Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Berbagai peristiwa yang terjadi di negara Indonesia disadari atau tidak
seringkali merupakan dampak dari terbitnya berbagai keputusan pemerintah yang
merupakan implementasi dari kebijakan negara. Peristiwa pembalakan hutan secara
besar-besaran di Yamdena kepulauan maluku, oleh PT. Alam Nusa Segar (milik
Liem Swie Liong), berbagai sengketa agraria mengenai hak-hak ulayat yang kerap
terjadi di tanah air, peristiwa penolakan dwi fungsi ABRI oleh mayoritas kekuatan
politik di Indonesia, peristiwa penolakan secara besar-besaran terhadap Undang-
undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB), kontroversi Undang-undang
No. 22 tahun 1999 tentang otonomi pemerintahan daerah merupakan sedikit contoh
dari keputusan pemerintah yang berwujud suatu kebijakan dan menimbulkan
masalah ketika di implementasikan.

Realita di atas senada dengan apa yang dikatakan oleh Solichin A Wahab
(2005 : 1) bahwa peristiwa yang berlangsung di sekitar kita bukanlah terjadi secara
alami atau sebagai sesuatu yang terjadi karena proses perkembangan yang normal.
Berdasarkan berbagai contoh peristiwa yang telah diuraikan di awal maka
kebijakan negaralah yang sesungguhnya telah memberikan warna terhadap
timbulnya peristiwa tersebut. Dengan kata lain, kebijakan negaralah yang
sebenarnya yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa-peristiwa yang ada
disekitar kita sehingga kebijakan negara sedikit banyak telah mempengaruhi
kehidupan kita sehari-hari, baik kita sadari atau tidak, dimengerti atau tidak.
Mungkin terlintas dalam benak kita bahwa kata advokasi sering dipakai oleh para
profesional hukum seperti; pengacara, polisi, hakim, dan kejaksaan.Advokasi itu
memang relatif luas pengertiannya, bisa diartikan hukum atau non hukum.proses
advokasi yang dilakukan membutuhkan pengorganisasian yang cukup matang agar
pemberdayaan kelompok masyarakat dapat diajak melakukan advokasi.

Pengacara atau advokat adalah kata benda, subyek.Dalam praktek dikenal juga
dengan istilah KONSULTASI HUKUM.Dapat berarti SESEORANG yang melakukan atau
memberikan nasihat (advis) dan pembelaan (“mewakili”) bagi orang lain yang
berhubungan dengan penyelesaian suatu kasus hukum.

Sebenarnya kegiatan pemerintah dalam membuat suatu keputusan yang


dituangkan dalam suatu kebijakan terdiri dari rangkaian proses yang panjang yaitu
terdiri dari formulasi (perumusan) kebijakan, implementasi (pelaksanaan)
kebijakan dan evaluasi kebijakan. Berbagai permasalahan bisa muncul ketika
kebijakan diformulasikan, atau ketika diimplementasikan atau ketika ada kegiatan
evaluasi dari kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah.

Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian advokasi dan kriteria melakukan advokasi ?


2. Apakah fungsi dan tugas melakukan advokasi ?
3. Prinsip-Prinsip apa saja yang harus dipegang dalam beradvokasi?
4. Apa saja jenis-jenis advokasi?

BAB II

PEMBAHASAN

A.MERUBAH KEBIJAKAN PUBLIK

1.Memahami Advokasi

Upaya advokasi muncul ketika masyarakat yang menjadi suatu objek dari
kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah tidak mau menerima atau merasa
keberatan dengan adanya kebijakan tersebut. Alasan tidak mau menerima kibajakan
bermacam-macam seperti merasa kepentingan atau kebutuhannya tidak
terakomodasi dalam kebijakan tersebut, bisa juga karena dengan adanya kebijakan
tersebut maka eksistensi masyarakat dapat terancam (contoh peristiwa pembalakan
hutan secara besar-besaran oleh PT. Alam Nusa Segar). Hutan yang dibabat tanpa
kontrol yang jelas dapat menyebabkan hutan menjadi gundul, lalu masyarakat
setempat kehilangan mata pencahariannya dan bencana alam dapat timbul karena
hutan yang gundul. Masyarakat bereaksi karena ketidaksetujuannya terhadap suatu
kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka timbullah upaya advokasi.
Pengertian advokasi secara sederhana adalah sebagai kegiatan unjuk rasa
atau demostrasi dan protes terhadap suatu kebijakan yang telah dibuat oleh
pemerintah. Dalam pengertian yang luas advokasi diartikan sebagai media
mobilisasi pendapat umum, sarana menyampaikan pernyataan politik, proses
pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat, alat perubahan sosial dan
sebagainya. Sedangkan Organisasi Non Pemerintah (Ornop) mengartikan advokasi
sebagai kegiatan beracara di pengadilan. Pengertian advokasi oleh Ornop ini karena
terpengaruh oleh istilah dalam bahasa Belanda yaitu advocaat, advocateur (yang
berarti pengacara, pembela) dan lazim digunakan selama ini.

Dari berbagai pengertian tentang advokasi di atas maka dapat dipahami


secara umum bahwa advokasi merupakan upaya untuk memperbaiki atau merubah
suatu kebijakan sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang
mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut. Artinya ketika
masyarakat tidak setuju atas suatu kebijakan yang ditetapkan pemerintah dan ada
keinginan atau upaya-upaya untuk merubah kebijakan tersebut maka masyarakat
dikatakan telah melakukan upaya advokasi. Sehingga sasaran atau tujuan dari upaya
advokasi adalah terjadinya perubahan kebijakan publik.

Perubahan kebijakan yang diinginkan masyarakat secara aplikatif dapat


berupa :

(1) usulan agar kebijakan yang telah dibuat dicabut atau dihentikan,

(2) usulan agar kebijakan yang telah dibuat dirubah atau diganti dengan kebijakan
yang sudah direvisi,

(3) mengusulkan hal-hal yang perlu dirubah dalam kebijakan tersebut,

(4) mengusulkan konsep tandingan untuk kebijakan yang telah dibuat tersebut.

Advokasi sebenarnya hanyalah salah satu dari perangkat sekaligus proses-


proses demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu advokasi dapat
dilakukan oleh warga negara untuk mengawasi dan melindungi kepetingan mereka
dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah
dalam suatu negara. Pengertian inilah yang harus dipahami secara benar untuk
menghindari berkembangnya pengertian yang salah.

Para aktivis Organisasi Non Pemerintah masih sering menganggap advokasi


adalah segala-galanya. Mereka menganggap bahwa advokasi identik dengan proses
revolusi yaitu proses dimana dilakukan perubahan pada sistem dan struktur
kemasyarakatan secara serentak dan holistik atau menyeluruh. Padahal sebenarnya
advokasi hanyalah bertujuan merubah atau menyempurnakan atau bahkan membela
suatu kebijakan publik tertentu.

Dari penjelasan tersebut sangat jelas perbedaan antara advokasi dengan


proses revolusi. Proses revolusi pada hakekatnya memiliki tujuan merebut
kekuasaan politik dan dengan kekuasaan politik itu melakukan perubahan
menyeluruh sistem dan struktur kemasyarakatan. Sedangkan advokasi dilandasi
pada anggapan bahwa perubahan sistem dan struktur kemasyarakatan yang lebih
luas dan menyeluruh dapat dilakukan melalui perubahan-perubahan bertahap maju
dan semakin membaik (gradual and incremental changes) dalam berbagai
kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.

Dalam konteks pembahasan upaya advokasi maka kebijakan publik


diartikan sebagai suatu sistem pembuatan (formulasi), pelaksanaan (implementasi)
dan pengendalian (control) keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan
masyarakat luas. Rangkaian sistem tersebut dibuat oleh pemerintah dan sejatinya
sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan masyarakat luas. Karena kembali
diingatkan bahwa objek dari kebijakan publik sebenarnya adalah masyarakat luas.

Memperhatikan pengertian dan tujuan dari upaya advokasi maka yang


menjadi kekuatan upaya ini adalah kerangka analisis dari suatu kebijakan publik.
Hal ini dipahami bahwa sebelum mengusulkan perubahan atau pencabutan atas
kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah maka kebijakan tersebut harus
dianalisis dahulu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk melihat suatu
kebijakan publik adalah dengan melihat kebijakan tersebut sebagai suatu ”sistem
hukum” (system of law) yang terdiri dari :
a. Isi Hukum (content of law), yaitu uraian atau penjabaran tertulis dari suatu
kebijakan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan, peraturan-
peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah. Ada juga kebijakan-
kebijakan yang lebih merupakan kesepakatan umum (konvensi) tidak
tertulis, tetapi dalam hal ini kita lebih menitikberatkan perhatian pada
naskah (text) hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang
berlaku.

b. Tata Laksana Hukum (structure of law), yaitu semua perangkat kelembagaan dan
pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-
lembaga hukum (pegadilan, penjara, birokrasi pemerintahan, parpol dan
sebagainya) serta para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara,
pejabat pemerintah, anggota parlemen dan lain-lain)

c. Budaya Hukum (culture of law), yaitu persepsi, pemahaman, sikap penerimaan,


praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran terhadap dua aspek sistem hukum di atas
(isi dan tata laksana hukum). Dalam pengertian ini juga tercakup bentuk-bentuk
tanggapan (reaksi atau respone), masyarakat luas terhadap pelaksanaan isi dan tata
laksana hukum tersebut. Karena itu hal ini merupakan aspek kontekstual dari sistem
hukum yang berlaku.

Sebagai suatu kesatuan sistem, ketiga aspek hukum tersebut saling terkait
antara satu sama lain dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Oleh karena itu
dikatakan bahwa idealnya, suatu kegiatan atau program advokasi harus juga
mencakup sasaran perubahan ketiganya. Mengapa dikatakan demikian? Karena
dalam kenyataannya, perubahan yang terjadi pada salah satu aspek saja tidak
dengan serta merta membawa perubaan pada aspek lainnya. Perubahan suatu
naskah undang-undang atau peraturan pemerintah, tidak dengan sendirinya
merubah mekanisme kerja lembaga atau aparat pelaksananya. Banyak contoh
selama ini dengan jelas menunjukkan bahwa naskah undang-undang atau peraturan
pemerintah yang betapapun baiknya secara normatif apabila tidak didukung oleh
kesiapan perangkat kelembagaan atau aparat pelaksana yang memadai maka pada
akhirnya hanya akan tersisa sebagai retorika murni belaka.
Begitu juga dengan budaya hukum. Suatu naskah hukum katakanlah sudah
ada dan memenuhi semua tuntutan normatif yang diperlukan, tersedia juga
perangkat kelembagaan dan aparat pelaksana yang handal dan terpercaya. Tetapi
sikap dan perilaku masyarakat kadangkala justru tidak mendukung isi maupun tata
laksana hukum tersebut, akibatnya maka peraturan dalam bentuk suatu kebijakan
tersebut akan menjadi sia-sia belaka. Contoh dari kasus tersebut adalah adanya
aturan tentang larangan untuk merokok di sembarang tempat yang berlaku di daerah
Jakarta. Naskah aturan sudah ada dan memenuhi syarat normatif sebagai suatu
Peraturan Daerah (Perda) kemudian aparat penegak Perda tersebut juga sudah siap,
namun kembali lagi bahwa sikap dan perilaku masyarakat tidak mendukung
tegaknya aturan yang menjadi kebijakan Pemeritah DKI Jakarta Tersebut.
Akibatnya kebijakan untuk tidak merokok di sembarang tempat cenderung hanya
menjadi slogan semata.

Sebaliknya juga demikian, tata laksana hukum yang berubah tidak secara
otomatis merubah isi hukum yang berlaku. Itulah sebabnya maka timbul pendapat
bahwa undang-undang atau peraturannya sudah bagus namun oknum-oknum
pelaksananya yang tidak becus menegakkan undang-undang tersebut. Sama halnya
denganbudaya hukum yang berubah, tidak secara otomatis merubah tata laksana
maupun isi hukum yang sudah ada. Dalam banyak kasus, para aparat pelaksana
hukum yang mencoba melakukan amanat hukum berdasarkan kata hati nurani dan
rasa keadilan umum (budaya hukum), dalam istilah baku ilmu hukum disebut
sebagai rechtmatigheid, melakukan suatu exclusion (perkecualian hukum),
meskipun terpaksa harus menentang isi atau naskah hukum yang berlaku, justru
sering atau bahkan selalu akhirnya berhadapan dengan kekakuan naskah hukum dan
kepentingan politik kekuasaan dibaliknya.

Uraian diatas memperlihatkan bahwa sasaran perubahan terhadap suatu


kebijakan publik seharusnya mencakup ketiga aspek hukum atau kebijakan
tersebut. Ini sama artinya suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara
sengaja dan sistematis memang dirancang untuk mendesakkan terjadinya suatu
perubahan kebijakan baik dalam isi, tata laksana maupun budaya hukum yang
berlaku. Namun perubahan bisa saja terjadi tidak sekaligus pada ketiga aspek
hukum tersebut, bisa juga perubahan terjadi secara bertahap mulai dari salah satu
aspek hukum tersebut yang dianggap bisa sebagai titik tolak paling crucial,
kemudian berlanjut ke aspek-aspek hukum selanjutnya. Intinya bahwa perubahan
yang terjadi secara bertahap dan menyeluruh.

Analisis terhadap suatu kebijakan publik dengan perspektif tiga aspek


hukum tersebut tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama. Upaya advokasi yang
dilakukan harus berbeda pendekatannya dalam mengkaji tiga aspek hukum, karena
ketiganya terbentuk dari proses-proses yang khas. Isi hukum dibentuk melalui
proses-proses legislasi dan juridiksi, sementara tata laksana hukum dibentuk
melalui proses-proses politik dan manajemen birokrasi, dan budaya hukum
terbentuk melalui proses-proses sosialisasi dan mobilisasi. Tiap proses memiliki
tata caranya sendiri. Secara garis besar, ketiga jenis proses itu dapat diuraikan
sebagai berikut :

a. Proses-proses legislasi dan juridiksi. Proses ini terdiri dari proses penyusunan suatu
rancangan undang-undang atau peraturan (legal drafting) sesuai dengan konstitusi
dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di suatu negara. Mulai dari pengajuan
gagasan atau usul dan tuntutan perlunya penyusunan undang-undang atau peraturan
baru, perdebatan parlemen untuk membahas gagasan atau tuntutan tersebut,
pembentukan kelompok kerja dalam kabinet dan parlemen, seminar akademik
untuk penyusunan naskah awal (academic draft), penyajian naskah awal kepada
pemerintah, pengajuan kembali ke parlemen, sampai pada akhirnya disepakati atau
disetujui dalam pemungutan suara di parlemen. Pengertian proses legislasi dapat
juga berarti : (1) prakarsa pengajuan rancangan tanding (counter draft legislationa).
(2) pengujian substansi dan peninjauan ulang undang-undang (judicial review). (3)
jurisprudensi (keputusan mahkamah peradilan yang memiliki kekuatan hukum
sebagai preseden bagi keputusan-keputusan hukum berikutnya). Jurisprudensi
termasuk dalam proses legislasi karena pada dasarnya jurisprudensi juga
membentuk isi hukum, oleh karena itu proses-proses letigasi (beracara
dipengadilan) masuk dalam pengertian ini juga.
b. Proses-proses politik dan birokrasi. Proses ini meliputi semua tahap formasi dan
konsolidasi organisasi pemerintahan sebagai perangkat kelembagaan dan pelaksana
kebijakan publik. Bagian terpenting dan paling menentukan dalam keseluruhan
proses ini adalah seleksi, rekrutmen dan induksi para aparat pelaksana pada semua
tingkatan birokrasi yang terbentuk. Karena itu, seluruh tahapan tersebut sangat
diwarnai oleh proses-proses politik dan manajemen hubungan kepentingan-
kepentingan di antara berbagai kelompok yang terlibat di dalamnya, mulai dari
lobby, mediasi, negosiasi, tawar menawar, kolaborasi bahkan sampai pada praktek-
praktek intrik, sindikasi, konspirasi dan manipulasi.

c. Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi. Proses ini meliputi semua bentuk kegiatan
pembentukan kesadaran dan pendapat umum serta tekanan massa terorganisir.
Kegiatan ini pada akhirnya akan membentuk suatu pola perilaku tertentu dalam
mensikapi suatu masalah bersama. Karena itulah dikatakan bahwa proses-proses ini
terwujud dalam berbagai bentuk tekanan politik (political pressure), mulai dari
penggalangan pendapat dan dukungan (bisa berupa kampanye, debat umum,
rangkaian diskusi dan seminar, pelatihan), pengorganisasian (pembentukan basis-
basis massa dan konstituen, pendidikan politik kader), sampai ke tingkat
pengerahan kekuatan (unjuk rasa, mogok, boikot, blokade).

Walaupun ketiga proses di atas mempunyai bentuk yang berbeda, namun


tujuan akhir dari ketiga proses itu adalah sama yaitu dalam rangka merubah suatu
kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Masing-masing proses
mempunyai domain kegiatan tersendiri. Ada pendapat bahwa suatu kegiatan
advokasi, walaupun sasarannya adalah perubahan kebijakan publik sebagai bagian
dari sistem hukum, namun tidak berarti hanya dapat dilakukan melalui jalur-jalur
legal (proses-proses legislasi dan jurisdiksi) saja, melainkan juga dapat ditempuh
melalui jalur-jalur paralegal (proses-proses politik dan birokrasi serta proses-
proses sosialisasi dan mobilisasi).

B. Kaedah azas Advokat


Dalam bahsa Indonesia , Lawyer diterjemahkan menjadi Pengacara. Kadang
disebut juga Advokat, Ajuster, Pembela, Penasihat hukum, Prokol. Dari banyaknya
istilah tersebut yang paling sering didengar adalah advokat, pembela, pengacara,
dan penasihat hukum. Khususnya di Indonesia sendiri Lawyer pada awalnya
disebut Penasihat hukum. Istilah ini mengacu pada beberapa undang-undang yang
berlaku seperti KUHAP, UU Mahkamah Agung dan UU Peradilan Umum, namun
lambat laun sebutan tersebut mulai bergeser sehingga yang sering digunakan adalah
Advokat, seiring dengan dikeluarkannya Undang-Undang Advokat No.18 tahun
2003.
Profesi Advokat adalah instrument Badan Peradilan untuk menegakkan
hukum dan kebenaran dalam Negara Hukum, selain dari pada itu Advokat juga
berperan di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat pada saat sekarang
semakin meningkat, sejalan dengan berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat
terutama dalam memasuki kehidupan dalam pergaulan antar bangsa. Melalui
pemberian jasa konsultasi, negoisasi, maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak
dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan
masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya dibidang ekonomi dan
perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Sedangkan menurut Undang-Undang Advokat No. 18 tahun 200, Advokat
diartikan sebagai orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini. Dimana jasa Hukum uitu sendir adalah jasa yang diberikan
Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain
untuk kepentingan hukum klien atau orang, badan hukum, atau lembaga lain yang
menerima jasa hukum dari Advokat.

Salah satu tugas advokat dalam melaksanakan profesinya adalah melayanai


klien. Namun dalam hal ini tentunya seorang advokat terlebih dahulu harus
menguasai hukum-hukum positif, yang merupakan bekal yang memadai untuk
kebutuhan klien. Adatiga pelayanan yang bias diberikan oleh advokat kepada klien
yaitu pelayanan pasif atau aktif. Untuk kategori layanan pasif dan non litigasi,
seorang advokat dapat memberikan pelayanan berupa :1[1][1]
1. Konsultasi hukum
2. Pembuatan pendapat hukum (Legal Opinion)
3. Inventarisasi berkas-berkas perkara (Legal Audit)
Sementara untuk yang bersifat aktif seorang pengacara bIsa memberikan
pelayanan berupa :2[2][2]
1. Pembelaan (litigasi). Bias dilakukan untuk dan atas nama klien mulai dari proses
penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, penyidikan dan penunttan di kejaksaan
hingga persidangan di pengadilan.
2. Pelayanan aktif lainnya yang bersifat non litigas, seorang advokat bisa
menjalankan usaha menjalankan kuasanya untuk penyelesaian kasus secara
alternative, seperti negosiasi, mediasi, perizinan, kontrak dan arbitrase.

B. Kewajiban Advokat
Adapun beberapa kewajiban advokat dalam menjalankan tugas diantaranya
yaitu :
1. Kesetiaan pada masyarakat (public service).
Kewajiban diatas memberikan konsekwensi bahwa seorang advokat harus orang
yang jujur dan cakap, suka menolong orang miskin (legal aid), tidak mencari cari
perkara, tidak membantu praktek hukum yang tidak sah.
2. Kesetiaan pada peradilan.
Advokat harus menghormati pejabat peradilan seperti polisi, jaksa, hakim dan
badan peradilan itu sendiri. Tidak menyuap/mempengaruhi officer of court,
termasuk tidak banyak bicara pada pers untuk menghindari trial by the pres.
3.Kesetiaan pada klien
Klien adalah orang yang mencari perlindungan hukum (bukan hanya minta tolong)
pada advokat. Oleh karena itu advokat harus melindungi termasuk kehormatan dari
klien.
4.Kesetiaan sesama rekan sejawat.
Kewajiban untuk saling menghargai dan menjaga kehormatan dengan cara menjaga
kualitas profesi baik moral maupun tehnis berperkara.

C. Hubungan Advokat dengan klien

Adapun hubungan advokat dengan klien dalam penanganan kasusnya, diantaranya


yaitu :
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian
dengan jalan damai.
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien
mengenai perkara yang sedang diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang
ditanganinya akan menang.
d. Dalam menentukan besarnya honorarium advokat wajib mempertimbangkan
kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
f. Advokat dalam mengurus perkara Cuma-Cuma harus memberikan perhatian yang
sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang.
g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak
mempunyai dasar hukumnya.
h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan klien
secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu, setelah berakhirnya
hubungan antara advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada
saat-saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat itu akan dapat
menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang
bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 huruf (a).
j. Advokat mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus
mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut,
apabila dikemudian hari timbul pertentangan-pertentangan kepentingan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan
kerugian kepentingan klien.

3[3][1] Amir,Ari YusufSH.,MH., Strategi Bisnis Jasa Advokat, Navila Idea,


Yogyakarta, 2010.
4[4][2] Ibid.

C.Advokasi dan Organisasi NGO


Banyak definisi yang dilekatkan pada konsep “advokasi”. Definisi ini
banyak disesuaikan dengan berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan oleh NGO
dalam melakukan advokasi. Miller and Convey (1997) menjelaskan bahwa
advokasi berkaitan dengan politik dan perubahan, dengan nilai-nilai dan keyakinan-
keyakinan, dengan kesadaran dan pengetahuan. Advokasi juga tentang
mempengaruhi penguasa terkait masalah yang menyangkut rakyat. Disamping itu,
advokasi juga tentang membangun organisasi demokratis yang kuat untuk membuat
penguasa bertanggungjawab, serta peningkatan keterampilan dan pengertian rakyat
tentang bagaimana kekuasaan itu bekerja.
Untuk melakukan advokasi, ada 3 konsep terkait yang perlu dicermati, yaitu:
legitimasi (siapa yang diwakili oleh organisasi dan bagaimana hubungannya);
kredibilitas (seberapa jauh organisasi dapat dipercaya); dan Pertanggungjawaban
(bertanggungjawab atas kerjanya). Dalam hal ini, Avina (1993) membagi
akuntabilitas/pertanggungjawaban menjadi dua kategori, yaitu (1) akuntabilitas
fungsional yang terkait dengan penggunaan sumber daya dan hasil dari kegiatan,
dan (2) akuntabilitas strategis yang terkait dengan dampak dari kerja-kerja
organisasi; dan kekuasaan (unilateral - memaksa dan otoriter, atau relasional –
timbal-balik dan transformasi).1
1
untuk perbedaan jenis kekuasaan, lihat penjelasan tentang “power” diatas.
6
2
Lebih jauh tentang ini, bisa dilihat pada konsep-konsep tentang Negara Modern,
Pasar dalam perdebatan Kapitalisme dan Globalisasi, dan konsep Masyarakat Sipil.
Mengapa advokasi perlu dilakukan? Ini terkait dengan konsep persinggungan
antara Negara - Masyarakat sipil – Pasar. Negara dianggap sebagai wilayah publik
yang menyentuh semua kehidupan warga Negara, karena semua kebijakan yang
mengatur warga ditentukan oleh Negara. Sedangkan pasar adalah mesin ekonomi
masyarakat, yang seringkali hanya dikendalikan oleh sekelompok perusahaan
besar. Masyarakat sipil, yang dibanyak Negara, adalah aktor yang paling lemah
apabila dibandingkan dengan Negara dan Pasar. Sehingga, penetapan keputusan
penting tentang masyarakat banyak ditentukan oleh penguasa Negara dan
pengusaha besar. Disini, advokasi dibutuhkan oleh masyarakat sipil untuk
meningkatkan kekuatannya sehingga mampu mempengaruhi dan menentukan
kebijakan publik yang dibuat oleh Negara.2
Proses Advokasi
Menurut Miller and Convey (1997), advokasi dilakukan melalui 9 langkah yang
saling bertindih, yaitu: (1) pembayangan visi bersama masyarakat sebagai kondisi
ideal yang didambakan; (2) analisis konteks sosial makro dan seleksi serta analisis
masalahnya; (3) definisi persoalan dan membingkai isu; (4) penentuan tujuan; (5)
identifikasi dan analisis atas para stakeholder advokasi dan sasaran (analisis
SWOT); (6) penyusunan strategi, taktik, dan garis waktu; (7) pelaksanaan strategi
dan taktik; (8) evaluasi dampak; dan (9) penerapan pelajaran untuk advokasi
kedepan.
Proses ini digambarkan oleh Graham Gordon (2002) secara lebih sederhana sebagai
berikut:
Dalam melakukan proses advokasi ini, ada 4 hal tentang perubahan kebijakan yang
harus diperhatikan (Lisa VeneKlasen, 1997), yaitu: siapa yang menetapkan; apa
yang diputuskan; bagaimana diputuskan; dan bagaimana itu ditegakkan dan
dilaksanakan. Seringkali, dalam proses advokasi yang ditekankan hanya hasil
berupa perubahan kebijakan, tetapi tidak ditindak-lanjuti sampai pada bagaimana
kebijakan itu dilaksanakan.
Disini ada 8 elemen dasar advokasi yang digambarkan oleh Ritu R. Sharma (dari
Support for Analysis and Research in Africa-SARA), sebagai berikut:
8
Strategi Advokasi
Pilihan strategi ditentukan oleh pendekatan advokasi yang dipilih. Dalam teori
advokasi, ada tiga pendekatan utama (Miller and Convey, 1997), yaitu: (1)
pendekatan kepentingan umum (advocacy for). Untuk melakukan pendekatan ini,
NGO cenderung menggunakan kaum professional dan pelobi ahli untuk melakukan
advokasi, karena mereka mengganggap bahwa sistem politiknya terbuka dan adil.
Sehingga, semua orang bisa mempengaruhi kebijakan publik. Orang miskin dan
kelompok marginal hanya tidak memiliki kesempatan untuk ini, sehingga para
professional bisa melakukannya untuk mereka; (2) pendekatan tindakan
warganegara (advocacy with). Pendekatan ini beranggapan bahwa sistem
pengambilan keputusan politik tidak adil dan kekuasaan yang ada didalamnya tidak
seimbang. Sehingga, diperlukan tindakan warga Negara bersama NGO untuk
mendesakkan kepentingannya dalam penentuan kebijakan publik; dan (3)
pendekatan transformasi (advocacy by). Pendekatan ini dilakukan melalui
pendidikan untuk mengembangkan alat berpikir kritis, sehingga masyarakat bisa
melihat secara kritis
9
kebijakan yang mempengaruhi hidupnya dan melakukan perubahan kebijakan
untuk kepentingannya.
Perbedaan lebih jelas untuk ketiga pendekatan tersebut digambarkan oleh Gordon
(2002) dalam tabel dibawah ini:
Berdasarkan ketiga pendekatan tersebut, ada beberapa strategi advokasi yang bisa
dipilih (lihat Harold Sibanda, 1997 dan Jane Convey, 1997), yaitu: (1) kolaborasi
dengan cara bekerjasama dengan pemerintah; (2) edukasi dengan memberi
pemerintah informasi, analisis dan alternatif kebijakan; (3) persuasi, yaitu sebagai
kelompok penekan (pressure groups) untuk mendesak perubahan kebijakan dan
menunjukkan dukungan public; (4) litigasi melalui tuntutan hukum di pengadilan;
dan (5) konfrontasi, yaitu memprotes kebijakan pemerintah dengan berbagai
cara, seperti demonstrasi, menghancurkan harta dll. Kombinasi dari berbagai
strategi mungkin dilakukan, karena akan disesuaikan dengan konteks politik
dimana advokasi dilakukan.
Hasil Advokasi
Banyak orang yang mengidentikkan “advokasi” dengan “advokasi kebijakan/policy
advocacy”, sehingga target utama yang akan dicapai adalah perubahan kebijakan.
Padahal, advokasi dilakukan tidak hanya untuk merubah kebijakan publik, tetapi
juga untuk perubahan praktik, perilaku, dan program publik. Hal ini disesuaikan
dengan tujuan dan kebutuhan kelompok masyarakat yang akan melakukan
advokasi. Dengan kata lain, target advokasinya juga disesuaikan dengan tujuan dan
kebutuhan masyarakat.
Sekalipun ada keragaman target dan tujuan advokasi, untuk melihat dampak dari
proses advokasi bisa dilihat pada tiga aspek (Valerie miller, 1997). Pertama,
kesuksesan di tingkat kebijakan bisa dilihat pada perubahan kebijakan, program dan
perilaku yang mengarah pada pencapaian tujuan advokasi. Kedua, di tingkat
masyarakat madani, kesuksesan diukur dengan fakta bahwa organisasi rakyat yang
melakukan advokasi semakin memiliki daya tawar yang kuat terhadap actor
lainnya. Ketiga, pada tingkat demokrasi, advokasi harus mampu memperluas ruang
demokrasi, partisipasi dan legitimasi politik masyarakat sipil. Ketiga perubahan
inilah yang dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan proses advokasi.
Epilog
Perdebatan konseptual menunjukkan bahwa pemberdayaan dan advokasi adalah
bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu
perubahan sosial di masyarakat menuju masyarakat yang lebih bermartabat dan
sejahtera. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, NGO perlu melakukan Kedua aksi
ini sekaligus, yang meletakkan masyarakat dan para pengambil kebijakan sebagai
sasaran utamanya.
11
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan

Maraknya penentangan atau penolakan suatu kebijakan publik yang telah


diputuskan oleh pemerintah adalah sebagai akibat tidak adanya keseimbangan baik
dalam formulasi maupun implementasinya. Keseimbangan yang dimaksud adalah
kebijakan publik tersebut tidak dapat mengakomodasi apa yang menjadi
kepentingan pemerintah dan juga tidak dapat mengakomodasi apa yang menjadi
kebutuhan atau kepentingan masyarakat. Dua pihak ini harus diperhatikan
eksistensinya karena memang kedua pihak inilah yang menjadi domain berlakunya
suatu kebijakan publik.

Pemerintah tidak bisa menutup mata dalam arti tidak memperhatikan


dampak dari diberlakukannya suatu kebijakan publik. Demikian juga dengan
masyarakat tidak bisa terlalu memaksakan apa yang menjadi keinginan atau
kebutuhannya dimasukkan dalam penyusunan suatu kebijakan publik. Untuk
mencapai kondisi ideal inilah sehingga muncul apa yang dinamakan upaya
advokasi. Upaya advokasi dilakukan dalam rangka meniadakan gap tersebut,
setidaknya mengurangi, karena memang untuk mencapai kondisi ideal seperti
posisi lingkaran hijau sangat sulit. Hal ini disebabkan banyaknya persinggungan
kepentingan.

Sasaran akhir dari upaya advokasi adalah merubah suatu kebijakan publik
yang tidak berpihak kepada masyarakat dengan mengajukan beberapa alternatif-
alternatif perubahan. Substansi perubahan atas suatu kebijakan publik tersebut
bersifat flexibel. Artinya upaya advokasi mengusulkan perubahan suatu kebijakan
bisa dalam bentuk usulan agar kebijakan publik yang dibuat dapat dirubah atau
direvisi, bisa juga dalam bentuk usulan agar kebijakan publik tersebut diganti
dengan rumusan yang baru atau bisa juga usulan yang diajukan berupa pembuatan
konsep tandingan dari suatu konsep kebijakan publik yang berasal dari pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai