Anda di halaman 1dari 12

RESUME BAB II TENTANG DINAMIKA KONSEP

DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH


POINT A DAN B DARI BUKU YANG DI TULIS OLEH
Dr. PETRUS POLYANDO, S.STP, M.Si.
YANG BERJUDUL JALAN TENGAH DESENTRALISASI BAGI
DAERAH OTONOM BERKARAKTERISTIK KEPULAUAN

DI RESUME OLEH :

NAMA : SATRIA BIMA RAMADHAN

NPP : 30.0848

NO. ABSEN : 23

KELAS : A-3

JURUSAN : POLITIK INDONESIA TERAPAN

MATA KULIAH : DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI KAMPUS PAPUA

TAHUN AJARAN 2021/2022


A. KONSEP HUBUNGAN ANTARLEVEL PEMERINTAHAN

Pembicaraan mengenai sentralisasi dan desentralisasi melekat antarlevel


pemerintahan secara vertikal. Spesifiknya berkaitan dengan kekuasan yang
diletakkan pada satu pusat kekuasaan atau disebar ke beberapa entitas.
Lahirnya kesepakatan ini tentu melalui tema besar tentang adanya interaksi
yang terjadi antar berbagai entitas pemerintahan. Sebelum masuk konsep materi,
lebih baik didahulukan dengan paparan konsep hubungan antarlevel
pemerintahan.

Secara umum hubungan antarpemerintahan adalah hubungan timbal


balik dan interaksi antara lembaga pemerintah di tingkat horizontal dan vertikal.
Dimana kelompok vertikal diterima sebagai kalangan sebagai gagasan
komplementer dari pembagian kekuasaan horizontal yang melahirkan kekuasaan
eksekutif, yudikatif dan legislatif. Sementara pembagian kekuasaan secara
vertikal adalah konsensus untuk menciptakan keseimbangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Fox & Meyer (1995) menjelaskan bahwa
hubungan antarpemerintahan cukup kompleks dan saling ketergantungan
diberbagai bidang. Gagasan ini juga sejalan dengan Wright (1972) yang
mengatakan bahwa hubungan antarpemerintah adalah jaringan institusi yang
saling berinteraksi.

Gagasan konseptual tersebut menunjukkan sifat interaksi antara bidang


pemerintahan yang berbeda tergantung pada dinamika sistem dan aktor yang
menjalankan serta mengelola hubungan. Okoli (2005) menjelaskan bahwa
hubungan antarpemerintahan melibatkan pola hubungan kooperatif antara
berbagai tingkat pemerintahan dalam struktur pemerintah. Hubungan tersebut
difokuskan pada struktur pemerintah dan non pemerintah di beerbagai tingkat
dan sektor.

Dalam sistem negara kesatuan, posisi pemerintah pusat sangat kuat dari
posisi konsituen yang dianggap lemah. Sedangkan sistem federal, konstituen
lebih kuat daripada pusat dimana setiap unit diberikan otonomi khusus. Pada
negara federal posisi negara bagian dan pemerintah federal menunjukkan
kedudukan yang sama. Sementara pada negara kesatuan, pemerintah daerah
adalah bentukan dan bawahan dari pemerintahan pusat. Di beberapa negara
federal, perbuatan hukum struktur federal terhadap negara bagian seringkali
diputuskan oleh mekanisme double majority (mayoritas ganda) melalui
persetujuan msyarakat negara bagian dan negara bagian yang ada. Derajat
kemandirian di negara kesatuan sangat terbatas sehingga pemerintah pusat
dapat menghendaki penarikan kewenangan, sudah diserahkan kepada satu
pemerintah daerah dan hal tersebut dapat dengan mudah dilakukan. Dapat
disimpulkan bahwa negara kesatuan sifat hubungannya adalah subordinatif,
sedangkan negara federal bersifat koordinatif.
Pemahaman lebih jauh hubungan antarpemerintahan ini dilakukan
dengan beberapa pendekatan yakni pendekatan demokratis,
konstitusional/hukum, keuangan dan pendekatan normatif-operasional.
Pendekatan Demokratis menekankan hak pemerintah untuk menentukan
nasibnya sendiri sejauh menyangkut badan pemerintah. Pendukung pendekatan
ini cenderung memiliki pandangan sepaatis dan menekankan hak eksistensi
“otonom” dari setiap entitas pemerintahan. Selanjutnya Pendekatan
Konstitusi/Hukum dimana ppendekatan ini penggunaanya pada konstitusi dan
produk hukum sebagai titik tolak dalam studi hubungan antarpemerintah.
Informasi faktual dalam konstitusi setiap negara yang mengatur hubungan
antarpemerintahan menjadi basis penentu hubungan sebagai instrumen hierarki
pemerintahan.

Pendekatan konstitusi di Indonesia mengacu pada Pasal 18 UUD 1945


sebagai rujukan antar tingkat pemerintahan sebagaimana pada Pasal 18 ayat
(1): Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang. Pendekatan lainnya adalah Pendekatan Anggaran/Keuangan,
yang menyangkut hubungan keuangan antarpemerintahan dalam mendukung
penyelenggaraan pemerintahan. Dalam Pasal 18 A ayat (2) menyatakan bahwa
hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur
berdasarkan undang-undang. Pada masa reformasi lahir UU No. 25 Tahun 1999
yang kemudian diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.

Pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung
pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah yang diatur
dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Prinsip undang-undang
ini merupakan rangkaian paket kebijakan desentralisasi yang telah ada.
Penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah mengacu pada tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, stabilisasi dan
alokasi. Fungsi distribusi dan stabilisasi umunya dilakukan oleh pemerintah
pusat, dan fungsi alokasi oleh pemerintahan daerah. Melalui undang-undang ini,
diharapkan pendanaan penyelenggaraan pemerintahan terlaksana secara efisien
dan efektif serta mencegah tumpang-tindih. Penyelenggaraan pemerintahan
daerah dibiayai oleh APBD sedangkan penyelenggaraan pemerintah pusat
dibiayai dari APBN.

Pendekatan lainnya yaitu Pendekatan Normatif-Operasional yang menguji


pentingnya mempertimbangkan semua norma terkait untuk menganalisis realitas
operasional total hubungan pemerintah tanpa suatu aspek hubungan pemerintah
yang terlalu ditekankan dengan mengorbankan yang lain. Norma kelompok atau
tujuan nilai menjadi penting mengingat pendekatan ini memerlukan penyelidikan
tentang apa yang harus atau tidak diinginkan.
Hubungan antarpemerintahan ini dapat efektif dan efisien saling
mendukung dalam mencapai tujuan penyelenggaraan fungsi pemerintahan
apabila didukung dengan kemauan politik pemerintah pusat. Ada keterkaitan erat
dengan pilihan hubungan antarpemerintahan dengan sistem pemerintahan yang
dianut. Dalam konteks ini tergantung sejauh mana penilaian suatu rezim
hubungan antarpemerintahan yang dibangun karena memang hubungan ini
memerlukan logika dominasi dimana adakalanya dominasi ada di pusat
(sentralisasi) dan adakalanya di daerah (desentralisasi).

Dinamika diskusi lahir berdasarkan multikonsep dari berbagai


kepentingan yang kemudian dipilih sebagai model baku guna memandu
memahami hubungan yang terjadi antarpemerintah secara spesifik. Wright
(1972) memberikan pemahaman bahwa hubungan antarpemerintah sebagai
jaringan interaksi institusi di tingkat nasional, provinsi dan lokal dibuat dan
disempurnakan untuk berbagai pemerintah bekerjasama dengan cara yang
sesuai. Untuk itu, tujuan hubungan pemerintah adalah memungkinkan aktivitas
pemerintah secara sinergi, efektif dan efisien di semua bidang pemerintahan.

Di negara federal terdapat sembilan jenis hubungan yang dapat dilihat


antara lain: federal-negara bagian, federal-lokal, kelompok federal-civic, negara-
negara bagian, negara lokal, kelompok negara-sipil, lokal-lokal, kelompok-
kelompok sipil-lokal dan kelompok-kelompok antar-sipil (adamolekun, 1983;
Olopade, 1984; Nwatu dan Okafor, 2008).

Di negara kesatuan, hubungan antarpemerintah lebih berinteraksi antara


pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusatlah yang menentukan fungsi
mana yang dialokasikan untuk pemerintah daerah serta memutuskan untuk
memodifikasi alokasi fungsional. Model hubungan antarpemerintahan yang
ditemukan pada berbagai negara, secara global terdapat 3 model, yakni Model
Partnership atau Overlapping-Dual, Principal/Agent atau Inclusice-Authority
Model dan Dual atau Coordinate Authority Model.

Model Partnership atau Overlapping-Authority dibagi menjadi tiga tingkat


pemerintahan. Dengan demikian terdapat kesamaan tugas dan fungsi secara
independen sehingga setiap tingkat memiliki hak yang sama di mata hukum.
Model ini juga dapat dilakukan oleh tingkat pemerintahan lainnya atas nama
tingkat pemerintahan tersebut. Dapat dikatakan model ini sesungguhnya lebih
mengutamakan pada tercapainya fungsi pemerintahan yang memenuhi
kebutuhan masyarakat dan semua entitas pemerintahan berada dalam posisi
yang sejajar dan egaliter memiliki otoritas yang sama.

Kedua, Model Principal/Agent atau Inklusif yang mana lebih menekankan


pada hirarkis hubungan antara pemerintah federa, negara bagian dan
pemerintah daerah/lokal. Pada model ini, pemerintah daerah tidak dianggap
sebagai pemerintah melainkan sebagai bentuk administrasi lokal. Pemerintah
negara bagian dan lokal hanyalah pelangkap bagi pemerintah federal.
Ketiga, Coordinate-Authority Model, yakni model hubungan
antarpemerintah dimana seluruh tingkat pemerintahan memiliki kompetensi
fungsional dalam layanan publik dengan tolok ukur kompetensi teknis. Dalam
model ini, pemerintah negara bagian bersifat independen dari pemerintah
federal, sedangkan pemerintah daerah berada dibawah negara bagian
(daerah/provinsi).

Clarke dan Stewart juga menjelaskan tiga model lain yakni: Pertama, The
Relative Authonomy Model, yang memberikan kebebasan kepada pemerintah
daerah dengan menghormati keberadaan pemerintah pusat. Kedua, The Agency
Model, dimana pemerintah daerah tidaak mempunyai kekuasaan yang cukup
berarti. Ketiga, The Interaction Model merupakan suatu bentuk model dimana
keberadaan dan peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi pemerintah
pusat dan daerah. Dari beragam model, pemerintah daerah tidak terlihat seperti
unit yang mandiri, bahkan menjadi sebuah bagian yang diawasi oleh pemerintah
pusat.

B. MAKNA DAN KONSEP DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan konsep yang terus


berkembang dan tidak pernah final. Banyak perdebatan dan definisi oleh para
ahli sehingga muncul sejumlah gagasan yang menjadi rujukan dalam setiap
literatur. Hadirnya desentralisasi dan otonomi daerah memiliki makna penting
bahwa terjadi pergeseran paradigma penyelenggara pemerintahan dari
sentripetal kepada sentrifugal. Kehadiran desentralisasi memiliki arti penting bagi
kemajemukan bangsa serta hasrat untuk memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada daerah-daerah dan berbagai kesatuan masyarakat hukum untuk
berkembang secara mandiri (Manan, 2001; 24). Motivasi diadakannya
desentralisasi dan otonomi daerah adalah, Pertama, karena kebhinekaan dalam
kehidupan masyarakat. Kedua, pengakuan dan penghormatan atas sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berpemerintahan, berbangsa dan bernegara. Ketiga,
pendayagunaan pengelolaan potensi daerah. Keempat, mendidik dan
memberdayakan masyarakat dalam segala segi kehidupan. Kelima, pemerataan
kemampuan daerah dengan memperhatikan kondisi setiap daerah yang
berbeda-beda, tetapi tetap satu kesatuan berwawasan nusantara (Sarundajang,
2003; 67).

Gagasan konseptual menegaskan desentralisasi dan otonomi daerah


memiliki posisi penting dalam suatu negara, bahkan penyelengggaraan
pemerintahan ini dianggap lebih efektif dan efisien. Secara leksikal desentralisasi
diterima sebagai sistem pemerintahan yang lebih banyak memberikan
kekuasaan kepada pemerintah daerah (KBBI). Terdapat beberapa sumber juga
terlihat searah pada pemberian kekuasaan kepada unit dibawahnya. Berkenaan
dengan otonomi daerah secara leksikal dimaknai sebagai pemerintahan sendiri
(KBBI). Beberapa pengertian lain juga mengatakan bahwa otonomi berkenaan
dengan hak pemerintahan sendiri. Dalam konteks dimaksud adalah hak untuk
menjalankan fungsi pemerintahan secara mendiri.
Bank Dunia mendefinisikan desentralisasi sebagai “pengalihan wewenang
dan tanggungjawab untuk fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat ke
pemerintah regional dan lokal atau organisasi semi pemerintah dan/atau sektor
swasta.” Terdapat juga pemahaman dari Rondenelli dan rekan-rekannya yang
bersifat deskriptif dan membahas tentang apa dan mengapa suatu kewenangan
tersebut harus ditransfer spesifiknya pada lingkungan administratif dimana suatu
kekuasaan dan kewenangan harus dilipahkan untuk membuat keputusan,
merencanakan dan mengimplementasikan sesuai dengan kebutuhan. Smith
(1985: 1) melihat desentralisasi sebagai kebalkan dari konsentrasi administrasi di
satu pusat kekuasaan dan meletakkan fokus pda kekuasaan pemerintah daerah.
Conyers (1981: 108) mendefinisikan desentralisasi sebagai pengalihan
kekuasaan atau fungsi pemerintah dari tingkat nasional ke tingkat sub nasional.

Riggs (1985) dan PBB (1962) menggambarkan desentralisasi dalam dua


makna yakni sebagai pelimpahan wewenang (delegasi) dan pengalihan
kekuasaan (devolusi). Dengan demikian desentralisasi telah melimpahkan
keuasaan ke tingkat yang lebih rendah mengenai pengambilan keputusan dalam
berbagai bidang ke lebih rendah (Booth, 1995: 89-105). Terdapat satu rumusan
yang lebih elaboratif dari Daniel Treisman (2002) yang menggambarkan
terminologi desentralisasi pada lima atribut yang didistribusikan pada berbagai
tingkatan, yakni otoritas pengambilan keputusan; otoritas penunjukan; pemilihan;
sumberdaya fiskal; dan personel pemerintah. Dari kelima atribut, muncul enam
konsep desentralisasi lain, diantaranya:

Pertama, vertical decentralization, dimana desentralisasi ini berkenaan


dengan suatu sistem yang menegaskan jumlah tingkatan ada. Ini akan menjadi
sebuah batasan bagi pemerintah pusat sehingga tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasaan. Kedua, decisionmaking decentralization, yang berfokus pada
bagaimana wewenang untuk membuat keputusan politik didistribusikan di antara
berbagai tingkatan. Jika wewenang untuk memutuskan ada di tangan pemerintah
pusat, maka sistem lebih efektif sentralistis, namun jika semua hak pengambilan
keputusan diberikan ke tingkat terendah, maka sistem lebih cenderung
desentralisasi. Ketiga, appoinment decentralization, dimana para pejabat di
berbagai tingkatan diangkat dan diberhentikan. Hubungannya bahwa semakin
banyak keputusan penangkatan pejabat dari atas maka semakin rendah
desentralisasi.

Keempat, electoral decentralization, hal ini berkenaan dengan desentralisasi


pemilu yang diartikan sebagai proporsi tingkatan dimana pemilihan langsung
diadakan untuk memilih eksekutif. Konsep ini lebih mengutamakan cara dimana
para eksekutif lokal dipilih. Kelima, fiscal decentralization, menyangkut cara
penerimaan pajak dan pengeluaran untuk belanja publik didistribusikan ke
berbagai tingkat pemerintahan. Keenam, personel decentralization, berfokus
pada bagaimana sumberdaya administratif/aparat didistribusikan di berbagai
tingkatan pemerintahan.
Dapat disimpulkan bahwa dari keenam konsep tersebut dapat ditarik benang
merah bahwa desentralisasi merupakan transfer kekuasaan atau kewenangan
dan tanggung jawab fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah atau sub nasional.

Selanjutnya adalah otonomi daerah yang merupakan esensi pemerintahan


desentralisasi. Menurut Bagir Manan otonomi adalah “kebebasan dan
kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus
sebagian urusan pemerintahan”. Dengan demikian, hakikat isi otonomi daerah
adalah kebebasan dan kemandirian (Manan, 1993: 2). Pemahaman ini
menjelaskan otonomi daerah sebagai cara membagi wewenang, tugas dan
tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan
daerah. Bhenyamin Hoessein menguraikan arti otonomi sebagai, “Pemerintahan
dari, oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui
lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar pemerintah
pusat”. Hal ini ditegaskan secara spesifik bahwa otonomi sebagai wewenang
untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan dengan prakarsa sendiri
(Hoessein, 2009: 25).

Hans Kelsen mengatakan bahwa otonomi daerah adalah suatu perpaduan


langsung dari ide desentralisasi dengan ide demokrasi. Sebuah contoh dari
satuan daerah otonom adalah kotapraja atau kotamadya dan walikota (Kelsen,
1973: 314). Syafrudin memberikan pandangan bahwa otonomi mengandung arti
jumlah atau besarnya tugas, kewajiban, hak dan wewenang serta tanggung
jawab urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah otonomi untuk menjadi isi rumah tangga daerah
(Ateng Syafrudin, 1991). Clark (1984) mengadopsi beberapa pemikiran bahwa
otonomi daerah merupakan gagasan yang mengidentifikasi hak atau kebebasan
seseorang atau lembaga untuk bertindak.

Definisi otonomi daerah kemudian ditegaskan Clark bahwa akan didasarkan


pada terjemahan antara kekuasaan individu dan kekuasaan kelembagaan. Frug
(1980) mengidentifikasi dua prinsip utama otonomi lokal, yaitu : the power of
initiation and the power of immunity. The power of initiation ini dianggap setara
dengan koreksi yang merujuk pada tindakan pemerintah daerah dalam
melaksanakan tugasnya yang sah. Sedangkan the power of Immunity dimaknai
sebagai kekuasaan daerah untuk bertindak tanpa takut pada otoritas
pengawasan tingkat yang lebih tinggi dari negara.

Jeremy Bentham (1970) menerjemahkan dua prinsip kekuatan hukum yakni


koreksi dan impasi. Dari pendapat Clark mendefinisikan otonomi lokal dengan
dua kekuatan spesifik: inisiasi yang merupakan kompetensi otoritas lokal untuk
menjalankan tugas demi kepentingan otoritas lokal sendiri; dan imunitas berarti
kemungkinan bagi otoritas lokal untuk bertindak tanpa berada dibawah kendali
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Wolman dan Goldsmith (1990)
memahami bahwa otonomi daerah dibatasi oleh serangkaian undang-undang,
faktor politik dan kondisi sosial ekonomi.
Otonomi lokal dimaksudkan sebagai kebebasan untuk melakukan kegiatan
tertentu untuk kepentingan warga negara. Dengan demikian, otonomi daerah
dapat dilihat sebagai konsep subjektif yang berkenaan dengan ekspresi warga
lokal dan perwakilan terpilih (Ladner, 1994). Dari pendekatan sosiologis
berdasarkan pemikiran Tocquevillian, otonomi daerah menekankan nilai-nilai
partisipasi, komitmen, kemandirian dan ikatan emosional. Otonomi lokal dari
perspektif ini bukan hanya sekedar kebebasan dalam kaitannya dengan batasan
hukum atau lainnya dimana dalam perspektif ini tingkat otonomi lokal yang
ditemukan di daerah mana pun tergantung pada apa yang ingin dicapai
(Pratchett, 2004: 366-367).

Keuffer (2016) mendefinisikan otonomi daerah sebagai kemampuan


pemerintah daerah dalam kerangka hukum yang ditentukan untuk membuat
keputusan tentang layanan yang diberikannya dan sumber daya keuangan tanpa
campur tangan dari pusat. Keuffer kemudian mengidentifikasi tujuh dimensi
konstituen dari otonomi daerah yakni, otonomi hukum; kebijaksanaan politik;
ruang lingkup kebijakan; otonomi keuangan; otonomi organisasi; non-campur
tangan; serta akses tingkat pengaruh pemerintah.

Dapat dikatakan bahwa otonomi daerah sesungguhnya berkenaan dengan


hak yang dimiliki daerah untuk melakukan kegiatan tertentu untuk kepentingan
warga di wilayahnya. Jadi otonomi bermakna kebebasan menjalankan fungsi
publik oleh daerah otonom tanpa intervensi, namun dalam kerangka norma yang
telah ditetapkan. Dari pemaknaan desentralisasi dan otonomi daerah yang telah
dijelaskan, bahwasannya desentralisasi dan otonomi daerah berbeda dari segi
pandang. Desentralisasi memulai dari atas yaitu bagaimana posisi peran
pemerintah pusat yang diikuti dengan objek pemerintah daerah sementara
otonomi daerah melihatnya dari posisi daerah lalu meletakkannya dengan
hubungan pemerintah supranasional. Walau demikian keduanya tetap berada
pada koridor bagaimana penyerahan kewenangan dan bagaimana hak
mengelola kewenangan.

Pada hakikatnya, belum ada keputusan final mengenai definisi dan arti
sebenarnya dari desentralisasi dan otonomi daerah, tetapi terdapat semacam
konsensus umum tentang karakteristik mendasar yakni berkenaan dengan
pembagian kekuasaan yang dijamin antara pemerintah pusat dan daerah.
Secara khusus desentralisasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana
pembagian kekuasaan vertikal hadir diantara berbagai tingkat pemerintahan
yang memiliki kekuasaan pengambilan keputusan secara independen pada
berbagai bidang (Lijphart, 1999: 186; Wolff, 2013: 32-33). Diskusi mengenai
fokus pemaknaan kemudian mengerucut hingga berhubungan erat dengan
paradigma yang dianut dalam sistem pemerintahan suatu negara, dimana
terdapat perbedaan konsep di negara kesatuan manapun negara-negara federal
(Arthanaya, 2011).
Berkenaan dengan konsep otonomi negara federal, Karim (2003: 76)
menjelaskan otonomi daerah bermakna sebagai independensi kewenangan
daerah dari segala intervesi pemerintah nasional. Konsep otonomi dalam
federalisme tidak mengenal hirarkis karena tidak ada ikatan satu dengan lainnya
dan setiap pemerintahan lokal adalah wilayah yang independen (Jati, 2012).
Asshiddiqie menjelaskan bahwa konsep otonomi daerah dianggap sebagai
pematangan konsep federalisme yang mana mengadopsi nilai dan prinsip dalam
negara federalisme ke bentuk otonomi daerah di negara kesatuan. Konsep
otonomi daerah sesungguhnya tidak berlaku di negara kesatuan karena semua
kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat. Asshiddiqe menegaskan bahwa
kekuasaan asli berada di pemerintah, bukan di daerah yang merupakan
kekuasaan asli tanpa atribut tetapi kekuasaan yang sudah dilegalisasikan
sebagai kewenangan. Kewenangan daerah mengacu pada asas pembagian
yang tidak meninggalkan kebulatan pemegang kekuasaan tertinggi dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara tetap di tangan pemerintah
(Soemantri,1987).

Istilah desentralisasi memiliki makna yang berbeda untuk orang yang


berbeda dan pendekatan terhadap desentralisasi pun sangat bervariasi dari
negara satu ke negara lain (Devas, 1997). Meski terdapat perbedaan, terdapat
suatu konsensus bahwa desentralisasi dan otonomi daerah sangat diperlukan
untuk mempromosikan sosok pemerintahan yang lebih baik, lebih efektif dan
lebih demokratis (UNDP, 2002). Dalam konteks memahami perbedaan makna
desentralisasi dan otonomi daerah, secara lebih nyata terlihat pada dua model
yang sangat lazim, yakni eropa continental dan anglo saxon. Adapun uraian
terhadap desentralisasi dalam pandangan kedua mdel ini disajikan sebagai
berikut.

1. Model Anglo Saxon

Konsep utama penyelenggaraan desentralisasi yang diusung dari model ini


adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat baik kepada para pejabat
pusat yang ada di daerah (dekonsentrasi) maupun kepada badan-badan otonom
daerah (devolusi). Mengenai devolusi dimaknai sebagai penyerahan sebagian
kekuasaan kepada badan-badan politik didaerah, yang diikuti dengan
penyerahan kekuasaan sepenuhnya untuk mengambil keputusan baik secara
administratif maupun politis. Anglo Saxon mengusung dua bentuk desentralisasi
yang dikembangkan yaitu: Desentralisasi administrasi, berarti pendelegasian
wewenang pelaksanaan kepada pejabat di tingkat lokal; dan Desentralisasi
politik, yaitu pemberian wewenang dalam membuat keputusan dan pengawasan
kepada pejabat regional dan lokal untuk kemandirian pemerintah lokal.

Paradigma Anglo Saxon dalam menata relasi pusat-daerah cenderung


mengarah pada desentralisasi politik. Paradgima Anglo Saxon ini terlahir karen
konteks keanekaragaman demografis maupun teritorial yang tidak dimungkinkan
pusat berkuasa penuh atas daerah sehingga perlu sekiranya untuk membentuk
sentrum politik baru selain halnya pemerintahan pusat.
Adapun ciri-ciri model tata kelola pemerintahan menurut paradigma Anglo-
Saxon (misalnya Inggris, AS, Kanada dan Australia) sebagaimana dikemukakan
Mazol antara lain:

1) Badan-badan perwakilan lokal berfungsi secara otonom dalam


kekuasaan mereka, tidak ada kontrol langsung terhadap pemerintah
pusat;
2) Tidak ada perwakilan pemerintah pusat di daerah;
3) Kendali atas kegiatan pemerintah daerah dilakukan melalui
kementerian pusat atau pengadilan.

Terdapat sisi positif dari sistem pemerintahan otonom ini adalah


kurangnya pejabat pusat di tingkat lokal yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Sementara sisi negatifnya adalah komunitas lokal menjadi terisolasi. Dalam
aktivitas yang lebih jauh bisa menimbulkan gerakan-gerakan negatif yang
berdampak pada pemisahan diri. Rhodes (1986) mengatakan otoritas lokal
merupakan hal utama sebagai agen otoritas pusat dengan standar nasional dan
dibawah kendali negara. Jadi fungsi utama pemerintah daerah adalah
melaksanakan otoritas publik di tingkat lokal. Dalam sistem pemerintahan lokal,
kabupaten dan kota adalah otoritas lokal yang paling penting. Otoritas tersebut
bertanggung jawab atas layanan publik. Sehubungan dengan pemahaman
terhadap desentralisasi, terlihat bahwa desentralisasi di Anglo Saxon lebih
dimaknai sebagai transfer/penyerahan kewenangan daalam pengertian yang
luas mencakup; dekonsentrasi, devolusi, privatisasi atau desentralisasi
fungsional dan pengikutsertaan LSM dalam penyelenggaraan dan
pembangunan.

2. Model Eropa Continental


Model tata kelola pemerintahan ini didasarkan pada hubungan langsung
antara manajemen negara dan pemerintah daerah. Konsep umum sistem
pemerintahan lokal model ini adalah bawha kekuasaan sistem pemerintah lokal
ditentukan oleh adanya “urusan publik lokal” atau “urusan pemerintahan lokal”.
Model yang diterapkan dalam konsep ini adalah adanya kontrol pemerintah pusat
di tingkat lokal. Prinsip ini lebih menegaskan bahwa daerah sepenuhnya dibawah
kendali pusat. Tujuan dari penyeragaman pemerintahan daerah oleh pemerintah
pusat ini bertujuan memperkuat soliditas dan stabilitas negara. Dalam sistem ini,
pemerintah daerah dapat dianggap sebagai agen lokal dari pemerintah pusat
(Wraith, 1972: 17-18). Ciri pemerintahan lokal yang dianut bahwa pemerintahan
daerah bertanggung jawab atas administrasi antara lain, leayanan lokal,
penegakan hukum, pengumpulan pajak dan administrasi sejumlah layanan
nasional di suatu daerah tertentu. Sistem pemerintahan lokal dalam model ini
umumnya ditemukakan di negara-negara di Afrika, kecuali Senegal.
Dengan demikian, secara yuridis keberadaan pemerintah daerah diakui
secara tersirat dan tersurat dalam konstitusinya. Pemerintah daerah memiliki
otonomi yang cukup besar dalam menjalankan fungsi pelayanan kepada
masyarakat namun masih tergantung pada institusi dekonsentrasi sehingga
masih terkesan nuansa sentralisasi. Model desentralisasi yang diusung aliran ini
adalah desentralisasi teritorial.
Menurut Koswara (2012: 70-71) desentralisasi teritorial merupakan
terminologi versi eropa kontinental yang merupakan salah satu bentuk dari
desentralisasi ketatanegaraan. Hal dimaksudkan adalah pelimpahan wewenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom). Dengan
desentralisasi teritorial ini menghasilkan daerah yang otonom oleh karena itu
desentralisasi teritorial ini hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat.
Disebutkan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah secara konseptual
saling mengikat pada makna pemindahan tanggung jawab atau pengalihan
kekuasaan administratif dan pengambilan keputusan dari tingkat pusat ke
pemerintahan daerah atau subnasional. Sehubungan dengan itu, desentralisasi
dipahami dalam dua aspek yaitu menyangkut penyerahan kekuasaan atau
kewenangan tertentu dan juga adanya pembentukan daerah otonom untuk
menyelenggarakan kewenangan tersebut. Sementara itu berkenaan dengan
maskud pembentukan daerah otonom menginat bahwa pembagian kekuasaan
atau wewenang tersebut tidak akan terjadi sekiranya tidak disertai adanya
daerah otonom (Maddick, 1996).
Dengan demikian, desentralisasi dan otonomi daerah dapat diterima
sebagai kesatuan kebijakan dan praktik penyelenggaraan pemerintahan secara
efektif dan efisien dimana sebagai instrumen terwujudnya kehidupan masyarakat
lokal yang lebih tertib, maju dan sejahtera. Konkretnya setiap orang dimana pun
berada sampai di pelosok bisa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena
memperoleh kemudahan dalam segala bidang pelayanan oleh pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai