Anda di halaman 1dari 24

RANGKUMAN

HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK


Dosen pengampu :
Dr. SLIM OKTAPANI S,H.,M.H

Disusun oleh:
Tengku zaki revinka (2274201230)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
PEKANBARU
2023
BAB I
Pemahaman Dasar Tentang Hukum dan Kebijakan Publik

A. Pemahaman Dasar tentang Kebijakan Publik


Istilah kebijakan disepadankan dengan kata policy yang dibedakan dengan kebijaksanaan
(wisdom) maupun kebajikan (virtues). Budi Winarno1 dan Sholichin Abdul Wahab, sepakat
bahwa istilah ‘’kebijakan‟ ini penggunaannya sering dipertukarkan dengan istilah-istilah lain
seperti tujuan (goals), program, keputusan, undangundang, ketentuan-ketentuan, standar,
proposal dan grand design. Bagi para policy makers (pembuat kebijakan) dan orang-orang
yang menggeluti kebijakan, penggunaan istilahistilah tersebut tidak menimbulkan masalah,
tetapi bagi orang di luar struktur pengambilan kebijakan tersebut mungkin akan
membingungkan. Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang
dimaksud dengan kebijakan (policy). Setiap definisi tersebut memberi penekanan yang
berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena setiap ahli mempunyai latar belakang yang
berbeda-beda pula. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan pengambilan keputusan.

Menurut Ealau dan Kenneth Prewitt yang dikutip Charles O. Jones, kebijakan adalah
sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik
oleh yang membuatnya maupun oleh mereka yang mentaatinya (a standing decision
characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who
make it and those who abide it).4 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan definisi
kebijakan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman ini bisa amat sederhana atau
kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau
terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya
yang seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu program, mengenai
aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana.5 Richard Rose, sebagai seorang pakar ilmu
politik menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dimengerti sebagai serangkaian kegiatan
yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang
bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri. Kebijakan menurutnya dipahami
sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan
sesuatu. Kemudian ada definisi lain yang disampaikan Carl Friedrich yang penting juga
didiskusikan. Menurutnya kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Berkenaan dengan definisi
kebijakan ini, Budi Winarno (2005) mengingatkan bahwa dalam mendefinisikan kebijakan
haruslah melihat apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang diusulkan mengenai
suatu persoalan. Alasannya adalah karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup
pula tahap implementasi dan evaluasi, sehingga definisi kebijakan yang hanya menekankan
pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.

1.Bentuk Kebijakan Publik

Kebijakan publik mempunyai bentuk yang dapat dijadikan sebagai pegangan dan
ketentuan bagi seluruh stakeholder dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Bentuk kebijakan adalah pedoman dan panduan untuk dilaksanakan
sebagaimana mestinya, jika tidak, maka akan ada sanksi yang mengikutinya. Bentuk
kebijakan adalah dapat dijalankan sebagai hukum yang mengikat kepada seluruh warga
negaranya. Riant Nugroho (2011:77-82) membagi bentuk kebijakan menjadi 3 (tiga) bagian,
yaitu undang-undang, paternalistik (bersikap seperti bapak), dan perilaku pemimpin. Bentuk
pertama adalah undang-undang adalah bentuk akhir dari kebijakan publik yang dijadikan
sebagai pedoman dan hukum bagi seluruh lapisan masyaarkat. Ketentuan dalam undang-
undang mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya terdapat
sanksi bagi yang melanggar dari ketentuan yang sudah tertulis dalam peraturan perundang-
undangan. Sebagai bentuk dari kebijakan publik, undang-undang harus dijalankan dan
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Bentuk kedua adalah paternalistik. Paternalistik adalah berperilaku seperti ayah yang
dikaitkan dengan sikap pemimpin kepada pegawainya. Pemimpin berperilaku seperti bapak
dan pegawai berperilaku seperti anak. Itu adalah bentuk kebijkaan yang melekat dan terjadi
di semua level kebijakan. Pemimpin sebagaimana seorang ayah memperlakukan pegawai
seperti anak-anaknya. Pemimpin melakukan apa pun yang diinginkan untuk kepentingan
individu maupun kelompoknya. Pegawai atau bawahannya berperilaku seperti anaknya yang
tidak dapat menolak segala perintah dari atasannya.
Ketiga adalah perilaku pemimpin. Perilaku atau sikap pemimpin menjadi kebijakan publik.
Dalam ranah yang agak vulgar pun hal itu dapat terjadai, bahwa kebijakan publik adalah
sikap dari pemimpin itu sendiri. Korupsi menjadi salah satu contoh yang masih marak terjadi
dalam kaidah bentuk kebijakan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan, salah
satunya adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pemimpin
mengantarkannya pada kasus korupsi.
Hal ini menjadi marak terjadi dihampir semua level pemerintahan. menjadi patologi
birokrasi bagi pemerintah daerah sampai pemerintah pusat. Bahkan sudah merambah pada
level pemerintah desa, yang semula tidak pernah mengenal kourpsi. Lahirnya Undang-
Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa tidak mesti berjalan secara mulus dalam
implementasinya, terutama dalam hal keuangan desa. Kekhawatiran dari para pakar tentang
semakin tingginya korupsi di desa betul adanya, hal itu dipengaruhi oleh lemahnya sumber
daya manusia, sarana dan prasarana, serta akuntabilitas dan manajemen pemerintah desa
yang belum berjalan dengan baik, menjadikan pemerintahan desa rawan korupsi.
2.Jenis Kebijakan Publik.

Banyak pakar mengajukan jenis kebijakan publik berdasarkan sudut pandangnya masing-
masing. James Anderson6 ,menyampaikan kategori tentang kebijakan publik tersebut
sebagai berikut:
a. Kebijakan substansif versus kebijakan prosedural. Kebijakan substantif yakni
kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan
kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat
dijalankan.

Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif. Kebijakan


distributif. Kebijakan distributis menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan
pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori adalah kebijakan yang berupa
pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat.
Sedangkan kebijakan re-distributif adalah kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan,
pendapatan, pemilikan atau hak-hak di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.

b. Kebijakan material versus kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan


yang memberikan keuntungan sumber daya konkrit pada kelompok sasaran.
Sedangkan kebijkan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis
pada kelompok sasaran

c. Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum (public goods) dan barang privat
(privat goods). Kebijakan public goods adalah kebijakan yangbertujuan mengatur
pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan kebijakan privat goods adalah
kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.

Sedangkan Riant Nugroho, membagi jenis-jenis kebijakan publik berdasarkan 3 kategori.


Pembagian jenis kebijakan publik kategori pertama berdasarkan pada makna dari kebijakan
publik.7 Berdasarkan maknanya, maka kebijakan publik adalah hal-hal yang diputuskan
pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak
dikerjakan atau dibiarkan. Kebijakan publik berdasar makna kebijakan publik dengan
demikian terdiri dua jenis, yakni:
 kebijakan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan kebijakan atau
hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan.
 Kedua, pembagian jenis kebijakan publik yang didaarkan pada lembaga pembnuat
kebijakan publik tersebut. Pembagian menurut kategori ini menghasilkan tiga jenis
keijakan publik. Kesatu, kebijakan publik yang dibuat oleh legislatif. Kebijakan publik
ini disebut pula sebagai kebijakan publik tertinggi

Kedua kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjasama antara legislatif dengan
eksekutif. Model ini bukan menyiratkan ketidakmampuan legislatif, namun mencerminkan
tingkat kompleksitas permasalahan yang tidak memungkinkan legislatif bekerja sendiri. Di
Indonesia produk kebijakan publik yang dibuat oleh kerjasama kedua lembaga ini adalah
undang-undang di tingkat nasional dan peraturan daerah di tingkat nasional untuk hal-hal
tertentu yang bersifat sementara sampai UU-nya dibuat. Bahkan, di Indonesia yang
mengesahkan UU adalah Presiden. UU sendiri disahkan setelah ada persetujuan dari
legislatif dan eksekutif. Dalam hal setelah persetujuan setelah 30 hari eksekutif tidak
segera mengesahkan, maka sesuai dengan Pasal 20 ayat 5 UUD 1945, maka Rancangan UU
tersebut dianggap sah dengan sendirinya. Di sini tampak bahwa keluaran legislatif relatif
lebih tinggi daripada eksekutif.9 Ketiga, kebijakan publik yang dibuat oleh eksekutif saja. Di
dalam perkembangannya, peran eksekutif tidak cukup hanya melaksanakan kebijakan yang
dibuat legislatif, karena dengan semakin meningkatnya kompleksitas permasalahan
kehidupan bersama sehingga diperlukan kebijakan-kebijakan publik pelaksanaan yang
berfungsi sebagai turunan dari kebijakan publik di atasnya. Di Indonesia ragam kebijakan
publik yang ditangani eksekutif bertingkat sebagi berikut: (1) Peraturan Pemerintah, (2)
Keputusan Presiden (Keppres), (3) Keputusan Menteri (Kepmen) atau Lembaga Pemerintah
Non departemen, (4) dan seterusnya, misalanya Instruksi Menteri. Sedangkan di tingkat
daerah terdapat: (1) Keputusan Gubernur dan bertingkat keputusan Dinas-Dinas di
bawahnya, (2) Keputusan Bupati, (3) Keputusan walikota dan bertingkat keputusan dinas-
dinas di bawahnya. Pembagian jenis kebijakan publik kategori ketiga didasarkan pada
karakter dari kebijakan publik yan sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan publik
yang sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan publik tertulis formal.

3.Proses dan Model Kebijakan Publik

Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan
dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politik tersebut nampak dalam
serangkaian kegiatan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.
Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan monitoring
dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

1. Tahap Penyusunan Agenda Kebijakan


Dalam tahap ini ada 3 kegiatan yang perlu dilaksanakan:

A. Membangun persepsi di kalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena benar-


benar dianggap sebagai masalah. Hal ini penting karena bisa jadi suatu gejala yang
oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap sebagai masalah, tetapi oleh
kelompok masyarakat yang lainnya atau bahkan oleh para elite politik bukan
dianggap sebagai suatu masalah.
B. Membuat batasan masalah. Tidak semua masalah harus masuk dalam penyusunan
agenda kebijakan dan memiliki tingkat urgensi yang tinggi, sehingga perlu
dilakukan pembatasan terhadap masalah-masalah tersebut.
C. Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda
pemerintah. Memobilisaasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara
mengorganisasi kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, dan kekuatan-
kekuatan politik, publikasi melalui media massa dan sebagainya.

2. Tahap Formulasi dan Legitimasi Kebijakan


Pada tahap ini analisis kebijakan perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang
berhubungan dengan masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan
alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan dan melakukan negosiasi, sehingga
sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih.

3. Tahap Implementasi Kebijakan


Pada tahap ini perlu memperoleh dukungan sumberdaya, dan penyusunan organisasi
pelaksana kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme insentif dan sanksi
agar implementasi kebijakan tersebut berjalan dengan baik.

4. Tahap Evaluasi terhadap Implementasi, Kinerja dan Dampak Kebijakan


Tindakan (implementasi) kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak kebijakan, yang
memerlukan proses berikutnya yakni evaluasi. Hasil evaluasi tersebut berguna bagi
penentuan kebijakan baru di masa yang akan datang, agar kebijakan yang akan datang
lebih baik dan berhasil.

4. Sistem Kebijakan Publik.

William N. Dunn13 menggambarkan penggunaan komponen-komponen prosedur


metodologi dalam melaksanakan analisis suatu kebijakan dalam suatu sistem. Komponen-
komponen yang dimaksud dalam prosedur metodologi analisis kebijakan tersebut adalah
perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan dan evaluasi. Melakukan
analisis kebijakan berarti menggunakan kelima prosedur metodologi tersebut dalam proses
kajiannya.
Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh lingkungan. Dunn (2004) menyebutkan 3 (tiga) elemen kebijakan:
pelaku/aktor kebijakan, lingkungan kebijakan dan kebijakan publik. Kebijakan publik lahir
karena tuntutantuntutan yang merupakakan serangkaian pengaruh lingkungan, dan
kemudian ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Dalam waktu yang bersamaan
ada keterbatasan dan konstrain dari lingkungan yang akan mempengaruhi pembuat
kebijakan. Faktor lingkungan tersebut antara lain: karakteristik sosial ekonomi, sumberdaya
alam, iklim, topogra, demogra, budaya dan sebagainya.

B. Pemahaman Dasar Tentang Hukum


Mengapa harus mengenal hukum? Pertanyaan ini dapat memiliki makana antara lain:
Pertama, kita sebagai manusia merupakan bagian dari masyarakat, dalam aktivitas sehari-
hari, tidak akan pernah lepas dari ketentuan hukum yang berlaku. Dalam aktivitas kita
sehari-hari, tanpa kita sadari telah terbentuk suatu fakta hukum atau gejala hukum dalam
bentuk perbuatan hukum yang tentu saja akibat dari perbuatan hukum tersebut
menimbulkan akibat hukum, baik akibat hukum yang dikehendaki maupun yang tidak
dikehendaki. Justru karena ada akibat hukum inilah, agar akibat hukum tersebut tidak
merugikan kita, maka kita harus mengenal hukum. Kedua, setiap orang menurut hukum,
dianggap telah mengetahui keberadaan dan keberlakuan suatu ketentuan hukum yang
berlaku di masyarakat. Artinya, kita sebagai subyek hukum tidak bisa membuat alasan
bahwa perbuatan melawan hukum (di bidang perdata) atau tindak pidana yang kita lakukan
tidak dapat dikenakan sanksi dengan alasan tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut
telah diatur misalnya dalam suatu undang-undang. Oleh karena itu untuk menjaga agar kita
tidak tergelincir ke dalam suatu perbuatan yang dapat dikategorikan melawan, melanggar
dan atau bertentangan dengan hukum, minimal kita harus mengetahui atau mengenal
tentang aspek dan akibat hukum dari suatu oerbuatan yang akan kita lakukan.

C. Validitas Hukum
Walaupun validitas dan keberlakuan adalah konsep yang berbeda, namun terdapat
hubungan yang penting antara keduanya. Suatu norma dikatakan valid hanya dalam hal
menjadi bagian dari suatu sistem norma yang secara keseluruhan berlaku. Maka
keberlakuan adalah suatu kondisi bagi validitas. Karena norma mengatur perilaku manusia,
dan perilaku manusia berada pada waktu dan ruang, maka norma adalah valid untuk waktu
tertentu dan di tempat tertentu.
Validitas suatu norma berawal dari suatu waktu dan berakhir pada waktu lain. Demikian
pula halnya bahwa norma valid untuk suatu wilayah sosial tertentu dan tidak untuk wilayah
sosial yang lain. Kita dapat menyebutnya sebagai wilayah validitas temporal dan wilayah
validitas spasial dari suatu norma. Untuk menentukan bagaimana seharusnya orang
bertindak, seseorang harus me- nentukan kapan dan di mana mereka bertindak.
Sedangkan bagaimana mereka seharusnya bertindak, dan tindakan apa yang harus
dilakukan dan tidak boleh dilakukan, adalah wilayah materiil dari validitas suatu norma.
Selain itu isi dari norma juga meliputi elemen personal siapa yang harus bertindak menurut
norma tersebut. Jadi terdapat empat wilayah validitas suatu norma, yaitu personal,
material, teritorial, dan spasial

D. Fungsi Hukum
Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara
orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pemancangan maka hukum menjabarkan
pekerjaannya dalam berbagai fungsinya. Dengan demikian, fungsi hukum adalah
menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-
masalah yang timbul.
Adapun fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman20, yaitu:
a. pengawasan atau pengendalian sosial (social control);
b. penyelesaian sengketa (dispute settlement);
c. rekayasa sosial (social engineering)

Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah perilaku, kiranya tidak memerlukan banyak
keterangan, mengingat bahwa hukum telah disifatkan sebagai kaidah, yaitu sebagai
pedoman perilaku, yang menyiratkan perilaku yang seyogianya atau diharapkan diwujudkan
oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan suatu kegiatan yang diatur oleh
hukum.

Hukum sebagai sarana pengendalian sosial, menurut A. Ross yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto adalah mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan
sosial. Ross menganut teori imperatif tentang fungsi hukum dengan banyak
menghubungkannya dengan hukum pidana.24 Selanjutnya Soleman B. Taneko, mengatakan:
”Secara esensial bahwa sistem mengandung peraturan perilaku yang benar, dan setiap
warga masyarakat membatasi beberapa perilaku sebagai penyimpangan, dan setiap
masyarakat mempunyai ide-ide tentang perilaku yang baik dan buruk. Semua masyarakat
akan mengambil langkah-langkah untuk mendorong ke arah perilaku yang baik, dan
memberikan sanksi negatif bagi perilaku yang buruk’’
BAB II
Kerangka Hukum Kebijakan Publik
A. Sumber Hukum Kebijakan Publik
Istilah sumber hukum mengandung banyak pengertian. Hal ini disebabkan
berkenaan dengan sudut pandang mana sumber hukum itu diartikan. Misalnya sumber
hukum dilihat dari sisi filsafat tidak sama dengan sumber hukum dari sisi sejarah atau
historis. Demikian pula pengertian sumber hukum dari sisi ekonomi tidak sama dengan
pengertian sumber hukum dari sisi sosiologis.
Menurut Paton,28 para ahli hukum menggunakan istilah sumber hukum dalam dua
arti yaitu sumber hukum tempat orang- orang untuk mengetahui hukum dan sumber
hukum bagi pembentuk undang-undang menggali bahanbahan dalam penyusunan
undang- undang. Sumber hukum dalam arti tempat orang-orang mengetahui hukum
adalah semua sumber-sumber hukum tertulis dan sumber-sumber hukum lainnya yang
dapat diketahui sebagai hukum pada saat, tempat dan berlaku bagi orang-orang
tertentu. Untuk mencari sumber hukum berupa undang-undang, putusan hakim di
pengadilan, akta, buku literatur hukum, jurnal. Sementara sumber hukum bagi
pembentuk undang-undang untuk menggali bahan-bahan dalam penyusunan
undangundang berkaitan dengan penyiapan rancangan undangundang.
Dalam sistem hukum baik Eropa Kontinental maupun sistem hukum Angloxason,
sumber hukum dibedakan atas dua yakni sumber hukum dalam arti materil dan sumber
hukum dalam arti formal. Khusus dalam sistem hukum Eropa Kontinental lebih fokus
pada sumber hukum dalam arti formal. Alasanya adalah sumber hukum formal berkaitan
dengan proses terjadinya hukum dan mengikat masyarakat. Selain itu sumber hukum
formal dibutuhkan untuk keperluan praktis yaitu aspek bekerjanya hukum.
Hukum diperlukan agar kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dapat
memperoleh bentuk resmi yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan berlakunya
untuk umum. Karena hukum yang baik diperlukan dalam rangka pembuatan kebijakan
(policy making) yang diperlukan merekayasa, mendinamisasi, mendorong, dan bahkan
mengarahkan guna mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, dalam
rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan

B. Bentuk Hukum Kebijakan Publik


 Kebijakan publik yang terkodifikasi adalah segenap peraturan perundang-
undangan di tingkat pusat dan daerah.
 Pernyataan pejabat publik adalah pernyataanpernyataan dari pejabat publik di
depan publik, baik dalam bentuk pidato tertulis, pidato lisan, termasuk
pernyataan kepada media massa.

Bentuk Kebijakan publik yang terkodifikasi (yang berupa peraturan perundang-


undangan) sebagaimana dimaksud dalam Permenpan tersebut merupakan bentuk
kebijakan publik yang positif atau dalam kategori kebijakan publik menurut Andersen
adalah keputusan-keputusan kebijakan (policy decicions).
C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan dan Strata Kebijakan Publik
Norma hukum dapat lahir dan berlaku dalam masyarakat. Dalam norma hukum akan
sangat berkaitan dengan hierarki norma hukum, baik yang dinyatakan oleh Hans
Nawiasky ataupun Hans Kelsen. Juga teori norma „berwajah ganda‟ yang dikemukakan
oleh Adolf Merkel untuk menjelaskan keterkaitan antara satu norma dengan norma yang
lain. Untuk memperkuat pemahaman tentang norma hukum, akan dipelajari pula teori-
teori yang berkaitan dengannya, misalnya, pemahaman tentang jenis norma ditinjau dari
sifat muatannya (abstrak atau konkret), dari subjek yang diatur (umum atau khusus),
dan sebagainya.
Sebelumnya, perlu dipahami bahwa menurut Hans Kelsen dalam bukunya General
Theory of Law and State, terdapat dua sistem norma yang meliputi:
 Sistem norma statik adalah sistem yang melihat pada „isi‟ norma. Menurut sistem
norma yang statik, norma umum dapat ditarik menjadi norma yang lebih khusus,
atau norma-norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum.
 Sistem norma yang dinamik adalah sistem norma yang melihat pada berlakunya
suatu norma dari cara „pembentukannya‟ atau „penghapusannya‟.

Dalam ilmu Perundang-undangan yang dibicarakan adalah norma hukum sebagai


salah satu norma yang dinamik, yaitu norma yang diterapkan berdasarkan siapa
pembuatnya dan bagaimana penerapannya dikaitkan dengan norma-norma lainnya.
Dalam konteks ini, norma hukum bersifat heteronom, yaitu muncul dari luar diri
seseorang. Norma hukum dibuat oleh pihak penguasa, yaitu bidang legislatif. Hal ini
berbeda dengan norma-norma lainnya yang cenderung merupakan kaedah otonom,
yaitu berasal dari dalam diri seseorang. Selain itu, norma hukum dapat dilekati sanksi
dalam rangka menjamin pemenuhannya. Sanksi ini dipaksakan dan dilaksanakan
keberlakuannya oleh aparat negara. Norma hukum juga dibagi menjadi norma hukum
tunggal, dan norma hukum berpasangan. Norma hukum tunggal adalah norma yang
berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, sedangkan norma
hukum berpasangan adalah norma yang terdiri dari dua norma hukum, yaitu norma
hukum primer dan norma hukum sekunder. Norma hukum primer adalah norma hukum
yang berisi suruhan, sedangkan norma hukum sekunder adalah norma hukum yang
berisi sanksi untuk memastikan supaya norma hukum primer dipenuhi
Norma hukum juga mengalami pembagian berdasarkan beberapa indikator. Jika
dilihat dari subjek yang dituju norma hukum terdiri dari norma hukum umum dan
norma hukum khusus. Norma hukum umum adalah norma hukum ditujukan untuk
orang banyak dan tidak tentu. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa semua orang harus
menerapkan norma hukum tersebut tanpa terkecuali, sedangkan norma hukum
individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan pada seseorang,
beberapa orang, atau banyak orang yang telah ditentukan. Biasanya, dalam norma
hukum tersebut telah disebutkan siapa saja subjek yang menjadi tujuannya. Jika dilihat
dari hal yang diatur atau perbuatannya, norma hukum terbagi menjadi norma hukum
abstrak dan norma hukum konkret. Norma hukum abstrak adalah norma hukum yang
melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak konkret,
sedangkan norma hukum konkret adalah norma hukum yang melihat perbuatan
seseorang secara lebih nyata (konkret). Dalam praktiknya, norma-norma hukum
tersebut dapat dikombinasikan sebagai berikut:
1.Norma hukum umum-abstrak; 2. Norma hukum umum-konkret; 3. Norma hukum
individual-abstrak; 4. Norma hukum individual-konkret.
Selain itu, berdasarkan masa berlakunya, norma hukum dapat dibagi menjadi norma
hukum yang berlaku terus menerus dan norma hukum yang sekali selesai. Norma
hukum yang berlaku terus-menerus keberlakuannya tidak dibatasi oleh waktu, jadi
dapat berlaku kapan saja secara terus menerus sampai peraturan itu dicabut dan
diganti dengan peraturan yang baru, sedangkan norma hukum yang berlaku sekali
selesai adalah norma hukum yang berlakunya hanya sekali saja, setelahnya selesai. Jadi
sifatnya hanya menetapkan saja.

D. Sistem Hukum dan Sistem Kebijakan Publik


Schrode & Voich sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, 29 menyatakan istilah
sistem mempunyai dua pengertian penting untuk dikenali, sekalipun dalam
pembicaraan-pembicaraan keduanya sering dipakai secara tercampur begitu saja.
Pengertian pertama, sistem sebagai jenis aturan yang mempunyai tatanan tertentu.
Tatanan tertentu di sini menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-
bagian. Kedua, sistem sebagai suatu rencana, metode, prosedur untuk mengerjakan
sesuatu. Sudikno Mertokusumo,30 menyatakan sistem hukum bersifat lengkap yaitu
melengkapi kekosongan, kekurangan dan ketidak jelasan hukum. Peraturan perundang-
undangan itu sifatnya tidak lengkap. Peraturan perundang-undangan tidak ada dan tidak
mungkin sudah selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya. Ketidak lengkapan dan
ketidakjelasan atau bahkan kekosongan hukum diatasi oleh sistem hukum itu sendiri
dengan penemuan hukum. Fungsi sistem hukum adalah menjaga atau mengesahkan
keseimbangan tatanan dalam masyarakat atau restitutio in integrum.
Lawrence M. Friedman, dalam teori klasiknya menguraikan sistem hukum adalah
kumpulan dari sub-sistem:
1. Struktur hukum. Struktur adalah salah satu dasar dan elemen nyata dari sistem
hukum. Struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya; ia adalah bentuk
permanennya, tubuh institusional dari sistem tersebut, tulang-tulang keras yang
kaku yang menjaga agar proses mengalir dalam batas-batasnya. Struktur sebuah
sistem yudisial terbayang ketika berbicara tentang jumlah para hakim, yurisdiksi
pengadilan, bagaimana pengadilan yang lebih tinggi berada di atas pengadilan yang
lebih rendah, dan orang-orang yang terkait dengan berbegai jenis pengadilan.
2. Substansi hukum. Substansi tersusun dari peraturanperaturan dan ketentuan-
ketentuan mengenai bagaimana institusi itu harus berperilaku. H.L.A. Hart
berpendapat bahwa ciri khas suatu sistem hukum adalah kumpulan ganda dari
peraturan- peraturan. Suatu sistem hukum adalah kesatuan dari “peraturan-
peraturan primer” dan “peraturan-peraturan sekunder”. Peraturan primer adalah
norma- norma perilaku; peraturan sekunder adalah norma mengenai norma-norma
ini bagaimana memutuskan apakah semua itu valid, bagaimana memberlakukannya,
dan lain-lain. Tentu saja, baik peraturan primer maupun peraturan sekunder adalah
sama-sama output dari sebuah sistem hukum.
3. Budaya hukum. Kekuatan-kekuatan sosial terusmenerus menggerakkan hukum
merusak di sini, memperbarui di sana; menghidupkan di sini, mematikan di sana;
memilih bagian mana dari “hukum” yang akan beroperasi, bagian mana yang tidak;
mengganti, memintas, dan melewati apa yang muncul; perubahanperubahan apa
yang akan terjadi secara terbuka atau diam-diam.
Lawrence Friedman, menyatakan bahwa fungsi hukum terdiri sebagai berikut,
Pertama, untuk mendistribusikan dan menjaga alokasi nilai-nilai yang benar menurut
masyarakat. Pemahaman yang tertanam dalam masyarakat dan dianggap benar adalah
yang disebut dengan keadilan. Kedua, fungsi sistem hukum yakni penyelesaian sengkata.
Konflik dalam masyarakat setiap saat selau muncul, untuk itu sistem hukum menyediakan
mesin dan tempat yang bisa dituju oleh orang untuk menyelesaikan konflik mereka dan
merampungkan sengketa mereka. Ketiga, fungsi sistem hukum yakni sebagao kontrol
sosial, yang pada dasarnya berupa pemberlakuan peraturan mengenai perilaku yang
benar. Keempat, fungsi sistem hukum yakni menciptakan norma-norma itu sendiri,
bahan-bahan mentah bagi kontrol sosial. Sistem hukum bertindak sebagai instrumen
perubahan yang tertata, rekayasa sosial.
BAB III
Hukum sebagai Instrumen Kebijakan Publik
A. Fungsi Hukum Modern

Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara
orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pemancangan maka hukum menjabarkan
pekerjaannya dalam berbagai fungsinya. Dengan demikian, fungsi hukum adalah
menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-
masalah yang timbul. Adapun fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:

 pengawasan atau pengendalian sosial (social control);


 penyelesaian sengketa (dispute settlement);
 rekayasa sosial (social engineering)

Berdasarkan uraian fungsi hukum oleh para pakar hukum di atas, dapat disusun fungsi-
fungsi hukum sebagai berikut:
 Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk
berperilaku;
 Pengawasan atau pengendalian sosial (social control)
 Penyelesaian sengketa (dispute settlement);
 Rekayasa sosial (social engineering

Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah perilaku, kiranya tidak memerlukan
banyak keterangan, mengingat bahwa hukum telah disifatkan sebagai kaidah, yaitu sebagai
pedoman perilaku, yang menyiratkan perilaku yang seyogianya atau diharapkan
diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan suatu kegiatan yang
diatur oleh hukum.
Pengendalian sosial (social control) dari hukum, pada dasarnya dapat diartikan suatu
sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga masyarakat agar berperilaku
sesuai dengan hukum. Dengan kata lain, dari sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa
pengendalian sosial dapat bersifat preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu
usaha untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang, sedangkan represif bertujuan
untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.
Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement). Persengketaan
atau perselisihan dapat terjadi dalam masyarakat, antara keluarga yang dapat meretakkan
hubungan keluarga, antara mereka dalam suatu urusan bersama (company), yang dapat
membubarkan kerja sama. Sengketa dapat mengenai perkawinan atau waris, kontrak,
tentang batas tanah, dan sebagainya. Sengketa atau perselisihan itu perlu diselesaikan.

B. Tujuan dan Sarana Kebijakan Publik


Dalam kebijakan yang dibuat oleh negara kebijakan publik terdapat tujuan-tujuan.
Untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan tersebut diperlukan instrumen atau sarana.
Sebagaimana dikemukakan oleh A. Hoogerwerf 36, bahwa sarana dapat diuraikan sebagai
segala sesuatu yang dipergunakan atau dapat dipergunakan oleh seorang aktor untuk
memperlancar terwujudnya tujuan atau tujuantujuannya. B.G. Peters mengidentifikasi
beberapa tipe instrumen kebijakan, yakni: hukum/undang-undang; pelayanan, uang; pajak;
instrumen ekonomi; suasi.
Ada dua alasan dalam kenyataan dunia politik, pejabat pemerintah harus selalu
menerjemahkan kebijakan dalam hukum: menetapkan kebijakan dalam bentuk
undangundang, yang diharapkan mampu menjawab berbagai perilaku masyarakat serta
berbagai kepentingan yang bukan saja berlaku bagi masyarakat, tetapi juga terhadap
pemerintah sendiri yang berkepentingan menjaga legitimasinya, yakni:
1. Kebutuhan untuk memerintah. Tanpa undangundang pemerintah tidak dapat
menjalankan roda pemerintahan. Di manapun, dengan upaya beberapa
pembuat kebijakan maka pemerintah memberlakukan aturan untuk mengawasi
perilaku pegawai pemerintah dan warga Negara pada umumnya. Undang-
undang juga dibutuhkan, ketika pemerintah bermaksud meningkatkan
pembangunan, dan untuk itu harus mengubah pola pikir serta perilaku yang
cendrung menghambat jalannya proses pembangunan. Karena itu, harus
merumuskan dan melaksanakan peraturan yang menjadi acuan suatu pola
perilaku yan diinginkan.
2. Tuntutan akan legitimasi. Kebijakan yang diformulasikan dalam bentuk undang-
undang memberikan pemerintah suatu legitimasi. Dengan memiliki legitimasi
yang sah dari para pejabat dan warga Negara, maka diharapkan akan mampu
mempengaruhi para pelaku untuk mengubah perilaku yang bertentangan yang
dapat menghambat jalannya proses pembangunan. (Ann Seidman, Robert B.
Seidman, dan Nalin Abeyserkere, 2001)

C.Peraturan Perundang-undangan sebagai Instrumen Kebijakan Publik

Dalam berbagai literatur Indonesia banyak dikenal berbagai istilah seperti


perundangan, perundang-undangan, peraturan perundang-undangan, dan peraturan
negara, sedangkan dalam kepustakaan Belanda dikenal istilah wet, wetgeving, wettelijke
regels, atau wettelijke regeling (en). Istilah Perundang-undangan berasal dari istilah
wettelijke regels. Berbeda dengan istilah peraturan negara yang merupakan terjemahan
dari staatsregeling, istilah staats berarti negara, dan regeling adalah peraturan. Istilah
„perundangan‟ berasal dari kata „undang‟, bukan berasal dari kata „undang- undang‟.
Kata „undang‟ tidak memiliki konotasi dengan pengertian „wet‟ atau „undang-undang‟,
karena istilah „un- dang‟ mempunyai arti tersendiri. Adapun yang dimaksud dengan
peraturan negara adalah peraturanperaturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi
baik dalam pengertian lembaga atau Pejabat tertentu.38 Istilah „peraturan perundang-
undangan‟ digunakan oleh A. Hamid S. Attamimi, Sri Soemantri, dan Bagir Manan.
Menurut A. Hamid S. Attamimi,istilah tersebut berasal dari istilah wettelijke regels atau
wettelijke regeling,namun istilah tersebut tidak mutlak digunakan secara konsisten. Ada
kalanya istilah ,Perundang-undangan saja yang digunakan. Penggunaan istilah „peraturan
perundang-undangan‟ lebih relevan dalam pembicaraan mengenai jenis atau bentuk
peraturan (hukum), namun dalam konteks lain lebih tepat digunakan istilah
perundangundangan, misalnyadalam menyebut teori perundangundangan, dasar-dasar
perundang-undangan, dan sebagainya.

Adapun pengertian peraturan perundang-undangan, yakni menurut M. Solly Lubis,


peraturan-perundangan adalah peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan
negara, sedangkan menurut J. H. A. Logemman, peraturan perundang-undangan adalah
peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar (algemeen bindende en
naar buiten werkende voorschriften).40 Menurut A. Hamid S. Attamimi, bahwa peraturan
perundang-undangan adalah peraturan negara di tingkat pusat dan di tingkat daerah yang
dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan baik bersifat atribusi maupun
bersifat delegasi.41 Menurut Bagir Manan, Peraturan perundang-undangan ialah setiap
putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat
negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai tata cara yang berlaku

a). Peraturan dan Keputusan

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana yang


telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

ada tiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dibedakan dengan
penggunaan istilah “peraturan”, “keputusan/ketetapan” dan “tetapan”, menurut Jimly
istilah-istilah tersebut sebaiknya hanya digunakan untuk

1. Istilah “peraturan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan pengaturan yang


menghasilkan peraturan (regels).
2. . Istilah “keputusan” atau “ketetapan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan
penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).
3. Istilah “tetapan” digunakan untuk menyebut penghakiman atau pengadilan yang
menghasilkan putusan (vonnis)

Mengenai perbedaan antara keputusan (beschikking) dengan peraturan (regeling)


disebutkan dalam Jimly Asshiddiqie dalam buku Hukum Acara Pengujian Undangundang.
46 keputusan (beschikking) selalu bersifat individual dan kongkrit (individual and concrete),
sedangkan peraturan (regeling) selalu bersifat umum dan abstrak (general and abstract).
Yang dimaksud bersifat general and abstract, yaitu keberlakuannya ditujukan kepada siapa
saja yang dikenai perumusan kaedah umum.

b). Putusan Pengadilan sebagai Instrumen Kebijakan Publik


Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu
sengketa. Sedangkan Mukti Arto, mendefinisikan putusan ialah pernyataan hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk
umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan. Menurut Sudikno Mertokusumo,
bahwa putusan hakim adalah: “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang
diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”. Putusan hakim atau yang
lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan adalah merupakan sesuatu yang sangat
diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi,
dengan putusan hakim akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara
yang mereka hadapi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim
merupakan suat pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara
yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan
perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah
kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu
perbuatan yang harus ditaati
Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga negara yang sejajar dan mempunyai
kewenangan dengan lembaga pemerintah lainya berdasarkan undang-undang peraturan
yang mengikat, penyebutan pemerintah tentu harus melihat kepada lembaga mana yang
mempunyai kewenangan. Badan peradilan terntu mempunyai kewenangan dalam
membangun hukum atau kebijkan publik dalam bidang hukum melalui putusan-putusan
pengadilan.
Ada satu tugas dari pemerintah dalam hal ini pengadilan yang tidak tergantikan sejak
dahulu hingga kelak di masa depan, yaitu (1) membuat kebijakan publik dalam bidang
hukum (2) pada tingkat tertentu melaksanakan kebijakan publik dengan eksekusi dan (3)
pada tingkat tertentu melakukan evaluasi kebijakan publik-monitoring termasuk dalam
evaluasi atas putusan apakah putusan tersebut mengadung kepastian hukum, manfaat dan
keadilan serta dapat dilaksanakan. Jadi, peran badan peradilan pada abad ke-21 dan ke
depan adalah membangun kebijakan. publik melalui putusan pengadilan yang ekselen
sehingga memberikan rasa keadilan sebagai salah satu pemecahan masalah yang dihadapai
publik.
Putusan pengadilan merupakan hukum atau kebijakan publik bagi para pihak yang
berperkara, sehingga putusan pengadilan itu hanya mengikat dan harus dilaksanakan para
pihak yang berperkara. Dalam ilmu hukum, putusan pengadilan ini disebut yurisprudensi.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili.
Dalam membangun kebijakan publik melalui putusan hakim dapat dilihat dari beberapa
dimensi yang ada, salah satu dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses
kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu
kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling
menentukan dan saling membentuk. Munculnya kebijakan publik dengan proses politik,
disebut proses politik, dalam proses muncul putusan yang akan menjadi suatu keputusan
dapat memberikan keadilan, kepastian dan manfaat bagi para pencari keadilan tidak
terlepas proses politik majelis hakim, jika semua sepakat dengan mufakat maka muncul
keputusan dalam bentuk putusan, demikian pula ketika salah satu tidak sependapat hakim
yang tidak sependapat dapat mengajukan disenting opinion dalam persidangan dengan
ditunjukan adanya perbedaan atau persamaan oleh majelis hakim dalam mengambil suatu
keputusan dituangkan dalan putusan disertakan dengan alasan-alasan sehingga pada
akhirnya akan menjadi kebijakan publik (putusan). Proses ini setidaknya harus melalui
tahapan-tahapan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam hukum acara dan anaslisis riset
dan pertimbangan dari majelis tersebut sehingga menghasilkan suatu kebijakan publik
yang orientasinya adalah memberikan solusi kepada publik atau para pencari keadilan.
Suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap baru dapat
digolongkan sebagai sebuah yurisprudensi apabila memenuhi syarat:
1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas peraturan perundang-
undangannya;
2. Sudah berkekuatan hukum tetap;
3. Berulang kali dijadikan dasar hukum untuk memutus perkara yang sama;
4. Putusan hakim itu telah memenuhi rasa keadilan masyarakat;
5. Dan putusan itu telah dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Menurut Yahya Harahap suatu yurisprudensi tersebut jika benar-benar mengandung nilai-
nalai dasar cita-cita Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang dipadu dengan cita-cita
nilai globalisasi, dan kemudian perpaduan itu melahirkan rumusan hukum yang rasional,
praktis, dan aktual, sudah selayaknya hakim mengikutinya. Hal itu menurut Yahya Harahap,
sesuai dengan fungsi yurisprudensi, antara lain :
A. Yurisprudensi berfungsi menciptakan standar hukum,
B. Yurisprudensi berfungsi mewujudkan landasan hukum yang sama dan
keseragaman pandangan hukum yang sama.
C. Menegakkan kepastian hukum.

Dalam Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14/1970
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut
Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa
melawan putusan itu. Jenis jenis putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap yaitu; Kekuatan Mengikat. Kekuatan mengikat ini karena kedua pihak telah
bersepakat untukmenyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi antara mereka, maka dengan demikian kedua pihak harus tunduk terhadap
putusan yang dibuat oleh pengadilan atau hakim. Kekuatan Pembuktian.
BAB IV
Proses Hukum Berpendekatan Kebijakan Publik

Riant Nugroho, memberikan landasan penting dalam proses kebijakan publik. Bahwa dalam
kebijakan publik memiliki urutan dalam prosesnya, yaitu:
1. Kepercayaan akan kebaikan Bahwa setiap kebijakan publik adalah baik. Kebaikan dalam
kebijakan publik tertuang dalam orientasi dan filosofi yang dibangun dalam mewujudkan
kepentingan publik/masyarakat. Setiap kebijakan secara prinsip adalah baik dan untuk kebaikan
bersama. Maka ketika kebijakan itu diimplementasikan dan betul-betul dirasakah manfaat dan
tujuannya oleh masayarakat, kekuatan trust masyarakat terhadap pemerintah akan semakin
tinggi. Namun demikian, setiap kebijakan tentunya harus meyakikan masyarakat akan implikasi
dari kebijakan itu, sehingga dapat diterrima secara mayoritas dan tidak menimbulkan persoalan
baru.
2. Nilai-nilai dan norma-norma. Kebijakan juga mempunyai nilai dan norma yang terkandung di
dalamnya. Setalah diterimanya atas kebijakan publik oleh masyarakat, maka yang perlu kuatkan
adalah nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung di dalam kebijakan itu. Apalah sudah
sesuai dengan norma yang ada atau tidak. Atau nilai yang terkandung dalam sebuah kebijakan
melanggar kode etik atau nilai substansi dari kebijakan itu sendiri. Unsur nilai dan norma adalah
urutan yang tidak boleh diabaikan bagi pengambil kebijakan, karena nilai dan norma itulah yang
mengantarkan kebijakan itu pada keberhasilannya.
3. Institusional politik. Lembaga pemerintahan merupakan lembaga publik yang dibangun
berdasarkan asas demokrasi. Proses kepemimpinan dalam lembaga negara dianut berdasarkan
sistem politik. Jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan adalah berdasarkan pilihan
politik. Presiden, Gubernur, dan Wali Kota/ Bupati adalah jabatan politik. Oleh karena itu,
kebijakan-kebijakannya berdasarkan pertimbangan politik. Setelah melihat aspek nilai- nilai dan
norma-norma dalam suatau kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah masuk ke ruang
institusi politik. Diterima atau tidak kebijakan itu adalah mejadi kebijakan. Berbagai
pertimbangan dan kemungkinan- kemungkinan menjadi pilihan terbaik dalam proses politik di
dalamnya. Koalisasi berjalan seiring dan terintegrasi sesuai dengan kesepakatan bersama untuk
tujuan bersama yang membentuk sebuah kebiakan publik.
4. 4. Proses politik. Kebijakan sebagai produk dari proses politik. Kebijakan yang sudah masuk ke
institusionalisasi politik akan menghasilkan sebuah keputusan bersama. Loby-loby maupun
pendekatan-pendekatan dalam sebuah kebijakan adalah lumrah untuk menggoalkan sesuai
dengan visi, misi, dan tujuan dari kebijakan itu. Adalah yang terbaik produk yang dihasilkan
ketika palu di tok yang menandakan kebijakan itu berlaku untuk diimpelementasikan bersama.
5. kinerja kebijakan atau kegagalannya yang menghasilkan kepercayaan baru tentang kebaikan
memperkuat adanya kebijakan.

Keterlibatan stakeholder tersebut menjadi penentu dari keberhasilan kebijakan publik. Kebijakan
publik akan berjalan sebagaimana mestinya jika dilakukan secara bersama-sama oleh semua pihak.
Di samping itu, bahwa setiap individu mempunyai peran yang sama dalam kebijakan publik, sebagai
warga negara dan sebagai individu adalah ikut serta serta dalam pelaksanaan kebijakan publik yang
tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu,
kebijakan publik harus dipahami secara komprehensif, sehingga tidak “buta” terhadap kebijakan
yang ada di lingkungan sekitar sebagai pola pembangunan partisipasi menjadi warga negara yang
baik dan ikut serta dalam pengambilan kebijakan publik.
A.Memahami Aktor dan Proses Kebijakan Publik

Dalam membahas pemeran serta aktor-aktor dalam proses perimisan kebijakan, ada perbedaan
yang cukup penting yang perlu diperhatikan antara negara-negara berkembang dengan negara-
negara maju. Di negara-negara berkembang, struktur pembuatan kebijakan cenderung lebih
sederhana dibandingkan dengan negara-negara maju. Kecenderungan struktur pembuatan
keputusan di negaranegara maju adalah lebih komplek. Perbedaan ini disebabkan salah satunya
adalah oleh aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Aktor-aktor atau pemeran serta
dalam proses oembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni para pemertan
serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Adapun yang dimaksud ke dalam pemeran resmi
adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan
yang termasuk dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi, kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik, dan warga negara individu.

1. Pemeran Serta dan Aktor Resmi

(a). Badan-Badan Administrasi (Agen-Agen Pemerintah)

Sistem administrasi di seluruh dunia mempunyai perbedaan dalam hal karakteristik, seperti
ukuran dan kerumitan, organisasi, struktur hierarki, dan tingkat otonomi. Walaupun doktrin
mengatakan bahwa badan-badan adminisrasi dianggap sebagai badan pelaksana telah diakui secara
umum dalam ilmu politik, namun bahwa politik dan administrasi telah bercampur aduk menjadi
satu, juga telah menjadi aksioma yang diakui kebenarannya. Selain itu, saat ini badan-badan
administrasi sering terlibat dalam pengembangan kebijakan publik. Hal ini berkait dengan
pemahaman kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah tertentu.
Dengan pemahaman yang demikian, maka keterlibatan badan-badan administrasi sebagai agen
pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin terbuka. Badan-badan administrasi
dalam hal ini dapat membuat atau melanggar undang-undang atau kebijakan yang ditetapkan
sebelumnya.

(b). Presiden (Eksekutif)

Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran penting dalam perumusan kebijakan.
Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam komisikomisi presidensial,
maupun dalam rapat-rapat kabinet. Dalam beberapa kasus, presiden terlibat secara personal dalm
perumusan kebijakan, seperti misalnya keterlibatan presiden sebagai orang yang menaruh perhatian
yang besar dalam perumusan kebijakan. Selain keterlibatan secara langsung yang dilakukan oleh
presiden dalam merumuskan kebijakan publik, kadang kala presiden juga membentuk
kelompokkelompok atau komis-komisi penasehat.

(c). Lembaga Yudikatif

Lembaga ini memainkan peran yang besar dalam pembenukan kebijakan di AS. Namun, sejauh
mana badan ini mempunyai pengaruh di dalam pembentukan kebijakan di Indonesia tentunya
memerlukan telaah lebih lanjut, walaupun jika di dasarkan pada undang-undang dasar badan ini
mempunyai kekuasaan yang cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui pengujian
kembali suatu undang-undang atau peraturan. Di AS, pada tingkat nasional dan negara bagian,
badan yudikatif seringkali sangat mempengaruhi substansi undang-undang dalam kasus-kasus yang
diajukan kepadanya.
(d). Lembaga Legislatif

Di Amerika Serikat, lembaga ini dikenal sebagai Kongres. Sedangkan, di Indonesia lembga ini
dapat kita sebut sebagai kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga ini bersama-sama
dengan pihak eksekutif (presiden dan pembantu-pembantunya), memegang peran yang cukup
krusial di dalam perumusan kebijaksanaan.

2.Pemeran Serta dan Aktor Tidak Resmi (Para Aktor Non Negara)

Dakam era global lintas batas (borderless) peran aktor-aktor non negara atau para aktor
transnasional (transnational actors) semakin meningkat. Sekalipun mereka dikategorikan
pemeran tidak resmi, namun pengaruhnya sangat besar dan kuat dalam pengambilan keputusan
kebijakan publik. Hal ini disebabkan oleh power (kapital, skill, people, teknologi, akses pasar,
jaringan informasi dan perdagangan) yang mereka miliki. Bersama dengan partaiparta politik dan
warga negara individu mereka biasanya berpartisipasi di dalam proses pembentukan kebijakan.
Kelompok-kelompok ini dikatakan tidak resmi karena meskipun mereka terlibat aktif di dalam
perumusan kebijakan, akan tetapi mereka tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk
membuat keputusan yang mengikat.

3.Formulasi Kebijakan Publik dalam Konteks Pembentukan Hukum

Formulasi kebijakan adalah suatu kegiatan yang bertujuan merumuskan dan menetapkan
suatu kebijakan publik tertentu. Riant Nugroho, menyebutkan bahwa proses formulasi
merupakan titik awal yang penting dan berpengaruh bagi sebuah kebijakan publik. Maka, ia
mencatat, “… proses kebijakan publik adalah inti dari kebijakan publik karena disini dirumuskan
batas-batas kebijakan itu sendiri…52 Dalam formulasi kebijakan terdapat sebuah proses dimana
beragam informasi mengenai suatu kebijakan publik akan dipaparkan, serta bergam analisa akan
diungkapkan guna mendapat banyak alternatif kebijakan hingga dipilih satu alternatif yang
paling cocok dan tepat. Proses ini seharusnya mampu diakses oleh beragam lapisan masyarakat
agar masyarakat mampu mengetahui beragam informasi secara utuh demi melakukan kontrol
hingga proses implementasinya, karena tanpa informasi dan pengetahuan, masyarakat tidak
memiliki “alat” untuk melakukan kontrol secara efektif. Dalam konteks ini, masyarakat tidak lagi
dipandang dan dinilai sebagai objek, melainkan bergeser menjadi subjek dalam formulasi
kebijakan, yang mampu ikut mempengaruhi, berkontribusi secara langsung, mengumpulkan
informasi secara utuh, menganalisa berbagai alternatif yang ditawarkan, berinteraksi dengan
para pakar, hingga masyarakat memiliki pemahaman dan mampu mengontrol sebuah formulasi
kebijakan

B.Perumusan Kebijakan dan Analisis Kebijakan

Perumusan kebijakan berarti penetapan langkahlangkah yang akan atau seharusnya


ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan, misalnya GBHN atau RPJPN, sedangkan analisis
kebijakan adalah upaya evaluatif atau upaya penilaian bermuatan sorotan, kritik dan
sumbangan saran terhadap pelaksanaan sesuatu konsep kebijakan yang ditetapkan semula.,
misalnya evaluasi terhadap pelaksanaan Konsep Pembangunan Nasional dan Daerah.53 Adapun
kegiatan analisis kebijakan bersifat audit yang sering diiringi dengan tuntutan tanggungjawab
atas sukses tidaknya pelaksanaan suatu konsep kebijakan. Kategori pertanggungjawaban, dapat
saja bersifat politis ataupun yuridis. Resiko kegagalan bertanggungjawab politis, umumnya
resiko terhadap posisi jabatan. Sedangkan tanggungjawab yuridis, bisa berupa tangggungjawab
secara hukum, baik keperdataan, pidana atau juga secara administrasi negara.54 Wiliam N.
Dunn dalam bukunya "Pengantar Analisis Kebijakan Publik", seraya menunjuk tulisan Duncan
Mac Rae Jr, mengatakan bahwa analisis kebijakan melibatkan berbagai disiplin dan profesi yang
tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif.55 Sebagai disiplin ilmu terapan (applied
science), analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku, tetapi juga
administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam

C.Evaluasi Kebijakan Publik Evaluasi

kebijakan merupakan bentuk pengukuran terhadap kinerja atau program yang sudah
dilakukan. Segala aspek kebijakan penting untuk dilakukan reviewe atau evaluasi sebagai proses
perbaikan dan peningkatan serta sebagai upaya membangun kebijakan yang lebih baik. Setiap
kebijakan mempunyai kelemahan dan kekurang masingmasing dalam implementasinya, yang
sudah baik ditingkatkan sedangkan yang masih lemah dikuatkan dengan kebijakan pendorong.
Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas (2013) disampaikan dalam laporan evaluasi kebijakan reformasi birokrasi
bahwa untuk menciptakan evaluasi kebijakan yang efektif dan efisien, ada beberapa konsep
pokok yang harus dilakukan, yiatu keluaran kebijakan (policy ouputs), hasil kebijakan (policy
outcomes), dampak kebijakan (policy impacts).

Menurut Dunn, evaluasi kebijakan mempunyai karakter yang dapat dibedakan dengan
lainnya, yaitu:59

1. Fokus Nilai Evaluasi sebagai esensi dan nilai terhadap program kegiatan atau agenda
kebijakan. Bukan hanya sebagai usaha untuk mengumpulkan informasi terhadap
output dari kebijakan tersebut. Baik yang bisa diantsipasi dan tidak diantisipasi.
Evaluasi mempunyai tujuan memastikan bahwa kebijakan dapat berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, nilai menjadi target utama dalam evaluasi kebijakan
2. Interdependensi Fakta Nilai Kebijakan atau program dapat dikatakan baik atau buruk,
sesuai dengan target atau tidak, dapat dilihat dari fakta dalam pelaksanaan kebijakan
dan nilai yang terkandung dalam kebijakan tersebut. Kebijakan harus memberikan
dampak yang luas dalam pelaksanaannya, tidak hanya bagi individu, kelompok
ataupun masyarakat. Semua dapat menerima manfaat dari kebijakan yang dilakukan.
Secara langsung, setiap evaluasi kebijakan harus didukung oleh instrumen dan fasilitas
pendukungnya sebagai bukti, bahwa kebijakan telah dilaksanakan secara baik dan
benar.
3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau Evaluasi kebijakan mempunyai orientasi masa
kini dan masa lampau. Masa kini diperlukan sebagai target yang ingin dicapai.
Tentunya didukung oleh aspek formulasi yang komprehensif dan konkret yang
diimplementasikan dengan sumber daya manusia yang mendukung. Disertai oleh
kompetensi dan daya saing yang tinggi. Sementara masa lampau adalah sebagaibagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan saat ini untuk menjadi lebih baik. Menjadi
proses penyatuan tujuan yang diharapkan masa kini, diperlukan tujuan, serta
rekomendasi-rekomendasi yang dibutuhkan terhadap kebijakan yang akan datang.
4. Dualitas Nilai Setiap kebijakan mempunyai tujuan ganda. Selain untuk mencapai
tujuan yang diharapkan dalam program atau kebijakan, kebijakan juga sebagai role
model dalam pengambilan kebijakan yang akan datang. Nilai yang terkandung di
dalam kebijakan seyogyanya mengandung dua nilai yang saling mendukung. Hal ini
yang memungkinkan tercapainya antara sasaran dan tujuan dari kebijakan publik.
BAB V
Partisipasi Publik dalam Proses Hukum dan Kebijakan Publik
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
bentuk keterlibatan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana dalam studi
ilmu politik disebut dengan partisipasi politik. Menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson
sebagaimana dikutip Pataniari Siahaan memberikan pengertian partisipasi politik sebagai berikut:
Political participation as activity by private citizens designed to influence government decision-
making. Pada hakikatnya partisipasi masyarakat di bidang pembangunan hukum mengandung
makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses tersebut, mengusahakan penyusunan
program-program pembangunan hukum melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottomup), dengan
pendekatan memperlakukan manusia sebagai subjek dan bukan objek pembangunan. Penyusunan
suatu peraturan perundang-undangan dalam struktur sosial sangat tergantung dari kondisi
masyarakat. Dengan demikian, partisipasi masyarakat menjadi penting karena masyarakat sendiri
yang mengetahui bagaimana kondisi mereka. Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan menjadi penting karena, Pertama, menjaring pengetahuan, keahlian
atau pengalaman masyarakat sehingga peraturan perundangundangan benar-benar memenuhi
syarat peraturan perundang-undangan yang baik, Kedua, menjamin peraturan perundang-undangan
sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, Ketiga, menumbuhkan rasa memiliki, rasa
bertanggungjawab atas peraturan perundang-undangan tersebut.

Menurut Alexander Abe, partisipasi masyarakat secara langsung akan membawa 3 (tiga) dampak
penting yaitu, Pertama, terhindar dari peluang terjadinya manipulasi keterlibatan rakyat dan
memperjelas apa yang dikehendaki masyarakat, Kedua, memberi nilai tambah pada legitimasi
rumusan perencanaan, karena semakin banyak jmlah pihak yang terlibat semakin baik, Ketiga,
meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat.66 Selain itu, menurut Sad Dian
Utomo bahwa partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik mempunyai manfaat
sebagai berikut:

1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik;


2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat
dalam pembuatan kebijakan publik;
3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif;
4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterliban masyarakat dalam pembuatan kebijakan
publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam
sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.

Sejalan dengan hal-hal di atas, Mas Achmad Santosa mengatakan bahwa pengambilan keputusan
publik yang partisipatif bermanfaat agar keputusan tersebut benar-benar mencerminkan
kebutuhan, kepentingan serta keinginan masyarakat luas.68 Apabila pembentukan peraturan
perundang-undangan terbentuk akibat proses yang tidak partisipatif akan mengakibatkan 4
(empat) hal yakni: Pertama, peraturan tersebut tidak efektif dalam arti tidak mencapai tujuan yang
diharapkan dari pembentukan peraturan tersebut, Kedua, peraturan tersebut tidak implementatif,
dalam arti tidak dapat dijalankan atau gagal sejak dini, Ketiga, peraturan tersebut tidak responsif
yaitu sejak dirancang sampai diundangkan mendapat penolakan keras dari masyarakat dan
Keempat, peraturan yang bukannya memecahkan masalah sosial tetapi malah menimbulkan
kesulitan baru di masyarakat.
Untuk optimalisasi partisipasi masyarakat, Rival G. Ahmad, mengemukakan 8 (delapan) prinsip
yang harus digunakan, yaitu:
1. Adanya kewajiban publikasi yang efektif;
2. Adanya kewajiban informasi dan dokumentasi yang sistematis, bebas dan mudah diakses;
3. Adanya jaminan prosedur yang terbuka dan forum yang terbuka dan efektif bagi masyarakat
untuk terlibat dalam mengawasi proses sejak perencanaan;
4. Adanya prosedur yang menjamin publik bisa mengajukan rancangan peraturan perundang-
undangan;
5. Adanya pengaturan yang jelas mengenai dokumen dasar yang wajib tersedia dan bebas
diakses oleh publik, misalnya naskah akademik dan rancangan peraturan perundang-
undangan;
6. Disediakan jaminan banding bagi publik apabila proses pembentukan peraturan perundangan-
undangan tidak dilakukan secara partisipatif;
7. Adanya pengaturan jangka waktu yang memadai untuk semua proses penyusunan,
pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan dan diseminasi peraturan perundang-
undangan yang telah dilakukan; dan
8. Adanya pertanggungjawaban yang jelas dan memadai bagi pembentuk peraturan perundang-
undangan yang dengan sengaja menutup peluang masyarakat untuk berpartisipasi.

A. Urgensi Partisipasi Publik: Upaya Pencapaian Legitimitas Kebijakan Publik


Proses pembentukan undang-undang yang terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu pra-legislasi, tahap
legislasi dan tahap pasca legislasi, partisipasi masyarakat dalam tiap tahap tentu berbeda meskipun
ada yang sama. Artinya, bentuk partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan penyiapan
tentu berbeda dengan bentuk partisipasi masyarakat pada tahap pembahasan maupun tahap
setelah jadi peraturan perundangundangan.70 Pada tahap perencanaan dan penyiapan rancangan
peraturan perundang-undangan terdapat 4 (empat) bentuk partisipasi masyarakat yang dapat
dilakukan yaitu:
a. Partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian, hal ini dapat dilakukan oleh
masyarakat ketika melihat adanya suatu persoalan dalam tatanan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang perlu diteliti dan dikaji secara
mendalam dan memerlukan penyelesaian pengaturan dalam suatu peraturan
perundang-undangan;
b. Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar, partisipasi
ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian terhadap suatu objek
yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan;
c. Partisipasi masyarakat dalam bentuk pengajuan usul inisiatif. Pengajuan usul
inisiatif ini yaitu dengan mengajukan usulan inisiatif agar dibuat suatu
peraturan perundang-undangan;
d. Partisipasi Masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap suatu peraturan
perundang-undangan, ini merupakan wujud partisipasi masyarakat yang
terakhir dalam tahap perencanaan dan penyiapan rancangan peraturan
perundang-undangan, yaitu dengan memberikan usulan rancangan peraturan
perundangundangan dari masyarakat.
Pada tahap pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan ada 6 (enam) bentuk
partisipasi masyarakat dan ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 96 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Adapun keenam bentuk partisipasi tersebut adalah:
a. Partisipasi masyarakat dalam bentuk audiensi/rapat dengar pendapat umum, di
mana partisipasi dalam bentuk ini dapat dilakukan masyarakat baik atas
permintaan langsung dari DPR/DPRD maupun atas keinginan masyarakat sendiri;
b. Partisipasi masyarakat dalam bentuk rancangan peraturan perundang-undangan
alternatif, rancangan alternatif ini dapat diberikan ketika rancangan peraturan
perundangundangan yang tengah dibahas di lembaga legislatif belum atau bahkan
tidak aspiratif terhadap kepentingan masyarakat luas;
c. Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak, hal ini dapat
dilakukan dengan membuat opini terhadap suatu masalah yang tengah dibahas
dalam lembaga legislatif
d. Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media elektronik,
partisipasi ini dapat dilakukan dengan membuat dialog dengan menghadirkan
narasumber yang kompeten terhadap suatu masalah yang tengah dibahas dalam
lembaga legislatif;
e. Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa, di mana unjuk rasa dilakukan
dalam rangka mendukung, menolak maupun menekan materi yang tengah
dibahas dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan;
f. Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar. Partisipasi ini
dapat dilakukan masyarakat dalam rangka memperoleh kejelasan persoalan
terhadap materi yang tengah dibahas dalam lembaga legisatif, maka narasumber
yang dihadirkan tidak hanya dari kalangan para ahli, akademisi, pakar maupun
pengamat, tetapi juga mendatangkan juga politisi yang berkecimpung langsung
dalam pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undangan.

B. Konstitusionalitas dan Legalitas Partisipasi Publik


Proses partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan akan sangat
ditentukan oleh kualitas hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah sebagai
lembaga yang memiliki kekuasaan yang lebih superior harus dengan tulus membuka ruang dan
kesempatan bagi masyarakat untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan. Di lain pihak
masyarakat juga harus proaktif untuk mengakses informasi dan mengajukan pendapat-
pendapatnya atas sebuah kebijakan yang akan diambil pemerintah.73 Partisipasi masyarakat
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan dengan hak
untuk menyampaikan pendapat yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Mengeluarkan pendapat dapat juga dilaksanakan
dalam forum-forum legislasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Walaupun
demikian, tata cara mengeluarkan pendapat tentu harus dengan cara-cara yang yang
bertanggungjawab sebagaimana bunyi Pasal 28 UndangUndang Dasar Tahun 1945 yang
berbunyi bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Penjabaran Pasal 28 Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dalam undang-undang ini
disebutkan bahwa dalam menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan
tanggungjawab dan berkewajiban untuk:
i. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
ii. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
iii. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundangundangan
yangberlaku;
iv. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
v. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada dasarnya undang-undang menjamin hak masyarakat untuk menyampaikan saran dan
pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara, akan tetapi
hak tersebut akan sulit terwujud karena tidak ada kewajiban bagi pemerintah bahwa saran
dan pendapat tersebut akan memengaruhi keputusan yang diambilnya.74 Partisipasi
masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu
keharusan. Partisipasi masyarakat diatur secara tegas dalam Pasal 96 UndangUndang Nomor
12 Tahun 2011 sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Walaupun dalam tataran hukum positif di Indonesia pelibatan
masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bukan merupakan
kewajiban bagi lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Tidak ada konsekuensi
hukum bagi pembentuk peraturan perundang-undangan yang tidak melibatkan masyarakat
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini, tentu menuai kontroversi di
masyarakat yang berujung kepada pengajuan uji formil maupun uji materil terhadap
peraturan perundang-undangan itu sendiri.

Menurut Yuliandri, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang


berkelanjutan dan partisipatif, perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat ditempuh yaitu

(1) perlunya perencanaan pembentukan undang-undang melalui penyusunan naskah


akademis,

(2) adanya partisipasi masyarakat atau publik dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan dan

(3) perlu kesesuaian antara materi muatan dengan persyaratan pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dengan kata lain, bahwa partisipasi masyarakat merupakan salah satu
syarat mutlak menuju pembentukan peraturan perundangundangan yang berkelanjutan dan
partisipatif. Sehingga pengabaian terhadap partisipasi masyarakat harus dianggap
menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan mengalami cacat secara formil yang
dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung .

Anda mungkin juga menyukai