Anda di halaman 1dari 5

NAMA : SRI USWATUN HASANAH

NIM : 2121609044
PRODI : HUKUM TATA NEGARA (2)
SEMESTER :4
MATA KULIAH : HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK
DOSEN : MAR’ATUL MOCHTAR,M.Si

1. Di Indonesia istilah public policy masih belum mendapatkan terjemahan yang pasti. Bisa
berarti istilah kebijaksanaan umum, kebijaksanaan pemerintah, kebijakasanaan negara
atau kebijakan publik.

Kebijakan publik merupakan kewenangan pemerintah menjalankan tugas dan


fungsinya dalam hubungannya dengan masyarakat. Pada dasarnya kebijakan pemerintah
dalam menata kehidupan masyarakat di berbagai aspek merupakan kebijakan yang
berorientasi pada kepentingan publik (masyarakat).
Pengertian kebijakan (policy) adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan pengambilan keputusan. Dalam setiap penyusunan kebijakan publik
diawali oleh perumusan masalah yang telah diidentifikasi kemudian pelaksanaan
kebijakan tersebut ditujukan untuk mengatasi masalah yang terjadi dalam masyarakat.
• James Anderson (1979) mengatakan secara umum istilah “kebijakan” atau “policy”
dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu
kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu.
• Robert Eyestone (1971) mengatakan bahwa secara luas kebijakan publik dapat
didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”. Konsep
ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud
kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.
• Thomas R. Dye (1975) mengatakan bahwa “Kebijakan publik adalah apapun yang dipilih
oleh pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (public policy is
whatever government choose to do or not to do).
• Carl Friedrich mengatakan bahwa “Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang
memberikan hambatan- hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang
diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan,
atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu”
• Charles Lindblom (1968) menuturkan bahwa pembuatan kebijakan publik (public policy-
making) pada hakekatnya merupakan proses politik yang amat kompleks dan analitis
dimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya, dan batas-batas dari proses itu
sesungguhnya yang tidak pasti. Serangkaian kekuatan-kekuatan yang agak kompleks
itulah yang kita sebut sebagai pembuatan kebijakan publik yang kemudian membuahkan
hasil yang disebut Kebijakan.
(materi 1 - konsep dasar kebijakan publik)

2. 1. Sederhana dan jelas (clear).


2. Ketepatan identifikasi aspek penting problem kebijakan (precise).
3. Menolong untuk pengkomunikasian (communicable)
4. Usaha langsung untuk memahami kebijakan publik secara lebih baik (managable)
5. Memberikan penjelasan dan memprediksi konsekuensi
(materi 2 – bentuk dan model kebijakan publik)

3. Tipe pertama: substansial (substantive) dan procedural policies


kebijakan substantif pada dasarnya memberi tekanan pada subject matter dari apa yang
dibutuhkan oleh warga. Sebagai contoh, pemberian Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan
Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kepada warga
Indonesia pada era Presiden Joko Widodo adalah salah satu bentuk kebijakan substantif.
Sementara itu, kebijakan prosedural meliputi siapa yang akan melaksanakan atau
bagaimana hal tersebut akan dilaksanakan. Jadi, secara sederhana, yang membedakan
antara kebijakan substantif dengan prosedural adalah dengan melihat konten kebijakan itu
sendiri. Apabila isi kebijakan itu lebih mengarah pada upaya mengentaskan suatu
masalah yang sedang di alami oleh masyarakat, maka dapat dipastikan kebijakn tersebut
adalah kebijakan substantif, manakala konten kebijakan hanya menyampaikan siapa yang
harus mengerjakan atau melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan, maka ia termasuk
dalam kategori kebijakan prosedural.

Tipe kedua: liberal and conservative policies


kebijakan liberal menumpukan perhatian pada pelibatan pemerintah yang besar dalam
rangka melakukan perubahan yang mendasar yang dirasaka ]warga masyarakat.
Sebaliknya, kebijakan konserfatif lebih mengarah pada keputusan-keputusan yang
diambil oleh pemerintah guna mempertahankan kondisi yang sedang berlangsung pada
suatu masa. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebijakan liberal adalah
kebijakan-kebijakan yang mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan
mendasar untuk mengoreksi kelemahan yang ada dalam masyarakat. Dan, kebijakan
konservatif lebih mempertahankan aturan sosial yang mereka anggap sudah baik dan
mapan sehingga perubahan sosial dirasa tidak perlu (mempertahankan statu-quo). Namun
apabila dirasa perlu ada perubahan-perubahan tersebut, maka hal itu harus dilakukan
secara perlahan dan gradual serta mesti berjalan secara alamiah.

Tipe ketiga: kebijakan distributif, redistributif, regulatori, dan self-regulatory


Kebijakan distributif merupakan langkah pemerintah untuk menyebarkan (atau
mendistribusikan) pelayanan kepada individu, kelompok, dan komunitas tertentu, seperti
beras untuk rakyat miskin, kartu sehat, bantuan dana secara langsung dan lainnya.
Kebijakan redistributif adalah usaha hati-hati yang dilakukan oleh pemerintah untuk
memindahkan alokasi dana dari kekayaan, pendapatan, atau hak kelompok rakyat tertentu
kepada kelompok rakyat lainnya.
Kebijakan regulator adalah kebijakan tentang penggunaan pembatasan atau larangan atau
perbuatan atau tindakan bagi orang atau kelompok tertentu. Kebijakan ini pada dasarnya
bersifat mengurangi kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk memiliki atau
berbuat sesuatu. Contohnya, pembatasan penjualan obat-obat jenis tertentu, larangan
untuk menjual senjata api secara bebas, larangan untuk membuang limbah di tempat-
tempat umum, dan lainnya. Sementara itu, kebijakan self-regulatory adalah kebijakan
yang berupaya untuk mengawasi atau membatasi beberapa bahan atau produk tertentu.
Kebijakan self-regulatory biasanya dibuat untuk melindungi atau menawarkan
kepentingan terhadap kelompok tertentu. Sebuah contoh, pemberian sertifikat atau lisensi
profesional kepada kelompok profesi tertentu, Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk
produk tertentu, dan lainnya merupakan sedikit dari banyak kebijakan yang bernuansa
self-regulatory.

Tipe keempat: material and symbolic policies


kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan sumber-sumber material yang
nyata bagi mereka yang berhak menerimanya seperti subsidi rumah bagi buruh, traktor
bagi petanii, kapal tempel bagi nelayan, dan lainnya. Sedangkan, kebijakan simbolis,
lebih bersifat penghormatan terhadap nilai-nilai tertentu daripada pemberian dalam
bentuk nyata. Misalnya kebijakan pemerintah dalam menentukan hari libur nasional pada
tanggal tertentu, pemberian gelar kepahlawanan, pemberian izin untuk menentukan
bendera sendiri seperti yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam, dan banyak lagi.
Dalam konteks material and symbolic policies harus dipahami bahwa sebagian besar
kebijakan yang diformulasi oleh pemerintah tidak semuanya bersifat material. Malah
terkadang kebijakan material justru didahului oleh kebijakan simbolis. Misalnya,
kebijakan perumahan rakyat yang merupakan kebijaka material diformulasi oelh
pemerintah dengan tujuan menciptakan integrasi bangsa (kebijakan yang bersifat
simbolis). Oleh karena itu, kebijakan material atau simbolis harus dilihat sebagai satu
rangkain kesatuan.

Tipe kelima: kebijakan barang kolektif (collective goods) atau barang privat
(private goods)
Barang kolektif adalah kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan barang-barang dan
pelayanan-pelayanan bagi orang banyak, dan biasanya ‘barang tersebut tidak dapat
disediakan oleh lembaga privat karena cakupannya yang teramat luas, sebuah contoh
klasik dalam kebijakan ini adalah “Pertahanan dan Keamanan.” Tidak ada cara yang
lebih efektif untuk memebrika rasa aman dalam-banyak prespektif-bagi seluruh warga
selain mewujudkan lembaga pertahanan dan keamanan di dalam negara. Kebijakan
‘barang privat’ adalah kebijakan yang dapat dibagi kepada aktor tertentu di mana
penggunaanya dapat dikenai biaya. Misalnya seperti keterlibatan aktor tertentu dalam
membuat rumahsakit dalam rangka meemberikan layanan kesehatan pada
publik. Dalam hal pendidikan, non-state actor pun boleh terlibat dalam penyelenggaraan
pendidikan dengan cara mendirikan lembaga-lembaga pendidikan swastta dalam rangka
menyelenggarakan pendidikan.
(materi 5 – tipologi dan sifat kebijakan publik)

4. Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang sangat kompleks, karena
melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji dan diperhatikan. Dengan
demikian, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik
membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Beberapa
ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda-beda. Proses
pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks. Walaupun
demikian, para adsministrator sebuah organisasi institusi atau lembaga dituntut memiliki
tanggung jawab dan kemauan, serta kemampuan atau keahlian, sehingga dapat membuat
kebijakan dengan resiko yang diharapkan (intended risks) maupun yang tidak diharapkan
(unintended risks).
(materi 3 – faktor pengaruh kebijakan publik)
5. Siklus kebijakan publik :
a) Kebijakan Publik (Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi
orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh
pemegang otoritas publik (Setiawan, 2011).
b) Sebagai keputusan yang mengikat public, maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh
otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak,
umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.
c) Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di
jalankan oleh birokrasi pemerintah.
d) Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang
merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan
atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.
e) Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan
publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi, dan pada sisi lain
menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai
kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.
f) Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem
politik itu bisa berupa negara, provinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW.
g) “Institusi” seperti ASEAN, EU, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat
disebut supranegara.
h) Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat pula
dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya,
suatu sistem politik dapat memutuskan untuk mengelola sampah agar bernilai
ekonomis. Sistem politik itu dapat memerintah tentu saja disertai kompensasi sebuah
perusahaan swasta untuk melakukan pengolahan sampah.
i) Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana keterlibatan publik dalam
setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara
kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya.
j) Kebijakan publik menunjuk keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya
dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik).
Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif,
maka diperlukan sejumlah hal:
Pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga
dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan;
Kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya
Ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan
publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami
penyimpangan atau tidak.
k) Dalam masyarakat otoriter, kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata,
sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tapi dalam masyarakat demokratis, yang
kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun
suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik
untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah
penting, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk
menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi.
(materi 4 – sistem dan siklus kebijakan publik)

6. Perbedaan antara model elite dan pluralis ini hanya berkisar pada siapa yang kuasa, yang
punya otoritas, dan kewenangan. Sehingga, dengan adanya hipotesis seperti ini, ada
dugaan bahwa hal inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi apatis terhadap anggota
dewan, anggota yang ada di parlemen.
Maka tidaklah salah teori yang dikemukakan oleh Thomas R.Dye, bahwa Rakyat
cenderung berprilaku "apatis" terhadap pemerintah selaku aktor pembuat kebijakan.
Karena Rakyat tidak memperoleh informasi yang luas mengenai kebijakan-kebijakan
tersebut. Termasuk rancangan undang-undangnya, atau peraturan apa dan bagaimana
akan dibuat. Rakyat cenderung tidak mau tahu. Dan itu disebabkan oleh ketidakterbukaan
sistem informasi kebijakan yang akan disusun oleh pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai