Disusun oleh:
Tengku zaki revinka (2274201230)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
PEKANBARU
2023
BAB I
Pemahaman Dasar Tentang Hukum dan Kebijakan Publik
Menurut Ealau dan Kenneth Prewitt yang dikutip Charles O. Jones, kebijakan adalah
sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik
oleh yang membuatnya maupun oleh mereka yang mentaatinya (a standing decision
characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who
make it and those who abide it).4 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan definisi
kebijakan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman ini bisa amat sederhana atau
kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau
terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya
yang seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu program, mengenai
aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana.5 Richard Rose, sebagai seorang pakar ilmu
politik menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dimengerti sebagai serangkaian kegiatan
yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang
bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri. Kebijakan menurutnya dipahami
sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan
sesuatu. Kemudian ada definisi lain yang disampaikan Carl Friedrich yang penting juga
didiskusikan. Menurutnya kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Berkenaan dengan definisi
kebijakan ini, Budi Winarno (2005) mengingatkan bahwa dalam mendefinisikan kebijakan
haruslah melihat apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang diusulkan mengenai
suatu persoalan. Alasannya adalah karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup
pula tahap implementasi dan evaluasi, sehingga definisi kebijakan yang hanya menekankan
pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.
Kebijakan publik mempunyai bentuk yang dapat dijadikan sebagai pegangan dan
ketentuan bagi seluruh stakeholder dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Bentuk kebijakan adalah pedoman dan panduan untuk dilaksanakan
sebagaimana mestinya, jika tidak, maka akan ada sanksi yang mengikutinya. Bentuk
kebijakan adalah dapat dijalankan sebagai hukum yang mengikat kepada seluruh warga
negaranya. Riant Nugroho (2011:77-82) membagi bentuk kebijakan menjadi 3 (tiga) bagian,
yaitu undang-undang, paternalistik (bersikap seperti bapak), dan perilaku pemimpin. Bentuk
pertama adalah undang-undang adalah bentuk akhir dari kebijakan publik yang dijadikan
sebagai pedoman dan hukum bagi seluruh lapisan masyaarkat. Ketentuan dalam undang-
undang mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya terdapat
sanksi bagi yang melanggar dari ketentuan yang sudah tertulis dalam peraturan perundang-
undangan. Sebagai bentuk dari kebijakan publik, undang-undang harus dijalankan dan
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Bentuk kedua adalah paternalistik. Paternalistik adalah berperilaku seperti ayah yang
dikaitkan dengan sikap pemimpin kepada pegawainya. Pemimpin berperilaku seperti bapak
dan pegawai berperilaku seperti anak. Itu adalah bentuk kebijkaan yang melekat dan terjadi
di semua level kebijakan. Pemimpin sebagaimana seorang ayah memperlakukan pegawai
seperti anak-anaknya. Pemimpin melakukan apa pun yang diinginkan untuk kepentingan
individu maupun kelompoknya. Pegawai atau bawahannya berperilaku seperti anaknya yang
tidak dapat menolak segala perintah dari atasannya.
Ketiga adalah perilaku pemimpin. Perilaku atau sikap pemimpin menjadi kebijakan publik.
Dalam ranah yang agak vulgar pun hal itu dapat terjadai, bahwa kebijakan publik adalah
sikap dari pemimpin itu sendiri. Korupsi menjadi salah satu contoh yang masih marak terjadi
dalam kaidah bentuk kebijakan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan, salah
satunya adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pemimpin
mengantarkannya pada kasus korupsi.
Hal ini menjadi marak terjadi dihampir semua level pemerintahan. menjadi patologi
birokrasi bagi pemerintah daerah sampai pemerintah pusat. Bahkan sudah merambah pada
level pemerintah desa, yang semula tidak pernah mengenal kourpsi. Lahirnya Undang-
Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa tidak mesti berjalan secara mulus dalam
implementasinya, terutama dalam hal keuangan desa. Kekhawatiran dari para pakar tentang
semakin tingginya korupsi di desa betul adanya, hal itu dipengaruhi oleh lemahnya sumber
daya manusia, sarana dan prasarana, serta akuntabilitas dan manajemen pemerintah desa
yang belum berjalan dengan baik, menjadikan pemerintahan desa rawan korupsi.
2.Jenis Kebijakan Publik.
Banyak pakar mengajukan jenis kebijakan publik berdasarkan sudut pandangnya masing-
masing. James Anderson6 ,menyampaikan kategori tentang kebijakan publik tersebut
sebagai berikut:
a. Kebijakan substansif versus kebijakan prosedural. Kebijakan substantif yakni
kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan
kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat
dijalankan.
c. Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum (public goods) dan barang privat
(privat goods). Kebijakan public goods adalah kebijakan yangbertujuan mengatur
pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan kebijakan privat goods adalah
kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.
Kedua kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjasama antara legislatif dengan
eksekutif. Model ini bukan menyiratkan ketidakmampuan legislatif, namun mencerminkan
tingkat kompleksitas permasalahan yang tidak memungkinkan legislatif bekerja sendiri. Di
Indonesia produk kebijakan publik yang dibuat oleh kerjasama kedua lembaga ini adalah
undang-undang di tingkat nasional dan peraturan daerah di tingkat nasional untuk hal-hal
tertentu yang bersifat sementara sampai UU-nya dibuat. Bahkan, di Indonesia yang
mengesahkan UU adalah Presiden. UU sendiri disahkan setelah ada persetujuan dari
legislatif dan eksekutif. Dalam hal setelah persetujuan setelah 30 hari eksekutif tidak
segera mengesahkan, maka sesuai dengan Pasal 20 ayat 5 UUD 1945, maka Rancangan UU
tersebut dianggap sah dengan sendirinya. Di sini tampak bahwa keluaran legislatif relatif
lebih tinggi daripada eksekutif.9 Ketiga, kebijakan publik yang dibuat oleh eksekutif saja. Di
dalam perkembangannya, peran eksekutif tidak cukup hanya melaksanakan kebijakan yang
dibuat legislatif, karena dengan semakin meningkatnya kompleksitas permasalahan
kehidupan bersama sehingga diperlukan kebijakan-kebijakan publik pelaksanaan yang
berfungsi sebagai turunan dari kebijakan publik di atasnya. Di Indonesia ragam kebijakan
publik yang ditangani eksekutif bertingkat sebagi berikut: (1) Peraturan Pemerintah, (2)
Keputusan Presiden (Keppres), (3) Keputusan Menteri (Kepmen) atau Lembaga Pemerintah
Non departemen, (4) dan seterusnya, misalanya Instruksi Menteri. Sedangkan di tingkat
daerah terdapat: (1) Keputusan Gubernur dan bertingkat keputusan Dinas-Dinas di
bawahnya, (2) Keputusan Bupati, (3) Keputusan walikota dan bertingkat keputusan dinas-
dinas di bawahnya. Pembagian jenis kebijakan publik kategori ketiga didasarkan pada
karakter dari kebijakan publik yan sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan publik
yang sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan publik tertulis formal.
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan
dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politik tersebut nampak dalam
serangkaian kegiatan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.
Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan monitoring
dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.
C. Validitas Hukum
Walaupun validitas dan keberlakuan adalah konsep yang berbeda, namun terdapat
hubungan yang penting antara keduanya. Suatu norma dikatakan valid hanya dalam hal
menjadi bagian dari suatu sistem norma yang secara keseluruhan berlaku. Maka
keberlakuan adalah suatu kondisi bagi validitas. Karena norma mengatur perilaku manusia,
dan perilaku manusia berada pada waktu dan ruang, maka norma adalah valid untuk waktu
tertentu dan di tempat tertentu.
Validitas suatu norma berawal dari suatu waktu dan berakhir pada waktu lain. Demikian
pula halnya bahwa norma valid untuk suatu wilayah sosial tertentu dan tidak untuk wilayah
sosial yang lain. Kita dapat menyebutnya sebagai wilayah validitas temporal dan wilayah
validitas spasial dari suatu norma. Untuk menentukan bagaimana seharusnya orang
bertindak, seseorang harus me- nentukan kapan dan di mana mereka bertindak.
Sedangkan bagaimana mereka seharusnya bertindak, dan tindakan apa yang harus
dilakukan dan tidak boleh dilakukan, adalah wilayah materiil dari validitas suatu norma.
Selain itu isi dari norma juga meliputi elemen personal siapa yang harus bertindak menurut
norma tersebut. Jadi terdapat empat wilayah validitas suatu norma, yaitu personal,
material, teritorial, dan spasial
D. Fungsi Hukum
Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara
orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pemancangan maka hukum menjabarkan
pekerjaannya dalam berbagai fungsinya. Dengan demikian, fungsi hukum adalah
menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-
masalah yang timbul.
Adapun fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman20, yaitu:
a. pengawasan atau pengendalian sosial (social control);
b. penyelesaian sengketa (dispute settlement);
c. rekayasa sosial (social engineering)
Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah perilaku, kiranya tidak memerlukan banyak
keterangan, mengingat bahwa hukum telah disifatkan sebagai kaidah, yaitu sebagai
pedoman perilaku, yang menyiratkan perilaku yang seyogianya atau diharapkan diwujudkan
oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan suatu kegiatan yang diatur oleh
hukum.
Hukum sebagai sarana pengendalian sosial, menurut A. Ross yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto adalah mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan
sosial. Ross menganut teori imperatif tentang fungsi hukum dengan banyak
menghubungkannya dengan hukum pidana.24 Selanjutnya Soleman B. Taneko, mengatakan:
”Secara esensial bahwa sistem mengandung peraturan perilaku yang benar, dan setiap
warga masyarakat membatasi beberapa perilaku sebagai penyimpangan, dan setiap
masyarakat mempunyai ide-ide tentang perilaku yang baik dan buruk. Semua masyarakat
akan mengambil langkah-langkah untuk mendorong ke arah perilaku yang baik, dan
memberikan sanksi negatif bagi perilaku yang buruk’’
BAB II
Kerangka Hukum Kebijakan Publik
A. Sumber Hukum Kebijakan Publik
Istilah sumber hukum mengandung banyak pengertian. Hal ini disebabkan
berkenaan dengan sudut pandang mana sumber hukum itu diartikan. Misalnya sumber
hukum dilihat dari sisi filsafat tidak sama dengan sumber hukum dari sisi sejarah atau
historis. Demikian pula pengertian sumber hukum dari sisi ekonomi tidak sama dengan
pengertian sumber hukum dari sisi sosiologis.
Menurut Paton,28 para ahli hukum menggunakan istilah sumber hukum dalam dua
arti yaitu sumber hukum tempat orang- orang untuk mengetahui hukum dan sumber
hukum bagi pembentuk undang-undang menggali bahanbahan dalam penyusunan
undang- undang. Sumber hukum dalam arti tempat orang-orang mengetahui hukum
adalah semua sumber-sumber hukum tertulis dan sumber-sumber hukum lainnya yang
dapat diketahui sebagai hukum pada saat, tempat dan berlaku bagi orang-orang
tertentu. Untuk mencari sumber hukum berupa undang-undang, putusan hakim di
pengadilan, akta, buku literatur hukum, jurnal. Sementara sumber hukum bagi
pembentuk undang-undang untuk menggali bahan-bahan dalam penyusunan
undangundang berkaitan dengan penyiapan rancangan undangundang.
Dalam sistem hukum baik Eropa Kontinental maupun sistem hukum Angloxason,
sumber hukum dibedakan atas dua yakni sumber hukum dalam arti materil dan sumber
hukum dalam arti formal. Khusus dalam sistem hukum Eropa Kontinental lebih fokus
pada sumber hukum dalam arti formal. Alasanya adalah sumber hukum formal berkaitan
dengan proses terjadinya hukum dan mengikat masyarakat. Selain itu sumber hukum
formal dibutuhkan untuk keperluan praktis yaitu aspek bekerjanya hukum.
Hukum diperlukan agar kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dapat
memperoleh bentuk resmi yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan berlakunya
untuk umum. Karena hukum yang baik diperlukan dalam rangka pembuatan kebijakan
(policy making) yang diperlukan merekayasa, mendinamisasi, mendorong, dan bahkan
mengarahkan guna mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, dalam
rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan
Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara
orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pemancangan maka hukum menjabarkan
pekerjaannya dalam berbagai fungsinya. Dengan demikian, fungsi hukum adalah
menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-
masalah yang timbul. Adapun fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:
Berdasarkan uraian fungsi hukum oleh para pakar hukum di atas, dapat disusun fungsi-
fungsi hukum sebagai berikut:
Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk
berperilaku;
Pengawasan atau pengendalian sosial (social control)
Penyelesaian sengketa (dispute settlement);
Rekayasa sosial (social engineering
Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah perilaku, kiranya tidak memerlukan
banyak keterangan, mengingat bahwa hukum telah disifatkan sebagai kaidah, yaitu sebagai
pedoman perilaku, yang menyiratkan perilaku yang seyogianya atau diharapkan
diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan suatu kegiatan yang
diatur oleh hukum.
Pengendalian sosial (social control) dari hukum, pada dasarnya dapat diartikan suatu
sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga masyarakat agar berperilaku
sesuai dengan hukum. Dengan kata lain, dari sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa
pengendalian sosial dapat bersifat preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu
usaha untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang, sedangkan represif bertujuan
untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.
Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement). Persengketaan
atau perselisihan dapat terjadi dalam masyarakat, antara keluarga yang dapat meretakkan
hubungan keluarga, antara mereka dalam suatu urusan bersama (company), yang dapat
membubarkan kerja sama. Sengketa dapat mengenai perkawinan atau waris, kontrak,
tentang batas tanah, dan sebagainya. Sengketa atau perselisihan itu perlu diselesaikan.
ada tiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dibedakan dengan
penggunaan istilah “peraturan”, “keputusan/ketetapan” dan “tetapan”, menurut Jimly
istilah-istilah tersebut sebaiknya hanya digunakan untuk
Menurut Yahya Harahap suatu yurisprudensi tersebut jika benar-benar mengandung nilai-
nalai dasar cita-cita Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang dipadu dengan cita-cita
nilai globalisasi, dan kemudian perpaduan itu melahirkan rumusan hukum yang rasional,
praktis, dan aktual, sudah selayaknya hakim mengikutinya. Hal itu menurut Yahya Harahap,
sesuai dengan fungsi yurisprudensi, antara lain :
A. Yurisprudensi berfungsi menciptakan standar hukum,
B. Yurisprudensi berfungsi mewujudkan landasan hukum yang sama dan
keseragaman pandangan hukum yang sama.
C. Menegakkan kepastian hukum.
Dalam Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14/1970
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut
Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa
melawan putusan itu. Jenis jenis putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap yaitu; Kekuatan Mengikat. Kekuatan mengikat ini karena kedua pihak telah
bersepakat untukmenyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi antara mereka, maka dengan demikian kedua pihak harus tunduk terhadap
putusan yang dibuat oleh pengadilan atau hakim. Kekuatan Pembuktian.
BAB IV
Proses Hukum Berpendekatan Kebijakan Publik
Riant Nugroho, memberikan landasan penting dalam proses kebijakan publik. Bahwa dalam
kebijakan publik memiliki urutan dalam prosesnya, yaitu:
1. Kepercayaan akan kebaikan Bahwa setiap kebijakan publik adalah baik. Kebaikan dalam
kebijakan publik tertuang dalam orientasi dan filosofi yang dibangun dalam mewujudkan
kepentingan publik/masyarakat. Setiap kebijakan secara prinsip adalah baik dan untuk kebaikan
bersama. Maka ketika kebijakan itu diimplementasikan dan betul-betul dirasakah manfaat dan
tujuannya oleh masayarakat, kekuatan trust masyarakat terhadap pemerintah akan semakin
tinggi. Namun demikian, setiap kebijakan tentunya harus meyakikan masyarakat akan implikasi
dari kebijakan itu, sehingga dapat diterrima secara mayoritas dan tidak menimbulkan persoalan
baru.
