Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Kebijakan

2.1.1 Definisi Kebijakan

Kata "bijaksana", yang berarti "selalu menggunakan gagasan pikiran",

adalah akar dari kata "bijaksana". Oleh karena itu, "kebijaksanaan" juga dapat

merujuk pada kecerdasan, keahlian, atau keterampilan. "kebijakan" adalah di

mana itu dimulai dalam bahasa Inggris. Kebijaksanaan berasal dari mengevaluasi

pilihan terbaik secara menyeluruh. Kebijaksanaan juga disebut sebagai konsensus

atau kesepakatan di antara pemilik ketentuan dengan maksud untuk dapat

menyelesaikan suatu masalah atau mencapai tujuan tertentu dengan angka tertentu

(Dachi, 2017).

Carl J. Federick mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian

tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam

suatu lingkungan tertentu di mana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-

kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan

kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga

menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan

tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena bagaimana

pun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa

yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah (Taufiqurokhman,

2014).

8
9

2.1.2 Definisi Kebijakan Publik

Penafsiran kebijakan publik yang kini juga menjadi salah satu penganut

ilmu pengetahuan sangat erat kaitannya dengan interpretasi kearifan. Segala hal

yang digarap atau tidak dikerjakan oleh penguasa disebut sebagai kearifan publik.

diperlukan untuk menentukan apakah suatu kebijakan bermanfaat atau tidak untuk

hidup bersama dan mengapa itu harus dicoba. Ini memastikan bahwa kebijakan

publik tidak merugikan siapa pun, bahkan jika beberapa orang mendapat untung

darinya dan yang lain tidak terbebani. Penguasa harus bertindak hati-hati pada

saat ini ketika membuat keputusan kebijakan publik yang berkaitan dengan

kesehatan.

Suatu tindakan yang bermakna yang dapat dilakukan oleh seorang aktor

atau aktor untuk mengatasi suatu masalah atau isu juga dikenal sebagai kebijakan

publik. Alih-alih berfokus pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan, interpretasi

ini lebih berfokus pada apa yang sebenarnya diupayakan. Kebijakan pemerintah

yang ditujukan untuk menangani isu-isu publik dan mempengaruhi publik dikenal

sebagai kebijakan publik. Kebijaksanaan dilihat sebagai pola atau arah tindakan

bukan hanya pilihan untuk melakukan sesuatu. Selain itu, desain ini adalah

kebijakan keputusan, menawarkan alternatif dari berbagai alternatif yang Lebih

lanjut, kebijakan publik adalah seperangkat instruksi dari mereka yang membuat

keputusan kebijakan eksekutif yang menguraikan tujuan dan cara untuk

mencapainya. Akibatnya, untuk mengatasi masalah tersebut, kebijakan publik

memainkan peran penting dalam memanfaatkan sumber energi yang tersedia.

Agar masyarakat jahiliyah dapat hidup dan berpartisipasi dalam rezim,


10

pembangunan, dan masyarakat, kearifan publik merupakan bentuk modal

berkelanjutan yang diberikan oleh penguasa (Dachi, 2017).

Riant Nugroho (2008) merumuskan definisi kebijakan publik secara

sederhana yakni “kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara,

khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang

bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada

masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada

masyarakat yang dicita – citakan” (Yunus & Aljurida, 2021).

Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai

bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan

sebagainya. Di samping itu dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat

nasional, regional maupun lokal seperti undang-undang, peraturan pemerintah,

peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah daerah/provinsi,

keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan keputusan

bupati/walikota. Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy)

itu ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya.

Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative

allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai-nilai

secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell dan Kaplan juga

mengartikan kebijakan publik sebagai projected program of goal, value,

andpractice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-

praktek yang terarah (Yunus & Aljurida, 2021).

Menurut Pressman dan Widavsky, kebijakan publik adalah asumsi dengan

prasyarat dan hasil yang dapat diprediksi. Kebijakan swasta, misalnya, harus
11

dibedakan dari kebijakan publik. Partisipasi faktor non-otoritatif berdampak pada

hal ini.

Robert Eyestone menawarkan definisi kebijakan publik. Ia menyatakan

bahwa ikatan antara partai yang berkuasa dan lingkungannya merupakan definisi

terpenting dari kearifan publik. Karena yang dimaksud dengan “kebijaksanaan

publik” dapat mencakup berbagai macam topik, desain yang Usulan Eyestone

memiliki interpretasi yang sangat luas dan ambigu. Thomas R. Dye memberikan

definisi yang berbeda tentang kebijakan publik, menyatakan bahwa

"kebijaksanaan publik adalah apa pun yang dipilih oleh otoritas untuk dicoba dan

tidak dicoba". sesuai, itu tidak secara akurat membandingkan apa yang sebenarnya

diupayakan oleh pihak berwenang. Di sisi lain, rencana ini mungkin mencakup

hal-hal seperti promosi terbaru untuk karyawan atau sertifikat yang diberikan.

Tindakan aktual terjadi di luar kebijakan publik (Satispi & Kurniasih, 2019). Ada

dua karakteristik dari kebijakan publik, yaitu:

1. Kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah untuk dipahami, karena

maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan

nasional;

2. Kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah diukur, karena

ukurannya jelas yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita sudah

ditempuh

James E. Anderson mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “a purposive

course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or

matter of concern” (Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang


12

diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna

memecahkan suatu masalah tertentu).

Dari definisi para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan

publik adalah: “Serangkaian keputusan kebijaksanan yang diambil seorang atau

sekelompok orang untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu di dalam

masyarakat” (Taufiqurokhman, 2014).

2.1.3 Definisi Kebijakan Kesehatan

Kesehatan adalah keadaan keseimbangan energi antara fisik, psikis, sosial

atau spiritual yang ditunjukkan dengan tidak adanya keluhan atau tidak ada tanda-

tanda penyakit atau keanehan, sehingga memungkinkan terjadinya kehidupan

yang produktif baik secara sosial maupun ekonomi.

Jika interpretasi kesehatan dikaitkan dengan interpretasi kebijakan, juga

dinyatakan terlebih dahulu, sehingga kebijakan kesehatan disebut sebagai

seperangkat rencana, prinsip, keputusan utama, dan keputusan yang dibuat oleh

seseorang atau sekelompok aktor politik yang menjadi prinsip dan di bawah

pelaksanaan kegiatan untuk mencapai kondisi keseimbangan energik. antara

kondisi fisik, psikis, sosial atau spiritual menunjukkan tidak ada keluhan atau

tidak ada tanda-tanda penyakit atau keanehan sehingga penghuni dapat hidup

produktif baik secara sosial maupun ekonomi.

Ada sejumlah faktor yang berperan dalam mencapai keadaan keseimbangan

energik antara dimensi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual sebagai ukuran

kesehatan. Menurut filosofi Blum (1981), ada empat (4) faktor yang berdampak

pada bidang kesehatan: wilayah, perilaku, pelayanan kesehatan, dan genetik.


13

Kebijakan publik yang berkaitan dengan bidang kesehatan dipahami

sebagai kebijakan kesehatan. Kebijakan kesehatan merupakan bagian dari badan

kesehatan dan kekuatan politik yang mempengaruhi kesehatan masyarakat di

tingkat regional, nasional dan internasional. Kebijakan kesehatan bertujuan untuk

merancang program di tingkat pusat dan daerah untuk mengubah determinan

kesehatan, termasuk kesehatan internasional. Kebijakan kesehatan berkaitan

dengan pengguna pelayanan kesehatan, termasuk pengelola dan tenaga kesehatan.

Kebijakan kesehatan dapat dipandang sebagai jaringan pengambilan keputusan

yang saling berhubungan, dalam praktiknya terkait dengan pelayanan kesehatan

masyarakat.

Kebijakan kesehatan adalah seperangkat tindakan pemerintah yang

diidentifikasi melalui jaringan pengambilan keputusan yang saling berhubungan

dan membentuk strategi/pendekatan untuk mempengaruhi determinan sektor

kesehatan terkait dengan isu-isu strategis untuk meningkatkan kualitas kesehatan

masyarakat. Oleh karena itu, pengertian kebijakan kesehatan pada hakikatnya

adalah suatu susunan tujuan rancangan, dasar bagi pemerintah untuk

mempertimbangkan pilihan-pilihan yang berkaitan dengan masalah kesehatan,

dan pilihan yang dibuat atau tidak dibuat oleh pemerintah di bidang kesehatan.

Oleh sebab itu, suatu kebijakan kesehatan semestinya memperhatikan

faktor-faktor tersebut sehingga derajat kesehatan yang optimal sebagai dampak

yang diharapkan dari kebijakan tersebut dapat dicapai secara optimal. Perlu

ditambahkan bahwa berbagai penelitian menunjukkan bahwa dari faktor-faktor

tersebut, faktor lingkungan merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya

disusul oleh faktor perilaku; sedangkan faktor pelayanan kesehatan dan genetika
14

menempati urutan berkutnya. Tujuan dari kebijakan kesehatan pada hakekatnya

adalah untuk menyediakan pola pencegahan (preventive), pelayanan yang terfokus

pada pemeliharaan kesehatan (promotif), pengobatan penyakit (curative),

pemulihan kesehatan (rehabilitative) dan perlindungan terhadap kaum rentan.

Oleh sebab itu kebijakan kesehatan yang baik harus berpihak pada kelompok-

kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai masalah kesehatan

dan bertujuan jangka panjang.

Kebijakan kesehatan suatu negara tidaklah terlepas dari sistim kesehatan

negara tersebut. Sistim Kesehatan Nasional (SKN) di Indonesia telah ditetapkan

melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan

Nasional (Dachi, 2017).

2.1.4 Implementasi Kebijakan

Definisi yang luas dari implementasi kebijakan adalah langkah selanjutnya

dalam proses kebijakan setelah undang-undang diputuskan. Dalam arti luas,

penerapan mengacu pada implementasi kebijakan oleh berbagai aktor, badan,

sistem, dan aktor yang bekerja sama untuk mencapai tujuan kebijakan atau

program. Implementasi, di sisi lain, adalah kejadian alami yang dapat dilihat

dalam salah satu dari dua cara — sebagai hasil atau keluaran. Implementasi,

misalnya, dianggap sebagai metode, atau sebagai serangkaian keputusan dan

tindakan yang diambil legislatif untuk melaksanakan keputusan.

Implementasi juga bisa diartikan dalam konteks keluaran, atau sejauh

mana tujuan-tujuan yang telah direncanakan mendapatkan dukungan, seperti

tingkat pengeluaran belanja bagi suatu program. Akhirnya, pada tingkat abstrasi
15

yang paling tinggi, dampak implementasi mempunyai makna bahwa telah ada

perubahan yang bisa diukur dalam masalah yang luas yang dikaitkan dengan

program,undang-undang publik, dan keputusan yudisial. Misalnya, apakah

kemiskinan telah bisa dikurangi atau warga negara merasakan lebih aman dalam

kehidupan sehari-harinya dibandingkan pada waktu sebelum penetapan program

kesejahteraan sosial atau kebijakan pemberantasan kejahatan. Singkatnya

implementasi sebagai suatu konsep semua kegiatan ini. Sekalipun dipahami

sebagai suatu proses, suatu keluaran, dan suatu dampak. Implemantasi juga

melibatkan sejumlah aktor. Organisasi, dan teknik-teknik pengendalian.

Menurut Ripley dan Franklin, proses pemberian wewenang program,

kebijakan, keuntungan (benefit), atau bentuk lain dari keluaran yang jelas

(tangible output) mengikuti berlakunya suatu undang-undang adalah suatu

aplikasi. Beberapa kegiatan yang menyelidiki makna pernyataan yang dibuat oleh

administrator yang berkuasa mengenai tujuan program dan hasil yang diinginkan

disebut sebagai "implementasi." implementasi mencakup (tetapi tidak termasuk)

tindakan yang dimaksudkan untuk membuat program bekerja, termasuk tindakan

oleh berbagai aktor kebijakan, khususnya petugas.

Lebih jauh menurut mereka, implementasi mencakup banyak macam

kegiatan. Pertama, badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang

dengan tanggung jawab menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber

yang dibutuhkan agar implemantasi berjalan lancar. Sumber-sumber ini meliputi

personil, peralatan, lahan tanah, bahan-bahan mentah, dan di atas semuanya-uang.

Kedua, badan-badan pelaksanaan mengembangkan bahasa anggaran dasar

menjadi arahan konkret, regulasi,serta rencana-rencana dan desain program.


16

Ketiga, badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan

mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi

beban kerja. Akhirnya, badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau

pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-kelompok target. Mereka juga

memberikan pelayanan atau pembayaran atau batasan-batasan tentang kegiatan

atau apapun lainnya yang bisa dipandang sebagai wujud dari keluaran yang nyata

dari suatu program.

Sementara itu, Grindle juga memberikan pandangannya tentang

implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implemantasi

adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan–tujuan

kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya “a policy delivery

system” di mana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan

sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkan. dengan demikian, kebijakan publik-

pernyataan-pernyataan secara luas tentang tujuan,sasaran, dan sarana

diterjemahkan ke dalam program-program tindakan yang dimaksudkan untuk

mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan. Dengan demikian,

berbagai program bisa dikembangkan untuk merespon tujuan-tujuan kebijakan

yang sama. Program-program tindakan itu bisa dipilah-pilah kedalam proyek-

proyek yang spesifik untuk dikelola (Kasmad, 2013).

Implementasi menurut Dunn (2003) adalah pelaksanaan pengendalian

aksi-aksi kebijakan dalam kurun waktu tertentu. Lester dan Stewart dalam

Winarto 2010 mengartikan implementasi secara luas sebagai pelaksanaan undang-

undang atau kebijakan yang melibatkan seluruh actor, organisasi, prosedur, serta
17

aspek Teknik untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program

(Ayuningtyas, 2014).

Menurut Anderson (1979) terdapat 4 aspek yang terdapat dalam

implementasi kebijakan yaitu :

a. Siapa yang akan mengimplementasikan kebijakan tersebut

b. Hakekat dan proses administrasi

c. Kepatuhan pada kebijakan

d. Dampak dari pelaksanaan kebijakan

Implementasi adalah tahap di mana tujuan dari rencana tercapai, dan

perhatian diberikan pada persiapan implementasi, yaitu pertimbangan dan

perhitungan yang cermat dari berbagai kemungkinan keberhasilan dan kegagalan,

termasuk hambatan atau peluang yang ada, dan kemampuan organisasi yang

dipercayakan untuk melaksanakan tugas program. Penegakan kebijakan mengacu

pada penerapan apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan atau pembuat

kebijakan, sehingga tidak terlalu berpengaruh. Dan pada kenyataannya dapat kita

lihat dengan mata kepala sendiri bahwa betapapun hebatnya suatu rencana atau

kegiatan, jika tidak dilaksanakan dengan benar, maka rencana atau kegiatan

tersebut akan sia-sia. Implementasi membutuhkan pelaku yang benar-benar jujur

dengan kompetensi yang sesuai, komitmen tingkat tinggi untuk menghasilkan

tujuan, dan perhatian yang tulus terhadap tanda-tanda peraturan pemerintah yang

berlaku (Syahrudin, 2018).


18

2.1.5 Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Guna melihat keberhasilan

implementasi, dikenal beberapa model implementasi George C. Edwards III

dalam Agustino (2006) mengajukan empat variabel atau faktor yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu: komunikasi, sumber

daya, disposisi dan struktur birokrasi. Variabel-variabel tersebut tidak saja selalu

berdiri sendiri-sendiri, namun dapat saja saling berkaitan satu sama lainnya

(Pramono, 2020). Adapun variabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Komunikasi

Untuk menjamin keberhasilan implementasi kebijakan, pelaksana harus

mengetahui betul apa yang harus dilakukannya berkaitan dengan pelaksanaan

kebijakan tersebut. Selain itu, kelompok sasaran kebijakan juga harus

diinformasikan mengenai apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan. Ini

penting untuk menghindari adanya resistensi dari kelompok sasaran.

2. Sumber Daya

Keberhasilan implementasi kebijakan selain ditentukan oleh kejelasan

informasi, juga ditentukan oleh sumber daya yang dimiliki oleh implementor.

Tanpa sumber daya yang memadai, tentu implementasi kebijakan tidak akan

berjalan secara optimal. Sumber daya sebagai pendukung implementasi kebijakan

dapat berwujud sumber daya manusia yakni kompetensi implementator, dan

sumber daya finansial.

3. Disposisi

Disposisi yang dimaksud di sini adalah menyangkut watak dan

karakteristik oleh implementator, seperti; komitmen, kejujuran, sifat demokrasi,


19

dan kemauan seperti memberikan dukungan positif. Disposisi yang dimiliki oleh

implementor menjadi salah satu variabel penting dalam implementasi kebijakan.

4. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan struktur organisasi yang bertugas untuk

mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

imlementasi kebijakan. Untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan

diperlukan sebuah prosedur oprasional yang standar (Standard Oprational

Procedures atau SOP). SOP diperlukan sebagai pedoman oprasional bagi setiap

implementor kebijakan.

2.2 Kawasan Tanpa Rokok

2.2.1 Definisi Kawasan Tanpa Rokok

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan ruangan atau area yang

dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,

menjual, mengiklankan, dan/ataupun mempromosikan produk tembakau.

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ini merupakan salah satu solusi untuk dapat

menghirup udara bersih dan sehat tanpa paparan asap rokok. Menurut buku

pedoman pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menyatakan bahwa

penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) bertujuan untuk menurunkan angka

kesakitan dan angka kematian dengan focus untuk mengubah perilaku masyarakat

untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja, mewujudkan kualitas udara

yang bersih dan sehat yang terbebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok

dan mencegah yang ingin merokok, serta mewujudkan generasi yang sehat (Pusat

Promosi Kesehatan Kemenkes, 2011).


20

Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ini adalah sebagai upaya untuk

melindungi masyarakat dari risiko ancaman gangguan kesehatan akibat

lingkungan yang tercemar oleh asap rokok. Penyelenggaraan Kawasan Tanpa

Rokok (KTR) ini perlu diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat

proses belajar mengajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum,

tempat kerja, tempat umum dan tempat ainnya yang telah ditetapkan untuk

melindungi masyarakat dari paparan asap rokok. Ada empat alasan kuat dalam

pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) (Rochka et al., 2019), yaitu :

a. Memberikan perlindungan kepada anak-anak dan yang bukan perokok

terhadap risiko gangguan kesehatan akibat rokok

b. Menghindari rasa tidak nyaman, bau dan kotoran dari rokok

c. Sebagai pengembangan opini bahwa tidak merokok adalah perilaku yang

lebih normal

d. Mendorong lingkungan perokok untuk berhenti merokok atau mengurangi

konsumsi rokok

Adapun untuk mengukur keberhasilan penerapan kawasan tanpa rokok

(KTR) maka dibuatlah alat ukur atau indikator dalam proses pengembangannya.

Pada dasarnya petugas kesehatan dan pengelola kawasan tanpa rokok sangat

membutuhkan indikator sebagai alat ukur dalam menata kawasan tanpa rokok.

Secara keseluruhan, indikator yang dilihat adalah indikator input, proses, dan

output (Jatmika et al., 2018).

a. Indikator Input :

1) Adanya studi tentang kebijakan kawasan tanpa rokok dan sikap dan

perilaku yang ditargetkan terhadap kebijakan kawasan tanpa rokok.


21

2) Adanya tim/kelompok kerja untuk menyusun kebijakan kawasan tanpa

asap rokok.

3) Adanya kebijakan kawasan tanpa rokok.

4) Adanya infrastruktur kawasan tanpa rokok.

b. Indikator Proses :

1) Dapat terlaksananya sosialisasi penerapan kawasan tanpa rokok.

2) Diterapkannya kawasan tanpa rokok.

3) Dilaksanakannya pengawasan dan penegakan hukum.

4) Dilaksanakannya pemantauan dan evaluasi.

c. Indikator Output :

1) Terlaksananya kawasan tanpa rokok di semua tatanan.

2.2.2 Regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

a. Internasional

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) adalah hukum

internasional mengenai pengendalian tembakau secara global. FCTC menegaskan

kembali hak orang atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai. Perjanjian

tersebut menandai paradigma baru dalam strategi manajemen untuk menangani

zat adiktif, dengan penekanan yang lebih besar pada strategi pengurangan

permintaan.

FCTC disusun untuk menghadapi globalisasi pandemi tembakau

didukung oleh sejumlah elemen komersial yang kompleks dengan dampak lintas

negara, didukung oleh perdagangan bebas dan investasi investasi asing, didukung

oleh banyak kekuatan besar dari pemasaran global, iklan dan promosi di sponsori

lintas bangsa dengan dukungan modal besar. Strategi FCTC sebagai konvensi
22

dalam industri perawatan kesehatan adalah untuk mengurangi kebutuhan (Jatmika

et al., 2018), melalui upaya – upaya :

a. Perlindungan terhadap paparan asap tembakau, termasuk di berbagai

fasilitas umum.

b. Regulasi tentang kandungan produk tembakau.

c. Regulasi tentang pengumuman produk tembakau.

d. Pengemasan dan pelabelan.

e. Pendidikan, komunikasi, pelatihan dan peningkatan kesadaran masyarakat

bahaya kesehatan produk tembakau .

f. Iklan, promosi dan sponsor tembakau semua upaya untuk mengurangi

permintaan terkait ketergantungan tembakau dan penghentian

penggunaannya.

Sementara itu, untuk mengurangi pasokan yang mencakup upaya – upaya

sebagai berikut :

a. Perdagangan ilegal produk tembakau.

b. Menjual produk tembakau kepada anak-anak di sektor publik.

c. Memberikan dukungan untuk alternatif yang layak secara ekonomi.

FCTC berlaku selama 90 hari setelah di ratifikasi oleh 40 negara anggota

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada saat itu semua negara yang meratifikasi

FCTC akan terikat secara hukum dengan segala ketentuan dalam konvensi

tersebut. FCTC akan terikat secara hukum dengan segala ketentuan dalam

konvensi tersebut. FCTC dibuka untuk penandatangan pada tangga 16 Juni

sampai dengan 22 Juni 2003 di Geneva, dan setelah traktat disimpan di kantor

PBB New York dari tanggal 30 Juni 2003 hingga 29 Juni 2004. Semua negara
23

yang menandatangani Konvensi tersebut adalah negara yang memiliki dan

menunjukan komitmen politik untuk benar-benar melaksanakan dan tidak

mengabaikan tujuan Konvensi tersebut.

Selain itu, setiap negara yang belum menandatangani

perjanjian setelah 29 Juni 2004 masih memiliki peluang untuk maju menuju

aksesi, yang dianggap sebagai langkah yang setara dengan ratifikasi.

b. Nasional

Beberapa peraturan di tingkat nasional mengenai Kawasan Tanpa Rokok

(KTR) adalah sebagai berikut :

1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan

Rokok Bagi Kesehatan

Peraturan ini ditetapkan pada tanggal 10 Maret 2003 dan mencabut

Perauran Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok

Bagi Kesehatan. Penetapan peraturan ini dengan pertimbangan bahwa

rokok mengandung zat adiktif yang bila digunakan akan mengakibatkan

bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat sehingga perlu dilakukan

upaya pengamanan.

2) Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan mengamanatkan bahwa dalam upaya menciptakan lingkungan

yang sehat maka semua orang memiliki kewajiban untuk menghormati hak

orang lain dalam memperoleh lingkungan yang sehat, baik secara fisik,

biologi, maupun sosial. Selain itu, setiap orang juga memiliki kewajiban

untuk berperilaku hidup sehat sebagai upaya mewujudkan,


24

mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal

diatas merupakan dasar hukum dalam penerapan kawasan rokok yang

menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan lingkungan yang sehat.

3) Peraturan Bersama Menteri Kesehatan Nomor 188/Menkes/PBI/I/2011 dan

Menteri Dalam Negeri Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang pedoman

pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Peraturan ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kawasan Tanpa

Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk

merokok atau memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau

mempromosikan produk tembakau.

4) Peraturan pemerintah Nomor 109 tentang pengamanan Bahan yang

Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

Menurut PP No. 109 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat

adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, bahwa penyelenggaraan

pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau

meliputi produksi dan impor, peredaran, perlindungan khusus bagi anak-

anak dan perempuan hamil, serta Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

c. Provinsi

Pada Provinsi Sumatera Utara peraturan mengenai Kawasan Tanpa Rokok

(KTR) (KTR) terdapat dalam Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 35

Tahun 2012 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Pada Perkantoran.

d. Kota

Kota Tebing Tinggi sebagai salah satu kota yang ada di Provinsi Sumatera

Utara juga telah menerbitkan peraturan terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
25

yaitu PERWALI Kota Tebing Tinggi No.3 Tahun 2013. Peraturan Walikota

tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kota Tebing Tinggi telah ditetapkan pada

tanggal 21 Januari 2013 oleh DPRD Kota Tebing Tinggi dan Walikota Tebing

Tinggi. Penetapan peraturan ini adalah sebagai bentuk upaya pemerintah daerah

Kota Tebing Tinggi untuk melindungi masyarakat dari bahaya zat psikoaktif

rokok yang dapat menimbulkan adiksi buruk bagi tubuh dan membahayakan

kesehatan masyarakat.

2.2.3 Tempat-tempat yang menjadi Kawasan Tanpa Rokok

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan upaya perlindungan untuk

masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan

tercemar asap rokok(Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes, 2011). Peraturan

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang ditetapkan baik secara Internasional,

nasional, provinsi, maupun kota mengamanahkan bahwa yang menjadi tempat-

tempat yang wajib meneprakan KTR yaitu :

1) Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang

digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik

promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh

pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.

2) Tempat proses belajar mengajar adalah sarana yang digunakan untuk

kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan/atau pelatihan.

3) Tempat anak bermain adalah area, baik tertutup maupun terbuka, yang

digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak.

4) Tempat ibadah adalah bangunan atau ruang tertutup yang memiliki ciri -

ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para


26

pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat

ibadah keluarga.

5) Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat

berupa kendaraan darat, air dan udara biasanya dengan kompensasi.

6) Tempat kerja adalah ruang atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak

atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang dimasuki tenaga kerja

untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-

sumber bahaya.

7) Tempat umum adalah semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh

masyarakat umum dan/atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-

sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta

dan masyarakat.

8) Tempat lain yang ditetapkan adalah tempat terbuka yang dimanfaatkan

bersama-sama untuk kegiatan masyarakat.

2.3 Kajian Integrasi Keislaman

2.3.1 Rokok Dalam Perspektif Islam

Rokok dan aktivitas merokok menjadi bahasan hukum yang menarik yang

selalu diperbincangkan sepanjang jaman semenjak dikenal oleh umat Islam pada

akhir abad ke-10 Hijriyah. Mengkonsumsi rokok yang berbahan dasar tembakau

ini bukan tradisi asli bangsa Arab, tetapi dibawa dan diperkenalkan oleh para

pedagang Spanyol. Pertanyaan mengenai hukum rokok diajukan oleh masyarakat

kepada para ulama dan pemuka agama. Pembahasan rokok dari sudut pandang

hukum fiqh menjadi sangat menarik karena terdapat polemik dan perdebatan
27

antara para ulama. Para ulama ahli fiqh (fuqoha’) maupun para ulama pemberi

fatwa (mufti) tidak seragam pendapatnya mengenai hukum rokok. Pembahasan

hukum rokok terdapat dalam berbagai kitab fiqh baik yang klasik hingga

kontemporer. Demikian juga dengan berbagai catatan mengenai berbagai fatwa

yang dikeluarkan oleh individu mufti maupun lembaga agama. Mengapa? Karena

umat Islam memerlukan jawaban hukum atas suatu perkara. Pembahasan fiqh

sangat penting bagi masyarakat karena menyangkut pengamalan ajaran agama.

Hukum fiqh akan menjadi acuan dan pedoman umat Islam dalam berperilaku

sehari-hari termasuk dalam mengkonsumsi sesuatu. Maka umat Islam

berkepentingan kepada hukum fiqh dan fatwa ulama dalam menentukan halal atau

haram ketika mengkonsumsi sesuatu termasuk rokok.

Para ulama memiliki pandangan berbeda dalam masalah hukum rokok, ada

yang mengharamkan secara mutlak, ada yang memperbolehkan (dalam status

mubah atau makruh) dan memerinci hukumnya hingga berstatus haram.

Perbedaan tersebut dikarenakan ketidaksamaan dalam memandang dalil dan illat

atau alasan yang menjadi acuan hukum rokok dan tindakan merokok. Dalam

bahasa Arab, rokok disebut dukhan (‫ ناخدال‬,( tabagh (‫ غبتال‬,(tumbak (‫ كابمتال‬,(at-

tatan (‫ نتتال‬,(atau sijarah (‫ ةراجيس‬.(Sedangkan perbuatan merokok itu disebut

dengan tadkhin (‫( نيخدتال‬yang berasal dari fi’il tsulasi mazid ruba’i; dakhkhana

yudakhkhinu tadkhinan (‫ انيخدت نخدي نخد‬.(Penghisap rokok atau perokok disebut

dengan (‫ )نخدمال‬mudakhkhin (Awaliah Kasri et al., 2020).


28

2.3.2 Hukum Rokok Menurut Fatwa MUI

Salah satu kepedulian umat Islam terhadap arti penting kesehatan,

khususnya bahaya rokok, diwujudkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang

menjadi salah satu lembaga umat Islam dengan menggelar forum Ijtima‟ Ulama

Komisi fatwa se-Indonesia yang berlangsung sejak 23-26 Januari 2009 di Aula

Perguruan Diniyah Putri, Padang Panjang, Sumatera Barat. Sidang pleno

memutuskan pada Minggu petang 25 Januari 2009 yang dipimpin K.H.Ma‟ruf

Amin (Ketua Fatwa MUI), bahwa merokok hukumnya dilarang, yakni antara

makruh dan haram. Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya memutuskan fatwa

haram merokok hanya berlaku bagi wanita hamil, anak-anak, dan merokok di

tempat umum (Husnaini, 2018).

Adapun fatwa tersebut dapat dijelaskan dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1) Surat al-A’raf ayat 157 berbunyi:

‫علَ ْي ِه ُم‬ ِ ‫ط ِي ٰ َب‬


َ ‫ت َويُ َح ِر ُم‬ َ ‫َيأ ْ ُم ُرهُم ِب ْٱل َم ْع ُروفِ َو َي ْن َه ٰى ُه ْم‬
َّ ‫ع ِن ْٱل ُمنك َِر َويُحِ ُّل لَ ُه ُم ٱل‬

Artinya : “…Nabi menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang

engerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan

mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”

2) Surat Al-Isra ayat 26-27 :

)٢٦ (‫ِيرا‬ َّ ‫ت ذَا ْٱلقُ ْربَ ٰى َحقَّ ۥهُ َو ْٱل ِم ْسكِينَ َوٱبْنَ ٱل‬
ً ‫سبِي ِل َو َال تُبَذ ِْر ت َ ْبذ‬ ِ ‫َو َءا‬

)٢٧ (‫ورا‬ َ ‫ش ْي‬


ً ًۭ ُ‫ط ٰـ ُن ل َِربِِۦه َكف‬ َّ ‫ين ۖ َو َكانَ ٱل‬ َّ ‫إِ َّن ْٱل ُمبَذ ِِرينَ كَانُ ٓو ۟ا إِ ْخ ٰ َونَ ٱل‬
ِ ِ‫شيَـٰط‬

Artinya : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,

kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu

menghambur-hamburkan [hartamu] secara boros. Sesungguhnya pemboros-


29

pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar

kepada Tuhannya”.

3) Surah Al-Baqarah ayat 195 :

َ‫ّٰللا ي ُحِ بُّ ْال ُم ْح ِسنِيْن‬


َ ‫ّٰللا َو َال ت ُ ْلقُ ْوا ِبا َ ْي ِد ْيكُ ْم اِلَى الت َّ ْهلُ َك ِة ۛ َوا َ ْح ِسنُ ْوا ۛ ا َِّن ه‬ َ ‫َوا َ ْن ِفقُ ْوا فِ ْي‬
ِ ‫س ِبي ِْل ه‬

Artinya : “Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan

(diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah.

Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

4) Surah An-Nisa ayat 29 :

‫ّٰللا َكانَ بِكُ ْم َرحِ ْي ًما‬ َ ُ‫َو َال ت َ ْقتُلُ ْٓوا ا َ ْنف‬
َ ‫سكُ ْم ۗ ا َِّن ه‬

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha

Penyayang kepadamu”.

5) Hadis Nabi SAW

‫ﻝاضرر والضرار‬

Artinya : “Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat

kerusakan pada orang lain”.

Beberapa dasar atau dalil MUI di atas, dapat dijelaskan di antaranya

adalah pertama, ayat 26-27 dari surat al-Isra diatas, menunjukkan keharusan umat

Islam untuk selalu menbelanjakan hartanya dengan benar. Menurut Ibnu Mas’ud

istilah tabzir berarti membelanjakan segala bentuk harta di jalan yang salah. Dan

menurut Qatadah tabzir ialah membelanjakan harta di jalan maksiat, di jalan yang

tidak benar, serta untuk kerusakan di atas muka bumi. Menurut Imam al-Syaikani,

kebiasaan menghisap merokok adalah tindakan tabzir (pemborosan) dan tindakan

penyia-nyiaan harta. Dan kebiasaan menghisap rokok tidak memberikan dampak

positif, dan jika ada hanya ketenangan dan konsentrasi pada saat merokok, tetapi
30

hal ini hanya sugesti. Dan sebaliknya dampak negatif berupa penyakit yang

mengancam kesehatan jiwa raga manusia, terbuangnya harta secara sia-sia tanpa

ada manfaat, dan Allah SWT menyebut mereka sebagai saudara-suadara syaitan.

Kedua tindakan merusak diri si pelakunya, bahkan tindakan bunuh diri itu

adalah perbuatan terlarang. Para pakar kesehatan telah menetapkan adanya 3000

racun berbahaya, dan 200 di antaranya amat berbahaya, bahkan lebih bahaya dari

Ganja (Canabis Sativa). Mereka menetapkan bahwa sekali hisapan rokok dapat

mengurangi umur hingga beberapa menit. Wallahu A’lam bis Shawab.

Pastinya, umur manusia urusan Allah SWT, namun penelitian para pakar

ini adalah pandangan ilmiah empirik yang tidak bisa dianggap remeh. Ustadz

Muhammad Abdul Ghafar al Hasyimi menyebutkan dalam bukunya Mashaibud

Dukhan (Bencana Rokok) bahwa rokok bisa melahirkan 99 macam penyakit.

sebuah majalah kesehatan di Inggris menyatakan bahwa merokok itu adalah

penyakit itu sendiri, bukan kebiasaan. Perilaku ini merupakan bencana yang

dialami kebanyakan anggota keluarga, juga bisa merendahkan harkat dan martabat

kehormatan seseorang. Jumlah yang mati karena rokok berlipat ganda.

Majalah ini menyimpulkan, asap rokok lebih bahaya dari asap

mobil.Perhatikan dua ayat di atas, ia menggunakan sighat lin nahyi wa lin nafyi

(bentuk kata untuk pengingkaran/larangan) yang bermakna jauhilah perbuatan

merusak diri atau mengarah pada bunuh diri. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan

al Ashlu fi an Nahyi lil Haram (hukum asli dari sebuah larangan adalah haram).

Seperti kalimat wa laa taqrabuz zinaa.. (jangan kalian dekati zina) artinya

mendekati saja haram apa lagi melakukannya. Maksudnya, ada dua yang

diharamkan dalam ayat ini yakni 1. Berzina, dan 2. perilaku atau sarana menuju
31

perzinahan. Ini Sesuai kaidah Ushul Fiqh ”Ma ada ilal haram fa huwa haram‟

(Sesuatu yang membawa kepada yang haram, maka hal itu juga haram). Begitu

pula ayat, “janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri‟, artinya, yang haram

yaitu 1. bunuh diri, dan 2. perilaku atau sarana apapun yang bisa mematikan diri

sendiri.Imam Asy Syaukani berkata dalam kitab tafsirnya, Fat-hul Qadir, tentang

maksud ayat An Nisa 29 diatas: Artinya: “Maksud firman-Nya, janganlah kalian

membunuh diri kalian sendiri‟ adalah Wahai muslimun, janganlah kalian saling

membunuh satu sama lain, kecuali karena ada sebab yang ditetapkan oleh syariat.

Atau, janganlah bunuh diri kalian dengan perbuatan keji dan maksiat, atau yang

dimaksud ayat ini adalah larangan membunuh diri sendiri secara hakiki

(sebenarnya). Tidak terlarang membawa maksud ayat ini kepada makna-makna

yang lebih umum. Dalilnya adalah Amr bin al Ash berhujjah (berdalil) dengan

ayat tersebut, ketika ia tidak mandi wajib (mandi junub) dengan air dingin pada

saat perang Dzatul Salasil. Namun, Nabi SAW mendiamkan (tanda setuju) hujjah

(alasan) yang yang dipakai olehnya.

Hadis yang digunakan oleh MUI untuk menetapkan hukum merokok

tersebut, sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, begitu

pula Qais Ibnyr Rabi’ dari Abu Ishaq, dari al-Barra yang menuturkan:

“Kebinasaan yang sesungguhnya ialah jika seorang lelaki melakukan suatu dosa,

sedang dia tidak bertaubat, maka dialah orang yang menjatuhkan dirinya ke dalam

kebinasaan (Mardia, 2020).


32

2.4 Kerangka Pikir

Menurut George C. Edward III (1980) mengemukakan bahwa terdapat

empat variable atau faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi

kebijakan, yaitu : komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

Variable – variable tersebut tidak saja selalu berdiri sendiri – sendiri, namun dapat

saja saling berkaitan satu sama lainnya (Pramono, 2020).

Berdasarkan teori George C. Edward III (1980) diatas kerangka pikir

yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

Peraturan Walikota
Tebing Tinggi Nomor 3
Tahun 2013 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok
Komunikasi

Sumber Daya
Implementasi
Kebijakan KTR
Disposisi (sikap)

Struktur Birokrasi

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Anda mungkin juga menyukai