Anda di halaman 1dari 35

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Konsep Kebijakan Publik

1. Pengertian Kebijakan Publik

Sebelum dibahas lebih jauh mengenai konsep kebijakan

publik, kita perlu mengakaji ter lebih dahulu mengenai konsep

kebijakan atau dalam bahasa inggris sering kita dengar dengan istilah

policy. Dalam kamus besar bahasa indonesia, kebijakan diartikan

sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan

dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,

dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi) pernyataan

cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen dalam

usaha mencapai sasaran.

Carl Joachim Friedrich sebagai mana dikutip Leo Agustino

(2008:7) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian

tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau

pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat

hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-

kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut

dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan

perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang

11
12

penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan

harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan dari pada apa

yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.

Kebijakan Publik adalah merupakan terjemahan dari bahasa

Inggris ‘Public Policy’, ‘public’ = publik dan ‘policy’ = kebijakan.

Sebelumnya, kata public policy diterjemahkan kebijaksanaan negara,

tetapi kemudian dinilai tidak pas dan diganti dengan ‘kebijakan

publik’ yang dinilai lebih benar, kebijakan publik serangkaian

keputusan yang menyangkut kepentingan publik, yang sadar, terarah,

dan terukur yang dilakukan oleh pemerintah yang melibatkan para

pihak yang berkepentingan dalam bidang-bidang tertentu yang

mengarah pada tujuan tertentu.

Secara singkat atau sederhana kebijakan publik itu dapat

diartikan sebagai ‘tindakan yang dilakukan oleh pemerintah’ atau

‘aktivitas-aktivitas yang dilakukan pemerintah’ (‘the actions of

government’). Tentunya pengertian seperti ini terlampau ringkas

untuk dapat menjelaskan substansi atau isi keseluruhan dari

kebijakan publik. Untuk maksud tersebut maka beberapa definisi dan

makna kebijakan publik yang dikemukakan oleh beberapa ahli.

Menurut Thomas R. Dye (dalam Winarno, 2012:20) kebijakan

publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan

dan tidak dilakukan.

Sedangkan Carl Fredrich dalam Winarno (2002:16)

mengungkapkan bahwa:
13

“kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh


seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-
kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu
tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud
tertentu.”

Adapun pendapat lain mengenai kebijakan publik menurut

Anderson dalam Winarno (2002:16), kebijakan merupakan arah

tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang

aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu

persoalan. Jadi, setiap kebijakan yang akan dilakukan harus memiliki

arah tertentu yang ditetapkan oleh pelaksana kebijakan untuk

mengatasi masalah yang terjadi dalam setiap program yang

dilaksanakan.

Menurut Anderson dalam Winarno (2002:18), konsep

kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi, yaitu:

a. Titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik

berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara

serampangan;

b. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan

oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-

keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencangkup tidak

hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang suatu hal,

tetapi juga keputusan-keputusan beserta pelaksanaannya;

c. Kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah

dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi,


14

atau ,mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang

diinginkan oleh pemerintah;

d. Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau

negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencangkup bentuk

tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu

masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencangkup

suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak

untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu

mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan

pemerintah.

Dalam Peraturan Bupati Pamekasan Nomor 6 Tahun 2010

Tentang retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum dan retribusi

tempat khusus parkir, ini dibuat untuk:

a) Bahwa dalam rangka penertiban dan memperlancar lalu lintas di

jalan umum agar pelaksanaan parkir lebih berdaya guna dan

berhasil guna dalam memberikan pelayanan kepada pengguna

jalan perlu pengaturan parkir kendaran di Kabupaten Pamekasan

b) Bahwa agar peningkatan sumber-sumber pendapatan asli daerah

lebih signifikan dan lebih intensif perlu diatur dan menetapkan

Retribusi Parkir Kendaraan di Kabupaten Pamekasan

c) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a dan b perlu mambentuk Peraturan Daerah tentang

Retribusi Parkir Kendaraan Kabupaten Pamekasan.


15

2. Tahap Tahap Kebijakan Publik

Menurut William Dunn (dalam Winarno 2012:35-37) tahap-

tahap kebijakan publik antara lain:

a. Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah

pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini

berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda

kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda

kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah

mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain

ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah

karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

b. Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas

oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan

untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan

masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan

kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu

masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahap

perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk

dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan

masalah.
16

c. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para

perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif

kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas

legislatif, konsensus di antara direktur lembaga, atau keputusan

peradilan.

d. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit,

jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu,

keputusan program yang telah diambil sebagai alternatif

pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan

oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di

tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh

unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya

finansial dan manusia. Pada tahap ini berbagai kepentingan akan

saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat

dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang

lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

e. Tahap Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau

dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat

telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada

dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan dalam hal

ini, untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh


17

karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang

menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah

meraih dampak yang diinginkan.

3. Ciri-ciri Kebijakan Publik

Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik,

bersumber pada kenyataan bahwa suatu kebijakan itu dirumuskan

oleh beberapa orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik,

yaitu para para ketua suku, tetua adat, para legislator, para eksekutif,

para hakim, para administrator, para monarki dan lain sebagainya.

Penjelasan di atas membawa implikasi tertentu terhadap konsep ciri-

ciri kebijakan publik (Wahab, 2012:20) yaitu:

a. Pertama, Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang


mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan
yang memiliki unsur keberuntungan, serba acak dan kebetulan.
b. Kedua, Pada hakikatnya, kebijakan terdiri atas tindakan-tindakan
yang saling berkaitan dan memiliki pola yang mengarah pada
suatu tujuan tertentu, yang dimana tindakan-tindakan ini
dilakukan oleh para pejabat pemerintah dan bukan merupakan
keputusan yang berdiri sendiri.
c. Ketiga, Kebijakan memiliki kaitan dengan apa yang telah
dilakukan oleh pemerintah dalam suatu bidang tertentu, misalnya
dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau
menggalakkan program perumahan rakyat bagi masyarakat yang
memiliki penghasilan rendah dan bukan hanya sekedar apa yang
ingin dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tersebut.
d. Keempat, Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin
juga berbentuk negatif. Dalam bentuk positif, kebijakan publik
mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah
yang ditujukan untuk mempengaruhi masalah tertentu. Sedangkan
dalam bentuk negatif, kebijakan publik kemungkinan meliputi
keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak,
atau tidak melakukan tindakan apapun dalam suatu masalah
dimana campur tangan pemerintah justru sangat diperlukan.
18

4. Tujuan Kebijakan Publik

Menurut Bambang Margono (2003:22), Setiap kebijakan yang

dikeluarkan atau ditetapkan oleh pemerintah pasti memiliki tujuan.

Tujuan pembuatan kebijakan publik pada dasarnya adalah untuk :

a. Mewujudkan ketertiban dalam masyarakat

b. Melindungi hak-hak masyarakat

c. Mewujudkan ketentraman dan kedaimaian dalam masyarakat

d. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan tujuan inilah kebijakan publik dilaksanakan

dengan hasil akhir yaitu terciptanya kesejahteraan masyarakat,

sehingga target kebijakan dapat tercapai dan tepat sasaran.

5. Proses Perumusan Kebijakan Publik

Menurut Bambang Margono (2003:23), Mewujudkan

kesejahteraan masyarakatat. Merumuskan suatu kebijakan publik

diatur menurut urutan waktu secara bertahap dari penyusunan

agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi

kebijakan, dan penilaian kebijakan. Tahapan ini mencerminkan

kegiatan yang terus berlangsung sepanjang waktu. Setiap tahap

berhubungan dengan tahap berikutnya. Perumusan kebijakan publik

menyangkut beberapa masalah yaitu sebagai berikut:

a. Energi dan lingkungan


b. Ilmu pengetahuan dan teknologi
c. Kesehatan
d. Kesejahteraan sosial
e. Kesempatan kerja
f. Komunikasi
g. Masalah internasional
h. Masalah perkotaan
19

i. Pendidikan
j. Pembangunan
k. Transportasi

Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dalam

kehidupan masyarakat, diperlukan partisipasi masyarakat yang

berarti keikutsertaan masyarakat atau anggota masyarakat secara

aktif dalam perumusan kebijakan publik. Hal itu dikarenakan

masyarakat sendiri mengetahui dalam mengalamai permasalahannya.

Membuat kebijakan publik merupakan proses pembuatan keputusan

untuk pengambilan keputusan atau pengambilan kebijakan dengan

cara memilih dan menilai informasi yang ada untuk memecahkan

masalah. Apabila masyarakat tidak aktif dalam perumusan kebijakan

publik, kebijakan tersebut akan sesuai dengan keinginan masyarakat.

Dalam studi ini peneliti mendeskripsikan proses perumusan

kebijakan publik menyangkut tentang transportasi, dimana peneliti

menganalisa Implementasi Peraturan Daerah Pamekasan Nomor 6

Tahun 2010 Tentang Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan

Umum Dan Retribusi Tempat Khusus Parkir.

2.1.2 Implementasi Kebijakan Publik

1. Konsep Implementasi Kebijakan Publik

Menurut Wahab (2012:232), Kalau orang melihat konsep

implementasi itu dari sudut pandang teori siklikal (cyclical theory)

maka implementasi itu akan diperlakukan sebagai suatu tahapan

penting yang berlangsung dalam proses kebijakan, terutama setelah

wacana legal formal, biasanya berupa undang-undang, peraturan,


20

ketetapan, atau bentuk-bentuk produk hukum lainnya, dianggap

sudah usai. Denagan demikian, teori siklikal atau teori daur

kebijakan akan menempatkan implementasi sebagai aktivitas

lanjutakan, sesudah diberlakukannya undang-undangan atau

ketentuan perundangan. Dalam realita, mengingat kompleksnya

persoalan yang muncul, tentu saja pemahaman kita tentang makna

implementasi kebijakan tidaklah sedemikian formal, linier, kaku, dan

normatif seperti itu.

Dilihat dari arti luas, implementasi juga sering dianggap

sebagai bentuk pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan

aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan

menjadi kesepakatan bersama antara diantara beragam pemangku

kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi (publik atau privat),

prosedur, dan teknik secara sinergisasi yang digerakan untuk

bekerjasama guna menetapkan kebijakan ke arah tertentu yang

dikehendaki. Rasionalitas atau alasan dibalik langkah seperti itu tak

lain dimaksudkan agar sikap, perilaku, dan pikiran dari semua

pemangku kepentingan yang terlibat dapat lebih terkontrol serta

tetap terjaga pada relnya. Hal ini berarti tujuan dan sasaran program

atau kebijakan itu secara keseluruhan dapat dicapai secara

memuaskan. Secara sederhana, situasi implementasi mungkin dapat

kita ibaratkan sebagai sebuah kereta kencana berpenumpang yang

ditari oleh empat ekor kuda yang warna kulitnya beragam: hitam,

putih, coklat, dan abu-abu. Seorang sains kereta yang piawai tentu
21

saja harus memahami karakter individual dan perilaku masing-

masing kuda. Ia harus mampu menciptakan kerja sama sedemikian

rupa dengan keempat ekor kuda tersebut. Penyikapan kognitif ini

dimaksudkan agar keserempakan tempo berlari kuda-kuda (yang

berbeda karakter) itu tetap terkontrol, dan yang terpenting kereta

tidak terguling (Wahab, 2012:232)

Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (2012:135)

mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-

tindakan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Meter dan Hornn

juga menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara

individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk

mencapai tujuan. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha

untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan

operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka

melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil

yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan

oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan

yang telah ditetapkan. Sedangkan Grindle (1980:7) menyatakan

bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif

yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Grindle (1980:7)

menambahkan bahwa proses implementasi baru akan dimulai apabila

tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun

dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.
22

Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian

dan Paul Sabatier dalam Wahab (2012: 135), mengatakan bahwa

Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah

suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus

perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan

kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-

pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha

untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan

akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa

implementasi kebijakan adalah suatu kegiatan atau usaha yang

dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan

memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari

suatu kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan dari

pemerintah setempat dalam peningkatan pelayanan publik khususnya

berkaitan dengan fasilitas parkir. Kebijakan tersebut dibuat untuk

menertibkan masyarakat dan cenderung bersifat memberikan

pelayanan kepada masyarakat. Peranan pemerintah daerah dalam

menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai

sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan

pelaksanaan tugas pemerintah di dalam pembangunan dan pelayanan

masyarakat di daerah.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan


23

dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-

keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu proses

kegiatan yang dilakukan oleh berbagai aktor sehingga pada akhirnya

akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan-tujuan atau

sasaran-sasaran kebijakan itu sendiri.

2. Tahap-Tahap Implementasi Kebijakan Publik

Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn dalam Wahab (1991:

36) mengemukakan sejumlah tahap implementasi sebagai berikut:

a. Tahap I:
1) Menggambarkan rencana suatu program dengan penetapan
tujuan secara jelas
2) Menentukan standar pelaksanaan
3) Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu
pelaksanaan.
b. Tahap II:
Pelaksanaan program dengan mendayagunakan struktur staf,
sumber daya, prosedur, biaya serta metode
c. Tahap III:
1) Menentukan jadwal
2) Melakukan pemantauan
3) Mengadakan pengawasan untuk menjamin kelancaran
pelaksanaan program. Dengan demikian jika terdapat
penyimpangan atau pelanggaran dapat diambil tindakan yang
sesuai dengan segera.

Tahap-tahap yang sejalan juga dirumusakan oleh Wahab

(2012:203), adapun tahapan-tahapan dalam proses implementasi

kebijakan antara lain:

a. Output-output kenbijakan (keputusan-keputusan) dari badan


pelaksana
b. Kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap keputusan
tersebut
c. Dampak nyata keputusan-keputusan badan pelaksana
d. Persepsi terhadap dampak keputusan-keputusan tersebut
e. Evaluasi sistem poliik terhadap undang-undang baik berupa
perbaikan-perbaikan mendasar
24

Jadi implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan

perencanaan penetapan waktu dan pengawasan, sedangkan menurut

Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab, yaitu mempelajari masalah

implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang

senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau

dirumuskan. Yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang

terjadi setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut

usaha-usaha administratif maupun usaha untuk memberikan dampak

tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku

lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran (target grup)

tetapi memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial

yang berpengaruh pada impelementasi kebijakan negara.

Dengan berdasar pada tahapan-tahapan ini, dalam penelitian

ini peneliti akan mendeskripsikan dan menganalisa apakah tahapan-

tahapan dalam implementasi kebijakan retribusi parkir berlangganan

di Kabupaten Pamekasan sudah sesuai dengan prosedur dan teori-

teori yang ada.

3. Model-model Implementasi Kebijakan Publik

Untuk memudahkan peneliti dalam mendeskripsikan dan

menganalisa implementasi kebijakan publik dalam retribusi parkir di

Lamongan, maka peneliti mengumpulkan teori tentang model-model

implementasi kebijakan publik yang akan dijadikan acuan pneliti

dalam menentukan model implementasi apa yang telah diterapkan di

Kabupaten Pamekasan. Model-model tersebut antara lain:


25

a. Model Van Meter dan Van Horn

Donald Van Meter dan Carl Van Horn, beliau bersandar

pada karya Pressman dan Wildavsky, namun diberi sentuhan

progressif menjadi sebuah model proses impelementasi.

Pendekatan-pendekatan sebelumnya meski dianggap sangat

membantu memahami proses implementasi, namun sangat kurang

dalam kerangka teoritik. Dalam mengembangkan kerangka

teoritis, mereka didasarkan pada 1) teori organisasi, 2) studi

tentang dampak kebijakan publik dan 3) berbagai studi hubungan

antar-pemerintah.

Van Meter dan Van Horn memulai analisanya dengan

pertimbangan kebutuhan untuk mengklasifikasi kebijakan untuk

memberi solusi pada kesulitan yang terjadi dalam ranah

implementasi. Implementasi, hemat mereka, akan sukses ketika

sedikit perubahan diperlukan dan tujuan konsensus tinggi.

Berkaca pada ragam kasus, secara pragmatis kebijakan dengan

perubahan yang terjadi secara incremental justru biasanya akan

mendapat banyak dukungan, oleh karenanya jika menginginkan

kebijakan terimplementasikan dengan baik, maka sebaiknya

dengan perubahan marginal yang terjadi secara incremental.

Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan

seara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja

kebijakan publik. Beberapa variabel yang mempengaruhi

kebijakan publik sebagai berikut: 1) policy standards and


26

objectives (standar yang jelas dan tujuan kebijakan); 2) the

resources and incentives made available (sumber-sumber

kebijakan); 3) the quality of inter-organizational relationships

(kualitas hubungan interorganisasional); 4) the characteristics of

the implementation agencies (karakteristik lembaga atau

organisasi pelaksana); 5) the economic, social and political

environment (lingkungan politik, sosial, dan ekonomi); dan 6) the

‘disposition’ or ‘response’ of the implementers (disposisi atau

tanggapan atau sikap para pelaksana), yang mana satu sama lain

proses saling berkelindan dan menjadi rangkaian tahapan sistemis

yang dilakukan secara longitudinal. (Sahya, 2014:240-243).

b. Model Mazmanian dan Sabatier

Nugroho (2006:129-130), Model yang kedua adalah model

yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier

(1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya

melaksanakan keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan

Sabatier disebut Model Kerangka Analisis Implementasi (a

framework for implementation analysis). Mazmanian-Sabatier

mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga

variabel, yaitu:

1) Variabel Independen
Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan
indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman
objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki
2) Variabel Intervening
Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan
proses implementasi dengan indikator kejelasan dan
konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan
27

alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga


pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan
perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan
kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang
mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan
indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan
publi, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang
lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari
pejabat pelaksana.
3) Variabel Dependen
Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik
dengan lima tahapan, yang terdiri dari: pertama, pemahaman
dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya
kebijakan pelaksana. Kedua, kepatuhan objek. Ketiga, hasil
nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil nyata. Terakhir,
kelima, tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan
yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun
keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

e. Model Edward III

George C. Edwards III dalam Abidin (2002:131-133)

menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah

lack to attention to implementation. Edward menyarankan untuk

memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan

menjadi efektif, yaitu:

1) Komunikasi (Communication)

Komunikasi serta koordinasi merupakan elemen yang ikut

memegang peranan penting didalam proses

pengimplementasian sebuah kebijakan. Semakin kuat

komunikasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat

didalam proses pengimplementasian kebijakan maka semakin

kecil pula kemungkinan akan timbulnya kesalahan-kesalahan

dari pelaksanaannya dilapangan.


28

b) Sumber daya (resources)

Keberhasilan maupun kegagalan pengimplementasian sebuah

kebijakan ikut ditentukan oleh faktor sumber daya. Sumber

daya disini yang dimaksudkan adalah ketersediaan akan

sumber daya manusia sebagai sumber daya utama serta sumber

daya penunjang yaitu ketersediaan sumber daya anggaran.

Sedangkan Subarsono (2005:100) menyatakan bahwa

Implementasi kebijakan perlu didukung sumberdaya baik

sumber daya manusia maupun sumberdaya non-manusia.

3) disposition (Kesediaan dan komitmen)

Sikap menerima atau menolak dari para agen pelaksana akan

kebijakan yang diimplementasikan ikut mempengaruhi atau

berperan didalam keberhasilan pengimplementasian kebijakan.

hal ini dimungkinkan agar pelaksanaan dari kebijakan yang

telah disepakati mampu mengatasi persoalan dan masalah yang

terjadi. disposisi implementor memiliki 3 hal penting

didalamnya, yakni respond implementor tehadap kebijakan,

kognisisi atau pemahaman terhadap kebijakan, dan prefensi

nilai yang dimiliki oleh implementor didalam

pengimplementasian kebijakan.

d) Struktur Birokrasi (bureucratic structures)

Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini

melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu


29

sendiri.Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi

kebijakan biasanya sudah dibuat standart operational procedur

(SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator

dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak

melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua

adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu

panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan

pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit

dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas

organisasi menjadi tidak fleksibel.

Berdasarkan beberapa model-model implementasi yang

dipaparkan oleh para ahli diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan

bahwa setiap teori tentu memiliki keunggulan tersendiri dari teori

lainya. Ini menunjukan bahwa tidak adanya pilihan model yang

terbaik. Yang perlu diingat bahwa kita tentu harus memilih model

yang sesuai dengan kebutuhan kebijakannya sendiri, hal ini

dimaksudkan agar apapun model yang digunakan dapat berjalan

secara efektif dan mampu menyelesaikan persoalan yang ada.

Adapun didalam penelitian ini, maka penulis lebih memilih

Model Implementasi Kebijakan yang dikemukakan oleh Edward

III yang menguraikan kajian tentang Komunikasi organisasi

dalam aktivitas implementasi, Sumber daya pendukung

(resources) dalam mendukung berjalannya implemetasi sebuah

kebijakan, Disposisi yakni Kecenderungan perilaku atau


30

karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk

mewujudkan implementasi kebijakan, serta Struktur birokrasi

yang dibentuk didalam mengimplemetasikan kebijakan yang

berkaitan dengan judul penelitian yaitu Implementasi Peraturan

Daerah Pamekasan Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Retribusi

Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum Dan Retribusi Tempat

Khusus Parkir.

Hal ini dikarenakan menurut penulis, elemen-elemen yang

terdapat dalam Implementasi Kebijakan yang dikemukakan oleh

Edward III dianggap lebih relevan dan secara spesifik mampu

mengupas fenomena dilapangan terkait dengan judul penelitian

yaitu Implementasi Peraturan Daerah Pamekasan Nomor 6 Tahun

2010 Tentang Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum

Dan Retribusi Tempat Khusus Parkir. Selain itu bentuk dari

model Edward III menurut penulis lebih sederhana sehingga akan

sangat mudah dipahami penggunaannya terkait dengan hal-hal

yang berhubungan dengan Implementasi kebijakan parkir

berlangganan.

2.1.2 Retribusi Daerah

Menurut Siahaan (2005:5-7) Retribusi adalah pembayaran wajib

dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang

diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa

tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar

retribusi yang menikmati balas jasa dari negara. Sedangkan secara


31

umum pajak daerah adalah pungutan dari masayarakat oleh negara

(pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat

dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak

mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung,

yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Hal ini

menunjukkan bahwa pajak adalah pembayaran wajib yang dikenakan

berdasarkan undang-undang yang tidak dapat dihindari bagi yang

berkewajiban dan bagi mereka yang tidak mau membayar pajak dapat

dilakukan paksaan atau dikenakan sanksi. Dengan demikian, akan

terjamin bahwa kas negara selalu berisi uang pajak. Selain itu,

pengenaan pajak berdasarkan undang-undang akan menjamin adanya

keadilan dan kepastian hukum bagi pembayar pajak sehingga

pemerintah tidak dapat sewenang-wenang menetapkan besarnya pajak.

Perbedaan pajak dan retribusi menurut Slamet Munawir, et al

dalam Siahaan (2005:10-11) adalah sebagai berikut:

a. Kontra prestasinya

Pada retribusi kontra prestasinya bisa ditunjukkan secara langsung

dan secara individu dan golongan tertentu sedangkan pada pajak

kontra prestasinya tidak dapat ditunjuk secara langsung.

b. Balas jasa pemerintah

Hal ini dikaitkan dengan tujuan pembayaran, yaitu pajak balas jasa

pemerintah berlaku untuk umum; seluruh rakyat menikmati balas

jasa, baik yang membayar pajak maupun yang dibebaskan dari pajak.
32

Sebaliknya, pada retribusi balas jasa negara/pemerintah berlaku

khusus, hanya dinikmati oleh pihak yang telah melakukan

pembayaran reribusi.

c. Sifat pemungutannya

Pajak bersifat umum, artinya berlaku untuk setiap orang memenuhi

syarat dikenakan pajak. Sementara itu, retribusi hanya berlaku untuk

orang tertentu, yaitu yang menikmati jasa pemerintah yang dapat

ditunjuk.

d. Sifat pelaksanaanya

Pemungutan retribusi didasarkan atas peraturan yang berlaku umum

dan dalam pelaksanaanya dapat dipaksakan, yaitu setiap orang yang

ingin mendapatkan suatu jasa tertentu dari pemerintah harus

membayar retribusi. Jadi, sifat paksaan pada retribusi bersifat

ekonomis sehingga pada hakikatnya diserahkan pada pihak yang

bersangkutan untuk membayar tau tidak. Sedangkan sifat paksaan

pada pajak bersifat yuridis, artinya bahwa setiap orang yang

melanggarnya akan mendapat sanksi hukuman, baik berupa sanksi

pidana maupun denda.

e. Lembaga atau badan pemungutnya

Pajak dapat dipungut oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah

daerah. Sedangkan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah

daerah.

Menurut Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi daerah

Nomor 28 tahun 2009 menentukan bahwa objek retribusi adalah


33

berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah.

Akan tetapi tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah

dapat dipungut retribusinya, hanya jenis-jenis jasa tertentu yang

menurut pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek

retribusi. Hal ini membuat objek retribusi terdiri dari tiga kelompok jasa

yaitu:

a) Jasa umum, yaitu jasa yang disediakan atau diberikan oleh

pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum

serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

b) Jasa usaha, yaitu jasa yang disediakan pemerintah daerah dengan

menganut prinsip-prinsip komersial yang meliputi pelayanan dengan

menggunakan / memanfaatkan kekayaan daerah yang belum

dimanfaatkan secara optimal dan / atau pelayanan oleh pemerintah

daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak

swasta.

c) Perizinan tertentu yaitu kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam

rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang

dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan

pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber

daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna

melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Berdasarkan kelompok jasa yang menjadi objek retribusi daerah

maka penggolongan retribusi daerah di dalam Undang-undang Nomor

28 tahun 2009 menjadi tiga golongan yaitu:


34

1. Retribusi jasa umum adalah retribusi yang dikenakan terhadap orang

pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa

umum yang disediakan atau yang diberikan oleh pemerintah. Jenis

retribusi jasa umum meliputi:

a) Retribusi pelayanan kesehatan

b) Retribusi pelayanan persampahan / kebersihan

c) Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta

catatan sipil

d) Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat

e) Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum

f) Retribusi pelayanan pasar

g) Retribusi pengujian kendaraan bermotor

h) Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran

i) Retribusi penggantian biaya cetak peta

j) Retribusi penyediaan dan / atau penyedotan kakus

k) Retribusi pengelolaan limbah cair

l) Retribusi pelayanan tera / tera ulang

m)Retribusi pelayanan pendidikan

n) Retribusi pengendalian menara telekomunikasi

2. Retribusi jasa usaha merupakan pelayanan yang disedikan oleh

pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena

pelayanan tersebut belum cukup disediakan. Jenis Retribusi jasa

usaha meliputi:

a) Retribusi pemakaian kekayaan daerah


35

b) Retribusi pasar grosir dan / atau pertokoan

c) Retribusi tempat pelelangan

d) Retribusi terminal

e) Retribusi tempat khusus parkir

f) Retribusi tempat penginapan / pesanggrahan / villa

g) Retribusi rumah potong hewan

h) Retribusi pelayanan kepelabuhan

i) Retribusi tempat rekreasi dan olahraga

j) Retribusi penyeberangan di air

k) Retribusi penjualan produksi usaha daerah

3. Retribusi perizinan tertentu, merupakan retribusi atas kegiatan

tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada

orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan,

pengaturan, pengendalian maupun pengawasan guna melindungi

kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis

retribusi perizinan tertentu meliputi:

a) Retribusi izin mendirikan bangunan

b) Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol

c) Retribusi izin gangguan

d) Retribusi izin trayek

e) Retribusi izin usaha perikanan

Menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 kriteria jenis

retribusi sebagai berikut:

a. Retribusi Jasa Umum


36

1. Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan

retribusi jasa usaha atau retribusi perizinan tertentu

2. Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi

3. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau

badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk

melayani kepentingan dan kemanfaatan umum

4. Jasa tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau badan

yang membayar retribusi dengan memberikan keringanan bagi

masyarakat yang tidak mampu

5. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai

penyelenggaraannya

6. Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta

merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial

7. Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut

dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik

b. Retribusi jasa Usaha

1. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan

retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu

2. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang

seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai

atau terdapatnya harta yang dimiliki / dikuasai daerah yang belum

dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah daerah.


37

c. Retribusi Perizinan Tertentu

1. Perizinan tertentu termasuk kewenangan pemerintah yang

diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi

2. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi

kepentingan umum

3. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin

tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari

pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari

retribusi perizinan

Berdasarkan penggolongan retribusi diatas maka retribusi parkir

berlangganan merupakan jenis retribusi jasa umum. Karena jasa

tersebut untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat

dinikmati oleh orang banyak / pribadi.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009, prinsip dan

sasaran penetapan tarif retribusi daerah ditentukan sebagai berikut:

1. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum

ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang

bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan

efektivitas pengendalian atas pelayanan. Biaya yang dimaksud

meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya

modal.

2. Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif retribusi jasa

usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang


38

layak, yaitu keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha

tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

3. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi perizinan tertentu

didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya

penyelenggara pemberian izin yang bersangkutan, meliputi

penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan

hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian

izin tersebut.

Besarnya retribusi daerah yang harus dibayar oleh orang pribadi

atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung

berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif

retribusi.

2.1.3 Retribusi Parkir Berlangganan

1. Pengertian Parkir

Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang

bersifat sementara karena ditinggalkan oleh pengemudinya. Secara

hukum dilarang untuk parkir ditengah jalan raya, namun parkir di

sisi jalan umum diperbolehkan. Fasilitas parkir dibangun bersama-

sama dengan kebanyakan gedung untuk memfasilitasi kendaraan

pemakai gedung. Termasuk dalam pengertian parkir adalah setiap

kendaraan yang berhenti pada tempat-tempat tertentu baik yang

dinyatakan dengan rambu lalu lintas atau tidak, serta tidak semata-

mata untuk kepentingan menaikkan dan/atau menurunkan orang

dan/atau barang.
39

Perparkiran merupakan bagian penting dalam manajemen

lalulintas di kawasan perkotaan. Kebijakan perparkiran perlu

dilakukan secara konsisten. Adapun sasaran utama dari kebijakan

parkir sebagai bagian dari kebijakan transportasi, yakni sebagai

berikut:

1. Untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang masuk pada suatu

kawasan.

2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang dikumpulkan dari

pungutan retribusi parkir.

3. Meningkatkan fungsi jalan.

4. Meningkatkan keselamatan dan kelancaran lalulintas.

5. Mendukung tindakan pembatasan lalulintas lainnya.

Fasilitas parkir untuk umum di luar badan jalan dapat berupa

taman parkir dan/atau gedung parkir. Penetapan lokasi dan

pembangunan fasilitas parkir untuk umum, dilakukan dengan

memperhatikan rencana umum tata ruang daerah, keselamatan dan

kelancaran lalulintas, kelestarian lingkungan, dan kemudahan bagi

pengguna jasa. Penyelenggara fasilitas parkir untuk umum dilakukan

oleh pemerintah, badan hukum negara atau warga negara.

Penyelenggara fasilitas parkir untuk umum dapat memungut biaya

terhadap penggunaan fasilitas yang diusahakan.

2. Kebijakan Parkir Berlangganan

Pemberlakuan parkir berlangganan itu sendiri menyusul

ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 10


40

Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum

dan retribusi Tempat khusus Parkir. Dalam perda tersebut parkir

berlangganan didefinisikan sebagai retribusi parkir yang dipungut

selama 1 (satu) tahun atau sampai dengan masa berlaku pajak

kendaraan bermotor yang bersangkutan. Sedangkan retribusi parkir

berlangganan adalah retribusi parkir yang pembayaran retribusi

dilakukan 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Tujuan

awal terbentuknya Perda ini adalah guna penertiban dan

mempelancar lalu lintas di jalan umum agar pelaksanaan parkir lebih

berdaya guna dan berhasil guna dalam memberikan pelayanan

kepada pengguna jalan yang didasarkan peraturan masalah parkir

bagi kendaraan-kendaraan pemakai jalan sehingga menciptakan

kondisi yang menguntungkan bagi pelayanan kepada masyarakat

maupun pemerintah Kabupaten. Selain itu, tujuannya adalah

peningkatan sumber-sumber pendapatan asli daerah lebih signifikan

dan lebih intensif perlu diatur.

Dalam Perda Nomor 10 tahun 2010 pasal 4, retribusi parkir

dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

1. Retribusi parkir berlangganan adalah retribusi parkir yang

dipungut untuk jangka waktu 1 (satu) tahun atau sama dengan

masa berlakunya pajak kendaraan bermotor sebagai pembayaran

atas penyediaan dan atau pelayanan tempat parkir di tepi jalan

umum yang disediakan oleh pemerintah kabupaten, dan hal itu


41

hanya diterapkan di areal parkir di badan jalan umum di wilayah

kota Jember sepanjang tidak ada rambu-rambu larangan parkir.

2. Retribusi parkir harian adalah retribusi parkir yang dipungut

sebagai pembayaran atas pelayanan penyediaan setiap 1 (satu)

kali parkir pada tempat parkir di tepi jalan umum atau tempat lain

yang disediakan oleh pemerintah kabupaten.

Dalam Perda Nomor 10 tahun 2010, Prinsip dan sasaran

dalam penetapan struktur dan besaran tarif retribusi didasarkan atas

tujuan untuk mengendalikan dan memperlancar lalu lintas jalan

dengan mempertimbangkan biaya penyelenggaraan pelayanan parkir

dengan mengukur kemampuan masyarakat dan aspek keadilan.

Struktur besaran tarif retribusi parkir 1 (satu) kendaraan ditetapkan

sebagai berikut:

1. Tarif retribusi parkir berlangganan untuk 1 (satu) tahun:

a. Kendaraan bermotor roda 2 (dua) sepeda motor sebesar Rp

15.000,00 (lima belas ribu rupiah).

b. Kendaran bermotor besar bus, truk, sebesar Rp 30.000,00 (tiga

puluh ribu rupiah).

c. Kendaraan bermotor seperti sedan, jip, mini bus, pik up dan

sejenisnya, sebesar Rp 25.000,00 (dua puluh lima puluh ribu

rupiah).

2. Tarif retribusi parkir harian setiap satu kali parkir:

a. Kendaraan bermotor roda 2 (dua) sebesar Rp 1000,00 (seribu

rupiah).
42

b. Kendaran bermotor besar bus, truk, sebesar Rp 2000,00 (dua

ribu rupiah.

c. Kendaraan bermotor seperti sedan, jip, mini bus, pik up dan

sejenisnya, sebesar Rp. 2000,00 (dua ribu rupiah)

Pemungutan retribusi parkir berlangganan dilaksanakan di

kantor bersama dengan Sistem Administrasi Manunggal di Bawah

Satu Atap (SAMSAT) pada loket tersendiri di luar mekanisme

pelayanan Samsat dan hasilnya langsung disetor ke kas daerah.

Pemungutan retribusi parkir berlangganan dilakukan bersamaan pada

saat subyek retribusi melakukan pembayaran pajak kendaraan

bermotor di kantor Samsat. Pelunasan atas retribusi parkir

berlangganan diberikan bukti tanda pelunasan pembayaran retribusi

parkir berlangganan dan diberi tanda khusus/stiker untuk

dipasang/ditempel pada kendaraan wajib retribusi. UPT parkir hanya

mengkoordinasi juru parkir dan hanya melakukan pemungutan

terhadap kendaraan yang tidak berplat nomor Jember, yang

kemudian disetor kepada kas daerah. Sistem ini dinilai lebih

memudahkan masyarakat, karena masyarakat tidak perlu membayar

lagi pada saat menggunakan jasa parkir kendaraan di tepi jalan

umum.

2.2 Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, diantaranya

adalah :
43

Dwi Purnantoro, Dyah Lituhayu “Evaluasi Kebijakan Pemungutan

Retribusi Parkir Berlangganan Kota Mojokerto” Tahun 2019. Jurnal

kebijakan publik dan Manajemen. Indikator proses dalam mengevaluasi

pelaksanaan pemungutan retribusi parkir berlangganan kota mojokerto dikaji

dari aspek proses pemungutan retribusi pakrir berlangganan, aspek efektivitas

dan efisiensi pelaksanaan pemungutan retribusi parkir berlangganan dan

aspek kerjasama dari aspek proses pemungutan retribusi parkir berlangganan,

pada pelaksanaannya telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun,

dengan menggunakan metode pemungutan yang diatur dalam peraturan

walikota mojokerto Nomor 7 Tahun 2010 tentang petunjuk pelaksanaan

parkir di kota mojokerto justru menimbulkan permasalahan lain yang belum

mampu diselesaikan. Metode tersebut mengakibatkan sebagian masyarakat

kota mojokerto yang telah melunasi biaya retribusi parkir berlangganan tidak

mendapatkan manfaatnya. Kemudian dilihat dari aspek efektivitas dan

efisiensi pemungutan retribusi parkir berlangganan yang belum dapat

mewujudkan tujuan penyelenggaraan kebijakan berupa peningkatan

pelayanan parkir kepada masyarakat dan cenderung hanya berorientas pada

peningkatan PAD. Hal ini dikarenakan metode pemungutan yang dinilai

telah mewajibkan seluruh kendaraan bermotor roda dua dan roda empat yang

tercatat di SAMSAT Kota Mojokerto harus berlangganan parkir, sehingga

penerimaan dari retribusi parkir berlangganan akan meningkat setiap

tahunnya berbanding lurus dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di

Kota Mojokerto. Namun, dari penerimaan yang tinggi tersebut penyelenggara

tidak mampu memberikan pelayanan parkir yang maksimal terbukti dengan

adanya respon kurang memuaskan dari pengguna layanan parkir

berlangganan terhadap pelayanan yang diberikan. Sedangkan dari aspek kerja


44

sama yang dilakukan oleh penyelenggara dengan pihak lain dinilai memiliki

hasil yang Positif. Kerja sama yang dilakukan Oleh Pemerintah Kota

Mojokerto dengan pemerintah kabupaten mojokerto dinilai mampu

mengurangi kebocoran dana penerimaan retribusi parkir jika menggunakan

sistem parkir konvensional.

Azis (1996) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Penerimaan

Retribusi Parkir Di Kotamadya Bandar Lampung”. Penelitian ini bertujuan

untuk: (1) Mengidentifikasi sumber dan potensi retribusi parkir, sehingga

dapat diketahui efisiensi dan efektivitas suatu peningkatan penerimaan

retribusi parkir, (2) Menganalisis dan mengkaji sistem perencanaan,

pengelolaan dan peran serta manajemen keuangan daerah dalam kaitannya

dengan peningkatan penerimaan retribusi parkir, (3) Menganalisis dan

mengkaji pemanfaatan sistem dan prosedur administrasi dalam pengelolaan

keuangan pemerintah daerah. Hasil penelitian menunjukkan (1) Sumber dan

potensi retribusi parkir belum digali secara optimal, hal ini dapat dilihat pada

persentase realisasi penerimaan retribusi parkir dengan potensi retribusi

parkir masih rendah, yaitu rata-rata 30% setiap tahunnya, (2) Sistem

perencanaan, pengelolaan dan peran serta manajemen keuangan pemerintah

daerah dalam kaitannya dengan peningkatan penerimaan retribusi parkir,

belum dilaksanakan sepenuhnya, (3) Pemanfaatan sistem dan prosedur

administrasi dalam pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang termasuk

dalam MAPATDA (Manual Pendapatan Daerah) belum dilaksanakan

sepenuhnya, baik itu dalam sistem pemungutan maupun dalam pelaporan,

sehingga kemungkinan melakukan kesalahan semakin besar.

Hayani (2001) melakukan penelitian dengan judul “Analisis

Pemungutan Retribusi Parkir Sebagai Salah Satu Sumber Pendanaan Dalam


45

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Untuk Pelaksanaan Otonomi

Daerah Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan”. Dari penelitian yang

dilakukan, hasil yang didapat adalah terjadinya peningkatan pemungutan

retribusi parkir dari tahun 1999-2001 saat diprosentasikan dengan anggaran

yang ada. Dan dari total Pendapatan Asli Daerah retribusi parkir yang terbagi

dua yaitu parkir tepi jalan umum dan tempat khusus parkir mampu

menyumbang 13,025 % pada tahun 1999, di tahun 2000 mampu

menyumbang cukup besar yaitu sebesar 22,32 % dan tahun 2001 sebesar

16,28 %. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu saat optimalisasi pemungutan

retribusi khususnya parkir dilakukan dengan perbaikan sistem, sarana dan

prasarana yang ada maka Kota Banjarbaru dapat dikatakan mampu untuk

melaksanakan otonomi daerahnya.

Sugiarti (2006) melakukan penelitian dengan judul ”Potensi Retribusi

Parkir Sebagai Salah Satu Sumber Pendapatan Asli Kota Kediri”. Menurut

Sugiarti, penelitian ini mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang

saling berkaitan dan harus dilakukan untuk lebih mengoptimalkan

penerimaan retribusi parkir, antara lain pemungutan retribusi parkir lebih

efektif, peningkatan ketertiban petugas pemungut dan peningkatan pelayanan

parkir yang diberikan. Untuk itu diperlukan perbaikan sistem pemungutan

retribusi parkir, salah satunya dengan system parkir berlangganan, sehingga

tujuan optimalisasi realisasi penerimaan retribusi parkir di Kota Kediri akan

dapat tercapai.

Anda mungkin juga menyukai