2. Nilai-nilai dan norma-norma. Kebijakan juga mempunyai nilai dan norma yang terkandung di
dalamnya. Setalah diterimanya atas kebijakan publik oleh masyarakat, maka yang perlu kuatkan
adalah nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung di dalam kebijakan itu. Apalah sudah
sesuai dengan norma yang ada atau tidak. Atau nilai yang terkandung dalam sebuah kebijakan
melanggar kode etik atau nilai substansi dari kebijakan itu sendiri. Unsur nilai dan norma adalah
urutan yang tidak boleh diabaikan bagi pengambil kebijakan, karena nilai dan norma itulah yang
mengantarkan kebijakan itu pada keberhasilannya.
3. Institusional politik. Lembaga pemerintahan merupakan lembaga publik yang dibangun
berdasarkan asas demokrasi. Proses kepemimpinan dalam lembaga negara dianut berdasarkan
sistem politik. Jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan adalah berdasarkan pilihan
politik. Presiden, Gubernur, dan Wali Kota/ Bupati adalah jabatan politik. Oleh karena itu,
kebijakan-kebijakannya berdasarkan pertimbangan politik. Setelah melihat aspek nilai- nilai dan
norma-norma dalam suatau kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah masuk ke ruang
institusi politik. Diterima atau tidak kebijakan itu adalah mejadi kebijakan. Berbagai
pertimbangan dan kemungkinan- kemungkinan menjadi pilihan terbaik dalam proses politik di
dalamnya. Koalisasi berjalan seiring dan terintegrasi sesuai dengan kesepakatan bersama untuk
tujuan bersama yang membentuk sebuah kebiakan publik.
4. 4. Proses politik. Kebijakan sebagai produk dari proses politik. Kebijakan yang sudah masuk ke
institusionalisasi politik akan menghasilkan sebuah keputusan bersama. Loby-loby maupun
pendekatan-pendekatan dalam sebuah kebijakan adalah lumrah untuk menggoalkan sesuai
dengan visi, misi, dan tujuan dari kebijakan itu. Adalah yang terbaik produk yang dihasilkan
ketika palu di tok yang menandakan kebijakan itu berlaku untuk diimpelementasikan bersama.
5. kinerja kebijakan atau kegagalannya yang menghasilkan kepercayaan baru tentang kebaikan
memperkuat adanya kebijakan.
Keterlibatan stakeholder tersebut menjadi penentu dari keberhasilan kebijakan publik. Kebijakan
publik akan berjalan sebagaimana mestinya jika dilakukan secara bersama-sama oleh semua pihak.
Di samping itu, bahwa setiap individu mempunyai peran yang sama dalam kebijakan publik, sebagai
warga negara dan sebagai individu adalah ikut serta serta dalam pelaksanaan kebijakan publik yang
tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu,
kebijakan publik harus dipahami secara komprehensif, sehingga tidak “buta” terhadap kebijakan
yang ada di lingkungan sekitar sebagai pola pembangunan partisipasi menjadi warga negara yang
baik dan ikut serta dalam pengambilan kebijakan publik.
A.Memahami Aktor dan Proses Kebijakan Publik
Dalam membahas pemeran serta aktor-aktor dalam proses perimisan kebijakan, ada perbedaan
yang cukup penting yang perlu diperhatikan antara negara-negara berkembang dengan negara-
negara maju. Di negara-negara berkembang, struktur pembuatan kebijakan cenderung lebih
sederhana dibandingkan dengan negara-negara maju. Kecenderungan struktur pembuatan
keputusan di negaranegara maju adalah lebih komplek. Perbedaan ini disebabkan salah satunya
adalah oleh aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Aktor-aktor atau pemeran serta
dalam proses oembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni para pemertan
serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Adapun yang dimaksud ke dalam pemeran resmi
adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan
yang termasuk dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi, kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik, dan warga negara individu.
Sistem administrasi di seluruh dunia mempunyai perbedaan dalam hal karakteristik, seperti
ukuran dan kerumitan, organisasi, struktur hierarki, dan tingkat otonomi. Walaupun doktrin
mengatakan bahwa badan-badan adminisrasi dianggap sebagai badan pelaksana telah diakui secara
umum dalam ilmu politik, namun bahwa politik dan administrasi telah bercampur aduk menjadi
satu, juga telah menjadi aksioma yang diakui kebenarannya. Selain itu, saat ini badan-badan
administrasi sering terlibat dalam pengembangan kebijakan publik. Hal ini berkait dengan
pemahaman kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah tertentu.
Dengan pemahaman yang demikian, maka keterlibatan badan-badan administrasi sebagai agen
pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin terbuka. Badan-badan administrasi
dalam hal ini dapat membuat atau melanggar undang-undang atau kebijakan yang ditetapkan
sebelumnya.
Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran penting dalam perumusan kebijakan.
Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam komisikomisi presidensial,
maupun dalam rapat-rapat kabinet. Dalam beberapa kasus, presiden terlibat secara personal dalm
perumusan kebijakan, seperti misalnya keterlibatan presiden sebagai orang yang menaruh perhatian
yang besar dalam perumusan kebijakan. Selain keterlibatan secara langsung yang dilakukan oleh
presiden dalam merumuskan kebijakan publik, kadang kala presiden juga membentuk
kelompokkelompok atau komis-komisi penasehat.
Lembaga ini memainkan peran yang besar dalam pembenukan kebijakan di AS. Namun, sejauh
mana badan ini mempunyai pengaruh di dalam pembentukan kebijakan di Indonesia tentunya
memerlukan telaah lebih lanjut, walaupun jika di dasarkan pada undang-undang dasar badan ini
mempunyai kekuasaan yang cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui pengujian
kembali suatu undang-undang atau peraturan. Di AS, pada tingkat nasional dan negara bagian,
badan yudikatif seringkali sangat mempengaruhi substansi undang-undang dalam kasus-kasus yang
diajukan kepadanya.
(d). Lembaga Legislatif
Di Amerika Serikat, lembaga ini dikenal sebagai Kongres. Sedangkan, di Indonesia lembga ini
dapat kita sebut sebagai kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga ini bersama-sama
dengan pihak eksekutif (presiden dan pembantu-pembantunya), memegang peran yang cukup
krusial di dalam perumusan kebijaksanaan.
2.Pemeran Serta dan Aktor Tidak Resmi (Para Aktor Non Negara)
Dakam era global lintas batas (borderless) peran aktor-aktor non negara atau para aktor
transnasional (transnational actors) semakin meningkat. Sekalipun mereka dikategorikan
pemeran tidak resmi, namun pengaruhnya sangat besar dan kuat dalam pengambilan keputusan
kebijakan publik. Hal ini disebabkan oleh power (kapital, skill, people, teknologi, akses pasar,
jaringan informasi dan perdagangan) yang mereka miliki. Bersama dengan partaiparta politik dan
warga negara individu mereka biasanya berpartisipasi di dalam proses pembentukan kebijakan.
Kelompok-kelompok ini dikatakan tidak resmi karena meskipun mereka terlibat aktif di dalam
perumusan kebijakan, akan tetapi mereka tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk
membuat keputusan yang mengikat.
Formulasi kebijakan adalah suatu kegiatan yang bertujuan merumuskan dan menetapkan
suatu kebijakan publik tertentu. Riant Nugroho, menyebutkan bahwa proses formulasi
merupakan titik awal yang penting dan berpengaruh bagi sebuah kebijakan publik. Maka, ia
mencatat, “… proses kebijakan publik adalah inti dari kebijakan publik karena disini dirumuskan
batas-batas kebijakan itu sendiri…52 Dalam formulasi kebijakan terdapat sebuah proses dimana
beragam informasi mengenai suatu kebijakan publik akan dipaparkan, serta bergam analisa akan
diungkapkan guna mendapat banyak alternatif kebijakan hingga dipilih satu alternatif yang
paling cocok dan tepat. Proses ini seharusnya mampu diakses oleh beragam lapisan masyarakat
agar masyarakat mampu mengetahui beragam informasi secara utuh demi melakukan kontrol
hingga proses implementasinya, karena tanpa informasi dan pengetahuan, masyarakat tidak
memiliki “alat” untuk melakukan kontrol secara efektif. Dalam konteks ini, masyarakat tidak lagi
dipandang dan dinilai sebagai objek, melainkan bergeser menjadi subjek dalam formulasi
kebijakan, yang mampu ikut mempengaruhi, berkontribusi secara langsung, mengumpulkan
informasi secara utuh, menganalisa berbagai alternatif yang ditawarkan, berinteraksi dengan
para pakar, hingga masyarakat memiliki pemahaman dan mampu mengontrol sebuah formulasi
kebijakan
kebijakan merupakan bentuk pengukuran terhadap kinerja atau program yang sudah
dilakukan. Segala aspek kebijakan penting untuk dilakukan reviewe atau evaluasi sebagai proses
perbaikan dan peningkatan serta sebagai upaya membangun kebijakan yang lebih baik. Setiap
kebijakan mempunyai kelemahan dan kekurang masingmasing dalam implementasinya, yang
sudah baik ditingkatkan sedangkan yang masih lemah dikuatkan dengan kebijakan pendorong.
Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas (2013) disampaikan dalam laporan evaluasi kebijakan reformasi birokrasi
bahwa untuk menciptakan evaluasi kebijakan yang efektif dan efisien, ada beberapa konsep
pokok yang harus dilakukan, yiatu keluaran kebijakan (policy ouputs), hasil kebijakan (policy
outcomes), dampak kebijakan (policy impacts).
Menurut Dunn, evaluasi kebijakan mempunyai karakter yang dapat dibedakan dengan
lainnya, yaitu:59
1. Fokus Nilai Evaluasi sebagai esensi dan nilai terhadap program kegiatan atau agenda
kebijakan. Bukan hanya sebagai usaha untuk mengumpulkan informasi terhadap
output dari kebijakan tersebut. Baik yang bisa diantsipasi dan tidak diantisipasi.
Evaluasi mempunyai tujuan memastikan bahwa kebijakan dapat berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, nilai menjadi target utama dalam evaluasi kebijakan
2. Interdependensi Fakta Nilai Kebijakan atau program dapat dikatakan baik atau buruk,
sesuai dengan target atau tidak, dapat dilihat dari fakta dalam pelaksanaan kebijakan
dan nilai yang terkandung dalam kebijakan tersebut. Kebijakan harus memberikan
dampak yang luas dalam pelaksanaannya, tidak hanya bagi individu, kelompok
ataupun masyarakat. Semua dapat menerima manfaat dari kebijakan yang dilakukan.
Secara langsung, setiap evaluasi kebijakan harus didukung oleh instrumen dan fasilitas
pendukungnya sebagai bukti, bahwa kebijakan telah dilaksanakan secara baik dan
benar.
3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau Evaluasi kebijakan mempunyai orientasi masa
kini dan masa lampau. Masa kini diperlukan sebagai target yang ingin dicapai.
Tentunya didukung oleh aspek formulasi yang komprehensif dan konkret yang
diimplementasikan dengan sumber daya manusia yang mendukung. Disertai oleh
kompetensi dan daya saing yang tinggi. Sementara masa lampau adalah sebagaibagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan saat ini untuk menjadi lebih baik. Menjadi
proses penyatuan tujuan yang diharapkan masa kini, diperlukan tujuan, serta
rekomendasi-rekomendasi yang dibutuhkan terhadap kebijakan yang akan datang.
4. Dualitas Nilai Setiap kebijakan mempunyai tujuan ganda. Selain untuk mencapai
tujuan yang diharapkan dalam program atau kebijakan, kebijakan juga sebagai role
model dalam pengambilan kebijakan yang akan datang. Nilai yang terkandung di
dalam kebijakan seyogyanya mengandung dua nilai yang saling mendukung. Hal ini
yang memungkinkan tercapainya antara sasaran dan tujuan dari kebijakan publik.
BAB V
Partisipasi Publik dalam Proses Hukum dan Kebijakan Publik
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
bentuk keterlibatan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana dalam studi
ilmu politik disebut dengan partisipasi politik. Menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson
sebagaimana dikutip Pataniari Siahaan memberikan pengertian partisipasi politik sebagai berikut:
Political participation as activity by private citizens designed to influence government decision-
making. Pada hakikatnya partisipasi masyarakat di bidang pembangunan hukum mengandung
makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses tersebut, mengusahakan penyusunan
program-program pembangunan hukum melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottomup), dengan
pendekatan memperlakukan manusia sebagai subjek dan bukan objek pembangunan. Penyusunan
suatu peraturan perundang-undangan dalam struktur sosial sangat tergantung dari kondisi
masyarakat. Dengan demikian, partisipasi masyarakat menjadi penting karena masyarakat sendiri
yang mengetahui bagaimana kondisi mereka. Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan menjadi penting karena, Pertama, menjaring pengetahuan, keahlian
atau pengalaman masyarakat sehingga peraturan perundangundangan benar-benar memenuhi
syarat peraturan perundang-undangan yang baik, Kedua, menjamin peraturan perundang-undangan
sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, Ketiga, menumbuhkan rasa memiliki, rasa
bertanggungjawab atas peraturan perundang-undangan tersebut.
Menurut Alexander Abe, partisipasi masyarakat secara langsung akan membawa 3 (tiga) dampak
penting yaitu, Pertama, terhindar dari peluang terjadinya manipulasi keterlibatan rakyat dan
memperjelas apa yang dikehendaki masyarakat, Kedua, memberi nilai tambah pada legitimasi
rumusan perencanaan, karena semakin banyak jmlah pihak yang terlibat semakin baik, Ketiga,
meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat.66 Selain itu, menurut Sad Dian
Utomo bahwa partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik mempunyai manfaat
sebagai berikut:
Sejalan dengan hal-hal di atas, Mas Achmad Santosa mengatakan bahwa pengambilan keputusan
publik yang partisipatif bermanfaat agar keputusan tersebut benar-benar mencerminkan
kebutuhan, kepentingan serta keinginan masyarakat luas.68 Apabila pembentukan peraturan
perundang-undangan terbentuk akibat proses yang tidak partisipatif akan mengakibatkan 4
(empat) hal yakni: Pertama, peraturan tersebut tidak efektif dalam arti tidak mencapai tujuan yang
diharapkan dari pembentukan peraturan tersebut, Kedua, peraturan tersebut tidak implementatif,
dalam arti tidak dapat dijalankan atau gagal sejak dini, Ketiga, peraturan tersebut tidak responsif
yaitu sejak dirancang sampai diundangkan mendapat penolakan keras dari masyarakat dan
Keempat, peraturan yang bukannya memecahkan masalah sosial tetapi malah menimbulkan
kesulitan baru di masyarakat.
Untuk optimalisasi partisipasi masyarakat, Rival G. Ahmad, mengemukakan 8 (delapan) prinsip
yang harus digunakan, yaitu:
1. Adanya kewajiban publikasi yang efektif;
2. Adanya kewajiban informasi dan dokumentasi yang sistematis, bebas dan mudah diakses;
3. Adanya jaminan prosedur yang terbuka dan forum yang terbuka dan efektif bagi masyarakat
untuk terlibat dalam mengawasi proses sejak perencanaan;
4. Adanya prosedur yang menjamin publik bisa mengajukan rancangan peraturan perundang-
undangan;
5. Adanya pengaturan yang jelas mengenai dokumen dasar yang wajib tersedia dan bebas
diakses oleh publik, misalnya naskah akademik dan rancangan peraturan perundang-
undangan;
6. Disediakan jaminan banding bagi publik apabila proses pembentukan peraturan perundangan-
undangan tidak dilakukan secara partisipatif;
7. Adanya pengaturan jangka waktu yang memadai untuk semua proses penyusunan,
pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan dan diseminasi peraturan perundang-
undangan yang telah dilakukan; dan
8. Adanya pertanggungjawaban yang jelas dan memadai bagi pembentuk peraturan perundang-
undangan yang dengan sengaja menutup peluang masyarakat untuk berpartisipasi.
(2) adanya partisipasi masyarakat atau publik dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan dan
(3) perlu kesesuaian antara materi muatan dengan persyaratan pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dengan kata lain, bahwa partisipasi masyarakat merupakan salah satu
syarat mutlak menuju pembentukan peraturan perundangundangan yang berkelanjutan dan
partisipatif. Sehingga pengabaian terhadap partisipasi masyarakat harus dianggap
menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan mengalami cacat secara formil yang
dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung .