Anda di halaman 1dari 22

CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan Publik

1&2
Revisi: 00/2019
Hal. 1 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

Chapter 1
KONSEP DASAR DAN LINGKUNGAN KEBIJAKAN PUBLIK

Capaian Pembelajaran

Setelah mengikuti matakuliah kebijakan publik, mahasiswa diharapkan mampu


menganalisis konsep dasar dan Lingkungan kebijakan publik

Makna Dan Karakteristik Kebijakan Publik


Kebijakan (policy) umumnya dipahami sebagai keputusan yang diambil untuk
menangani masalah-masalah tertentu. Namun, kebijakan bukanlah sekedar suatu
keputusan yang ditetapkan. Menurut Rose (dalam Hamdi, 2015:36) mengatakan bahwa
kebijakan publik (policy) lebih sebagai suatu rangkaian panjang dari kegiatan-kegiatan
yang berkaitan dan akibatnya bagi mereka yang berkepentingan, dari pada hanya sekedar
suatu keputusan. Pendapat lain dikemukakan oleh Friedrich (dalam Hamdi, 2015:36) yang
memandang kebijakan sebagai suatu tindakan yang disarankan mengenai perorangan,
kelompok dan pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang berisikan hambatan dan
kesempatan yang akan diatasi atau dimanfaatkan melalui kebijakan yang disarankan
dalam upaya mencapai suatu tujuan atau mewujudkan suatu maksud.
Kata “policy” umumnya digunakan untuk menunjukan pilihan terpenting yang
dibuat, baik dalam kehidupan organisasi maupun dalam kehidupan pribadi. “policy” adalah
bebas dari kebanyakan konotasi yang tak diinginkan yang berdekatan dengan kata politik,
yang seringkali diartikan “memihak” atau “korupsi” (Harol Laswell dalam Hamdi, 2015:36)
B.W Hogwood & L.A Gunn (dalam Hamdi, 2015:36) telah mengidentifikasi arti kata
publik mencakup pengertian label untuk suatu bidang aktivitas, ekspesi dari tujuan umum,
usulan spesifik, keputusan pemerintah, program, output, outcome, teori atau model dan
proses.
Literature mengenai kebijakan publik telah banyak menyajikan berbagai pengertian
dan definisi tentang kebijakan publik, baik dalam arti luas maupun arti sempit. Dye yang
dikutip dalam Young dan Quinn (dalam buku Suhartono, 2015:44) mengatakan bahwa
secara luas kebijakan publik yaitu “whatever government choose to do or not to do”

Hal. 2 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

sementara itu Anderson yang juga dikutip oleh Young dan Quinn menyampaikan definisi
kebijakan publik yang lebih spesifik yaitu sebagai “a purposive course of action followed
by an actor in dealing with a problem or matter of concern” kebijakan merupakan arah
tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah
aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Ada beberapa konsep kunci
yang termuat dalam kebijakan publik menurut Young dan Quinn (dalam buku Suhartono,
2015:44) yaitu:
 Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang dimuat
dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum,
politis dan finansial untuk melakukannya
 Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. kebijakan publik
berupaya merespon masalah atau kebutuhan konkrit yang berkembang dimasyarakat
 Seperangkat tindakan yang beorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya
bukanlah sebuah keputusan tunggal melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan
atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang
banyak
 Suatu keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik
pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial.
namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa
masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dank
arena itu tidak memerlukan tindakan
 Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan
publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau
rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang
belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa
dibuat oleh sebuah badan pemerintah, maupun oleh beberapa perwakilan lembaga
pemerintah.
Dari hasil berbagai pandangan tentang kebiakan publik dapat disimpulkan bahwa
kebijakan publik adalah pola tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah danterwujud
dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam mendukung penyelenggaraan
negara. Karakteristik utama kebijakan publik (hamdi, 2015:37) yaitu sebagai berikut:

Hal. 3 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

 Setiap kebijakan selalu memiliki tujuan, yakni untuk menyelesaikan masalah publik.
Setiap kebijakan akan selalu mengandung makna sebagai suatu upaya masyarakat
untuk mencari pemecahan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam konteks ini, kebijakan pulik juga dapat dipandang sebagai suatu upaya
untuk menyelesaikan masalah bersama warga negara yang tidak dapat mereka
tanggulangi secara peorangan
 Setiap kebijakan publik selalu merupakan pola tindakan yang terjabarkan dalam
program dan kegiatan. Oleh karena itu, suatu kebijakan secara konkrit dapat diamati
dalam wujud rencana, program dan kegiatan. Dalam konteks ini aspek khas dari
kebijkan publik adalah esensinya sebagai suatu upaya untuk menemukan jawaban
terhadap persoalan atau masalah yang sulit. Kenyataan ini akan memunculkan
berbagai implikasi. Pertama, tidak aka nada suatu jawaban yang dirumuskan yang
akan dapat memenuhi semua keinginan dari masyarakat atau warga negara. Dengan
kata lain tidak akan pernah ada suatu kebijakan publik yang akan menghasilkan suatu
kesepakatan menyeluruh warga negara mengenai manfaatnya sebagai suatu jabatan
terbaik penyelesaian masalah. Akibatnya setiap kebijakan publik akan selalu
menghasilkan oposisi atau paling tidak reaksi dan pada gilirannya akan mendorong
lahirnya kebijakan publik berikutnya. Kedua, solusi yang termuat dalam suatu
kebijakan jarang yang bersifat final dan lengkap. Oleh karena itu, perubahan
kebijakan merupakan kecenderungan yang akan sering terjadi, baik karena
substansinya yang tidak relevan lagi maupun karena terjadi pergesekan kekuasaan
dalam proses pemerintahan negara. Ketiga, kebijakan publik juga dapat mengalami
ketidakonsistenan pelaksanaan. Seringkali dalam implementasi kebijakan publik,
kegiatan yang senyatanya dilakukan oleh satu atau lebih organisasi pelaksana tidak
sepenuhnya sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan secara formal. Keempat,
kebijakan publik dalam bidang tertentu akan selalu berkaitan dengan kebijakan publik
dibidang yang lainnya. Dalam konteks indonesia misalnya, kebijakan otonomi daerah
diatur dalam undang-undang tentang pemerinatah daerah, dan kebijakan keuangan
negara termasuk keungan daerah diatur dalam undang-undang pemerintah daerah.
Senyatanya, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah memerlukan dukungan
sumberdaya keuangan yang pengaturannya termuat dalam kebijakan keuangan

Hal. 4 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

negara. Akibatnya pelaksanaan kebijakan otonomi daerah cenderung lancar apabila


diantara dua kebijakan tersebut terdapat substansi yang saling melengkapi
 Setiap kebijakan publik selalu termuat dalam hukum positif. Keberadaan suatu sistem
politik atau suatu pemerintahan akan selalu mencerminkan dua keistimewaan.
Pertama, pemerintahan merupakan badan yang memiliki kewenangan untuk
membuat aturan yang mengikat atau dipatuhi oleh semua warga negara. Kedua,
untuk menegakkan keberlakuan aturan yang telah dibuat, pemerintahan juga memiliki
kewenangan untuk memberikan sanksi kepada para pelangganya. Sanksi tersebut
dapat diwujudkan dengan berbagai bentuk, mulai dari pengenaan denda sampai
dengan hukuman kurungan. Dengan karakteristik tersebut maka kebijakan publik
untuk dapat dilakukan dan bermanfaat bagi semua warga negara harus termuat
dalam hukum positif. Dalam konteks ini sebagai mana dikatakan leh finer (dalam
Hamdi, 2015: 39) mengartikan hukum sebagai suatu standar perilaku yang dibuat
sebagai suatu komando untuk mengarahkan masyarakat dan pejabat. Hukum dapat
menegaskan kepatuhan tertentu atau juga dapat memberikan suatu manfaat

Substansi Kebijakan
Sebagai suatu hasi proses penyelenggaraan pemerintah, substansi kebijakan
public dapat dibedakan atas berbagai kelompok atau tipologi. Tipologi yang paling banyak
diikuti oleh para ahli kebijakan public adalah tipologi yangdibuat oleh Theodore J. Lowi.
Menurut Lowi (dalam Hamdi, 2015:54) kebijakan public dapat dibedakan atas tiga tipe.
 Kebijakan Distributif (Alokatif) adalah kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan
barang dan jasa bagi warga negara baik secara perorangan maupun dalam
masyarakat. kebijakan alokatif juga berupa kebijakan yang berkaitan dengan
penjatahan beban dan manfaat kepada masyarakat. ketika pemerintah menetapkasn
suatu aturan perpajakan dan aturan tariff pajak dan kemudian menarik pajak tersebut
maka telah melakukan tindakan penjatahan beban kepada masyarakat.
 Kebijakan redistributive adalah kebijakan yang berkaitan dengan pengaliran barang
dan sumberdaya dari satu kelompok warga negara kepada kelompok warga negara
yang lainnya. Kebijakan ini bermula dari suatu pandangan bahwa suatu pemerintahan
seharusnya melakukan perlakuan yang sama kepada warga negara, termasuk
pemberian kesempatan berusaha. Dalam praktik, sejalan dengan kapasitas dn

Hal. 5 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

keberuntungan masing-mang warga negara akan akan selalu terjadi adanya warga
negara yang mampu dan berhasi; dan warga negara yang tidak mampu dan kurang
beruntung. Ketika kondisi ini terjadi maka kewajiban pemerintah untuk menjamin nilai-
nilai keadilan selalu tercermin dalam kehidupan masyarakat. pencerminan dari
kebijakan redistributive adalah pelaksanaan program yang berfokus pada pemenuhan
kepentingan kelompok warga negara yang kurang beruntung, seperti program jaring
pengamanan sosial dan program tindakan alternative.
 Kebijakan pengaturan adalah kebijakan yang berkaitan dengan pengarahan atau
pembatasan perilaku warga negara dan masyarakat. dengan kebijakan ini suatu
pemerintahan pada dasarnya juga melakukan enkulturasi yang dikaitkan dengan
sistem secara makro maupun mikro. Secara makro, misalnya kebijakan tentang
kewajiban bela negara berkaitan dengan pembentukan perilaku warga negara dalam
hal membangun kebangsaan. Secara mikro antara lain kebijakan tentang merokok
ditempat umum berkaitan dengan pembentukan perilaku kolektif warga negara dalam
hal kesehatan lingkungan.

Berdasarkan substansinya, Anderson (dalam Hamdi, 2015:55) membedakan


kebijakan menjadi dua yaitu:
 Kebijakan substantif yaitu kebijakan yang menyangkut hal-hal yang sering dilakukan
pemerintah seperti pembuatan jalan atau larangan penjualan minuman keras.
Kebijakan ini secara langsung mendistribusikan manfaat atau ketidakmanfaatan,
keuntungan atau biaya kepada masyarakat secara keseluruhan, sekelompok
masyarakat dan perorangan.
 Kebijakan prosedural berkaitan dengan penentuan cara-cara sesuatu hal yang akan
dilakukan atau siapa yang akan melakukannya. Kebijakan prosedural mencakup hal-
hal yang bertalian dengan organisasi, seperti lembaga yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan suatu peraturan, dan merinci proses atau persyaratan dan tatacara
yang berkaitan dengan tindakan-tindakan untuk melaksanakan tanggung jawab
tersebu

Hal. 6 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

Lingkungan Kebijakan
Secara umum, lingkungan kebijakan dalam praktik pemerintahan di Indonesia
dikenal dengan sebutan “Asta-Gatra”. Kedelapan dimensi tersebut dibedakan dalam dua
kelompok, yakni yang bersifat fisik dan nonfisik. Kelompok fisik mencakup tiga unsur,
yakni letak geografis, kekayaan alam, dan jumlah penduduk, sedangkan kelompok
nonfisik dikenal dengan akronim „ipoleksosbudhankamnas’ yang mencakup lima aspek,
yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan nasional.
Menurut Anderson (dalam Hamdi, 2015:75) Lingkungan kebijakan publik, yang
umumnya paling banyak dibahas oleh para ahli adalah budaya politik, disamping kondisi
sosial ekonomi. Mengenai politik, di satu sisi dianggap sebagai bisnis kotor dalam mana
orang-orang ambisius salah menggunakan kepercayaan publik (public trust) untuk tujuan-
tujuan pribadi mereka. Pada sisi lain, politik dan politisi juga diyakini paling tidak secara
potensial mempunyai kemampuan untuk berkontribusi pada kehidupan yang baik. Makna
baik dari politik tersebut terlihat dari nilai-nilai politik yang dikembangkan, seperti keadilan,
hukum, dan kebebasan. Elssword dan Stahhnke (Hamdi, 2015:75)
Pemahaman mengenai budaya politik dapat dimulai dari pemahaman mengenai
budaya secara umum. Clyde Kluckhohn (dalam Anderson, 1994:47) menyatakan bahwa
budaya merupakan „cara hidup menyeluruh orang-orang, warisan sosial yang diperoleh
seseorang dari kelompoknya,‟ Dengan pemahaman tersebut, maka budaya politik
menunjukkan nilai, keyakinan, dan sikap yang diyakini secara luas tentang apa yang
seharusnya dilakukan pemerintah, bagaimana mereka seharusnya bertindak, dan
hubungan antara warga negara dan pemerintah‟. Berdasarkan pemahaman tersebut,
budaya politik paling tidak dapat dicermati dari nilai atau makna yang diberikan oleh warga
negara kepada pemerintah, dan nilaiatau makna yang dimiliki oleh masyarakat mengenai
partisipasinya dalam sistem politik.
Berdasarkan makna pemerintah menurut pandangan warga negara, Daniel J.
Elazar (dalam Anderson, 1994:47) membagi budaya politik dalam tiga kategori, yakni
individualistik, moralistik, dan tradisional. Budaya politik individualistik menekankan
keterlibatan privat dan memandang pemerintah sebagai sarana yang harus digunakan
untuk mencapai apa yang diinginkan orang-orang (people). Budaya politik moralistik
memandang pemerintah sebagai suatu mekanisme untuk memajukan kepentingan umum.
Dalam hal ini, pelayanan pemerintahan dianggap pelayanan publik. Sedangkan budaya

Hal. 7 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

politik tradisionalistik mencerminkan pandangan elitis tentang pemerintah, yang


menenkankan fungsi pemerintahan untuk memelihara ketertiban sosial yang ada.
Pada dimensi partisipasi warga negara dalam sistem politik, Gabriel A. Almond dan
Sidney Verba (dalam Anderson, 1994:49) mengenalkan tiga bentuk budaya politik, yakni
parokial, subjek, dan partisipan. Dengan budaya politik parokial, warga negara
mempunyai sedikit kesadaran tentang (atau orientasi pada), baik sistem politik sebagai
keseluruhan, proses input dan proses output, maupun warga negara sebagai partisipan
politik. Pada budaya politik subjek, warga negara diorientasikan pada sistem politik dan
proses output, tetapi mempunyai sedikit kesabaran mengenai proses input atau mengenai
proses individual sebagai partisipan, warga negara mempunyai tingkat kesadaran dan
informasi politik yang tinggi bersamaan dengan orientasi yang jelas mengenai sistem
politik secara keseluruhan, proses input dan output-nya, dan partisipasi warga negara
yang bermakna dalam politik.
Sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila dipahami memberikan
dasar bagi pengembangan nilai, keyakinan, dan sikap terhadap pemerintahan, dan
dengan demikian, juga terhadap kebijakan publik. Dari kelima silanya, pancasila setidak-
tidaknya telah menyediakan kriteria bagi kelayakan suatu kebijakan publik, yakni
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Demikian pula dalam
perumusan kebijakan publik, Pancasila menekankan pada prinsip permusyawaratan dan
perwakilan. Prinsip demokratis ini, kemudian terumuskan lebih jelas dalam Undang-
Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk
berserikat dan berkumpul, dan kedudukan yang sama bagi semua warga negara di muka
hokum dan pemerintahan.
Sistem nilai juga mempengaruhi perumusan kebijakan publik dalam hal
pendefinisian masalah yang akan dicarikan solusinya melalu pembuatan kebijakan publik.
Sebagaimana umumnya dipahami, dalam penyelenggaraan pemerintah, hampir semua
hal dapat dipahami, ditafsirkan, dan dirumuskan dalam banyak dimensi. Aborsi atau
pengguguran kandungan misalnya, dapat dilihat sebagai tindakan yang bertentangan
dengan ajaran agama atau norma-norma, atau dapat dilihat sebagai hak wanita untuk
mempertahankan hidupnya. Otonomi daerah, sebagai contoh lain, ada yang melihatnya
sebagai hak politik masyarakat daerah, harga diri dan kedaulatan daerah, metode
pengelolaan kekuasaan pemerintah, cara mewujudkan keadilan, dan sebagainya. Dalam

Hal. 8 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

hal ini, sebagai contoh, salah satu sila Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, telah memberikan batasan bahwa apa pun rumusannya, masalah kebijakan
harus terkait dengan perwujudan keadilan sosial.
Globalisasi umumnya dipahami sebagai proses meningkatnya saling
ketergantungan masyarakat dunia. Giddens (dalam Handi, 2015:77) menyatakan bahwa
globalisasi hubungan-hubungan sosial hendaknya dipahami terutama sebagai penataan
kembali waktu dan jarak dalam kehidupan kita. Dalam konteks globalisasi juga disadari
semakin berkembangnya rezim internasional. Dalam hal ini, rezim dimaknai sebagai
“seperangkat tatanan pengaturan/pemerintahan” atau “jaringan peraturan, norma dan
prosedur yang mengatur perilaku dan mengontrol akibatnya”). Sebagaimana yang
dnyatakan oleh Howlett & Ramesh dalam buikunya Hamdi ( 2015:77) menyatakn bahwa
Berkaitan dengan pembuatan kebijakan pemerintahan suatu negara, maka rezim
internasional di bidang perdagangan dan keuangan jelas paling penting dalam analisis
kebijakan public. Implikasi dari globalisasi bermula dari kecenderungan bahwa lingkungan
internasional membentuk kebanyakan konteks pembuatan kebijakan nasional. Pembuatan
kebijakan disetiap negara berbagai suatu konteks kebijakan yang dibentuk oleh siklus
ekonomi internasional mengenai kemakmuran, resesi, depresi, dan upaya perbaikan.
Media masa dan konferensi internasional memudahkan proses pemaduan kebijakan ini.
Pembuatan kebijakan di suatu negara berupaya mengikuti sukses dari negara
tetangganya Dalam suasana lingkungan dan perkembangan tersebut, semakin perlu
dipahami karakteristik politik global, yang berpotensi besar mewarnai peraturan dan
keadaan suatu negara, termasuk pemerintahan daerahnya. Karakteristik tersebut, sebagai
mana dinyatakan oleh A.G, McGrew & P.G. Lewis (dalam Hamdi, 2015: 78) terdiri atas:
kompleksitas dan keanekaragaman, pola interaksi yang intensif, keterembesan negara-
bangsa, perubahan yang cepat dan meningkat, kerapuhan tatanan dan pemerintahan.

Hal. 9 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

Tugas
Sebutkan bentuk kebijakan publik sesuai pemahan anda terhadap definisi kebijakan publik
yang telah disajikan dalam modul diatas

Evaluasi
Mahasiswa diharapkan dapat memahami materi dengan menjelaskan isi dari Modul
Pembelajaran pada Pertemuan 1

Referensi

Anderson, James. 1994. Public Policy Making: An Introduction. 7th Edition. Boston:
Wadsworth

Hamdi, Muchlis. 2015. Kebijakan Publik. Jakarta: Ghalia Indonesia

Suharto. 2015. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial. Bandung: Alvabeta

Hal. 10 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

Chapter 2
PENDEKATAN DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

Capaian Pembelajaran
Capaian pembelajaran dari mata kuliah ini adalah mahasiswa diharapkan dapat
menganalisis tentang pendekatan dalam kebijakan publik

Beberapa Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan Publik


Dalam studi mengenai kebijakan publik setidaknya ada beberapa pendekatan yang
dikemukakan oleh para ahli di mana secara komprehensif menjelaskan mengenai
pendekatan yang kemudian digunakan dalam merumuskan suatu kebijakan publik,
setidaknya dari berbagai sumber didapatkan ada 14 pendekatan yang digunakan dalam
analisis kebijakan publik. Adapun berbagai pendekatan tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut :

1. Pendekatan Kelompok
Beberapa kontributor utama dari pendekatan teoritik kelompok terhadap sistem politik
dan kebijakan publik bisa disebutkan antara lain adalah: Arthur Bentley (1908), The
Process of Government, David Truman (1951), The Government Process, Earl Latham
(1952), The Group Basis of Politics. Di kalangan para teoritisi kelompok terdapat pandang-
an yang sama tentang konsep kelompok. Menurut mereka, kelompok-kelompok adalah the
ultimate "real" of politics. Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pemben-
tukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antara kelompok-
kelompok dalam masyarakat. Suatu kelompok merupakan kumpulan individu-individu yang
diikat oleh tingkah laku atau kepentingan yang sama. Mereka mempertahankan dan
membela tujuan-tujuan dalam persaingannya dengan kelompok-kelompok lain. Bila sua-
tu kelompok gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui tindakan-tindakannya
sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan politik dan pembentukan kebijakan
publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknya. Berbeda dengan apa yang
dimaksud suatu kelompok potensial, adalah sekumpulan individu-individu dengan perilaku
yang sama, berinteraksi untuk membentuk suatu kelompok, jika kelompok-kelompok lain
mengancam kepentingan-kepentingan mereka.

Hal. 11 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

Dalam rangka memengaruhi kebijakan publik kelompok-kelompok kepentingan


barangkali akan menggunakan berbagai macam sumber untuk'memengaruhi pembuatan
kebijakan tersebut, seperti misalnya uang, prestise, informasi, perhatian media massa,
kepemimpinan dan keahlian-keahlian pengelolaan politik. Sementara itu, kelompok-
kelompok yang memiliki sumber-sumber keuangan yang cukup mungkin saja tidak
mempunyai sumber lain yang memadai, seperti misalnya: akses terhadap media. Dengan
demikian, kebijakan-kebijakan publik akan mengarah kepada kepentingan kelompok
besar yang berpengaruh baik secara ekonomis maupun non-ekonomis dan semakin jauh
dari kepentingan kelompok-kelompok kecil.

Pendekatan kelompok mempunyai anggapan dasar bahwa interaksi dan perjuangan


antara kelompok-kelompok merupakan kenyataan dari kehidupan politik. Dalam
pandangan kelompok, individu akan mempunyai arti penting hanya bila ia merupakan
partisan dalam wakil kelompok-kelompok tertentu. Dengan melalui kelompok-kelompoklah
individu-individu berusaha untuk mendapatkan pilihan-pilihan politik yang mereka
inginkan. Dalam memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing, kelompok-
kelompok ini dapat menggunakan strategi membentuk koalisi dengan kelompok-kelompok
lain dan tetap mengamati politik kebijakan bahwa koalisi-koalisi besar dapat digunakan
untuk menundukkan koalisi kecil. Kelompok-kelompok kepentingan dalam politik lebih
memusatkan pada lembaga legislatif, ketimbang cabang-cabang pemerintahan lain dan
birokrasi eksekutif menduduki tempat kedua sebagai pilihan-pilihan untuk mendapatkan
akses. Kelompok-kelompok mengetahui dengan baik bahwa anggota-anggota dari
lembaga legislatif dapat mencampuri kegiatan-kegiatan birokrasi untuk kepentingan
mereka. Hal ini bisa ditunjukkan misalnya, dalam demonstrasi-demonstrasi yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa, petani maupun buruh hampir selalu
ditujukan kepada lembaga legislatif. Sementara itu, hu¬bungan-hubungan antara
kelompok-kelompok dengan birokrasi cenderung semakin erat dan lebih baik, jika kedua
kekuatan itu mempunyai struktur-struktur fungsional yang paralel.

Namun demikian, seperti diungkapkan oleh Anderson, pendekatan ini mempunyai


kelemahan, yakni terlalu meremehkan peran be-bas dan kreatif yang dilakukan oleh para
pejabat pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan publik. Ini disebabkan oleh
perhatiannya yang terlalu berlebihan terhadap peran kelompok-kelompok dalam sistem

Hal. 12 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

politik. Oleh karena itu, menganalisis kebijakan publik hanya mendasarkan pada
pendekatan kelompok menjadi agak kurang memadai tanpa memerhatikan faktor-faktor
lain yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan publik.

2. Pendekatan Proses Fungsional


Harold Lasswell mengemukakan tujuh kategori analisis fungsional yang dapat
digunakan sebagai dasar bagi pembahasan teori fungsional:

a. Inteligensi: Bagaimana informasi tentang masalah-masalah kebijakan mendapat


perhatian para pembuat keputusan-keputusan kebijakan dikumpulkan dan diproses.
b. Rekomendasi: Bagaimana rekomendasi-rekomendasi atau alternatif-alternatif untuk
mengatasi suatu masalah tertentu dibuat dan dikembangkan.
c. Preskripsi: Bagaimana peraturan-peraturan umum dipergunakan atau diterapkan
dan oleh siapa?
d. Permohonan (invocation): Siapa yang menentukan apakah perilaku tertentu
bertentangan dengan peraturan-peraturan atau undang-undang dan menuntut
penggunaan peraturan-per¬aturan atau undang-undang?
e. Aplikasi: Bagaimana undang-undang atau peraturan-peraturan sebenarnya
diterapkan atau diberlakukan.
f. Penilaian: Bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan atau kegagalan itu
dinilai?
g. Terminasi: Bagaimana peraturan-peraturan atau undang-un-dang semula dihentikan
atau dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi?

Dalam tahap-tahap selanjutnya dari proses kebijakan, para pembuat kebijakan mungkin
berusaha menggunakan informasi baru untuk mengubah proses kebijakan semula.
Walaupun Lasswell mengatakan bahwa desain ini sebagai "proses keputusan (decision
process)", desain ini berada di luar pembuatan keputusan yang berangkat dari pilihan-
pilihan khusus dan sebenarnya mencakup "arah tindakan tentang suatu masalah".

Desain analisis ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, desain ini tidak terikat
pada lernbaga-lembaga atau peraturan-peraturan politik khusus. Kedua, desain analisis
ini memberi keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan. Untuk tujuan
tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi yang berbeda ini

Hal. 13 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

dilaksanakan, pengaruh apa dan oleh siapa dalam sistem politik atad unit-unit
pemerintahan yang berbeda dilakukan. Namun demikian, desain ini juga mempunyai
kelemahan. Penekanannya pada kategori-kategori fungsional mungkin akan
menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan dan pengaruh
variabel-variabel lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dalam bahasa
yang lebih ringkas, kita dapat mengatakan bahwa pembentukan kebijakan lebih dari
sekedar proses intelektual.

3. Pendekatan Kelembagaan (Institusionalisme)


Struktur-struktur dan lembaga-lembaga pemerintah telah lama merupakan fokus yang
penting dari ilmu politik. Kajian ilmu politik tradisional memfokuskan studi pada lembaga-
lembaga pemerintah. Dalam pandangan tradisional, kegiatan-kegiatan politik secara
umum berpusat di sekitar lembaga-lembaga pemerintah tertentu, seperti kongres,
kepresidenan, pengadilan, pemerintah daerah, partai politik dan sebagainya. Kegiatan
individu-individu dan kelompok-kelompok secara umum diarahkan kepada lembaga-
lembaga pemerintah dan kebijakan publik secara otoritatif ditentukan dan dilaksanakan
oleh lembaga-lembaga pemerintah.

Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah dilihat sebagai


hubungan yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik
sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintah.
Lembaga-lembaga pemerintah memberi dua karakteristik yang berbeda terhadap
kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepada kebijakan-kebijakan.
Kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum dipandang sebagai kewaiiban yang sah
yang menuntut loyalitas warga negara. Kedua, kebijakan-kebijakan pemerintah
membutuhkan universalitas. Hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menjangkau
dan dapat menghukum secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut.
Sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan oleh kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi
lain dalam masyarakat bersifat lebih terbatas dibandingkan dengan kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, keunggulan dari kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua
warganegaranya dan mempunyai ke-mampuan membuat kebijakan yang mengatur

Hal. 14 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong
individu-individu dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.

Sekalipun demikian, pendekatan ini juga mempunyai kelemahan sebagaimana


pendekatan-pendekatan yang lain. Kelemahan pendekatan tradisional yang paling
mencolok adalah bahwa pendekatan lembaga dalam ilmu politik tidak mencurahkan
perhatian yang banyak pada hubungan antar struktur lembaga-lembaga pemerintah dan
substansi kebijakan publik. Sebaliknya, studi-studi lembaga biasanya lebih berusaha
menjelaskan lembaga-lembaga pemerintah secara khusus, seperti misalnya struktur,
organisasi, kewajiban dan fungsi-fungsi tanpa secara otomatis menyelidiki dampak dari
karakteristik-karakteristik lembaga-lembaga tersebut pada hasil-hasil kebijakan. Aturan-
aturan konstitusi dan undang-undang dijelaskan secara terperinci sebagaimana kantor-
kantor dan badan-badan pemerintah yang banyak sekali jumlahnya, baik di pusat maupun
di daerah-daerah. Kebijakan-kebijakan publik seringkali dijelaskan, tetapi jarang dianalisis
dan hubungan antara struktur dan kebijakan publik secara luas tidak diselidiki.

4. Pendekatan Peran Serta Warga Negara


Penjelasan pembuatan kebijakan publik ini,didasarkan pada pemikiran demokrasi
klasik dari John Locke dan pemikiran John Stuart Mill, yang menekankan pengaruh yang
baik dari peran warganegara dalam perkembangan kebijakan publik. Dengan
keikutsertaan warga-negara dalam masalah-masalah masyarakat, maka para
warganegara akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan rasa
tanggung jawab sosial yang penuh, dan menjangkau perspektif mereka di luar batas-
batas kehidupan pribadi.

Teori peran serta warganegara didasarkan pada harapan-harapan yang tinggi tentang
kualitas warganegara dan keinginan mereka untuk terlibat dalam kehidupan publik.
Menurut teori ini, dibutuhkan warganegara yang memiliki struktur-struktur kepribadian
yang sesuai dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi demokrasi. Setiap warga negara harus
memiliki cukup kebebasan untuk berperan serta dalam masalah-ma¬salah politik,
mempunyai sikap kritis yang sehat dan harga diri yang cukup dan yang lebih penting
adalah perasaan mampu, dan di atas segala-galanya, para warganegara harus tertarik
dalam politik dan menjadi terlibat secara bermakna.

Hal. 15 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

Dengan adanya peningkatan program-program kesejahteraan publik serta ditopang


oleh tingkat pendidikan masyarakat yang semakin baik, banyak sekali warganegara yang
semakin terlibat dalam kegiatan politik dan sering berhubungan langsung dengan
birokrasi-birokrasi pemerintah. Selain itu, mereka biasanya juga memiliki pengetahuan
yang terinci tentang program-program dan prosedur-prosedur pemerintah sejalan dengan
usaha para warganegara. Beberapa penelitian berkenaan dengan peran serta
warganegara mengungkapkan bahwa para pembuat kebijakan lebih responsif terhadap
warganegara yang mempunyai peran serta daripada warganegara yang tidak mempunyai
peran serta. Di samping itu, mereka cenderung menerima tuntutan-tuntutan dan pilihan-
pilihan agenda yang diusulkan oleh kelompok warganegara yang berperan serta dalam
rangka memecahkan masalah.

5. Pendekatan Psikologis
Pokok perhatian pendekatan ini diberikan pada hubungan antar pribadi dan faktor-
faktor kejiwaan yang memengaruhi tingkah laku orang-orang yang terlibat dalam proses
pelaksanaan kebijakan. Individu-individu selama dalam proses pelaksanaan kebijakan
tidak kehilangan diri, tetapi sebaliknya mereka dianggap sebagai peserta yang sangat
penting yang memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan. Menurut Amir
Santoso pendekatan ini juga menjelaskan hubungan antarpribadi antara perumus dan
pelaksana kebijakan. Hubungan tersebut menjadi variabel yang menentukan keberhasilan
atau kegagalan suatu program. Dengan merujuk pendapat McLaughlin, Amir Santoso
menyatakan bahwa terdapat tiga jenis hubungan yang berbeda antara perumus kebijakan
dengan pelaksana kebijakan, yakni adaptasi bersama, kooptasi dan non-implementasi.

6. Pendekatan Proses
Dalam pendekatan ini, masalah¬masalah masyarakat pertama-tama diakui sebagai
suatu isu untuk dilakukan tindakan, dan kemudian kebijakan ditetapkan,
diimplementasikan oleh para pejabat agensi, dievaluasi, dan akhirnya diterminasi atau
diubah atas dasar keberhasilan atau kekurangannya. Tentu saja proses ini jauh lebih
kompleks, ketimbang gambaran yang lebih sederhana ini. Namun demikian, pada saat
kita bicara tentang siklus kebijakan, kita bicara suatu proses kebijakan melalui mana
kebanyakan kebijakan publik melintas. Sekalipun, realitas dari proses kebijakan adalah

Hal. 16 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

sangat kompleks, proses ini bisa dipahami secara lebih baik dengan membayangkannya
seolah-olah kebijakan itu melewati sejumlah tahap yang berbeda-beda.

7. Pendekatan Subtantif
Beberapa ilmuwan kebijakan berpendapat bahwa keahlian (ex-pertise) dalam bidang
substantif sangat dibutuhkan dan memberikan kepada seseorang kredibilitas yang sangat
besar, ketimbang seorang analis kebijakan "generic" yang merupakan seorang spesialis
kebijakan kesejahteraan bulanan dan spesialis kebijakan penanggulangan kejahatan
bulan berikutnya. Untuk memeroleh keahlian dalam suatu bidang substantif seringkali
membutuhkan seseorang menjadi akrab de-ngan aspek-aspek teknik dan politik dari
suatu bidang kebijakan. Misalnya, Charles O. Jones menulis sebuah buku klasik tentang
kebijakan kualitas udara dalam tahun 1970-an; dia harus mempunyai hubungan yang
sangat akrab dengan isu-isu teknik maupun isu-isu politik yang berkaitan dengan udara
bersih. Dengan melakukan hal demikian, dia mampu menghasilkan sebuah buku yang
sangat bagus yang mengom-binasikan keterampilan analisis kebijakan dengan keahlian
substantif.

Di lain sisi, beberapa ilmuwan kebijakan berpendapat bahwa pengetahuan substantif


secara relatif tidak diperlukan untuk menjadi seorang analis kebijakan yang bagus.
Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa seseorang hanya membutuhkan keterampilan
dalam proses dan metode kebijakan publik. Substansi secara relatif tidak penting.Namun
demikian, dalam pandangan Lester dan Stewart, substansi adalah penting, karena bisa
memberikan seseorang suatu wawasan tentang persoalan-persoalan yang ditanyakan
dalam melakukan suatu analisis kebijakan. Pengetahuan tentang substansi ini dibutuhkan
untuk memahami dan untuk menginterpretasikan penemuan-penemuan empirik dari
seorang peneliti.

8. Pendekatan Logical-Positivist
Pendekatan logical-positivist, seringkali disebut sebagai pendekatan perilaku
(behavioral approach) atau pendekatan keilmuan (scientific approach), menganjurkan
penggunaan teori-teori yang berasal dari penelitian deduktif (deductively derived theories),
model-model, pengujian hipotesis, data keras (hard data), metode komparasi, dan analisis
statistik yang ketat. "Keilmuan" (scientific) dalam konteks ini mempunyai makna beberapa
hal. Pertama, mempunyai makna mengklarifikasi konsep-konsep kunci yang digunakan

Hal. 17 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

dalam analisis kebijakan. Misalnya, konsep-konsep, seperti implementasi kebijakan harus


didefinisikan lebih hati-hati, ketimbang pada masa lalu. Sebelumnya, implementasi
didefinisikan sebagai dikotomi ya/ tidak, ketimbang sebagai suatu proses merancang
garis-garis pedoman, menyediakan dana, memonitor kinerja, dan memperbaiki undang-
undang. Kedua, mempunyai makna bekerja dari teori eksplisit tentang perilaku kebijakan,
dan menguji teori ini dengan hipotesis-hipotesis. Ketiga, mempunyai makna
menggunakan data keras, mengembangkan langkah-langkah yang baik terhadap
berbagai fenomena, dan secara ideal, menyelidiki bermacam-macam penjelasan melewati
waktu.

9. Pendekatan Ekonometrik
Pendekatan ekonometerik, kadangkala dinamakan pendekatan pilihan publik (the
public choice approach) atau pendekatan ekonomi politik, terutama didasarkan pada teori-
teori ekonomi politik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sifat alami manusia diasumsikan
"rasional," atau dimotivasi oleh pencapaian secara pribadi murni. Pendekatan ini
beranggapan bahwa orang mengejar preferensi-preferensi mereka yang berbobot tetap,
terlepas hasil-hasil kolektif.Secara esensial, pendekatan ini mengintegrasikan wawasan
umum tentang riset kebijakan publik dengan metode-metode keuangan publik. Misalnya,
diasumsikan bahwa preferensi-preferensi individu adalah sempit dan beragam, yang
membutuhkan individu mengagregasikan preferensi-preferensinya ke dalam masyarakat
luas yang bisa meminta tindakan pemerintah. Pendekatan ini telah memperoleh respek
dal am ilmu kebijakan, sekalipun dikritik sebagai pendekatan yang agak sempit terhadap
analisis kebijakan. Secara khusus, ada yang berpendapat bahwa pendekatan ini tidak
sama sekali salah, tetapi pendekatan ini dianggap tidak lengkap dalam asumsi-asumsinya
tentang sifat manusia dan kekuasaan politik. Secara khusus, manusia adalah altruistik
(tidak hanya rasional atau egois), dan dengan demikian, kadangkala dimotivasi untuk
melayani kepentingan publik atau kepentingan kolektif.

10. Pendekatan Fenomenologik (Postpositivist)


Pendekatan ini dinamakan pendekatan phenomologik, naturalistik, atau postpositivist.
Pada intinya, pendekatan ini berpendapat bahwa para analis perlu mengadopsi" suatu
respek bagi penggunaan intuisi yang sehat secara tertib, yang dirinya dilahirkan dari
pengalaman yang tidak bisa direduksi ke model, hipotesis, kuantifikasi, dan data keras,"

Hal. 18 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

Secara metodologik, para analis memperlakukan setiap potongan dari fenomena sosial
sebagai suatu peristiwa yang unik, dengan indeks etnografik dan indeks kualitatif menjadi
yang paling penting. Pandangan alternatif ini dideskripsikan oleh kepedulian-nya dengan
pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-hipotesis kerja, ketimbang dengan
pengujian hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan timbal balik antara peneliti dan
obyek studi, ketimbang observasi yang terpisah di pihak para analis. Untuk
mengumpulkan "bukti," pendekatan ini lebih memanfaatkan penggunaan studi-studi kasus
secara berkelanjutan, ketimbang menggunakan teknik-teknik analisis yang canggih.
Singkatnya, pendekatan ini lebih menekankan kepeduliannya pada keketatan keilmuan
dengan intuisi dan pem-benaman secara menyeluruh dalam informasi yang relevan.

11. Pendekatan Partisipatori


Pendekatan partisipatori ini dikaitkan dengan pandangan Peter DeLeon, yang
mempunyai kaitan erat dengan tantangan pospositivist, dan mencakup inklusi perhatian
yang besar dan nilai-nilai dari berbagai stakeholders dalam proses pembuatan keputusan
kebijakan. Pendekatan ini agaknya lebih dekat dengan apa yang disebut oleh Harold
Lasswell, policy sciences of democracy, di mana populasi yang diperluas dari para
warganegara yang dipengaruhi terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan
publik melalui serangkaian dialog yang tidak berkesinambungan. Pendekatan ini
mencakup dengar pendapat terbuka secara ekstensif dengan sejumlah besar
warganegara yang mempunyai kepedulian, di mana dengai pendapat ini disusun dalam
suatu cara untuk mempercepat para individu, kelompok-kelompok kepentingan, dan para
pejabat agensi memberikan kontribusi mereka kepada pembuatan desain dan redesain
kebijakan. Tujuan yang dinyatakan dari analisis kebijakan partisipatori adalah
mengumpulkan informasi sehingga para pembentuk kebijakan bisa membuat
rekomendasi dan keputusan yang lebih baik.

Di lain sisi, kritik-kritik terhadap pendekatan partisipatori seringkali mengatakan bahwa


keterlibatan warganegara yang meningkat akan menimbulkan peningkatan pula dalam
pertikaian kelompok atas program dan prosedur, dan hal ini akan menimbulkan
penundaan yang tidak ada gunanya dalam perumusan dan implementasi, sehingga biaya
pembuatan kebijakan dan implementasi akan meningkat pula secara dramatis, dan
kepentingan-kepentingan yang tidak senang akan mencoba merusak program-program

Hal. 19 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

melalui litigasi atau minta per-lindungan kepada parlemen. Lebih dari itu, di mana
eksperimen-eksperimen partisipatori telah dicoba sebelumnya, kebingungan dan konflik
akan segera meningkat. Pendekatan partisipatori mungkin bermanfaat sebagai arahan
kepada pembentukan agenda, perumusan kebijakan, dan implementasi kebijakan,
ketimbang tahap-tahap lain dalam proses kebijakan publik. Dalam beberapa hal,
pendekatan ini lebih merupakan preskripsi untuk desain atau redesain kebijakan atau,
ketimbang sebagai suatu pendekatan empirik untuk memahami pembentukan kebijakan
atau implementasi.

12. Pendekatan Normatif dan Perskriptif


Dalam pendekatan normatif atau preskriptif, analis perlu men-definisikan tugasnya
sebagai analis kebijakan sama seperti orang yang mendefinisikan "end state," dalam arti
bahwa preskripsi ini bisa diinginkan dan bisa dicapai. Para pendukung pendekatan ini
seringkali menyarankan suatu posisi kebijakan dan menggunakan retorika dalam suatu
cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain tentang manfaat dari posisi mereka.
Beberapa contoh dari tipe analisis kebijakan ini bisa dilihat dari hasil-hasil studi yang
dilakukan oleh Henry Kissinger, Jeane Kirkpatrick, atau para ilmuwan politik praktisi
lainnya. Pada intinya, mereka menggunakan argumen-argumen yang lihai dan
(kadangkala) secara selektif menggunakan data untuk mengajukan suatu posisi politik
dan untuk meyakinkan pihak lain bahwa posisi mereka dalam suatu pilihan kebijakan yang
layak. Kadangkala, tipe analisis ini mengarah kepada tuduhan bahwa para analis
kebijakan seringkali menyembunyikan ideologi mereka sebagai ilmu.

13. Pendekatan Ideologik


Thomas Sowell menamakan pendekatan ideologi ini "visi" (visions) dan
mengidentifikasi dua perspektif yang bersaing. Pertama, "visi yang dibatasi" (the
constrained vision) merupakan suatu gambaran manusia egosenttrik dengan keterbatasan
moral. Oleh karenanya, tantangan moral dan sosial yang fundamental adalah untuk
membuat yang terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam
keterpaksaan/keterbatasan ketimbang menghamburkan energi dalam suatu upaya yang
sia-sia untuk mengubah sifat manusia. Dengan logika ini, kemudian, orang seyogianya
mengandalkan pada insentif, ketimbang disposisi, untuk mendapatkan perilaku yang
pantas. Prospek dari ganjaran atau ketakutan terhadap hukuman memberikan insentif

Hal. 20 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

untuk memeroleh perilaku yang pantas. Secara fundamental, hal ini menghasilkan suatu
pandangan konservatif tentang sifat manusia dan akan mengarah kepada posisi kebijakan
yang lebih konservatif, jika orang beranggapan bahwa keterpaksaan utama berasal dari
dalam individu, ketimbang pembebanan yang berasal dari lingkungan di luar individu.

Kedua, "visi yang tidak dibatasi" (the unconstrained vision) memberikan suatu
pandangan tentang sifat manusia di mana pemahaman dan disposisi manusia adalah
mampu untuk memeroleh keuntungan-keuntungan sosial. Menurut perspektif ini, manusia
mampu merasakan secara langsung kebutuhan-kebutuhan orang lain lebih penting,
ketimbang kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan karenanya mampu bertindak secara
konsisten dan secara adil, bahkan pada saat kepentingan-kepentingan mereka atau
keluarga mereka terlibat. Kemudian, pandangan tentang sifat manusia ini, seringkali
dikaitkan dengan pandangan liberal bahwa sifat manusia adalah tidak mempunyai
keterbatasan. Agaknya, keterbatasan justru dikenakan oleh lingkungan di luar individu.

14. Pendekatan Historis/Sejarah


Banyak sarjana kebijakan publik makin meningkatkan perhatian mereka kepada
evolusi kebijakan publik melintasi waktu. Peneliti bisa melakukan penelitian tentang
kebijakan-kebijakan publik dari perspektif lima puhih tahun atau lebih. Dengan demikian,
peneliti bisa melihat pola-pola tertentu dalam bentuk kebijakan publik yang sebelumnya
yang tidak dikenali karena analisis menggunakan kerangka waktu yang pendek (misalnya,
analisis lintas sektional atau analisis terbatas pada kurun waktu satu dekade atau lebih).
Hanya dengan meneliti kebijakan-kebijakan publik dari titik pandang kurun waktu yang
panjang analis bisa memeroleh perspektif yang jauh lebih baik tentang pola¬pola yang
ada dalam pembuatan kebijakan publik, baik misalnya di negara-negara maju, seperti di
Amerika Serikat, maupun di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia.

Hal. 21 dari 22
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

1&2 KEBIJAKAN PUBLIK

TUGAS
1. Berikan contoh bentuk kebijakan publik yang anda ketahui.
2. Dari berbagai pendekatan kebijakan publik yang telah dijelaskan diatas, menurut anda
pendekatan mana yang paling cocok untuk merumuskan kebijakan publik yang anda
ambil sebagai contoh.

REFERENSI
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.
Nugroho, Riant. 2002. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. PT Elex
Media Komputindo. Jakarta.
Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Praktek. Pustaka Belajar.
Yogyakarta.
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus). CAPS. Jakarta.

Hal. 22 dari 22

Anda mungkin juga menyukai