijakan Teori George
C.Edwards III yang mencakup:

1. Komunikasi
2. Sumber-sumber
3. Sikap pelaksana
4. Struktur birokrasi

4.1.1 Komunikasi

Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan adalah bahwa


mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus
mereka lakukan. Keputusan kebijakan dan perintah harus diteruskan
kepada personil yang tepat sebelum keputusan dan perintah itu dapat
diikuti. Tentu saja, komunikasi harus akurat dan dimengerti dengan cermat
oleh para pelaksana. Namun seringkali keputusan telah dibuat dan perintah
pelaksanaanya juga telah dikeluarkan, namun demikian proses pelaksanaan
keputusan tersebut tidak berjalan secara langsung sebagaimana
diharapkan. Bisa jadi keputusan itu diabaikan dan terjadi kesalahpahaman
terhadap keputusan tersebut atau mereka mempunyai keleluasaan untuk
memaksakan pandangan-pandanganya terhadap keputusan yang mungkin
berbeda dengan pandangan-pandangan atasan mereka atau pandangan-
pandangan yang menjadi acuan.
Komunikasi menjadi hal yang terpenting bagi kehidupan bersama,
tidak terkecuali komunikasi kebijakan. Masih banyak praktik-praktik
kebijakan yang mengesampingkan aspek komunikasi publik, sehingga
menimbulkan berbagai kesalahpahaman dan menurunnya kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran
bersama dari para perumus dan pemangku kebijakan agar memasukkan
strategi komunikasi yang baik sebagai salah satu instrumen untuk
mendukung implementasi kebijakan yang efektif.

1. Transmisi

Transmisi merupakan persyaratan pertama bagi implementasi


kebijakan yang efektif, yaitu bahwa para pelaksana kebijakan harus
mengetahui apa yang harus mereka lakukan, namun pada kasus ini
transmisi yang ingin disampaikan oleh KPK sebagai lembaga anti
korupsi tentunya menjadi rusak, dikarenakan oleh perilaku oknum
pimpinannya sendiri yang terjerat kasus korupsi pemerasan dan
gratifikasi.

2. Konsistensi

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka


perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten. Walaupun perintah-
perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan
mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan
maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana
kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Dalam kasus ini dapat
kita lihat bahwa konsistensi KPK sebagai lembaga anti korupsi sangat
rendah karena perilaku oknum pimpinannya bertentangan dengan
tugas dari KPK.

3. Kejelasan

Dikatakan bahwa jika suatu kebijakan dapat diimplementasikan


sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan
tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga
komunikasi tersebut harus jelas. Ketidakjelasan pesan komunikasi
yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan
mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin
bertentangan dengan pesan awal sebagaimana oknum pimpinan KPK
yang melakukan tindakan korupsi yang tentu pasti menutupi
kejahatannya dari para pegawai KPK lainnya.

4.1.2 Sumber-sumber

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan dengan cermat,


jelas dan konsisten, namun jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber
yang diperlukan untuk melakukan kebijakan, maka implementasi
cenderung tidak berjalan. Oleh karena itu sumber-sumber yang penting
meliputi:
1. Staf/Sumberdaya Manusia

Sumber daya manusia sebagai pelaksana kebijakan, dimana


sumber daya manusia tersebut memiliki jumlah yang cukup dan
memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan kebijakan. Yang dimaksud
sumber daya manusia tersebut memiliki jumlah yang cukup dan
memenuhi kualifikasi adalah para pelaksana yang berjumlah cukup
dan memiliki kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dalam
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Jumlah pelaksana yang
banyak tidak otomatis mendorong implementasi yang berhasil, jika
tidak memiliki keterampilan yang memadai. Disisi lain kurangnya
personil yang memiliki keterampilan juga akan menghambat
pelaksanaan kebijakan tersebut, namun pada kasus ini oknum
pimpinan KPK sebagai salah satu sumberdaya manusia dalam
organisasi terbukti tidak memenuhi kualifikasi yang cukup untuk
menjadi seorang pimpinan lembaga anti korupsi yang dapat dijadikan
sebagai tauladan bagi anggotanya maupun masyarakat.

2. Informasi

Informasi merupakan sumber penting dalam implementasi


kebijakan. Informasi dalam sumber daya adanya informasi yang
dimiliki oleh sumber daya manusia untuk melaksanakan kebijakan
yang telah ditetapkan. Informasi untuk melaksanakan kebijakan disini
adalah segala keterangan dalam bentuk tulisan atau pesan, pedoman,
petunjuk dan tata cara pelaksanaan yang bertujuan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut. Pada kasus ini informasi yang
dimiliki seharusnya dapat dijadikan sebuah komponen untuk
memajukan organisasi, namun oleh oknum pimpinan KPK informasi
telah disalah gunakan untuk hal yang melanggar peraturan perundang-
undangan.

3. Wewenang

Kewenangan dalam sumber daya adalah kewenangan yang


dimiliki oleh sumber daya manusia untuk melaksanakan suatu
kebijakan yang ditetapkan. Kewenangan yang dimiliki oleh sumber
daya manusia adalah kewenangan setiap pelaksana untuk melakukan
hal-hal yang berkaitan dengan apa yang diamanatkan dalam suatu
kebijakan, sama seperti halnya informasi, oknum ketua KPK telah
menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan kejahatan
pemerasan dan gratifikasi.

4. Fasilitas-fasilitas

Fasilitas-fasiltas dalam sumber daya adalah semua sarana dan


prasarana yang tersedia demi terselenggaranya pelaksanaan suatu
kebijakan dan dipergunakan untuk mendukung secara langsung dan
terkait dengan tugas-tugas yang ditetapkan namun telah dipergunakan
dengan cara yang salah guna melakukan tindak pidana kejahatan.
4.1.3 Sikap Pelaksana

Sikap disini adalah sikap para pelaksana yang mendukung


pelaksanaan suatu kebijakan yang telah ditetapkan. Sikap para pelaksana
kebijakan merupakan faktor yang mempunyai konsekuensi dalam
implementasi kebijakan. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu
kebijakan tertentu, dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan
besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh
para pembuat keputusan awal, dan sebaliknya bila tingkah laku atau
perspektif para pelaksana berbeda dengan pembuat keputusan, maka
proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi lebih sulit.

Pada kasus ini oknum ketua KPK selaku pelaksana peraturan


perundang-undangan anti korupsi telah menujukan sikap yang
bertentangan dengan peraturan sehingga menjadikan usaha pemberantasan
korupsi tidak terlaksana sebagaimana mestinya.

4.1.4 Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu unsur dalam implementasi


kebijakan. Birokrasi baik secara sadar maupun tidak sadar memilih
bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif dalam rangka
memecahkan masalah sosial dalam kehidupan modern yang terkadang
sengaja dibentuk untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Menurut
Edward III, ada dua karakteristik utama dalam birokrasi yaitu prosedur
kerja baku standar atau operating procedure (SOP) dan fragmentasi.
Standard Operating Procedure berkembang sebagai tanggapan internal
terhadap waktu yang terbatas dan sumber dari para pelaksana serta
keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang komplek
dan tersebar luas. SOP mungkin menghalangi implementasi kebijakan baru
yang membutuhkan cara-cara kerja atau tipe-tipe personil baru untuk
melaksanakan kebijakan.

Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara lazim


dari suatu organisasi, semakin besar pula SOP menghambat implementasi.
Namun SOP juga memiliki manfaat dimana organisasi dengan prosedur
perencanaan yang baik dan kontrol yang sejalan dengan program yang
memungkinkan, akan lebih dapat menyesuaikan dengan tanggung jawab
yang baru daripada birokrasi tanpa mempunyai ciri tersebut. Dari
keterangan diatas maka dapat dikatakan bahwa adanya SOP atau petunjuk
pelaksanaan walaupun dibuat secara sederhana, tidak akan menyulitkan
aparat pelaksana dalam menjalankan suatu kebijakan tanpa mengurangi
makna secara keseluruhan.

Dalam kasus ini, SOP pastinya telah dibuat sedemikian rupa bagi
lembaga anti korupsi indonesia dengan tujuan meningkatkan performa
lembaga dalam memberantas korupsi, namun oknum pimpinan KPK telah
bekerja tidak sesuai SOP lembaga yang ada, sehingga lembaga tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
Karakteristik yang kedua dalam birokrasi adalah fragmentasi.
Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas
yang melibatkan unit diluar organisasi. Konsekuensi buruk dari
fragmentasi birokrasi usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat
dengan alasan prioritas dari organisasinya masing-masing, mendorong
para birokrat untuk menghindari koordinasi dengan organisasi lain,
padahal terkadang penyebaran wewenang dan sumber untuk melaksanakan
kebijakan komplek membutuhkan koordinasi. Hambatan ini diperburuk
oleh struktur pemerintah yang terpecah-pecah padahal semakin besar
koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin
berkurang kemungkinan untuk berhasil.

Dari keterangan diatas, dapat dikatakan bahwa fragmentasi yang


dimaksud adalah penyebaran tanggung jawab pelaksanaan tugas yang
dilaksanakan tanpa adanya tumpang tindih dengan tetap mencakup
pembagian tugas secara menyeluruh dalam melaksanakan suatu kebijakan,
namun pada kenyataannya fragmentasi yang dilakukan oleh oknum
pimpinan KPK merupakan sebuah fragmentasi yang mengarah kepada
pelanggaran peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas maka kesimpulan dari makalah ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
1. Implementasi
a. Komunikasi
Transmisi yang ingin disampaikan oleh KPK sebagai
lembaga anti korupsi menjadi rusak, dikarenakan oleh perilaku
oknum pimpinannya sendiri yang terjerat kasus korupsi pemerasan
dan gratifikasi. Kemudian konsistensi KPK sebagai lembaga anti
korupsi menjadi menurun karena perilaku oknum pimpinannya
bertentangan dengan tugas dari KPK. Serta kejelasan atau
transparansi antar pegawai KPK tentu tidak terjalin dengan baik
dikarenakan pimpinan KPK yang bergerak secara pribadi untuk
melakukan tindak pidana korupsi.
b. Sumber-sumber
Oknum pimpinan KPK sebagai salah satu sumberdaya
manusia dalam organisasi terbukti tidak memenuhi kualifikasi
yang cukup untuk menjadi seorang pimpinan lembaga anti korupsi
yang dapat dijadikan sebagai tauladan bagi anggotanya maupun
masyarakat karena informasi yang dimiliki seharusnya dapat
dijadikan sebuah komponen untuk memajukan organisasi, namun
oleh oknum pimpinan KPK tersebut, informasi telah disalah
gunakan untuk hal yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Selain itu sama seperti halnya informasi, oknum ketua KPK telah
menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan kejahatan
pemerasan dan gratifikasi. Kemudian fasilitas-fasilitas sebagai
ketua KPK dia salah gunakan untuk melakukan tindak pidana
kejahatan.
c. Sikap pelaksana
Pada kasus ini oknum ketua KPK selaku pelaksana
peraturan perundang-undangan anti korupsi telah menujukan sikap
yang bertentangan dengan peraturan sehingga menjadikan usaha
pemberantasan korupsi tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
d. Struktur Birokrasi
SOP yang telah dibuat sedemikian rupa bagi lembaga anti
korupsi indonesia dengan tujuan meningkatkan performa lembaga
dalam memberantas korupsi, telah dilanggar oleh oknum pimpinan
KPK sehingga lembaga tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Kemudian fragmentasi yang seharusnya dilaksanakan
untuk meningkatkan kinerja, namun pada kenyataannya
fragmentasi yang dilakukan oleh oknum pimpinan KPK
merupakan sebuah fragmentasi yang mengarah kepada pelanggaran
peraturan perundang-undangan.
5.2 Saran
Presiden Republik Indonesia harus segera mencopot jabatan Ketua KPK
Firli Bahuri sebagai komitmen menyelamatkan lembaga anti korupsi Indonesia,
kemudian Kepolisian Republik Indonesia harus segera mencari seluruh tersangka
yang terlibat hingga ke akarnya, dan untuk KPK sebagai salah satu hasil kebijakan
publik dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi harus segera dilakukan
restrukturisasi dan pembersihan dengan mengacu pada variabel-variabel
implementasi kebijakan publik.
Tentunya penulis dan seluruh masyarakat di Indonesia berharap kepada
lembaga KPK dapat kembali seperti dimasa awal dibentuknya dahulu dalam
semangat anti korupsi, menjadi lembaga paling bersih dan lembaga paling depan
dalam menumpas tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan menjadi
sebuah contoh sempurna bagi lembaga lainnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abdoellah, Awan dan Yudi, Rusfiana. 2016. Teori Analisis Kebijakan Publik.
Bandung : Alfabeta.

Mustari, Nuryanti. 2015. Pemahaman Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi


dan Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: PT Leutika Nouvalitera.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-


Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi

C. Karya Ilmiah

Anggraini, Frintin. 2010. Analisis Implementasi Kebijakan Pembentukan Account


Reprsentative dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Wajib Pajak (Studi 91
Program Magister Akuntansi Universitas Kristen Maranatha Kasus Pada
Kantor Pelayanan Pajak Madya Jakarta Utara). Tesis: Fakultas Ekonomi
Magister Akuntansi Universitas Indonesia. Jakarta.

Nurani, Dwi. 2009. Analisis Implementasi Program Bantuan Operasional Sekolah


Pada Sekolah Dasar Negeri Di Kota Jakarta Selatan, Tesis: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Magister Ilmu Adminstrasi Kekhususan Adminstrasi
dan Kebijakan Pendidikan Universitas Indonesia. Jakarta.

D. Artikel

CNBC Indonesia. 2023. Kronologi Lengkap Penetapan Tersangka Ketua KPK Firli Bahuri ,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20231123080741-4-491294/kronologi-
lengkap-penetapan-tersangka-ketua-kpk-firli-bahuri

VOA Indonesia. 2023. Ketua KPK Firli Bahuri Ditetapkan sebagai Tersangka Kasus Pemerasan ,
https://www.voaindonesia.com/a/ketua-kpk-firli-bahuri-ditetapkan-sebagai-
tersangka-kasus-pemerasan/7367067.html

Anda mungkin juga menyukai