Anda di halaman 1dari 15

TUGAS INDIVIDU

NAMA : AHMAD PAMRI


NPM : 221 110 031
MATA KULIAH : FORMULASI & EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
DOSEN PENGAMPU: Dr. SYAHRIL RAMADHAN, M.Si

Resume dua poin materi yaitu Agenda Kebijakan Publik dan Formuliasi
Kebijakan merupakan lanjutan tugas mata kuliah Formuliasi dan Evaluasi Kebijakan
Publik. Adapun ulasannya penejelasannya sebagai berikut:

AGENDA KEBIJAKAN PUBLIK

Dalam penyusunan agenda akan melalui tahap-tahap kebijakan publik pertama


yang dilakukan oleh pemerintah dalam menentukan dan menetapkan suatu kebijakan
publik yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Penyusunan agenda merupakan
suatu proses yang sangat baik untuk memaknai apa sebetulnya yang menjadi
kebutuhan prioritas masyarakat. Proses agenda setting dapat dipahami sebagai suatu
pengumpulan dimana beberapa isu (baik masalah maupun alternatif solusi)
mendapatkan perhatian aktor kebijakan untuk diambil sebagai pilihan pemerintah
dalam menyelesaikan masalah. Kegiatan menjadikan masalah public (public
problems) menjadi masalah kebijakan (policy problems) sering disebut dengan
penyusunan (agenda setting).
Penyusunan agenda pemerintah (agenda setting) dimulai dari kegiatan
fungsional, meliputi presepsi, definisi, agregasi, organisasi dan representasi yang
bermuara pada terusungnya suatu masalah public atau suatu isu public menjadi suatu
masalah yang oleh pemerintah (pembuat kebijakan) dianggap penting untuk dicari
jalan keluarnya melalui kebijakan publik (Meutia, 2017). Produk rill dari proses
penyusunan agenda pemerintah adalah terakomodasinya kepentingan publik (masalah
publik) menjadi opini publik, kemudian menjadi tuntutan publik, untuk selanjutnya
menjadi masalah prioritas yang akan dicarikan penyelesaiannyaa.
Agenda Pemerintah
Agenda pemerintah disusun atas problema-problema yang sangat membutuhkan
keaktifan dan keseriusan pembuat keputusan untuk mempertimbangkannya. Agenda
pemerintah ini mempunyai sifat yang khas, lebih konkrit dan terbatas jumlahnya.
Sebagai contoh dibidang ekonomi, dasar pertimbangannya dan cara-cara untuk
memberantas tengkulak-ijon. Sementara agenda sistemik lebih abstrak dan umum
serta kurang menunjukan alternatif cara-cara pemecahannya. Misalnya tentang
mengakhiri atau menghapuskan diskriminasi (Meutia, 2017). Untuk dapat menjadi
agenda kebijakan terdapat beberapa kriteria isu penting yaitu isu tersebut sangat
serius jika tidak di tangani akan menimbulkan krisis baru, isu tersebut berdampak
luas, dan bersifat publik menyangkut banyak orang.
Dalam analisis pakar politik, terdapat pendapat bahwa peraturan agenda dapat
dilihat terdiri dari tiga aktivitas independen (masalah, proposal dan politik) yang
terkadang bertemu, membuka jendela kebijakan dan memungkinkan beberapa hal
untuk mencapai agenda pemerintah. Alur masalah terdiri dari hal-hal yang ingin
dilakukan oleh para pelaku kebijakan, baik di dalam maupun diluar pemerintahan.
Agenda pemerintah menurut Jones, dibedakan menjadi :
1) Definisi agenda masalah, yaitu hal-hal (masalah) yang memperoleh penelitian dan
perumusan secara aktif dan serius dari pembuat keputusan.
2) Proposal agenda, yaitu hal-hal (masalah) yang telah mencapai tingkat diusulkan,
dimana telah terjasi perubahan fase merumuskan masalah menjadi fase pemecahan
masalah.
3) Bargaining agenda, yaitu usulan-usulan kebijaksanaan tadi ditawarkan untuk
memperoleh dukungan secara aktif dan serius.
4) Agenda berkelanjutan, yaitu hal-hal yang didiskusikan dan dinilai secara terus-
menerus.
Menurut Cobb dan Elder bahwa agenda kebijaksanaan itu dapat berisi hal-hal
lama dan baru, tetapi bagi pembuat kebijaksanaan dinegara dengan paham demokrasi
dan berorientasi pada terbentuknya negara kesejahteraan yang pasti dituntut untuk
memiliki kepekaan terhadap masalah masyarakat. Serta mempunyai kewajiban
menangani permasalahan tersebut secara tuntas.

Aktor Kebijakan

Adapun aktor kebijakan sedikitnya ada 4 golongan atau tipe aktor yang terlibat
yakni golong rasionalis, golongan teknisi, inkrementalis (politisi) dan golongan
reformis (pembaharu). Sementara peran aktor kebijakan yaitu legislatif, eksekutif,
yudikatif, instansi administrasi, lembaga peradilan. Partisipasi non- pemerintah dalam
pembuat kebijakan diantaranya kelompok kepentingan, warga negara (individu) dan
partai politik.

a) Peran Legislatif dalam Kebijakan Publik


Lembaga Legislatif merupakan sebuah lembaga yang memiliki suatu
kewenangan untuk dapat membuat kebijakan, peraturan, serta juga undang-
undang. Legislatif ini merupakan badan deliberatif pemerintah dengan kuasa
membuat hukum. Legislatif ini juga dikenal dengan beberapa nama, yaitu
parlemen, DPR (indonesia), kongres, serta asembli nasional.
Cabang legislatif terdiri dari DPR dan Senat, yang secara kolektif dikenal
sebagai Kongres. Di antara kekuasaan lainnya, cabang legislatif membuat semua
undang-undang, menyatakan perang, mengatur perdagangan antarnegara bagian
dan luar negeri dan mengendalikan kebijakan perpajakan dan pengeluaran.
b) Peran Eksekutif dalam Kebijakan Publik
Lembaga eksekutif ini merupakan sebuah lembaga yang bertugas untuk
dapat melaksanakan kebijakan, peraturan, serta juga undang-undang yang dibuat
oleh lembaga legislatif. Eksekutif ini merupakan salah satu cabang pemerintahan
yang memiliki kekuasaan serta juga bertanggungjawab untuk menerapkan hukum.
Menurut Siagian, Eksekutif adalah seseorang yang menduduki jabatan
kepemimpinan tertentu dalam suatu organisasi mempunyai hak dan wewenang
menggerakkan orang lain yang disebut “bawahan” dan para bawahan itulah yang
memikul tanggung jawab melaksanakan berbagai kegiatan operasional dalam
pencapaian tujuan organisasi. Dengan kata lain eksekutif adalah manajer tingkat
atas suatu organisasi, yang memberikan pengaruh yang besar terhadap
perusahaan.
c) Peran Yudikatif dalam Kebijakan Publik
Lembaga yudikatif ini merupakan lembaga yang memiliki atau mempunyai
kewenangan dalam mengadili para pelanggar yang melanggar kebijakan yang
telah/sudah dibuat oleh lembaga legislatif. Kekuasaan Yudikatif. Badan Yudikatif
Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dengan tujuan
menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman di Indonesia, menurut
konstitusi, berada di tangan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan
tatausaha negara) serta sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut Amandemen
ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001, mengenai Bab
Kekuasaan Kehakiman (BAB IX), kekuasaan kehakiman terdiri dari Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung.
d) Peran Intansi Administrasi dalam kebijakan publik
Administrator sebagai Perumus dan implementator kebijakan memegang
peranan penting dalam pencapain tujuan Negara yang akan terimplementasikan
dalam setiap program nyata yang akan dirasakan oleh masyarakat, dengan tujuan
utama masyarakat sejahtera.
e) Peran Lembaga Peradilan
Peranan lembaga peradilan atau Hukum merupakan suatu kebijakan atau
aturan yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku masyarakat serta menjadi
salah satu pedoman bagi penggerak bangsa dalam melakukan tugasnya. Menurut
Prof. Soebekti, S.H tujuan daripada didirikannya hukum adalah
menyelenggarakan keadilan demi kehidupan bermasyarakat yang adil dan
makmur.
Mengingat Indonesia dengan pokok pikiran dalam pembukaan UUD adalah
negara hukum, maka dibentuklah berbagai macam lembaga peradilan di
Indonesia. Lembaga peradilan merupakan badan atau organisasi yang bertugas
menangani permasalahan atau pelanggaran yang tidak sesuai UU berlaku. Secara
garis besarnya lembaga peradilan berfungsi untuk menegakkan hukum yang
berlaku di suatu negara.
f) Peran Partisipasi Masyarakat dalam Kebijakan Publik
Didalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, salah
satu dasar pemikiran pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Karena dengan partisipasi yang aktif
dari masyarakat, masyarakat dapat menjadi pengontrol / pengawas pelaksanaan
kebijakan public tersebut sehingga pemerintah tidak akan melakukan kesalahan
yang merugikan rakyat. Sebagai pengawas atau pengontrol terhadap pemerintah,
rakyat dapat menyampaikan aspirasi, keluhan dan pendapat didalam proses
perumusan kebijakan public. Partisipasi masyarakat dalam proses perumusan
kebijakan public harus sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Misalnya, kita menyampaikan aspirasi kepada anggota DPR / DPD / DPRD
tentang masalah kebijakan public tertentu secara lisan ataupun tulisan untuk
dibahas / disampaikan kepada yang bersangkutan / berkepentingan. Hal itu sudah
merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan
public.
g) Peran Partai Politik dalam Kebijakan Publik
Partai politik dalam hubungannya dengan system social politik ini
memainkan berbagai fungsi, salah satunya pada fungsi input, dimana partai
politik menjadi sarana sosialisasi politik, komunikasi politik, rekruitmen politik,
agregasi kepentingan, dan artikulasi kepentingan dalam pembuatan kebijakan
publik.
Agenda Kebijakan Publik
Agenda Kebijakan merupakan langkah selanjutnya dari sebuah isu
kebijakan. Namun demikian tidak semua isu kebijakan dapat diangkat menjadi
agenda kebijakan dan akhirnya menjadi Kebijakan Publik.
“Nasib” isu Kebijakan dalam Agenda Kebijakan :
1. Mendapat Respon secara positif  begitu isu muncul langsung menjadi
agenda kebijakan, baik di tingkat Eksekutif maupun Legislatif;
Contoh: pada Krisis Ekonomi tahun 1980-an, muncul isu deregulasi di bidang
ekonomi yang begitu mudah menjadi agenda kebijakan yang dibahas dalam
sidang kabinet yang akhirnya menghasilkan kebijakan PAKTO 88 (paket
oktober 1988)
2. Mendapat Respon secara Negatif isu yang dimunculkan masyarakat
ditanggapi secara negatif dan diperlakukan secara negatif pula oleh
Pemerintah, bahkan sejak isu itu masih dalam tahap “embrio” (wacana
kebijakan).
Contoh: pada tahun 1980-an juga, Sidang Tanwir Muhammadiyah
memunculkan isu Suksesi Nasional, namun tidak pernah mendapat respon
positif dari kalangan elit politik, bahkan isu tersebut hilang begitu saja.
3. Mendapat Respon Positif dalam waktu yang lama  isu kebijakan menjadi
agenda kebijakan saat isu yang bersangkutan justru hampir hilang dari
“peredaran”nya.
Contoh: Isu Suksesi nasional yang digulirkan Muhammadiyah tersebut
akhirnya mendapat tempat setelah lebih dari 10 tahun yakni pada 1998 terjadi
perubahan Kepemimpinan Nasional. Meskipun hal ini tidak semata-mata hasil
kerja Muhammadiyah, namun peran Muhammadiyah menggulirkan isu
tanpa mengenal lelah akhirnya mendatangkan hasil berupa Kebijakan Publik.
4. Mendapat Respon setengah hati  isu kebijakan umumnya menyangkut isu
global tetapi berdampak internal. Misalnya: Kasus HAM. Pada dasarnya
pemerintah enggan untuk menyelesaikannya secara tuntas, namun karena
adanya desakan internasional, akhirnya dibentuk KOMNAS HAM. Tetapi
kerja Komnas HAM pada waktu yang lalu nampak setengah hati.

Kriteria Isu Menjadi Agenda Kebijakan


Agar Isu Publik (isu kebijakan) mendapatkan tempat dalam Agenda
Kebijakan, maka isu publik harus dikelola dengan baik. Pengelolaan isu (Manajemen
Isu Kebijakan) sangat penting, mengingat begitu banyaknya isu kebijakan yang
dimunculkan, baik oleh rakyat, kelompok penekan, partai politik, pemerintah maupun
anggota legislative sendiri. Isu (Isu Kebijakan) dapat didorong menjadi Agenda
Kebijakan, jika memenuhi syarat sebagai berikut (Abdul Wahab):
1. Isu tersebut telah (harus didorong) mencapai titik kritis tertentu, sehingga ia
praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai
suatu ancaman serius yang jika tidak segera diatasi justru akan menimbulkan
luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang (Misal: Isu Terorisme di
Amerika dan Negara-negara lain termasuk Indonesia)
2. Isu tersebut telah (harus didorong) mencapai tingkat partikularistik tertentu
(mendapat perhatian masyarakat luas secara khsusus) yang dapat menimbulkan
dampak (impact) yang bersifat dramatik Isu tersebut menyangkut emosi
tertentu dilihat dari sudut kepentingan orang banyak, bahkan umat manusia
pada umumnya dan mendapat dukungan berupa liputan media massa yang amat
luas. (Misal: isu HAM, Lingkungan Hidup, Wabah Penyakit, dsb)
3. Isu tersebut mampu menjangkau dampak yang amat luas. Isu tersebut
mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.
(Misal: Kasus Bupati Kampar, Riau.
4. Isu tersebut menyangkut suatu persoalan yang fasionable, dimana posisi isu sulit
untuk dijelaskan tetapi mudah dirasakan kehadirannya

FORMULIASI KEBIJAKAN PUBLIK


Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan yang
terkait dan dapat diterima untuk menangani permasalahan publik. Perumusan
kebijakan tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah
produk peraturan perundang-undangan. Seringkali pembuat kebijakan memutuskan
untuk tidak mengambil tindakan terhadap sebuah permasalahan dan membiarkannya
selesai sendiri. Atau seringkali pembuat kebijakan tidak berhasil mencapai kata
sepakat mengenai apa yang harus dilakukan terhadap suatu masalah tertentu (Rusli,

2013:72).

Formulasi kebjakan publik ialah langkah paling awal dalam proseskebijakan publik
secara keseluruhan. Oleh karenanya apa yang terjadipada fase ini akan sangat
menentukan keberhasilan kebijakan publik yangdibuat pada masa yang akan datang.
Formulasi menurut Anderson dalamWinarno (2007:93) merupakan upaya menjawab
pertanyaan bagaimanaberbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang
dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. Formulasi kebijakan sebagai bagian
dalam proses kebijakan publik.

Tjokroamidjojo dalam Islamy (1991:24) mengatakan bahwa policy


formulation sama dengan pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan
pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus me- nerus dan tidak pernah
selesai. Dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan keputusan. Lebih jauh tentang
proses pembuatan kebijakan negara (publik). Udoji dalam Wahab (2001:17)
merumuskan bahwa pembuatan kebijakan negara sebagai “The whole process of
articulating and defining problems, formulating possible solution into political
demands, channeling those demands into the political system, seeking sanctions or
legtimation of the preffered course of actions, legtimation and implementation,
monitoring and review (feedback)”

Model perumusan kebijakan publik merupakan pengambilan keputusan dari


berbagai alternatif. Dalam pengambilan keputusan biasanya mempertimbangkan
antara untung rugi dan keefisiennya suatu kebijakan (model rasional kompreherensif).
Dalam model perumusan kebijakan publik dalam proses ini faktor aktor akan
melakukan pendefinisian suatu masalah (input) kemudian di konvertasi untuk dibuat
kebijakan yang pas dan hasil dari input dan konversi adalah output yang berupa
kebijakan. Namun dalam prosis input koversi dan output faktor lingkungan sebagai
penerima kebijakan berpengaruh cukup besar. Karena nantinya setelah kebijakan
dibuat dan ditolak oleh lingkungan penerima. kebijakan maka akan diproses kembali
untuK dibuat model kebijakan yang baru, yang sesuai dengan lingkungan penerima
kebijakan.

Di lingkungan para pembelajar perumusan kebijakan publik terdapat sejumlah


model. Dye (1992:20) merumuskan model-model secara lengkap dalam sembilan
model formulasi kebijakan yaitu:
1. Model Kelembagaan (Institutional)
Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa
tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi apapun yang
dibuat pemerintah dengan cara apa pun adalah kebijakan publik. Ini adalah model
yang paling sempit dan sederhana di dalam formulasi kebijakan publik. Model ini
mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor
dan tingkat, di dalam formulasi kebijakan. Disebutkan Dye, ada tiga hal yang
membenarkan pendekatan ini, yaitu pemerintah memang sah membuat kebijakan
publik, fungsi bersifat universal, dan memang pemerintah memonopoli fungsi
pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama.

Pendekatan kelembagaan (institutionalism) merupakan salah satu perhatian


ilmu politik yang tertua. Kehidupan politik umumnya berkisar pada lembaga
pemerintah seperti: legislatif, eksekutif, pengadilan dan partai politik; lebih jauh
lagi kebijakan publik awalnya berdasarkan kewenangannya ditentukan dan
dilaksanakan oleh lembaga pemerintah. Tidak mengherankan kemudian bila
ilmuan politik banyak mencurahkan perhatian pada pendekatan ini. Secara
tradisional pendekatan kelembagaan menitikberatkan pada penjelasan lembaga
pemerintah dengan aspek yang lebih formal dan legal. Yang meliputi organisasi
formal, kekuasaan legal, aturan prosedural, dan fungsi atau aktivitasnya.
Hubungan formal dengan lembaga lainnya juga menjadi titik berat dari
pendekatan kelembagaan. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah
terabaikannya masalah-masalah lingkungan di mana kebijakan itu diterapkan.

Dalam model kelembagaan, kebijakan dianggap sebagai hasil dari lembaga-


lembaga pemerintah (parlemen, kepresidenan, kehakiman, pemerintah daerah dan
sebagainya) yang meliputi proses-proses perumusan, pelaksanaan dan pemaksaan
secara otoritatif oleh lembaga-lembaga pemerintah tersebut. Karakteristik
kebijakan model kelembagaan ini meliputi: Pemerintah memberikan legitimasi
terhadap kebijaksanaan yang akan ditempuhnya, sedangkan rakyat sebagai
penerima kebijakan tersebut; Pemerintah melaksanakan kebijakannya secara
universal dan tidak ada seorangpun yang bisa menghindar; Hanya pemerintah
yang berhak memaksakan pelaksanaan kebijakan kepada masyarakat.

2. Model Proses (Process)


Di dalam model ini, para pengikutnya menerima asumsi bahwa politik
merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Model ini
memberitahukan kepada kita bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat,
namun kurang memberikan tekanan kepada substansi seperti apa yang harus ada.
Misalnya mulai dari :
a. Proses identifikasi permasalahan
b. Menata agenda formulasi kebijakan c. Perumusan proposal
c. Legitimasi kebijakan
d. Implementasi kebijakan
e. Evaluasi kebijakan.
f. Model Kelompok (Group)
Model pengambilan kebijakan dalam teori kelompok mengandaikan
kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Inti gagasannya adalah
interaksi di dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan
keseimbangan adalah yang terbaik. Di sini individu di dalam kelompok-kelompok
kepentingan berinteraksi secara formal dan informal, secara langsung atau tidak
langsung melalui media masa menyampaikan tuntutan kepada pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan.

3. Model Elit (Elitte)


Model teori elit berkembang dari teori politik elit, massa yang melandaskan
diri pada asumsi bahwa di dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok,
yaitu pemegang kekuasaan atau elite dan yang tidak memiliki kekuasaan atau
massa. Teori ini menggambarkan diri kepada kenyataan bahwa sedemokratis
apapun, selalu ada bias di dalam formulasi kebijakan, karena pada akhirnya.
4. Model Rasional
Dalam teori ini gagasan yang dikedepankan adalah kebijakan publik
sebagai maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan
harus memilih kebijakan yang memberi manfaat optimum bagi masyarakat. Tidak
dipungkiri, model ini adalah model yang paling banyak diikuti dalam praktek
formulasi kebijakan publik di seluruh dunia. Model ini mengatakan bahwa proses
formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah
diperhitungkan rasionalitasnya. Dengan kata lain, model ini lebih menekankan
pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun
dalam urutan (Winarno, 2002:75):
1. Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya
2. Menemukan plihan-pilihan
3. Menilai konsekuensi masing-masing pilihan d. Menilai rasio nilai sosial yang
dikorbankan
4. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.
Apabila dirunut, kebijakan ini merupakan model ideal dalam formulasi
kebijakan, dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Studi-
studi kebijakan biasanya memberikan fokus kepada tingkat efisiensi dan
keefektifan kebijakan.

5. Model Incremental
Model Inkrementalis pada dasarnya merupakan kritik terhadap model
rasional. Dikatakannya, para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses
seperti yang disyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki
cukup waktu, intelektual maupun biaya, ada kekhawatiran muncul dampak yang
tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya
hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan, dan menghindari
konflik (Winarno, 2002:77-78). Kebijakan seperti ini dapat dilihat pada kebijakan
pemerintah hari ini untuk mengambil alih begitu saja kebijakan-kebijakan di masa
lalu, seperti kebijakan desentralisasi, kepartaian, rekapitalisasi kebijakan PPN dan
lain-lain.
Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan
peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya. karena
beberapa alasan, yaitu:
a. Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian terhadap
nilai- nilai sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi perumusan tujuan
kebijakan
b. Adanya kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tidak diinginkan
sebagai akibat dari kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya
c. Adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus
dipertahankan demi kepentingan tertentu
6. Model Teori Permainan ( Game Theory)
Model seperti ini biasanya di cap sebagai model konspiratif. Gagasan
pokok dari kebijakan dalam model permainan adalah, pertama formulasi
kebijakan berada di dalam situasi kompetisi yang instensif, kedua, para aktor
berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependent melainkan
situasi pilihan yang sama-sama bebas atau independent. Sama seperti permainan
catur, setiap langkah akan bertemu dengan kombinasi langkah lanjut dan langkah
balasan yang masing-masing relatif bebas.
Inti dari teori permainan yang terpenting adalah untuk mengakomodasi
kenyataan paling riil, bahwa setiap negara, setiap pemerintah, setiap masyarakat
tidak hidup dalam vakum. Ketika kita mengambil keputusan, maka lingkungan
tidak pasif, melainkan membuat keputusan yang bisa menurunkan keefektifan
keputusan kita. Di sini teori permainan memberikan konstribusi yang paling
optimal.
7. Model Pilihan Publik (Public Choice)
Model kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi
keputusan kolektif dari individu-individu yang bekepentingan atas keputusan
tersebut. Akar kebijakan ini sendiri berekar dari teori ekonomi pilihan publik
(Economic of public choise) yang mengandaikan bahwa manusia adalah homo
ecnomicus yang memiliki kepentingan- kepentingan yang harus dipuaskan.
Prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand.

Pada intinya, setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah harus
merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (benifisiaris atau customer
dalam konsep bisnis). Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian
melibatkan publik melalui kelompok- kelompok kepentingan. Secara umum, ini
adalah konsep formulasi kebijakan publik yang paling demokratis karena
memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkonstribusikan pilihan-
pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Sebuah pemikiran
yang dilandasi gagas Jhon Locke bahwa, pemerintah adalah sebuah lembaga yang
muncul dari kontrak sosial diantara individu-individu warga masyarakat.

8. Model Sistem (System)


Dalam pendekatan ini dikenal tiga komponen: input, proses, dan output.
Kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-
tindakan yang dilakukan pemerintah, dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian
pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah. Formulasi kebijakan publik
dengan model sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau
output dari sistem (politik).

Hal-Hal yang mempengaruhi proses formulasi kebijakan Menurut Nigro and


Negro (Islam, 1991:25), faktor-faktor yang ber- pengaruh terhadap proses
fomulasi kebijakan adalah:
a) Adanya pengaruh tekanan dari luar.
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “ratio- nale
comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus
mempertimbangkan alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian yang
rasional, namun proses dan formulasi tidak bisa dipisah- kan sehingga
menimbulkan tekanan dari luar dan ikut berpengaruh ter- hadap proses
formulasi kebijakan.
b) Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sum-
berdaya waktu terhadap suatu program kegiatan tertentu cenderung akan
selalu diikuti, meskipun keputusan tersebut telah dikritik sebagai suatu yang
salah sehingga perlu dirubah. Apalagi jika suatu kebijakan dipandang
memuaskan.

c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi


Berbagai macam kepumsan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak
dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya seperti dalam proses pe- nerimaan atau
pengangkatan pegawai baru. Seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat
keputusan berperan besar.
d) Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat ber- pengaruh.
bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan
pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi
kebijakan.
e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu ber- pengaruh
pada pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat
sering membuat keputusan yang tidak sesuai de- ngan keadaan di lapangan. Hal
ini disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan
tanggung jawab kepada orang lain akan
disalahgunakan.

Anda mungkin juga menyukai